Realisme Aristoteles (Forma Materia, Teori Empat Causa, Kategori, Etika Kebahagiaam) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PEMBAHASAN



A. Riwayat Hidup Aristoteles Aristoteles lahir di Stageira pada Semenanjung Kalkidike di Trasia (Balkan) pada tahun 384 SM dan meninggal di Kalkis pada tahun 322 SM dalam usia 63 tahun. Ayahnya yang bernama Mashaon adalah seorang dokter istana pada Raja Macedonia Amyntas II.Dari kecil, Aristoteles mendapat asuhan dari ayahnya sendiri.Ia mendapat pelajaran dalam hal teknik membedah. Oleh karena itu, perhatiannya banyak tertumpu pada ilmu-ilmu alam, terutama ilmu biologi, dan juga mempengaruhi pandangan ilmiah dan pandangan filosofinya.Sampai umur 18 tahun, pendidikannya diperoleh dari ayahnya. Tatkala ayahnya meninggal, ia pergi ke Athena dan belajar pada Plato di akademia selamadua puluh tahun. Kekaguman Aristoteles terhadap Plato tersebut, membuatnya mendirikan perpustakaan filsafat sendiri untuk menghormati gurunya .selain memperdalam filsafat kepada Plato, Aristoteles memperluas pengetahuannya dalam berbagai jurusan diluar akademia. Dengan kecerdasannya yang luar biasa, ia menguasai berbagai ilmu yang berkembang pada masanya. Tatkala ia berumur 18 tahun, ia dikirim di Athena ke academia Plato. Di kota itu, ia belajar pada Plato. Kecenderungan berpikir saintifik tampak dari pandangan-pandangan filsafatnya yang sistematis dan banyak menggunakan metode empiris.Pandangan filsafat Aristoteles berorentasi pada hal-hal yang konkret.Pengalaman bukanlah pengetahuan yang berupa bayangan belaka. Menurut Aristoteles, alam idea bukan sekedar bayangan, seperti yang diajarkan Plato. Ia mengakui bahwa hakikat segala sesuatu tidak terletak pada keadaan bendanya, melainkan pada pengertian keberadaannya, yakni pada idea. Akan tetapi, idea itu tidak terlepas sama sekali dari keadaan yang nyata. Aristoteles, adalah murid Plato yang sangat kritis. Kepada gurunya, Plato, ia menunjukkan bahwa ia sangat mencintai kebenaran. Oleh karena itu, ia melakukan kritik yang tajam terhadap Plato yang



1



berpandangan bahwa hakikat segala sesuatu adalah idea yang terlepas dari pengetahuan hasil indra. Selain idea hanya gambaran yang membatasi idea. Bagi Aristoteles, idea dan pandangan manusia merupakan sumber segala yang ada.Aristoteles melengkapinya dengan pandangan bahwa manusia berpotensi melengkapinya dengan pandangan bahwa manusia berpotensi mengembangkan idea, dan pengembangan tersebut dipengaruhi oleh penglihatan, pengalaman, dan pengertian-pengertian, sehingga idea dan realitas segala yang ada menyatu dalam suatu terminology filosofis. Aristoteles menjadi dikenal lebih luas karena pernah menjadi tutor (guru) Alexander, seorang diplomat ulung dan jenderal terkenal. Di Athena, ia mendirikan sekolah yang bernama Lyceum.Sekolah itu banyak menghasilkan penelitian yang tidak hanya dapat menjelaskan psinsip-prinsip sains, tetapi juga politik, retorika, dan sebagainnya.Selama dua belas tahun mengajar, Aristoteles mendapat bantuan dan perlindungan dari Alexandras.Ia pun bersahabat baik dengan wakil pemerintah Macedonia di Athena yang bernama Antipatros. Sejak Alexandras tewas dalam peperangan, maka timbullah gerakan anti-Macedonia di Athena. Permusuhan terhadap orang-orang Macedonia tertuju juga kepada Aristoteles.lama-kelamaan, posisi Aristoteles di Athena tidak aman, Aristoteles dituduh telah menghina dewa-dewa kepercayaan rakyat. Dikatakan bahwa ia memuja-muja sahabatnya, Hermeias, yang sudah meninggal. Lebih dari itu, ia diisukan sebagai penyebar pengaruh yang bersifat subversif dan dituduh Atheis. Aristoteles teringat akan nasib Socrates. Untuk menghindarkan nasib serupa, ia mengambil keputusan untuk meninggalkan Athena dan pindah ke Chalcis dan meninggal di sana pada tahun 322 SM. Karya luar biasa Aristoteles adalah filsafat etika, negara, logika, metafisika, dan lain-lainnya. Di dalam dunia filsafat, aristoteles dikenal sebagai bapak logika. Itu tidak berarti bahwa sebelum dia tidak ada logika.Tiap uraian ilmiah berdasarkan logika. Logika tidak lain dari berpikir secara teratur menurut urutan yang tepat atau berdasarkan hubungan sebab dan akibat. Semua ilmuan dari filosofi sebelum Aristoteles mempergunakan logika sebaik-baiknya dan Aristoteles-lah yang pertama kali membentangkan cara berpikir yang teratur dalam suatu system. Hukum-hukum apa yang menguasai jalan pikiran?



2



Bagaimana mencapai pengetahuan tentang kebenaran?Dengan mengupas masalah ini, Aristoteles menjadi pembangun ilmu logika yang kemudian disebut dengan Analytica.Intisari ajaran logikanya ialah syllogismos atau silogistik.Silogistik maksudnya uraan berkunci, yaitu menarik kesimpulan dari kenyataan yang umum atas hal yang khusus, yang tersendiri.Jadi, mencapai kebenaran tentang suatu hal dengan menarik kesimpulan dari kebenaran yang umum.1



B. Ontologi dan Metafisika Aristoteles 1. Pengertian Ontologi Istilah “ontologi” berasal dari kata Yunani “onta” yang berarti sesuatu “yang sungguh-sungguh ada”, “kenyataan yang sesungguhnya”, dan logos” yang berarti “studi tentang”, “studi yang membahas sesuatu” . Jadi dari segi istilah ontologi berarti studi yang membahas sesuatu yang ada. Objek material ontologi adalah yang ada, artinya segala-galanya meliputi yang ada sebagai wujud konkret dan abstrak, indrawi maupun tidak indrawi. Objek formal ontologi adalah memberikan dasar yang paling umum tiap masalah yang menyangkut manusia, dunia dan Tuhan. Titik tolak dan dasar ontologi adalah refleksi terhadap kenyataan yang paling dekat yaitu manusia sendiri dan dunianya. Dengan demikian, ontologi berarti sebagai usaha intelektual untuk mendeskripsikan sifat-sifat umum dari kenyataan; suatu usaha untuk memperoleh penjelasan yang benar tentang kenyataan; studi tentang sifat pokok kenyataan dalam aspeknya yang paling umum sejauh hal itu dapat dicapai; teori tentang sifat pokok dan struktur dari kenyataan. Objek yang dikaji oleh ilmu adalah semua objek yang empiris, yaitu objek yang bisa ditangkap oleh panca indera. Sebab bukti-bukti yang harus ditemukan adalah bukti-bukti yang empiris. Bukti empiris ini diperlukan untuk menguji bukti rasional yang telah dirumuskan dalam hipotesis.



Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum, (Bandung : Pustaka Setia, 2008), hlm. 516 1



3



2. Pengertian Metafisika Istilah metafisika yang berasal dari bahasa Yunani meta yang berarti setelah atau di balik dan phúsika berarti hal-hal di alam. Metafisika adalah cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau hakikat objek (fisik) di dunia. Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas. Metafisika mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: apakah sumber dari suatu realitas, apakah Tuhan ada, dan sebagainya. Metafisika dapat berarti sebagai usaha untuk menyelidiki alam yang berada di luar pengalaman atau menyelidiki suatu hakikat yang berada di balik realitas. Cabang utama metafisika adalah ontologi, studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan hubungan antara satu dan lainnya. Ahli metafisika juga berupaya memperjelas pemikiran-pemikiran manusia mengenai dunia, termasuk keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu, hubungan sebab akibat, dan kemungkinan.Metafisika berusaha menjangkau dan mengkaji apakah hakikat dari kenyataan/realitas ini sebenar-benarnya. Metafisika diperuntukkan untuk mengetahui adanya hakikat realitas Ilahi yang merupakan substansi dunia ini baik yang material, biologis maupun intelektual. Ada empat definisi tentang metafisika menurut Aristoteles.Pertama, metafisika adalah disiplin ilmu yang menyelidiki sebab-sebab dan prinsipprinsip pertama atau tertinggi.Kedua, metafisika mempelajari ada sejauh ada.Ketiga, menegaskan bahwa metafisika mendalami substansi.Keempat, metafisika adalah ilmu meneliti Allah dan substansi trans-inderawi. Objek metafisika menurut Aristoteles, ada dua yakni : 1) Ada sebagai yang ada; ilmu pengetahuan mengkaji yang ada itu dalam bentuk semurni-murninya, bahwa suatu benda itu sungguh-sungguh ada dalam arti kata tidak terkena perubahan, atau dapat diserapnya oleh panca indera. 2) Ada sebagai yang Illahi; keberadaan yang mutlak, yang tidak bergantung pada yang lain, yakni TUHAN (Illahi berarti yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera).2



Shinta dewi, Ontologi dan Metafisika, diakses dari catatannana.blogspot.co.id pada 11 Maret 2018 pukul 14.45 2



4



3. Teori Empat Causa : Causa materia dan forma adalah dua sebab pertama yang mendasari, menyusun dan menjadi syarat bagi segala sesuatu. Bila segala sesuatu dilihat dan dipahami sebagai ada yang tetap , dua sebab pertama ini sudah memadai untuk menjelaskannya. Namun bila segala sesuatu dimengerti sebagai ada yang dinamis, bergerak menjadi, bertumbuh, muncul, hancur dan mati maka diperlukan dua sebab lainnya yakni penggerak atau pelaku (causa efficiens) dan sasaran, tujuan atau telos (causa finalis). 1) Causa materialis atau materia adalah sesuatu yang terjadi atau terbuat dari suatu hal. Causa maerialis merujuk pada bahan yang menjadi unsur untuk membuat segala sesuatu. Contohnya materi dari binatang-binatang adalah daging dan tulang, material bagi patung adalah kayu atau marmer, material bagi bangunan rumah adalah pasir, batu, kayu, semen dan lain sebagainya. 2) Causa formalis atau forma. Forma merujuk pada struktur atau hakikat yang membuat materi berbeda dari materi lainnya. Misalnya kayu gelondongan dapat dibuat menjadi beberapa barang karena formanya, seperti kursi, kayu dsb. 3) Causa efficiens atau penggerak/pelaku sesuatu dari mana perubahan dan gerak dari segala sesuatu berasal.misalnya, tukang adalah orang yang membuat meja, kursi, lemari. Pemahat adalah pelaku yang mengubah sebongkah marmer atau sepotong kayu menjadi patung atau benda-benda lain. 4) Causa finalis atau tujuan dari suatu aksi adalah sesuatu untuk apa atau fungsinya apa dari setiap hal yang dibuat. Aristoteles mengatakan bahwa causa finalis adalah kebaikan (agathon)dari setiap hal. Misalnya, kursi dibuat untuk duduk, meja untuk makan dan menulis, lemari untuk menyimpan pakaian atau piring, dsb.



5



C. Teori Pengetahuan Aristoteles 1. Kategori Upaya untuk memahami segala sesuatu yang “ada” berdasarkan konstruksi pemikiran Aristoteles, maka akan diuraikan ke dalam sepuluh keberadaan yang oleh Aristoteles disebut dengan ten Categories. Bagi Aristoteles, kategori adalah seperangkat pernyataan yang mampu mengklasifikasikan semua pernyataan lainnya. Kategori pokoknya adalah substansi dan sembilan yang lainnya disebut sebagai aksidensi Aristoteles membagi kategori menjadi 10 kategori (Ten Categories), yaitu a) Subtansi, yaitu hakekat sesuatu yang berdiri sendiri, seperti : manusia, hewan, pohon. b) Kuantitas (jumlah) adalah suatu pengertian yang menyatakan ukuran atau jumlah, seperti semeter, setengah, dan lain-lain. c) Kualitas (sifat) adalah suatu pengertian yang menunjukkan sifat itu, seperti kualitas Ahmad itu cerdas, sopan, dan lain-lain. d) Relasi (hubungan) adalah suatu pengertian yang menunjukkan sesuatub ada dengan adanya yang lain, contoh : Aristoteles murid plato. e) Waktu ( Time) adalah pengertian yang menunjukkan kapan atau berapa jumlah waktu yang ada itu berada. f) Posisi, yaitu pengertian yang menunjukkan bagaimana ada itu berada di tempatnya. g) Keadaan, yaitu pengertian yang menunjukkan bagaimana keberadaan itu dibandingkan dengan keberadaan ada yang lain, contoh : Air itu begitu tenang. h) Aksi, yaitu pengertian yang menyatakan suatu tindakan atau aktivitas dari ada itui, seperti : Socrates minum racun. i) Positivitas, yaitu suatu pengertian yang menunjukkan suatu tindakan yang diajukan kepada ada itu sendiri, Dari sepuluh kategori tersebut, substansi merupakan hakekat sesuatu yang dapat berdiri sendiri, sedangkan kesembilan kategori tersebut



6



merupakat penyebut atau pemberi bentuk terdapat substansi dan oleh karena itu ia tidak dapat berdiri sendiri, atau disebut dengan aksidensi. 2. Induksi-Deduksi Menurut Aristoteles, pengetahuan baru dapat dihasilkan melalui dua jalan. Jalan pertama disebut “Induksi”. Aristoteles mempergunakan istilah induksi untuk menarik kesimpulan umum dari berbagai kasus yang bersifat individual, selain itu metode induksi ialah cara penanganan terhadap suatu objek tertentu dengn jalan menarik kesimpulan yang bersifat umum atau bersifat lebih umum berdasarkan atas pemahaman atau pengamatan terhadap sejumlah hal yang bersifat khusus.. Jalan kedua disebut “deduksi” . Deduksi adalah cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus, selain itu metode deduksi ialah cara penanganan terhadap sesuatu objek tertentu dengan



jalan



menarik



kesimpulan



mengenai



hal-hal



yang



bersifat



umum.Penarikan kesimpulan secara deduksi biasanya mempergunakan pola pikir yang dinamakan silogismus. Pernyataan yang mendukung silogismus ini disebut premis yang kemudian dapat dibedakan sebagai permis mayor dan permis minor. Kesimpulan merupakan pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif berdasarkan kedua permis tersebut. 3. Logika Nama “Logika” untuk pertama kali muncul pada Cicero (abad 1 SM), seni berdebat. Alexander Aphrodisias (sekitar permulaan abad ke 3 M) adalah orang yang pertama menggunakan kata “logika” dalam arti ilmu yang menyelidiki lurus tidaknya pemikiran kita. Aristoteles sendiri memakai istilah “analitika” untuk penyelidikan mengenai argumentasi-argumentasi yang bertitik tolak dari putusan-putusan yang benar dan ia memakai istilah “dialektika” untuk penyelidikan mengenai argumentasi-argumentasi yang bertitik tolak dari hipotesis atau putusan yang tidak pasti kebenarannya. Dalam Topica Aristoteles



membahas dialektika, sedangkan nama karya-karyanya



Analytia priora dan Analytica posteriora sudah menyatakan bahwa di sini ia



7



membicarakan analitika. Jadi, bagi Aristoteles analitika dan dialektika merupakan dua cabang dari ilmu “ logika”. Aristoteles membagi ilmu pengetahuan atas tiga golongan : ilmu pengetahuan praktis, produktif, dan teoretis. Ilmu pengetahuan pratktis meliputi etika dan politika. Ilmu pengetahuan produktif menyangkut pengetahuan yang snaggup menghasilkan suatu karya (teknik dan kesenian). Ilmu pengetahuan teoritis mencakup tiga bidang : fisika, metafisika, dan filsafat pertama. Kiranya sudah nyata bahwa dalam pembagian ini tidak ada tempat untuk logika Biarpun Aristoletes mengarang berbagai buku mengenai logika, namun ia berpendapat bahwa logika tidak termasuk ilmu pengetahuan sendiri, tetapi mendahului pengetahuan sebagai persiapan untuk berpikir dengan cara ilmiah. Maksud yang sama diekspresikan juga dalam nama yang diberikan kepada karya - karya Aristoteles tentang logika, yaitu Organon (= alat). Logika bukan merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan, melainkan suatu alat agar kita dapat mempraktekkan ilmu pengetahuan. Pada akhir masa kuno (dalam abad ke -6 M) nama Organon mulai dipakai.3



D. Etika Aristoteles Eudomonisme adalah suatu konsep etika yang dilahirkan Aristoteles dengan menitiktekankan “kebahagiaan” sebagai tujuan tertinggi hidup manusia. Perlu diingat, kebahgiaan dalam pemahaman Aristoteles serta pada umumnya (untuk tidak dikatakan seluhurnya) filsuf Yunani pada masa itu tak sama dengan apa yang dipahami mengenai kebahagiaan dalam arti sekedar “feeling happy” seperti kebanyakan pemahaman orang saat ini, atau pun seperti bagaimana Hedonisme memandangnya. Kebahagiaan ala Aristoteles adalah suatu keadaan manusia di mana “yang seharusnya ada” memang “ada padanya”. Aristoteles membagi tujuan menjadi dua : yang dicapai untuk sesuatu yang lebih jauh lagi dan yang dicapai sebagai dirinya sendiri. Kebahagiaaan, bagi Aristoteles, merupakan satu-satunya tujuan hidup tertinggi yang berusaha dicapai Crystal X Women, Penalaran Logika Deduktif, Induktif dan Metode Ilmiah, diakses dari ikamakoto.wordpress.com pada 11 Maret 2018 pukul 14.50 3



8



sebagai dirinya sendiri oleh manusia. Sebab setelah kebahagiaan, tidak masuk akal manusia akan membutuhkan hal lain bagi dirinya. Namun bagaimanakah seseorang dapat mencapai kebahagiaan itu? Menurut Aristoteles, manusia akan mencapai kebahagiaan hanya jika ia mampu



mengaktualisasikan



potensi



khas



manusiannya,



yakni



dengan



berkontemplasi (memandang kebenaran). Namun kontemplasi saja tidak cukup.Untuk mencapai kebahagiaan yang utuh, manusia yang tidak hanya sebagai makhluk individual, melainkan juga sebagai makhluk sosial.Harus juga menjalankan



aktifitas



dalam



kerangka



fungsi



sosialnya



dengan



baik



(praxis).Dengan demikian kehidupan bersama yang baik sebagai syarat untuk mencapai kebahagiaan yang utuh itu dapat tercapai. Dalam rangka inilah manusia memerlukan apa yang disebu sebagai keutamaan yang berfungsi untuk menentukan apa yang harus dilakukannya secara tepat. Keutamaan-keutamaan Kebahagiaan 1) Keutamaan Intelektual Ada dua fungsi dari rasio manusia menurut Aristoteles, yakni untuk mengenal kebenaran (bersifat universal) dan untuk mengetahui tindakan mana yang tepat untuk dilakukan pada saat-saat tertentu (parsial). Dalam fungsinya yang pertama itu, manusia akan mendapatkan kebijaksanaan teoritis yang disebut Aristoteles sebagai Sophia. Dengan Sophia ini manusia akan mampu mendapatkan pengetahuan mengenai kebenaran-kebenaran yang bersifat universal dan tetap, seperti halnya hukum-hukum alam dan Allah. Pada titik inilah keutamaan intelektual ini memiliki porsi besarnya. Sementara dalam fungsinya yang disebutkan terakhir, manusia akan mendapatkan suau phronesis (kebijaksanaan praktis) yang berfungsi menuntun tindakannya ke arah yang tepat. 2) Keutamaan Moral Manusia memiliki tidak hanya akal-budi (khas manusia), melainkan juga di dalam dirinya terdapat nafsu, keinginan, kebutuhan, dan lain sebagainya



9



yang turut berpera penting dalam mempengaruhi tindakannya. Dalam melakukan tindakan-tindakannya, manusia tak jarang terjebak pada posisi yang ekstrem.Misalkan saja kita memiliki sejumlah harta, kita dapat saja terlalu sayang terhadap harta itu sehingga mengakibatkan kita kikir; atau sebaliknya, kita dapat juga terlalu boros karena menganggap diri kita telah memiliki sejumalh harta yang cukup atau bahkan lebih dari banyak.Dua sikap ekstrem inilah yang harus dielakkan dari tindakan keseharian kita agar kita dapat mencapai kehidupan yang baik.Sebagai jalan tengah dari tamsil mengenai dua sikap ekstrem itu adalah kedermawanan.Kedermawanan bukan berarti pemborosan, sekaligus tentu bukan kekikiran.Inilah yang dapat dicapai oleh manusia dengan keutamaan moralnya berlandaskan phronesis tadi. Namun



bagaimana



seseorang



dapat



mengembangkan



keutamaan



moralnya?Sebagaimana etika yng menurut Aristoteles tak mungkin diajarkan, demikian pula keutamaan moral juga tidak. Keutamaan akan didapatkan seseorang dari pengalaman kesehariannya dalam bertindak yang sesuai dan berdasar kepada keutamaan itu sendiri. sekilas kita mendapati suatu “lingkaran setan” dari pernyatan ini.. Namun yang dimasudkan oleh Aristoteles di sini adalah bahwa seseorang, pada awalnya, untuk mencapai keutamaan itu dalam dirinya sendiri haruslah mula-mula mengacu pada keutamaan “objektif” (semacam aturan, norma) yang dianggap baik oleh orang abnyak. Dari sini lambat laun ia akan mencapai keutamaan-keuatamaan itu sebagai suatu sikap watak yang melekat dalam dirinya sendiri, dengan tidak perlu lagi mengacu terhadap aturan-aturan yang ada.4



E. Kelebihan Pemikiran Etika Aristoteles 1. Sebagai tokoh aliran teleologis, bagi aristoteles, tindakan adalah betul sejauh mengarah kepada kebahagiaan, dan salah sejauh mencegah kebahagiaan. Etika aristoteles ini dapat di golongkan kedalam egososialistik karena yang di utamakan adalah aspek kebahagiaan pelaku dan pada saat bersamaan ia berpraxis, artinya berpartisipasi dalam menjalankan kehidupan warga polis. Mohammad Bahrul Ulum, Eudemonisme Kebahagiaan Seseorang demi Kebahagiaan Semua Orang, diakses dari www.sribd.compada 17 Maret 2018 pukul 09.15 4



10



2. Berpijak dari pemikiran aristoteles bahwa upaya pengembangan diri manusia dapat di tempuh melalui proses self actualization atau aktualisasi diri manusia. Aktualisasi diri pada manusia , menurut aristoteles mencakup dua aspek yaitu aspek intelektual dan aspek sosial. Aspek intelektual dapat di tempuh dengan jalan ber-theoria yaitu mengembangkan secara maksimal kemampuan manusia sebagai makhluk yang berfikir, sedangkan aspek sosial dapat di tempuh dengan  jalan praxis yaitu mengembangkan potensi manusia sebagai mahluk sosial. 3. Habitus (pembiasaan) adalah hal yang sangat penting dalam pembentukan keutamaan bagi manusia, secara intelektual maupun moral. Hal ini berarti bahwa dalam upaya pengembangan diri manusia pembiasaan untuk melakukan  hal-hal yang utama dalam dimensi intelektual dan tindakan adalah hal yang niscaya. Hal ini berarti bahwa untuk membentuk manusia yang berkualitas membutuhkan waktu yang tak sebentar.



F. Kekurangan Mengenai Pemikiran Etika Aristoteles (Bertens, 1993: 244-245) 1. Salah satu kelemahannya adalah bahwa daftar keutamaan yang disebut olehnya tidak merupakan hasil pemikiran Aristoteles saja tetapi mencerminkan pandangan etis dari masyarakat Yunani pada waktu itu dan lebih khusus lagi mencerminkan golongan atas dalam masyarakat Athena tempat Aristoteles hidup. Dan ternyata tidak bisa diharapkan juga ia akan menyajikan daftar keutamaan yang berlaku selalu dan di mana-mana. Pasti ada sejumlah keutamaan yang berlaku agak umum. Tapi di samping itu setiap kebudayaan dan setiap periode sejarah akan memiliki keutamaan-keutamaan sendiri, yang belum tentu sama dalam kebudayaan atau periode sejarah lain. Kerendahan hati, misalnya, merupakan keutamaan yang berasal dari tradisi lain dan belum bisa diharapkan dalam pembahasan Aristoteles. Suka bekerja keras merupakan contoh lain tentang keutamaan yang tidak mungkin ditemukan pada Aristoteles. Malah ia memandang rendah pekerjaan fisik, sesuai dengan pandangan Yunani pada waktu itu.



11



2. Keberatan lain menyangkut pemikiran Aristoteles tentang keutamaan sebagai jalan tengah antara dua ekstrem. Aristoteles menjelaskan hal itu dengan analisis bagus dan tajam keberanian, misalnya. Tapi soalnya adalah apakah keutamaan selalu merupakan jalan tengah antara “kurang” dan “terlalu banyak”. Aristoteles sendiri mengalami kesulitan dengan keutamaan seperti makan terlalu banyak, jelas bertentangan dengan keutamaan pengendalian diri. Perbuatan seperti berpuasa justru dianggap perbuatan terpuji dan pelaksanaan keutamaan pengendalian diri. Aristoteles sendiri mengakui bahwa praktis tidak ada manusia yang tak acuh terhadap makanan, sehingga segi “kurang” di sini sulit ditunjukkan. 3. Tadi sudah dijelaskan bahwa pemikiran Aristoteles diwarnai suasana eliter karena terutama mencerminkan golongan atas dalam masyarakat Yunani waktu itu. Bisa ditambah lagi bahwa pada Aristoteles kita sama sekali belum melihat paham hak manusia, apalagi persamaan hak semua manusia. Malah ia membenarkan secara rasional lembaga perbudakan, karena ia berpendapat bahwa beberapa manusa menurut kodratnya adalah budak. Suatu pandangan yang menurut orang modern justru tidak etis! Tapi keberatan ini tidak perlu ditekankan, karena kita tidak bisa mengkritik seseorang karena dia anak dari zamannya. Kita tidak bisa menghukum filsuf Yunani kuno ini, karena berlum termasuk zaman modern. 4. Etika Aristoteles dan khususnya ajarannya tentang keutamaan tidak begitu berguna untuk memecahkan dilema-dilema moral besar yang kita hadapi sekarang ini. Pemikirannya tidak membantu banyak dalam mencari jalan keluar bagi masalah-masalah moral pentng di zaman kita, seperi misalnya risiko penggunaan tenaga nuklir, reproduksi artifisial, percobaan media dengan embrio,



dan



sebagainya.



Di



sini



kita



membutuhkan



pertimbangan-



pertimbangan etis lain lagi untuk dapat mengambil keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Pandangan Aristoteles tentang keutamaan lebih cocok untuk menilai kadar moral seseorang berdasarkan perbuatan-perbuatannya, termasuk juga hidup moralnya sebagai keseluruhan.



12



PENUTUP



A. Kesimpulan Aristoteles adalah teman dan murid Plato.Ia dilahirkan di Trasia (Balkan). Keluarganya adalah orang-orang yang tertarik pada ilmu kedokteran.Ia banyak mempelajari filsafat, matematika, astronomi, retorika dan ilmu-ilmu yang lainnya. Istilah realisme berasal dari kata latin realis yang berarti ‘sungguh-sungguh, nyata benar’. Karena itu, realisme realisme berpandangan bahwa obyek persepsi indriawi dan pengertian sungguh-sungguh ada, terlepas dari indra dan budi yang mengkapnya kerena obyek itu memang dapat diselidiki, dianalisis, dipelajari lewat ilmu, dan ditumukan hakikatnya lewat filsafat. Realisme berpendapat bahwa dalam melaksanakan prinsip-prinsip dan mengejar cita-cita etis orang perlu bersikap realistis. Artinya, dalam dalam melaksanakan prinsip dan cita-cita etis itu orang perlu memperhitungkansemua faktor ; situasi, kondisi, keadaan, ideologi, politik, ekonomi,sosial, budaya, dan orang-orang yang terlibat.dengan memperhitungkan semua faktor itu, akan ditemukan bahwa tidak semua faktor mendukung pelaksanaan prinsip dan citacita etis. B. Saran Di akhir makalah ini, kami mengharapkan kritik dan saran dari temanteman maupun Ibu Lailatuz Zuhriyah, M.Fil.I. selaku dosen mata kuliah Filsafat Umum agar dalam penulisan makalah selanjutnya dapat lebih baik. Penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman dan bapak Lailatuz Zuhriyah atas saran dan kritiknya.



13



DAFTAR PUSTAKA



Hakim, Atang Abdul Hakim dan Saebani, Beni Ahmad Saebani. 2008. Filsafat Umum. Bandung : Pustaka Setia. Dewi, Shinta. Ontologi dan Metafisika.diakses dari catatannana.blogspot.co.id pada 11 Maret 2018 pukul 14.45 Women, Crystal.Penalaran Logika Deduktif, Induktif dan Metode Ilmiah.diakses dari ikamakoto.wordpress.com pada 11 Maret 2018 pukul 14.50 Ulum,



Mohammad



Bahrul.Eudemonisme



Kebahagiaan



Seseorang



demi



Kebahagiaan Semua Orang.diakses dari www.sribd.compada 17 Maret 2018 pukul 09.15



14