Realisme Hukum [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REALISME HUKUM SUBSTANSI: Ada 3 faktor yang mendorong pergerakan Realisme Hukum: - Tahun 1920an masyarakat mulai mengkritik nilai- nilai tradisional - Munculnya ilmu- ilmu perilaku - Banyaknya laporan penelitian yang memperlihatkan variasi pendekatan hukum Ada 9 point mendorong lahirnya aliran realis: (9 Points of departures common to the realists, by: Llwellyn) 1. The conception of law in flux, of moving law, and of judicial creation of law Hukum selalu bergerak (non-momentary), tidak pernah berhenti dalam satu titik.2. The conception of law as means to social ends, and not as an end in itself Hukum selalu ditujukan pada tujuan tertentu, yaitu untuk tujuan kemasyarakatan. 3. The conception of society in flux- faster than law Masyarakat juga bergerak bahkan lebih cepat dari hukum. 4. The temporary divorce of ‘is’ and ‘ought’ for the purpose of study (mengikuti bayangan positivisme hukum?) Adanya pemisahan antara hukum yang seharusnya dengan hukum yang senyatanya. Namun pemisahan itu semata-mata hanya untuk diatas kertas saja. 5. Distrust of traditional legal rules and concepts as descriptive of what courts or people actually do Aliran ini tidak mempercayai konsep hukum tradisional , hanya menganggapnya sesuatu yang deskriptif saja (tradisional teori menganggap undang- undang sbg ancang- ancang saja, tdk menggambarkan masyarakat akan begitu) 6. Distrust of the theory that traditional prescriptive rule formulations are the main factor in producing court decision ketidakpercayaan terhadap pandangan tradisional yang menyatakan bahwa putusan yang dibuat oleh hakim akan ideal dan dikehendaki Undang-Undang. 7. The belief in grouping cases and legal situations into narrower categories (analisis hukum secara mikro) Kepercayaan bahwa menganalisis fakta harus dari katagori yang mikro 8. An insistence of evaluating the law in terms of its effects (bersikeras mengevaluasi efek hukum) kaum realis selalu berusaha mengevaluasi efek hukum, bermanfaat atau tidak bermanfaat. 9. An insistence on sustained and programmatic attack on the problems of law selalu ada desakan yang kuat terhadap permasalahan hukum yang berujung pragmatis. Terdapat dua varian besar Realisme Hukum, yaitu: - Amerika, yang terdiri dari: * Rule-Skeptics (Holmes, Karl Llewellyn)



* Fact-Skeptics (Jerome Frank) - Skandinavia yang terdiri dari Metaphysic-Skeptics Realisme Amerika Rule-Skeptics (Holmes, Karl Llewellyn) Dasar berpikir Realisme Hukum menurut Oliver Wendell Holmes Jr. (1841-1935) adalah “The life of the law has not been logic, it has been experience”, “…Law should be viewed from the stance of the bad man.” Menurut Holmes, hukum menjadi perlu jika ada pelanggaran. Menurut Karl Llewellyn, aturan jangan dijadikan sebagai pegangan karena aturan bisa ditekuk-tekuk. Putusan tidak bergantung pada aturan, tetapi pada FAKTA. Sumbangan terbesar Llewellyn adalah pandangannya tentang FUNCTIONALISM, yakni mengartikan hukum sebagai mesin yang punya tujuan tertentu. Mesin ini punya beberapa fungsi dasar tertentu (tidak terkait dengan nilai- nilai di dalamnya); fungsi Law-Jobs. Funugsionalisme dari Llewellyn terlihat pada doktrinnya tentang Thrust & Parry (doktrin serangan dan pengelakan). Jika masyarakat ingin bertahan , maka di bidang hukum ada 6 “law jobs” yang harus dilakukan: 1. Adjustment of trouble cases 2. Preventive channeling of conduct and expectations 3. Preventive rechanneling of conduct and expectations to adjust to change 4. Allocation of authority and determination of procedures for authorities 5. Provision of direction and incentive within the group 6. The job of the juristic method Fact-Skeptics (Jerome Frank) “for any particular lay person, the law with respect to any particular set of facts, is a decision of a court with respect to those facts so far as decision affects that particular person. Until a court has passed on those facts no law on that subject is yet in existence”. Menurut Frank, Holmes & Llewellyn hanya Rule Skeptics, seorang realis harusnya Fact Skeptics. Menurut frank, ada penyakit yang bernama APPELLATE COURT-IT IS, dicontohkan, semakin tinggi suatu pengadilan maka semakin miskin realitas meskipun kekuasaannya lebih tinggi. Perbedaan kedua nya: Rule-Skepticism > apakah mungkin ada aturan yang berlaku sebagai PREMIS MAYOR? Fact- Skepticism > apakah mungkin ada kemampuan secara tepat merekonstruksi fakta-fakta sebagai PREMIS MINOR? Karena: Rule Skepticism: (Mac Galanter) -Hukum tidak bekerja seperti bunyi undang- undang -Konsep “the rule of law” hanyalah retoris; yang berlaku “the rule of ruler” -The have always comes out ahead Fact Skepticism:



-Setiap kasus adalah unik. Ada fakta- fakta kemajemukan (Pluralisme) yang harus diperhatikan -Hukum ditentukan oleh struktur kasus (pendekatan mikro) -Kemampuan merekonstruksi fakta makin jauh setelah kasus memasuki pengadilan banding tersebut Realisme Sakndinavia Untuk memahami hukum, perlu dipelajarai kondisi metafisis masyarakat dalam melihat hukum itu. Secara metafisis hukum, kekuasaan yang menakutkan. Undangundang tidak memuat tentang kebenaran, melainkan sekedar gagasan yang metafisis. REFLEKSI: Realisme hukum menggambarkan suatu konsep hukum yang berbeda dari aliran filsafat hukum lain. Realisme Hukum yang paling up to date. Faktor yang memicu aliran ini adalah adanya gerakan anti kemampanan yang mengkritik nilai tradisional, muncul ilmu baru dan laporan hasil penelitian yang memperlihatkan banyaknya kebobrokan. Mengenai doktrin Llewellyn mengenai Thrust & Parry, karena disatu sisi merupakan doktrin serangan kemudian ada doktrin pengelakan maka doktrin ini menjadi tidak relevan lagi. Diskusi : Apakah jika realisme hukum diterapkan akan menjadi ajaran yang paling mendekati rasa keadilan di masyarakat? Posted by Filkumania Austin at 9:10 PM 0 comments Email This BlogThis! Share to Twitter Share to Facebook Share to Google Buzz Wednesday, November 24, 2010 Jurnal 16 Topik : Teori Hukum Pembangunan Tanggal : 19 November 2010 Substansi : Teori Hukum Pembangunan pada dasarnya dalah teori yang dipakai untuk memahami sociological jurisprudence. Teori ini beranjak dari konteks bahwa Indonesia adalah negara berkembang yang sedang banyak melakukan pembangunan. Perpektif yang dapat dilihat dari Teori Hukum Pembangunan adalah 1. Arti dan fungsi hukum dalam masyarakat Hukum merupakan sumber dari terciptanya ketertiban, keadilan dan kepastian. 2. Hukum sebagai kaidah social Hukum merupakan bagian dari system kaidah sosial. 3. Hubungan hukum dengan kekuasaan Kekuasaan tunduk pada hukum. 4. Hubungan hukum dengan nilai sosial budaya Hukum yang baik adalah sesuai dengan living law. 5.Hukum sebagai a tool of social engineering



Hukum merupakan suatu alat untuk terciptanya suatu perubahan sosial dalam rangka pembangunan nasional. Teori Hukum Pembangunan terbagi menjadi 3, yaitu 1. Teori “Kebudayaan” Northrop Hukum tidak hanya merupakan suatu norma yang dibuat oleh Negara, melainkan juga kode etik dari institusi lain yang merupakan aturan berperilaku dalam masyarakat untuk menjaga relasi social mereka. 2. Teori “Kebijakan Publik” Laswell-MacDougall Hukum merupakan suatu proses. Dimana institusi dengan proses akan menghasilkan hukum sebagai gejala sosial, factor-faktor non yuridis, das sein. 3. Teori “Social Engineering” Roscoe Pound Dalam teori ini dijelaskan bahwa hukum diarahkan ke tujuan pragmatik. Adapun persoalan dalam Teori Hukum Pembangunan menurut Mochtar Kusumaatmadja adalah 1. Pluralisme sosial dan hukum kebiasaan; 2. Pluralisme hukum akibat dari adanya kolonialisme; 3.Resistensi atau daya tahan masyarakat terhadap adanya perubahan sebagai akibat kuatnya hukum kebiasaan dimana dapat berupa penolakan-penolakan yang dilakukan oleh masyrakat terhadap perubahan; 4. Sukarnya menentukan tujuan perkembangan hukum; 5. Sedikitnya ada data empirik untuk analisis deskriptif dan preskriptif; 6. Sukarnya indikator obyektif tentang berhasil tidaknya pembangunan hukum. Pluralism hukum ala Ehrlich menyebutkan bahwa hukum dapat sebagai 1. Aturan untuk membuat keputusan 2. Aturan berperilaku Sehingga Ehrlich membuat koreksi sebagai berikut: 1. Bahwa hukum tidak hanya dapat diciptakan oleh Negara; 2. Bahwa hukum bukan merupakan satu-satunya landasan pengambilan keputusan oleh lembaga peradilan atau arbitrase; 3. Bahwa hukum bukan satu-satunya alat bagi pemaksaan penataan masyarakat terhadap suatu keputusan yang telah diambil oleh pengadilan atau arbitrase. Refleksi 1. Teori pembangunan hukum diciptakan oleh Mochtar Kusumaatmadja yang beranjak dari Indonesia merupakan suatu Negara yang berkembang yang masih mengedepankan pembangunan negaranya. 2. Teori pembangunan hukum ini mendapat pengaruh dari a. Teori “Kebudayaan” Northrop b. Teori “Kebijakan Publik” Laswell-MacDougall c. Teori “Social Engineering” Pound Diskusi : Bagaimana penyelesaian atas persoalan atau problema dalam pembangunan hukum yang disampaikan oleh Mochtar Kusumaatmadja? Posted by Filkumania Austin at 1:55 PM 1 comments Email This BlogThis! Share to Twitter Share to Facebook Share to Google Buzz jurnal 15



SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE tanggal : 12 November Substansi: Sociological jurisprudence ini tidak sama dengan sosiologi hukum. Aliran ini meyakini bahwa keberadaan hukum lahir pada saat adanya pengalaman. Aliran ini masih meyakini penting dan perlunya kepastian hukum. Sociological jurisprudence ini disebut pula dengan judge made law yaitu hukum buatan hakim untuk putusan hakim. Dalam judga made law ini dianggap sebagai law creator akan tetapi hal ini ditentang dalam civil law. Pada saat menjelang abad ke-19 terjadi adanya legal gap antara hukum positif dan kehidupan masyarakat riil di masyarakat sehingga menimbulkan jarak yang memunculkan 2 arus pemikiran di Amerika Serikat: 1. The sociological jurisprudence 2. the legal realism atau disebut juga dengan The realistic Jurisprudence yang kemudian digantikan kemudian oleh The Critical Legal Studies (The Critical Jurisprudence) Semua pemikiran tersebut mengusung pendekatan sosiologi ke dalam ilmu hukum. 2 pendekatan utama dalam sosiologi yang melihat pada masyarakat: - structural functional Approach Pendekatan masyarakat dengan melihat bahwa masyarakat suatu sistem yang bagian-bagiannya saling berhubungan yang sifatnya timbal balik yang akan memunculkan ketegangan dan penyimpangan yang dapat diatasi melalui penyesuaian dengan proses institusionalisasi secara gradual. Integrasi social tidak pernah tercapai secara sempurna tetapi sistem social selalu bergerak kearah keseimbangan yang dinamis dan menanggapi perubahan dari eksternal dengan kecenderungan memelihara agar perubahan dalam sistem mencapai derajat minimal saja. - conflict approach Masyarakat menghadapai proses perubahan yang tidak pernah berhenti. Prose situ menimbulkan konflik. Jadi, konflik adalah gejala yang melekat dalam perubahan social, termasuk disintegrasi social yang didalamnya selalu ada dominasi oleh sejumlah orang atas sejumlah orang lainnya. Terbagi menjadi: Structuralist-Marxist dan Structuralist NonMarxist. Perbedaan 2 pendekatan terletak pada: a. dalam structural functional approach : hukum sifatnya menjaga perdamaian saja, tidak terlalu tergesa-gesa mengungkap keberadaan sehingga selalu menjaga keseimbangan untuk mencegah ketimpangan antara sein dengan sollen. b. dalam conflict approach : antara hukum dengan kehidupan social masyarakat tidak perlu seimbang sehingga akan diketahui siapa yang terkuat karena dengan adanya konflik maka keadaan menjadi sehat. Law and society di Amerika disebut American Sociological Jurisprudence dimana hukum adalah putusan hakim in-concreto yang menyesuaikan anatar living law dan norma positif. Ajaran Sociological Jurisprudence ini dipelopori oleh: Roscoe Pound dengan teorinya “law on the books is not laws in action- a principle almost all would accept today” dan juga dipelopori Oliver W Homes. Fungsi Hukum:



-



pengendalian social (social control) penyelesaian sengketa oleh Roscoe Pound, berfungsi sebagai rekayasa social.



Taksonomi terbagi menjadi: 1. individual interest, yang terbagi lagi menjadi: personality, domestic relations, interest of substance 2. public interest, terbagi lagi menjadi interest of the state as juristic person, dan interest of the state as guardian of social interest 3. social interest terbagi menjadi 5. Refleksi: Social jurisprudence lebih menitik beratkan pada pengalaman hukumlah yang dapat dijadikan pedoman bukanlah pada eksistensi UU. Social jurisprudence ini lebih memberikan kepastian hukum daripada keseimbangan hukum karena kepastian hukum tentunya akan menunjukkan pihak yang lemah maupun kuat dalam kedudukan hukum, berbeda dengan keseimbangan hukum yang memperlihatkan kesejahteraan yang merata terhadap seluruh masyarakat. Contoh dalam social jurisprudence ini dapat ditemukan dalam putusan pengadilan oleh Hakim dalam negara yang bersistem hukum common law. Karena sistem hukum common law lebih menggunakan yurisprudensi dibanding peraturan tertulis sehingga ajaran social jurisprudence ini dikritik oleh negara bersistem hukum civil law karena dipandang meremehkan peraturan tertulis. Diskusi: - apakah Indonesia perlu menitikberatkan hukumnya pada ajaran sociological jurisprudence melihat banyaknya ketidakpastian hukum? - bila pemerintahan Indonesia menitikberatkan ajaran ini, apakah sesuai dengan landasan idiil kita? Posted by Filkumania Austin at 1:48 PM 0 comments Email This BlogThis! Share to Twitter Share to Facebook Share to Google Buzz Jurnal 14. Pluralisme hukum (tanggal 10 November 2010) Tiga pertanyaan dasar dalam pluralisme hukum: - Apakah hukum = hukum negara? Apakah aturan normative lainnya juga hukum? - Apakah pluralisme hukum merupakan konsep hukum dan konsep politik serta konsep analitis komparatif? - Apakah konsep pluralisme hukum memungkinkan analisis tentang hubungan kekuasaan di antara berbagai aturan hukum? Belanda pernah mencoba menerapkan unifikasi hukum dari berlakunya hukum antar golongan yang sifanya vertical hingga hukum antar tempat yang sifatnya horizontal yang diberlakukan pada golongan Eropa, Timur asing hingga Bumiputera. Usahausaha yang dilakukan Belanda untuk menduduki Indonesia dilakukan dengan cara: penundukan diri, pernyataan berlaku, dan peleburan.Hal ini ditujukan untuk mengefektifkan hukum pada saat kependudukan Belanda.



Usaha yang dilakukan oleh Belanda untuk menerapkan unifikasi gagal, sehingga orang-orang Bumiputera dibiarkan menjalankan hukum adat dan lembaga-lembaga agamanya. Dan diharapkan orang-orang Bumiputera ini dapat menjalankan hukum Eropa dengan cara menundukkan diri. 1. Cakupan istilah hukum mazhab sejarah dengan kaum etatis. Yang dimaksud kaum etatis disini adalah kaum yang hanya menganut bahwa hanya hukum negara yang layak disebut sebagai hukum. 2. Konsep analitis komparatif dan konsep politik hukum Ada berkat pengakuan system hukum negara yang melahirkan: Pluralisme negara (sebutan G.R Woodman) Pluralisme relative (J. Vanderlinden) Pluralism lemah (J. Griffiths)- menempatkan hukum negara diatas hukumhukum yang lain sehingga hukum selain hukum negara berada dibawah dominasi hukum negara. Yang tidak bergantung pada pengakuan apapun, melahirkan: Pluralisme dalam Pluralisme deskriptif Pluralisme kuat Pluralism yang tidak bergantung pada pengakuan apapun ini hanya memiliki konsep analitis komparatif (perbandingan sederajat). 3. Hubungan kekuasaan diantara berbagai system hukum Kekuasaan negara memegang peranan dalam menentukan pola hubungan antar system hukum, hal ini dikemukakan oleh Sally F.Moore yang mengatakan bahwa kekuasaan sangat bergantung pada konteks. Dalam konteks tertentu, kekuasaan negara hampir tak berperan sebab setiap masyarakat memiliki wilayah sosial yang semi otonom (Semi autonomous social field). Maksudnya adalah negara mempunyai akses kemudian akan tetapi semua itu ada campur tangan negara yang pada kenyataannya ada wilayah-wilayah di mana negara menjadi vakum (kekuasaan menjadi sayup-sayup). Dalam sosiologi, tidak ada suatu kevakuman karena yang dimaksud kevakuman adalah tanpa adanya campur tangan negara sama sekali. Yang menjadi pokok permasalahan dari pluralism: Sejauh mana hukum adat dapat mempengaruhi hukum pidana? Apakah pemberian sanksi sudah memenuhi rasa keadilan? Contoh: Kesaksian dan petunjuk di lapangan menunjuk bahwa keterangan terdakwa benar sehingga hakim memutus terdakwa bebas. Bisa dilihat bahwa hakim tidak cermat karena hakim selalu berprinsip unus testis nullus testis (satu bukti tidak dapat dijadikan keterangan bukti). Padahal belum tentu, bisa saja keterangan terdakwa hanya kebetulan sama di lapangan sehingga putusan hakim ini tidak memperhatikan kaum minoritas,dalam hal ini korban. wanita bersuami dapat meninggalkan suaminya selama 2 musim dengan syarat menyerahkan kembali seluruh maskawin. Bila tidak dijemput suami selama 2 tahun, istri resmi bercerai. Bila mendekati 2 tahun,suami menjemput istri maka istri



dihukum oleh hakim tetapi tidak dibuang secara adat. Hal ini juga menunjukkan ketidakadilan pada kaum minoritas sehingga antara hukum adat dengan hukum pidana terlihat berat sebelah. Refleksi: Pluralisme hukum merupakan lawan dari unifikasi hukum. Dalam konsep analitis komparatif dan konsep politik hukum, yang dimaksud pluralisme lemah adalah pluralisme yang menempatkan hukum negara diatas hukum yang lainnya. Tradisi civil law sesungguhnya tidak menginginkan adanya pluralisme, berbeda dengan tradisi common law yang terjadi pluralisme. diskusi: - apakah baik jika pluralisme dibiarkan terus ada, mengingat sering terjadi benturan antara hukum yang satu dengan hukum lainnya. Posted by Filkumania Austin at 1:41 PM 1 comments Email This BlogThis! Share to Twitter Share to Facebook Share to Google Buzz Jurnal 13 Topic : mazhab sejarah Tanggal :5 November 2010 substansi Sekilas, arti kata mazhab adalah alirn tetpi dalam kenyataannya tidak semua aliran diikuti oleh orang lain. Suatu aliran baru dpat dikatakan sebagai mazhab kalau diikuti oleh banyak orang. Latar belakang mazhab sejarah ini adalah dari ide Anton Thibaut (1722-1840) untuk mempersatukan Jerman dengan cara unifikasi yang didasarkan pada positivisme hukum. Ide ini ditolak oleh Freidrich von Savigny (1779-1861), menurutnya : Tidak ada manusia-individu, yang ada manusia-sosial Hukum sesuatu yang supra-individual, suatu gejala masyarakat, terkait dengan kehidupan sejarah suatu masyarkat. Pada masyarakat primitif, hukum dibentuk tanpa rekayasa melalui jiwa bangsa (volksgeist). Jiwa bangsa ini terus dipelihara melalui keyakinan mendalam atas jiwa bangsa itu dengan bantuan unsur politik (unsur das politische element) dan unsur pengolahan teknisnya (das technische element). Jadi menurut Savigny, seharusnya ada kesadaran hukum kolektif, sedangkan menurut Krabbe seharusnya kesadaran hukum individual. Kesadaran hukum = perasaan hukum. Perasaan hukum = kecondongan manusia yang umum, yang orisinal, yang menimbulkan reaksi terhadap tindakan kita sendiri dan tindakan orang lain; yang bekerja pada seseorang sebagai perasaan susilanya, perasaan keindahannya, perasaan agamanya, dll. Jiwa bangsa adalah sesuatu yang khas jika ingin diajarkan ke bangsa lain, yang dipindahkan hanya bungkus formal (tetapi rohnya tetap tertinggal). Bagian roh yang tetap tertinggal ini disebut the non-transferability of law (oleh Robert S. Sledman). Jadi hukum adalah ekspresi kultural (unsur budaya hukum). Sumber hukumnya adalah jiwa bangsa, jadi hukum tidak dibuat tetapi ia tumbuh bersama dengan



perkembangan masyarakat. Hukum tumbuh secara evolusioner dipandu oleh jiwa bangsa. Benarkah sejarah itu alamiah? Menurut pendapat Paul Ricoeur (1913-2005), sejarah adalah rangkaian peristiwa atau narasi yang disusun menurut plot pengarangnya. Plot merupakan hasil rekayasa si “pengarang”, dibuat sejalan dengan arah waktu kosmologis (lampau), agar terkesan alamiah. Refleksi Jadi jika jiwa bangsa adalah kehendak umum masyarkat dan perkembangan hukum dalam masyarakat ditentukan oleh perkembangan jiwa bangsa masyarakat tersebut, bagaimana apabila pada suatu saat jiwa masyarakat menjadi kehilangan moralnya, seperti hubungan sesama jenis atau peredaran narkoba menjadi sah. Bukankah hukum menjadi seperti suatu “legalitas” bagi kehidupan manusia. Moral manusia tidak bisa dikendalikan begitu saja dengan menggunakan hukum karena pada dasarnya hukum hanya mengatur bagaimana manusia bertingkah laku dalam kehidupan di masyarakat. Mengingat bahwa manusia cenderung berbuat salah maka bisa saja pada suatu saat, hukum tidak lagi bisa mengontrol tingkah laku masyarakat dan dalam masyarakat bisa terjadi kekacauan. Diskusi Apakah mazhab sejarah dapat membuat hukum yang masih memperhatikan moral, tidak hanya mengikuti perkembangan jiwa masyarakatnya saja? Apakah mazhab sejarah mempunyai langkah untuk mengantisipasi tindakantindakan masyarakat yang seharusnya tidak boleh dilakukan di masa yang akan datang (antisipatif)? Posted by Filkumania Austin at 12:45 PM 0 comments Email This BlogThis! Share to Twitter Share to Facebook Share to Google Buzz Monday, November 22, 2010 Jurnal 12 UTILITARIANISME Tanggal: 3 November 2010 Ukuran kebaikan adalah apa yang berguna bagi kehidupan manusia. Hukum yang baik adalah hukum yang memberikan kemanfaatan. Tujuan kemanfaatan ini dikejar semua orang (everybody to count for one, nobody for more than one), yang mengambil prinsip The Will Theory. Lembaga-lembaga Negara diarahkan untuk mengahasilkan kemanfaatan (kabahagian) bagi sebanyak mungkin orang ( the greatest happiness of the greatest number). Tolak ukurnya adalah akibat bukan sebab, dimana tokoh utamanya adalah BENTHAM yang disampaikan lebih bersifat pribadi (membahagiakan semua orang), namun Bentham menyadari bahwa tidak mungkin ada hukum yang dapat membahagiakan semua orang, lalu Bentham memodifikasikannya baik itu tidak perlu semua orang namun hanya sebagian besar saja (mayoritas bahagia). Moralitas utilitarianisme mengutamakan kepentingan keseluruhan di atas kepentingan pribadi. Moralitas terkait dengan AKIBAT (konsekuensi) yang baik, bukan NIAT. Akibat merupakan keuntungan (nilai intrinsik) yang diperoleh bagi kemanusiaan seluruhnya. Nilai intrinsik itu adalah: a. Jeremy Bentham:Kesenangan (pleasure) b. John Stuart Mill: Kebahagian (happiness) c. G.E. Moore: Nilai-nilai ideal (Ideal Values). Ada dua tipe Utilitarianisme, yaitu:



a. Act Utilitarianisme: Memilih dua action. b. Rule Utilitarianisme: Memilih dua aturan lebih terkait dengan orang umum. Adanya teori similar ethical: a. Egoism: kebahagian untuk saya dan hanya untuk saya. b. Altruism: mengorbankan dirinya untuk orang lain. Kebahagian untuk semua orang. c. Utilitarianism: Tidak sama dengan egoism dan altruism, kebahagian untuk semua orang dan untuk saya. Tokoh yang bernama Jeremy Bentham (1748-1832), terdapat tiga asumsi penting, yaitu: a. The greatest happiness of the greatest number. b. Orang tidak boleh bertentangan dengan kesenangan (pleasure). c. Tindakan yang baik adalah jika menambah kesenangan. Tindakan yang buruk adalah sebaliknya. Manusia yang dikuasai oleh dua kekuasaan yaitu penderitaan dan kesenangan (pleasure). Kekuasaan inilah yang menentukan perilaku kita, termasuk baik-buruk (The Principle of Utility). Menurutnya, prinsip ini selalu dapat dibuktikan kebenarannya, sehingga layak disebut sebagai prinsip etis terakhir (ultima principia). Prinsip ini berlaku bagi insividu dan masyarakat. What is pleasure? Tokohnya adalah John Stuart Mill:Happiness, bukan Pleasure yang menjadi “standard of utility”, yang keuntungannya adalah standar lebih tinggi, lebih spesifik kepada manusia, berkenaan dengan realisasi tujuan-tujuan. Dan kerugiannya adalah lebih sukar diukur. Tokohnya adalah G.E. Moore: Ideals values. Kita harus memaksimalkan “ideal values” seperti kebebasan, pengetahuan, keadilan, dan kecantikan. Tokoh pertukaran (exchange theory): Peter M. Blau: Interaksi social terjadi karena didasari oleh adanya harapan akan reaksi balasan dari pihak lain: pertukaran makanan antar tetangga pertukaran konsensi polisi dan criminal. Perilaku (pertukaran ini) akan berhenti jika reaksi tersebut tidak terjadi. Refleksi: Utilitarianisme adalah bagian dari positivisme. Awalnya, utilitarianisme diperuntukan bagi pribadi atau individu-individu saja. Seiring dengan perjalanan waktu, para tokoh menyadari jika tidak bisa membahagiakan semua pihak kemudian aliran ini dimodifikasi menjadi “kebahagian itu tidak dapat dirasakan oleh semua orang secara merata tapi cukup oleh sebagian besar”. Yang saat ini terkenal dengan “the greatest happiness of the greatest number”. Jika dikatakan bahwa utilitarianisme adalah bagian dari positivisme maka kapan utilitarianisme ataupun positivisme digunakan. Jawabannya, jika mengejar akibat jangka panjang ataupun kasusnya terang-benderang (benar salahnya terlihat) maka yang digunakan adalah positivisme. Sedangkan untuk kasus yang sebaliknya dapat digunakan utilitarianisme. Diskusi: Antara egoism, altruism, utilitarianism dalam teori similiar ethical, bagian yang mana yang lebih dominan yang muncul dalam masyarakat?