Referat Abses Peritonsil [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT ABSES PERITONSIL



PENYUSUN: Sumita Dewi 20360118 PEMBIMBING : Dr. Yuli Sp. THT



KEPANITRAAN KLINIK PENYAKIT THT RUMAH SAKIT RSUD HAJI MEDAN 2020 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI BANDAR LAMPUNG



KATA PENGANTAR Alhamdulillahirobbil’alamin, Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan hidayah-Nya. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi Agung Muhammad SWA yang selalu kita nantikan syfa’atnya di akhir nanti. Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehatNya, baik itu berupa sehat fisik maupun sehat akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan Refarat degan judul “Abses Peritonsilar”. Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk Referat ini, supaya Referat ini nantinya dapat menjadi Referat lebih baik lagi. Demikiqan, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada Referat ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Karawang, 12 Agustus 2020



Sumita Dewi



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR................................................................................................ DAFTAR ISI............................................................................................................... BAB I PENDAHULUAN........................................................................................... A. Latar Belakang................................................................................................. B. Rumusan Masalah............................................................................................. C. Tinjauan............................................................................................................ BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................ A. Anatomi dan Fisiologi...................................................................................... B. Imunologi......................................................................................................... C. Definisi............................................................................................................. D. Epidemiologi.................................................................................................... E. Etiologi............................................................................................................. F. Patogenesis....................................................................................................... G. Gejala Klinis..................................................................................................... H. Diagnosis.......................................................................................................... I. Diagnosis Banding J. Tatalaksana K. Komplikasi BAB III PENUTUP A. Kesimpulan DAFTAR PUSTAKA



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Abses peritonsil dapat terjadi pada semua kelompok umur, tetapi insiden tertinggi terjadi pada orang dewasa berusia 20 hingga 40 tahun tahun. Pada anakanak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun system imunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak. Insiden abses peritonsil tiap tahun sebesar 30 kasus per 100.000 orang di Amerika Serikat dipertimbangkan hamper 45.000 kasus setiap tahun. Bukti menunjukkan bahwa tonsillitis kronik atau percobaan multiple penggunaan antibiotik oral untuk tonsillitis akut merupakan predisposisi untuk berkembangnya abses peritonsil (Steyer, 2002). Belum ada data epidemiologi nasional mengenai abses peritonsilar di Indonesia. Penelitian di RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang pada periode 2012-2015 melaporkan 8 (30,8%) dari 26 sampel kasus abses leher dalam berlokasi di peritonsilar (Arliando dkk, 2017). Dari penelitian di RSUP Sanglah periode tahun 2010-2014 didapatkan 64,29% pasien abses peritonsilar berjenis kelamin laki-laki, dengan keluhan utama nyeri tenggorokan (71,43%), dan etiologi terbanyak dari hasil kultur adalah Streptococcus viridans (57,13%). Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus, kuman anaerob Bacteroides atau kuman campuran (Sari dkk, 2018). Abses peritonsil merupakan suatu infeksi akut yang diikuti dengan terkumpulnya pus pada jaringan ikat longgar antara muskulus konstriktor faring



dengan tonsil pada fosa tonsil. Infeksi ini menembus kapsul tonsil atau umumnya pada kutub atas. Abses peritonsil merupakan infeksi pada tenggorok yang sering kali merupakan komplikasi dari tonsilitis akut. Abses peritonsil merupakan infeksi pada kasus kepala leher yang sering terjadi pada orang dewasa. Timbulnya abses peritonsil dimulai dari infeksi superfisial dan berkembang secara progresif menjadi tonsilar selulitis. Pada fosa tonsil ditemukan suatu kelompok kelenjar di ruang supra tonsil yang disebut kelenjar Weber. Fungsi kelenjar-kelenjar ini adalah mengeluarkan cairan ludah kedalam kripta-kripta tonsil, membantu untuk menghancurkan sisa-sisa makanan dan debris yang terperangkap didalamnya lalu kemudian dievakuasi dan dicerna. Jika terjadi infeksi berulang, dapat terjadi gangguan pada kelenjar Weber yang mengakibatkan terjadinya pembesaran kelenjar. Jika tidak diobati secara maksimal, akan terjadi infeksi berulang selulitis peritonsil atau infeksi kronis pada kelenjar Weber dan sistem saluran kelenjar tersebut akan membentuk pus sehingga menyebabkan terjadinya abses. Gejala klinis berupa rasa sakit di tenggorok, rasa nyeri yang terlokalisir, demam tinggi, lemah dan mual. Keluhan lainnya berupa mulut berbau, muntah, sampai nyeri alih ke telinga atau otalgia dan trismus. Komplikasi abses peritonsil yang mungkin terjadi antara lain perluasan infeksi ke parafaring, mediastinitis, dehidrasi, pneumonia, hingga infeksi ke intrakranial berupa trombosis sinus kavernosus, meningitis, abses otak dan obstruksi jalan napas (Klug, 2009).



B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana anatomi dan fisiologi Tonsil?



2. Bagaimana imunologi pada Tonsil? 3. Apa definisi dari Abses Peritonsil? 4. Bagaimana epidemiologi dari Abses Peritonsil? 5. Apa penyebab terjadinya Abses Peritonsil? 6. Bagaimana patofisiologi dari Abses Peritonsil? 7. Apa saja yang termasuk gejala klinis dari Abses Peritonsil? 8. Apa saja diagnosis dari Abses Peritonsil? 9. Apa diagnosis banding dari Abses Peritonsil? 10. Apa tatalaksana dari Abses Peritonsil? 11. Komplikasi apa saja dari Abses Peritonsil?



C. Tujuan 1. Untuk mengetauhui Bagaimana anatomi dan fisiologi Tonsil 2. Untuk mengetauhui Bagaimana imunologi pada Tonsil 3. Untuk mengetauhui Apa definisi dari Abses Peritonsil 4. Untuk mengetauhui Bagaimana epidemiologi dari Abses Peritonsil 5. Untuk mengetauhui Apa penyebab terjadinya Abses Peritonsil 6. Untuk mengetauhui Bagaimana patofisiologi dari Abses Peritonsil 7. Untuk mengetauhui Apa saja yang termasuk gejala klinis dari Abses Peritonsil 8. Untuk mengetauhui Apa saja diagnosis dari Abses Peritonsil 9. Untuk mengetauhui Apa diagnosis banding dari Abses Peritonsil 10. Untuk mengetauhui Apa tatalaksana dari Abses Peritonsil 11. Untuk mengetauhui Komplikasi apa saja dari Abses Peritonsil



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



A. Anatomi dan Fisiologi Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan linfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya. Tonsilla lingualis, tonsilla palatina, tonsilla faringeal dan tonsilla tubaria membentuk cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran nafas dan saluran pencernaan. Cincin ini dikenal dengan nama cincin Waldeyer. Kumpulan jaringan ini melindungi anak terhadap infeksi melalui udara dan makanan. Jaringan limfe pada cincin Waldeyer menjadi hipertrofi fisiologis pada masa kanak-kanak, adenoid pada umur 3 tahun dan tonsil pada usia 5 tahun, dan kemudian menjadi atrofi pada masa pubertas (Rusmarjono dan Hermani, 2012).



Gambar 1. Anatomi tonsil



Gambar 2. Cincin Waldeyer Tonsil palatina atau dikenal dengan tonsil fausial merupakan jaringan limfoid yang berbentuk bulat telur. Ukurannya bervariasi secara individu. Kripta tonsil berbentuk saluran yang tidak sama panjang dan masuk ke dalam jaringan tonsil, umumnya terdiri dari 8-20 kripta. Permukaan kripta ditutupi oleh epitel yang sama dengan epitel permukaan medial tonsil. Pada fosa supratonsil, kripta meluas ke arah bawah dan luar, karena itu fosa ini dianggap sebagai kripta terbesar. Secara klinis kripta merupakan sumber infeksi, karena dapat terisi sisa makanan, epitel yang terlepas dan kuman-kuman (Lalwani dan Pfister, 2012).



Gambar 3. Tonsil palatina Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsilla palatina adalah : 1. Anterior : arcus palatoglossus 2. Posterior : arcus palatopharyngeus 3. Superior : palatum mole 4. Inferior : 1/3 posterior lidah 5. Medial : ruang orofaring 6. Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior. A. carotis interna terletak 2,5 cm dibelakang dan lateral tonsilla



Fossa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Pada  bagian atas fossa tonsil terdapat ruangan yang disebut fossa supratonsil. Ruangan ini terjadi karena tonsil tidak mengisi penuh fossa tonsil. Adenoid atau tonsil faring dan tonsil lingual tidak didefinisikan atau terspesialisasi dengan baik seperti tonsil palatine. Struktur ini terdiri dari jaringan limfoid yang tertutup oleh epitel kolumnar terspesialisasi, semu, bersilia yang membentuk lipatan permukaan yang berlebihan untuk memaksimalkan luas permukaan jaringan. Adenoid berada di atas permukaan dinding superior dan posterior nasofaring, dan memiliki pertumbuhan terbesar pada tahun-tahun pertama kehidupan. Karena ruang terbatas, hipertrofi adenoid dapat terjadi penyebab obstruksi jalan napas bagian atas pada anak kecil (Lalwani dan Pfister, 2012). Vaskularisasi tonsil berasal dari cabang-cabang A. karotis eksterna yaitu A. maksilaris eksterna (A. fasialis) yang mempunyai cabang yaitu A. tonsilaris dan A. palatina asenden, A. maksilaris interna dengan cabang A. palatina desenden, serta A. lingualis dengan cabang A. lingualis dorsal, dan A. faringeal asenden. Arteri tonsilaris berjalan ke atas pada bagian luar m. konstriktor superior dan memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole. Arteri palatina asenden, mengirimkan cabang-cabangnya melalui m. konstriktor posterior menuju tonsil. Arteri faringeal asenden juga memberikan cabangnya ke tonsil melalui bagian luar m. konstriktor superior. Arteri lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan mengirim cabangnya ke tonsil, plika anterior dan plika  posterior. Arteri palatina desenden atau a. palatina posterior atau "lesser palatine artery" memberi vaskularisasi tonsil dan palatum mole dari atas dan



membentuk anastomosis dengan a. palatina asenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring.



Gambar 4. Vaskularisasi tonsil Infeksi dapat menuju ke semua bagian tubuh melalui perjalanan aliran getah bening. Aliran limfa dari daerah tonsil akan mengalir ke rangkaian getah bening servikal profunda atau disebut juga deep jugular node. Aliran getah bening selanjutnya menuju ke kelenjar toraks dan  pada akhirnya ke duktus torasikus. Innervasi tonsil bagian atas mendapat persarafan dari serabut saraf X melalui ganglion sphenopalatina dan bagian bawah tonsil berasal dari saraf glossofaringeus (N. IX) (Rusmarjono dan Hermani, 2012).



Gambar 5. Aliran limfoid kepala-leher



B. Imunologi Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit B membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T pada tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang . Limfosit B berproliferasi di pusat germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), komponen komplemen, interferon, lisozim dan sitokin  berakumulasi di jaringan tonsilar Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu epitel sel ret ikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid dan pusat germinal pada folikel limfoid. Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu: 1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif 2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik. Secara sistematik proses imunologis di tonsil terbagi menjadi 3 kejadian yaitu respon imun tahap I, respon imun tahap II, dan migrasi limfosit. Pada respon imun tahap I terjadi ketika antigen memasuki orofaring mengenai epitel kripte yang merupakan kompartemen tonsil  pertama sebagai barier imunologis. Sel M tidak hanya berperan mentranspor antigen melalui  barier epitel tapi juga membentuk komparten mikro intraepitel spesifik yang membawa  bersamaan dalam konsentrasi tinggi material asing, limfosit dan APC seperti makrofag dan sel dendritik. Respon imun tonsila palatina tahap kedua terjadi setelah antigen melalui epitel kripte dan mencapai daerah ekstrafolikular atau folikel limfoid. Adapun respon imun berikutnya berupa migrasi limfosit. Perjalanan limfosit dari penelitian didapat



bahwa migrasi limfosit berlangsung terus menerus dari darah ke tonsil melalui HEV( high endothelial venules) dan kembali ke sirkulasi melalui limfe (Lalwani dan Pfister, 2012). C. Definisi Abses peritonsil adalah akumulasi pus lokal di jaringan peritonsil yang terbentuk sebagai akibat dari tonsilitis supuratif. Abses terbentuk pada kelompok kelenjar ludah di fosa supratonsilar, yang dikenal sebagai kelenjar Weber. Sarang akumulasi pus terletak antara kapsul tonsil palatina dan otot-otot konstriktor faring. Pilar anterior dan posterior, torus tubarius superior, dan sinus piriformis inferior membentuk ruang potensial peritonsil. Karena terdiri dari  jaringan ikat longgar, infeksi parah pada daerah ini dapat mengakibatkan pembentukan materi  purulen. Peradangan progresif dan pus dapat secara langsung mengenai palatum, dinding faring lateral, dan, dasar lidah (Ludman dan Bradley, 2012). Abses peritonsil biasanya merupakan komplikasi dari tonsilitis akut. Edema akibat inflamasi dapat mengakibatkan kesulitan menelan. Dehidrasi sekunder sering terjadi akibat  pasien menghindari menelan makanan dan cairan. Perluasan abses dapat menyebabkan  peradangan ke dalam kompartemen fasia yang berdekatan dengan kepala dan leher, sehingga  berpotensi menyebabkan obstruksi jalan napas (Koltsidopoulos, 2017)



Gambar 6. Abses peritonsil kanan D. Epidemiologi Di Amerika, insiden abses peritonsilar diperkirakan mencapai 30 kasus per 100,000 orang per tahun, sehingga terdapat 45,000 kasus per tahun. Secara internasional angka ini meningkat akibat banyaknya rekurensi dan resistensi antibiotik. Menurut suatu penelitian, abses peritonsilar dapat terjadi pada semua individu berusia 10-60 tahun, walaupun abses  peritonsilar umumnya ditemukan pada pasien berumur 20-40 tahun. Anak-anak muda yang menderita abses peritonsilar umumnya memiliki supresi sistem pertahanan tubuh (Steyer, 2002). E. Etiologi Abses peritonsil terjadi sebagai komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab tonsilitis, dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob. Organisme yang paling umum terkait dengan abses peritonsillar tercantum dalam tabel 1. Streptococcus pyogenes (Streptokokus beta-hemolitik grup A) adalah organisme aerobik paling umum yang terkait dengan abses peritonsilar. Organisme anaerobik yang paling umum adalah Fusobacterium. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobik (Steyer, 2002).



Tabel 1. Organisme penyebab abses peritonsil F. Patofisiologi Abses peritonsil atau Quinsy adalah suatu infeksi akut dan berat di daerah orofaring. Abses peritonsil merupakan kumpulan pus yang terlokalisir pada jaringan peritonsil yang umumnya merupakan komplikasi dari tonsilitis akut berulang atau bentuk abses dari kelenjar Weber pada kutub atas tonsil. Infeksi yang terjadi akan menembus kapsul tonsil (umumnya pada kutub atas tonsil) dan meluas ke dalam ruang jaringan ikat di antara kapsul dan dinding posterior fosa tonsil. Perluasan infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring. Lokasi infeksi abses peritonsil terjadi di jaringan peritonsil dan dapat menembus kapsul tonsil. Hal ini kemudian akan menyebabkan penumpukan pus atau pus meluas ke arah otot konstriktor faring superior menuju ruang parafaring dan retrofaring terdekat. Pada fosa tonsil ditemukan suatu kelompok kelenjar di ruang supra tonsil yang disebut kelenjar Weber . Fungsi kelenjar-kelenjar ini adalah mengeluarkan cairan ludah ke dalam kripta-kripta tonsil, membantu untuk menghancurkan sisa-sisa makanan dan debris yang terperangkap di dalamnya lalu dievakuasi dan dicerna. Jika terjadi infeksi berulang, dapat terjadi gangguan pada proses tersebut lalu timbul sumbatan terhadap sekresi kelenjar Weber yang mengakibatkan terjadinya pembesaran kelenjar. Jika tidak diobati secara maksimal, akan terjadi infeksi berulang selulitis peritonsil atau infeksi kronis pada kelenjar Weber dan sistem saluran kelenjar tersebut akan membentuk pus sehingga menyebabkan terjadinya abses (Adams, 1994). Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke



ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Walaupun sangat jarang, abses peritonsil dapat terbentuk di bagian inferior. Pada stadium permulaan (Stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak  permukaannya hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula ke arah kontralateral. Bila  proses berlangsung terus, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada M. Pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi ke paru (Rusmarjono dan bambang, 2012). G. Gejala Klinis Selain gejala dan tanda tonsil akut (demam, rasa lesu, nyeri sendi, tidak nafsu makan dan juga tonsil membengkak, hiperemis, terdapat dentritus) juga terdapat odinofagia (nyeri menelan) yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga terjadi nyeri telinga (otalgia), mungkin terdapat muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor exore), banyak ludah (hipersalivasi), suara gumam (hot potato voice) dan kadangkadang



sukar



membuka



mulut



(trismus),



serta



pembengkakan



kelenjar



submandibula dengan nyeri tekan. Pada pemeriksaan kadang sukar memeriksa seluruh faring karena trismus. Palatum mole tampak membengkak, dan menonjol kedepan, dapat teraba fluktuasi. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus, dan terdorong kearah tengah, depan dan bawah (Rusmarjono dan bambang, 2012).



H. Diagnosis Penegakkan diagnosis abses peritonsil adalah dengan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Adanya riwayat pasien mengalami tonsilitis disertai dengan tanda dan gejala yang mengarah pada abses peritonsil sudah cukup untuk menegakkan diagnosis. Jika diagnosis abses peritonsil masih diragukan, maka dapat dilakukan pemeriksaan penunjang untuk membantu mendapatkan informasi lain. a. Pemeriksaan penunjang Gold standart untuk diagnosis abses peritonsilar adalah aspirasi jarum. Untuk mendapatkan sampel ini, tempat yang akan dilakukan aspirasi harus dibius dengan 0,5 % benzalkonium (Cetacaine semprotan) diikuti dengan obat kumur 2 % lidokain (Xylocaine) dengan epinefrin. Menggunakan jarum yang berukuran 18 menempel pada spuit 10 mL dapat digunakan untuk mengambil bahan dari abses yang dicurigai. Cairan yang diperoleh harus dikirim ke laboratorium untuk pewarnaan gram dan kultur untuk menentukan rejimen pengobatan yang tepat. Aspirasi jarum dari abses peritonsillar harus hanya dilakukan oleh dokter yang terlatih dengan baik. Komplikasi dalam melakukan aspirasi dapat berupa aspirasi nanah dan darah, serta perdarahan. Jika absesnya terletak di bagian distal tonsil, tusukan arteri karotis dapat terjadi (Steyer, 2002).



Gambar. 7 aspirasi jarum Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat dilakukan adalah: 1.



Hitung darah lengkap (complete blood count ), pengukuran kadar elektrolit (electrolyte level measurement ), dan kultur darah (blood cultures).



2.



Pada pasien yang curiga terinfeksi EBV dapat dilakukan monospot test dan serologi EBV (IgG dan IgM)



3.



Xray: Foto lateral dapat dilakukan untuk menyingkirkan abses retrofaring.



4.



CT scan kontras: biasanya tampak kumpulan cairan hypodense di apex tonsil yang terinfeksi, dengan peripheral rim enhancement . Pencitraan ini juga dapat digunakan untuk merencanakan tindakan operasi dan melihat luas penyebaran infeksi.



Gambar 8. CT Abses peritonsilar kanan 5.



 Peripheral



Rim



Enhancement



Ultrasound ,



contohnya:



intraoral



ultrasonography. Intraoral ultrasonografi mempunyai sensifitas 95,2 % dan spesifitas 78,5 %. Transcutaneous ultrasonografi mempunyai sensifitas 80% dan spesifisitas 92,8 %. merupakan teknik yang simple dan noninvasif dan



dapat membantu dalam membedakan antara selulitis dan awal dari abses. Pemeriksaan ini juga bias menentukan pilihan yang lebih terarah sebelum melakukan operasi dan drainase secara pasti (Galioto, 2017). I.



Diagnosis Banding Abses peritonsil dapat di diagnosis banding dengan penyakit-penyakit abses leher  bagian dalam lainnya seperti, abses retrofaring, abses parafaring, abses submandibula, dan angina ludovici ( Ludwig’s angina). Hal ini disebabkan kemiripan gejala utama pada abses leher  bagian dalam seperti, nyeri tenggorok, demam, serta terbatasnya gerakan membuka mulut. Untuk membedakan abses peritonsil dengan penyakit leher dalam lainnya, diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang jeli. Selain itu diagnosis banding infeksi mononukleosis juga dapat memiliki gambaran abses peritonsil (Jhonson dan Stewart, 2005).



J.



Tatalaksana Drainase, terapi antibiotik, dan terapi suportif untuk menjaga hidrasi dan pengendalian nyeri adalah landasan pengobatan abses peritonsillar dan diikuti oleh tonsilektomi beberapa minggu kemudian.  Analgesik adalah terapi  penting pada manajemen abses peritonsil untuk menurunkan rasa sakit sehingga membantu pasien untuk mengonsumsi diet oral. Resusitasi cairan intravena juga diperlukan pada  pasien yang tidak mendapatkan asupan oral yang adekuat atau dengan tanda dan gejala dehidrasi. 1. Medikamentosa Pada penyakit stadium awal yaitu selulitis peritonsilar, dimana belum terbentuk abses, maka biasa dilakukan tatalaksana yang sama tetapi tanpa tindakan



drainase. Antibiotik juga diberikan untuk mengatasi infeksi paska drainase abses. Antibiotik sistemik yang mencakup group A  β -hemolytic  streptococci  seperti penisilin, klindamisin, atau golongan sefalosporin dengan atau tanpa metronidazol. Pilihan antibiotik sangat tergantung pada pewarnaan gram dan kultur cairan yang diperoleh dari aspirasi jarum. Hasil studi menyarankan bahwa 500 mg klindamisin yang diberikan dua kali sehari atau sefalosporin oral generasi kedua atau ketiga digunakan sebagai pengganti penisilin. Studi lain 1 merekomendasikan penggunaan penisilin sebagai obat lini pertama, dan, jika tidak ada tanggapan dalam 24 jam pertama, tambahkan 500 mg metronidazol yang diberikan dua kali sehari ke dalam rejimen. Semua spesimen harus diperiksa dengan biakan untuk mengetahui sensitivitas antibiotik untuk memastikan cakupan antibiotik yang sesuai. Tabel 2 daftar regimen antrimikroba yang disarankan.



Tabel 2. Daftar regimen ntimikroba yang disarankan Dua penelitian kecil menyelidiki apakah penambahan dosis kortikosteroid tunggal yang diberikan secara intramuskular atau intravena (metilprednisolon, 2 hingga 3 mg per kg hingga 250 mg, atau deksametason, 10 mg) akan mempercepat pemulihan. Pasien yang menerima kortikosteroid dilaporkan penurunan nyeri dan peningkatan asupan cairan oral dalam 12 sampai 24 jam dibandingkan dengan pasien yang tidak menerima kortikosteroid. Perbedaan ini sepertinya menghilang setelah 48 jam. Penggunaan kortikosteroid empiris untuk pengobatan abses peritonsillar tampaknya mempercepat pemulihan seperti yang ditunjukkan oleh rawat inap yang lebih singkat dan resolusi nyeri yang lebih cepat. Namun, penelitian tambahan diperlukan sebelum penggunaan rutin kortikosteroid dimasukkan dalam protokol pengobatan. 2. Insisi dan drainase Insisi dan drainase (I&D) adalah teknik yang umumnya dilakukan untuk tatalaksana akut dari abses peritonsil yang besar. Tindakan ini dapat mengurangi rasa sakit yang efektif dan cepat. Teknik insisi dan drainase



membutuhkan anestesi lokal dengan menyemprotkan anestesi topikal. Insisi drainase intraoral dilakukan degan melakukan insisi mukosa diatas abses, biasanya di lipatan supratonsilar (kutub atas). Forsep sinus dimasukkan melalui insisi untuk merentangkan insisi. Pengisapan tonsil sebaiknya segera disediakan untuk mengumpulkan pus yang dikeluarkan (Galiato, 2017).



Gambar 8. Insisi dan drainase 3. Tonsilektomi quinsy Tonsilektomi  quinsy atau  hot tonsilectomy,  bisa disebut juga dengan tonsilektomi segera adalah tindakan pengangkatan jaringan tonsil dengan pembersihan abses yang sesegera mungkin dilakukan.  Indikasi untuk tonsilektomi segera pada abses peritonsil adalah adanya obstruksi jalan napas atas, sepsis dengan limfadenitis servikalis, abses leher bagian dalam, riwayat abses peritonsil yang berulang. Beberapa penelitian mengatakan tindakan ini cukup sering dilakukan karena dianggap prosedur yang aman dan dapat melakukan drainase sempurna dari abses. Tonsilektomi juga dapat dilakukan setelah beberapa waktu pasca drainase yang disebut tonsilektomi interval. (Corbridge, 2011). Namun pada prosedur tersebut sering terjadi fibrosis sehingga menyulitkan tonsilektomi (Adams dkk, 1994).



4.



Tonsilektomi Interval Tonsilektomi interval adalah tonsilektomi yang dilakukan beberapa waktu pasca drainase. Prosedur ini diindikasikan pada pasien yang memiliki indikasi tonsilektomi tetapi tidak dilakukan tonsilektomi quinsy. Menurut literatur, terdapat beberapa istilah berdasarkan lama selang waktu pasca drainase hingga dilakukan tonsilektomi. Tonsilektomi yang dilakukan 3-4 hari sesudah drainase abses disebut “tonsilectomy a’ tiede”; sedangkan tonsilektomi yang dilakukan 4-6 minggu sesudah drainase abses disebut “tonsilectomy a’ froid ”. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses. (Rusmarjono dan Bambang, 2012).



Gambar 10. Tonsilektomi K. Komplikasi 1. Abses pecah spontan, dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau epiema.



2. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parfaring. Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum, sehingga terjadi mediastinitis. 3. Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakrnial, dapat mengakibatkan trombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak (Rusmarjono dan Bambang, 2012).



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Abses peritonsil merupakan kumpulan atau timbunan nanah (pus) yang terlokalisir/ terbatas pada jaringan peritonsilar yang terbentuk sebagai hasil dari supuratif tonsilitis. Gejala klinis meliputi odinofagia (nyeri menelan) yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga dan nyeri telinga (otalgia), muntah (regurgitasi), mulut berbau, banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau, dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), Abses peritonsil hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan tonsilektomi. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan tonsilitis akut dengan asimetri faring sampai dehidrasi dan sepsis. Didapatkan pembesaran dan nyeri tekan pada kelenjar regional. Pada  pemeriksaan kavum oral terdapat eritema, asimetri palatum mole, eksudasi tonsil, dan pergeseran uvula kontralateral. Beberapa macam terapi yang selama ini dikenal adalah pemberian antibiotika dosis tinggi dan obat simptomatik, pungsi dan aspirasi disertai antibiotik parenteral, insisi, dan tonsilektomi.



DAFTAR PUSTAKA Steyer, T. E. (2002). Peritonsillar abscess: diagnosis and treatment. American family physician, 65(1), 93. Arliando MA, Adelien, Utama DS. 2017. Prevalensi abses leher dalam di RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 1 Januari 2012-31 Desember 2015. Majalah Kedokteran Sriwijaya.;3:124-133. Sari NLS, Putra IDGAE, Budayanti NS. 2018. Karakteristik penderita abses peritonsil di RSUP Sanglah Denpasar periode tahun 2010-2014. Medicina ;49(2):161-165. Klug, T. E. (2009). Peritonsillar abscess: clinical aspects of microbiology, risk factors, and the association with parapharyngeal abscess. Clin Infect Dis, 49, 1467-72. Rusmarjono dan bambang H. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 7. FK-UI. Jakarta. p;190-203 Lalwani, A. K., & Pfister, M. H. (2012). Recent Advances in Otolaryngology-Head and Neck Surgery. JP Medical Ltd. Ludman, H. S., & Bradley, P. J. (Eds.). (2012). ABC of ear, nose and throat (Vol. 254). John Wiley & Sons. Koltsidopoulos, P., Skoulakis, C., & Kountakis, S. (2017). ENT: Core Knowledge. Springer. Adams, G. L., Boies, L. R., & Higler, P. A. (1994). Penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam: Adams GL, Boies buku ajar penyakit THT, Jakarta, Penerbit buku kedokteran EGC edisi, 6, 337-40. Nave, H., Gebert, A., & Pabst, R. (2001). Morphology and immunology of the human palatine tonsil. Anatomy and embryology, 204(5), 367-373. Galioto, N. J. (2017). Peritonsillar abscess. American family physician, 95(8), 501-506. Johnson, R. F., & Stewart, M. G. (2005). The contemporary approach to diagnosis and management of peritonsillar abscess. Current opinion in otolaryngology & head and neck surgery, 13(3), 157-160. Corbridge, R. (2011). Essential Ent. CRC Press.