Abses Peritonsil [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN



Abses peritonsil adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala dan leher. Gabungan dari bakteri aerobic dan anaerobic di daerah peritonsil. Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah adalah didaerah pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior, dan palatum superior.15 .Abses peritonsil terbentuk oleh karena penyebaran organisme bakteri penginfeksi tenggorokan kesalah satu ruangan areolar yang longgar disekitar faring menyebabkan pembentukan abses, dimana infeksi telah menembus kapsul tonsil tetapi tetap dalam batas otot konstriktor faring.1 Abses peritonsil (Quinsy) merupakan salah satu dari abses leher dalam, jenis abses leher lainnya adalah abses retrofaring, abses parafaring, abses submandibula dan angina ludovici (LudwigAngina). Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana yang terlibat. Gejala dan tanda klinik dapat berupanyeri dan pembengkakan.6 Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem imunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsiyang sama antara laki-laki dan perempuan. Bukti menunjukkan bahwa tonsillitis kronik atau percobaan multipel penggunaan antibiotik oral untuk tonsilitis akut merupakan predisposisi pada orang untuk berkembangnya abses peritonsil. Di Amerika insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun, dipertimbangkan hampir 45.000 kasus setiap tahun.15



1



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



A. ANATOMI RONGGA MULUT



Gambar 1. Anatomi Rongga Mulut3



1. Tonsil Tonsil dan adenoid adalah jaringan limfoid pada faring posterior diarea cincin Waldeyer. Fungsinya adalah untuk melawan infeksi.15 Tonsilla palatina mendapat vaskularisasi dari ramus tonsillarisyang merupakan cabang dari arteri facialis, cabang – cabang a. lingualis, a. palatina ascendens a. pharyngea



ascendens.



Sedangkan



inervasinyadiperoleh



dari



n.



glossopharyngeus dan n. palatinus minor. Pembuluhlimfe masuk dalam nl. 2



cervicales profundi. Nodus paling penting padakelompok ini adalah nodus jugulodigastricus, yang terletak di bawah dan belakang angulus mandibulae.10 Bagian luar tonsil terikat pada m.konstriktor faringeus superior,sehingga tertekan setiap kali menelan, m. palatoglusus dan m. palatofaring juga menekan tonsil. Selama masa embrio, tonsil terbentuk dari kantong pharyngeal kedua sebegai tunas dari sel endodermal. Singkatnya setelah lahir, tonsil tumbuh secara irregular dan sampaimencapai ukuran dan bentuk, tergantung dari jumlah adanya jaringanlimphoid.5 Tonsil palatina terdiri dari 9: 



Korteks : Di dalam nya terdapat germinating folikel, tempat pembentukan







limfosit, plasma sel. Medula : Terdiri dari jaringan ikat yang merupakan kerangka penyokong tonsil







& berhubungan dengan kripta.Batas-batas tonsil palatina Lateral : Kapsul fibrous yang berhubungan dengan fasia pharingo-basilaris yang menutupi m. konstriktor pharingsuperior. Masuk ke dalam parenkim







tonsil akanmembentuk septa dan membawa pembuluh darah dan saraf. Medial : Mukosa yang dibentuk oleh epitel selapis gepeng,kripta, dan







mikrokripta. Posterior : Pilar posterior yang dibentuk oleh palatopharingeus yang berjalan







dari bagian bawah pharingmenuju aponeurosis palatum molle. Anterior : Pilar anterior yang dibentuk oleh palatoglossus yang berjalan dari permukaan bawah lidah menuju aponeurosis palatum molle. Palatoglosus mempunyai origo seperti kipas di permukaan oral palatum mole dan berakhir pada sisi lateral lidah. Palatofaringeusmerupakan otot yang tersusun vertikal dan diatas melekat pada palatum mole, tuba eustachius dan dasar tengkorak. Otot ini meluas kebawahsampai kedinding atas esofagus. Otot ini lebih penting daripada palatoglosus dan harus diperhatikan pada operasi tonsil agar tidak melukai otot ini. Kedua pilar bertemu diatas untuk bergabung dengan paltum mole. Di inferior akan berpisah dan memasuki jaringan pada dasar lidah dan lateral dinding faring. Plika triangularis (tonsilaris) merupakan lipatan mukosa yang tipis, yang menutupi pilar anterior dan sebagian permukaan anterior



3



tonsil. Plikasemilunaris (supratonsil) adalah lipatan sebelah atas dari mukosa yang mempersatukan kedua pilar. Fossa supratonsil merupakan celah yang ukurannya bervariasi yang terletak diatas tonsil diantara pilar anterior dan posterior. Celah atau ruangan ini terjadi karena tonsil tidak mengisi penuhfossa tonsil. Tonsil palatina lebih padat dibandingkan jaringan limfoid lain, berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, Permukaan sebelah dalam tertutup oleh membran epitel skuamosa berlapis yang sangat melekat. Permukaan lateral-nya ditutupi oleh kapsul tipis dan di permukaan medial terdapat kripta. Kripta tonsil berbentuk saluran tidak sama panjang danmasuk ke bagian dalam jaringan tonsil yang mengandung jaringan limfoiddan disekelilingnya terdapat jaringan ikat. Ditengah kripta terdapat muarakelenjar mukus. Permukaan kripta ditutupi oleh epitel yang sama dengan epitel permukaan medial tonsil. Umumnya berjumlah 8-20 buah untuk masing-masing tonsil, kebanyakan terjadi penyatuan beberapa kripta. Saluran kripta ke arah luar biasanya bertambah luas. Secara klinik kriptadapat merupakan sumber infeksi, baik lokal maupun umum karena dapatterisi sisa makanan, epitel yang terlepas, kuman.10 2. Ruang Peritonsiler3,12 Ruang peritonsil letaknya berbatasan sebelah medial dengan kapsultonsil palatine, sebelah lateral dengan muskulus kontriktor faring superior, sebelah anterior dengan pilar anterior dan sebelah posterior dengan pilar posterior. Akumulasi nodus berlokasi di antara kapsul tonsil palatinus danotot-otot konstriktor pharynx. Pillar anterior dan posterior, torus tubarius(superior), dan sinus piriformis (inferior) membentuk batas-batas potential peritonsillar space. 3. Faring Faring dibagi menjadi nasofaring, orofaring dan laringofaring. Nasofaring merupakan bagian dari faring yang terletak diatas pallatum molle,orofaring yaitu bagian yang terletak diantara palatum molle dan tulang hyoid,sedangkan laringofaring bagian dari faring yang meluas dari tulang hyoidsampai ke batas bawah kartilago krikoid. Orofaring terbuka ke rongga mulut pada pilar anterior faring. Pallatum molle (vellum palati) terdiri dari serat ototyang ditunjang oleh jaringan fibrosa yang dilapisi oleh mukosa. Penonjolan dimedian membaginya 4



menjadi dua bagian. Bentuk seperti kerucut yang terletak disentral disebut uvula.5



B. DEFINISI ABSES PERITONSIL Definisi Abses peritonsil adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala dan leher. Gabungan dari bakteri aerobic dan anaerobicdi daerah peritonsilar. Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah didaerah pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior, dan palatum superior.15 Abses Peritonsil (PTA) merupakan kumpulan/timbunan(accumulation) pus (nanah) yang terlokalisir/terbatas (localized) pada jaringan peritonsillar yang terbentuk sebagai hasil dari suppurativetonsillitis.3 Abses peritonsil merupakan infeksi akut atau abses yang berlokasidi spatium peritonsiler, yaitu daerah yang terdapat di antara tonsil denganm. kontriktor superior, biasanya unilateral dan didahului oleh infekrsitonsilopharingitis akut 5-7 hari sebelumnya.2



C. ETIOLOGI Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsilitis akut atau infeksiyang bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab tonsilitis, dapat ditemukankuman aerob dan anaerob.14 Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah



Fusobacterium.



Prevotella,



Porphyromonas,



Fusobacterium,



dan



Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobic.4



5



D. PATOLOGI Patofisiologi PTA belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori yang paling banyak diterima adalah kemajuan (progression) episode tonsillitiseksudatif pertama menjadi peritonsillitis dan kemudian terjadi pembentukan abses yang sebenarnya (frank abscess formation). Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang. Pada stadium permulaan, (stadiuminfiltrat), selain pembengkakan tampak juga permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Tonsil terdorong ke tengah, depan, dan bawah, uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral. Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecahspontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru. 14



E. GEJALA KLINIS Abses peritonsil akan menggeser kutub superior tonsil ke arahgaris tengah dan dapat diketahui derajat pembengkakan yang ditimbulkandi palatum molle. Terdapat riwayat faringitis akut, tonsillitis, dan rasatidak nyaman pada tenggorokan atau faring unilateral yang semakinmemburuk. Keparahan dan progresivitasnya ditunjukkan dari trismus. Kebanyakan pasien menderita nyeri hebat.13 Gejala yang dikeluhkan pasien antara lain panas sub febris,disfagia dan odinofagia yang menyolok dan spontan, “hot potato voice”,mengunyah terasa sakit karena m. masseter menekan tonsil yangmeradang, nyeri telinga (otalgia) ipsilateral, foetor ex orae, perubahansuara karena hipersalivasi dan banyak ludah yang menumpuk di faring,rinolalia aperta karena udem palatum molle (udem dapat terjadi karenainfeksi menjalar ke radix lingua dan epiglotis = udem perifokalis), trismus(terbatasnya



kemampuan



untuk



6



membuka



rongga



mulut)



yang



bervariasi,tergantung



derajat



keparahan



dan



progresivitas



penyakit,



trismusmenandakan adanya inflamasi dinding lateral faring dan m. Pterigoidinterna, sehingga menimbulkan spasme muskulus tersebut. Akibatlimfadenopati dan inflamasi otot, pasien sering mengeluhkan nyeri leher dan terbatasnya gerakan leher (torticolis).9,15



Gambar 2. Tonsillitis akut (sebelah kiri) dan abses peritonsil (sebelah kanan)6



Gambar 3. Abses peritonsil7



F. PEMERIKSAAN FISIK Pada pemeriksaan fisik, didapatkan tonsilitis akut dengan asimetrifaring sampai dehidrasi dan sepsis. Didapatkan pembesaran dan nyeri tekan pada kelenjar regional. Pada pemeriksaan kavum oral terdapat eritema, asimetri palatum mole, eksudasi tonsil, dan pergeseran uvula kontralateral. Dan pada palpasi palatum molle teraba fluktuasi. Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel direkomendasikan pada pasien yang mengalami kesulitan bernapas, untuk melihat ada tidaknya epiglotitis dan supraglotis.14,15



7



G. PEMERIKSAAN PENUNJANG PTA biasanya unilateral dan terletak di pole superior dari tonsilyang terkena, di fossa supratonsillar. Mukosa di lipatan supratonsillar tampak pucat dan bahkan seperti bintil – bintil kecil.12 Palpasi daerah palatum mole terdapat fluktuasi. Nasofaringoskopidan laringoskopi fleksibel



direkomendasikan



untuk



penderita



yangmengalami



gangguan



pernafasan.13 Prosedur diagnosis yaitu dengan melakukan aspirasi jarum. Tempatyang akan dilakukaan aspirasi dibius atau dianestesi menggunakan lidokain dan epinephrine dengan menggunakan jarum besar (berukuran16–18) yang biasa menempel pada syringe berukuran 10cc. Aspirasi material yang purulen merupakan tanda khas, dan material dapat dikirim untuk dibiakkan untuk mengetahui organisme penyebab infeksi demi kepentingan terapi antibiotika.11,14 Pada penderita PTA perlu dilakukan pemeriksaan3: 1. Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar elektrolit (electrolyte level measurement), dan kultur darah (bloodcultures). Karena pasien dengan abses peritonsil seringkali dalam keadaan sepsis dan menunjukkan tingkat dehidrasi yang bervariasi akibat tidak tercukupinya asupan makanan. 2. Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasiendengan tonsillitis dan bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif, penderita memerlukan evaluasi/penilaian hepatosplenomegaly. Liver function tests perlu dilakukan pada penderita dengan hepatomegaly. 3. “Throat culture” atau “throat swab and culture”: diperlukan untuk identifikasi organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan antibiotik yang tepat dan efektif, untuk mencegah timbulnyaresistensi antibiotik. 4. Plain radiographs: pandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft tissueviews) dari nasopharynx dan oropharynx dapat membantu dokter dalammenyingkirkan diagnosis abses retropharyngeal.



8



5. Computerized tomography (CT scan): biasanya tampak kumpulancairan hypodense di apex tonsil yang terinfeksi (the affected tonsil) dengan “peripheral rim enhancement”. Gambaran lainnya termasuk pembesaran asimetrik tonsil dan fossa sekitarnya.



Gambar 4. Tomografi komputer abses peritonsil.14 6. Ultrasound, contohnya: intraoral ultrasonography merupakan teknik pencitraan yang simpel dan non-invasif, dapat membedakan selulitis dan abses.



H. DIAGNOSIS BANDING Penonjolan satu atau kedua tonsil, atau setiap pembengkakan pada daerah peritonsilar harus dipertimbangkan penyakit lain selain abses peritonsil sebagai diagnosis banding. Contohnya adalah infeksi mononukleosis, benda asing, tumor / keganasan / limfoma, penyakit Hodgkin leukemia, adenitis servikal, aneurisma arteri karotis interna dan infeksi gigi. Kelainan-kelainan ini dapat dibedakan dari abses peritonsil melalui pemeriksaan darah, biopsi dan pemeriksaan diagnostik lain.5,7,15 Tidak ada kriteria spesifik yang dianjurkan untuk membedakan selulitis dan abses peritonsil. Karena itu disepakati bahwa, kecuali pada kasus yang sangat 9



ringan, semua penderita dengan gejala infeksi daerah peritonsil harus menjalani aspirasi/punksi. Apabila hasil aspirasi positif (terdapat pus), berarti abses, maka penatalaksanaan selanjutnya dapat dilakukan. Bila hasil aspirasi negatif (pus tidak ada), pasien mungkin dapat didiagnosis sebagai selulitis peritonsil.14,15



I.



KOMPLIKASI7 Komplikasi abses peritonsil dapat berupa edema laring akibat tertutupnya rima glotis atau edema glotis akibat proses perluasan radang ke bawah. Keadaan ini membahayakan karena bisa menyebabkan obstruksi jalannapas. Abses yang pecah secara spontan terutama waktu tidur dapat mengakibatkan aspirasi pneumonia dan piemia. Abses yang ruptur spontan biasanya pecah dari pilar anterior. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga dapat terjadi abses parafaring. Kemudian



dapat



terjadi



penjalaran



ke



mediastinum



menimbulkan



mediastinitis. Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan trombus sinuskavernosus, meningitis, dan abses otak. Sekuele poststreptokokus (glomerulonefritis, demam rhematik) apabila bakteri penyebab infeksi adalah streptococcus Grup A. Kematian, walaupun jarang dapat terjadi akibat perdarahan atau nekrosis septik ke selubung karotis atau carotid sheath.Dapat juga terjadi peritonsilitis kronis dengan aliran pus yang berjeda.Komplikasi juga terjadi akibat tindakan insisi pada abses akibat perdarahan yang terjadi pada arteri supratonsilar.Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosisPTA diabaikan. Beratnya komplikasi tergantung dari progresivitas penyakit. Untuk itulah diperlukan penanganan dan intervensi sejak dini.



J.



PENATALAKSANAAN Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher. Antibiotik yang diberikan ialah penisilin 600.000-1.200.000 unit atau



10



ampisilin/amoksisilin 3-4 x 250-500 mg atau sefalosporin 3-4 x 250-500 mg, metronidazol 3-4 x 250-500 mg2. Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir. Intraoral incision dandrainase dilakukan dengan mengiris mukosa overlying abses, biasanya diletakkan di lipatan supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses menyebabkan perbaikan segera gejala-gejala pasien. Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri, diberikan analgesia lokal di ganglion sfenopalatum. Kemudian pasien dinjurkan untuk operasi tonsilektomi “a”chaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebuttonsilektomi “a” tiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses disebut tonsilektomi “a” froid. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses.14 Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yangmenderita abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya. Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan tonsilektomidilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis menganjurkantonsilektomi 6–8 minggu kemudian mengingat kemungkinan



terjadi



perdarahan



atau



sepsis,



sedangkan



sebagian



lagi



menganjurkantonsilektomi segera.10 Penggunaan steroids masih kontroversial. Penelitian terbaruyang dilakukan Ozbek



mengungkapkan



dexamethasone



pada



bahwa



antibiotik



penambahan parenteral



telah



dosis



tunggalintravenous



terbuktisecara



signifikan



mengurangi waktu opname di rumah sakit (hourshospitalized), nyeri tenggorokan (throat pain), demam, dan trismusdibandingkan dengan kelompok yang hanya diberi antibiotik parenteral.



K. PROGNOSIS



11



Abses peritonsil hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan tonsilektomi., maka ditunda sampai 6 minggu berikutnya. Pada saat tersebut peradangan telah mereda, biasanya terdapat jaringan fibrosa dan granulasi pada saat operasi.3



L. ANJURAN 1. Menjaga kebersihan mulut dengan cara menggosok gigi 3 x sehari. 2. Makan makanan bergizi, 4 sehat 5 sempurna. 3. Olahraga teratur minimal seminggu sekali.



BAB III KESIMPULAN







Abses peritonsil merupakan infeksi akut atau abses yang berlokasi dispatium peritonsiler, yaitu daerah yang terdapat di antara tonsil dengan m.kontriktor superior, biasanya unilateral dan didahului oleh infekrsi tonsilopharingitis akut







5-7 hari sebelumnya. Abses peritonsil paling sering terjadi pada umur 20-40 tahun.



12







Kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara







organisme aerobik dan anaerobic Gejala yang dikeluhkan pasien antara lain panas sub febris, disfagia dan odinofagia yang menyolok dan spontan, “hot potato voice”, mengunyah terasa sakit karena m. masseter menekan tonsil yang meradang, nyeri telinga (otalgia)ipsilateral, foetor ex orae, perubahan suara karena hipersalivasi dan banyak ludah yang menumpuk di faring, rinolalia aperta karena udem palatum molle (udem dapat terjadi karena infeksi menjalar ke radix lingua dan epiglotis = udem perifokalis), trismus (terbatasnya kemampuan untuk membuka rongga mulut) yang bervariasi, tergantung derajat keparahan dan progresivitas penyakit, trismus menandakan adanya inflamasi dinding lateral faring dan m. Pterigoid







interna, sehingga menimbulkan spasme muskulus tersebut Terapi dengan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik. Juga perlu kumurkumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher. Antibiotik yang diberikan ialah penisilin 600.000-1.200.000 unit atau ampisilin/amoksisilin 3-4 x 250-500 mg atau sefalosporin 3-4 x 250-500 mg,metronidazol 3-4 x 250-500 mg2. Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah.



DAFTAR PUSTAKA



1. Adrianto, Petrus. 1986. Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan, 296,308-309. EGC, Jakarta 2. Anonim.



Abses



Peritonsiler.



Available



from:



http://www.docstoc.com/docs/23337423/Abses-Peritonsiler . Diakses pada tanggal : 23 Agustus 2016. Pukul 20.00 3. Tortora, G.J dan Derrickson, B.H. 2014. Principles of Anatomy and Physiology 14 th Edition



13



4. Bailey, Byron J, MD. Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. In : Head and Neck



Surgey-Otolaryngology



2nd



Edition.



Lippincott_RavenPublisher.



Philadelphia. P :1224, 1233-34 5. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Applied anatomy and physiologymouth and pharynx. In: Richard AB (ed). Ear, Nose and Throat Disease, a pocket reference. 2nd rev.ed. New York: Thieme Flexibook 1994:307 -315 6. Efendi H: Penyakit-Penyakit Nasofaring Dan Orofaring. Dalam: Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi VI, EGC, Jakarta, 1997. Hal 333 7. Fachruddin, Darnila. Abses Leher Dalam. Dalam: Buku Ajar IlmuKesehatan, Telinga-Hidung-Tenggorokan Edisi V, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2006. Hal. 185 8. Gray RF, Hawthrorne M. Anatomy of the mouth and pharynx. In: Synopsisof Otolaryngology. 5th.ed. Singapore: Butterworth Heinemann 1992: 288 – 304. 9. Hasibuan R, A.H. Sp THT. Pharingologi, Jala Penerbit, Jakarta, 2004. hal.38, 55-8 10. Hatmansjah. Tonsilektomi. Cermin Dunia Kedokteran Vol. 89, 1993.Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, hal: 19-21. 11. 11.Iskandar H.N; Mangunkusumo E.H; Roezin A.H: Penyakit, Telinga,Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher, Binarupa Aksara, Jakarta, 1994.Hal 350-52 12. Preston, M. 2008. Peritonsillar Abscess (Quinsy). accessed: http://www.patient.co.uk/showdoc/40000961/ 13. Steyer, T. E. 2002. Peritonsillar Abscess: Diagnosis and Treatment.accessed: http://www.aafp.org/afp/20020101/93.html 14. Su WY, Hsu WC. Inferior pole Peritonsillar Abscess Successfully Treated With Non Surgical Approach In Four Cases. Tsu Chi Med J 2006:18:287-90. 15. Tan AJ. 2010. Peritonsillar abscess in emergency medicine. Availablefrom: http://emedicine.medscape.com/article/764188-overview diakses pada tanggal 23 Agustus 2016 pukul 21.00 WIB



14