LP Peritonsil [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

A. PENGERTIAN Abses peritonsil termasuk salah satu abses leher bagian dalam. Selain abses peritonsil,abses parafaring, abses retrofaring, dan angina ludovici (Ludwig’s angina), atau absessubmandibula juga termasuk abses leher bagian dalam. Abses leher dalam terbentuk di antara fascia leher dalam sebagai akibat perjalaran infeksidari berbagai sumber seperti gigi, mulut, tenggorokan, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Penjalaran infeksi disebabkan oleh perembesan peradangan melalui kapsula tonsil. Peradanganakan mengakibatkan terbentuknya abses dan biasanya unilateral. Gejala dan tanda klinik setempat berupa nyeri dan pembengkakan akan menunjukkan lokasi infeksi. Abses peritonsil adalah kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang peritonsil. Kuman penyebab sama dengan penyebab tonsilitis, dimana dapat ditemukan kuman aerob dananaerob. Tempat terjadinya abses biasanya adalah di bagian pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior, dan palatum superior. Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi padaumur 20-40. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistemimmunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan nafas yang signifikan pada anak-anak.Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Di Amerika insidentersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun, kemungkinan hampir 45.000 kasus setiap tahun. Abses peritonsil terbentuk karena penyebaran organisme bakteri dari tonsil atau daerahlain di sekitarnya. Sumber infeksi dapat berasal dari penjalaran tonsilitis akut yang mengalamisupurasi, menembus kapsul tonsil, maupun penjalaran dari infeksi gigi. Dalam hal ini infeksitelah menembus bagian kapsul tonsil, tetapi tetap dalam batas otot konstriktor faring. B. ANATOMI FISIOLOGI Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori. Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di faring yang terdiri dari tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil lingual, dan tonsil tubal.



1



A. Tonsil Palatina Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalamfosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas kedalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yangkosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil terletak di lateralorofaring. Dibatasi oleh: •



Lateral – muskulus konstriktor faring superior







Anterior – muskulus palatoglosus







Posterior – muskulus palatofaringeus







Superior – palatum mole







Inferior – tonsil lingual



Permukaan



tonsil



palatina



ditutupi



epitel



berlapis



gepeng



yang juga



melapisiinvaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di bawah jaringan 2



ikatdan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam stroma jaringan ikatretikular dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan bagian penting mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang jalur pembuluh limfatik. Noduli sering saling menyatu dan umumnya memperlihatkan pusat germinal. Fosa Tonsil Fosa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah otot palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan batas lateral atau dindingluarnya adalah otot konstriktor faring superior. Berlawanan dengan dinding otot yangtipis ini, pada bagian luar dinding faring terdapat nervus ke IX yaitu nervusglosofaringeal. Vaskularisasi Tonsil mendapat vaskularisasi dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu: 1. Arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri tonsilarisdan arteri palatina asenden 2. Arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden 3. Arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal 4. Arteri faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleharteri lingualis dorsal dan bagian posterior oleh arteri palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub atastonsil diperdarahi oleh arteri faringeal asenden dan arteri palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus darifaring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal. Aliran getah bening Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulussternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktustorasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada. 3



Persarafan Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX (nervusglosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves. Imunologi Tonsil Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit Bmembentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T pada tonsiladalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang. Limfosit B berproliferasi di pusat germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), komponen komplemen,interferon, lisozim dan sitokin berakumulasi di jaringan tonsilar. Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu epitel sel retikular, areaekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid dan pusat germinal pada folikellimfoid. Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu : •



Menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif







Sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T denganantigen spesifik.



B. Tonsil Faringeal (Adenoid) Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi.



4



C. Tonsil Lingual Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentumg losoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramensekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata.



C. PENYEBAB Infeksi tonsil berlanjut menjadi selulitis difusa dari daerah tonsil meluassampai palatum molle. Kelanjutan proses ini menyebabkan abses peritonsil.Kelainan ini dapat terjadi cepat, dengan onset awal dari tonsillitis atau akhir dari perjalanan penyakit tonsilitis akut. Biasanya unilateral dan kuman penyebab sama dengan tonsillitis, dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob. Kemungkinan abses peritonsil disebabkan oleh infeksi pada kripta difusa supra tonsil, dimanaukurannya besar, merupakan suatu kavitas seperti celah dengan tepi tak teratur dan berhubungan erat dengan bagian posterior dan bagian luar tonsil. Abses peritonsil juga terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsilitis. Biasanya unilateral dan lebih sering pada anak-anak yang lebih tua dan dewasa muda. Abses peritonsiler disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun yang bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes (Group A Betahemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organismeanaerob yang berperan adalah Fusobacterium Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobik. Sedangkan virus yang dapat menyebabkan abses peritonsil antara lain eipsten- barr, adenovirus, influenza A dan B, herpes simplex, dan parainfluenza.



5



D. MANIFESTASI KLINIS Pasien umumnya datang dengan riwayat faringitis akut bersama tonsillitis dan nyeri faring unilateral yang semakin bertambah. Pasien juga mengalami malaise, lemah dan sakit kepala. Mereka juga mengalami demam dan rasa penuh pada sebagian tenggorokan. Nyeri bertambah sesuai dengan perluasan timbunan pus. Otot pengunyah diselusupi oleh abses sehingga pasien sulit untuk membuka mulut yang cukup lebar (trismus) untuk pemeriksaan tenggorok. Menelan jadi sukar dan nyeri. Penyakit ini biasanya hanya pada satu sisi. Air ludah menetes dari mulut dan ini merupakan salah satu penampakan yang khas. Pergerakan kepala ke lateral menimbulkan nyeri, akibat infiltrasi ke jaringan leher di regio tonsil. Selain gejala dan tanda tonsilitis akut dengan odinofagia (nyeri menelan) yang lebih hebat biasanya pada satu sisi, juga terdapat nyeri telinga (otalgia), muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau (rinolalia) dan pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan.



E. PATOFISIOLOGI Patofisiologi penyakit ini belum diketahui dengan jelas. Ada beberapa teori yang mendukung, diantaranya teori mengenai progresivitas episode eksudatif tonsilitis menjadi peritonsilitis lalu terjadi pembentukan abses. Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang. Pada stadium permulaan, (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Tonsil terdorong ke tengah, depan, dan bawah, uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral. Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru. Perluasan proses inflamasi dapat terjadi baik pada pasien tonsilitis yang diobati maupun yang tidak diobati. Abses peritonsil juga terjadi secara de novu tanpa adanya riwayat tonsilitis kronis atau tonsilitis berulang. Abses peritonsil juga dapat terjadi akibat 6



infeksi mononukleosis, virus Epstein-barr. Teori lain menyatakan hubungan abses peritonsil dengan glandula weber. Kelenjar-kelenjar ludah minor ini ditemukan pada daerah peritonsil dan diperkirakan membantu membersihkan debris dari tonsil. Jika terjadi obstruksi akibat adanya infeksi tonsil, jaringan nekrosis, dan terjadi pembentukan abses maka terjadilah abses peritonsil.



F. PATHWAY



7



G. PEMERIKSAAN PENUNJANG Prosedur



diagnosis



dengan



melakukan



Aspirasi



jarum



(needle



aspiration).Tempat aspiration dibius / dianestesi menggunakan lidocaine dengan epinephrinedan jarum besar (berukuran 16–18) yang biasa menempel pada syringe berukuran10cc. Aspirasi material yang bernanah (purulent) merupakan tanda khas, danmaterial dapat dikirim untuk dibiakkan. Pemeriksaan penunjang lainnya : 1. Hitung



darah



lengkap



(complete



blood



count),



pengukuran



kadar



elektrolit(electrolyte level measurement), dan kultur darah (blood cultures). 2. Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengantonsillitis dan bilateral



cervical



lymphadenopathy.



Jika hasilnya



positif,penderita



memerlukan evaluasi/penilaian hepatosplenomegaly. Liverfunction tests perlu dilakukan pada penderita dengan hepatomegaly. 3. “Throat



culture”



untukidentifikasi untukpemilihan



atau



“throat



swab



yang



infeksius.



organisme antibiotik



yang



tepat



and



dan



culture”:



diperlukan



Hasilnya



dapat



digunakan



efektif,



untuk



mencegah



timbulnyaresistensi antibiotik. 4. Plain radiographs: pandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft tissueviews) dari nasopharynx dan oropharynx dapat membantu dokter dalammenyingkirkan diagnosis abses retropharyngeal. 5. Computerized



tomography



(CT



scan):



biasanya



tampak



kumpulan



cairanhypodense di apex tonsil yang terinfeksi (the affected tonsil), dengan“peripheral rim enhancement”. 6. Ultrasound, contohnya: intraoral ultrasonography



H. PENATALAKSANAAN Pada



stadium



infiltrasi,



diberikan



antibiotika



dosis



tinggi



dan



obatsimtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin padaleher. Antibiotik yang diberikan ialah penisilin 600.000-1.200.000 unit atauampisilin/amoksisilin 3-4 x 250-500 mg atau sefalosporin 3-4 x 250-500 mg,metronidazol 3-4 x 250-500 mg2. Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsipada 8



daerah abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisiialah di daerah



yang paling



menonjol



dan



lunak,



atau



pada



pertengahan



garis



yangmenghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir. Intraoral incision dandrainase dilakukan dengan mengiris mukosa overlying abses, biasanya diletakkan di lipatan supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses menyebabkan perbaikan segera gejala-gejala pasien. Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri, diberikan analgesialokal di ganglion sfenopalatum. Kemudian pasien dinjurkan untuk operasi tonsilektomi “a” chaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainaseabses disebut tonsilektomi “a” tiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudahdrainase



abses



disebut tonsilektomi “a” froid. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses. Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita absesperitonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya. Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat inibelum ada kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 6–8 minggu kemudian mengingat kemungkinan



terjadi



perdarahan



atau



sepsis,



sedangkan



sebagian



lagi



terbaru



yang



menganjurkan tonsilektomi segera. Penggunaan



steroids



masih



kontroversial.



Penelitian



dilakukan Ozbek mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal intravenous dexamethasone pada antibiotik parenteral telah terbukti secara signifikan mengurangi



waktu



opname



di



rumah



sakit



(hours



hospitalized),



nyeri



tenggorokan(throat pain), demam, dan trismus dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberi antibiotik parenteral.



I. FOKUS PENGKAJIAN KEPERAWATAN A. Pengkajian Informasi dari pasien (anamnesis) sangat diperlukan untuk menegakkandiagnosis abses



peritonsiler.



Adanya



riwayat



pasien



mengalami



nyeri



padatenggorokan adalah salah satu yang mendukung terjadinya abses peritonsilar. Riwayat adanya faringitis akut yang disertai tonsilitis dan rasa kurang 9



nyamanpada pharingeal unilateral. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan tonsilitis akutdengan asimetri faring sampai dehidrasi dan sepsis. Didapatkan pembesaran dannyeri tekan pada kelenjar regional. Pada pemeriksaan kavum oral terdapateritema, asimetri uvulakontralateral. Dan



palatum



mole, eksudasitonsil, dan



pergeseran



pada palpasi palatum molle teraba fluktuasi.



Nasofaringoskopidan laringoskopi fleksibel direkomendasikan pada pasien yang mengalamikesulitan bernapas, untuk melihat ada tidaknya epiglotitis dan supraglotis. 1.



Identitas pasien



2.



Riwayat kesehatan sekarang:mengalami malaise, lemah dan sakit kepala, demam,



rasa



penuh



ditenggorokan, nyeri, sulit membuka mulut, susah



menelan, nyeri telinga,muntah, mulut berbau, banyak ludah, dan suara sengau. 3.



Riwayat kesehatan dahul :Pernah menderita tonsilitis dan caries dentis.



4.



Riwayat kesehatan keluarga:Penyakit yang berhubungan dengan telinga hidung dan tenggorokan.



5.



Pemeriksaan fisik: Head to toe, tapi lebih fokus ke telinga hidung dan tenggorokan.



6.



Pemeriksaan penunjang: Nilai laboratorium



B. Diagnosa Keperawatan Beberapa diagnosa yang mungkin dapat ditegakkan dari data yang ada antara lain : 1. Gangguan menelan berhubungan dengan gangguan neuromuskuler 2. Nyeri akut berhubungan dengan faktor biologis 3. Ketidakefektifan termoregulasi berhubungan dengan penyakit 4. Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d akumulasi eksudat



10



C. RENCANA KEPERAWATAN



No 1



Diagnosa keperawatan Gangguan berhubungan neuromuskula



menelan dengan



Tujuan



Intervensi Keperawatan



Nutritional status: Adequacy of nutrient b. Nutritional Status : food and Fluid Intake Setelah dilakukan tindakan keperawatan gangguan menelan teratasi dengan indikator : 1.Dapat mencapai asupan nutrisi yang adekuat 2.Mempertahankan hyiene mulut 3.Teknik Makan yang benar



11



 Kaji adanya alergi makanan  Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien  Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi  Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian.  Monitor lingkungan selama makan  Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selama jam makan  Monitor turgor kulit  Monitor kemampuan mengunyah  Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan konjungtiva  Monitor intake nuntrisi  Informasikan pada klien dan keluarga tentang manfaat nutrisi  Atur posisi semi fowler atau fowler tinggi selama makaN  Anjurkan banyak minum  Pertahankan terapi IV line  Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik papila lidah dan cavitas oval



2.



3.



Nyeri akut berhubungan dengan faktor biologis



Ketidakefektifan termoregulasi berhubungan dengan penyakit



 Pain Level,  pain control,  Comfort level Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pasien tidak mengalami nyeri, dengan kriteria hasil: Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang Tanda vital dalam rentang normal Tidak mengalami gangguan tidur



Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan Kurangi faktor presipitasi nyeri Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dala, relaksasi, distraksi, kompres hangat/ dingin Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri: ……... Tingkatkan istirahat Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapalama nyeri akan berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali



Thermoregulasi Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien menunjukkan : Suhu tubuh dalam batas normal dengan kreiteria hasil:



Monitor suhu sesering mungkin Monitor warna dan suhu kulit Monitor tekanan darah, nadi dan RR Monitor penurunan tingkat kesadaran



12



Suhu 36 – 37C Nadi dan RR dalam rentang normal Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing, merasa nyaman



4.



Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi eksudat



Status pernafasan : Ventilasi Status pernafasan : kepatenan jalan nafas Kriteria hasil : Frekuensi nafas pasien dalam batas normal Irama nafas normal Kedalaman inspirasi normal Penggunaan otot bantu nafas tidak ada Pasien mampu mengeluarkan sekret



13



Monitor WBC, Hb, dan Hct Monitor intake dan output Berikan anti piretik: Kelola Antibiotik: Selimuti pasien Berikan cairan intravena Kompres pasien pada lipat paha dan aksila Tingkatkan sirkulasi udara Tingkatkan intake cairan dan nutrisi Monitor TD, nadi, suhu, dan RR Catat adanya fluktuasi tekanan darah Monitor hidrasi seperti turgor kulit, kelembaban membran mukosa) Manajemen jalan nafas : Monitoring Monitor status pernafasan dan oksigenasi pasien Auskultasi suara nafas, cata area yang ventilasinya menurun atau tidak ada atau adanya suara tambahan Mandiri Lakukan fisioterapi dada sebagaimana mestinya Posisikan pasien untuk mengurangi sesak nafas Ajarkan pasien bagaimanacara meggunakan inhaler Ajarkan pasien cara batuk yang efektif Kolaborasi Kolaborasi pemberian bronkodilator



DAFTAR PUSTAKA Akhyar, yayan., Laringitis akut. http://yayanakhyar. wordpress.com/2009/09/16 /laringitisakut/. Accessed on 15 Mei 2010. Anurogo, Dito.



2008.



Tips Praktis Mengenali Abses Peritonsil.



Accessed:



http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=3&dn. Bailey, Byron J, MD. Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. In: Head and Neck Surgey-Otolaryngology 2nd Edition. Lippincott_Raven Publisher. Philadelphia. P :1224, 1233-34. Berger TJ, Shahidi H. retropharyngeal abscess. eMedicine Journal. Volume 2, Number 8 : http://author.emedicine.com/PED/topic2682.htm Engram, Barbara. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Medical bedah, Vol. 1 Fachruddin, Darnila. 2006. Abses Leher Dalam. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan, TelingaHidung-Tenggorokan. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. Mehta, Ninfa. MD. Peritonsillar Abscess. Available from. www.emedicine.com. Accessed at Mei 2010. NANDA International. Nanda International: Nursing Diagnoses 20122014. USA: Willey Blackwell Publicaton, 2012. Snell, S Richard. 2002. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. EGC; Jakarta. Soepardi,E.A, Iskandar, H.N, Abses Peritonsiler, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung dan Tenggorokan, Jakarta: FKUl, 200. Steyer, T. E. 2002. Peritonsillarn Abscess:



Diagnosis



and



Treatment.



accessed:



http://www.aafp.org/afp/20020101/93.html. Taylor, Cynthia M. 2010. Diagnosis Keperawatan; Dengan Rencana Asuhan. Edisi 10. Jakarta. EGC Wilkinson, Judith. M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta. EGC



14



15