Referat Akalasia 1 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN Akalasia esofagus adalah gangguan motilitas esofagus yang ditandai dengan tidak adanya peristaltik esofagus dan gangguan relaksasi sfingter esofagus bagian bawah. Penyebab pasti penyakit ini belum diketahui. Secara histopatologik kelainan ini ditandai dengan adanya degenerasi ganglia pleksus mienterikus. Akibat keadaan ini akan terjadi stasis makanan dan selanjutnya akan timbul pelebaran esofagus. Keadaan ini akan menimbulkan gejala dan komplikasi tergantung dari berat dan lamanya kelainan yang terjadi.1,2 Akalasia mulai dikenal oleh Thomas Willis pada tahun 1674. Pada awalnya keadaan ini diduga sebagai sumbatan di esofagus distal, sehingga dia melakukan dilatasi dengan tulang ikan paus dan mendorong makanan masuk ke dalam lambung. Pada tahun 1908, Henry Plummer melakukan dilatasi dengan kateter balon. Pada tahun 1913, Heller melakukan pembedahan myotomi yang terus dianut sampai sekarang. Namun, Penyebab dari akalasia ini masih belum diketahui dengan pasti. Teori-teori atas penyebab akalasia pun mulai bermunculan seperti suatu proses yang melibatkan infeksi, kelainan atau yang diwariskan atau genetik, sistim imun yang menyebabkan tubuh sendiri untuk merusak esophagus, dan proses penuaan atau proses degeneratif.2,3 Akalasia merupakan kasus yang jarang. Insidensi penyakit akalasia adalah sekitar 1:100.000 penduduk dan prevalensinya sekitar 10:100.000 penduduk dengan distribusi laki-laki perempuan sama. Tidak ada predileksi berdasarkan ras. Akalasia terjadi pada semua umur dengan kejadian dari lahir sampai dekade 7-8 dan puncak kejadian pada umur 30-60 tahun. Data Divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI didapatkan 48 kasus dalam kurun waktu 5 tahun (1984-1988). Sebagian besar kasus terjadi pada umur pertengahan dengan perbandingan jenis kelamin yang hampir sama. Di Amerika Serikat ditemukan sekitar 2000 kasus akalasia setiap tahun dan sebagian besarnya pada usia 25-60 tahun dan hanya sedikit pada anak-anak. Kelainan ini tidak diturunkan dan biasanya membutuhkan waktu bertahun-tahun hingga menimbulkan gejala.4,5 Akalasia esofagus merupakan penyakit yang progresif dengan gejala disfagia baik untuk makanan cair maupun padat, regurgitasi dan disertai dengan 1



nyeri dada. Regurgitasi makanan yang tidak tercerna sering bisa disalahartikan sebagai penyakit gastroesophageal reflux sehingga dapat menunda penegakkan diagnosis akalasia esofagus. Regurgitasi bisa terjadi saat makan, tak lama setelah makan, atau ketika perubahan posisi pasien seperti pada posisi telentang. Regurgitasi makanan yang tidak tercerna dilaporkan sekitar 60% pasien dan 40% mengalami nyeri dada. Sekitar 40% dari pasien juga mengalami heartburn, karena stasis dan fermentasi makanan di esofagus.3,5 Diagnosis



akalasia



esofagus



ditegakkan



berdasarkan



anamnesis,



pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang akalasia esofagus terus berkembang. Baru-baru ini, High-Resolution Manometry (HRM) telah menggantikan manometri konvensional sebagai gold standar yang telah digunakan selama bertahun-tahun. Berdasarkan Chicago Klasifikasi pada pasien dengan gangguan motilitas esofagus, ada tiga tipe akalasia esofagus yaitu tipe I dengan ciri adanya gangguan relaksasi dan pelebaran esofagus dengan minimal tekanan esofagus, tipe II dengan ciri terdapatnya tekanan di seluruh esofagus dan tipe III dengan ciri adanya kontraksi spastik di segmen esofagus distal. Pasien dengan tipe II akalasia memiliki prognosis yang terbaik, karena mereka lebih mungkin untuk diterapi dengan Pneumatic Dilatation (PD) atau Laparoscopi Heller Myotomy (LHM) dibandingkan pasien dengan akalasia tipe I atau akalasia tipe III.6,7,8 Terapi akalasia esofagus pun terus berkembang. Terapi dapat berupa farnakoterapi maupun non-farmakoterapi. Per-oral endoscopic myotomy (POEM) merupakan myotomi dengan pendekatan endoskopi yang pertama kali diperkenalkan pada manusia pada tahun 2010. Pendekatan terapi baru ini semakin banyak digunakan di seluruh dunia. Studi-studi tentang terapi POEM ini pun sudah banyak dilakukan. Barbirie et al (2015) melekukan studi meta analisi tentang efikasi dan keamananan POEM untuk terapi akalasia esofagus. Studi ini menyimpulkan bahwa POEM merupakan modalitas terapi endoskopik yang sangat layak dan efektif untuk akalasia esofagus, tapi POEM seharusnya dilakukan di pusat-pusat yang mampu mengobati komplikasi POEM, seperti pneumothorax atau pneumoperitoneum. 9,10



2



Walaupun penyakit ini jarang terjadi tapi kita harus bisa mengenali dan mengatasi penyakit ini karena komplikasi yang ditimbulkan dari penyakit ini sangat mengancam nyawa seperti obstruksi saluran pernapasan sampai sudden death. Ilmu pengetahuan dan teknologi tentang akalasia esofagus ini pun juga berkembang dengan baik. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mengetahui penegakan diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat dari akalasia esofagus, sehingga dapat menatalaksana pasien dengan baik.7



3



BAB 2 AKALASIA ESOFAGUS 2.1. Definisi Akalasia esofagus adalah gangguan motilitas esofagus yang penyebabnya tidak diketahui yang ditandai dengan aperistaltik esofagus dan gangguan relaksasi sfingter esofagus bagian bawah. Secara histopatologik kelainan ini ditandai oleh degenerasi ganglia pleksus mienterikus. Berdasarkan Chicago klasifikasi pada pasien dengan gangguan motilitas esofagus dengan pemeriksaan high-resolution manometry (HRM) yaitu akalasia tipe I, II dan tipe III.1,8 Akalasia esofagus



tipe I dengan ciri adanya gangguan relaksasi dan



pelebaran esofagus dengan minimal tekanan esofagus, tipe II



dengan ciri



terdapatnya tekanan di seluruh esofagus dan tipe III dengan ciri adanya kontraksi spastik di segmen esofagus distal. Pasien dengan tipe II akalasia memiliki prognosis yang terbaik, karena mereka lebih mungkin untuk diterapi dengan Pneumatic Dilatation (PD) atau Laparoskopi Heller Myotomy (LHM) dibandingkan pasien dengan akalasia tipe I atau tipe III.7,8 2.2. Epidemiologi Akalasia merupakan kasus yang jarang. Insidensi dari penyakit akalasia ini adalah sekitar 1:100.000 penduduk dan dengan prevalensi sekitar 10:100.000 penduduk dengan distribusi laki-laki perempuan sama. Tidak ada predileksi berdasarkan ras. Akalasia terjadi pada semua umur dengan kejadian dari lahir sampai dekade 7-8 dan puncak kejadian pada umur 30-60 tahun.5 Data Divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI didapatkan 48 kasus dalam kurun waktu 5 tahun (1984-1988). Sebagian besar kasus terjadi pada umur pertengahan dengan perbandingan jenis kelamin yang hampir sama. Di Amerika Serikat ditemukan sekitar 2000 kasus akalasia setiap tahun dan sebagian besarnya pada usia 25-60 tahun dan hanya sedikit pada anakanak. Kelainan ini tidak diturunkan dan biasanya membutuhkan waktu bertahuntahun hingga menimbulkan gejala.4,5



4



2.3. Anatomi dan Fisiologi Esofagus Esofagus adalah suatu saluran otot vertikal yang menghubungkan hipofaring dengan lambung. Ukuran panjangnya 23-25 cm dan lebarnya sekitar 2 cm (pada keadaan yang paling lebar) pada orang dewasa. Esofagus dimulai dari batas bawah kartilago krikoidea kira-kira setinggi vertebra servikal VI. Dari batas tadi, esofagus terbagi menjadi tiga bagian yaitu, pars cervical, pars thoracal dan pars abdominal. Esofagus kemudian akan berakhir di orifisium kardia gaster setinggi vertebra thoracal XI. Terdapat empat penyempitan fisiologis pada esofagus



yaitu,



penyempitan



sfingter



krikofaringeal,



penyempitan



pada



persilangan aorta (arkus aorta), penyempitan pada persilangan bronkus kiri dan penyempitan diafragma (hiatus esofagus). 11



Gambar 2.1. Anatomi Esofagus 11



Dinding esofagus terdiri dari 3 lapisan yaitu mukosa yang merupakan epitel skuamosa, submukosa yang terbuat dari jaringan fibrosa elastis dan merupakan lapisan yang terkuat dari dinding esofagus, otot-otot esofagus yang terdiri dari otot sirkuler bagian dalam dan longitudinal bagian luar dimana 2/3 bagian atas dari esofagus merupakan otot skelet dan 1/3 bagian bawahnya merupakan otot polos.11,12 Pada bagian leher, esofagus menerima darah dari a. karotis interna dan trunkus tyroservikal. Pada bagian mediastinum, esofagus disuplai oleh a. esofagus dan cabang dari a. bronkial. Setelah masuk ke dalam hiatus esofagus, esofagus 5



menerima darah dari a. phrenicus inferior dan bagian yang berdekatan dengan gaster di suplai oleh a. gastrica sinistra. Darah dari kapiler-kapiler esofagus akan berkumpul pada v. esofagus, v. thyroid inferior, v. azygos, dan v. gastrica. Esofagus diinervasi oleh persarafan simpatis dan parasimpatis (nervus vagus) dari pleksus esofagus atau yang biasa disebut pleksus mienterik Auerbach yang terletak di antara otot longitudinal dan otot sirkular sepanjang esofagus.11 Esofagus mempunyai 3 bagian fungsional. Bagian paling atas adalah upper esophageal sphincter (sfingter esofagus atas), suatu cincin otot yang membentuk bagian atas esofagus dan memisahkan esofagus dengan tenggorokan. Sfingter ini selalu menutup untuk mencegah makanan dari bagian utama esofagus masuk ke dalam tenggorokan. Bagian utama dari esofagus disebut sebagai badan dari esofagus, suatu saluran otot yang panjangnya kira-kira 20 cm.11,12 Bagian fungsional yang ketiga dari esofagus yaitu lower esophageal sphincter (sfingter esophagus bawah), suatu cincin otot yang terletak di pertemuan antara esofagus dan lambung. Seperti halnya sfingter atas, sfingter bawah selalu menutup untuk mencegah makanan dan asam lambung untuk kembali naik/regurgitasi ke dalam badan esofagus. Sfingter bagian atas akan berelaksasi pada proses menelan agar makanan dan saliva dapat masuk ke dalam bagian atas dari badan esofagus. Kemudian, otot dari esofagus bagian atas yang terletak di bawah sfingter berkontraksi, menekan makanan dan saliva lebih jauh ke dalam esofagus. Kontraksi yang disebut gerakan peristaltik ini akan membawa makanan dan saliva untuk turun ke dalam lambung. Pada saat gelombang peristaltik ini sampai pada sfingter bawah, maka akan membuka dan makanan masuk ke dalam lambung.11,12 Esofagus berfungsi membawa makanan, cairan, sekret dari faring ke gaster melalui suatu proses menelan, dimana akan terjadi pembentukan bolus makanan dengan ukuran dan konsistensi yang lunak, proses menelan terdiri dari tiga fase yaitu, fase oral, fase pharingeal, dan fase esofageal. Fase oral yaitu makanan dalam bentuk bolus akibat proses mekanik bergerak pada dorsum lidah menuju orofaring, palatum mole dan bagian atas dinding posterior faring terangkat. Fase pharyngeal yaitu terjadi refleks menelan (involuntary), faring dan laring bergerak ke atas oleh karena kontraksi m. Stilofaringeus, m. Salfingofaring, m. Thyroid dan 6



m. Palatofaring, aditus laring tertutup oleh epiglotis dan sfingter laring. Fase oesophageal yaitu fase menelan (involuntary) perpindahan bolus makanan ke distal oleh karena relaksasi m. Krikofaring, di akhir fase sfingter esofagus bawah terbuka dan tertutup kembali saat makanan sudah lewat.11,12 2.4. Etiopatogenesis Penyebab pasti daari penyakit akalasia esofagus ini sampai sekarang belum diketahui. Secara histologik, ditemukan kelainan berupa degenerasi sel ganglion plexus Auerbach sepanjang esofagus pars torakal. Berdasarkan etiologi, akalasia esofagus ini dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu akalasia primer dan akalasia sekunder.1,2 Akalasia primer yaitu akalasia esofagus dimana penyebab yang jelas kelainan ini tidak diketahui dan diduga disebabkan oleh virus neurotropik yang berakibat lesi pada nukleus dorsalis vagus pada batang otak dan ganglia mienterikus pada esofagus. Akalasia sekunder yaitu akalasia esofagus dimana kelainan ini dapat disebabkan oleh infeksi seperti penyakit chagas, tumor intraluminer seperti tumor kardia atau pendorongan ekstraluminer seperti pseudokista



pankreas.



Kemungkinan



lain



dapat



disebabkan



oleh



obat



antikolinergik atau paska vagotomi.2 Etiologi akalasia primer masih belum diketahui, namun beberapa hipotesis menyatakan akalasia disebabkan karena genetika, infeksi virus, autoimun, dan neurodegenerasi. Setiap hipotesis berusaha menghubungkan dengan tidak adanya ganglia pleksus myentericus di esophagus, meskipun terdapat kemungkinan bahwa teori– teori tersebut terjadi bersamaan.1,2 Teori pertama adalah teori genetika. Kasus akalasia pada anak dan karena keturunan sangat jarang. Sehingga teori genetika tidak mendukung sebagai penyebab akalasia primer. Beberapa kasus akalasia lahir dari orang tua atau kerabat dengan akalasia telah dilaporkan. Hanya ada satu laporan kasus kembar monozigot dengan akalasia yaitu Sindrom Allgrove. merupakan penyakit resesif autosomal pada anak-anak dengan gejala alacrima, insufisiensi adrenal, keterbelakangan mental, dan neuropati otonom dan perifer.1,2 Teori hipotesis infeksi viral juga berkembang sebagai salah satu etiologi akalasia esofagus. Sejumlah penelitian mengaitkan agen virus dalam patogenesis



7



akalasia. Etiologi ini tampaknya masuk akal mengingat distribusi usia pasien akalasia seragam. Selain itu, penyakit Chagas merupakan contoh patogen menular yang dapat menyebabkan akalasia. Sebuah laporan awal mencatat peningkatan signifikan secara statistik pada titer antibodi terhadap virus campak pada pasien dengan akalasia dibandingkan dengan kontrol, namun penelitian ini belum dibuktikan. 1,2 Virus lain yang di duga bearkaitan dengan akalasia adalah virus varicella – zoster. Penelitian terbaru lain menggunakan teknik polymerase chain reaction tidak mendeteksi adanya campak, herpes atau virus papiloma pada spesimen myotomy



pasien



akalasia.



Penelian



dengan



hasil



yang



negatif



tidak



mengesampingkan adanya specimen virus yang lain sebagai etiologi dari akalasia. Kemungkinan yang mendukung etiologi ini adalah penelitian terbaru yang menunjukkan immunoreaktif sel-sel inflamasi pasien akalasia sebagai respon terhadap antigen virus meskipun peneliti tidak dapat mendeteksi virus dalam sampel.1,2 Teori hipotesis autoimun dibangun atas adanya ditemukan infiltrasi inflamasi di esofagus yang terkena akalasia. Infiltrasi inflamasi pada pleksus myentericus terdapat pada 100% specimen. Adanya infiltrasi sel pada imunohistokimiawi ditandai dengan adanya sel T positif CD3 dan CD8. Infiltrasi eosinofilik yang signifikan juga dibuktikan pada beberapa pasien dengan akalasia.2 Teori hipotesis neurodegenerasi merupakan hipotesis ketiga yang diusulkan sebagai etiologi akalasia primer. Pada akalasia disebutkan terjadi hilangnya neuron dalam inti motorik vagal dan terjadi perubahan degeneratif dari serabut saraf vagal. Lesi yang dibuat secara eksperimental di batang otak dan saraf vagus pada hewan menghasilkan kelainan motilitas esofagus yang menyerupai akalasia. Sehingga peneliti berspekulasi tempat yang berkaitan dengan akalasia primer adalah di inti motorik dorsal dan saraf vagus yang menyebabkan kelainan myentericus sekunder. 1,2 Mayoritas penelitian patologis menemukan kelainan dominan akalasia di dalam pleksus myentericus dengan ditandai adanya berkurangnya atau tidak adanya sel ganglion serta adanya infiltrasi inflamasi plexus myenterikus. Defek di persarafan vagal diperkirakan menyebabkan kelainan klinis di luar esofagus 8



termasuk gangguan pengosongan lambung, yang jarang terlihat pada pasien akalasia. Sangat mungkin adanya perubahan neurodegeneratif di akalasia merupakan sekunder dari adnaya virus atau kerusakan karena autoimun diganglia enteric.1,2 2.5. Gejala klinis Gejala klini yang sering ditemukan pada penderita akalasia esofagus adalah adalah disfagia, regurgitasi, rasa terbakar dan nyeri substernal, serta penurunan berat badan. Disfagia merupakan keluhan utama dari penderita Akalasia. Disfagia dapat terjadi secara tiba-tiba setelah menelan atau bila ada gangguan emosi. Disfagia yang terjadi secara progresif dari makanan padat diikuti oleh makan cair sering menjadi keluhan pertama pada penderita akalasia esofagus dan terjadi pada 82% sampai100% pasien dengan akalasia esofagus.5,6 Regurgitasi dapat timbul setelah makan atau pada saat berbaring. Sering regurgitasi terjadi pada malam hari pada saat penderita tidur, sehingga dapat menimbulkan pneumonia aspirasi dan abses paru. Regurgitasi makanan yang tidak tercerna dilaporkan sekitar 60% pasien.5,6 Rasa terbakar dan nyeri substernal dapat dirasakan pada stadium permulaan. Heartbun pada akalasia esofagus terjadi pada 27 % sampai 42% pasien Pada stadium lanjut akan timbul rasa nyeri hebat di daerah epigastrium dan rasa nyeri ini dapat menyerupai serangan angina pektoris. Chest pain pada akalasia esofagus terjadi pada 17 % sampai 95% pasien. Penurunan berat badan terjadi karena penderita berusaha mengurangi makannya unruk mencegah terjadinya regurgitasi dan perasaan nyeri di daerah substernal. Gejala lain yang biasa dirasakan penderita adalah rasa penuh pada substernal dan akibat komplikasi dari retensi makanan.5,6 2.6. Diagnosis Diagnosis akalasia esofagus dibangun dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis akalasia esofagus sering dibingungkan dengan entitas yang lebih umum seperti gastroesophageal reflux disease (GERD). Diagnosis biasanya terlambat 2-3 tahun dari gejala awal. Pemeriksaan akalasia antara lain endoskopi gastrointestinal bagian atas, pemeriksaan radiologi 9



esofagogram, dan manometri esofagus. Gold standar penegakan diagnosis akalasia esofagus adalah manometri esofagus.5,6 Pemeriksaan endoskopi gastrointestinal bagian atas dilakukan dengan ketentuan untuk menyingkirkan adanya keganasan. Pada akalasia, pemeriksaan endoskopi menunjukkan adanya dilatasi esofagus dengan mukosa yang normal. Terdapat adanya cairan atau makanan yang tersisa. Selain itu pada akalasia dapat menunjukkan adanya infeksi kandida yang merupakan infeksi sekunder karena esofagus statis. Saat endoskop masuk melewati LES tekanan yang di berikan mudah dan lancar, tidak ada striktur yang disebabkan karena neoplasia atau fibrosis.5,7,13 Kesan adanya peristaltik esofagus dan LES pada pemeriksaan endoskopi tidak akurat. Kesan berkurangnya peristalsis dan LES tidak sensitif maupun spesifik. Retensi makanan di esofagus dapat dianggap sebagai parameter yang lebih spesifik dalam mendiagnosis akalasia, tetapi hanya terjadi pada pasien dengan penyakit lanjut dan gangguan transit yang berat. Candida esofagitis pada pasien kekebalan yang kompeten harus meningkatkan kecurigaan retensi esophagus.13 Pemeriksaan barium esofagogram pada pasien curiga akalasia merupakan tes diagnostik awal. Akurasi esofagogram untuk diagnosis akalasia adalah 95%. Pada stadium awal tak tampak adanya gelombang peristaltik primer, penyempian gastroesofageal junction hanya minimal dan kadang-kadang terlihat gelombang peristaltik nonpropusif di badan esofagus (‘vigorous achalasia’) dengan ditemukan gelombang sekunder sampai tersier. Pada akalasia progresif tampak gambaran bird’s beak di gastroesofageal junction dengan di bagian distalnya membentuk sudut sebelum masuk ke lambung.7,8 Fenomena hurst merupakan fenomena ketika pasien akalasia dilakukan pemeriksaan esofagram diposisikan berdiri, barium terletak di titik dimana tekanan hidrostatik barium diatas tekanan LES. Kadang-kadang karena dorongan barium, gastroesofageal junction terbuka. Esofagus yang mengalami dilatasi dan berliku-liku serta badan esofagus yang aperistaltik diasumsikan sebagai bentuk sigmoid.8



10



Gambar 2.2. Barium esofagogram pada akalasia7



Pada akalasia berat esofagus biasanya tampak melebar secara signifikan dan kadang-kadang berliku-liku, tidak kosong, dan terdapat makanan dan air liur yang tertahan menyebabkan gambaran air fluid level di bagian atas barium (gambar 8c). Esofagus distal ditandai adanya LES yang tertutup secara bertahap bentuk lonjong halus menyerupai paruh burung (bird’s beak), dan kadang-kadang terdapat divertikulum epifrenicus. Pada stadium lanjut seluruh esofagus mengalami atonik.7 Barium Esophagogram mempunyai kemampuan mengetahui gangguan fungsional akalasia, yaitu gangguan pengosongan esofagus. Pemeriksaan ini sangat sederhana dan dilakukan secara luas untuk pemeriksaan pre dan post terapi akalasia sejak tahun 1960. Namun beberapa peneliti berpendapat pemeriksaan ini hanya untuk mengevaluasi pasien post terapi dengan dilatasi. Peneliti lain menunjukkan adanya hubungan yang kurang baik antara perbaikan gejala dan temuan radiografi.6,7 Manometri esofagus merupakan gold standard dalam penegakan diagnosis akalasia dan harus dilakukan pada setiap pasien yang akan dilakukan perawatan invasif seperti pelebaran pneumatik atau myotomy bedah. Karena akalasia hanya melibatkan otot polos esofagus, kelainan manometri terbatas pada 2/3 esofagus bagian distal3. Diagnosis akalasia diperlukan jika ditemukan tekanan LES yang meningkat pada fase istirahat, relaksasi LES inkomplet dan tidak adanya 11



peristaltik6. Menurut Ritcher et al, sekurangnya ditemukan 2 abnormalitas patognomonik pada pasien akalasia, yaitu: aperistalsis dan relaksasi LES abnormal.8,14 Relaksasi abnormal LES terlihat di semua pasien akalasia. Relaksasi abnormal dapat berupa tidak adanya relaksasi LES atau relaksasi inkomplet saat menelan (70%-80%) dan relaksasi komplet namun lebih pendek (< 6 detik). Tekanan LES istirahat meningkat pada sekitar 50 % pasien dengan akalasia.5,15 LES yang tidak mengalami relaksasi biasanya mempunyai tekanan LES > 8 mmH). Rata-rata tekanan puncak esofagus selama menelan digunakan membedakan akalasia klasik dan akalasia kuat (vigorous achalasia). Vigorous achalasia didefinisikan sebagai rata-rata kontraksi amplitudo di atas 37 mmHg.6,7,14 Pemeriksaan tekanan LES dengan manometri memiliki negatif palsu 48%. Adanya manometri resolusi tinggi membantu membuat diagnosis akalasia secara teliti



dengan mengevaluasi



LES



dan relaksasi



esofagogastric junction



menggunakan tekanan relaksasi terintegrasi. Terdapat 3 pola akalasia berdasar pemeriksaan manometri resolusi tinggi, yaitu : Tipe I – Gangguan relaksasi dengan pelebaran esofagus namun tekanan esofagus diabaikan. Tipe II – Terdapat tekanan di seluruh esofagus dan Type III – Adanya kontraksi spastik di segmen esofagus distal.6,7,14



Gambar 2.3. Tiga subtipe akalasia berdasarkan pemeriksaan manometri 14



12



Pandolfino et al (2013) dalam studinya tentang menajemen akalasia esofagus, membuat sebuah algoritma diagnosis akalasia esofagus pada pasien dengan keluhan disfagia, nyeri dada, dan adanya regurgitasi.Algoritma tersebut dapat dilihat pada gamabar dibawah ini.6



Gambar. 2.4. Algoritma diagnosis akalasia esofagus 6



13



BAB 3 TATALAKSANA AKALASIA ESOFAGUS Akalasia esofagus merupakan gangguan motilitas esofagus yang ditandai dengan tidak adanya peristaltik esofagus dan gangguan relaksasi sfingter esofagus bagian bawah dan secara histopatologik kelainan ini ditandai dengan adanya degenerasi ganglia pleksus mienterikus. Terapi yang mampu mengembalikan aktivitas peristaltik esofagus dan memperbaiki gangguan relaksasi spingter esofagus bagian bawah belum ada. Walaupun demikian terapi yang selama ini diberikan adalah untuk mengurangi tekanan spingter esofagus bawah dengan tiga tujuan utama yaitu menghilangkan gejala akalasia esofagus terutama disfagia dan regurgitasi, memperbaiki pengosongan esofagus, dan mencegah terjadinya megaesofagus.1,5 Modalitas terapi yang akalasia esofagus terus berkembang. Modalitas terapi tersebut memiliki efikasi dan keamanan yang berbeda-beda. Terapi tersebut seperti



farmakoterapi



oral,



farmakologi



via



endoskopi



atau



injeksi



BotulinumTtoksin (Botox), Pneumatic Dilatation (PD), terapi bedah myotomi seperti Laparascopic Heller Myotomy (LHM), dan yang terbaru adalah Peroral Endoscopic Myotomi (POEM). Pilihan modalitas terapi juga tergantung pada kondisi pasien yang memiliki resiko terhadap tindakan operasi. Pasien dengan tinggi resiko operasi dapat diterapi dengan farmakoterapi baik oral maupun via endoskopi.7,8 Keberhasilan terapi akalasia esofagus dapat dilihat dari hilang atau berkurangnya gejala klinis yang dialami pasien baik jangka pendek maupun jangka lama. Perbaikan klinis akalasia esofagus pasca terapi dapat dinilai dengan penurunan nilai Eckardts score. Komponen penilaiannya adalah perbaikan gejala dispagia, regurgitasi, chest pain dan berat badan. Skor kecil sama tiga menunjukan keberhasilan terapi akalasia esofagus.7 Tabel. 3.1. Eckardts score7



14



3.1. Farmakoterapi oral Terapi farmakologis oral pada penatalaksanaan akalasia merupakan pilihan pengobatan yang tidak begitu banyak memberikan perbaikan dan hanya bersifat sementara. Obat-obatan golongan calcium channel blocker (CCB) dan nitrat long acting adalah dua obat yang paling umum digunakan untuk mengobati akalasia esofagus. Obat ini hanya bersifat sementara mengurangi tekanan LES dengan merelaksasi otot polos spingter bawah esofagus dan memfasilitasi pengosongan esofagus.5,15 Calcium channel blocker menurunkan tekanan spingter bawah esofagus sekitar 13-49% dan memperbaiki gejala pasien sekitar 0-75%. Calcium channel blocker yang paling umum digunakan adalah nifedipin dengan efek maksimum tercapai setelah konsumsi 20-45 menit dan durasi kerja mulai dari 30 sampai 120 menit. Oleh karena itu, nifedipin sublingual dapat dikonsumsi 30-45 menit sebelum makan dengan dosis 10-30 mg untuk respon terbaik.5,15 Sublingual isosorbid dinitrat juga efektif dalam menurunkan tekanan spingter bawah esofagus sekitar 30-65% dan memperbaikan gejala sekitar 5387%. Sublingual isosorbide dinitrate memiliki waktu yang lebih singkat untuk mengurangi tekanan spingter bawah esofagus sekitar 3-27 menit dari nifedipin sublingual tetapi juga memiliki durasi kerja yang lebih pendek. Oleh karena itu, sublingual isosorbid dinitrat dengan dosis 5 mg biasanya diberikan sekitar 10-15 menit sebelum makan.5 Studi banding dari efek nifedipin sublingual dengan isosorbid dinitrat sublingual mendapatkan hasil tidak memiliki perbedaan yang signifikan dalam penurunan tekanan spingter bawah esofagus. Respon klinis dari obat-obatan ini bekerja singkat dengan efek samping seperti sakit kepala, hipotensi, dan pedal edema. Selain itu, obat ini tidak memberikan bantuan lengkap gejala. Obat-obatan ini umumnya digunakan untuk pasien dengan akalasia yang tidak bisa atau menolak untuk menjalani terapi yang mempunyai efikasi yang baik seperti PD dan myotomi dan mereka yang telah gagal dengan terapi suntikan toksin botulinum.5 Obat lain yang juga digunakan untuk akalasia esofagus adalah Phosphodiesterase-5 inhibitor seperti sildenafil. Obat ini juga mampu menurunkan tekanan spingter bawah esofagus pada pasien dengan akalasia. Obat-obat lain yang juga digunakan dan termasuk antikolinergik adalah seperti dicyclomine dan 15



cimetropium bromide, β-adrenergik agonis (terbutalin), dan teofilin. Society of American Gastrointestinal and Endoscopic Surgeons (SAGES) tahun 2014 menyatakan, karena keterbatasan efikasi dari farmako terapi oral, terapi ini hanya direkomendasikan pada fase-fase awal akalasia esofagus, terapi sementara ketika menunggu terapi definitif, atau pada pasien yang tidak bisa menjalani terapi akalasia esofagus yang lainnya.15,16 3.2. Farmakoterapi via Endoskopi Botulinum toksin (Botox) sebagai inhibitor presinaptik ampuh pelepasan asetilkolin dari ujung saraf pada plexus mienterikus pertama kali diperkenalkan pada tahun 1980. Keberhasilan terapi injeksi botox pada akalasia esofagus pertama kali dilaporkan oleh parischa et al pada tahun 1994. Studi ini melibatkan 20 orang pasien dengan akalasia esofagus. Studi ini mendapatkan hasil efikasi yang baik pada 90% pada 1 bulan pasca terapi dan 67% pada 6 bulan pasca terapi. Studi ini menyimpulkan bahwa injeksi botox pada spingter esofagus bawah efektif dan aman untuk terapi akalasia esofagus dan hasil ini bertahan sampai beberapa bulan.17,18 Yamaguchi et al (2015) melakukan studi efikasi dan keamanan penggunaan injeksi botox pada akalasia esofagus di Jepang. Studi ini melibatkan 10 orang pasien dengan akalasia esofagus dan injeksi 100 unit toksin pada spingter esofagus bawah. Studi ini menilai perbaikan tekanan spingter esofagus bawah sebelum dan satu minggu pasca tindakan dan mendapatkan hasil penurunan tekanan spingter esofaagus bawah dan penurunan eckardst score secara siknifikan pasca terapi dengan tanpa komplikasi. Studi ini menyimpulkan bahwa injeksi botox pada spingter esofagus bawah efektif dan aman untuk terapi akalasia esofagus.19 Botulinum toksin (Botox) adalah inhibitor presinaptik ampuh pelepasan asetilkolin dari ujung saraf yang telah terbukti menjadi pengobatan berguna dalam akalasia. Toksin membelah protein (SNAP-25) yang terlibat dalam sekering vesikel presinaptik yang mengandung acetylcholine yang menghubungkan membran plasma neuron dengan otot sasaran. Hal ini berefek pada terhambatnya eksositosis asetilkolin ke daerah sinaptik dan menyebabkan kelumpuhan jangka pendek otot dengan menghalangi stimulasi kolinergik dari spingter bawah esofagus. Efek ini akan mengganggu komponen neurogenik dari sfingter dengan 16



tetap mempertahankan tekanan basal spingter bawah esofagus. Efek obat ini mampu menurunkan 50% tekanan spingter bawah esofagus. Penurunan ini sudah cukup untuk mengurangi gejala akalasia esofagus.15,17



Gambar 3.1. Mekanisme kerja botulinum toxin15



Injeksi botulinum toxin menggunakan endoskopi, toksin diinjeksi dengan memakai jarum skleroterapi yang dimasukkan ke dalam dinding esophagus dengan sudut kemiringan 45°, dimana jarum dimasukkan sampai mukosa kira-kira 1-2 cm di atas squamocolumnar junction. Lokasi penyuntikan jarum ini terletak tepat di atas batas proksimal dari spingter bawah esofagus dan toksin tersebut diinjeksi secara caudal ke dalam sfingter. Dosis efektif yang digunakan yaitu 80100 unit/mL yang dibagi dalam 20-25 unit/mL untuk diinjeksikan pada setiap kuadran dari LES.17



17



Gambar 3.2. Metade injeksi Botulinum Toxin (Botox)17



Injeksi diulang dengan dosis yang sama 1 bulan kemudian untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Namun demikian, terapi ini mempunyai efikasi yang terbatas, sekitar 40% pasien mengalami relap dalam 6 bulan setelah terapi, persentasi ini selanjutnya naik menjadi 70%, walaupun setelah beberapa kali penyuntikan dua setengah tahun kemudian. Sebagai tambahan, terapi ini sering menyebabkan reaksi inflamasi pada bagian gastroesophageal junction, yang selanjutnya dapat menjadikan tindakan myotomi menjadi lebih sulit.5,17 Pemanfaatan injeksi toksin botulinum dibatasi untuk keadaan tertentu, seperti pada keadaan PD atau myotomi dianggap tidak tepat karena beresiko. Toksin botulinum dapat dipakai sebagai pengobatan tambahan pada pasien dengan kontraksi spastik residual atas tindakan myotomi. Terapi ini sebaiknya digunakan pada pasien lansia yang kurang bisa menjalani dilatasi atau pembedahan. Society of American Gastrointestinal and Endoscopic Surgeons (SAGES) tahun 2014 menyatakan injeksi botulinum toksin merupakan terapi yang aman, akan tetapi memiliki keterbatasan efikasi jangka panjang.5,16 3.3. Pneumatic dilatation (PD) Dilatasi sebagai terapi pada akalasia pertama kali diperkenalan oleh oleh Thomas Willis pada tahun 1674. Thomas Willis menggunakan tulang ikan paus sebagai dilator dan mendorong makanan masuk ke dalam lambung yang mengalami hambatan di esofagus. Saat sekarang, dilator yang banyak dipakai adalah polietilen mikrovasif dilator rigiflex. Pneumatic dilatation (PD) merupakan pilihan terapi nonsurgical paling efektif untuk pasien dengan akalasia. Pasien yang dipertimbangkan untuk PD juga harus siap untuk intervensi bedah jika teradi perforasi esofagus.5,18 18



Pneumatic dilatation (PD) menggunakan tekanan udara untuk mendilatasi lumen esofagus dan mengganggu serat otot sirkuler dari spingter bawah esofagus. Prosedur ini dilakukan dengan sedasi dan panduan fluoroscopy. Dilator dimasukan dalam tiga diameter balon yang berbeda yaitu 3.0, 3.5, dan 4.0 cm. Aspek yang paling penting dari PD adalah keahlian dari operator dan kesiapan untuk intervensi bedah dalam kasus perforasi. Posisi dilator yang akurat penting untuk efektivitas terapi. Pneumatic dilatation (PD) dilakukan sebagai prosedur rawat jalan dan pasien dapat dipulangkan setelah dilatasi.5,18



Gambar 3.3. Pneumatic dilatation dengan balon rigiflex18



Pneumatic dilatation (PD) telah menjadi bentuk terapi utama selama bertahun-tahun. Persentase keberhasilan jangka pendek adalah antara sekitar 70% - 80%, amun akan turun menjadi 50% dalam 10 tahun kemudian, walaupun setelah beberapa kali dilatasi. Komplikasi yang paling serius yang berhubungan dengan PD adalah perforasi esofagus dengan insiden sekitar 1,9%. Pasien yang menjalani PD harus menyadari risiko dan memahami bahwa intervensi bedah mungkin akan dilakukan sebagai akibat perforasi. Tidak ada prediktor predileksi perforasi.5,18 Terapi konservatif dengan antibiotik, nutrisi parenteral, dan stent mungkin efektif pada perforasi kecil, tapi tindakan bedah melalui torakotomi adalah yang terbaik pada perforasi besar dan luas. GERD dapat terjadi setelah PD sekitar 1535% pasien. PPI diindikasikan pada pasien dengan GERD setelah PD. PD juga dapat digunakan pada pasien yang gagal myotomi. Katzka et al (2011) melakukan studi tentang efikasi, kejadian perforasi, dan metode PD untuk terapi akalasia esofagus. Studi ini menyimpulkan bahwa PD merupakan metode terapi aman dan 19



baik untuk penatalaksanaan akalasia esofagus, walaupun dibutuhkan multipel dilatasi untuk mendapatkan hasil yang baik untuk jangka lama.19 Sinagara et al (2015) melakukan studi tentang efikasi PD pada pasien dengan akalasia esofagus di Italia. Studi ini melibatkan 20 orang pasien yang menderita akalasia esofagus. Studi ini dibagi 2 grup berdasarkan umur di bawah 50 tahun dan di atas 50 tahun. Hasil studi ini seluruh pasien mengalami remisi komplit dan tidak ada teradi komplikasi. Beberapa pasien mengalami rekurensi. Studi menyimpulkan bahwa PD merupakan terapi yang memiliki efikasi yang baik dan aman, walaupun teradi rekurensi, tetapi terapi redilatasi berhasil dilakukan.20 Cheng et al (2015) melakukan studi tentang efek klinis terapi PD pada pasien dengan akalasia esofagus di China. Studi ini melibatkan 35 orang pasien yang menderita akalasia esofagus. Pasien diikuti selama 10 tahun untuk melihat efek terapi jangka panjang PD pada pasien akalasia esofagus. Hasil studi ini 97,2% pasien mengalami remisi komplit pada 6 bulan pertama, dan hanya 40 % yang tidak mengalami rekurensi pada lebih dari 60 bulan. Studi menyimpulkan bahwa PD pada terapi akalasia esofagus memiliki respon yang bagus. Tindakannya simpel dan aman serta efektif.21 Elliott et al (2013) melakukan studi retrospektif tentang hasil terapi jangka lama terapi PD pada pasien dengan akalasia esofagus di Australia. Studi ini melibatkan 301 orang pasien yang menderita akalasia esofagus dan diterapi dengan PD. Hasil studi ini 82% pasien mengalami remisi selama 12 bulan pertama, 18% mengalami relap pada 2 tahun pertama, 41% pada pada 5 tahun pertama, 60% pada 10 tahun, dan insiden perforasi terjadi sebanyak 2 %. Studi menyimpulkan bahwa PD pada terapi akalasia esofagus, kejadian relap merupakan kejadian yang umum terjadi pada terapi dengan PD, dan dibutuhkan redilatasi untuk mendapatkan hasil yang baik.22 Society of American Gastrointestinal and Endoscopic Surgeons (SAGES) tahun 2014 menyatakan bahwa diantara terapi non operatif akalasia esofagus, PD merupakan modalitas terapi yang paling efektif, tetapi rawan terjadi komplikasi perforasi. Tindakan ini direkomendasikan pada keadaan pasien dengan resiko tinggi operasi. Jika dibandingkan dengan injeksi botulinum toxin, PD memiliki efikasi yang lebih baik. Hal ini didukung oleh studi Leyden et al (2014) yang melakukan studi perbandingan efikasi terapi injeksi botox dengan PD. Studi ini 20



menyimpulkan bahwa PD lebih efektif pada terapi akalasia esofagus dibandingkan dengan injeksi botulinum toxin.16,23 3.4. Terapi Bedah Myotomi Myotomi sebagai terapi bedah akhalasia esofagus pertama kali diperkenalkan oleh Heller pada tahun 1914. Myotomi dilakukan dalam 2 tahapan prosedur simultan melalui trans abdominal dan myotomi ektra mukosa pada dinding anterior dan posterior esofagus. Zaaijer pada tahun 1923, kemudian memodifikasi tindakan ini dengan hanya melakukan myotomi pada dinding anterior esofagus dan berhasil diterapkan dengan hasil yang pada 8 pasien yang menderita akalasia esofagus.6,7,24 Myotomi dilakukan secara operasi terbuka melalui trans torakal dan trans abdominal. Masalah utama yang dihadapi pada waktu itu adalah tindakan ini telah sukses



mengurangi gejala disfagia, akan tetapi terjadi peningkatan insiden



Gastroesofageal Reflux Disease (GERD) pasca operasi. Pada tahun 1962, Dor melakukan tindakan anterior fundoplikasi pada trans abdominal myotomi untuk meminimalkan kejadian GERD pasca tindakan myotomi. Semenjak tindakan ini diperkenalkan, presedur ini terus dilakukan dan dilaporkan berhasil mengurangi kejadian GERD pasca tindakan Myotomi.6,7,24 Pada tahun 1991, minimal invasif myotomi dengan tharakoskopi mulai diperkenalkan di Amerika Serikat. Pelegrini et al (1992), pertama kali melaporkan minimal invasif myotomi pada 17 pasien yang diterapi dengan 15 orang dengan thorakoskopi myotomi dan 2 orang dengan laparoskopik myotomi. Tindakan ini berhasil mengurangi gejala disfagia pada 82% pasien. Tindakan ini selanjutnya lebih dikenal dengan nama Laparacopic Heller Myotomi (LHM).24 Society of American Gastrointestinal and Endoscopic Surgeons (SAGES) tahun 2014, merekomendasikan laparaskopi myotomi sebagai terapi pasien dengan akalasia esofagus dengan tanpa kontraindikasi opearasi. Laporaskopi myotomi mempunyai efikasi yang baik dalam mengurangi gejala disfagia pada penderita akhalasia esofagus dalam jangka waktu yang lama. Tindakan ini dapat dibarengi dengan tindakan fundoplikasi untuk mengurangi kejadian GERD pasca tindakan.16



21



Kiudelis et al (2011) melakukan studi perbandingan terapi Laparascopi Heller Myotomi (LHM) dengan dilatasi pneumatik pada pasien akalasia esofagus. Studi ini melibatkan 46 pasien, 23 orang diterapi dengan endoskopi dilatasi pneumatik dan 23 orang lagi dengan laparaskopi myotomi dengan parsial fundoplikasi. Studi ini menilai perbaikan gejala disfagia jangka lama dan kejadian heartbun pasca tindakan. Hasil studi ini menunjukan laparaskopi myotomi efektif pada 82,6% pasien dan dilatasi efektif pada 52,2% pasien, dengan kejadian heartbun pasca tindakan 39 % pasien pada laparaskopi myotomi dan 43% pasien pada dilatasi pneumatik. Studi menyimpulkan bahwa laparaskopik myotomi lebih efektif dibandingkan dengan dilatasi pneumatik.25 Boeckxstaens et al (2011) melakukan studi perbandingan terapi laparaskopi myotomi dengan dilatasi pneumatik pada pasien akalasia esofagus. Studi ini melibatkan 201 pasien, 95 orang diterapi dengan endoskopi dilatasi pneumatik dan 106 orang lagi dengan LHM dengan Dor fundoplikasi. Studi ini menggunakan nilai Eckcardt score kecil sama 3sebagai keberhasilan terapi yang di nilai setelah 1 dan 2 tahun terapi. Studi ini mendapatkan hasil LHM efektif pada 93% pada tahun pertama dan 90% pada tahun kedua. Pada pneumatik dilatasi didapatkan efektif pada 90% pada tahun pertama, dan 86% pada tahun kedua. Studi menyimpulkan bahwa LHM dibandingkan dilatasi pneumatik tidak superior pada 2 tahun follow-up terapi pasien akalasia esofagus.26 Abdi et al (2016) melakukan studi efikasi awal dari terapi Heller myotomi pada pasien akalasia esofagus di Iran. Studi ini melibatkan 20 orang pasien yang diterapi dengan LHM dan dilakukan esofageal manometri pada sebelum dan 2 bulan pasca tindakan. Studi ini mendapatkan hasil penurunan yang siknifikan dari tekanan spingter esofagus bawah setelah 2 bulan tindakan. Studi ini menyimpulkan bahwa LHM sangat efektif mengurangi disfagia pada pasien dengan akalasia esofagus.27 Schoenberg et al (2013) melakukan studi meta analisis tentang perbandingan efikasi tindakan LHM dengan endoskopi dilatasi pneumatik sebagai modalitas terapi pada akalasia esofagus. Laporan ini menganalisis 16 studi yang mencakup 590 tindakan LHM dan endoskopi dilatasi pneumatik. Studi ini menyimpulkan bahwa LHM lebih superior dalam efikasi terapi akhalasia esofagus 22



baik dalam jangka pendek maupun jangka lama. LHM dapat dijadikan pilihan terapi pertama pada terapi akalasia esofagus.28 American College of Gastroenterology (ACG) tahun 2013 mengeluarkan guedlines menajemen pasien dengan akhalasia esofagus. Pada guedlines tersebut Myotomi merupakan pilihan terapi pada pasien dengan rendah resiko operasi. Jika terapi myotomi gagal, dapat dilakukana pengulangan myotomi atau dilakukan tindakan esofagektomi.5



Gambar 3.4. Alur terapi pasien dengan akalasia5



3.5. Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) merupakan modalitas terapi baru pada penatalaksanaan akalasia esofagus. POEM yang dilkukan pada mausian pertama kali diperkenalkan oleh Inoue et al pada tahun 2010 yang melakukan tindakan POEM pada 17 pasien yang menderita akalasia esofagus di Jepang dengan hasil terapi yang sangat baik. Semenjak itu, tindakan ini sudah dilakukan pada ribuan pasien di dunia sudah sukses dilkukan, walaupun ada komplikasikomplikasi tindakan yang harus di perhatikan.9 Pasien yang telah didiagnosis dengan akhalasia merupakan indikasi untuk dilakukan tindakan POEM. Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) tidak memiliki kontraindikasi mutlak. Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) bisa dilakukan pada ketiga tipe akhalasia esofagus. Prinsip penatalaksaan dengan Peroral Endoscopic 23



Myotomi (POEM) adalah memotong otot sirkuler spingter esofagus bawah. Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) merupakan tindakan berbasis endoskopi yang bersifat minimal invasif.29 Persiapan tindakan Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) harus dilakukan secara baik. Persiapan pasien yang akan dilakukan tindakan dan alat-alat yang akan digunakan. Pasien harus dipuasakan satu hari sebelum tindakan, dan dipastikan tidak ada residu makanan dan cairan pada daerah yang akan dilakukan tindakan. Pasien dapat diberikan antibiotik profilak dengan cefalosporin generasi ketiga intravena. Tindakan ini dilakukan dalam keadaan anestesi umum.29,30 Teknik tindakan Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) dapat dilukukan melalui beberapa langkah. Langkah-langkah tersebut dapat dilihat pada gambar berikut.



Gambar. 3.5. Skema tindakan Peroral Endoscopic Myotomi30



Tindakan Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) dapat terjadi beberapa komplikasi



yang



mungkin



terjadi.



Komplikasi



tersebut



dapat



berupa



pneumoperitonium, injuri mukosa, perdarahan, dan terjadinya Gastroesophageal reflux (GER). Pneumoperitonium dapat terjadi pada saat prosedur tindakan dilakukan dan ini diterapi dengan parasintesis abdomen untuk mengurangi tekanan akibat udara yang terperangkap di daerah peritonium.31,32 Gastroesophageal reflux (GER) merupakan komplikasi terbanyak yang terjadi pasca tindakan Peroral Endoscopic Myotomi (POEM). Kejadian GER pasca tindakan Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) sekitar 46% dan lebih besar jika dibandingkan dengan kejadian GER pasca tindakan Laparascopic Heller 24



Myotomy (LHM) dengan fundoplikasi sekitar 25-40%. Untuk mengurangi kejadian GER pasca Peroral Endoscopic Myotomi (POEM), teknik yang dilakukan adalah dengan menyisakan sepanjang 2 cm otot ke arah esophagogastro junction (EGJ). Gejala GER yang ditimbulkan dapat juga diterapi dengan pemberian pump proton inhibitor (PPI).33



Gambar. 3.6. Gambaran endoskpi tindakan Peroral Endoscopic Myotomi30



Youn et al (2016) membandingkan karakteristik modalitas terapi akalasia antara Peroral Endoscopic Myotomi (POEM), Laparascopic Heller Myotomy (LHM), dan Pneumatic Dilatasion (PD). Studi ini menyatakan bahwa ada beberapa keunggulan Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) dibandingkan dengan yang lainnya, seperti respon klinis yang baik dan pemotongan otot sirkuler yang selektif. Adapun kekurangan Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) seperti insiden kejadian GERD pasca tindakan yang cukup tinggi.34 Tabel 3.2. Perbandingan karakteristik POEM dengan LHM dan PD 34



25



Laporan dari semua studi tentang efikasi dari Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) menyatakan bahwa teknik Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) ini memiliki efikasi yang tinggi untuk mengobati akalasia esofagus. Hal ini terlihat pada penurunan yang signifikan dari Eckardt score setelah tindakan Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) ini dibandingkan dengan sebelum tindakan. Walaupun demikian, berapa komplikasi seperti pneumoperitonium, perdarahan, dan kejadian GERD pasca tindakan tetap dilaporkan.33 Inoue et al (2010) melaporkan pertama kali tindakan POEM pada 17 pasien yang menderita akalasia esofagus di Jepang. Laporan ini menyatakan teknik ini sukses melakukan tindakan pada semua pasien dengan hasil yang baik. Hasil folow-up setelah 5 bulan tindakan menunjukan rata-rata penurunan yang siknifikan skor gejala dispagia. Efek samping yang dilaporkan terjadi 1 orang yang mengalami pneumoperitonium, dan satu dengan esofagitis refluk grade B yang respon dengan pemberian PPI.9 Renteln et al (2012) mempublikasikan hasil tindakan Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) pada 16 pasien yang menderita akalasia esofagus. Laporan ini menyatakan 94% pasien diterapi dengan sukses dan ini terbukti dengan penurunan Eckardt score kecil dari 3 dalam 3 bulan follow-up. Gejala GERD tidak dilaporkan, tetapi didapatkan satu esofagitis grade A 3 bulan pasca tindakan Peroral Endoscopic Myotomi (POEM).35 Minami et al (2013) melaporkan hasil tindakan Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) pada 28 pasien yang menderita akalasia esofagus. Studi menyatakan 100% sukses menurunkan Eckardt score kecil dari 3 dalam 6 bulan follow-up. Studi ini juga melaporkan menurunkan rata-rata tekanan spingter 26



bawah esofagus dari 71,2 mmHg menjadi 21,0 mmHg. Studi ini juga melaporkan 2 kejadian perdarahan pasca tindakan, satu perforasi di daerah GEJ yang dierapi dengan klip endoskopi.36 Aslan et al (2015) mempublikasikan hasil tindakan Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) pada 8 pasien yang menderita akalasia esofagus di Turki. Laporan ini menyatakan 100% pasien diterapi dengan sukses dan ini terbukti dengan penurunan Eckardt score kecil dari 3. Efek samping yang dilaporkan terjadi 2 orang yang mengalami pneumoperitonium yang diterapi dengan jarum Verres.37 Barbieri et al ( 2015) melakukan studi meta analisis tentang efikasi dan keamanan tindakan Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) sebagai modalitas terapi pada akalasia esofagus. Laporan ini menemukan 16 studi yang mencakup 551 pasien yang telah mendapatkan tindakan Peroral Endoscopic Myotomi (POEM). Studi ini melaporkan Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) sebanyak 97% sukses memperbaiki klinis akalasia esofagus dan kejadian efek samping mayor pada 14% kasus. Studi menyimpulkan bahwa Peroral Endoscopic Myotomi (POEM)



merupakan modalitas terapi berbasis endoskopi yang



mempunyai efikasi yang baik, walaupun masih dikaitkan dengan beberapa kejadian efek samping yang serius. Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) ini sebaiknya hanya dilakukan pada rumah sakit yang mampu mentatalaksana komplikasi Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) seperti pneumothorak dan pneumo peritonium.10



BAB 4 PENUTUP



27



4.1. Kesimpulan 1. Akalasia esofagus adalah gangguan motilitas esofagus yang penyebabnya tidak diketahui yang ditandai dengan aperistalsis esofagus dan gangguan relaksasi sfingter esofagus bagian bawah. 2. Diagnosis



akalasia



esofagus



ditegakkan



berdasarkan



anamnesis,



pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Gejala klinis yang sering ditemukan pada akalasia esofagus adalah disfagia, regurgitasi, heartbun, dan nyeri dada. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah barium esofagogram, endoskopi, dan manometri sebagai gold standar untuk diagnosis akalasia esofagus. 3. Farmakoterapi yang dapat diberikan adalah farmakoterapi oral berupa nitrat dan calcium chanel bloker dan farmakoterapi via endoskopi berupa injeksi botulinum toxin yang diberikan pada pasien dengan resiko tinggi tindakan bedah. 4. Pneumatic dilation (PD) dan tindakan bedah Laparascopic Heller Myotomi LHM) merupakan modalitas terapi yang mempunyai efikasi yang baik pada talaksanaa pasien dengan akalasia esofagus. 5. Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) merupakan modalitas terapi baru yang bersifat minimal invasif berbasis endoskopi mempunyai efikasi yang baik dalam tatalaksana akalasia esofagus. 4.2. Saran 1. Perlunya pemahaman yang lebih lanjut tentang talaksanaan akalasia esofagus. 2. Perlunya penambahan sarana dan prasarana yang mendukung untuk dapat mentalaksana pasien dengan akalasia esofgus dengan baik.



DAFTAR PUSTAKA



28



1. Patel DA, Kim HP, Zifodya JS, Vaezi MF. Idiopathic (primary) achalasia: a review. Orphanet Journal of Rare Diseases. 2015. Vol.10: p89-110 2. Richter JE. Achalasia - An Update. Journal of Neurogastroenterology Motil. 2010. Vol. 16 p.102-122 3. Pohl D, Tutuian R. Achalasia: an Overview of Diagnosis and Treatment. Journal of Gastrointestinal Liver Disease. 2007. Vol.16. No 3, 297-303 4. Bakri F. Akalasia. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi keenam. Editor Sudoyo AW, Setiohadi, Alwi I, Simadibrata, Setiati S. Penerbit Interna Publising. 2014: 1743-1748 5. Vaezi M, Pandolfino J, Vela M. ACG Clinical Guideline: Diagnosis and Management of Achalasia. The American Journal of Gastroenterology. 2013. p.1-12 6. Pandolfino JE, Kahrilaz PJ. Presentation, Diagnosis, and Management of Achalasia. Journal of Gastroenterology and Hepatology. 2013. Vol.11. p887897 7. Ramirez M, Patti MG. Changes in the Diagnosis and Treatment of Achalasia. J Clinical and Translational Gastroenterology. 2015. Vol.6. e87 8. Fox M, Kahrilaz PJ, Pandolfina JE, Werner, Smouth AJ, Schwiezer D, et al. Chicago Classification Criteria of Esophageal Motility Disorders Defined in High Resolution Esophageal Pressure Topography (EPT). J Neurogastroenterol Motil. 2012. Vol. 24 : p57–65 9. Inoue H, Minami H, Kobayashi Y, Sato Y, Kaga M, Suzuki M, et al. Peroral endoscopic myotomy (POEM) for esophageal achalasia. Journal of Endoscopy. 2010. Vol. 42. p265–271 10. Barbieri LA, Hassan C, Rosati R, Romario UF, Correale L, Repici A. Systematic review and meta-analysis: Efficacy and safety of POEM for achalasia. United European Gastroenterology Journal. 2015. Vol. 3(4). p325– 334 11. Matsuo K, Palmer JB. Anatomy and Physiology of Feeding and Swallowing : Normal and Abnormal. Physiology Medicine Rehabilitation Clinical. 2008. Vol.19(4): p691–707 12. Goyal RK, Chaudhuri A. Physiology of Normal Esophageal Motility. Journal Clinical Gastroenterology. 2008. Vol.42(5): p610–619 13. Sanchis ML, Callol PS, Gallego AM, Perez IB, Campos LP, Barcelo LF, et al. Management of primary achalasia: The role of endoscopy . World Journal of Gastrointest Endosc. 2015. Vol.7(6): p593-605 29



14. Muller M. Impact of high-resolution manometry on achalasia diagnosis and treatment. Annals of Gastroenterology. 2015. Vol.28, p3-9 15. Nassri A, Ramzan Z. Pharmacotherapy for the management of achalasia: Current status, challenges and future directions. World J Gastrointest Pharmacol Ther. 2015. Vol. 4. p145-155 16. Stefanidis D, Richarson W, Farrell TM, Kohn GP, Augenstin V, Fanelli RD, et al. Guidelines for the Surgical Treatment of Esophageal Achalasia. Society of American Gastrointestinal and Endoscopic Surgeons.2014 17. Shim CS. Endoscopic botulinum toxin injection: Benefit and limitation. Journal of Gastrointestinal Intervention. 2014. Vol.3(1), p19–23 18. Kumar AR, Sussman FH, Katz PO. Botulinum toxin and pneumatic dilation in the treatment of achalasia. Journal of Techniques in Gastrointestinal Endoscopy. 2014. Vol.16. p10–19 19. Yamaguci D, Tsuruoka N, Sakata Y, Shimoda R, Fujimoto K, Iwakiri R. Safety and efficacy of botulinum toxin injection therapy for esophageal achalasia in Japan. Journal of Clinical Biochemical Nutrition. 2015. Vol.57. No.3 20. Sinagra E, Raimondo D, Montalbano LM, Linea C, Giunta M, Amvrosiadis, et al. Efficacy of pneumatic dilatation for the treatment of idiopatic achalasia: a single-center experience. Journal of Abdomen. 2015. Vol.2: e512 21. Cheng P, Shi H, Zhang Y, Zhou H, Dong J, Cai Y. Clinical Effect of Endoscopic Pneumatic Dilation for Achalasia. Medicine Journal. 2015. Vol.94. No.28 22. Elliott TR, Wu PI, Fuentealba S, Szczesniak M, Carle DJ, Cook IJ. Long-term outcome following pneumatic dilatation as initialtherapy for idiopathic achalasia: an 18-year single-centre experience. Aliment Pharmacology Therapy. 2013. Vol. 37. p1210–1219 23. Leyden JE, Moss AC, Mathuna P. Endoscopic pneumatic dilation versus botulinum toxin injection in the management of primary achalasia.Cochrane Library. 2014, Issue 12 24. Allaix ME, Patti MG. Heller Myotomy for Achalasia. From the Opento the Laparoscopic Approach. World Journal of Surgery. 2014. Vol.14 25. Kiudelis M. Mickevicius A, Maleckas A, Endzimas Z, Kiudelis G, Jonaitis L, et al. Laparoscopic myotomy or pneumatic dilatation for achalasia treatment. Central European Journal of Medicine. 2011. Vol.6. p640-644



30



26. Boeckxstaens GE, Annese V, Varannes SB, Chaussade S, Costantini M, Cuttitta A, et al. Pneumatic Dilation versus Laparoscopic Heller’s Myotomy for Idiopathic Achalasia. N Engl J Med. 2011. Vol.364.p1807-1816 27. Abdi S, Mojgan, Forotan, Nikzamir A, Zomorody S, Sherefat SJ. The early efficacy of Heller myotomy in the treatment of Iranian. Gastroenterol Hepatol Bed Bench. 2016. Vol.9(1). p30-35 28. Schoenberg MB, Marx S, Kersten JF, Rosch T, Belle S, Kahler G, et al. Laparoscopic Heller Myotomy Versus Endoscopic Balloon Dilatation for the Treatment of Achalasia :A Network Meta-Analysis. Annals of Surgery. 2013. Vol. 258. p943–952 29. Kumta NA, Mehta S, Kedia P, Weaver K, Sharaiha RZ, Fukami N, et al. Peroral Endoscopic Myotomy: Establishing a New Program. Clinical Endoscopy Journal. 2014. Vol.47. p389-397 30. Fridel D, Modayil R, Iqbal S, Grendell JH, Stavropoulos SN. Per-oral endoscopic myotomy for achalasia: An American perspective. World Journal Gastrointestinal Endoscopy. 2013. Vol.5(9). p420-427 31. Bredenoord AJ, Osch TR, Fockens P. Peroral endoscopic myotomy for achalasia. Neurogastroenterology Motil Journal. 2014. Vol.26. p3–12 32. Phalanusitthepha C, Inoue H, Ikeda H, Sato H, Sato C, Hokierti C. Peroral endoscopic myotomy for esophageal achalasia. Annals of Translational Medicine. 2014. Vol.2(3):p31 33. Yang D, Wagh MS. Peroral Endoscopic Myotomy for the Treatment of Achalasia: An Analysis. Hindawi Publishing Corporation. Diagnostic andTherapeutic Endoscopy. 2013, Article ID 389596, 8 pages 34. Youn YH, Minami H, Chiu PW, Park H. Peroral Endoscopic Myotomy for Treating



Achalasia



and



Esophageal



Motility



Disorders.



Journal



of



Neurogastroenterology Motil. 2016. Vol. 22 No.1 35. Renteln D, Inoue H, Minami H, Isomoto H, Yamaguchi N, Miuma S, et al. Peroral endoscopic myotomy for the treatment of achalasia: A prospective single center study. Journal of Gastroenterology. 2012. Vol.107: p411–417 36. Minami H, Isomoto H, Yamaguchi N, Miuma S, Kobayashi Y, Yamaguchi T et al. Peroral endoscopic myotomy for esophageal achalasia: Clinical impact of 28 cases. Journal of Endoscopy. 2014. Vol. 26: p43–51 37. Aslan F, Akpınar Z, Alper E, Atay A, Yurtlu AA, Çekiç C, et al. The last innovation in achalasia treatment; per-oral endoscopic myotomy. Turkey Journal Gastroenterology. 2015. Vol.26: p218-223 31