Referat 1 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN KASUS



ONIKOMIKOSIS



Disusun oleh Harianti Ayu Wulandari 1102013122



Pembimbing dr. Yanto Widiantoro, Sp. KK dr. Hilman Wildan Latief, Sp. DV



Disusun Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD dr. Slamet Garut Fakultas Kedokteran Universitas YARSI Maret 2018 – April 2018



PENDAHULUAN



Onikomikosis adalah semua infeksi jamur pada kuku. Istilah onikomikosis berasal dari Bahasa Yunani “onyx” berarti kuku dan “mykes” berarti jamur. Kuku jari kaki 25 kali lebih sering terinfeksi daripada kuku jari tangan. Jari kaki terpanjang, baik pertama ataupun kedua menopang bagian terberat tekanan dan trauma dari alas kaki, lebih rentan terhadap invasi meskipun infeksi kuku multipel juga sering terjadi. Terdapat tiga kelompok jamur yang menyebabkan onikomikosis, yaitu: dermatofita, nondermatofita, mould dan yeast. Sekitar 30% dari keseluruhan infeksi jamur superfisial dan 50% dari seluruh kelainan kuku. Prevalensi onikomikosis bervariasi 2-3% hingga 13% pada populasi barat. Prevalensi onikomikosis di Asia Tenggara relatif rendah. Berdasarkan hasil survei berskala besar di Asia tahun 1990 an didapatkan prevalensi onikomikosis di negara-negara tropis lebih rendah (3,8%) daripada di negara subtropis (18%). Infeksi jamur pada kuku dapat mendestruksi permukaan kuku. Onikomikosis memiliki gambaran klinis yang berbeda-beda untuk setiap penyebabnya. Onikomikosis juga berpengaruh signifikan pada kualitas hidup pasien. Masalah yang berhubungan dengan onikomikosis antara lain rasa tidak nyaman, kesulitan dalam memakai alas kaki dan berjalan, kosmetik, dan rendah diri. Kuku yang terinfeksi dapat menjadi reservoir jamur yang berpotensi menyebar ke kaki, tangan, dan paha. Penyakit jamur bersifat menular dan dapat menyebar ke anggota keluarga lain jika tidak ditepati. Onikomikosis dapat mengganggu integritas kulit dan menjadi celah masuknya bakteri dan menyebabkan ulkus, osteomyelitis, selulitis, dan gangrene pada pasien diabetes. Selain itu adanya sensitisasi jamur/antigen dermatofitik pada lempeng kuku dapat menjadi predisposisi keadaan yang berhubungan dengan onikomikosis seperti asma, dermatitis atopik, urtikaria, dan eritema nodosum. Berdasarkan alasan tersebut, penulis merasa tertarik untuk menulis tinjauan pustaka mengenai onikomikosis.



1



PEMBAHASAN A. DEFINISI Onikomikosis adalah infeksi jamur pada kuu yang disebabkan oleh dermofit, atau non-dermofit seperti yeast dan mould. Onikomikosis tidak memberikan keluhan yang berarti, tetapi pada beberapa pasien ditemukan rasa nyeri, rasa tidak nyaman melihat kondisi kukunya secara kosmetik menjadi jelek dan fungsional terganggu, sehingga mempengaruhi emosi ataupun sisi psikososial pasien. (Menaldi, S. 2016) B. ETIOLOGI Jamur dermofit yang paling banyak menjadi penyebab onikomikosis adalah spesies trichophyton rubrum yang bersifat antropofilik, diikuti oleh trichophyton interdigitale. Jamur mould berfilamen lain yang sering menjadi penyebab adalah scopulariopsis bravicaulis, aspergilus spp, fusarium spp, acremonium spp, alternaria spp. Yang dapat sebagai patogen primer, patogen sekunder, maupun kontaminen. Jamur yeast seperti candida albicans, candida parapsilosis merupakan penyebab ketiga onikomikosis dan biasanya muncul bila terdapat faktor predisposisi tertentu seperti pada keadaan imunosupresi dan penyakit diabetes mellitus. (Menaldi, S. 2016) C. EPIDEMIOLOGI Onikomikosis adalah kelainan kuku tersering pada dewasa, sekitar 30% dari keseluruhan infeksi jamur superfisial dan 50% dari seluruh kelainan kuku. Prevalensi onikomikosis bervariasi 2-3% hingga 13% pada populasi barat. Prevalensi onikomikosis di Asia Tenggara relatif rendah. Berdasarkan hasil survei berskala besar di Asia tahun 1990 an didapatkan prevalensi onikomikosis di negaranegara tropis lebih rendah (3,8%) daripada di negara subtropis (18%). (Menaldi, S. 2016)



Pada beberapa orang onikomikosis dapat disebabkan oleh defek genetik yang menyebabkan perubahan fungsi imun. Pola familial distal lateral onychomycosis disebabkan oleh infeksi T. rubrum yang tidak berhubungan dengan transmisi interfamilial. Beberapa penelitian melaporkan pola dominan autosom dihubungkan dengan infeksi T.rubrum dan meningkatkan risiko terjadinya onikomikosis pada individu yang minimal seorang orangtuanya menderita onikomikosis. (Ameen et al. 2014) D. KLASIFIKASI Dermatofita 1.



Distal and Lateral Subungual Onychomycosis (DLSO)



DLSO adalah presentasi tersering infeksi kuku dermatofita. Kuku jari kaki lebih sering terjadi daripada kuku jari tangan. Jamur menginvasi kuku dan dasar kuku melalui penetrasi lipatan distal atau lateral. Kuku menjadi menebal dan warnanya berubah, dengan bebagai derajat onikolisis (pemisahan lempeng kuku dari dasar kuku) meskipun lempeng kuku awalnya tidak terpengaruh. Infeksi dapat mengenai 2



satu sisi kuku atau menyebar ke seluruh dasar kuku. Akhirnya lempeng kuku menjadi rapuh dan mudah hancur. Penyebab tersering adalah T.rubrum. DLSO yang disebabkan oleh dermatofita dan nondermatofita memiliki presentasi klinis serupa sehingga penting untuk dilakukan pengambilan sampel pemeriksaan jamur. (Menaldi, S. 2016) 2. Superficial White Onychomycosis (SWO) Infeksi pada SWO biasanya berawal di lapisan superfisial lempeng kuku dan menyebar ke bagian yang lebih dalam. Lesi putih hancur terjadi pada permukaan kuku, terutama pada kuku jari kaki. Secara perlahan menyebar sampai seluruh lempeng kuku, dan beberapa bentuk memperlihatkan penetrasi dalam. Bentuk ini tidak akan berespon baik terhadap terapi topikal. Kondisi ini sering dijumpai pada anak-anak dan biasanya akibat infeksi T. interdigitale. (Menaldi, S. 2016) 3. Proximal Subungual Onychomycosis (PSO) PSO biasanya pada kuku jari kaki. Infeksi dapat berawal pada lipatan kuku proksimal, dengan penetrasi ke dalam lempeng kuku yang baru terbentuk ataupun di bawah lempeng kuku proksimal. Bagian distal kuku tetap normal sampai proses akhir penyakit. T.rubrum adalah penyebab tersering. PSO paling jarang terjadi pada populasi umum namun lebih sering pada pasien AIDS. Pada pasien AIDS infeksi sering cepat menyebar dari tepi proksimal dan permukaan atas kuku sehingga terjadi perubahan warna lempeng (diskolorisasi) putih mencolok tanpa penebalan. (Menaldi, S. 2016) 4. Endonyx Onychomycosis Pada endonyx onychomycosis jamur dengan segera berpenetrasi ke lapisan keratin lempeng kuku. Lempeng kuku berubah warna menjadi putih tanpa onikolisis dan hiperkeratosis subungual. Organisme penyebab tersering adalah T. soudanense dan T.violaceum. (Menaldi, S. 2016)



5. Total Dystrophic Onychomycosis (TDO) Setiap variasi presentasi klinis diatas dapat berlanjut menjadi TDO, dimana lempeng kuku hampir seluruhnya rusak. TDO primer sangat jarang dan biasanya disebakan oleh Candida sp., terutama pada pasien imunokompromais. (Menaldi, S. 2016)



Figure 1. Distal and lateral subungual Figure 2. DLSO with prevalent yellow onychomycosis (DLSO): whitish discoloration, discoloration. onycholysis and subungual hyperkeratosis 3



Figure 3. Pigmented DLSO.



Figure 4. Onychomycosis due to molds, presenting the typical periungual inflammation.



Figure 5. White superficial onychomycosis Figure 7. Proximal subungual onychomycosis (WSO): white opaque friable patches of the nail (PSO): white discoloration of the proximal nail plate. plate.



Figure 8. Endonyx onychomycosis:



white



discoloration of the nail plate that is attached to the nail bed.



firmly



Figure 9. Total onychomycosis: the nail plate is completely invaded by fungi and friable.



Non Dermatofita Tidak seperti dermatofita, moulds kecuali Neoscytalidium sp. bukan keratinolitik dan merupakan penginvasi sekunder daripada patoogen primer lempeng kuku. Scopulariopsis brevicaulis, jamur tanah tersering menjadi penyebab infeksi kuku nondermatofita. Neoscytalidium dimidiatum diisolasi dari kuku yang sakit dan infeksi pada kulit tangan dan kaki pada pasien daerah tropis. (Ameen et al. 2014) Infeksi mould telah dilaporkan pada semua kelompok usia namun lebih sering pada individu lanjut usia, laki-laki, dan kuku jari kaki. Insidensi infeksi mould pada kuku sulit dinilai karena seringkali tidak dibedakan antara jamur dermatofitosis dan onikomikosis bentuk lain. (Ameen et al. 2014) 4



Infeksi mould tidak menular tetapi kebanyakan tidak berespon baik terhadap terapi standard untuk dermatofita atau candida. Mould nondermatofita biasanya terjadi sekunder pada kuku yang telah sakit atau mengalami trauma, sehingga hanya pada satu kuku. Mould nondermatofita dicurigai sebagai agen penyebab onikomikosis jika pengobatan antijamur sebelumnya gagal, dan pemeriksaan mikroskopik positif namun tidak didapatkan isolat dermatofita. (Ameen et al. 2014) E. PATOGENESIS Invasi jamur pada kuku masih sangat sedikit diteliti. Namun faktor-faktor yang terkait dengan infeksi kuit sudah banyak diteliti. Faktor mekanik dan kimia berperan dalam keseluruhan proses. Proses adhesi diikuti invasi ke dalam lapisan bawah sangat penting. Lokasi dan pola invasi membuat gambaran klinis onikomikosis yang berbeda. Proses pada kuku terjadi oleh penetrasi elemen jamur dan sekresi enzim yang mendegradasi komponen kulit. Jamur dermatofitik memiliki aktivitas keratolitik, proteolitik, dan lipolitik. Hidrolisis keratin oleh proteinase tidak hanya memfasilitasi invasi ke jaringan tetapi juga menyediakan nutrisi untuk jamur. (Grover C, Khurana A. 2012)



Gambar. Patogenesis onikomikosis. (a) Anatomi kuku normal. (b) Pola invasi DLSO. (c) Pola invasi endonyx onychomycosis. (d) Pola invasi SWO. (e) Pola invasi PSOM. (f) TDOM. Secara struktur, bagian-bagian kuku terpapar dengan lingkungan dan mudah mengalami kerusakan dan invasi berbagai organisme, terutama melalui lipatan kuku proksimal dan distal. Namun terdapat kutikula dan distal solehorn sebagai proteksi. Imunologis daerah kuku sedikit berbeda dengan kulit. Struktur kuku terisolasi dari cell-mediated immunity (CMI) akibat rendahnya ekspresi MHC (Major histocompatibility) Class 1a antigens, produksi lokal agen imunosupresif potent, disfungsi antigen presenting cells (APC) dan inhibisi aktivitas Natural Killer (NK). (Grover C, Khurana A. 2012) Selain itu dermatofita adalah organisme keratinofilik yang kuat karena mampu membentuk perforasi pada organ dengan mendigesti keratin dengan cepat. Kuku juga memiliki imunitas alamiah yang kuat. (Grover C, Khurana A. 2012) 5



Penelitian oleh Dorschner menunjukkan peningkatan lokal peptide antimikroba (human cathelicidin LL-37). Cathelicidin LL-37 tidak diekspresikan pada keadaan kulit normal, namun akan meningkat jika terpapar infeksi atau inflamasi. Namun peptide tersebut terekspresikan secara kuat pada struktur kuku dan memliki potensi melawan Pseudomonas aeruginosa dan Candida albicans. (Grover C, Khurana A. 2012) Distibusi sel imun juga terlihat berbeda pada beberapa bagian kuku. Pada lipatan proksimal kuku (PNF) sel T CD4+ tinggi dan pada matriks kuku proksimal (PNM) densitas sangat rendah. Sel T CD8+ jarang di sekitar PNF, dasar kuku, dan PNM. Densitas sel Langerhans lebih tinggi pada epitelium PNF dan dasar kuku daripada matriks kuku. Sel Langerhans dan makrofag pada matriks kuku secara fungsional terganggu dengan kemampuannya mempresentasikan antigen. (Grover C, Khurana A. 2012)



Akibat kurangnya efektivitas CMI, bagian kuku menjadi rentan terhadap invasi jamur, jika terpapar faktor-faktor predisposisi. Onikomikosis biasanya merupakan infeksi kronis yang tidak berhubungan dengan inflamasi. Lempeng kuku adalah tempat yang baik bagi jamur untuk bertahan dalam waktu lama. Faktor prediposisi antara lain penyakit vaskular, atopi, obesitas, diabetes, olahraga, dan sebagainya. (Grover C, Khurana A. 2012) Dermatofita seringkali mempengaruhi lapisan vental dan tengah lempeng kuku, dimana keratin cukup halus. Pada permukaan ventral, topografi ireguler dan taut antar sel lebih fleksibel daripada taut bagian dorsal sehingga menjadi kanal hifa untuk berpenetrasi ke dalam lempeng kuku. Lapisan intermediat lebih jarang terkena, sedangkan lempeng kuku dorsal terkena pada white superficial onychomycosis. Lempeng kuku dorsal adalah bagian terkeras dan berisi kalsium yang tinggi. Patogenisitas jamur berbeda antara spesies. Trichophyton mentagrophytes merusak kuku lebih parah daripada Trichophyton rubrum akibat proses mekanik dan enzimatik. (Grover C, Khurana A. 2012) Patogenesis tergantung berdasarkan subtype onikomikosis:    



Pada DLSO jamur menyebar dari kulit plantar dan menginvasi dasar kuku melalui hiponikia. Inflamasi yang terjadi pada daerah ini menyebabkan gambaran klinis khas DLSO. Pada WSO jamur secara langsung menginvasi permukaan lempeng kuku. Pada proksimal subungual onikomikosis jamur melakukan penetrasi matriks kuku melalui lipatan proksimal kuku dan berkolonisasi di bagian yang dalam dari lempeng proksimal kuku. Pada endonyx onikomikosis jamur menginvasi kuku melalui kulit dan secara langsung menginvasi lempeng kuku. (Lowell, et al. 2012)



F. DIAGNOSIS a. Anamnesis Onikomikosis seringkali asimtomatis dan pasien seringkali hanya mengeluhkan kosmetik kuku. Pada anamnesis didapatkan kecurigaan yang menagarah ke infeksi jamur seperti perubahan warna atau bentuk kuku. Pada penyakit yang sangat berat 6



dapat mengganggu aktivitas seperti berdiri, berjalan, atau berolahraga. Hal paling penting adalah mencari faktor risiko onikomikosis. (Tosti. 2014) b. Pemeriksaan Fisik Tanda klinis yang mungkin ditemukan pada kuku yaitu:    



Onikolisis Debris di bawah lempeng kuku Hiperkeratosis subungual Diskolorasi (biasanya putih atau kuning tidak transparan, lebih jarang pigmentasi coklat)  Destruksi seluruh atau sebagian lempeng kuku (Singal A, Khanna D. 2011.) Candidosis biasanya berawal dari lempeng kuku proksimal, dan terlihat juga paronikia (infeksi lipatan kuku).Infeksi bakteri terutama karena Pseudomonas aeruginosa cenderung menyebabkan perubahan warna kuku menjadi hitam atau hijau. Infeksi bakteri dapat bersamaan dengan infeksi jamur. (Ameen et al. 2014) Terdapat tiga bentuk infeksi kuku oleh candida yaitu infeksi lipatan kuku (paronikia candida), infeksi kuku distal, dan onikomikosis distrofi total. Distrofi total adalah manifestasi candidosis mukokutaneus kronis. Infeksi kulit dan lipatan kulit lebih sering pada wanita, terutama kuku jari tangan akibat pekerjaan yang memerlukan perendaman tangan di air yang sering. Kuku jari tangan keempat dan kelima jarang terinfeksi. (Ameen et al. 2014) Paronikia candida biasanya berawal dari lipatan kulit proksimal atau batas lateral. Kulit peringual menjadi bengkak, eritem, dan nyeri. Terdapat gap yang prominen diantara lempeng kuku dan lipatan kuku. Lempeng kuku seringkali ikut terkena dengan infeksi pada bagian proksimal. Tanda putih, hijau, atau hitam muncul pada bagian proksimal dan lateral kuku dan selanjutnya bagian distal. Kuku menjadi lebih opak, dan muncul furrowing atau pitting transversal atau longitudinal. Kuku menjadi rapuh dan bisa lepas dari dasarnya. Tidak seperti infeksi dermatofita, tekanan dan gerakan pada jari sangat nyeri. Superinfeksi bakteri sering didapatkan dan sulit untuk ditentukan organisme mana yang menyebabkan kerusakan kuku. (Ameen et al. 2014)



Infeksi candida distal memperlihatkan onikolisis dan hyperkeratosis subungual. Pada candidosis mukokutan kronis, organisme menginvasi lempeng kuku dari luar, menyebabkan penebalan tebal dan hyperkeratosis atau disebut sebagai onikomikosis distrofi total. Pada infeksi mould tanda klinis spesifik sangat sedikit, sehingga perlu pemeriksaan mikologis dan histologis. (Ameen et al. 2014) c.   



Pemeriksaan Penunjang Konfirmasi laboratorium harus didapatkan sebelum memulai terapi untuk: Mengeliminasi diagnosis non infeksi jamur Mendeteksi infeksi campuran Mendiagnosis pasien dengan bentuk onikomikosis yang berespon kurang baik seperti infeksi kuku jari kaki oleh T. rubrum.



7



Spesimen kuku yang baik sulit didapatkan namun sangat penting. Kuku diambil dari setiap kuku yang distrofi, diskolor, atau rapuh. Kuku yang sakit harus dipotong sepanjang mungkin. (Ameen et al. 2014)



Gambar. Sampling scrapings for KOH preparation or culture. A scraping of the surface of the nail (A) usually does not provide sufficient material for study. The most viable hyphae are under the nail plate; clipping followed by paring (B) yields the most useful sample. Photo courtesy of Phoebe Rich, MD.



Spesimen diambil setelah pasien bebas dari antijamur topikal atau sistemik selama 2-4 minggu. Spesimen diambil dengan cara kerokan halus atau cliiping (potongan kuku) dan tidak ditaruh dalam media lembap dan harus segera diperiksa kurang dari 1 minggu. Seluruh kuku dibersihkan dengan alkohol. Debris harus dikeluarkan dengan scalpel atau kuret. (Dyanne et al. 2013) Tabel. Lokasi pengambilan spesimen yang baik.







Mikroskopis Pemeriksaan mikroskopis menggunakan larutan KOH 40%. Untuk debris subungual dan visualisasi jamur dapat ditambahkan dimetil sulfoksida ke dalam larutan KOH 10-15%. Pewarnaan jamur (chlorazol black E atau Parker blue-black ink) dapat dipakai untuk visualisasi lebih baik. KOH untuk debris subungual dan pewarnaan periodic-acid Schiff (PAS) untuk lempeng kuku dapat mengkonfirmasi organisme tetapi tidak mengidentifikasi viabilitas organisme. PAS menunjukkan hifa septat adalah diagnostik tetapi PAS yang hanya memperlihatkan bentuk yeast konklusif terbukti infeksi. (Dyanne et al. 2013) 8



Pemeriksaan mikroskopik langsung pada sampel kuku untuk konfirmasi diagnosis. Materi keratinaseous dari kerokan kuku ditempatkan pada kaca slide, ditutupi dengan kaca penutup, disuspensikan dengan larutan KOH lalu dipanaskan dengan hati-hati, KOH membantu melarutkan jaringan epitel. Penambahan dimethyl sulfoxide dan atau tinta Parker Quink pada larutan KOH dapat memudahkan identifikasi elemen jamur. Identifikasi spesifik untuk patogen biasanya sulit dengan mikroskopik, tetapi pada banyak kasus, ragi dapat dibedakan dengan dermatofita dari morfologinya. (Dyanne et al. 2013) Gambaran mikroskopik jamur dermatofita 1. Trichophyton mentagrophytes



Koloni : putih hingga krem dengan permukaaan seperti tumpukan kapas pada PDA, tidak muncul pigmen Gambaran mikroskopik : mikrokonidia yang bergerombol, bentuk cerutu yang jarang, terkadang hifa spiral. 2. Trichophyton rubrum



Koloni : putih bertumpuk di tengah dan berwarna merah marun pada tepinya. Gambaran mikroskopik : beberapa mikrokonidia berbentuk air mata, sedikit makrokonidia berbentuk pensil.



9



3. Epidermophyton floccosum



Koloni : seperti bulu datar dengan lipatan sentral dan warna kuning kehijauan, kuning kecoklatan. Gambaran mikroskopik : tidak ada mikrokonidia, beberapa dinding tipis dan tebal. Makrokonidia berbentuk ganda. 



Kultur



Kultur jamur lebih lama dan kurang sensitif tetapi merupakan gold standard untuk identifikasi organisme. Media untuk kultur antara lain: 1. Media primer berisi cycloheximide yang melawan sebagian NDM dan bakteri misalnya DTM, mycosel (BBL), dan mycobiotic (DIFCO) 2. Media sekunder seperti Sabouraud glucose agar (SGA), Littman's Oxgall medium, dan potato dextrose agar (PDA) yang bebas cycloheximide dan dapat mengisolasi NDM. Antibiotik seperti kloramfenikol dan gentamisin dapat ditambahkan ke SGA atau PDA untuk mengeliminasi kotaminasi bakteri. Spesimen diinkubasi pada suhu 25-30°C. NDM lebih cepat tumbuh daripada dermatofita dan membentuk koloni wellformed dalam 1 minggu. Koloni kebanyakan dermatofita biasanya berdiferensiasi sempurna dalam 3 minggu. Kultur dilakukan dalam 2 minggu dan interpretasi dikatakan negatif jika dalam 3-6 minggu tidak ada pertumbuhan. Kultur negatif palsu bisa terjadi karena kesalahan pengambilan sampel atau sampel inadekuat. (Dyanne et al. 2013) 



Histopatologi



Biopsy dipertimbangkan jika tes yang lain tidak memberikan hasil definitif. Biopsy juga dapat membedakan onikodistrofi karena psoriasis dan lichen planus tetapi menyebabkan distrofi kuku permanen. Tidak seperti kultur, pemeriksaan histopatologis tidak dapat membedakan organisme viable atau nonviable. (Dyanne et al. 2013) 



Metode deteksi baru



Metode deteksi baru seperti Real-time polymerase chain reaction (PCR) assays yang dapat mengidentifikasi deermatofita pada kuku, rambut, dan kulit dalam waktu 65 tahun Kultur positif setelah 24 minggu



15



KESIMPULAN Onikomikosis adalah infeksi jamur pada kuu yang disebabkan oleh dermofit, atau non-dermofit seperti yeast dan mould. Tinea unguium istilah khusus untuk kelainan kuku akibat infeksi dermatofita. Etiologi yang paling sering pada tinea unguium terutama Trichophyton rubrum dan Trichophyton mentagrophytes var. interdigitable. Onikomikosis primer disebabkan oleh karena infeksi jamur pada kuku yang sehat. Probabilitas infeksi terjadi karena suplai vaskuler yang rusak, post trauma, atau gangguang persarafan. Sedangkan onikomikosis sekunder biasanya terjadi setelah tinea pedis, tinea manum, tinea corporis atau tinea capitis. Keluhan utama berupa kerusakan kuku. Kuku menjadi suram, dan rapuh, dapat dimulai dari arah distal (perimarginal) atau proksimal. Terdapat beberapa tipe tinea unguium: onikomikosis subungual distal/lateral, onikomikosis subungual proksimal, onikomikosis superfisial putih, onikomikosis endoniks, onikomikosis distrofik total, onikomikosis kandida. Onikomikosis memerlukan pemeriksaan laboratorium sebelum memulai terapi, karena waktu terapi yang lama, mahal, dan dosis memiliki resiko. Pemeriksaan laboratorium berupa mikroskopi langsung, kultur jamur, dan pemeriksaan histopatologi. Onikomikosis (tinea unguium) dapat didiagnosis dari gejala yang tampak dan pemeriksaan laboratorium. Pengobatan



terdiri



dari



pengobatan



topikal



dengan Amoralfine



nail



lacquer dan Ciclopirox (Penlac) nail lacquer. Pengobatan oral antifungi dengan terbinafin, itrakoazole, dan flukonazol. Sedangkan untuk penggunaan griseofulvin dan ketokonazole tidak dianjurkan. Kombinasi terapi lebih efektif daripada hanya terapi oral atau topikal. Terbinafin dikombinasi dengan ciclopirox dapt juga kombinasi terbinafin dan amorolfine.



16



DAFTAR PUSTAKA



Husein M, Hassab-El-Naby M, Shaheen IMI, Abdo HM, El-Shafey HAM. 2011. Comparative study for the reliability of potassium hydroxide mount versus nail clipping biopsy in diagnosis of onychomycosis. The Gulf Journal of Dermatology and Venerology. Menaldi, S. 2016. Skin Infection: It’s a Must Know Disease. Universitas Brawijaya Press: Malang. Ameen et al. 2014. British Association of Dermatologists’ guidelines for the management of onychomycosis 2014. British Journal of Dermatology ;171, pp937–958 Grover C, Khurana A. 2012. Onychomycosis: Newer insights in pathogenesis and diagnosis. Indian J Dermatol Venereol Leprol [serial online] 2012;78:263-70. Diakses dari: http://www.ijdvl.com/text.asp?2012/78/3/263/95440 Lowell, et al. 2012. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 8th Edition Volume 1 and 2. New York: McGraw-Hill. Tosti. 2014. Onychomycosis. Diakses dari: http://emedicine.medscape.com/article/1105828 Rich,



et



al.



2013.



Diagnosis,



Clinical



Implications,



and



Complications



of



Onychomycosis.Update on Onychomycosis: Effective Strategies for Diagnosis and Treatment. Supplement 1. 2013: 32; 2S Singal A, Khanna D. 2011.Onychomycosis: Diagnosis and management. Indian J Dermatol Venereol



Leprol



[cited



2015



Aug



6];77:659-72.



Diakses



dari::



http://www.ijdvl.com/text.asp?2011/77/6/659/86475 Dyanne et al. 2013. Onychomycosis: Current Trends in Diagnosis and Treatment. American Family Physician (2013) 88:11 Bristow. 2014. The effectiveness of lasers in the treatment of onychomycosis: a systematic review. Bristow Journal of Foot and Ankle Research 2014, 7:34 Westerberg. 2013.Onychomycosis: current trends in diagnosis and treatment. Am Fam Physician. 2013:1;88(11):762-770



17