Referat Rehabilitasi Jantung-1 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT REHABILITASI JANTUNG PADA PASIEN PASCA IMA SEBAGAI PARADIGMA BARU TERAPI KARDIOVASKULER



OLEH : Agung Triatmojo



I4061152066



Riska Nazaria



I4061162045



Friedrich Kurniawan Moja



I4061162025



Rosalina Oktaviana



I4061162007



Kresna Adhi Nugraha



I4061152067



Syarifah Riska Maulida



I4061162008



Lisa Florencia



I4061162046



Tia Aditya Rini



I4061162014



Risa Mutmainah



I4061171014



Umi Nurrahmah



I4061162020



PEMBIMBING: dr. Arinta Setyasari, Sp.JP, FIHA



KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT JANTUNG RUMAH SAKIT TINGKAT II DUSTIRA CIMAHI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA 2019



1



BAB I PENDAHULUAN



1.1. Latar Belakang Penyakit jantung merupakan penyebab kematian utama di dunia dan tercatat 15 juta orang meninggal akibat penyakit ini atau setara dengan 30% dari seluruh kematian di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut 7,2 juta diantaranya karena penyakit jantung koroner. Dari berbagai kondisi atau kelainan penyakit jantung tersebut salah satunya adalah infark miokard akut (IMA), yaitu kondisi dimana terjadi kematian jaringan pada otot jantung aliran darah yang mengaliri otot tersebut terganggu. Kejadian ini dapat terjadi secara akut akibat adanya kelainan/penyempitan pembuluh koroner. Infark miokard masih merupakan penyebab kematian terbanyak di seluruh dunia, menyumbang 12,6% dari total kematian setiap tahun.1 Periode setelah serangan akut infark miokard memberikan tantangan tersendiri, terutama dalam mencegah kejadian serupa dan menjaga fungsi fisik penderita. Pencegahan sekunder merupakan bagian esensial penanganan pasien penyakit jantung koroner; dan rehabilitasi jantung sebagai program pencegahan sekunder yang berintegrasi dengan asuhan komprehensif telah terbukti bermanfaat dan efektif pada penderita infark miokard.2-5 Berdasarkan panduan American Heart Association (AHA) dan American College of Cardiology (ACC) tentang manajemen dan pencegahan penyakit jantung koroner, rehabilitasi jantung terbukti berguna dan efektif (rekomendasi kelas 1) dilakukan setelah sindrom koroner akut, post-PCI (Percutaneous Coronary Intervention), post-CABG (Coronary Artery Bypass Grafting), dan angina stabil.2-4 Rehabilitasi jantung juga diindikasikan untuk pasien gagal jantung, riwayat operasi katup jantung, atau transplantasi jantung, termasuk untuk kondisi selain penyakit jantung koroner, seperti diabetes melitus, hipertensi pulmonal, penyakit jantung kongenital, dan penyakit arteri perifer.4



1.2. Tujuan 1.2.1. Tujuan Umum Mengetahui mengenai peranan rehabilitasi jantung pada pasien pasca infark miokard akut sebagai paradigma baru terapi kardiovaskular.



2



1.2.2. Tujuan Khusus 1. Mengetahui perkembangan rehabilitasi jantung pada pasien pasca infark miokard akut. 2. Mengetahui bukti pada program rehabilitasi jantung 3. Mengetahui pengaruh pada program rehabilitasi jantung 4. Mengetahui struktur dan komponen pada program rehabilitasi jantung 5. Mengetahui efek rehabilitasi jantung dan latihan terhadap morbiditas dan mortalitas pasien jantung.



3



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Definisi 2.1.1 Rehabilitasi Jantung Menurut World Health Organization (WHO) rehabilitasi jantung adalah gabungan beberapa aktivitas dan intervensi yang dibutuhkan untuk memastikan tercapainya kondisi fisik, mental, dan sosial terbaik yang dapat diraih, sehingga penderita dengan kelainan kronik ataupun yang telah melewati fase akut kelainan kardiovaskular dapat mencapai atau melanjutkan kehidupan sosial yang selayaknya, dan berperan aktif dalam kehidupan, dengan usahanya sendiri.6 Rehabilitasi jantung merupakan intervensi terkoordinir, multidisiplin yang didesain untuk penderita penyakit jantung dalam mengoptimalkan fungsi fisik, psikologis, dan sosial, sekaligus menstabilkan, memperlambat, bahkan menghentikan proses aterosklerosis, sehingga menurunkan morbiditas dan mortalitas. Sebagai program komprehensif, rehabilitasi jantung akan melibatkan proses edukasi, latihan, modifikasi faktor risiko, serta konseling yang didesain untuk membatasi efek fisiolgis dan psikologis penyakit jantung.2,3,5,7 Program rehabilitasi jantung pertama kali dikembangkan pada tahun 1960, karena adanya kekhawatiran terhadap keamanan aktivitas yang tidak terpantau setelah pasien keluar dari rumah sakit juga melatarbelakangi pengembangan program rehabilitasi terstruktur yang disupervisi tenaga ahli.2 Keberhasilan rehabilitasi jantung memerlukan sedikitnya 2 tahap, yakni rujukan dan partisipasi aktif.3 Sayangnya, rujukan untuk rehabilitasi jantung belum banyak dilakukan.5,8 Selain karena faktor pasien dan sistem, keengganan tenaga medis merekomendasikan program rehabilitasi jantung menjadi kendala tersendiri. Bahkan setelah pasien direkomendasikan untuk program rehabilitasi jantung, keengganan tenaga medis memberi motivasi dan edukasi juga akan menjadi salah satu penyebab rendahnya kehadiran pasien di setiap sesi rehabilitasi.5,6,8



4



2.1.2 Rehabilitasi Jantung setelah Infark Miokard Rehabilitasi jantung harus segera dimulai setelah fase akut penyakit atau periode penanganan invasif. Rehabilitasi jantung meliputi komponen evaluasi klinis, optimalisasi farmakoterapi, latihan fisik, rehabilitasi psikososial, evaluasi dan reduksi faktor risiko, modifikasi gaya hidup, serta edukasi pasien dan keluarga.2,6 Tujuan komprehensif ini akan dicapai dengan melibatkan tim multidisiplin yang terdiri dari dokter, fisioterapis, psikolog, sosiolog, dan dietisien.7,9 Rehabilitasi jantung diharapkan dapat mengoptimalkan farmakoterapi, mencegah sekuel dari imobilisasi, memperbaiki kapasitas fisik, mengevaluasi status mental, mengurangi kecemasan, menginformasikan risiko PJK dan strategi untuk menurunkan faktor risiko, mengevaluasi status klinis, serta menentukan jadwal rehabilitasi yang sesuai.7,9 Pada pasien rawat inap, tujuan rehabilitasi jantung setelah infark miokard adalah memobilisasi pasien segera setelah kondisi klinis stabil.2 Kriteria stabil yaitu apabila tidak ada episode baru atau berulang nyeri dada selama 8 jam, tidak ada peningkatan kadar kreatinin kinase dan/atau tropinin, tidak ada tanda-tanda baru gagal jantung dekompensata, serta tidak ada perubahan elektrokardiogram signifikan dengan ritme abnormal dalam 8 jam terakhir. Setelah dinyatakan stabil, pasien dapat diposisikan duduk di tepi tempat tidur selama hari pertama dan kemudian dimobilisasi bertahap.2 Selama mobilisasi, target laju jantung harus dijaga tetap di bawah 120 kali/menit atau apabila pasien memiliki laju jantung istirahat yang tinggi, target laju jantung harus berada maksimal 20 kali/menit di atas laju jantung istirahat/menit. Pasien dikondisikan untuk berjalan, berawal di ruang perawatan kemudian di koridor selama 2-5 menit, 2 sampai 4 kali/hari. Peningkatan aktivitas bergantung pada hasil penilaian awal dan penilaian ulang, dapat berlangsung dengan peningkatan cepat toleransi aktivitas pada pasien risiko rendah (infark miokard tanpa komplikasi atau pasien tanpa disfungsi ventrikel kiri) sampai ke peningkatan lambat pada pasien risiko tinggi (seperti dengan gagal jantung).2 Dalam rehabilitasi jantung selama rawat inap, pasien dipandu agar dapat berjalan, dipersiapkan untuk menghadapi stresor psikologis serta emosional pascakejadian kardiovaskular, juga diedukasi cara modifikasi faktor risiko PJK. Panduan mobilisasi pasien rehabilitasi jantung selama rawat inap:2 



Frekuensi: mobilisasi dini 2 sampai 4 kali per hari 5







Intensitas latihan: pertahankan denyut jantung kurang dari 120 kali/menit atau maksimal denyut jantung istirahat + 20 kali denyut/menit dengan rate of perceived exertion (RPE) < 13 dalam 6-20 skala Borg







Tipe latihan: berjalan







Durasi: intermiten 2 hingga 5 menit Segera setelah pasien diizinkan meninggalkan rumah sakit, program



rehabilitasi lanjutan dimulai. Tergantung kondisi klinis pasien dan keparahan infark miokard, biasanya program rehabilitasi jantung rawat jalan dapat dimulai dua sampai empat minggu setelah serangan.2 Pada periode ini, beberapa metode latihan yang dapat dilakukan seperti:9  Latihan umum (senam pernapasan, peregangan, latihan relaksasi, latihan di air)  Latihan ketahanan  Latihan berinterval menggunakan sepeda ergometer atau treadmill selama 15-30 menit dengan 2-3 menit periode istirahat  Latihan berkesinambungan dengan sepeda ergometer atau berjalan selama 1530 menit. Selanjutnya, 2-4 bulan setelah kejadian penyakit hingga seumur hidup, pasien menjalani rehabilitasi jantung untuk mengontrol farmakoterapi, menjaga kondisi mental dan fisik yang optimal, mengurangi faktor risiko penyakit arteri koroner, dan promosi gaya hidup sehat. Pada tahap ini, pasien tidak membutuhkan supervisi medis dan pemantauan latihan yang konstan. Intensitas latihan dapat disesuaikan dengan kondisi individu. Latihan yang dianjurkan seperti berjalan dan bersepeda dapat dilakukan minimal 2 kali seminggu selama 45- 60 menit.9



2.2 Sejarah Rehabiliasi Jantung Program rehabilitasi jantung pertama kali dikembangkan pada tahun 1960-an; karena adanya kekhawatiran terhadap keamanan aktivitas yang tidak terpantau setelah pasien keluar dari rumah sakit juga melatarbelakangi pengembangan program rehabilitasi terstruktur yang disupervisi tenaga ahli. Pada tahun 1772, empat tahun setelah deskripsinya yang luar biasa tentang angina pektoris, Heberden melaporkan kasus seorang pasien yang membaik dengan bekerja di hutan setengah jam per hari. Meskipun ada beberapa bukti manfaat dari aktivitas fisik, pembatasan mobilitas dikenakan pada pasien dengan kejadian koroner akut, sering menyebabkan masalah dan kondisi yang serius, penurunan kapasitas fungsional, lama tinggal di rumah sakit dan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Sikap yang salah ini diperkuat setelah deskripsi 6



infark miokard oleh Herrick pada tahun 1912. Pada 1930-an, pasien dengan kejadian koroner akut disarankan untuk menjalani 6 minggu istirahat di tempat tidur. Terapi kursi diperkenalkan pada 1940-an. Pada awal 1950-an, jalan kaki harian yang sangat singkat yaitu 3 hingga 5 menit diizinkan 4 minggu setelah kejadian koroner. Secara bertahap, diakui bahwa ambulasi dini mencegah banyak komplikasi dari tirah baring, dan itu tidak meningkatkan risiko.10 Pelopor rehabilitasi jantung awal seperti Levine dan Lown mengalami oposisi yang sangat kuat untuk mengadvokasi mobilisasi awal pasien. Namun, bukti kumulatif dari manfaat ambulasi dini dan aktivitas fisik secara umum membantu meyakinkan para skeptis. Pada tahun 1953, studi Morris menunjukkan bahwa pengemudi bus di London memiliki tingkat kejadian koroner yang lebih tinggi dibandingkan dengan penjual tiket. Ini disebabkan oleh fakta bahwa penjual tiket lebih aktif naik turun bus double-deck sementara pengemudi duduk di belakang kemudi. Bukti lebih lanjut tentang efek merugikan dari imobilisasi berkepanjangan disediakan oleh pelatihan para kandidat untuk penerbangan luar angkasa. Pada tahun 1968, Saltin et al menerbitkan Dallas Bed Rest dan Latihan Studi yang, meskipun kecil, memberikan bukti yang sangat kuat tentang pentingnya latihan dan efek buruk dari istirahat di tempat tidur yang lama. Karya Braunwald, Sarnoff, Sonnenblick, Hellerstein, Naughton dan banyak lainnya membantu membangun dasar fisiologis manfaat latihan dan mengarah pada pengembangan program rehabilitasi Jantung sebagai pendekatan multidisiplin untuk membantu pasien kardiovaskular pulih dan mengoptimalkan fungsional dan status mental mereka. Sejak saat itu, pendekatan ini telah terbukti memiliki manfaat morbiditas dan mortalitas yang tidak dapat disangkal, dan telah direkomendasikan sebagai alat terapi penting dalam kardiologi modern oleh sebagian besar masyarakat profesional kardiovaskular. Sayangnya, keberhasilan awal dari disiplin ini tidak diterjemahkan dalam dukungan besar oleh komunitas kardiologi, karena banyak ahli jantung muda tertarik oleh teknologi baru seperti ekokardiografi dan angiografi koroner. Pengembangan obat baru dan lebih kuat seperti beta-bloker, kalsium-bloker, dan trombolitik menyulitkan rehabilitasi jantung untuk menjadi alat terapi standar karena para ahli jantung berfokus pada hasil jangka pendek dan jangka pendek. Dalam beberapa tahun terakhir, pemahaman yang lebih baik tentang sejarah alami banyak patologi jantung dan fakta bahwa, meskipun ada kemajuan yang luar biasa, penyakit jantung tetap menjadi pembunuh nomor satu telah menyebabkan minat baru dalam rehabilitasi jantung.10 7



2.3 Bukti Program Rehabilitas Jantung Program rehabilitasi jantung di Indonesia sudah berjalan dengan baik dengan adanya pusat-pusat rehabilitasi jantung seperti di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Secara kualitas dan kuantitas perlu terus di kembangkan, karena rehabilitasi jantung mempunyai peranan penting untuk pemulihan fisik dan psikologis pasien SKA dengan mengikutsertakan keluarga.11 Sebuah penelitian menemukan bahwa meskipun program rehabilitasi jantung terbukti membantu pasien SKA separuh pasien SKA tidak dirujuk untuk mengikuti program rehabilitasi jantung. Hal ini didukung dengan data 13 % angka kekambuhan pasien gagal jantung sebagai manifestasi SKA di RSJPD-HK tahun 2005-2006, salah satu penyebabnya adalah tidak efektifnya penatalaksanaan regimen terapeutik termasuk latihan aktifitas yang harus dilaksanakan oleh pasien dan keluarga dalam perawatan di rumah. Dengan demikian perlu dilakukan penelitian terkait topik rehabilitasi jantung untuk meyakinkan pentingnya program rehabilitasi jantung.21 Rehabilitasi jantung dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Skala HRQOL (Health Related Quality of Life) pada pasien yang mengikuti rehabilitasi jantung lebih tinggi daripada yang tidak mengikuti program rehabilitasi. Pasien PJK yang tidak mengikuti rehabilitasi jantung memiliki kualitas hidup 3,23 kali lebih rendah dibandingkan dengan pasien PJK yang menjalani rehabilitasi.23,24 Di Indonesia upaya rehabilitasi kardiovaskular dimulai sekitar tahun 1978 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) diinisiasi oleh dr. Dede Kusmana dan dr. Lutfi Usman (alm) yang merupakan staf-staf Bagian Kardiologi FKUI-RSCM pada saat itu. Kegiatan yang dilakukan pada masa-masa awal lebih terfokus pada upaya program bagaimana mengurangi akibat dekondisi karena tirah baring dengan menyegerakan aktifitas fisik dan dengan program latihan fisik setelahnya, karena pada masa itu penderita infark miokard harus menjalani tirah baring yang lama. Setelah terlihat hasil yang memuaskan, maka dilakukan upaya yang serupa pada pasien-pasien yang lain. Konsep rehabilitasi dini secara nasional dipopulerkan dalam Kongres Rehabilitasi Nasional Pertama pada tahun 1980 dan yang kedua pada tahun 1987. Di RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita misalnya, dimana komponen-komponen rehabilitasi jantung telah relatif lebih lengkap, data pada tahun 2008, dengan jumlah kunjungan pasien rehabilitasi jantung sebanyak 20.200 dan dengan jumlah pasien baru fase II sebanyak 583 orang menunjukkan bahwa mayoritas pasien yang baru mengikuti program rehabilitasi fase II didominasi oleh penderita pasca tindakan operasi dengan 8



distribusi berikut: penderita pasca CABG (66%), pasca tindakan operasi katup jantung (15%), operasi koreksi kelainan kongenital (3%). Sedangkan penderita pasca angioplasti koroner 6%, PJK tanpa tindakan 3% dan CHF 2,9% saja. Peserta pada umumnya laki-laki (81%) dengan usia rata-rata 54,9 tahun. Program rehabilitasi fase II pasca tindakan operasi dan untuk beberapa diagnosis dan tindakan seperti PTCA dimasukan ke dalam clinical pathway rumah sakit untuk program rehabilitasi selama perawatan. Asuransi Kesehatan (ASKES) menjamin pembayaran program rehabilitasi fase II untuk pasien pasca operasi saja, hal inilah salah satu kemungkinan penyebab dominasi peserta pasca tindakan operasi jantung. Di RS Dr. Sardjito, Jogjakarta, pelayanan rehabilitasi jantung dikolaborasikan Bagian Kardiologi dengan Bagian Rehabilitasi Medik. Pada tahun 2008, mereka sudah mulai melayani 29 pasien baru di fase II untuk menjalani program latihan fisik tersupervisi di rumah sakit dengan total kunjungan keseluruhan 307 kunjungan. Di RS Hasan Sadikin, Bandung, pelayanan latihan fisik tersupervisi di rumah sakit juga telah dimulai, dan pada tahun 2008 telah melayani 23 pasien baru fase II dan 4 pasien masuk ke fase III, dengan jumlah total 283 kunjungan, Aktifitas pelayanan di klinik Kardiologi dikolaborasikan bersama dokter spesialis rehabilitasi medik di RS tersebut. Demikian juga halnya di RSCM dan di RS Fatmawati Jakarta, program latihan fisik sebagai bagian dari rehabilitasi jantung sudah mulai dalam waktu yang lama, dan pada fasilitas ini pada umumnya adalah program rehabilitasi pada fase III. Saat ini beberapa pusat pelayanan atau pendidikan sedang mempersiapkan fasilitas dan program untuk rehabilitasi jantung.25,26



2.4 Tujuan Rehabilitasi Jantung Tujuan komprehensif ini akan dicapai dengan melibatkan tim multidisiplin yang terdiri dari dokter, fisioterapis, psikolog, sosiolog, dan dietisien.17,19 Pada pasien rawat inap, tujuan rehabilitasi jantung setelah infark miokard adalah memobilisasi pasien segera setelah kondisi klinis stabil.2 Kriteria stabil yaitu apabila tidak ada episode baru atau berulang nyeri dada selama 8 jam, tidak ada peningkatan kadar kreatinin kinase dan/atau tropinin, tidak ada tanda-tanda baru gagal jantung dekompensata, serta tidak ada perubahan elektrokardiogram signifikan dengan ritme abnormal dalam 8 jam terakhir. Setelah dinyatakan stabil, pasien dapat diposisikan duduk di tepi tempat tidur selama hari pertama dan kemudian dimobilisasi bertahap.12 1) Medical goals yaitu meningkatkan fungsi jantung, mengurangi risiko kematian mendadak, infark berulang, meningkatkan kapasitas kerja, mencegah progresivitas yang mendasari proses ateroskeloris, dan menurunkan mortalitas dan morbiditas. 9



2) Psychological goals yaitu mengembalikan percaya diri, mengurangi kecemasan dan depresi, meningkatkan manajemen stres dan mengembalikan fungsi seksual yang baik. 3) Social goals yaitu dapat bekerja kembali dan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari secara mandiri. 4) Health service goals yaitu mengurangi biaya medis, mobilisasi dini dan pasien dapat pulang dengan segera, mengurangi pemakaian obat-obatan, dan mengurangi kemungkinan dirawat kembali. Kontraindikasi Rehabilitasi Jantung Pasien perlu monitoring ketat untuk melihat timbulnya tanda dan gejala iskemik miokardium, ventrikular disritmia atau kriteria-kriteria yang menyebabkan latihan aktivitas fisik perlu dihentikan. American College of Sports Medicine menyebutkan latihan aktivitas fisik harus dihentikan jika terdapat tanda dan gejala berikut yaitu kelelahan, pusing, dispnea dan mual, perubahan ritme jantung, gejala angina, penurunan denyut nadi lebih dari 10 kali/ menit, penurunan tekanan darah sistolik lebih dari 10 mmHg, peningkatan denyut nadi lebih dari 20 kali/ menit untuk pasien infark miokardium, peningkatan tekanan darah lebih dari batas yang dianjurkan saat tes latihan sebelumnya. Program latihan secara individual dalam modus, frekuensi, intensitas, dan durasi sesuai dengan status kardiovaskular dan status medis.12 Tabel 1 menunjukkan stratifikasi risiko yang menjadi pertimbangan untuk meresepkan latihan selama rehabilitasi jantung.16,19 Hal yang penting untuk diperhatikan adalah bahwa program latihan sebaiknya dimonitor berdasarkan target frekuensi denyut nadi, perceived exertion maupun prediksi METs. Apabila terjadi gejala gangguan jantung, ortopedik maupun neuromuskular, perlu dilakukan peninjauan ulang terhadap program latihan.11



10



Tabel 1. Kontraindikasi pasien yang dapat menjalankan program latihan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15



Kontraindikasi Angina tidak stabil Tekanan darah sistolik istirahat >200 mmHg atau diastolik istirahat >100 mmHg Hipotensi ortostatik sebesar ≥20 mmHg Stenosis aorta sedang sampai berat Gangguan sistemik akut atau demam Disritmia ventrikel atau atrium tidak terkontrol Sinus takikardia (>120 denyut/menit) Gangguan jantung kongestif tidak terkontrol Blok atrio ventrikular Miokarditis atau perikarditis aktif Embolisme Tromboplebitis Perubahan gelombang ST (> 3 mm) Diabetes tak terkontrol Problem ortopedis yang mengganggu istirahat



2.5 Pengaruh Program Rehabilitasi Jantung Metaanalisis yang membandingkan hasil rehabilitasi jantung komprehensif dengan penanganan medis semata menunjukkan penurunan 20% mortalitas total dan penurunan 26% mortalitas jantung.12 Sedangkan terhadap kejadian infark miokard ulangan, rehabilitasi jantung menurunkan risiko relatif 20%-40% lebih daripada yang diperoleh dari terapi penghambat beta, aspirin, atau statin.13 Penelitian yang membandingkan efektivitas rehabilitasi jantung dengan program latihan intensitas tinggi, intensitas sedang, serta kontrol selama 4 minggu mengungkap hasil sebagai berikut:18 a) Peningkatan signifikan aliran darah kolateral koroner di sekitar pembuluh darah yang tersumbat sebagai respons latihan intensitas tinggi dan sedang selama 10 jam per minggu. b) Peningkatan signifikan puncak VO2 sebagai respons latihan fisik teratur jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. c) Peningkatan signifikan kapasitas latihan dan ambang iskemi setelah latihan reguler selama 4 minggu. d) Perbaikan fungsi diastolik yang terlihat dari ekokardiografi



11



Walaupun perbaikan kapasitas fungsional dan pengurangan gejala kardiorespirasi dapat meningkatkan kemampuan pasien untuk kembali bekerja, faktor-faktor yang tidak berkaitan dengan kebugaran fisik, seperti sosioekonomi dan pendidikan akan memberikan pengaruh besar. Konseling yang merupakan bagian dari rehabilitasi jantung juga ditujukan untuk menggali kesiapan pasien kembali bekerja. Waktu yang tepat untuk kembali bekerja setelah miokard infark dapat beragam, mulai dari 2 hingga 6 minggu.2



Tabel 2. Faktor resiko mayor, evaluasi, tujuan dan intervensi selama rehabilitasi jantung Penanganan lipid Evaluasi Mengumpulkan data profil lipid puasa: kolesterol total, HDL, LDL dan trigliserid. Mengulangi pemeriksaann profil lipid 4-6 minggu setelah perawatan dan 2 bulan setelah memulai atau mengganti regimen medikasi penurun lipid. Tujuan Primer : LDL < 100 mg/dl, penurunan lebih jauh LDL 40 mg/dl, kolesterol total 85 mmHg; memulai modifikasi gaya hidup (meliputi olahraga, manajemen berat badan, restriksi sodium, membatasi alkohol dan berhenti merokok), tambahkan terapi farmakologis pada pasien dengan diabetes, gagal jantung atau gagal ginjal Pasien dengan tekanan darah sistolik >140 mmHg atau diastolik >90 mmHg : mulai modifikasi gaya hidup dan terapi farmakologis antihipertensi Penanganan diabetes mellitus Evaluasi Memeriksakan kadar glukosa plasma puasa pada seluruh pasien dan HbA1c pada pasien diabetes untuk memantau terapi Tujuan Kadar glukosa plasma puasa mendekati normal ( 2 mm, diukur 60 hingga 80 ms setelah J point (akhir kompleks QRS) pada pasien dengan dugaan iskemia • Penurunan tekanan darah sistolik > 10 mm Hg (tetap di bawah garis dasar) meskipun ada peningkatan dalam beban kerja, tanpa adanya bukti iskemia lainnya • Peningkatan nyeri dada • Kelelahan, napas yang pendek, mengi, kram kaki, atau klaudikasio • Aritmia selain VT, termasuk multifocal ectopic, VES salvo, takikardia supraventrikular, dan bradaritmia yang berpotensi menjadi lebih banyak kompleks atau mengganggu stabilitas hemodinamik • Respons hipertensi berlebihan (tekanan darah sistolik > 250 mm Hg atau darah diastolic tekanan> 115 mm Hg) • Perkembangan Bundle Branch Block



Penampilan umum pasien selama uji beban juga bernilai dan harus diperhatikan dengan cermat selama uji beban. Tanda-tanda perfusi yang buruk, seperti sianosis atau pucat, dan meningkatnya gejala sistem saraf, seperti ataksia, pusing, dan vertigo, merupakan tanda terminasi tes absolut. Meskipun nilai diagnostik belum dikonfirmasi, auskultasi jantung segera setelah tes dapat dilakukan untuk menilai fungsi jantung. Perkembangan murmur pada regurgitasi mitral, bunyi jantung keempat, atau iktus kordis teraba setelah latihan dapat menunjukkan disfungsi LV akibat latihan.27 2. Kapasitas Latihan Kapasitas latihan aerobik adalah salah satu prediktor risiko untuk melihat keadaan pasien yang tampaknya sehat, mereka yang berisiko lebih tinggi terhadap penyakit jantung, dan terlepas dari faktor risiko lainnya. Satu MET (metabolic equivalent) didefinisikan sebagai serapan 3,5 mL O2 / kg / menit, atau kebutuhan oksigen saat istirahat dalam posisi duduk. Sebuah metaanalisis termasuk 33 penelitian melaporkan bahwa peningkatan 1-MET dalam kapasitas aerobik 19



menghasilkan penurunan 13% dan 15% pada semua penyebab yang menyebabkan kematian akibat penyakit jantung. Dalam memperkirakan kapasitas latihan, jumlah aktivitas yang dilakukan dalam MET (atau tahap latihan yang dicapai) lebih disarankan daripada lama latihan yang dilakukan.27 3. Program Latihan Program rehabilitasi jantung dimulai 1 hingga 3 minggu setelah keluar dari rumah sakit setelah MI atau PCI, tergantung pada status klinis pasien. Pasien yang telah menjalani operasi jantung harus menunda latihan selama 4 hingga 6 minggu. Sesi dijadwalkan untuk 2 atau 3 hari per minggu dan berlangsung selama 9 hingga 36 minggu (rata-rata 12 minggu) tergantung pada pencapaian pasien dalam peningkatan signifikan dalam status fungsional. Setiap sesi termasuk latihan pemanasan dan fleksibilitas, yang secara bertahap meningkatkan denyut jantung ke kisaran target. Latihan dilakukan menggunakan treadmill, sepeda stasioner, atau stepper direkomendasikan selama 20 hingga 30 menit, diikuti dengan fase cool down selama 5 hingga 10 menit yang melibatkan latihan intensitas rendah untuk memungkinkan pemulihan bertahap. Pemantauan EKG berlanjut 6 hingga 8 menit setelah latihan atau jika tekanan darah, denyut jantung, dan segmen ST belum kembali normal.27 4. Intensitas Intensitas latihan untuk pasien jantung di dasarkan pada detak jantung pasien. Ada tiga metode dalam penggunaan detak jantung sebagai dasar intensitas latihan, yaitu metode langsung, persentase HRmax, dan cadangan detak jantung. Dalam metode langsung, detak jantung diplot berdasarkan konsumsi oksigen, dan intensitas latihan yang diekstrapolasi. Persentase metode HRmax menggunakan 65% hingga 75% dari denyut jantung yang dicapai selama tes latihan, yang mendekati 40% hingga 60% dari konsumsi oksigen maksimal individu (VO2 max). Dalam metode cadangan detak jantung, detak jantung istirahat dikurangi dari denyut jantung maksimal (diperkirakan 220 dikurangi usia dalam tahun) untuk memberikan cadangan detak jantung. Jika rekomendasi latihan 60% hingga 80% dari konsumsi oksigen maksimal diperlukan, maka nilai 60% dan 80% dari cadangan detak jantung dihitung, dan detak jantung istirahat ditambahkan ke setiap nilai untuk memberikan nilai detak jantung.27



20



Gambar 1 . Hubungan Detak Jantung dan Konsumsi Oksigen Selama Latihan



Pasien diajarkan untuk mengukur intensitas aktivitas dengan detak jantung dan menggunakan skala RPE. Dengan menggunakan skala ini, RPE 12 hingga 13 (hard) setara dengan 60 % VO2 max, dan RPE 16 (hard-very hard) setara dengan 85% VO2 maks. Pasien berisiko rendah (kelas B) dapat menggunakan pelatihan resistensi tingkat rendah untuk meningkatkan kekuatan dan daya tahan otot.27 5. Keamanan Rehabilitasi Jantung Risiko serangan jantung pada pasien yang didiagnosis dengan PJK meningkat ketika ada kerusakan luas pada miokardium, iskemia dan aritmia ventrikel. Menurut AHA tentang olahraga dan serangan jantung mencatat bahwa risiko serangan jantung adalah satu kejadian dalam 60.000 hingga 80.000 jam latihan. Tenaga medis yang mengawasi program latihan tersebut harus dilatih penanganan henti jantung dan pemantauan EKG pada pasien yang dianggap berisiko tinggi.2



2.9 Komponen Inti 1. Reduksi Faktor Risiko dan Modifikasi Gaya Hidup Program-program selama rehabilitasi jantung setelah serangan infark miokard diharapkan akan memperbaiki kontrol glikemi, mengurangi lemak tubuh dan IMT, mengurangi kebutuhan medikasi hipoglikemi, serta memperbaiki kapasitas latihan.33,36 2. Aktivitas dan Latihan Fisik Aktivitas fisik merupakan pergerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka, yang memerlukan konsumsi energi dan meningkatkan derajat kesehatan. Sedangkan latihan dapat didefinisikan sebagai pergerakan tubuh yang terencana, terstruktur, dan repetitif, dilakukan untuk memperbaiki atau menjaga satu atau lebih komponen



21



kebugaran fisik.29 Penelitian menunjukkan bahwa peningkatan aktivitas fisik serta latihan terstruktur berimbas pada penurunan mortalitas penyakit jantung kronis.29 Program latihan secara individual dalam modus, frekuensi, intensitas, dan durasi sesuai dengan status kardiovaskular dan status medis.29 Protokol standar rehabilitasi jantung adalah mengkombinasikan latihan aerobik dan resistensi.4 Rekomendasi peresepan latihan untuk rehabilitasi jantung setelah infark miokard dapat diperinci sebagai berikut:29,31 1. Frekuensi  Aerobik: latihan terstruktur 3-5 hari per minggu  Resistensi: 2-3 hari per minggu 2. Intensitas  Aerobik: 60-85% denyut jantung maksimal (prediksi denyut jantung maksimal = 220 – usia)  Resistensi: Sedang (hindari menahan napas dan regangan berlebihan) 3. Waktu (durasi)  Aerobik: 20-60 menit  Resistensi: diulangi 10-15 kali, 3 set dengan 8-10 latihan berbeda untuk anggota tubuh atas dan bawah 4. Tipe latihan  Aerobik: berjalan, berlari, bersepeda, berenang, dll.  Resistensi: hand weights, elastic bands, machine weights 5. Pertimbangan khusus36  Pantau gejala dan tanda abnormal seperti nyeri dada, pusing, disritmia  Latihan intensitas tinggi dapat memicu komplikasi kardiovaskular pada pasien dengan riwayat infark miokard  Pasien angina stabil harus membawa nitrogliserin dan diedukasi penggunaannya  Panduan denyut jantung tidak dapat diaplikasikan pada pasien yang mengonsumsi obat memperlambat denyut jantung seperti penghambat beta  Beban diangkat dengan gerakan penuh, harus dihindari menahan napas  Angina, dispnea, peningkatan detak jantung lebih dari 20 kali/ menit atau penurunan lebih dari 10 kali/menit, aritmia signifikan akibat latihan, penurunan tekanan darah lebih dari 10-15 mmHg atau peningkatan berlebihan tekanan darah (di atas 200/110 mmHg). Latihan



dengan



intensitas



sedang



(50%-80%



target



denyut



jantung



maksimum/DJmaks direkomendasikan selama aerobik, yang bisa dicapai dengan 22



latihan terus-menerus atau berinterval. Latihan aerobik berinterval melibatkan periode alternatif 3-4 menit latihan intensitas tinggi (90%-95% DJmaks) dengan latihan intensitas sedang (60%-70% DJmaks). Pola latihan aerobik berinterval selama 40 menit, 3 hari per minggu lebih memperbaiki pengambilan oksigen (VO2) jika dibandingkan dengan latihan aerobik standar.31 Setelah 2 sampai 4 minggu program latihan aerobik standar, pasien dengan risiko rendah sampai sedang dianjurkan memulai latihan resistensi. Latihan resistensi yang tersupervisi meningkatkan kekuatan otot, ketahanan, kapasitas fungsional, kemandirian, dan kualitas hidup, sekaligus mengurangi disabilitas penderita penyakit jantung kronis.2 Baik latihan ketahanan maupun kekuatan dapat meningkatkan kebugaran fisik. Latihan ketahanan memperbaiki kapasitas aerobik terkait dengan variabel kardiopulmonal dan metabolik serta memodifikasi faktor risiko penyakit jantung kronis. Latihan kekuatan meningkatkan kekuatan otot, ketahanan, dan massa otot.29 Dalam panduan latihan untuk penderita diabetes melitus tipe 2, rekomendasi kelas 1 adalah melakukan latihan kardiorespirasi intensitas sedang selama 150 menit/minggu atau kombinasi latihan kardiorespirasi berat dengan latihan resistensi. Pasien dengan latihan kombinasi menunjukkan perbaikan kadar HbA1c signifikan dibandingkan pasien yang hanya melakukan latihan aerobik atau latihan resistensi saja.31 Beberapa hal harus dipantau selama latihan, yaitu:36 1. Target detak jantung (DJ) selama latihan, ditentukan berdasarkan hasil tes dengan rumus: DJ istirahat + (DJ maksimum – DJ istirahat) x (40-80)%. Dari rumus tersebut, target detak jantung yang bisa diterima cukup luas (40-80%), tergantung fase dan bentuk latihan. Angka target lebih rendah digunakan pada fase inisial atau latihan kontinu. Target hingga 80% bisa digunakan pada pasien dengan toleransi latihan yang baik dan selama latihan berinterval. 2. Target kapasitas latihan, didapatkan berdasarkan target detak jantung selama latihan uji coba. Kapasitas latihan dinyatakan dalam satuan Watts atau metabolic equivalents (METs). Kapasitas maksimum yang dapat ditoleransi didapat selama uji coba dengan ergometer atau treadmill, kemudian dibandingkan dengan kapasitas aktivitas harian pasien. 3. Intensitas latihan diukur subjektif dengan skala Borg. Pengukuran ini dilakukan pada pasien yang tidak bisa melakukan latihan uji coba. Intensitas yang dianjurkan berada di kisaran 12-13 (latihan intensitas sedang). Skor 14-16 (latihan intensif) dapat diterima jika latihan dilakukan dalam periode pendek pada pasien risiko rendah. 23



4. Frekuensi, juga bersifat subjektif. Data epidemiologi menganjurkan frekuensi minimal adalah 30 menit 3 kali seminggu sama dengan pembakaran kalori 700 kkal/ minggu dan frekuensi optimal adalah 30 menit 5-7 kali seminggu dengan pembakaran energi 2000-3500 kkal/ minggu. Tabel 6. Perubahan variabel setelah latihan Variabel Komposisi tubuh Densitas mineral tubuh Presentase lemak tubuh Massa otot Kekuatan otot Metabolisme Glukosa Respons insulin terhadap perunbahan glukosa Level insulin basal Sensitivitas insulin Lipid dan lipoprotein plasma Kolesterol HDL Kolesterol LDL Trigliserid Dinamika kardiovaskular Denyut jantung istirahat Volume sekuncup istirahat dan maksimal Curah jantung istirahat Curah jantung maksimal Tekanan darah sistolik istirahat Tekanan darah diastolic istirahat VO2 maksimal Waktu ketahanan maksimal dan submaksimal Produk laju-tekanan latihan submaksimal Laju metabolism basal Derajat kualitas hidup



Latihan Aerobik



Latihan Resistensi



++ -0 0+



++ ++ +++



--



--



++



++



+0 -0 --



+0 -0 -0



-++



0 0



0 ++ -0 -0 +++ +++



0 0 0 0 +0 ++



---



--



+0 +0



+ +0



3. Konseling Nutrisi Penilaian kebiasaan diet pasien perlu untuk mendapat estimasi total asupan kalori, juga konsumsi harian lemak jenuh, kolesterol, garam, dan nutrisi lain. Pasien direkomendasikan diet rendah lemak (terutama lemak jenuh) dan tinggi karbohidrat kompleks. Diet harian seharusnya mengandung 50-60% kalori dari karbohidrat, 30% dari lemak (dengan lemak jenuh 10% atau kurang), dan 10-15% dari protein. Perencanaan individual tergantung faktor risiko seperti diabetes, hipertensi, dan hiperkolesterolemia.29 Rehabilitasi jantung juga memfasilitasi penurunan berat badan. Pemakaian energi selama latihan berkisar pada kadar sedang 700-800 kkal/minggu. Pemakaian kalori 24



tinggi hingga 3000-3500 kkal/minggu dapat direncanakan untuk menurunkan risiko pasien obesitas.31 4. Rehabilitasi Psikososial Beberapa reaksi psikologis yang umumnya dialami setelah infark miokard adalah gangguan mood, gangguan tidur, iritabel, kecemasan, hingga lemahnya konsentrasi dan memori. Harus dijelaskan bahwa gejala tersebut adalah normal, merupakan proses alami setelah kejadian mengancam nyawa. Rehabilitasi jantung akan mengurangi 40%70% prevalensi depresi, kecemasan, dan ketakutan. Sedangkan pada penderita penyakit jantung depresi, rehabilitasi jantung mengurangi risiko mortalitas hampir 70%.2 Perbaikan kapasitas latihan akan menghasilkan perbaikan pada depresi dan mortalitas terkait depresi.27,33



2.10 Efek Rehabilitasi Jantung dan Latihan terhadap Morbiditas dan Mortalitas Pasien Jantung Metaanalisis yang membandingkan hasil rehabilitasi jantung komprehensif dengan penanganan medis semata menunjukkan penurunan 20% mortalitas total dan penurunan 26% mortalitas jantung. Sedangkan terhadap kejadian infark miokard ulangan, rehabilitasi jantung menurunkan risiko relatif 20-40% lebih daripada yang diperoleh dari terapi penghambat beta, aspirin atau statin.37 Penelitian yang membandingkan efektivitas rehabilitasi jantung dengan program latihan intensitas tinggi, intensitas sedang serta kontrol selama 4 minggu mengungkapkan hasil sebagai berikut:38 1) Peningkatan signifikan aliran darah kolateral koroner di sekitar pembuluh darah yang tersumbat sebagai respons latihan intensitas tinggi dan sedang selama 10 jam per minggu. 2) Peningkatan signifikan puncak VO2 sebagai respons latihan fisik teratur jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. 3) Peningkatan signifikan kapasitas latihan dan ambang iskemi setelah latihan reguler selama 4 minggu. 4) Perbaikan fungsi diastolik yang terlihat dari ekokardiografi. Aktivitas fisik selama rehabilitasi jantung dapat berupa latihan isotonis (dinamis), isometris (statis) dan resistensi yang menggabungkan latihan isometris dan isotonis. Latihan isotonis mengakibatkan pergerakan otot tanpa meningkatkan tekanan. Latihan ini akan meningkatkan beban awal (preload) ventrikel kiri. Respons terhadap latihan bergantung pada jumlah otot yang terlibat dan intensitas latihan. Latihan isometrik menyebabkan kontraksi otot tanpa translokasi. Akibatnya, beban akhir (afterload) 25



ventrikel kiri akan meningkat, bergantung pada kecepatan peningkatan tekanan darah dan detak jantung. Latihan dinamis memiliki efek lebih menguntungkan dalam mengontrol faktor resiko metabolik, sedangkan latihan resistensi lebih menguntungkan untuk memperbaiki kebugaran selama aktivitas harian.39,40 Stratifikasi resiko kejadian kardiovaskular digunakan untuk mengevaluasi pasien yang menjalani program rehabilitasi jantung, optimalisasi penanganan, sekaligus meminimalisasi resiko potensial. Dengan pemantauan yang adekuat, kejadian kardiovaskular mayor selama latihan hanya 1 dalam 50.000 hingga 1 dalam 20.000 pasien.37,39,40 Walaupun perbaikan kapasitas fungsional dan pengurangan gejala kardiorespirasi meningkatkan kemampuan pasien untuk kembali bekerja, faktor-faktor yang tidak berkaitan dengan kebugaran fisik, seperti sosioekonomi dan pendidikan akan memberikan pengaruh besar. Konseling yang merupakan bagian dari rehabilitasi jantung juga ditujukan untuk menggali kesiapan pasien kembali bekerja. Waktu yang tepat untuk kembali bekerja setelah miokard infark dapat beragam, mulai dari 2 hingga 6 minggu.37 1. Angina Pektoris Kebanyakan pasien dengan angina pektoris mengontrol gejala mereka melalui medikasi atau menghilangkannya melalui PTCA atau CABG. Bukti bahwa latihan beban memperbaiki toleransi usaha pada pasien angina telah didapatkan sebelum tahun 1990. Latihan beban meningkatkan waktu latihan sampai onset angina atau mengeliminasi angina seluruhnya setidaknya melalui dua mekanisme. Pertama, latihan beban meningkatkan VO2max, sehingga mengurangi HR dan respons SBP terhadap latihan submaksimal. Pengurangan ini mengurangi kebutuhan MO2 dan menunda onset angina. Kedua, latihan beban memperbaiki fungsi endotel.41 Arteri koroner normal berdilatasi saat latihan, sedangkan arteri atherosklerotik koroner sering menggambarkan disfungsi endotel dengan latihan, yang dibuktikan dengan kegagalan dilatasi atau dengan vasokonstriksi. Latihan beban mengurangi disfungsi endotel, diukur melalui angiografi koroner kuantitatif selama infus agonis asetilkolin endotel.41 Beberapa pasien juga mendemonstrasikan peningkatan produk tekanan saat onset angina setelah periode singkat latihan beban, yang menandakan perbaikan fungsi endotel.



26



Grafik 1. Perubahan pada toleransi latihan dan onset angina dengan latihan beban. Kurva HR vs VO2 berubah sehingga tingkat latihan (VO2) menyebabkan respon HR yang lebih lambat. Angina tertunda tetapi terjadi pada HR yang sama jika tidak ada perubahan pada aliran darah koroner (CBF) (angina onset baru {tidak ada CBF}). Angina tertunda tetapi terjadi pada HR yang lebih tinggi bila CBF meningkat melalui perbaikan fungsi endotel.



Latihan beban umumnya digunakan pada pasien angina yang tidak dapat menerima intervensi koroner, namun percobaan klinis dari 101 orang laki-laki berusia 70 tahun atau lebih muda menandakan bahwa latihan beban bermanfaat pada pasien dengan angina stabil6. Subjek secara acak diberikan latihan beban selama 1 tahun atau PTCA. Subjek diekslusikan bila lesi tidak cocok untuk PTCA atau jika mereka memiliki stenosis arteri anterior desendens kiri (LAD) derajat tinggi, stenosis arteri kiri utama (left main) lebih dari 25%, penyakit katup, fraksi ejeksi kurang dari 40%, MI dalam 2 bulan terakhir, PTCA atau CABG dalam 12 bulan terakhir, atau diabetes bergantung insulin. Latihan beban terdiri dari 2 minggu di rumah sakit dimana 6 kali sesi 10 menit harian dilakukan pada 70% toleransi HR maksimal, diikuti dengan ergometer sepeda rumah harian selama 20 menit ditambah sesi 60 menit per minggu yang disuperivisi. Sebanyak 47 subjek pada masing-masing kelompok menyelesaikan percobaan. Tingkat latihan pada onset iskemik meningkat 30% pada subjek yang dilatih dan 20% pada subjek PTCA. Perbedaan ini tidak signifikan, tetapi meningkatkan kapasitas latihan maksimal (20% vs 0%) dan VO2max (16% vs 2%) secara signifikan lebih besar pada subjek yang dilatih. Target lesi potensial tidak berubah pada kelompok latihan, dan hanya 15% subjek PTCA yang menggambarkan restenosis, lebih besar dari 50% penyempitan lumen pada lokasi PTCA. Setelah 1 tahun, 88% subjek PTCA 27



vs 70% subjek yang dilatih mengalami kejadian kardiovaskular mayor termasuk MI, stroke, prosedur revaskularisasi atau rawat inap akibat angina (P= 0.023). Penelitian ini sudah ada sebelumnya pada penggunaan luas obat yang mengelusi stent, tetapi bahkan bila diasumsikan tidak ada restenosis in-stent, kelompok latihan bahkan akan tetap memiliki tingkat survival kejadian yang lebih besar (88% vs 72%, P=0.039). Penulis mencatat bahwa angioplasti menangani 1 lesi penyebab sedangkan latihan beban memperbaiki disfungsi endotel di seluruh sistem vaskular. Hasil ini tidak dapat disamakan pada semua subjek dengan angina stabil, tetapi dicatat bahwa latihan beban mungkin cocok untuk menangani pasien dengan angina.



Grafik 2. Kejadian survival bebas pada 101 subjek pasien dengan angina stabil secara acak diberikan intervensi koroner perkutan (PTCA/Stent) atau latihan beban selama 1 tahun. Jumlah di bagian bawah menandakan pasien bebas kejadian. Tingkat kejadian survival bebas secara signifikan lebih baik pada kelompok latihan (88% vs 70%, P=0.02 melalui tes log-rank).



2. Penyakit Arteri Koroner Review sistematis pada 47 penelitian dimana 10.794 pasien dengan MI, CABG, PTCA atau angina secara acak diberikan latihan berbasis rehabilitasi jantung atau penanganan biasa.43 Mortalitas total dan mortalitas kardiovaskular ialah 13% dan 26% lebih rendah pada 12 bulan atau follow up selanjutnya, sedangkan angka masuk rumah sakit 31% lebih rendah pada tahun pertama penelitian (P