Referat DM Tipe 2 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN Diabetes mellitus adalah kondisi seumur hidup yang merupakan salah satu penyebab utama kematian di dunia, dan merupakan masalah kesehatan yang perlu ditangani dengan seksama 1. Berdasarkan studi epidemiologi terbaru, indonesia telah memasuki epidemi diabetes melitus tipe 2. Perubahan gaya hidup dan urbanisasi nampaknya merupakan



penyebab penting



masalah ini dan terus



menerus meningkat pada milenium baru ini.2 Menurut WHO (2000) penderita DM mencapai 171,2 juta orang dan tahun 2030 diperkirakan 366,2 juta orang atau naik sebesar 114% dalam kurun waktu 30 tahun (Diabetes UK, 2010). Menurut survei WHO, penderita DM di Indonesia pada tahun 2000 terdapat 8,4 juta orang dan diprediksi akan meningkat menjadi 21,3 juta pada tahun 2030. Jumlah tersebut menempati urutan ke-4 terbesar di dunia, setelah India (31,7 juta), Cina (20,8 juta), dan Amerika Serikat (17,7 juta)7.. Di amerika serikat, penderita diabetes meningkat dati 6.536.163 jiwa di tahun 1990 menjadi 20.676.427 di tahun 2010. Di Indonesia, kekerapan diabetes berkisar antara 1,4 %- 1,6 % kecuali di beberapa tempat yaitu pekajangan 2,3%, dan di manado 6%. Prevalensi DM meningkat setiap tahun, terutama dikelompok resiko tinggi. DM yang tidak terkendali dapat menyebabkan komplikasi metabolik ataupun komplikasi vaskular jangka panjang, yaitu mikroangiopati dan makroangiopati, serta rentan terhadap infeksi luka yang kemudian dapat berkembang menjadi gangren1. Diabetes melitus tipe 2 (DMT2) merupakan penyakit progresif dengan karakteristik penurunan fungsi sel beta pankreas. Seiring meningkatnya angka kejadian DMT 2 , terutama pada orang berusia relatif muda dan kemungkinan usia hidup masih panjang, maka semakin banyak pasien DMT2 dengan defisiensi insulin.



Pada



kasus-kasus



tersebut,



akan



dibutuhkan



insulin



dalam



penatalaksanaannya, untuk itu pada refarat ini akan dibahas lebih lagi mengenai insulin.



1



BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya3. B. Epidemiologi Diabetes adalah salah satu diantara penyakit tidak menular yang akan meningkat jumlahnya dimasa datang. Diabetes sudah merupakan salah satu ancaman bagi kesehatan umat manusia pada abad 21. Perserikatan bangsa-bangsa (WHO) membuat perkiraan bahwa pada tahun 200 jumlah pengidap diabetes diatas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian, pada tahun 2025, jumlah itu akan membengkak menjadi 300 juta orang4. Saat ini epidemi penyakit tidak menular muncul menjadi penyebab kematian terbesar di Indonesia, sedangkan epidemi penyakit menular juga belum tuntas, selain itu semakin banyak pula ditemukan penyakit infeksi baru dan timbulnya kembali penyakit infeksi yang sudah lama menghilang. Perubahan gaya hidup dan urbanisasi nampaknya merupakan penyebab penting masalah ini, dan terus menerus meningkat pada milenium baru ini5. C. Patofisiologi Pankreas adalah sebuah kelenjar memanjang yang terletak dibelakang dan dibawah lambung pertama duodenum. Kelenjar campuran ini mengandung jaringan eksokrin dan endokrin. Bagian eksokrin yang predominan yang terdiri dari kelompok-kelompok sel sekretorik mirip



2



anggur yang membentuk kantung yang dikenal sebagai asinus, yang berhubungan dengan duktus yang akhirnya bermuara di duodenum. Bagian endokrin yang lebih kecil terdiri daari pulau-pulau jaringan endokrin terisolasi, pulau-pulau langerhans, yang tersebar diseluruh pankreas. Hormon-hormon terpenting yang disekresikan oleh sel pulaupulau langerhans adalah insulin dan glukagon. Pankreas eksokrin dan endokrin berasal dari jaringan berbeda selama perkembangan. Meskipun sama-sama terlibat dalam metabolisme molekul nutrien namun keduanya memiliki fungsi berbeda dibawah kontrol mekanisme regulatorik yang berlainan6. Pankreas eksokrin mengeluarkan getah pankreas yang terdiri dari dua komponen: 1) Enzim pankreas yang secara aktif disekresikan oleh sel asinus yang membentuk asinus; 2) larutan cairan basa yang secara aktif disekresikan oleh sel duktus yang melapisi pankreatikus. Komponen cairan alkalis banyak mengandung natrium bikarbonat (NaHCO3)6.



Pankreas endokrin berhubungan dengan banyaknya sel beta, tempat sintesis dan sekresi insulin, dan sel alfa yang menghasilkan glukoagon. Sel delta yang lebih jarang adalah tempat sintesis somatostatin. Sel pulau langerhans yang paling jarang sel PP (polipepida pankreas) yang mungkin berperan dalam mengurangi nafsu makan dan asupan makanan4.



Somastostatin pankreas menghambat saluran cerna dalam berbagai cara, denga efek keseluruhan adalah menghambat pencernaan nutrien dan mengurangi penyerapannya. Somatostatin dikeluarkan oleh sel D pankreassebagai respon langsung terhadap peningkatan glukosa darah dan sam amino darah selama penyerapan makanan. Dengan menimbulkan efek inhibisi, somatostatin penkreas bekerja melalui mekanisme umpan balik



3



negatif untuk mengerem kecepatan pencernaan dan penyerapan makanan sehingga kadar nurtrien dalam plasma tidak berlebihan. Somatostatin pankreas juga berperan parakrin dalam mengatur sekresi hormon pankreas. Keberadaan lokal somatostatin mengurangi sekresi insulin, glukagon dan somatostatin itu sendiri6.



Insulin memiliki efek penting pada metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Hormon ini menurunkan kadar glukosa, asam lemak, dan asam amino darah serta mendorong



penyimpanan bahan-bahan



tersebut. Sewaktu molekul nutrien ini masuk kedarah selama keadaan absortif, insulin mendorong penyerapan bahan-bahan ini oleh sel dan pengubahnya masing-masing menjadi glikogen, trigliserida dan protein. Insulin melaksanakan banyak fungsinya dengan mempengaruhi tranfor nutrien darah spesifik masuk kedalam sel atau mengubah aktivitas enzimenzim yang berperan dalam jalu-jalur metabolik tertentu6.



Karbohidrat dalam memlihara homeostatis merupakan salah satu fungsi penting pankreas. Konsentrasi glukosa dalam darah ditentukan oleh keseimbangan antara proses-proses berikut: penyeraoan glukosa dari saluran cerna, pemindahan glukosa ke dalam sel, produksi glukosa oleh hati, dan (secara abnormal) eskresi glukosa urin6.



Insulin memiliki empat efek yang menurunkan kadar glukosa darah dan mendorong penyimpanan karbohidrat: 1. Insulin mempermudah transfor glukosa kedalam sebagian besar sel. 2. Insulin merangsang glikogenesis, pembentukan glikogen dari glukosa di otot rangka dan hati. 3. Insulin menghambat glikogenolisis, penguraian glikogen menjadi glukosa. Denga menghamat penguraian glikogen menjadi glukosa maka insulin cenderung menyebabkan penyimpanan karbohidrat dan mengurangi pengeluaran glukosa oleh hati.



4



4. Insulin juga menurunkan pengeluaran glukosa oleh hati dengan menghambat glukoneogenesis, perubahan asam amino menjadi glukosa dihati. Insulin melakukannya dengan mengurangi jumlah asam amino di darah yang tersedia bagi hati untuk glukoneogenesis dan dengan menghambat enzim-enzim hati yang diperlukan untuk mengubah asam amino menjadi glukosa6.



Karena itu, insulin mengurangi konsentrasi glukosa darah dengan mendorong penyerapan glukosa oleh sel dari darah untuk digunakan dan disimpan, dan secara bersamaan menghambat dua mekanisme pembebasan glukosa oleh hati kedalam darah (glukogenolisis dan glukoneogenesis). Insulin adalah satu-satunya hormon yang mampu menurunkan kadar glukosa darah. Insulin mendorong penyerapan glukosa oleh sebagian besar sel melalui rekrutmen pengankut glukosa6.



Lemak sangat dipengaruhi oleh insulin terutama pada penurunan lemak darah dan mendorong penyimpanan trigliserida: 1. Insulin meningkatkan pemasukan asam lemak dari darah kedalam jaringan lemak. 2. Insulin meningkatkan transfor glukosa kedalam sel jaringan lemak melalui rekrutmen GLUT-4. Glukosa berfungsi sebagai prekursor untuk pembentukan asam lemak dan gliserol, yaitu asam lemak untuk membentuk trigliserida. 3. Insulin mendorong reaksi-reaksi kimia yang akhirnya menggunakan turunan asam lemak dan glukosa untuk sintesis trigliserida. 4. Insulin menghambat lipolisis, mengurangi pembebasan asam lemak dari jaringan ke dalam darah6.



Protein juga diperngaruhi oleh insulin dalam penurunan kadar asam amino darah dan meningkatkan sistesis protein melalui efek:



5



1. Insulin mendorong tranfor aktif asam amino dari darah kedalam otot dan jaringan lain. Efek ini menurunkan kadar asam amino dalam darah dan menyediakan bahan-bahan untuk membentuk protein didalam sel. 2. Insulin meningkatkan laju inkosporasi asam amino menjadi protein oleh perangkat pembentuk protein yang ada di sel. 3. Insulin menghambat penguraian insulin6.



Pasien diabetes melitus tipe 2 mempunyai dua efek fisiologik: sekresi insulin abnormal dan resistensi terhadap kerja insulin pada jaringan sasaran. Abnormalitas mana yang utama tidak diketahui. Secara deskriptif, tiga fase dapat dikenali pada urutan klinis yang biasa. Pertama, glukosa plasma tetap normal meskipun terlihat resistensi insulin karena kadar insulin meningkat. Pda fase kedua, resistensi insulin semakin memburuk sehingga meskipun konsentrasi insulin meningkat, tampak intoleransi glukosa dalam bentuk hiperglikemia setelah makan. Pada fase ketiga resistensi insulin tidak berubah, tetapi sekresi insulin menurun menyebabkan hiperglikemia dan menyebabkan diabetes yang nyata. Kebanyakan yakin bahwa resistensi insulin merupakan hal yang pertama, hiperinsulinemia yang kedua, jadi sekresi insulin merupakan kompensasi dari keadaan resisten. Namun, hipersekresi insulin menyebabkan resistensi insulin: yaitu defek sel pankreas primer menyebabkan hipersekresi insulin dan sebaliknya hipersekresi insulin menyebabkan resistensi insulin6. Hipotesis yang menjelaskan melibatkan sintesis lemak terstimulasi insulin dalam hati dengan transpor lemak menyebabkan penyimpanan lemak sekunder dalam otot. Peningkatan oksidasi lemak akan mengganggu ambilan glukosa dan sintesis glikogen. Penurunan pelepasan insulin yang terlambat dapat disebabkan oleh efek toksik glukosa terhadap pola pankreas atau akibat defek genetik yang mendasari. Sebagian besar NIDDM (noninsulin dependent diabetes mellitus) adalah mereka yang obesitas itu sendiri menyebabkan resistensi insulin. Namun penderita NIDDM dapat mengalami hiperinsulinemia dan pengurangan kepekaan



6



insulin, membuktikan bahwa obesitas bukan merupakan penyebab resistensi satu-satunya. Defek sekresi insulin dan resistensi insulin merupakan ciri khar NIDDM. Individu yang sangat obes dengan resistensi insulin yang nyata dapat mempunyai toleransi toleransi glukosa normal7.



D. Manifestasi klinis Tanda dan gejala klasik DM seperti dibawah ini: -



Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelakan sebabnya



-



Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria , serta pruritus vulvae pada wanita 8.



E. Diagnosis Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi glukosa darah. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah seyogyanya dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya. Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala/ tanda DM, sedangkan skrining bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala 8. Pada anamnesis penting untuk di tanyakan lama mederita DM, kontrol gula darah , gejala komplikasi (jantung ginjal, penglihatan) penyakit penyerta, riwayat pengobatan saat ini, pemakaian sepatu, ada nya callus ada nya kelainan bentuk kaki, riwayat infeksi atau pembedahan pada kaki, nyeri pada tungkai saat istrahat. Pada pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan vaskuler, pemeriksaan neuropati, dan pemeriksaan kulit. Pada pemeriksaan vaskuler dilakukan palpasi pulsasi arteri, adanya edema,



7



perubahan suhu, dan kelainan lokal diekstremitas. Pemeriksaan kulit dilakukan dengan mengamati tektur, turgor dan warna, kulit kering, adanya kallus atau fissura, ulkus , gangren, infeksi, atau dermopati lain9. PERKENI membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagian besar berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM. Gejala khas DM terdiri dari poliuria , polidipsia, polifagia dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas., sedangkan gejala tidak khas DM diantaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, dan pruritus vulva pada wanita. Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja sudah cukup untukmenegakkan diagnosis, namun, apabila tidak ditemukangejala khas DM, maka dipelukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal. Diagnosis DM juga dapat ditegakkan melalui kriteria diagnosis DM yakni: 1. Gejala klasik DM + glukossa plasma sewaktu > 200 mg/dL Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaatpada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terkahir 2. Atau Gejala klasik DM + glukosa plasma puassa >126 mg/dL Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikit 8 jam 3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO >200mg/dL TTGO dilakukan dngan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan kedalam air10. Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa dapat dilihat pada. Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT).



8



1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 – 199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L). 2.



GDPT:Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5,6 – 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL2.



Gambar 2.1 Langkah langkah diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa 2.



F. Penatalaksanaan Terdapat empat pilar dalam penatalaksanaan Diabetes Mellitus yakni Edukasi, Terapi gizi Medis, Latihan jasmani dan Intervensi farmakologis. Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum encapai sasaran , dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat langsung kombinasi, sesuai



segera diberikan secara tunggal atau indikasi. Dalam keadaan dekompensasi 9



metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun



dengan cepat, dan adanya ketonuriam insulin dapat segera



diberikan.



1. Edukasi DM tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Berbagai hal tentang edukasi dibahas lebih mendalam di bagian promosi perilaku sehat. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus 2.



2. Terapi Nutrisi medik Terapi



Nutrisi



Medis



(TNM)



Merupakan



bagian



dari



penatalaksanaan diabtes secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara meenyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lan serta pasien dan keluarganya). Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umumyaitu makanan yang seimbang dan sesuai dngan kebutuhan alori dan zat gizi masing- masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah dan insulin.



10



Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi. Pembatasan karbohidrat total 250 mg/dL), riwayat pankreatektomi, atau disfungsi pankreas, riwayat fluktuasi kadar glukosa darah yang



lebar,



riwayat



ketoasidosis,



riwayat



penggunaan insulin lebih dari 5 tahun, dan penyandang DM lebih dari 10 tahun12.



16



B. Memulai dan alur pemberian insulin Ada beberapa cara untuk memulai dan menyesuaikan dosis terapi insulin untuk pasien DMT2. Salah satu cara yang paling mutakhir dan dapat dipakai sebagai acuan adalah hasil Konsensus PERKENI 2006 dan Konsensus ADA - EASD tahun 2006 Sebagai pegangan, jika kadar glukosa darah tidak terkontrol dengan baik (A1C > 6.5%) dalam jangka waktu 3 bulan dengan 2 obat oral, maka sudah ada indikasi untuk memulai terapi kombinasi obat antidiabetik oral dan insulin13,14.



Pada keadaan tertentu di mana kendali glikemik buruk dan disertai kondisi katabolisme, seperti kadar glukosa darah puasa >250 mg/dL , kadar glukosa darah acak menetap >300mg/dL, A1C >10%, atau ditemukan ketonuria, maka terapi insulin dapat mulai diberikan bersamaan dengan intervensi pola hidup. Selain itu, terapi insulin juga dapat langsung diberikan pada pasien DM yang memiliki



gejala



nyata



(poliuria,



polidipsia,



polifagia, dan penurunan berat badan). Kondisikondisi tersebut sering ditemukan pada pasien DMT1 atau DMT2 dengan defisiensi insulin yang berat. Apabila gejala hilang, obat antidiabetik oral dapat ditambahkan dan penggunaan insulin dapat dihentikan. Seperti telah diketahui, pada pasien DM terjadi gangguan sekresi insulin basal dan prandial untuk mempertahankan kadar glukosa darah dalam batas normal baik pada keadaan puasa maupun setelah makan. Dengan mengetahui mekanisme



17



tersebut, maka telah dipahami bahwa hakikat pengobatan DM adalah menurunkan kadar glukosa darah baik puasa maupun setelah makan. Dalam rangka mencapai sasaran pengobatan yang baik, maka diperlukan insulin dengan karakteristik menyerupai orang sehat, yaitu kadar insulin yang sesuai dengan kebutuhan basal dan prandial13,14.



Pemberian insulin basal, selain insulin prandial, merupakan salah satu strategi pengobatan untuk memperbaiki kadar glukosa darah puasa atau sebelum makan. Oleh karena glukosa darah setelah makan merupakan keadaan yang dipengaruhi oleh kadar glukosa darah puasa, maka diharapkan dengan menurunkan kadar glukosa darah basal, kadar glukosa darah setelah makan juga ikut turun13,14.



Gambar 2.6 Memulai terapi insulin injeksi harian multipel pada pasien DMT 115.



18



Gambar 2.7 IP, insulin prandial (reguler, lispro, aspart, glulisine); IB, insulin basal (NPH, glargine, detemir)15.



Gambar 2.8 Algoritma pengelolaan DMT2. Diingatkan pentingnya pola hidup setiap kunjungan15. * Periksa A1C setiap 3 bulan sampai 40 U per harinya. Pada pasien dengan kegagalan sekunder sulfonilurea dini, penambahan insulin sebelum tidur cukup untuk mencapai



sasaran



glikemi



yang



diinginkan.



Rejimen kombinasi antara insulin sebelum tidur dan obat antidiabetik oral siang hari terbukti berhasil diterapkan pada banyak pasien DMT2.



Penggunaan metformin atau glitazon secara bersamaan dengan insulin juga memberi manfaat bagi pasien dengan resistensi insulin. Keuntungan penggunaan metformin adalah dapat mengurangi peningkatan berat badan yang sering ditemukan pada pasien yang mendapatkan terapi insulin. Kombinasi obat metformin atau glitazon dengan insulin yang telah diberikan pada seorang pasien diabetes melitus dapat menyederhanakan jadwal pemberian insulin. Penambahan obat golongan inhibitor alfa-glukosidase juga dapat mengurangi jumlah suntikan insulin per harinya.



D. Cara pemberian Insulin Cara pemberian insulin yang umum dilakukan adalah dengan semprit dan jarum, pen insulin, atau pompa insulin (CSII). Sampai saat ini, penggunaan CSII di Indonesia masih sangat terbatas.



21



Pemakaian



semprit



dan



jarum



cukup



fleksibel serta me-mungkinkan kita untuk mengatur dosis dan membuat berbagai formula campuran insulin untuk mengurangi jumlah injeksi per hari. Keterbatasannya adalah memerlukan penglihatan yang baik dan ketrampilan yang cukup untuk menarik dosis insulin yang tepat. Pen insulin kini lebih popular dibandingkan semprit dan jarum. Cara penggunaannya lebih mudah dan nyaman, serta dapat dibawa kemana-mana. Kelemahannya adalah kita tidak dapat mencampur dua jenis insulin menjadi berbagai kombinasi, kecuali yang sudah tersedia dalam sediaan tetap (insulin premixed).  Terapi insulin untuk pasien diabetes melitus yang dirawat di rumah sakit Pasien yang dirawat di rumah sakit dapat dibagi ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama pasien yang memerlukan perawatan di ruang intensif, misalnya pasien ketoasidosis, pascaoperasi, atau pasien penyakit gawat seperti sepsis. Kelompok kedua adalah pasien yang tidak memerlukan perawatan di ruang intensif, misalnya pasien praoperatif atau pasien dengan penyakit yang tidak gawat. Secara umum, cara pemberian terapi insulin bagi kedua kelompok di atas memiliki perbedaan. Pasien yang dirawat di ruang intensif umumnya memerlukan terapi intensif dengan cara pemberian insulin infus (drip) intravena atau secara



intramuskular.



Cara



intramuskular



jarang



dilakukan dan hanya dilakukan bila fasilitas insulin drip intravena tidak tersedia. Pasien yang dirawat di



22



ruang biasa umumnya tidak memerlukan terapi insulin infus intravena. Terapi untuk pasien ini cukup dengan pemberian subkutan atau dengan pompa insulin (CSII). Bahkan pada kasus yang ringan, terapi dengan obat antidiabetik oral masih dapat diberikan untuk pasien DM, terutama pasien DMT2.



A. Sasaran kendali glukosa darah Dulu hal yang terpenting dalam penanganan pasien DM yang dirawat di rumah sakit adalah mencegah keadaan hipoglikemia. Oleh sebab itu muncul ungkapan bahwa sebaiknya pasien-pasien tersebut “dipertahankan tetap sedikit manis” atau dalam Bahasa Inggris dikatakan keep the patient a little sweet. Persepsi tersebut ternyata keliru sebab diabetes dan hiperglikemia di rumah sakit bukan merupakan Sementara



kondisi itu,



terapi



yang



ringan



insulin



(benign).



intensif



untuk



mempertahankan kadar glukosa darah < 110 mg/dL dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien di unit perawatan intensif. Sasaran kendali glukosa darah adalah normoglikemi.



Gambar 2.10 Sasaran kendali glukosa darah, Modified 11,17.



B. Cara pemberian insulin Agar terapi insulin dapat dilaksanakan dengan baik pada pasien hiperglikemia yang dirawat di rumah sakit, harus dipahami tentang pola sekresi insulin pada orang normal. Hal tersebut disebabkan pada hakikatnya sasaran terapi insulin 23



adalah membuat insulin eksogen yang diberikan sedemikian rupa sehingga menyerupai pola sekresi insulin endogen atau fisiologis. Sekresi insulin dapat dibagi menjadi sekresi insulin basal (saat puasa atau sebelum makan) dan insulin prandial (setelah makan). Insulin basal adalah jumlah insulin eksogen per unit waktu yang diperlukan untuk mencegah



hiperglikemia



puasa



akibat



glukoneogenesis serta mencegah ketogenesis yang tidak terdeteksi.



Insulin prandial adalah jumlah insulin yang dibutuhkan untuk mengkonversi bahan makanan ke dalam bentuk energi cadangan sehingga tidak terjadi hiperglikemia postprandial. Karena selama perawatan tidak jarang ditemukan fluktuasi kadar glukosa darah akibat berbagai sebab, dalam pemberian terapi insulin bagi pasien yang dirawat di rumah sakit dikenal istilah “insulin koreksi” atau insulin suplemen. Insulin koreksi adalah jumlah insulin yang diperlukan pasien di rumah sakit akibat kenaikan kebutuhan insulin yang disebabkan adanya suatu penyakit atau stres.



Secara umum, kebutuhan insulin dapat diperkirakan sebagai berikut: insulin basal adalah 50% kebutuhan total insulin per hari atau 0,02 U/kgBB;



insulin



prandial



adalah



50%



dari



kebutuhan total insulin per hari; dan insulin koreksi sekitar 10-20% dari kebutuhan total insulin per hari



24



Catatan



tambahan:



Menghitung



karbohidrat



(carbohydrate counting)



Pemahaman pasien tentang cara menghitung karbohidrat sangat penting, terutama pada pasien yang mendapat terapi insulin dengan dosis multipel. Perhitungannya, untuk setiap 15 gram karbohidrat (60 kal = dibutuhkan 1 unit insulin). Usia dan berat badan mempengaruhi kebutuhan insulin untuk karbohidrat yang dikonsumsi.



1. Insulin infus intravena a. Sasaran kadar glukosa darah Sasaran kadar glukosa darah dan batas kadar glukosa darah untuk memulai pemberian terapi insulin tergantung dari setiap kasus yang dihadapi. Pada pasien bedah yang kritis (sakit berat/gawat), sasaran kadar glukosa darah lebih rendah daripada pasien penyakit kritis nonbedah atau penyakit bedah tidak kritis.



b. Indikasi insulin infus intravena Pada prinsipnya, pasien penyakit berat atau kritis yang dirawat di rumah sakit memerlukan terapi insulin. Sebagian besar dari mereka membutuhkan terapi insulin yang diberikan secara infus intravena, misalnya pada pasien kritis/akut seperti hiperglikemia gawat darurat, infark miokard akut, stroke, fraktur, infeksi sistemik, syok kardiogenik, pasien transplantasi organ, edema anasarka, kelainan kulit yang luas,



25



persalinan,



pasien



yang



mendapat



terapi



glukokortikoid dosis tinggi, dan pasien pada periode perioperatif. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah adanya strategi untuk mencapai dosis yang tepat sebelum konversi dari terapi insulin infus intravena ke terapi insulin subkutan. Selain itu, hal yang juga perlu diperhatikan adalah derajat bukti manfaat penggunaan insulin infus intravena. Gambar 2.11Kisaran sasaran kadat glukosa darah11,17



Gambar 2.12 Batas kadar glukosa darah puasa untuk memulai terapi insulin drip intravena11,17



c. Protokol insulin infus intravena Bagi pasien kritis pascabedah yang dirawat di ruang intensif, protokol terapi insulin yang dapat dipakai sebagai acuan adalah protokol yang dipaparkan oleh Van den Berghe. Protokol ini dimulai dengan tahap persiapan yaitu dengan memberikan infus D5% 100cc/jam. Setelah itu, bila terdapat fasilitas syringe pump, siapkan 50 unit insulin reguler (RI) dalam spuit berukuran 50 cc, kemudian encerkan dengan larutan NaCl 0,9 % hingga mencapai 50 cc (1 cc NaCl = 1 unit RI). Bila diperlukan 1,5 unit insulin/jam, petugas tinggal mengatur kecepatan tetesan 1,5



26



cc/jam. Dapat pula diberikan 125 RI dalam 250 ml larutan NaCl 0,9%, yang berarti setiap 2 cc NaCl = 1 unit RI. Bila tidak tersedia syringe pump, dapat digunakan botol infus 500 cc larutan NaCl 0,9%. Masukkan 12 unit RI (dapat juga 6 unit atau angka lain, sebab nantinya akan diperhitungkan dalam tetesan) ke dalam botol infus



500



cc



larutan



NaCl



0.9%.



Bila



dibutuhkan 1 unit insulin/jam, maka dalam botol infus yang berisi 12 unit RI, diatur kecepatan tetesan 12 jam/botol, sehingga 12 unit RI akan habis dalam 12 jam. Bila dibutuhkan 2 unit perjam, kecepatan tetesan infus diatur menjadi 6 jam/botol, karena 12 unit RI akan habis dalam 6 jam, demikian seterusnya, tetesan diatur sesuai permintaan. Sebagai patokan tetesan, 1 cc cairan infus = 20 tetesan makro = 60 tetesan mikro.



d. Peralihan insulin infus intravena ke insulin subkutan Setelah kadar glukosa darah stabil dan pasien mulai mendapatkan makanan, terapi insulin dapat dialihkan menjadi jalur subkutan dengan tetap memperhatikan kaidah terapi insulin basal dan bolus, serta disesuaikan dengan pola respon insulin fisiologis. Sebelum terapi insulin infus intravena dihentikan, terapi insulin subkutan sebaiknya sudah dimulai supaya diperoleh waktu yang cukup untuk awitan kerja insulin. Terapi insulin infus intravena dapat dihentikan 2 jam setelah



27



pemberian insulin subkutan. Kebutuhan insulin subkutan dihitung berdasarkan total kebutuhan insulin infus intravena dalam 24 jam. Dosis total harian insulin subkutan adalah 80% dari dosis total insulin infus intravena selama 24 jam. Dosis total harian tersebut dibagi menjadi dosis insulin basal dan insulin bolus subkutan. Dosis insulin basal adalah sebesar 50% dari dosis harian total.



Jenis insulin yang diberikan biasanya long acting insulin (lebih baik digunakan insulin yang tidak memiliki puncak kerja/peak, seperti insulin glargine atau detemir). Dosis insulin bolus subkutan adalah 50% dari dosis harian total subkutan. Dalam pemberiannya, dosis dibagi rata sesuai jumlah kali makan, umumnya 3 kali/hari. Jenis insulin yan diberikan berupa short atau rapid acting insulin. Indikasi insulin infus intravena pasien bukan hamil



28



Gambar 2.13 Catatan: Kategori yang pasling baik/dianjurkan adalah pada level A 11. Gambar 2.14 Protokol terapi insulin infus intravena18.



Gambar 2.15 Cara perhitungan dosis insulin subkutan19.



2. Insulin subkutan Walaupun



penggunaan



terapi



obat



antidiabetik oral masih memungkinkan untuk diberikan pada pasien diabetes melitus yang dirawat di rumah sakit, tapi bagi pasien yang akan 29



menjalani pembedahan atau memiliki penyakit berat sebaiknya digunakan terapi insulin.’ Ada beberapa bentuk pemberian insulin subkutan pada pasien yang dirawat di rumah sakit, antara lain insulin terjadwal (scheduled atau programmed insulin) dan insulin koreksi. Program pemberian insulin terjadwal terbagi atas kebutuhan insulin basal dan insulin prandial. Insulin basal dapat diberikan dengan menggunakan pompa insulin (CSII), insulin kerja intermediate (NPH atau premixed) 2-4 kali sehari, atau insulin analog kerja panjang. Sementara itu, kebutuhan insulin prandial dapat dipenuhi dengan insulin kerja cepat (insulin regular atau rapid acting insulin analog). Insulin tersebut diberikan sebelum makan atau setelah makan (hanya untuk penggunaan rapid acting insulin analog) apabila jadwal dan jumlah asupan makanan tidak pasti. Gambar 2.16



Protokol terapi insulin subkutan19.



Jika protokol dimulai dengan pemberian NPH (bukan glargine/detemir), maka dosis yang diberikan 0,25 U/kgBB NPH saat makan pagi dan sebelum tidur (0,15 U/kgBB bila kuatir terjadi hipoglikemia ; 0,35 U/kg untuk kondisi dengan peningkatan kebutuhan insulin basal). Selain itu, tetap diberikan 0,1 U/kgBB rapid acting insulin setiap makan.



30



 Komplikasi Terapi Insulin A. Hipoglikemia Komplikasi terapi insulin yang paling penting adalah hipoglikemia. Terapi insulin intensif untuk mencapai sasaran kendali glukosa darah yang normal atau mendekati normal cenderung meningkatkan risiko hipoglikemia. Edukasi terhadap pasien dan penggunaan rejimen terapi insulin yang mendekati fisiologis dapat mengurangi frekuensi hipoglikemia.



B. Peningkatan berat badan Pada pasien dengan kendali glukosa yang buruk, peningkatan berat badan tidak dapat dihindari karena terapi insulin memulihkan massa otot dan lemak (pengaruh anabolik insulin). Penyebab peningkatan berat badan yang lain adalah makan yang berlebihan serta



kebiasaan



mengudap



untuk



menghindari



hipoglikemia. Pasien yang menjalani terapi insulin umumnya



melakukan



diet



yang



lebih



longgar



dibandingkan dengan diet ketat saat terapi dengan obat antidiabetik oral. Hal tersebut juga dapat menyebabkan peningkatan berat badan.



C. Edema insulin Edema dapat muncul pada pasien yang memiliki kendali glukosa darah buruk (termasuk pasien KAD) akibat retensi garam dan air yang akut. Edema dapat menghilang secara spontan dalam beberapa hari. Kadang-kadang dibutuhkan terapi diuretika untuk menatalaksana hal tersebut.



31



D. Reaksi lokal terhadap suntikan insulin Lipohipertrofi merupakan pertumbuhan jaringan lemak yang berlebihan akibat pengaruh lipogenik dan growth-promoting dari kadar insulin yang tinggi di tempat penyuntikan. Hal itu dapat muncul pada pasien yang menjalani beberapa kali penyuntikan dalam sehari dan tidak melakukan rotasi tempat penyuntikan. Lipoatrofi adalah hilangnya jaringan lemak pada tempat penyuntikan. Saat ini, dengan penggunaan sediaan insulin yang sangat murni, lipoatrofi sudah sangat jarang terjadi.



E. Alergi Saat ini, dengan penggunaan sediaan insulin yang sangat murni, alergi insulin sudah sangat jarang terjadi.



G. Prognosis Prognosis penyakit diabetes mellitus tipe 2 tergantung pada jenis keparahan penyakit dan komplikasinya9.



32



BAB III LAPORAN KASUS A. Identitas Identitas Pasien Nama



: Tn. S



Umur



: 51 tahun



Pekerjaan



: Guru



Alamat



:-



Pendidikan



: S1



Agama



: Islam



Tanggal Pemeriksaan : 09 November 2017 Ruangan



: Pav. Flamboyan Kelas IA RSUD Undata Palu



B. Anamnesis a. Keluhan utama: Rasa panas dan kram pada kedua kaki b. Riwayat penyakit sekarang: Pasien MRS dengan keluhan rasa panas disertai kram pada kedua kaki sejak 4 hari SMRS dan memberat 1 hari SMRS. Keluhan dirasakan terus menerus dan berkurang dengan kompresi air dingin. Rasa panas dan kram dirasakan seperti ditusuktusuk dan disertai rasa panas terbakar dari ujung jari-jari kaki hingga dibagian bawah pusat. Pasien menyangkal adanya jatuh sebelumnya ataupun rasa kelemahan pada kedua tungkai. Pasien mengeluh rasa lemas 1 hari SMRS sehingga sulit beraktivitas. Pasien mengaku sering makan karena tidak merasa kenyang walaupun sudah makan, sering minum dan sering BAK terutama pada malam hari sering terbangun untuk BAK dengan frekuensi >8 kali/hari. Pasien mengaku mengalami penurunan BB dari 55 kg sekarang hanya 42 kg. Pasien juga mengeluhkan rasa gatal dan kemerahan pada sekitar kemaluan terutama pada ujung kemaluan. Pasien mengaku sering merasa gatal



33



dan kemerahan pada area lipat paha dan bokong tetapi mudah sembuh dengan obat cina yang di oleskan. Pasien mengeluh sering merasakan nyeri dada terasa panas terbakar pada dada kiri menjalar ke lengan tetapi hilang timbul, hilang dengan istirahat dan muncul saat beraktivitas berat. Pasien menyangkal penglihatan kabur, nyeri pinggang tidak ada, saat ini pasien rajin kontrol ke RS dan mengkonsumsi obat anti hiperglikemik yaitu Glukodex. Pasien juga mengeluh nyeri pada sendi siku 1 hari SMRS. Nyeri hanya dirasakan pada satu sisi dan saat perawatan hari ke 2 di RS muncul bengkak dan kemerahan. Nyeri seperti ditusuk-tusuk jarum. Sebelumnya pasien pernah mengeluhkan nyeri pada jari kaki dan pernah membengkak ±2 tahun lalu. Pasien mengaku saat ada rasa nyeri sendi disertai demam dan belum ada obat yang diminum untuk meredakan nyeri. Pasien menyangkal nyeri dan kaku pada pagi hari. BAB biasa, BAK lancar, tidak nyeri, tidak seperti teh maupun berpasir. c. Riwayat penyakit terdahulu: Pada tahun 2004 pasien pernah didiagnosis dengan DM tipe II, hiperurisemia dan disiplidemia. Pasien pernah dirawat di RSUD Undata 5 tahun yang lalu dengan penyakit diabetes mellitus tipe II. Riwayat penyakit jantung koroner dan hipertensi disangkal. d. Riwayat penyakit dalam keluarga: ayah pasien memiliki riwayat penyakit asam urat sedangkan keluarga yang lain tidak diketahui.



C. Pemeriksaan Fisik Keadaan umum SP: Sakit Sedang/Compos Mentis/Gizi Kurang BB: 42 kg TB: 165 cm IMT: 15,44 kg/m2



Vital sign



34



Tekanan Darah



: 110/70 mmHg



Nadi



: 82x/menit



Pernapasan



: 20x/menit



Suhu



: 37,20C



Kepala Wajah



: Simetris bilateral,massa (-) exopthalmus (-), Ptosis (-), kulit : xantelasma (-), xantomata (-)



Deformitas



: Tidak ada



Bentuk



: Normocephal



Mata Cowong



: -/-



Konjungtiva : Anemis -/Sklera



:Ikterik -/-



Pupil



: Isokor diameter ±2,5 cm/±2,5 cm, RCL +/+ RCTL +/+



Mulut



: Tidak sianosis, lidah kotor (-), bibir kering warna merah muda



Leher Kelenjar GB : Tidak ada pembesaran Tiroid



: Tidak ada pembesaran



JVP



: Tidak ada peninggian, 5+2 cm H2O



Massa lain



: Tidak ada



Dada Paru-paru Inspeksi



: Simetris bilateral, retraksi interkosta tidak ada



Palpasi



: Ekspansi paru normal, vocal fremitus paru kanan dan kiri sama



Perkusi



: Sonor seluruh lapang paru



Auskultasi



:Bunyi vesikular diseluruh lapang paru, Rh -/-, Wh -/-



35



Jantung Inspeksi



: Ictus cordis tidak terlihat



Palpasi



: Ictus cordis teraba SIC V Linea mid claviculasinistra



Perkusi Batas atas



:SIC III linea parasternal sinistra



Batas kanan



: SIC V linea midclavicula dextra



Batas kiri



: SIC VI linea midclavicula midclavicula dextra



Auskultasi



: BJ I/II murni reguler, murmur sistolik katup aorta (+)



Perut Inspeksi



: tampak datar, tidak ada luka.



Auskultasi



: Peristaltik (+), kesan normal



Perkusi



: Timpani keempat kuadran (+). Shifting dulness (-)



Palpasi



: Nyeri tekan (-) massa (-) hepatomegali (-) splenomegali (-)



Anggota gerak Atas



: Akral hangat(+/+), edema (-/-) Pemeriksaan sendi siku: Look: bengkak kemerahan Feel: lunak, nodul (-), tofi(-), hangat (+) Move: Krepitasi (-) gerak bebas.



Bawah



: Akral hangat(+/+), edema(-/-)



Pemeriksaan Khusus: Turgor kulit : normal Pemeriksaan neurologis motorik P: BB/BB, K: 55/55, T: NN/NN, Rf: ++++/++++, Rp: --/-Sensorik raba halus dan nyeri: ++++/++++



36



D. Resume Pasien laki-laki usia 51 tahun MRS dengan keluhan parastesia pada ekstremitas inferior sejak 4 hari SMRS yang menjalar dari L4-T10. Pasien mengeluh fatigue 1 hari SMRS terdapat gejala polidipsi, poliuri, polifagi dan penurunan BB. Pasien mengekuh nyeri pada elbow joint seperti ditusuk jarum dan terjadi swelling serta tampak kemerahan yang terjadi pada perawatan hari ke II di RS. Pasien mengaku saat ada rasa nyeri timbul demam. BAB biasa, BAK lancar. Riwayat DM tipe II (+), hiperurisemia (+) dan disiplidemia (+). Pemeriksaan Fisik: Kesadaran: Composmentis, Vital sign: Tekanan Darah 110/70 mmHg, Nadi: 82x/menit, Pernapasan 20x/menit, Suhu: 37,20C, Kepala dan leher dalam batas normal, thoraks auskultasi jantung BJ I/II murni reguler, murmur sistolik katup aorta (+), abdomen dalam batas normal, anggota gerak atas: Akral hangat(+/+), edema (-/-), Pemeriksaan sendi siku Look: bengkak kemerahan, Feel: lunak, nodul (-), tofi(-), hangat (+), Move: Krepitasi (-) gerak bebas. Anggota gerak bawah: Akral hangat(+/+), edema(-/-). Pemeriksaan Khusus: Turgor kulit: normal. Pemeriksaan neurologis dalam batas normal.



E. Diagnosis kerja Diabetes Melitus tipe II + gout arthritis + polineuropati diabetik



F. Diagnosis banding Rheumatoid arthritis pseudoarthritis



G. Anjuran pemeriksaan lanjutan -



Darah lengkap



-



HbsAg dan anti HIV



37



-



HbA1C



-



GDS Ureum dan creatinin



-



Urinalisis



-



Asam urat darah



H. Penatalaksanaan Non Medikamentosa -



Diet nutrisi protein dan lemak yang cukup



-



Melakukan aktivitas fisik ringan



-



Hindari konsumsi daging merah kacang-kacangan, dan sayur hijau yang banyak



-



Istirahat cukup



-



Minum air cukup



Medikamentosa -



IVFD RL 20 tpm



-



Insulin inj. Novorapid inj. 8-8-8



-



Indometasin tab 150mg 2x1



-



Gabapentin tab 300mg 2x1



-



Neurodex tab 2x1



I. Hasil pemeriksaan penunjang Lab Darah rutin RBC



: 4,81 x106/mm3



HGB



: 12,9 g/dl



HCT



: 39.0 %



PLT



: 260 x103/mm3



WBC



: 14,2 x103/mm3 H



Monosit



: 4,3 H



Neutrofil



: 83,8 H



38



GDS



422 mg/dL H



Creatinin



1,35 mg/dL H



Urea



29.4 mg/dL



HbA1C : 14% Urinalisis Glukosa +4 H Asam Urat 7,0 mg/dl



J. Diagnosis akhir Diabetes Melitus tipe II + gout arthritis + polineuropati diabetik



K. Prognosis Quo ad vitam



: dubia ad malam



Quo ad funcionam



: dubia ad malam



Quo ad sanationam



: dubia ad malam



39



BAB IV PEMBAHASAN Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang maka pasien didiagnosis Diabetes mellitus tipe II. Dari anamnesis ditemukan keluhan berupa keram-keram pada kedua kaki, terasa lemah pada seluruh tubuh, poliuria, polidipsi, poliphagi, penurunan berat badan dan keluhan penyerta lain berupa nyeri pada sendi siku dan bengkak kemerahan disertai demam. Tandatanda vital: tekanan darah 110/80 mmhg, nadi 86 kali/menit, pernapasan 20 kali/menit, suhu 37,2 derajat celcius. Pada pemeriksaan fisik kepala dalam batas normal, thorax terdapat bising sistolik katup aorta, abdomen dalam batas normal, anggota gerak atas sendi siku kiri dan kanan look: bengkak, kemerahan; feel: lunak, nodul tidak ada, teraba hangat; move: krepitasi tidak ada, gerak terbatas. Pada pemeriksaan penunjang darah rutin: RBC 4,81 x 106/mm3, HGB 12,9 g/dl, HCT 39.0 %, PLT 260 x103/mm3, WBC 14,2 x103/mm3 H, Monosit



4,3 H,



Neutrofil 83,8 H; GDS 422 mg/dL H; Creatinin 1,35 mg/dL H, Urea 29.4 mg/dL; HbA1C 14%; Urinalisis: Glukosa +4 H, Asam Urat 7,0 mg/dl. Dari hasil pemeriksaan gula darah sewaktu , HbA1C dan Glukosa urin yang mendasari pasien dirawat. Pada penderita DM mengeluh poliphagia ini dikarenakan makanan yang dimakan tidak masuk seluruhnya kedalam sel, karena sejatinya makanan yang kita makan harus masuk kedalam sel setelah melalui proses yang dari organ-organ pencernaan yang lain. Jadi, sebanyak apapun makanan yang dimakan pasien akan tetap merasa lapar. Hal ini terjadi karena efek dari insulin yang terganggu, baik itu produksinya yng berkurang atau sensitifitas dari sel terhadap insulin itu berkurang. Glukosa yang tidak masuk kedalam sel akan beredar dipembuluh darah yang ketika pemeriksaan glukosa didapatkan kadar glukosa darah yang tinggi diatas >199 ml/dL. Kadar glukosa darah yang tinggi inilah yang merupakan salah satu faktor yang menyebabkan luka sulit untuk sembuh. Sehingga, dengan



40



media glukosa itu menyebabkan pertumbuhan bakteri yang subur, maka terjadilah infeksi pada luka yang sulit sembuh1. Polidipsi pada pasien DM tipe 2 disebabkan oleh tingginya kadar glukosa darah, jika kadar glukosa darah tinggi ginjal akan membuang air tambahan untuk mengencerkan sejumlah besar glukosa yang hilang. Karena ginjal menghasilkan air kemih dalam jumlah yang berlebihan maka penderita serin berkemih (poliuri) dalam jumlah yang banyak. Akibat poliuri maka penderita merasa haus yang berlebihan sehingga banyak minum (polidipsi), pada pasien ini glukosa darah sewaktunya 422 mg/dL yang jumlahnya 2 kali lipat dari jumlah normal maka untuk mengurangi/menurunkan kadar glukosa darah sebagai kompensasi tubuh maka terjadilah poliuri yang keluar bersama glukosa, sehinga kadar glukosa darah dapat berkurang3. Gangguan vaskularisasi dapat juga terjadi pada pasien ini, dimana pada keadaan ini makanan yang mengandung lemak melalui proses pencernaan di organ lain, kemudian diserap dan masuk ke pembuluh darah untuk kemudia diserap di organ-organ tergetnya masing-masing. Namun, akibat kelainan pada insulin (produksinya berkurang atau sensitifitas selnya yang kurang) lemak yang seharusnya disimpan diadiposit malah tidak tersimpan secara baik, sehingga tertumpuk di pembuluh darah maka terjadilah aterosklerosis atau dengan kata lain vaskularisasi darah yang terganggu menjadi salah satu faktor terjadinya penyakitpenyakit pada beberapa organ-organ vital seperti jantung1. Pilar penatalaksanaan DM tipe 2 pada kasus ini adalah edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani, intervensi farmakologis. Edukasi yang didapat pasien tentang penyakitnya sudah cukup banyak karena pasien hidup dilingkungan medis. Mulai dari komplikasi-komplikasi DM, efek samping, prognosis, dan berbagai informasi penting yang harus didapatkan oleh pasien ini20. Pola makan pasien yang tidak teratur dengan frekuensi dan jumlah yang banyak merupakan faktor utama yang menyebabkan pasien menderita DM, kadang makan 3 sampai 5 kali sehari dengan jumlah yang tidak menentu dan tidak



41



mengikuti prinsip pengaturan makanpada penyandang diabetes. Makanan hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jeins, dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin, hal ini yang menyebabkan pasien ketika diukur glukosa darah sewaktunya 422 mg/dL. Pada umunya jumlah asupan makanan yang dianjurkan adalah karbohidrat 45-65%, lemak 20-25%, protein 10-20% dari jumlah kebutuhan kalori20. Latihan jasmani pada pasien-pasien diabetes harus rutin dan teratur (3-4 kali dalam seminggu selama kurang dari 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2, pasien yang berprofesi sebagai buruh bangunan melakukan kegiatan yang berat setiap hari sehingga pasien terpenuhi kegiatan fisik standar dalam aktivitas penderita diabetes20. Injeksi insulin harus segera diberikan karena pada paien ini telah mengalami kenaikan insulin yang signifikan. Insulin yang diberikan terdiri dari 1 jenis insulin prandial (rapid acting) dan dosisnya 3x8 unit/ hari kerja insulin ini meniru kerja insulin pankreas yang prandial yang efeknya cepat20.



42



BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Secara umum berbagai keuntungan terapi insulin sudah banyak diketahui. Pada pasien yang dirawat di rumah sakit, terapi insulin dapat menyelamatkan jiwa. Namun demikian, bila cara pemberian dan pemantauan kurang memadai, hal itu dapat mengancam jiwa pasien. Kesalahan terapi insulin cukup sering ditemukan dan menjadi masalah klinis yang penting. Bahkan terapi insulin termasuk dalam lima besar “pengobatan berisiko tinggi (high-risk medication)” bagi pasien di rumah sakit. Sebagian besar kesalahan tersebut terkait dengan kondisi hiperglikemia dan sebagian lagi akibat hipoglikemia.



Jenis kesalahan tersebut antara lain disebabkan keterbatasan dalam hal ketrampilan (skill-based), cara atau protokol (rule-based), dan pengetahuan (knowledge-based) dalam hal penggunaan insulin. Banyak data yang menunjukkan bahwa hiperglikemia dikaitkan dengan buruknya luaran klinik. Sebagai contoh, kesalahan dalam terapi insulin sebelum pembedahan pada pasien DMT1 akan mengakibatkan KAD dan kematian. Hipoglikemia, walaupun frekuensinya lebih sedikit, namun juga dapat mengakibatkan kematian. Bahaya yang dapa diakibatkan oleh serangan hipoglikemia meliputi kecelakaan seperti jatuh, mual, muntah, respon hipertensi yang mengakibatkan iskemia miokard.



B. Saran Untuk menghindari bahaya-bahaya di atas, terapi insulin hendaknya diberikan sesuai dengan protokol yang telah ditetapkan. Selain itu, perlu dilakukan pemantauan yang memadai. Sebagai contoh, terapi insulin intensif dengan cara infus intravena hanya dapat diberikan pada pasien khusus serta dilakukan di ruang intensif.



43