REFERAT Kematian Mendadak [PDF]

  • Author / Uploaded
  • nida
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT KEMATIAN MENDADAK



Pembimbing: dr. Slamet Poernomo, SpF DFM Disusun oleh: Nida Sofiana



1820221070



Teta Dea KKW



1820221069



Syfa Fauziah



1820221108



Zaky Bramantryo



1820221080



Christian Rivandika



1820221081



KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN FORENSIK PERIODE 21 DESEMBER 2020 – 16 JANUARI 2021 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA



LEMBAR PENGESAHAN Referat diajukan oleh:



Nida Sofiana



1820221070



Teta Dea KKW



1820221069



Syfa Fauziah



1820221108



Zaky Bramantryo



1820221080



Christian Rivandika



1820221081



Program studi : Profesi dokter Judul Referat : Kematian Mendadak Telah berhasil dipertahankan di hadapan pembimbing dan diterima sebagai syarat yang diperlukan untuk ujian kepaniteraan klinik Ilmu Kedokteran Forensik Program Studi Profesi Dokter Umum, Fakultas Kedokteran, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta.



Pembimbing,



dr. Slamet Poernomo, SpF DFM



Ditetapkan di : Jakarta Tanggal



:



Januari 2021



KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas rahmat serta bimbingannya dalam penulisan tugas referat ini sehingga tugas referat yang berjudul “Pembuktian Medis Kasus Aborsi” ini dapat terselesaikan dengan baik. Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Slamet Poernomo, SpF DFM selaku pembimbing penulis selama kepaniteraan klinik Ilmu Kedokteran Forensik di Rumah Sakit Bhayangkara Tk I Raden Said Sukanto. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan referat ini, oleh karena itu penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga referat yang disusun penulis ini dapat bermanfaat bagi bangsa dan negara serta masyarakat luas pada umumnya di masa yang akan datang.



Jakarta, Januari 2021



Penulis



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut WHO kematian mendadak merupakan kematian tanpa kekerasan (Non violent), kematian tak terduga yang terjadi kurang dari 24 jam sejak timbulnya gejala.1 namun pada kasus-kasus forensik, sebagian besar kematian terjadi dalam hitungan menit atau bahkan detik sejak gejala pertama timbul. Kematian dikatakan tiba-tiba atau tak terduga ketika seseorang tidak diketahui telah menderita penyakit yang berbahaya, cedera atau keracunan ditemukan mati atau meninggal dalam waktu 24 jam setelah timbulnya tanda-tanda dan gejala.2 Pengertian mati mendadak sebenarnya berasal dari sudden unexpected natural death yang didalam nya terkandung kriteria penyebab yaitu natural (alamiah, wajar). Terminologi kematian mendadak dibatasi pada suatu kematian alamiah yang terjadi tanpa diduga dan terjadi secara mendadak, mensinonimkan kematian mendadak dengan terminologi “sudden natural unexpected death” Kematian alamiah di sini berarti kematian hanya disebabkan oleh penyakit bukan akibat trauma atau racun.3 Simpson (1985) dalam bukunya “Forensic Medicine” menulis dua alternatif definisi, yaitu:4 1)



Sudden death adalah kematian yang tidak terduga, non traumatis, non selfinflicted fatality, yang terjadi dalam 24 jam sejak onset gejala.



2)



Definisi yang lebih tegas adalah kematian yang terjadi dalam satu jam sejak timbulnya gejala.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.I Kematian Mendadak A. Definisi Menurut WHO kematian mendadak merupakan kematian tanpa kekerasan (Non violent), kematian tak terduga yang terjadi kurang dari 24 jam sejak timbulnya gejala.1 namun pada kasus-kasus forensik, sebagian besar kematian terjadi dalam hitungan menit atau bahkan detik sejak gejala pertama timbul. Kematian dikatakan tiba-tiba atau tak terduga ketika seseorang tidak diketahui telah menderita penyakit yang berbahaya, cedera atau keracunan ditemukan mati atau meninggal dalam waktu 24 jam setelah timbulnya tanda-tanda dan gejala.2 B. Epidemiologi Kematian jantung mendadak/Sudden Cardiac Death (SCD) adalah penyebab utama kematian dan bertanggung jawab untuk sekitar setengah dari semua kematian akibat penyakit kardiovaskular. Kebanyakan penelitian menyebutkan SCD sebagai kematian mendadak dari penyebab kardiovaskular yang terjadi dalam waktu satu jam setelah timbulnya gejala ketika terdiagnosis, atau jika tidak, kematian tak terduga dari penyebab kardiovaskular di mana individu tersebut diamati hidup dalam 24 jam sebelumnya. Meskipun begitu, penyebab lain seperti emboli paru, stroke, dan sindrom aorta juga dapat menyebabkan kematian yang cepat sehingga perlu dipertimbangkan sebagai patologi alternatif. Jika yang dianggap mati mendadak adalah kematian yang terjadi satu jam sejak timbulnya gejala, maka sudden cardiac death merupakan 91% dari semua kasus mati mendadak (Baradero, 2008). Penyakit jantung dan pembuluh darah secara umum menyerang laki-laki lebih sering dibanding dengan perempuan dengan perbandingan



7:1 sebelum menopause, dan menjadi 1:1 setelah perempuan menopause. Di Indonesia, seperti yang dilaporkan Badan Litbang Departemen Kesehatan RI, persentase kematian akibat penyakit ini meningkat dari 5,9% (1975) menjadi 9,1% (1981), 16,0% (1986) dan 19,0% (1995) (Hakim, 2010) Kemudian, menurut jurnal lain, data post-mortem didapatkan dari Connoly Hospital di Dublin tahun 1987-December 2001 menyatakan bahwa kematian mendadak paling sering disebabkan oleh penyakit jantung sebesar 79%. Sedangkan data di Indonesia menunjukan kasus kematian mendadak pada lakilaki paling sering terjadi dibandingkan perempuan. Tahun 1990 ditemukan kasus 228 laki-laki (81,90%) dan 50 perempuan (18,05%), sementara tahun 1991 ditemukan 228 laki-laki (80,85%) dan 54 perempuan (19,14%). Sudden Cardiac Death adalah kematian tidak terduga karena penyakit jantung, yang didahului dengan gejala maupun tanpa gejala yang terjadi 1 jam sebelumnya (Chung, 1995). Lebih dari 50% penyakit kardiovaskular adalah penyakit jantung iskemik akibat sklerosis koroner. Urutan berikutnya adalah miokarditis, kelainan katup, refleks viserovagal, hipersensitivitas karotid, sinkope vasovagal, ketidakseimbangan asam basa dan elektrolit (Gresham, 1975). a. Penyakit Arteri Coroner Penyakit arteri koronaria merupakan penyebab paling banyak kematian mendadak. Penyempitan dan oklusi koroner oleh atheroma adalah yang paling sering ditemukan. Terjadinya sklerosis koroner dipengaruhi oleh faktor-faktor makanan (lemak), kebiasaan merokok, genetik, usia, jenis kelamin, ras, diabetes mellitus, hipertensi, stress psikis, dan lain-lain (Suyono, 2001). Kematian lebih sering terjadi pada laki-laki daripada wanita. Sklerosis ini sering terjadi pada ramus descendens arteri koronaria sisnistra, pada lengkung arteri koronaria dekstra, dan pada ramus sirkumfleksa arteri koronaria sisnistra. Lesi tampak sebagai bercak kuning putih (lipidosis) yang mula-mula terdapat di intima, kemudian menyebar keluar lapisan yang lebih dalam. Kadang-kadang dijumpai perdarahan subintima atau ke dalam lumen. Adanya sklerosis dengan lumen menyempit hingga pin point sudah cukup untuk menegakkan diagnosis iskemik, karena pada kenyataannya tidak semua kematian koroner disertai kelainan otot



jantung (Gresham, 1975). Sumbatan pada pembuluh darah koroner merupakan awal dari munculnya berbagai penyakit kardiovaskular yang dapat menyebabkan kematian. Kemungkinan kelanjutan dari sumbatan pembuluh darah koroner adalah : (1) Mati mendadak yang dapat terjadi sesaat dengan sumbatan arteri atau setiap saat sesudah terjadi.



(2) Fibrilasi ventrikel yang disebabkan oleh kerusakan



jaringan nodus atau kerusakan sistem konduksi. (3) Komplikasi-komplikasi lain. b. Infark Miokard Infark miokard adalah nekrosis jaringan otot jantung akibat insufisiensi aliran darah. Insufisiensi terjadi karena spasme atau sumbatan akibat sklerosis dan thrombosis. Infark miokard adalah patologik (gejala klinisnya bervariasi, bahkan kadang tanpa gejala apapun), sedangkan infark miokard akut adalah pengertian klinis (dengan gejala diagnosis tertentu) (Baradero, 2008). Sumbatan pada ramus descendent arteria koronaria sinistra dapat menyebabkan infark di daerah septum bilik bagian depan, apeks, dan bagian depan pada dinding bilik kiri. Sedangkan infark pada dinding belakang bilik kiri disebabkan oleh sumbatan bagian arteria koronaria dekstra. Gangguan pada ramus sirkumfleksa arteria koronaria sinistra hanya menyebabkan infark di samping belakang dinding bilik kiri. Suatu infark yang bersifat dini akan bermanifestasi sebagai daerah yang berwarna gelap atau hemoragik. Sedangkan infark yang lama tampak berwarna kuning padat (Baradero, 2008). Kematian dapat terjadi dalam beberapa jam awal atau hari setelah infark dan penyebab segeranya adalah fibrilasi ventrikel. Penyebab lain dari kematian mendadak setelah onset dari infark adalah ruptur dinding ventrikel pada daerah infark dan kematian akibat tamponade jantung (Baradero, 2008). c. Penyakit Katup Jantung Lesi katup sering ditemukan pada kasus-kasus kematian mendadak dan tampak pada banyak kasus dapat ditoleransi dengan baik hingga akhir hidup. Suatu lesi katup spesifik yang terjadi pada kelompok usia lanjut adalah stenosis aorta kalsifikasi (sklerosis anular), yang tampak sebagai degenerasi atheromatosa daun katup dan cincinnya dan bukan suatu akibat dari penyakit jantung rematik pada usia muda (Baradero, 2008).



Penyakit katup jantung biasanya mempunyai riwayat yang panjang. Kematian mendadak dapat terjadi akibat ruptur valvula. Kematian mendadak dapat juga terjadi pada stenosis aorta kalsifikasi (calcific aortal stenosis), kasus ini disebabkan oleh penyakit degenerasi dan bukan karditis reumatik. Penyakit ini lebih banyak pada pria dibanding wanita dan timbul pada usia sekitar 60 tahun atau lebih (Baradero, 2008). d. Miokarditis Miokarditis adalah radang pada miokardium yang ditandai dengan adanya proses eksudasi dan bukan sel radang. Miokarditis akut dapat berupa miokarditis akut purulenta yang merupakan komplikasi dari septikemia atau abses miokard (Baradero, 2008). Miokarditis biasanya tidak menunjukkan gejala dan sering terjadi pada dewasa muda. Diagnosis miokarditis pada kematian mendadak hanya dapat ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologi. Otot jantung harus diambil sebanyak dua puluh potongan dari dua puluh lokasi yang berbeda untuk pemeriksaan ini. Pada pemeriksaan histopatologik tampak peradangan interstisial atau parenkim, edema, perlemakan, nekrosis, degenerasi otot hingga miolisis. Infiltrasi leukosit berinti tunggal, plasmosit dan histiosit tampak jelas (Baradero, 2008). e. Hipertoni Hipertoni ditegakkan dengan adanya hipertrofi otot jantung disertai dengan tanda-tanda lain seperti pembendungan atau tanda-tanda dekompensasi, sklerosis pembuluh perifer serebral status lakunaris pada ganglia basalis, sklerosis arteria folikularis limpa dan asrteriosklerosis ginjal. Hipertrofi miokardium dapat terjadi pada hipertensi, penyakit katup jantung, penyakit paru-paru yang kronik atau oleh karena keadaan yang disebut kardiomiopati atau idiopati kardiomegali. Satu atau kedua sisi jantung (Baradero, 2008). f. Penyakit Arteri Sebagai penyebab kematian mendadak, satu-satunya penyakit arteri yang penting adalah yang dapat menjadi aneurisma, sehingga mudah ruptur. Aneurisma paling sering terjadi di aorta thoracalis dan aneurisma atheromatous pada aorta abdominalis, yang biasanya terjadi pada laki-laki berusia di atas lima puluh tahun. Akibat dari ruptur aneurisma tergantung pada lokasi ruptur. Jika ruptur terjadi



pada aneurisma aorta ascenden, maka mungkin akan masuk ke dalam paru-paru, rongga pleura, medistinum, bahkan trakhea, bronkus, dan esophagus. Ruptur pada aorta thoracalis pars descendent biasanya selalu ruptur ke cavum pleura. Pada aorta pars abdominalis ruptur biasanya terjadi sedikit di atas bifucartio. Jika aneurisma juga melibatkan arteri-arteri iliaca, maka ruptur akan terjadi di sekitar pembuluh darah tersebut. Perdarahan biasanya retroperitoneal dan kolaps mendadak bisa terjadi. Ruptur mungkin ke arah rongga retroperitoneal atau kadang-kadang sekitar kantung kencing dan diagnosis baru dapat diketahui setelah autopsi. Selain ruptur aneurisma, mati mendadak karena kelainan aorta juga disebabkan oleh koarktasio aorta, meskipun biasanya berakibat terjadinya ruptur dan deseksi. Kematian terjadi beberapa jam atau hari setelah gejala muncul. Gejala atau keluhan yang paling sering muncul pada umumnya adalah rasa sakit (Eddy, 2008). h. Tamponade Cordis Tamponade cordis keadaan gawat darurat di mana cairan terakumulasi di pericardium. Sebelum timbulnya tamponade, penderita biasanya merasakan nyeri samar-samar atau tekanan di dada, yang akan bertambah buruk jika berbaring dan akan membaik jika duduk tegak. Penderita mengalami gangguan pernapasan yang berat selama menghirup udara, vena-vena di leher membengkak (Chung, 1975). Tamponade jantung dapat terjadi secara mendadak jika begitu banyak cairan yang terkumpul secara cepat sehingga jantung tidak dapat berdenyut secara normal. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan dalam jantung, dan menyebabkan ventrikel jantung tidak terisi dengan sempurna, sehingga hasilnya adalah pemompaan darah menjadi tidak efektif, syok, dan dapat juga menyebabkan kematian (Chung, 1975). Selain itu, kardiomiopati alkoholik juga dikatakan dapat menyebabkan kematian mendadak. Kardiomiopati alkoholik akibat efek langsung dari efek toksik langsung pada miokard, defisiensi nutrisi secara umum juga vitamin, serta penyakit jantung beri-beri. Efek toksik terhadap miokard merupakan penyebab yang paling umum. Ditemukan mati mendadak karena kardiomiopati alkoholik didukung dengan hipertrofi ventrikel, yang biasanya terjadi pada dua ventrikel,



dan arteria koronaria relatif bebas dari atheroma serta riwayat tekanan darah normal (Baradero, 2008). Sistem respirasi juga berkontribusi dalam penyebab kematian mendadak. Kematian dari sistem respirasi dapat terjadi karena perdarahan saluran respirasi, asfiksia, dan pneumothorax. Perdarahan dapat terjadi akibat tuberkulosis yang mana merupakan penyebab tersering kematian mendadak pada negara berkembang.



Sedangkan



asfiksia



dapat



terjadi



akibat



asma



bronkial,



bronkiektasism dan difteri yang dapat juga menyebabkan kematian mendadak dari sistem respirasi. a. Perdarahan Saluran Nafas Mati mendadak yang terjadi pada orang yang tampak sehat akibat sistem pernapasan jarang ditemukan. Kematian dapat terjadi disebabkan karena perdarahan yang masuk ke dalam saluran pernapasan, misalnya akibat pecahnya pembuluh vena tuberkulosis, neoplasma bronkus, bronkiektasis, atau abses paruparu. Penyebab utama dari sistem ini adalah perdarahan, yakni karena perdarahan yang cukup banyak atau masuknya perdarahan ke dalam paru-paru. Di dalam autopsi akan ditemukan adanya darah, trachea, bronkus, atau saluran napas yang lebih dalam lagi (Sanusi, 1986). Perdarahan dapat muncul dari lesi inflamasi pada daerah nasopharing. Beberapa kasus dapat juga berasal dari arteri carotis. Perdarahan yang lain dapat berasal dari karsinoma di daerah esophagus atau jaringan sekitarnya. Aneurisma aorta dapat juga ruptur ke arah bronkus atau esophagus (Sanusi, 1986). b. Tuberkulosis Tuberkulosis merupakan satu dari 10 penyakit yang menyebabkan angka mortalitas tinggi di dunia, dimana di Indonesia sendiri TB menduduki peringkat dua setelah stroke yang menyebabkan kematian pada usia 15 tahun dan dibawahnya serta penyebab kematian pada bayi dan balita. Menurut penelitian yang dilakukan Abdul Gafar (2019) dengan judul “Sudden Death due to Respiratory Tract Diseases” menyebutkan bahwa kematian mendadak akibat sistem traktur respiratori merupakan salah satu penyebab kematian natural dan mendadak di seluruh dunia, frekuensi di negara berkembang masih banyak yang belum terungkap. Sebuah studi retrospektif yang dilakukan di



pusat Kasturba Medical College, Mangalore, dalam beberapa kasus riwayat kematian mendadak, dari 2,515 autopsi yang dilakukan menunjukan sebanyak 274 (10,89%) merupakan kematian mendadak, yang mana sebanyak 81 (29.56%) disebabkan oleh penyakit sistem respiratori. Tuberkulosis merupakan penyakit menular infeksius yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Data dari WHO menunjukan terdapat 10-20 juta penderita TB paru yang mampu menularkan. Rate kematiannya mencapai tiga juta pertahun. Penyebarannya secara umum ada di negara berkembang dengan kondisi sosioekonomi yang rendah. TB di Indonesia menduduki peringkat dua setelah stroke yang menyebabkan kematian pada usia 15 tahun dan dibawahnya serta penyebab kematian pada bayi dan balita. Penyebaran TB paru ke tubuh penderita dapat melalui beberapa cara : (1) menyebar perkontinuatum atau langsung pada jaringan sekitar, (2) menyebar lewat udara, (3) menyebar melewati kanal limfe (pleura, tulang belakang, dan dinding thorax), (4) secara hematogen. Gambaran klinis terkait dengan TB paru dan sering adalah batuk panjang produktif (durasi >3 minggu), nyeri dada, dan hemoptisis. Penyebab kematian pada infeksi TB paru adalah masif hemoptisis dari cavum tuberkulosis. Pada autopsis paru, cavum TB dapat ditemukan yang ditandai dengan discharge pus ketika paru dipijat. c. Bronkiektasis Bronkiektasis adalah pelebaran dari lumen bronkus. Biasanya lokal dan permanen. Ektasis terjadi akibat adanya kerusakan dinding bronkus. Kerusakan dinding tersebut dapat disebabkan oleh penyakit paru-paru. Jadi, bronkiektasis bukan merupakan suatu penyakit yang berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu akibat dari penyakit paru-paru. Pelebaran dinding bronkus diikuti dengan peningkatan pembuluh darah dan pelebaran pembuluh darah. Ulserasi dari dinding ektasis akan menimbulkan perdarahan ke dalam lumen bronkus yang dapat berakibat kematian. Gambaran fisik muncul akibat adanya hipoksia dan perdarahan yang tampak pada hemoptisis. Penting untuk dilakukan pemeriksaan patologi anatomi jaringan paru-paru untuk memastikan diagnosis adanya bronkiektasis pada kasus mati mendadak yang dicurigai karena perdarahan paruparu (Suyono, 2001).



d. Abses Paru Abses paru adalah lesi paru yang berupa supurasi dan nekrosis jaringan. Abses dapat timbul akibat luka karena trauma paru, perluasan abses subdiafragma, dan infark paruparu yang terinfeksi. Karena penyebab terbanyak adalah infeksi, maka mikroorganisme yang menyebabkan abses merupakan organisme yang terdapat di dalam mulut, hidung, dan saluran napas. Macam-macam organisme tersebut misalnya kuman kokus (streptococcus, staphylococcus), basil fusiform, basil anaerob dan aerob, spyrochaeta, proteus dan lain sebagainya (Suyono, 2001). Masih dalam bukunya, Gonzales (1975) menjelaskan patologi terjadinya abses diawali dengan kuman yang teraspirasi ke dalam saluran napas sampai di bronkus dan bronkiolus. Kemudian infeksi menyebar ke parenkim paru. Terjadi pembentukan jaringan granulasi yang mengelilingi lokasi infeksi. Dapat terjadi perluasan ke pleura, sehingga pus dan jaringan nekrotik dapat keluar ke rongga pleura. Abses tanpa pengobatan yang kuat dapat menjadi kronis.



e. Pneumothorax Pneumothoraks adalah adanya udara di dalam rongga pleura. Banyak terjadi pada dewasa tua, sekitar usia 40 tahun dan lebih banyak terjadi pada pria dibanding wanita. Penyakit dasar penyebab pneumothoraks adalah tuberkulosis paru, emfisema, dan bronkhitis kronis. Pneumothoraks berulang dengan menstruasi pada wanita disebabkan oleh adanya pleura endometrosis (katamenial pneumothoraks) (Baradero, 2008). Spontan pneumothoraks dapat terjadi sebagai penyebab kematian. Umunya terjadi karena ruptur daru bulla emfisema. Pneumothoraks juga dapat terjadi akibat pecahnya kaverna sehingga berfungsi sebagai pentil udara (ventil pneumothoraks). Penderita menderita sesak napas yang berat, tekanan intrapleural meningkat sangat tinggi, terjadi kolaps paru dan penekanan pada mediastinum, termasuk jantung, venous return juga terganggu. Akibatnya selain terjadi gangguan pernapasan juga terjadi gangguan pada sirkulasi jantung yang berakibat pada kematian (Suyono, 2001). f. Asma Bronkial



Mati mendadak dapat juga terjadi pada saat serangan asma bronkial. Patogenesis dari asma bronkial yang khas adalah adanya penyempitan sampai obstruksi dari bronkus kecil pada tahap inspirasi dan ekspirasi. Penyempitan itu disebabkan oleh : (1) Spasme otot polos bronkus. (2) Edema mukosa bronkus. (3) Sekresi kelenjar bronkus meningkat. Pada



autopsi,



penderita



asma



bronkial



yang



meninggal,



didapatkan



perubahanperubahan sebagai berikut: (1) Perubahan patologis. (a) Overdistensi dari kedua paru. (b) Paru tidak kolaps waktu cavum pleura dibuka. (c) Dalam bronkus sampai bronkus terminalis didapatkan gumpalan eksudat yang menyerupai gelatin. (2) Perubahan histopatologis. (a) Hispertrofi otot bronkus. (b) Edema mukosa bronki. (c) Kerusakan epitel permukaan mukosa. (d) Kerusakan epitel permukaan mukosa. (e) Penebalan nyata dari membran basalis. (f) Infiltrasi eosinofil dalam dinding bronkus. Akibat lanjut dari sumbatan saluran napas pada asma bronkial adalah menurunnya tekanan parsial oksigen di alveoli, sehingga oksigen dalam peredaran darah juga menurun (hipoksemia). Sebaliknya terjadi resistensi karbondioksida, sehingga kadar karbondioksida dalam peredaran darah meningkat. Hal ini menyebabkan rangsangan pada pusat pernapasan sehingga terjadi hiperventilasi. Dari pathogenesis terjadinya serangan asma tersebut maka kepastian mati mendadak akibat serangan asma memerlukan pemeriksaan histologi dan biokimia (toksikologi) dengan baik (Isselbacher,et al 1999). g. Infeksi Virus Anak-anak dibawah 5 tahun merupakan target utama dari kematian mendadak. Penyebab infeksi terdeteksi rata-rata pada 50% kasus (15-86% tergantung



studinya) kasus kematian mendadak pada anak-anak dan terfokus pada infeksi sistem respirasi. Etiologi virus pada sistem respirasi teridentifikasi di 20-48% selama investigasi postmortem. II.2 Penyebab Kematian Mendadak Penyebab mati mendadak dapat diklasifikasikan menurut sistem tubuh, yaitu sistem susunan saraf pusat, sistem kardiovaskular, sistem pernapasan, system gastrointestinal, sistem haemopoietik dan sistem endokrin. Dari sistemsistem tersebut, yang paling banyak menjadi penyebab kematian adalah sistem kardiovaskular. 1. Kardiovaskular Penyebab kematian mendadak paling banyak hingga saat ini adalah kelainan kardiovaskular berdasarkan penelitian Shanti et.al pada tahun 2016 pada 50 kasus kematian mendadak 23 diantaranya menunjukan adanya kelainan pada jantung. Pada penelitiannya didapatkan kelompok usia 51 – 60 tahun serta jenis kelamin laki – laki memiliki angka kejadian tertinggi. Beberapa kasus kematian mendadak akibat kelainan kardiovaskular disebabkan oleh aterosklerosis, infark miokard dini, infark miokard dengan komplikasi, thrombus pada arteri coroner, hipertrofi ventrikel kiri, dan miokarditis, dengan penyebab terbesar adalah aterosklerosis dan diikuti oleh infark miokard dengan komplikasi



Gambar 1 histologi aterosklerosis



Gambar 2. Histologi infark miokard



2. Sistem Respirasi Kematian biasanya melalui mekanisme perdarahan, asfiksia, dan atau pneumothoraks. Perdarahan dapat terjadi pada tuberkulosis paru, kanker paru, bronkiektasis, abses, dan sebagainya. Sedangkan asfiksia terjadi pada pneumonia, spasme saluran napas, asma, dan penyakit paru obstruktif kronis, aspirasi darah, pneumotoraks atau tersedak. Sama seperti kasus kardiovaskular, mati mendadak yang disebabkan oleh gangguan sistem respirasi lebih banyak dialami oleh laki – laki dibanding perempuan. Sebaran usia tertinggi terdapat pada 40 – 49 tahun dan diatas 60 tahun. Penyebab kematian mendadak akibat kelainan sistem respirasi umumnya disebabkan oleh penyakit seperti TB paru, pneumonia, TB paru disertai pneumonia, serta penyakit saluran pernapasan atas dengan penyebab ekstra paru, dengan penyebab tertinggi adalah TB paru dan diikuti oleh pneumonia.



Gambar 3. Paru dengan pneumonia 3. Sistem



pencernaan



Kematian mendadak pada sistem pencernaan disebabkan adanya kelainan atau penyakit pada organ – organ pencernaan serta organ yang ada pada region abdominal seperti hati dan pankreas, angka kejadiannya pun termasuk jarang, sekitar 7% dari seluruh kasus kematian mendadak, jika dibandingkan dengan kelainan kardiovaskular. Kematian mendadak akibat kelainan atau penyakit pada sistem pencernaan secara umum dibagi menjadi tiga yaitu kongenital, kongenital dan didapat, serta didapat. Kasus kongenital diantaranya seperti obstruksi duodenum, kelainan mesentrik, gastric heterotopia, dan lain – lain, untuk kasus kongenital dan didapat diantaranya seperti hernia inguinalis, hernia diafragmatik, volvulus, dan aneurisma, sedangkan untuk kasus yang didapat adalah intususepsi, neoplasma, varises, perforasi usus, dan lain – lain.



Gambar 4. Volvulus



4. Sistem saraf pusat Kematian mendadak akibat kerusakan sistem saraf pusat umumnya terjadi akibat kerusakan akut atau tekanan pada pusat vital. Disfungsi sistem saraf pusat dapat menyebabkan aritmia yang mengancam nyawa. Beberapa kelainan pada sistem saraf pusat yang dapat menyebabkan kematian mendadak adalah perdarahan intracranial, perdarahan subaraknoid,



kematian mendadak akibat epilepsy, tumor dan kondisi menyerupai tumor, serta infeksi pada otak.



Gambar 5. Perdarahan intra kranial



II.3 Pemeriksaan Forensik Mati mendadak Kematian mendadak sering disamakan dengan kematian wajar yang tidak terduga (sudden natural unexpected death), yaitu suatu kematian yang disebabkan oleh karena sebab wajar (natural) seperti penyakit alamiah bukan akibat sebab tidak wajar (unnatural) seperti trauma atau keracunan, namun kematian mendadak tidak selalu disebabkan oleh hal wajar. Maka dari itu, sangat penting menentukan apakah cara kematian yaitu wajar (natural) atau tidak wajar (unnatural). Pemeriksaan kematian mendadak sering dilakukan oleh dokter ahli forensik dikarenakan pada kasus kematian mendadak dapat muncul dugaan apakah ada unsur-unsur tindak pidana sehingga harus diperlakukan sebagai kematian yang tidak wajar (unnatural) sampai dapat dibuktikan bahwa kematian tersebut bersifat wajar (natural) secara ilmiah.9 Perlu dilakukannya suatu pembuktian mengenai cara kematian (manner of death), sebab kematian (cause of death) dan mekanisme kematian (mechanism of death) pada kasus-kasus kematian forensik yang selanjutnya akan dituangkan pada visum et repertum (VeR). Bagaimana mekanisme dan sebab-sebab kematian yang mungkin saja terjadi, serta tanda-tanda yang terlihat dari setiap sebab dan mekanisme kematian yang ditemukan pada tubuh korban merupakan hal yang harus dipahami dalam pemeriksaan autopsi forensik. Keadaan lingkungan tempat kejadian perkara juga harus diperhatikan seperti:



1. Kematian terjadi pada saat seseorang melakukan aktivitas fisik maupun emosional dan disaksikan oleh orang lain, misalnya sedang berolahraga, melakukan ujian, dan lain sebagainya. 2. Jenazah dalam keadaan mencurigakan, misalnya korban tanpa kelainan apa-apa dengan dengan pakaian rapi ditemukan meninggal, atau meninggal di tempat tidur sendirian.10 Proses kematian biasanya disebabkan oleh trauma (rudapaksa), asfiksia karena berbagai penyebab seperti asfiksia mekanik dan keracunan serta penyakit misalnya penyakit isitemik, degeneratik, kanker, dan infeksi. Pada kasus kematian mendadak penyebab terbanyak adalah penyakit atau kelainan kardiovaskular. Untuk menentukan penyebab kematian diperlukan pemeriksaaan forensik yang diantaranya pemeriksaan eksternal postmortem (pemeriksaan luar), pemeriksaan internal (autopsi/ pemeriksaan dalam) dan pemeriksaan penunjang.10 II.4 Tujuan pemeriksaan pada kasus mati mendadak Untuk menetapkan penyebab dan mekanisme serta cara kematian, dan khususnya untuk: 1. Mengecualikan kematian yang tidak wajar 2. Memastikan kemungkinan penyebab kematian, baik untuk kode diagnostik yang akurat maupun informasi tentang kerabat yang masih hidup 3. Mengidentifikasi kondisi keluarga apa pun, jika ada, yang mungkin mengarah pada pencegahan kematian dini di masa mendatang di antara anggota keluarga lainnya. 4. Memberikan data yang akurat untuk investigasi tentang rekurensi kejadian kematian mendadak yang tidak dapat dijelaskan / tidak terduga.11 II.4.1 Otopsi Verbal Salah satu cara penentuan sebab kematian dapat melalui otopsi verbal, dengan cara melakukan wawancara medikolegal dengan keluarga korban, terhadap pihak yang mengetahui riwayat kesehatan korban sehari-hari, meliputi sacred seven dan fundamental four. Selain itu, dilakukan juga penelusuran rekam medis, hasil pemeriksaan laboratorium dan radiologi, serta hal-hal lain yang dapat membantu penegakan diagnosis penyebab seperti keterangan saksi yang melihat bahwa korban mengalami serangan penyakit mendadak.11



II.4.2 Pemeriksaan luar jenazah Selain dengan mengumpulkan data, perlu juga dilakukan pemeriksaan luar post mortem untuk mencari tanda-tanda kematian wajar dan tidak wajar. Pemeriksaan luar jenazah adalah pemeriksaan menyeluruh pada tubuh dengan cermat meliputi segala sesuatu



yang terlihat, tercium, teraba serta benda-



benda yang menyertai jenazah. Tujuan untuk memastikan



pemeriksaan luar jenazah adalah



kematian memperkirakan waktu,



mekanisme, dan cara



kematian, identifikasi, serta menemukan tanda-tanda penyakit atau luka-luka yang berkaitan dengan penyebab kematian sebagai dasar penerbitan surat keterangan kematian. Apabila saat pemeriksaan ditemukan luka-luka yang diperkirakan sebagai penyebab



kematian maka kematian ini sangat mungkin sebagai



suatu kematian yang tidak wajar sehingga diperlukan koordinasi dengan penyidik, dan apabila



diperlukan dilakukan pemeriksan otopsi forensik.11



Pemeriksaan luar jenazah dibagi dalam 3 (tiga) kelompok besar pemeriksaan, yaitu : 1. Pemeriksaan Identifikasi Pemeriksaan identifikasi bertujuan untuk mengumpulkan data-data identifikasi postmortem yang akan dicocokan dengan data antemortem pada rekonsiliasi. Untuk



jenazah yang tidak diketahui identitasnya,



pemeriksaan identifikasi merupakan pemeriksaan yang



utama, karena



penyidik tidak dapat memulai melakukan penyidikan bila korban tidak diketahui identitasnya. 2. Pemeriksaan perubahan-perubahan setelah kematian (Tanatologi) Tanatologi adalah ilmu yang mempelajari perubahan-perubahan setelah kematian. Pemanfaatan ilmu ini selain untuk mengetahui kematian juga dapat digunakan untuk memperkirakan kematian. Hal-hal yang berkaitan dengan tanatologi adalah: a. Lebam mayat b. Kaku mayat c. Perubahan pada mata d. Pembusukan 3. Pemeriksaan tanda-tanda kekerasan



kepastian



waktu



a. Periksa dan temukan luka-luka dan patah tulang. b. Foto kondisi luka sebelum dan sesudah dibersihkan. c. Foto kondisi luka dari jarak jauh dan jarak dekat



dengan



memperhatikan anatomical landmark. d. Deskripsikan lokasi luka, koordinat luka, jenis luka, gambaran luka, dan ukuran luka. e. Bila perlu deskripsikan sekitar luka: apakah terdapat luka-luka lain atau hal-hal lain. f. Temukan patah tulang tertutup dengan cara memeriksa tulang-tulang apakah terdapat kelainan bentuk (deformitas), pemendekan, bengkak, memar, krepitasi, dan false movement saat tulang digerakkan.11 Apabila korban hanya dilakukan pemeriksaan luar jenazah namun tidak ditemukan adanya kelainan berarti sebab kematian pasti belum dapat ditentukan, maka perlu dilakukan pemeriksaan dalam jenazah dan penunjang.11 II.4.2 Pemeriksaan dalam jenazah Pemeriksaan dalam atau bedah mayat berarti suatu penyelidikan atau pemeriksaan tubuh mayat, termasuk alat-alat atau organ tubuh dan susunanya pada bagian dalam setelah dilakukan pembedahan dengan tujuan menentukan sebab kematian seseorang, baik untuk kepentingan ilmu kedokteran maupun menjawab misteri suatu tindak kriminal. Ada 3 macam bedah mayat a. Otopsi Anatomik Otopsi anatomik dilakukan untuk kepentingan pendidikan yaitu untuk mempelajari susunan tubuh manusia normal.12 b. Otopsi Klinik Otopsi



klinik



adalah



pemeriksaan



yang



dilakukan



dengan cara



pembedahan terhadap mayat untuk mengetahui dengan pasti penyakit atau kelainan yang menjadi sebab kematian dan untuk penelitian hasil usaha pemulihan kesehatan.12 c. Otopsi Forensik



Otopsi kehakiman (forensik) atau pemeriksaan mayat untuk peradilan ialah otopsi yang dilakukan atas dasar perintah yang berwajib untuk kepentingan peradilan, karena peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana. Otopsi kehakiman/forensik selain dilakukan di Rumah Sakit bila



perlu



dikerjakan di tempat kejadian perkara atau ditempat dimana mayat dikuburkan (misal di pemakaman umum), bila mayat tidak mungkin diangkut ke Rumah Sakit. Yang berwenang minta otopsi kehakiman/forensik ialah: 1. Penyidik (KUHAP 133, 134, 135). 2. Hakim Pidana (KUHAP 180) Setelah dilakukan identifikasi dan pemeriksaan luar pada mayat, maka dapat dimulai pemeriksaan dalam mayat. Alat yang disiapkan adalah: 1. Alat pengukur : a. Timbangan besar sampai 500 kg (kalau ada) b. Timbangan kecil sampai 3 kg c. Pita pengukur d. Penggaris e. Alat pengukur cairan 2. Alat untuk otopsi : a. Pisau b. Gunting c. Pinset d. Gergaji gigi halus e. Jarum besar f. Benang kuat 3. Bahan lain : a. Botol/topples untuk spesium pemeriksaan toksikologi b. Alkohol 96% untuk fiksasi pemeriksaan toksikologi(5 liter) c. Botol untuk sppesium pemeriksaan histopatologi d. Formaline 10% sebanyak 1 liter e. Kaca sedian dan kaca penutup Prosedur bedah mayat dimulai dari :



1. Insisi 2. Mengeluarkan tulang dada (sternum) 3. Inspeksi rongga perut. 1) Cairan : apakah ada cairan, bila ada diukur volume, warna, dan sifatnya (keruh/fibrinosa/purulent) 2) Peritoneum : apakah licin, mengkilat dan transparan 3) Jala/ Omentum : apakah menutupi seluruh usus 4) Sekat rongga badan: Apakah ada udara pada rongga paru-paru (pneumothorax) 4. Mengeluarkan dan memeriksa alat tubuh/ organ mayat Dari tiap organ dicatat : ukuran, bentuk, permukaan, warna, konsistensi, berat. Organ yang diperiksa: 1) Lidah 2) Tonsil 3) Kelenjar gondok 4) Esophagus 5) Trakea 6) Tulang lidah, rawan gondok, dan rawan cincin 7) Arteri karotis interna 8) Kelenjar timus 9) Paru-paru 10) Jantung 11) Aorta thorakalis dan abdominalis 12) Glandula suprarenal 13) Ginjal, ureter, dan kandung kencing 14) Hati dan kandung empedu 15) Limpa dan kelenjar getah bening 16) Lambung, usus halus, dan usus besar 17) Pankreas 18) Otak besar, otak kecil, batang otak 19) Alat kelamin



5. Setelah otopsi selesai, semua organ dikembalikan ke dalam rongga tubuh sesuai lokasinya 6. Jahit tulang dada yang dilepas dengan tulang iga lalu jahit kulit dari ujung insisi ke ujung lainnya 7. Bersihkan tubuh mayat dari darah sebelum diserahkan kembali pada pihak keluarga.12 II.4.3 Pemeriksaan penunjang Apabila autopsi yang dilakukan dokter ditambah dengan pemeriksaan histologi, patologi, toksikologi, biokimia dan biologi molekuler maka hasilnya akan lebih baik, dan dari sudut medikolegal lebih dapat dipertanggungjawabkan sebagai sebab kematian kausalitas. Jenis pemeriksaan penunjang yang dilakukan sesuai dengan kasusnya: 1. Pada kasus meninggal akibat trauma (kekerasan), diperlukan pemeriksaan patologi anatomi (PA) untuk mengetahui ada /tidaknya sel-sel radang. Jika didapatkan sel radang maka dapat disimpulkan bahwa kekerasan terjadi saat korban masih hidup (ante mortem/intravital). Sedangkan tidak adanya sel radang menunjukkan trauma terjadi setelah korban meninggal (post mortem). Sel radang yang dimaksud adalah sel leukosit polimorfonuklear (PMN).13 2. Pada kasus dimana korban meninggal diduga akibat keracunan atau tidak ada hasil pemeriksaan yang menunjukkan korban meninggal karena kekerasan/penyakit



tertentu



maka



wajib



dilakukan



pemeriksaan



toksikologi forensik. Pemeriksaan ini tentunya didasarkan dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik dan disesuaikan dengan dugaan jenis racunnya.13 Berikut merupakan jenis pemeriksaan penunjang pada kasus forensik : 1. Pemeriksaan alkohol, menggunakan metode mikrodifusi Conway 2. Pemeriksaan sianida, menggunakan metode Guignardtes 3. Pemeriksaan arsen, menggunakan metode Sanger Black tes 4. Kasus meninggal diduga tenggelam : pemeriksaan diatom atau bendabenda air 5. Pemeriksaan swab paru



6. Pemeriksaan destruksi asam.13



BAB III KESIMPULAN



Menurut WHO kematian mendadak merupakan kematian tanpa kekerasan (Non violent), kematian tak terduga yang terjadi kurang dari 24 jam sejak timbulnya gejala. Kematian jantung mendadak/Sudden Cardiac Death (SCD) adalah penyebab utama kematian dan bertanggung jawab untuk sekitar setengah dari semua kematian akibat penyakit kardiovaskular. Pemeriksaan kematian mendadak sering dilakukan oleh dokter ahli forensik dikarenakan pada kasus kematian mendadak dapat muncul dugaan apakah ada unsur-unsur tindak pidana sehingga harus diperlakukan sebagai kematian yang tidak wajar (unnatural) sampai dapat dibuktikan bahwa kematian tersebut bersifat wajar (natural) secara ilmiah. Perlu dilakukannya suatu pembuktian mengenai cara kematian (manner of death), sebab kematian (cause of death) dan mekanisme kematian (mechanism of death) pada kasus-kasus kematian forensik yang selanjutnya akan dituangkan pada visum et repertum (VeR). Bagaimana mekanisme dan sebab-sebab kematian yang mungkin saja terjadi, serta tanda-tanda yang terlihat dari setiap sebab dan mekanisme kematian yang ditemukan pada tubuh korban merupakan hal yang harus dipahami dalam pemeriksaan autopsi forensik.



DAFTAR PUSTAKA



1. WHO. 2005. International classification of diseases (ICD-10). Geneva: World Health Organization. 2. Baskhara D, Mallo J , Tomuka.2012. Hasil Autopsi Sebab Kematian Tak Terduga di Bagian Forensik BLURSUP. Prof. Dr. R. D. Kandou Manado 3. Hakim, F. A. 2010. Aspek Medikolegal Kematian Mendadak Akibat Penyakit (Natural SuddenDeath), FK UNJANI:Research andLearning Unit.



:



Available



from:https://rludifkunjani.wordpress.com/2010/11/17/aspek-medikolegalkematian-mendadak-akibat-penyakit-natural-sudden-death/ 4. James JP, Jones R. SIMPSON’S FORENSIC MEDICINE. 14 th ed. CRC Press. London;2019 5. Christopher X.Wong, dkk,



2019, Epidemiology of Sudden Cardiac



Deatch Global and Regional Perspectives, diakses tanggal 1 Januari 2019, https://www.heartlungcirc.org/article/S1443-9506(18)31905-X/fulltext 6. 7. Gafar, A, 2019, Sudden Death due to Respiratory Tract Diseases, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Buletin Farmatera Vol 4 No 2 Juni 2019. 8. Garcia M, dkk, 2016, Respiratory Viruses as a Cause of Sudden Death, Expert Review of Anti-infective Therapy, 14:4, 359-363, diakses tanggal 7 Maret 2016, : https://doi.org/10.1586/14787210.2016.1157470 9. Suryadi, T. 2019. Penentuan Sebab Kematian dalam Visum Et Repertum pada Kasus Kardiovaskuler. Bagian Imu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala : Banda Aceh 10. Universitas Udayana. 2017. Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Udayana University Press : Denpasar 11. Wibawati, M. A. 2018. Bedah Mayat Perspektif Hukum Positif Dan Hukum Islam (Studi Kasus Di Rs Bhayangkara Kediri). 12. Suhartini. 2019. Jenis-Jenis Pemeriksaan Penunjang dalam Kasus Forensik. https://toksikologiforensik.fk.ugm.ac.id/2019/06/14/jenis-jenispemeriksaan-penunjang-dalam-kasus-forensik/ Diakses tanggal 9 januari 2021



13. Osman, J., Tan, S.C., Lee, P.Y. et al. Sudden Cardiac Death (SCD) – risk stratification and prediction with molecular biomarkers. J Biomed Sci 26, 39



(2019).



https://jbiomedsci.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12929-019-0535-8 14. Shanthi B, Saravanan S, Elangovan RS, Sudha V. Sudden Death Causes: An Autopsy Study in Adults. Int J Sci Stud 2016;4(4):176-179. https://www.ijss-sn.com/uploads/2/0/1/5/20153321/ijss_jul_oa41__2016.pdf 15. Rastogi, Prateek & Acharya, Jenash. (2013). A Study of Respiratory System Related Causes of Sudden Death. Indian Internet Journal of Forensic Medicine & Toxicology. 11. 87. 10.5958/j.0974-4487.11.4.017. https://www.researchgate.net/publication/273368952_A_Study_of_Respir atory_System_Related_Causes_of_Sudden_Death 16. Hugar BS, Harish S, Girishchandra YP, Jayanth SH. Study of sudden gastrointestinal deaths: an autopsy study. Med Sci Law. 2014 Apr;54(2):63-7. doi: 10.1177/0025802413491246. Epub 2013 Jul 10. PMID: 23842481. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/23842481/ 17. Menezes RG, Ahmed S, Pasha SB, Hussain SA, Fatima H, Kharoshah MA, Madadin M. Gastrointestinal causes of sudden unexpected death: A review. Med Sci Law. 2018 Jan;58(1):5-15. doi: 10.1177/0025802417737001. Epub 2017 Nov 15. PMID: 29141499. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/29141499/ 18. Ong, Beng & Milne, Nathan. (2016). Sudden Natural Death: Central Nervous System and Miscellaneous Causes. Encyclopedia of Forensic and Legal Medicine. 10.1016/B978-0-12-800034-2.00366-9. 19. https://www.researchgate.net/publication/301776787_Sudden_Natural_De ath_Central_Nervous_System_and_Miscellaneous_Causes