Referat MENINGITIS TB [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Laboratorium / SMF Kedokteran Radiologi



REFERAT



Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman



INTRAKRANIAL TUBERKULOSIS



Oleh Herman Yusuf A. NIM. 1910027013



Dosen Pembimbing dr. Yudanti Riastiti, M. Kes., Sp.Rad



Laboratorium / SMF Ilmu Radiologi FakultasKedokteran UniversitasMulawarman September 2019



1



KATA PENGANTAR



Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan referat tentang “Intrakranial Tuberkulosis”. Referat ini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di Laboratorium Ilmu Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman. Tidak lupa penyusun mengucapkan terima kasih kepada dr. Yudanti Riastiti, M. Kes, Sp. Rad selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak bimbingan, perbaikan dan saran penulis sehingga referat ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis menyadari masih terdapat banyak ketidaksempurnaan dalam referat ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan referat ini. Akhir kata penulis berharap semoga referat ini menjadi ilmu bermanfaat bagi para pembaca.



Samarinda, September 2019 Penulis,



Herman Yusuf Asmardani



2



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ 2 DAFTAR ISI........................................................................................................................................... 3 BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................................... 4 1.1



Latar Belakang ........................................................................................................................ 4



1.2



Tujuan ..................................................................................................................................... 4



BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................................. 6 2.1



Definisi........................................................................................................................................ 6



2.2



Epidemiologi ............................................................................................................................... 6



2.3



Etiologi........................................................................................................................................ 6



2.4



Patofisiologi ................................................................................................................................ 7



2.5



GambaranKlinis .......................................................................................................................... 8



2.6



Diagnosa ................................................................................................................................... 10



2.7



Differential Diagnosis ............................................................................................................... 17



2.8



Terapi ........................................................................................................................................ 17



2.9



Prognosis ................................................................................................................................... 24



2.10



Komplikasi ................................................................................................................................ 25



BAB III KESIMPULAN ....................................................................................................................... 26 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 26



3



BAB I PENDAHULUAN 1.1



Latar Belakang Tuberkulosis (TB) adalah infeksi yang menular. Sama seperti flu, pengantar virus



meningitis berasal dari cairan yang berasal dari tenggorokan atau hidung. Bakteri tersebut dapat berpindah melalui udara dan menularkan kepada orang lain yang menghirup udara tersebut. Meningitis tuberkulosis adalah peradangan pada meningens yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberkulosis (TB). Meskipun TB terjadi penurunan kasus insiden di seluruh dunia baru-baru ini, TB tetap menjadi penyebab utama kematian dalam skala global. Sepertiga populasi dunia terinfeksi Mycobacterium tuberkulosis, yang berkembang menjadi penyakit aktif pada sekitar 10% orang. Pada tahun 2016, secara global terdapat 10,4 juta kasus insiden TB yang setara dengan 120 kasus per 100.000 penduduk. Lima negaa dengan insiden kasus tertinggi yaitu India, Indonesia, China, Philipina, dan Pakistan (Kemenkes RI, 2018). Secara keseluruhan, meningitis tuberkulosis terdiri 1-2% dari kasus TB aktif. Dalam pengaturan dengan epidemi bersamaan HIV dan TB, M. tuberkulosis sekarang menjadi penyebab utama meningitis bakteri, di samping patogen seperti Neisseria meningitidis, Haemophilus influenzae, atau Streptococcus pneumoniae. Sekitar setengah dari semua infeksi meningitis TB menyebabkan kecacatan parah atau kematian (Mezochow, Thakur, & Vinnard, 2018). Infeksi TB pada SSP disebabkan oleh Mycobacterium tuberkulosis, bakteri obligat aerob yang secara alamiah reservoirnya manusia. Organisme ini tumbuh perlahan, membutuhkan waktu sekitar 15 sampai 20 jam untuk berkembang biak dan menyebar.3 Prinsip penanganan meningitis TB mirip dengan penanganan TB lain dengan syarat obat harus dapat mencapai sawar darah otak dengan konsentrasi yang cukup untuk mengeliminasi basil intraselular maupun ekstraselular (Mezochow, Thakur, & Vinnard, 2018). 1.2



Tujuan Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk menambah wawasan dan ilmu



pengetahuan secara umum mengenai Intrakranial TB. Adapun tujuan secara khususnya adalah untuk mengetahui pemeriksaan radiologi apa saja yang dapat dilakukan dan melihat gambaran radiologi yang khas pada Intrakranial TB sehingga dapat mempermudah



4



menegakkan diagnosis serta membedakan gambaran radiologi Intrakranial TB dengan diagnosis banding lainnya.



5



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1



Definisi Meningitis tuberkulosis merupakan manifestasi tuberkulosis yang paling ditakuti, dan



merupakan infeksi sistem saraf pusat (SSP) yang umum terjadi khususnya di negara-negara berkembang seperti Indonesia di mana tuberkulosis masih cukup endemis. Insidensi sesuai dengan tuberkulosis paru yang mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi (Frida, 2011). Meningitis tuberkulosis adalah radang selaput otak akibat komplikasi tuberkulosis primer. Secara histologi meningitis tuberkulosis merupakan meningoensefalitis (tuberkulosis) dengan invasi ke selaput dan jaringan susunan saraf pusat (Frida, 2011).



2.2



Epidemiologi Pada tahun 2016, secara global terdapat 10,4 juta kasus insiden TB yang setara



dengan 120 kasus per 100.000 penduduk. Lima negaa dengan insiden kasus tertinggi yaitu India, Indonesia, China, Philipina, dan Pakistan (Kemenkes RI, 2018). Secara keseluruhan, meningitis tuberkulosis terdiri 1-2% dari kasus TB aktif. Dalam pengaturan dengan epidemi bersamaan HIV dan TB, M. tuberkulosis sekarang menjadi penyebab utama meningitis bakteri, di samping patogen seperti Neisseria meningitidis, Haemophilus influenzae, atau Streptococcus pneumoniae. Sekitar setengah dari semua infeksi meningitis TB menyebabkan kecacatan parah atau kematian (Mezochow, Thakur, & Vinnard, 2018). Meningitis tuberkulosis merupakan meningitis yang paling banyak menyebabkan kematian atau kecacatan, dibanding dengan meningitis bakterialis akut, perjalanan penyakit meningitis tuberkulosis lebih lama dan perubahan atau kelainan dalam cairan serebrospinal (CSS) tidak begitu hebat (Mezochow, Thakur, & Vinnard, 2018).



2.3



Etiologi M. tuberkulosis adalah basil gram positif, hidup secara obligat aerob, tidak berspora,



dan tidak bergerak. Panjangnya 2-4 um. Memiliki dinding sel kaya lipid yang dapat melindungi bakteri dari serangan antibodi dan komplemen. Tumbuh sangat pelan, butuh sekitar 3-6 minggu untuk mengisolasi bakteri dari spesimen klinis di agar Lowenstein Jensen. Uji sensitivitas obat membutuhkan 4 minggu tambahan. Ciri khas bakteri ini adalah tahan asam, yaitu kemampuan membentuk kompleks mikolat berwarna kemerahan bila diwarnai 6



dengan pewarna arilmetan dan mempertahankan warnanya walau dicuci dengan etanol (Prasad & Singh, 2009).



2.4



Patofisiologi Perkembangan meningitis tuberkulosis terdiri dari dua tahap. Tahap pertama, basil



Mycobacterium tuberkulosis masuk ke tubuh pejamu melalui inhalasi droplet, dimulai dengan infeksi di sel makrofag alveolus paru-paru. Infeksi meluas kedalam paru-paru bersama dengan penyebaran kelimfonodus regional membentuk kompleks primer. Pada tahap ini terjadi bakteremia singkat tapi signifikan dapat menyebarkan basil tuberkel ke organ lain di dalam tubuh. Pada penderita yang mengalami meningitis tuberkulosis basil menyebar ke meninges atau parenkim otak, membentuk fokus subpial atau sub-ependimal kecil. Yang disebut fokus Rich. Pada sekitar 10% kasus, terutama pada anak-anak, kompleks primer tidak sembuh tetapi menjadi progresif. Tuberkulosis berkembang lebih berat dan terjadi bakteremia tuberkulosis yang lebih lama. Penyebaran ke sistem saraf pusat lebih sering terjadi pada tuberkulosis milier (Starke, 2010). Tahap kedua perkembangan meningitis tuberkulosis yaitu pecahnya fokus Rich ke ruang subarakhnoid. Hal ini menyebabkan meningitis yang jika tidak diobati, akan terjadi kerusakan otak yang parah dan irreversible. Pada 75%



anak-anak, onset meningitis



tuberkulosis terjadi kurang dari 12 bulan setelah infeksi primer (Starke, 2010). Keadaan patologi terjadi melalui tiga proses :pembentukan adhesi, vaskulitis, dan encefalitis. Adhesi terjadi karena eksudat meningeal di basal otak yang kental yang terjadi karena inokulasi basil kedalam ruang subarakhnoid. Eksudat berisi limfosit, sel plasma, dan makrofag, serta fibrin yang banyak. Adhesi yang terjadi pada sisterna basalis menyebabkan obstruksi saluran CSS dan hidrosefalus. Adhesi di sekitar fossa interpendicular dan struktur di sekitarnya dapat menyebabkan kelainan nervus kranial, terutama nervus kranial II, IV, dan VI, dan arteri karotis interna. Vaskulitis pada pembuluh darah yang besar dan kecil sehingga menyebabkan infark dan sindrom stroke. Biasanya terjadi di daerah karotis interna, arteri serebri media proksimal dan permbuluh darah yang menuju ke ganglia basalis. Peningkatan proses inflamasi di basal dapat meluas keparenkim otak menyebabkan ensefalitis. Edema terjadi sebagai konsekuensi dari ensefalitis yang dapat terjadi pada kedua hemisfer. Ini akan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan defisit neurologi global (Pasco, 2012).



7



2.5



GambaranKlinis Gambaran klinis meningitis tuberkulosis bervariasi dan tidak spesifik. Selama dua



sampai delapan minggu dapat ditemukan malaise, anoreksia, demam, nyeri kepala yang semakin memburuk, perubahan mental, penurunan kesadaran, kejang, kelumpuhan nervus kranial (II,III,IV,VI,VII,VIII) dan hemiparese (Thwaites, Chou, Mai, Drobniewski, McAdam, & Farrar, 2000). Perjalanan klinis meningitis tuberkulosa dapat dibagi dalam tiga tahapan, sebagaimana didefinisikan oleh British Medical Research Council. Tahap pertama, merefleksikan inflamasi meningeal, terdiri dari perubahan kepribadian, iritabilitas, anoreksi, lesu, dan demam. Gejala non-spesifik ini dapat dianggap disebabkan oleh meningitis tuberkulosis hanya pada penelitian retrospektif. Setelah 1-2 minggu, penyakit memasuki tahap kedua. Di sini, tanda dan gejala peningkatan tekanan intrakranial dan kerusakan serebral muncul, termasuk mengantuk, kaku kuduk, kelumpuhan nervus kranial (terutama nervus kranial III, VI, dan VII), anisokor, muntah, dan kejang fokal atau umum. Pada anak yang lebih tua dan orang dewasa, sakit kepala dan muntah merupakan gejala utama tahap kedua, dan sakit kepala pada pasien dengan tuberkulosis milier sangat berhubungan dengan keterlibatan meningeal. Kadang-kadang makrosefali dapat diamati pada bayi. Sebanyak 10% pasien tidak mengalami demam (Thwaites et.al, 2009) Tahap ketiga dari meningitis tuberkulosis ditandai dengan defisit neurologi yang berat, termasuk koma, instabilitas otonom, dan demam yang meningkat. Hemiplegia dapat terjadi selama onset penyakit atau pada tahap selanjutnya, tapi biasanya berhubungan dengan infark di daerah arteri serebrimedia. Monoplegia, bukan gejala yang umum terjadi, terjadi akibat lesi vaskuler pada tahap awal dari penyakit. Quadriplegia disebabkan oleh infark bilateral atau edema yang hebat, terjadi hanya pada kasus yang lebih lanjut (Kemenkes, Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis, 2011). Terjadinya meningitis tuberkulosa pada anak seringkali bertahap, terjadi selama 1-3 minggu, dan tampaknya di beberapa kasus dipicu oleh infeksi virus, jatuh, atau benturan di kepala. Kadang timbulnya gejala tiba-tiba dan ditandai dengan kejang atau perkembangan defisit neurologi yang cepat (Thwaites et.al, 2000) Berikut adalah tabel ciri-ciri klinis meningitis tuberkulosis pada anak-anak dan orang dewasa.



8



Tabel 1 Ciri-Ciri Klinis Meningitis Tuberkulosis pada Anak-Anak dan Orang Dewasa Frekuensi Gejala Sakit Kepala



50 – 80 %



Demam



60 – 95 %



Muntah



30 – 60%



Fotofobia



5 – 10 %



Anoreksia / Penurunan Berat Badan



60 – 80%



Tanda Klinis Kaku Kuduk



40 – 80%



Kebingungan



10 – 30%



Koma



30 – 60%



Kelumpuhan Nervus Kranial



30 – 50%



VI



30 – 40 %



III



5 – 15%



VII



10 – 20%



Hemiparesis



10 – 20%



Paraparesis



5 – 10%



Kejang Anak-Anak



50%



Dewasa



5%



Cairan Serebrospinal Kejernihan



80 – 90%



Tekanan > 25 cm H2O



50%



Hitung Leukosit (x 103/ml)



5 – 1000



Netrofil



10 – 70%



Limfosit



30 – 90%



9



2.6



Protein (g/l)



0,45 – 3,0*



Laktat (mmol/l)



5,0 – 10,0



Glukosa CSS ; Glukosa darah < 0,5



95%



Diagnosa Diagnosis ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan



neurologi dan pemeriksaan penunjang (Starke, 2010). 2.6.1 Anamnesis Intrakranial TB adalah bentuk terburuk dari penyakit TB. Sekitar 5-10% dari seluruh pasien yang menderita TB dan mayoritas pasien TB dengan AIDS sekitar 20% menderita intrakranial TB. 2.6.2 Pemeriksaan Fisik 2.6.3 Pemeriksaan Penunjang 2.6.3.1 CT Scan Pemeriksaan penunjang berupa imaging seperti CT Scan dari intracranial TB adalah pemeriksaan yang akurat. Intrakranial TB dapat menggambarkan perbedaan di CT Scan berupa serebritis meningitis, abses serebral, tuberkuloma, tuberculosis milier dan dapat melibatkan spinal atau kalvaria (Taheri, Karimi, Haghighatkhah, Pourghorban, Samadian, & Kasmaei, 2015). 



Meningitis TB Pada gambaran CT Scan, gambaran paling umum ditemukan pada meningitis TB



adalah obliterasi pada sisterna basalis dengan eksudat isodens, atau hiperdens ringan. Pada stadium lanjut dapat ditemukan pelebaran dari ruang subarachnoid ( Taheri et.al, 2015).



10



Gambar 1. Meningeal tuberkulosis.(a) Axial CT Scan Postkontras menunjukkan Enhancement sisterna basalis. (b) ,(c) dan (d) menunjukkan peningkatan eksudat basalis dan peningkatan leptomeningal. Sebuah tuberkuloma kecil di daerah temporal kanan (d) dan hidrosepali (lebih parah di ventrikel kiri) dan bukti kraniotomi sebelumnya (lubang duri, pneumoventrikel kiri) juga jelas. (Taheri et.al, 2015)



11



Gambar 2. Trombosis sinus vena dural sebagai satu-satunya bukti pencitraan meningitis TB pada pria berusia 45 tahun yang mengalami sakit kepala dan cairan serebrospinal PCR positif untuk



Mikobakterium



tuberkulosis.



(a)



gambaran



postcontrast



T1-weighted



MRI



menunjukkan defek pengarsipan dalam sinus sigmoid kiri melebar (panah hitam). (B) MR angiogram mengungkapkan nonvisualisasi sinus transversal dan sigmoid di sisi kiri (panah putih) (Taheri et.al, 2015). 



Parenkimal TB 1) Serebritis dan Abses Serebral Parenkim TB dapat terjadi dengan atau tanpa ditemani meningitis. Serebritis atau abses



TB dapat memiliki gambaran yang mirip dengan infeksi bakteri pyogenik dalam penelitian neuro imaging. Serebritis TB fokal sangat jarang ditemukan dan hanya didapatkan area kecil Enhancement dalam imaging post kontras. Sedangkan Abses TB juga jarang dan memiliki karakteristik dengan adanya area sentral liquefaction disertai pus. Hal tersebut bisa berupa multiple atau soliter dan biasanya multiloculated (Taheri et.al, 2015).



Gambar 3. Abses TB menyerupai tumor sudut serebellopontin pada wanita 22 tahun dengan TB paru milier, hemiparesis kanan, paresis wajah kiri, dan keterlibatan saraf kranial keenam dan ketujuh. Gambar berbobot aksial T1 (a) menunjukkan dominan lesi isosignal di belahan kiri otak kecil dengan ekstensi ke CPA dan cawan prepontine disertai edema perifer yang ditandai dan efek massa. Peningkatan multilobulasi lesi terlihat pada postcontrast T1weighted (b) dan CT (c) gambar (Taheri et.al, 2015).



12



2) Tuberkuloma Tuberkuloma adalah lesi parenkimal yang paling umum dalam intrakranial TB. Lesi dapat soliter atau multiple serta dapat ditemukan dengan atau tanpa meningitis. Secara histologi, tuberkuloma mature berisi nekrotik kaseosa yang dikelilingi kapsula yang berisi fibroblast,sel epiteloid, sel giant langhans, dan limfosit. Pada CT Scan tanpa kontras, tuberkuloma dapat memiliki densitas berupa isodens, hiperdens, atau campuran keduanya. Sedangkan pada CT Scan dengan kontras, dapat ditemukan gambaran Enhancement seperti cincin atau paling tidak didapatkan enhancement non homogen area nodular atau ireguler. Jika ditemukan kalsifikasi nidus sentral dikelilingi enhancement seperti cincin yang lebih sering disebut sebagai “Target Sign” dan bisa disimpulkan sebagai diagnosis (Taheri et.al, 2015).



Gambar 4. Beberapa TB supra dan infratentorial pada wanita 27 tahun dengan riwayat tuberkulosis paru. TB adalah terlihat sebagai beberapa lesi peningkatan cincin kecil tanpa edema perifer pada gambar MR T1-weighted postcontrast aksial dan sagital (Taheri et.al, 2015).



3) TB milier TB milier banyak ditemukan pada pasien dengan penuruan sistim imun yang berat dan biasanya berkaitan dengan lokasi primer extrakranial atau melibatkan meningeal. Karena persebarannya melalui hematogen, lesi biasanya berlokasi di corticomedullary junctions. Lesi biasanya kecil ( berdiameter 2-3mm), lesi yang menyebar bisa tidak terlihat pada MRI non kontras. Untuk lesi yang terlihat MRI melihatkan lesi kecil berupa hipointense. Lesi ini biasanya terlihat bagian kecil yang hipodens dalam CT scan (Taheri et.al, 2015).



13



Gambar 5 TBC otak milier pada wanita 20 tahun dengan riwayat batuk 3 bulan, penurunan berat badan, sakit kepala umum yang baru ditambahkan, pusing, mual, dan muntah. Tidak ada kelainan yang jelas pada gambar T1- (a) dan T2-weighted (b). Axial postcontrast T1 weighted Gambar MR (c) menunjukkan banyak nodul peningkat kecil bilateral yang tersebar di seluruh parenkim otak (Taheri et.al, 2015).



4) Enselopati TB Enselopati TB biasanya terjadi pada anak-anak dengan manifestasi klinis konvulsi, stupor, dan koma dengan tanpa gejala dari iritasi meningeal atau deficit neurologis fokal. Neuro imaging dapat menujukkan adanya edema serebral berat, dimana dapat berupa unilateral atau bilateral. Pada CT Scan dapat ditemukan gambaran hipodens akibat hilangnya mielin pada lapisan putih dan gambaran hiperintens pada MRI (Taheri et.al,2015). 



Bentuk lain dari Intrakranial TB Osseous dan nonosseous TB Medulaspinalis, abses subdural/epidural, dan TB calvarial



adalah bentukan lain dari TB yang mengenai intracranial dengan jalur direct atau indirect (Taheri et.al, 2015).



14



Gambar 6. Abses tuberkulosis dengan empiema epidural dan subdural dan osteomielitis calvarial. Coronal (a) dan sagital (b) postkontras MRI T1-weighted menunjukkan koleksi epidural dan subdural atas cembung serebral bifrontal (lebih banyak di sisi kanan) dengan ekstensi intraparenchymal dan calvarial. Edema perifer dan peningkatan lesi yang ditandai tidak teratur serta peningkatan dural terbukti. Lesi litik destruktif tulang terlihat pada gambar bone window CT (c). (Taheri et.al, 2015).



TB meningitis spinal dalam MRI cairan serebrospinal lokulasi dan obliterasi dari ruangan spinal subarachnoid, dengan pengapuran servikothorakal dan anyaman serabut saraf di region lumbal. Jika MRI dengan kontras maka akan terlihat enhancement linear intradural yang nodular dan tebal, dimana dapat memenuhi secara penuh ruang subarachnoid (Taheri et.al, 2015). Spondilitis TB merupakan hasil dari penyebaran hematogen korpus vertebra melalui fleksus vena paravertebralis batson. Gambaran khas pada spondilitis TB pada stadium awal tidak melibatkan diskus intervertebralis, sedangkan pada stadium lanjut dapat diskus intervertebralis. Ekstensi paraspinal dan hasil abses paravertebral (abses pott) seperti formasi abses subdural/epidural dengan melibatkan kompresi medulaspinalis adalah temuan umum lainnya (Taheri et.al, 2015).



15



Gambar 7. postkontras sagital T1-weighted MRI postcontrast mengungkapkan TB atlantoaxial dengan abses epidural yang meningkatkan secara perifer (panah) disertai dengan kompresi tali pusat (tanda panah putus-putus) pada wanita berusia 62 tahun yang mengalami kelumpuhan bilateral bertahap (Taheri et.al, 2015).



2.6.3.2 Pemeriksaan Laboratorium Laju endap darah yang meningkat lebih dari 80% pada kasus meningitis tuberkulosis, tapi ini bukan nilai diagnostik. Sebagian besar anak dengan meningitis tuberkulosis memiliki nilai hitung darah lengkap yang normal, sementara anemia lebih umum, leukopenia dan trombositopenia jarang dengan tidak adanya penyebaran menigitis tuberkulosis.



2.6.3.3 Tes Tuberkulin Penempelan tes kulit intradermal Mantoux, meskipun cukup sederhana dan rutin pada orang dewasa yang kooperatif, dapat lebih sulitdilakukan pada anak-anak. Tes ini dinilai setelah 48-72 jam penempelan dengan pengukuran dan pencatatan jumlah indurasi (bukaneritma). Jumlah indurasi dianggap sebagai tes kulit positif tergantung pada risiko infeksi tuberkulosis dan risiko infeksi tuberkulosis berkembang menjadi penyakit tuberkulosis.Secara umum, indurasi yang lebih dari 5 mm dianggap positif untuk orang dengan tanda klinis atau radiografi dengan tanda-tanda penyakit tuberkulosis (Starke, 2010)



16



2.6.3.4 Pemeriksaan Cairan Serebrospinalis Pungsi lumbal pada meningitis tuberkulosis biasanya menunjukkan peningkatan opening pressure dan jernih, serta tidak berwarna. Kebanyakan pasien memiliki tingkat pleositosis moderat, biasanya kurang dari 500 sel/mm3. Leukosit CSS lebih besar dari 1000 sel/mm3 jarang pada meningitis tuberkulosis. Walaupun sel PMN lebih banyak pada awal perjalanan penyakit. Namun pada saat dilakukan pungsi lumbal tampak limfositosis (Thwaites et.al, 2000). Rentang tingkat protein CSS biasanya berada pada 100 sampai 500 mg/dl, protein meningkat selama perjalanan penyakit dan sangat meningkat bila terjadi obstruksi CSS, kadar glukosa jarang turun di bawah 20 mg/dl sehingga kadar glukosa yang rendah ini dapat membedakan meningitis tuberkulosis dengan penyebab lain, kecuali penyebab bakteri (Kemenkes, Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis, 2011). 2.7



Differential Diagnosis Space occupying lesion (SOL) atau Tumor otak bisa berasal dari sel yang bervariasi di



sistem saraf pusat seperti neuron dan sel glia contohnya glioma, astrositoma, ependimoma, oligodendroglioma, germinoma, meduloblastoma atau bagian dari intrakranial lainnya seperti meningioma, schwannoma, kondroma, osteoma, atau dari kelenjar hipofisis seperti adenoma, craniofaringioma,



atau



mungkin



merupakan



tumor



vaskuler



seperti



angioma,



hemangioblastoma, papiloma dari pleksus koroid atau metastasis (Sajjad, et al., 2018). Gejala umum dari SOL adalah nyeri kepala dan merupakan gejala terburuk pada sekitar 50% dari pasien. Nyeri kepala tersebut dirasakan terus menerus, kadang-kadang berasa berdenyut. Manuver yang meningkatkan tekanan intrakranial seperti batuk, bersin, manuver Valsava atau perubahan posisi tubuh, seperti membungkuk menyebabkan memburuknya nyeri kepala. Nyeri kepala yang berat jarang terjadi, kecuali terdapat hidrosefalus obstruktif atau adanya iritasi meningeal.



2.8



Terapi Tata laksana medikamentosa TB Anak terdiri atas terapi (pengobatan) dan profilaksis



(pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan profilaksis TB diberikan pada anak yang kontak TB (proilaksis primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder). Prinsip pengobatan TB pada anak sama dengan TB dewasa, dengan tujuan utama dari pemberian obat anti TB sebagai berikut : 17



1. Menyembuhkan pasien TB 2. Mencegah kematian akibat TB atau efek jangka panjangnya 3. Mencegah TB relaps 4. Mencegah terjadinya dan transmisi resistensi obat 5. Menurunkan transmisi TB 6. Mencapai seluruh tujuan pengobatan dengan toksisitas seminimal mungkin. 7. Mencegah reservasi sumber infeksi di masa yang akan datang Beberapa hal penting dalam tata laksana TB Anak adalah: 



Obat TB diberikan dalam paduan obat, tidak boleh diberikan sebagai monoterapi.







Pemberian gizi yang adekuat.







Mencari penyakit penyerta, jika ada ditata laksana secara bersamaan.



(Kemenkes RI, 2016) Mengingat tingginya risiko TB disseminata pada anak kurang dari 5 tahun, maka terapi TB hendaknya diberikan segera setelah diagnosis ditegakkan. Terdapat beberapa perbedaan penting antara anak dengan dewasa, di antaranya adalah usia muda mempengaruhi kecepatan metabolisme obat sehingga anak terutama usia kurang dari 5 tahun memerlukan dosis yang lebih tinggi (mg/kgBB) dibandingkan anak besar atau dewasa (Kemenkes RI, 2016).



Anak yang lebih kecil umumnya memiliki jumlah kuman yang jauh lebih sedikit (paucibacillary) sehingga transmisi kuman TB dari pasien anak juga lebih



18



rendah. Anak yang lebih kecil umumnya memiliki jumlah kuman yang jauh lebih sedikit (paucibacillary) sehingga transmisi kuman TB dari pasien anak juga lebih rendah, serta rekomendasi pemberian 4 macam OAT pada fase intensif tidak sekuat pada orang dewasa, kecuali pada BTA positif, TB berat dan adult-type TB (Kemenkes RI,2016). Terapi TB pada anak dengan BTA negatif menggunakan paduan INH, Rifampisin, dan Pirazinamid pada fase inisial 2 bulan pertama kemudian diikuti oleh Rifampisin dan INH pada 4 bulan fase lanjutan. Kombinasi 3 obat tersebut memiliki success rate lebih dari 95% dan efek samping obat kurang dari 2%. Pada Tabel di bawah disajikan paduan obat anti TB pada anak (Kemenkes RI, 2016).



Respons terapi dan pemantauan11: 1. Idealnya setiap anak dipantau setidaknya: tiap 2 minggu pada fase intensif dan setiap 1 bulan pada fase lanjutan sampai terapi selesai 2. Penilaian meliputi: penilaian gejala, kepatuhan minum obat, efek samping, dan pengukuran berat badan. 3. Dosis obat mengikuti penambahan berat badan. 4. Kepatuhan minum obat dicatat menggunakan kartu pemantauan pengobatan. 5. Pemantauan sputum harus dilakukan pada anak dengan BTA (+) pada diagnosis awal, yaitu pada akhir bulan ke-2, ke-5 dan ke-6. 6. Foto rontgen tidak rutin dilakukan karena perbaikan radiologis ditemukan dalam jangka waktu yang lama, kecuali pada TB milier setelah pengobatan 1 bulan dan efusi pleura setelah pengobatan 2 – 4 minggu. 7. Anak yang tidak menunjukkan perbaikan dengan terapi TB harus dirujuk untuk penilaian dan terapi, anak mungkin mengalami resistensi obat, komplikasi TB yang tidak biasa, penyebab paru lain atau masalah dengan keteraturan (adherence) minum obat.



Kortikosteroid 19



Kortikosteroid dapat digunakan untuk TB dengan komplikasi seperti; meningitis TB, sumbatan jalan napas akibat TB kelenjar, dan perikarditis TB. Pada kondisi meningitis TB berat kortikosteroid meningkatkan survival dan menurunkan morbiditas, sehingga kortiosteroid dianjurkan pada kasus meningitis TB. Steroid dapat pula diberikan pada TB milier dengan gangguan napas yang berat, efusi pleura dan TB abdomen dengan asites. Obat yang sering digunakan adalah prednison dengan dosis 2 mg/kg/ hari, sampai 4 mg/kg/hari pada kasus sakit berat, dengan dosis maksimal 60 mg/hari selama 4 minggu, kemudian tappering-off bertahap 1-2 minggu sebelum dilepas (Kemenkes RI, 2016).



Immune reconstitution Disebut juga reaksi paradoksal, perburukan klinis (gejala baru atau perburukan gejala, tanda, atau manifestasi radiologis) biasa terjadi setelah terapi anti TB akibat peningkatan kapasitas respons imun yang akan merangsang perburukan penyakit, demam dan peningkatan ukuran kelenjar limfe atau tuberkuloma. Imun rekonstitusi terjadi akibat peningkatan status gizi atau akibat terapi anti TB sendiri. Pada pasien TB dengan HIV imun rekonstitusi dapat terjadi setelah pengobatan dengan antiretroviral (ARV) dan disebut immune reconstitution inlammatory syndrome (IRIS). Untuk mencegah IRIS, maka ARV diberikan 2-6 minggu setelah OAT dimulai. Untuk mengurangi risiko hepatotoksisitas, dipertimbangkan mengganti nevirapin dengan sediaan yang lain. Jika terjadi IRIS, terapi TB tetap diteruskan, sebagian kasus bisa ditambahkan kortikosteroid, namun jika terjadi keraguan hendaknya anak dirujuk ke level yang lebih tinggi (Kemenkes RI, 2016).



Nutrisi Status gizi pasien sangat penting untuk bertahan terhadap penyakit TB, dan malnutrisi berat berhubungan dengan mortalitas TB. Penilaian yang terus menerus dan cermat pada pertumbuhan anak perlu dilakukan. Penilaian dilakukan dengan mengukur berat, tinggi, lingkar lengan atas atau pengamatan gejala dan tanda malnutrisi seperti edema atau muscle wasting. Pemberian air susu ibu tetap diberikan, jika masih dalam periode menyusui.Pemberian makanan tambahan sebaiknya diberikan dengan makanan yang mudah diterima anak dan bervariasi. Jika tidak memungkinkan dapat diberikan suplementasi nutrisi sampai anak stabil dan TB dapat di atasi (Kemenkes RI, 2016). 20



Piridoksin Isoniazid dapat menyebabkan defisiensi piridoksin simptomatik, terutama pada anak dengan malnutrisi berat dan anak dengan HIV yang mendapatkan ARV. Suplementasi piridoksin (5-10 mg/hari) direkomendasikan pada bayi yang mendapat ASI ekslusif, HIV positif atau malnutrisi berat (Kemenkes RI, 2016).



Alur tatalaksana pasien TB anak dapat dilihat pada skema di bawah ini.



Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup adekuat. Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang. Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter terbaik untuk menilai keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran radiologik tidak menunjukkan perubahan yang berarti, OAT tetap dihentikan (Kemenkes RI, 2011) Pengobatan TB dibagi dalam 2 tahap yaitu tahap awal/intensif (2 bulan pertama) dan sisanya sebagai tahap lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat pada fase awal/intensif (2 bulan pertama) dan dilanjutkan dengan 2 macam obat pada fase lanjutan (4 bulan, kecuali pada TB berat). OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan (Kemenkes RI, 2011). Untuk menjamin ketersediaan OAT untuk setiap pasien, OAT disediakan dalam bentuk paket. Satu paket dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Paket OAT anak berisi obat untuk tahap intensif, yaitu Rifampisin (R), Isoniazid (H),



21



Pirazinamid (Z); sedangkan untuk tahap lanjutan, yaitu Rifampisin (R) dan Isoniazid (H) (Kemenkes RI, 2011). Dosis -



INH: 5-15 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 300 mg/hari



-



Rifampisin: 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari



-



Pirazinamid: 15-30 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 2 000 mg/hari



-



Etambutol: 15-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1 250 mg/hari



-



Streptomisin: 15–40 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1 000 mg/hari



Untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan yang relatif lama dengan jumlah obat yang banyak, paduan OAT disediakan dalam bentuk Kombinasi Dosis Tetap = KDT (Fixed Dose Combination = FDC). Tablet KDT untuk anak tersedia dalam 2 macam tablet, yaitu: -



Tablet RHZ yang merupakan tablet kombinasi dari R (Rifampisin), H (Isoniazid) dan Z (Pirazinamid) yang digunakan pada tahap intensif.



-



Tablet RH yang merupakan tablet kombinasi dari R (Rifampisin) dan H (Isoniazid) yang digunakan pada tahap lanjutan.



Jumlah tablet KDT yang diberikan harus disesuaikan dengan berat badan anak dan komposisi dari tablet KDT tersebut. Tabel berikut ini adalah contoh dari dosis KDT yang komposisi tablet RHZ adalah R = 75 mg, H = 50 mg, Z = 150 mg dan komposisi tablet RH adalah R = 75 mg dan H = 50 mg,



Tabel 14. Dosis KDT (R75/H50/Z150 dan R75/H50) pada anak BERAT BADAN



2 BULAN TIAP



4 BULAN TIAP



(KG)



HARI



HARI



RHZ (75/50/150)



RH (75/50)



5-9



1 tablet



1 tablet



10-14



2 tablet



2 tablet



15-19



3 tablet



3 tablet



22



20-32



4 tablet



4 tablet



Keterangan: 



Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit







Anak dengan BB ≥ 33 kg , disesuaikan dengan dosis dewasa







Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah







OAT KDT dapat diberikan dengan cara: ditelan secara utuh atau digerus sesaat sebelum diminum.



Bila paket KDT belum tersedia, dapat digunakan paket OAT Kombipak Anak. Dosisnya seperti pada tabel berikut ini. Tabel. Dosis OAT Kombipak-fase-awal/intensif pada anak



JENIS



BB