Referat Meningitis TB  [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Referat MENINGITIS TUBERKULOSIS Disusun Sebagai Tugas Mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) Ilmu Neurologi Di Rumah Sakit Umum Haji Medan Sumatera Utara



Pembimbing : dr. Luhu Tapiheru, Sp.S



Disusun Oleh : Farahiyah Karamina Kartono 20360029



KEPANITERAAN KLINIK SENIOR SMF ILMU NEUROLOGI RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN SUMATERA UTARA TAHUN 2020



KATA PENGANTAR



Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas referat ini guna memenuhi persyaratan kapaniteraan klinik senior di bagian ilmu Syaraf Rumah Sakit Umum Haji Medan dengan judul “Meningitis Tuberkulosis”. Shalawat dan salam tetap terlafatkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya yang telah membawa kita ke zaman yang penuh ilmu pengetahuan, beliau adalah figur yang senantiasa menjadi contoh suri tauladan yang baik bagi penulis untuk menuju ridho Allah SWT. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen pembimbing KKS dibagian ilmu syaraf. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan Referat masih terdapat banyak kekurangan baik dalam cara penulisan maupun penyajian materi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca sehingga bermanfaat dalam penulisan Referat selanjutnya. Semoga Referat ini bermanfaat bagi pembaca dan terutama bagi penulis. Wassalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh Medan, Agustus 2020



Penulis



ii



DAFTAR ISI Halaman Judul .............................................................................................



i



Kata Pengantar .............................................................................................



ii



Daftar Isi ......................................................................................................



iii



Daftar Gambar .............................................................................................



iv



Daftar Tabel .................................................................................................



v



BAB I PENDAHULUAN...........................................................................



1



1.1 Latar Belakang .......................................................................................



1



1.2 Tujuan ....................................................................................................



3



1.3 Manfaat ..................................................................................................



3



BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................



4



2.1. Definisi..................................................................................................



4



2.2. Epidemiologi.........................................................................................



4



2.3. Anatomi dan Fisiologi...........................................................................



6



2.4. Etiologi dan Klasifikasi.........................................................................



7



2.5. Patofisiologi ..........................................................................................



8



2.6. Manifestasi Klinis .................................................................................



9



2.7. Diagnosis...............................................................................................



10



2.8. Penatalaksanaan ....................................................................................



16



2.9. Pencegahan ...........................................................................................



18



2.10 Prognosis..............................................................................................



18



BAB III PENUTUP....................................................................................



19



DAFTAR PUSTAKA



DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Lapisan Meningens ................................................................



7



DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Kriteria diagnosis meningitis TB......................................................12



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meningitis adalah suatu reaksi peradangan yang terjadi pada lapisan selaput yang membungkus jaringan otak (arakhnoid, piamater) dan sumsum tulang belakang yang disebut meningen. Penyakit ini merupakan penyakit yang paling sering ditemukan di negara yang sedang berkembang, salah satunya adalah Indonesia (Rozak et al, 2017). Meningitis tuberkulosis adalah peradangan selaput otak atau meningen yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Meningitis tuberkulosis merupakan hasil dari penyebaran hematogen dan limfogen bakteri Mycobacterium tuberculosis dari infeksi primer pada paru (Principi dan Esposito, 2012). Kasus TB ekstraparu di Indonesia adalah sejumlah 6,05% dari total kasus TB yang tercatat. Suatu studi epidemiologi TB ekstraparu di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 5–10% dari total kasus TB ekstraparu merupakan meningitis tuberkulosis. CDC (Centers for disease control and prevention) tahun 2005 menunjukkan persentase meningitis tuberkulosis sebesar 6,3% dari kasus TB ekstraparu (1–3% dari keseluruhan kasus TB) (CDC, 2005). Angka kecacatan dan kematian meningitis tuberkulosis didapatkan pada umumnya tinggi. Prognosis jelek pada bayi



dan



orang



tua,



berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2012 didapatkan kejadian Meningitis tuberkulosis pada anak ataupun dewasa lebih sering ditemukan pada anak terutama usia 6 bulan sampai 2 tahun. Angka kematian meningitis tuberkulosis dipengaruhi oleh umur dan pada stadium berapa penderita mendapatkan pengobatan dan salah satu penyebab penyakit ini adalah riwayat vaksinasi BCG yang tidak dilakukan. Penderita dapat meninggal dalam waktu 6-8 minggu jika tidak segera diobati (Riskesdas, 2012).



1



Insidens meningitis TB sebanding dengan TB primer, pada umumnya bergantung pada sosio-ekonomi, hygiene masyarakat, umur, status gizi dan faktor genetik yang menentukan respon imun seseorang. Faktor predisposisi berkembangnya infeksi TB adalah malnutrisi, penggunaan kortikosteroid, keganasan, cedera kepala, infeksi HIV dan diabetes melitus (Evvandert, 2016). Meningitis Tuberkulosis menyerang 0,3% anak yang menderita tuberkulosis yang tidak diobati. Angka kematian pada meningitis tuberkulosis berkisar antara 10-20%. Sebagian besar memberikan gejala sisa, hanya 18% yang akan kembali normal secara neurologi dan intelektual (Evvandert, 2016). Meningitis tuberkulosis disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis complex dimana bakteri tahan asam ini masuk ke dalam tubuh inang melalui droplet inhalasi. Infeksi lokal di paru menjadi luas dan menyebar secara hematogen ke ekstraparu termasuk sistem saraf pusat (SSP). Penyebaran hematogen bisa terjadi pada saat awal infeksi sebelum dikendalikan oleh sistem imun adaptif (Krishnan et al, 2010). Orang yang terinfeksi meningitis TB, bakteri basil tersebut berdiam di meningen atau parenkim otak sebagai hasil dari pembentukan fokus subpial atau subependimal kecil dari lesi kaseosa metastatik yang dikenal sebagai fokus Rich. Fokus Rich semakin membesar sehingga ruptur atau pecah dan masuk ke dalam ruang subarakhnoid dan menyebabkan meningitis (Rich et al, 1993). Lokasi perluasan tuberkel menentukan tipe dari infeksi SSP (Katti, 2004). Pasien dengan meningitis tuberkulosis akan mengalami tanda dan gejala meningitis yang khas, seperti nyeri kepala, demam dan kaku kuduk, walaupun tanda rangsang meningeal mungkin tidak ditemukan pada tahap awal penyakit. Durasi gejala sebelum ditemukannya tanda meningeal bervariasi dari beberapa hari hingga beberapa bulan. Namun pada beberapa kondisi, meningitis tuberkulosis dapat muncul sebagai penyakit yang berat, dengan penurunan kesadaran, palsi nervus kranial, parese dan kejang (Chin, 2014).



1.2 Tujuan Adapun tujuan dari pembuatan referat ini adalah untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan meningitis tuberkulosis dan sebagai salah satu pemenuhan tugas kepaniteraan klinik senior ilmu neurologi di Rumah Sakit Umum Haji Medan Sumatera Utara. 1.3 Manfaat 1. Menambah pengetahuan tentang Meningitis Tuberkulosis. 2. Sebagai lini utama dalam kesehatan untuk dapat mengenali Meningitis Tuberkulosis. .



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Meningitis Tuberkulosa adalah radang selaput otak akibat komplikasi tuberkulosa primer (Perdossi, 2016). Peradangan selaput otak atau meningen ini yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (Principi dan Esposito, 2012). Meningitis tuberkulosis merupakan bentuk paling berat dan paling sering dari tuberkulosis neurologis (Pemula dan Apriliana, 2016). Manifestasi klinis meningitis tuberkulosis sama dengan meningitis subakut lainnya. Apabila meningitis tuberkulosis gejala kelainan neurologis berat telah ditemukan misalnya, koma, kejang, peningkatan tekanan intrakranial dan hemiparese (Torok, 2015). 2.2. Epidemiologi Kejadian meningitis TB cukup beragam di berbagai belahan dunia, diantaranya di Amerika Serikat sebesar 3% (Marx dan Chan, 2011). Angka kejadian penderita meningitis tuberkulosis di Inggris adalah 1,5 % dari jumlah keseluruhan penderita TB di luar paru (Dinnes et al, 2007). Pada salah satu anggota negara ASEAN di Filipina sebesar 28,9% (Pasco, 2012). Berdasarkan suatu penelitian epidemiologi tentang infeksi sistem saraf pusat yang dilakukan di benua Asia yaitu di kawasan Asia Tenggara, penyakit meningitis yang sering dijumpai adalah meningitis tuberkulosis (Ducomble et al, 2013). Data ini menunjukkan bahwa kebanyakan penyakit meningitis TB terjadi di negara berkembang termasuk di Indonesia. Indonesia sebagai salah satu negara dengan prevalensi TB yang cukup tinggi juga sering ditemukan adanya kasus Meningitis Tuberkulosis. Meningitis merupakan masalah kesehatan terutama dalam bidang kesehatan anak dan sebagian besar terjadi pada negara-negara yang sedang berkembang karena tingginya angka kematian dan kecacatan. Meningitis TB merupakan salah satu komplikasi TB primer. Menurut WHO Tahun 2009, persentase



meningitis TB terjadi sebesar 3,2% dari kasus komplikasi infeksi primer TB dan 83% disebabkan karena komplikasi infeksi primer paru setelah HIV. Penyakit meningitis TB pada penderita tanpa HIV adalah 2% dan 14% pada penderita yang terinfeksi HIV yang meningkatkan risiko terjadinya meningitis TB sebanyak 50% (WHO, 2009). Studi surveilan Ducomble et al di Jerman tahun 2002-2009 menunjukkan bahwa pasien meningitis TB mayoritas adalah perempuan (Ducomble et al, 2013) Studi lain menunjukkan bahwa laki-laki yang dominan ( De Souza et al, 2014). Probabilitas



bertahan



hidup



pasien



TB



termasuk



meningitis



tuberkulosis pada usia lanjut lebih rendah dibandingkan usia yang lebih muda, terdapat peningkatan tingkat kematian sebesar 5,2% untuk



setiap



tahun peningkatan usia. Pada negara India juga menunjukkan bahwa pasien yang berusia 41-60 tahun dan diatas 60 tahun memiliki risiko 7,8 dan 21,34 lebih cepat meninggal lebih awal daripada pasien yang berusia dibawah 40 tahun dan untuk setiap tahun kenaikan usia pasien, kematian meningkat sebesar 4% (Evvandert, 2016). Di Indonesia, meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan karena morbiditas tuberkulosis pada anak masih tinggi. Penyakit ini dapat menyerang semua usia, termasuk bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih rendah. Angka kejadian tertinggi dijumpai pada anak umur 6 bulan sampai dengan 4 atau 6 tahun, jarang ditemukan pada umur dibawah 6 bulan, hampir tidak pernah ditemukan pada umur dibawah 3 bulan. Meningitis tuberkulosis menyerang 0,3% anak yang menderita tuberkulosis yang tidak diobati. Angka kematian pada meningitis tuberkulosis berkisar antara 10-20%. Sebagian besar memberikan gejala sisa, hanya 18% pasien yang akan kembali normal secara neurologis dan intelektual (Hardiono dan Pusponegoro, 2004). CDC mengatakan bahwa angka kematian meningitis TB cukup tinggi karena adanya keterlambatan diagnosis yang disebabkan gejala meningitis TB pada tahap awal tidak memiliki gejala yang spesifik, dan



semakin tingginya stadium prognosis pasien semakin buruk (CDC, 2005). Morbiditas dan mortalitas yang ditimbulkan sangat besar, lebih besar daripada infeksi oleh bakteri yang lain maupun virus (50% VS 10%). Penegakkan diagnosis yang cepat perlu dilakukan untuk menekan morbiditas maupun mortalitas yang ditimbulkan (Trung et al, 2012). 2.3. Anatomi dan Fisiologi Meningen terdiri dari tiga lapis, yaitu (Yayan, 2008) : 1. Pia mater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang menutupi permukaan otak dan membentang ke dalam sulkus, fisura dan sekitar pembuluh darah di seluruh otak. Piamater juga membentang ke dalam fisura transversalis di bawah corpus callosum. Di tempat ini piamater membentuk tela choroidea dari ventrikel tertius dan lateralis, dan bergabung dengan ependim dan pembuluh-pembuluh darah choroideus untuk membentuk pleksus choroideus dari ventrikelventrikel ini. Pia dan ependim berjalan di atas atap dari ventrikel keempat dan membentuk tela choroidea di tempat itu. 2. Arachnoid merupakan selaput halus yang memisahkan pia mater dan durameter. 3. Dura mater merupakan lapisan paling luar yang padat dan keras berasal dari jaringan ikat yang tebal dan kuat. Dura kranialis atau pachymeninx adalah struktur fibrosa yang kuat dengan lapisan dalam (meningen) dan lapisan luar (periosteal). Duramater lapisan luar melekat pada permukaan dalam cranium dan juga membentuk xi periosteum. Di antara kedua hemispher terdapat invaginasi yang disebut falx cerebri yang melekat pada crista galli dan meluas ke crista frontalis ke belakang sampai ke protuberantia occipitalis interna, tempat dimana duramater bersatu dengan tentorium cerebelli yang meluas ke kedua sisi.



Gambar 2.1 Lapisan Meningens (Urban dan Fischer, 2011) 2.4. Etiologi dan Klasifikasi Meningitis



Tuberkulosis



adalah



infeksi



oleh



Mycobacterium



tuberculosis yang mengenai meningens atau parenkim otak (Baron et al, 2007). Penyakit ini merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian di seluruh dunia, sehingga sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan (Dinnes et al, 2007). Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis (Depkes RI, 2006). Mycobacterium tuberculosis merupakan penyebab utama tuberculosis adalah gram-positif, aerobic, non-spora, non-motilitas, batang pleomorfik yang sering dikaitkan dengan Actinomycetes (Galimi, 2011). Penamaan ini didasarkan



pada



kemampuan



Mycobacterium



tuberculosis



untuk



mempertahankan ikatan dengan fuschin yang disebabkan oleh tingginya kandungan lipid pada dinding sel. Pewarnaan dengan carbol fushin ini dikembangkan oleh Ziehl dan Neelsen untuk pewarnaan preparat apus Mycobacterium tuberculosis (Bakhtiar, 2016).



Meningitis tuberkulosis diklasifikasikan menjadi tiga derajat oleh British Medical Research Council. Meningitis tuberkulosis derajat 1 ditandai dengan GCS 15 tanpa kelainan neurologis fokal, derajat 2 ditandai dengan GCS 15 dengan defisit neurologis fokal, atau GCS 11-14, dan derajat 3 ditandai dengan GCS ≤10. Sistem klasifikasi ini digunakan untuk memisahkan pasien dan juga untuk menentukan prognosis (Torok, 2015). 2.5. Patofisiologi Infeksi Mycobacterium tuberkulosis pada sistem saraf pusat dimulai perinhalasi dengan menghisap partikel yang infeksius. Droplet yang berukuran satu sampai sepuluh mikrometer akan mencapai bronkhioli terminalis atau alveoli. Setelah mencapai alveoli, organisme ini akan bermultiplikasi didalam ruang alveoli atau difagosit (dimakan) oleh makrofag yang berasal dari sirkulasi. Dari alveoli paru, makrofag ini akan bermigrasi melalui jalur limfatikus ke nodus limfatikus pada hilus. Ikut sertanya makrofag akan menghasilkan dua substansi yakni Interleukin-I (IL-1) dan tumor necrosis factors (TNF). Substansi IL-1 akan bekerja sebagai mediator demam, TNF atau kahektin akan mempengaruhi metabolisme lipid dan menyebabkan penurunan berat badan (Zugar, 2004). Bakteri tahan asam ini masuk ke dalam tubuh inang melalui droplet inhalasi. Infeksi local di paru menjadi luas dan menyebar secara hematogen ke ekstraparu termasuk system saraf pusat (SSP). Penyebaran hematogen bisa terjadi pada saat awal infeksi sebelum dikendalikan oleh system imun adaptif orang yang terinfeksi Meningitis TB. Bakteri basil tersebut berdiam di meningeal atau parenkim otak sebagai hasil dari pembentukan focus subpial atau subependimal kecil dari lesi kaseosa metastatic yang dikenal sebagai Fokus Rich. Focus rich semakin membesar sehingga ruptur atau pecah dan masuk ke dalam ruang subarachnoid dan masuk ke dalam ruang subarachnoid dan menyebabkan meningitis (Sulistyowati et al, 2017). Tahap berikutnya adalah proses rupturnya dari Rich focal dan lepasnya basili ke dalam ruang subarachnoid lalu mengaktivasi proses



peradangan T sel dependent granulomatous sebagai respon terhadap berkembangnya tuberculosis meningitis (Kechagia et al, 2012) Sedangkan patogenesis penyakit ini diduga terjadi dalam dua tahap. Pada tahap awal, bakteremia membawa basil tuberkulosis ke sirkulasi serebral dan menyebabkan terbentuknya lesi primer tuberkulosis di otak yang dapat mengalami dorman dalam waktu lama. Pada tahap kedua, meningitis tuberkulosis terjadi akibat pelepasan basil Mycobacterium tuberculosis ke dalam ruang meningen dari lesi subependimal atau subpial (terutama di fisura Sylvii) (Isabel dan Rogelio, 2014). Proses patologi yang menyebabkan defisit neurologis



pada



meningitis



tuberkulosis



adalah



(1)



eksudat



dapat



menyebabkan obstruksi aliran CSS sehingga terjadi hidrosefalus, (2) granuloma dapat bergabung membentuk tuberkuloma atau abses sehingga terjadi defisit neurologis fokal dan (3) vaskulitis obliteratif yang dapat menyebabkan infark dan sindrom stroke (Torok, 2015). 2.6. Manisfestasi Klinik Gejala utama meningitis tuberkulosis adalah sakit kepala berat, demam tinggi, fotofobia dan perubahan status mental. Tingkat kesadaran pasien dapat berbeda tergantung dari derajat penyakit. Pada kasus yang berat biasanya terjadi penurunan kesadaran. Pemeriksaan neurologis ditemukan kaku kuduk yang dapat disertai dengan tanda Kernig dan Brudzinski. Pemeriksaan funduskopi terkadang memperlihatkan edema papil (Sari and Rosalinda, 2018). Menurut Ogawa (1987), membagi kasus meningitis tuberkulosis dalam kategori definite dan probable yakni: 1. Kategori Definite : Bila kultur Mycobacterium Tuberculosa dari CSS positif atau diagnosis meningitis tuberkulosis ditegakkan melalui otopsi atau terdapat keduanya. 2. Kategori Probable : Bila gambaran CSS pleositosis, Kultur bakteri lain atau jamur negatif dan disertai salah satu dari : a. Uji tuberkulin positif



b. Terdapat tuberkulosis diluar SSP atau mempunyai riwayat TB aktif sebelumnya. c. Glucosa CSS kurang dari 40 mg/dl d. Kadar protein CSS lebih dari 60 mg/dl Sedangkan menurut Ariya (2012) gejala TBM terdiri dari 3 stadium, yaitu : 1. Stadium I atau stadium prodromal selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan Nampak seperti gejala infeksi biasa. Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang timbul, nyeri kepala, konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi, dan sangat gelisah. 2. Stadium II atau stadium transisi berlangsung selama 1-3 minggu dengan gejala penyakit lebih berat dimana penderita mengalami nyeri kepala yang hebat dan kadang disertai kejang terutama pada bayi dan anak-anak. Tanda-tanda rangsangan meningeal mulai nyata, seleuruh tubuh menjadi kaku, terdapat tanda-tanda peningkatan intracranial, ubun-ubun menonjol dan muntah lebih hebat. 3. Stadium III atau stadium terminal ditandai dengan kelumpuhan dan gangguan kesadaran sampai koma. Pada stadium ini penderita dapat meninggal dunia dalam waktu tiga minggu bila tidak mendapat pengobatan yang sebagaimana mestinya.



2.7. Diagnosa Diagnosis TBM sulit dan sering hanya ditentukan berdasarkan gejala klinis, pencitraan (neuroimaging), dan karakteristik perubahan dari cairan serebrospinalis tanpa konfirmasi mikrobiologis definitif (Marx dan Chan, 2011). Diagnosis ataupun suspek meningitis TB memerlukan gejala dan tanda meningitis yang disertai klinis yang mengarahkan ke infeksi tuberkulosa dan pada hasil foto rontgen toraks serta cairan serebrospinalis



menunjukkan infeksi oleh Mycobacterium tuberculosis (Thwaites et al, 2011). Skoring diagnostik menurut kriteria Marais, yaitu menggabungkan kriteria klinis (maksimal nilai 6), profil CSS (maksimal 4), kriteria radiologis (maksimal 6), dan TB di tempat lain (maksimal 4). Kemudian skor dijumlahkan untuk menentukan diagnosis MTB probable atau possible. Subyek didiagnosis MTB possible jika memiliki skor total 6-9 (tanpa pencitraan otak) atau 6-11 (dengan pencitraan otak). Subyek masuk dalam diagnosis probable jika memiliki skor total 10 atau lebih (tanpa pencitraan otak) atau skor total 12 atau lebih (dengan pencitraan otak). Subyek didiagnosis TB definitive jika didapatkan basil tahan asam (BTA) atau kultur Mycobacterium tuberculosis yang positif, atau hasil pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) untuk Mycobacterium



tuberculosis



positif pada CSS (Marais et al, 2010). Diagnosis pasti TBM dapat ditegakkan setelah dilakukan pungsi lumbal pada pasien dengan gejala dan tanda penyakit di SSP (defisit neurologis). BTA dan atau Mycobacterium tuberculosis terdeteksi menggunakan metode molekular dan atau setelah dilakukan kultur CSS (Huldani, 2012). Pewarnaan Ziehl-Neelsen (ZN) terhadap CSS tetap menjadi landasan baku emas (Feng et al, 2014). Specimen diteteskan ke kaca objek dan dibuat hapusan direk. Setelah kering di udara, hapusan dilakukan pengecatan dengan Ziehl Neelsen untuk pemeriksaan mikroskopis BTA. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan pada mikroskop cahaya dengan perbesaran lensa objektif 1000x dan minyak imersi. Deteksi BTA positif adalah minimal 1 (satu) BTA pada minimal 100 (seratus) lapangan pandang (Sulistyowati et al, 2017).



Tabel 2.1 Kriteria diagnosis meningitis TB (Principi dan Esposito, 2012).



Berdasarkan Perdossi (2016) kriteria diagnosa meningitis tuberkulosis adalah : a. Anamnesis • Malaise • Anoreksia • Demam • Nyeri kepala yang semakin memburuk • Perubahan mental • Penurunan kesadaran • Kejang



• Kelemahan satu sisi b. Pemeriksaan Fisik  Pemeriksaan tanda vital dan pemeriksaan fisik menyeluruh.  Pemeriksaan neurologis: pemeriksaan GCS, pemeriksaan kaku kuduk, pemeriksaan saraf kranialis (kelumpuhan saraf kranialis II, III, IV, VI, VII, VIII), kekuatan motorik (hemiparesis), pemeriksaan funduskopi (tuberkel pada khoroid dan papil edema sebagai tanda peningkatan tekanan intrakranial) (Perdossi, 2016).  Pemeriksaan rangsangan meningeal pada penderita dengan meningitis biasanya ditemukan hasil positif . Pemeriksaan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Pemeriksaan Kaku Kuduk Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi dan rotasi kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan tahanan pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot. Dagu tidak dapat disentuhkan ke dada dan juga didapatkan tahanan pada hiperekstensi dan rotasi kepala. 2. Pemeriksaan Tanda Kernig Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pada sendi panggul kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mengkin tanpa rasa nyeri. Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135° (kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna) disertai spasme otot paha biasanya diikuti rasa nyeri. 3. Pemeriksaan Tanda Brudzinski I ( Tanda leher menurut Brudzinski) Pasien berbaring terlentang dan pemeriksa meletakkan tangan kirinya dibawah kepala dan tangan kanan diatas dada pasien kemudian dilakukan fleksi kepala dengan kearah dada sejauh



mungkin. Tanda Brudzinski I positif (+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi kedua tungkai/ kedua lutut. 4. Pemeriksaan



Tanda



Brudzinski



II



(Tanda



tungkai



kontralateral menurut Brudzinski) Pasien berbaring terlentang, salah satu tungkainya diangkat dalam sikap lurus di sendi lutut dan ditekukkan di sendi panggul. Tanda Brudzinski II positif (+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi reflektorik pada sendi panggul dan lutut kontralateral. 5. Pemeriksaan tanda pipi menurut Brudzinski. ( Brudzinski III) Penekanan pada kedua pipi atau tepat di bawah os zigomatikum . Tanda ini positif (+) jika terjadi gerakan fleksi reflektorik pada ekstremitas superior (lengan tangan fleksi). 6. Pemeriksaan



tanda



simfisis



pubis



menurut



Brudzinski



(Brudzisnki IV) Penekanan pada simfisis pubis . Tanda ini positif (+) jika terjadi gerakan fleksi reflektorik pada ekstremitas inferior (kaki) (Tursinawati et al, 2017). c. Pemeriksaan Penunjang 1. Analisa Cairan Serebrospinal 



warna



: jernih atau opalescent







tekanan



: tekanan CSS akan meningkat secara bermakna berkisar antara 40-75% pada anak-anak dan 50% pada dewasa.







Glukosa



: penurunan kadar glukosa dan peningkatan kadar protein. Dikatakan kadar glukosa 30-45 mg/dl atau kurang dari 50% kadar glukosa darah, dapat pula lebih rendah sampai kurang dari 10 mg/dl.







protein



: akan meningkat mencapai 150-200mg%.







sel



: pleositosis yang moderat karakteristik pada meningitis TB, pada 90-100% kasus terdapat



lebih dari 5 sel darah putih per mm3 cairan serebrospinalis, umumnya mencapai 300/mm3. 



Mikroorganisme : 10-25% yang dapat menunjukkan preparat apus yang positif.



2. Laju Endap darah (LED) Hanya menunjukkan sedikit peningkatan yakni 18-90 mm/jam, rata-rata 57 mm/jam. 3. Pemeriksaan Radiologik 



Head CT scan dapat menunjukkan gambaran ‘isoatenuasi’ atau ‘hiperatenuasi’ pada sisterna basalis pada pemeriksaan tanpa zat kontras dan memberikan penyengatan yang homogen setelah pemberian zat kontras. Head CT scan serial berguna untuk identifikasi komplikasi



yang



baru



terjadi



seperti



hidrosefalus,



area



kalsifikasi, ensefalomalasia, osteitis tuberkulosa dari kranium, dan osteomastoiditis. 



MRI lebih sensitif daripada Head CT untuk mendeteksi adanya meningitis basal, infark serebri, hidrosefalus dan tuberkuloma pada parenkim (Ritarwan, 2011).







Pemeriksaan EEG dijumpai gelombang lambat yang difus di kedua hemisfer, penurunan voltase karena efusi subdural atau aktivitas delta fokal bila bersamaan dengan abses otak (Tursinawati et al, 2017).



4. Arteriografi Dapat menunjukkan adanya arteritis pada sirkulus Willisi atau cabang - cabangnya yang terlibat dalam proses meningitis basal. Pembuluh darah yang terkena ditemukan adanya penyempitan dan oklusi yang ditandai dengan area yang irregular. 5. Reaksi imunologis Terhadap tuberculosis diperlihatkan oleh test kulit tuberculin ( Test Mantoux). Tuberkulin sendiri adalah material protein yang dibentuk oleh mikobakterium tuberkulosa. Campuran protein ini dikenal sebagai PPD (Purified Protein Derivate). Test Mantoux umumnya positif, tetapi



pada 25% kasus dapat memberikan reaksi negatif, terutama pada kasus lanjut, pasien yang mendapat pengobatan kortikosteroid atau pada keadaan umum yang buruk, keadaan malnutrisi, kelemahan umum dan imunosupresi oleh penyakit sistemik yang berat (Ritarwan, 2011). 2.8. Penatalaksanaan Pemberian terapi tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan BTA melalui apusan atau kultur, baik dari sputum, darah, maupun CSS (Kementrian Kesehatan RI, 2016). Hal ini karena pemeriksaan terbaik juga mungkin tidak dapat menemukan basil tuberculosis pada pasien TBM, infeksi HIV, dan anak kecil. Maka, pada kondisi ini atau pada pasien dimana dicurigai tuberculosis, maka penilaian klinis dapat digunakan untuk memulai terapi empiris sembari menunggu hasil pmeriksaan (TB CARE I, 2014). WHO



dan



PDPI



mengklasifikasikan



meningitis



tuberkulosis



(tuberkulosis ekstra paru, kasus berat) ke dalam kategori I terapi tuberkulosis. Pemberian rifampisin dan isoniazid pada fase lanjutan dalam kasus meningitis tuberkulosis umumnya diperpanjang hingga 7 atau 10 bulan. a.



Terapi Farmakologis 



Penderita sebaiknya dirawat di perawatan intensif







Perawatan penderita meliputi kebutuhan cairan dan elektrolit, kebutuhan gizi, posisi penderita, perawatan kandung kemih, dan defekasi.







Pengobatan: o Isoniazid (INH) 10-20 mg/KgBB/hari (anak), 400 mg/hari (dewasa). o Rifampisin 10-20 mg/KgBB/hari, dosis 600 mg/hari dengan dosis tunggal (dewasa). o Etambutol 25 mg/KgBB/hari sampai 150 mg/hari. o PAS (Para-Amino-Salicilyc0-Acid) 200 mg/KgBB/hari dibagi dalam 3 dosis dapat diberikan sampai 12 g/hari.



o Streptomisin IM kurang lebih 3 bulan dengan dosis 30-50 mg/KgBB/hari. o Kortikosteroid: prednisone 2-3 mg/KgBB/hari (dosis normal), 20 mg/hari dibagi dalam 3 dosis selama 2-4 minggu kemudian diteruskan dengan dosis 1 mg/KgBB/hari selama 1-2 minggu. Deksametason IV (terutama bila ada edema otak) dengan dosis 10 mg setiap 4-6 jam, bila membaik dapat diturunkan sampai 4 mg setiap 6 jam (Perdossi, 2016). b. Terapi Non-Farmakologis 



Tatalaksana operatif Jika terdapat tanda hidrosefalus, pemasangan VP shunt atau EVD (Perdossi, 2016).







Bedah dilakukan sejak berkembangnya efektifitas dari terapi antituberkulosis, peran dari bedah sebagian besar telah berputar untuk menangani komplikasi yang serius dari efek massa tuberculoma dan draining dari abses otak. Hydrocephalus disangkut pautkan merupakan komplikasi dari basal meningitis dimana aliran dari CSS terblok dari jalur keluarnya pada ventricle keempat dari jalur penyerapannya di vili arachnoid atau kemungkinan destruksi dari vili arachnoid nya itu sendiri. Hydrocephalus merupakan komplikasi yang paling parah dari infeksi dari TBM dan dapat ditatalaksana dengan diuretic, osmotic agent,



lumbar



pungsi,



external



ventricular



drainage,



atau



Ventriculo Peritoneal Shunt (VPS). VPS dan waktu penggunaan pada anak masih kontroversial. Beberapa penelitian menganjurkan melakukan VPS pada waktu awal hydrocephalus, terutama pada grade ringan sampai sedang (grade I/II/III) dan melakukan uji coba drainase eksternal pada kasus dengan tingkat yang sangat buruk (grade IV). Peran dari VPS telah diperiksa pada TBM-terkait hydrocephalus menunjukkan hasil yang sukses dengan kisaran 40 sampai 50% dan komplikasi dari VPS adalah 30% (Rock et al, 2008).



2.9. Pencegahan Vaksinasi terhadap penyakit tuberculosis menggunakan vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG) dari galur Mycobacterium bovis yang telah dilemahkan. BCG efektif mencegah tuberculosis milier, TB paru berat dan TB meningitis pada anak-anak, tetapi tidak untuk TB paru pada orang dewasa. Hal ini disebabkan karena efek perlindungan vaksin BCG yang diberikan pada saat bayi berlangsung hingga 10 tahun (Rosandali et al, 2016). 2.10.



Prognosis Menurut Perdossi (2016) prognosis meningitis tuberkulosis yakni: Ad vitam



: dubia ad bonam



Ad Sanationam



: dubia ad bonam



Ad Fungsionam



: dubia ad



bonam Faktor yang mempengaruhi keluaran atau prognosis pasien penderita meningitis tuberkulosis adalah pendidikan, adanya infeksi TB paru, GCS, stadium defisit fokal dan lama rawatan (Evvandert, 2016). Mortalitas pada pasien meningitis tuberkulosis terkait dengan hidrosefalus, resistensi obat, gagal terapi, lanjut usia, kejang, penurunan kesadaran, derajat 3 saat masuk rumah sakit dan infeksi HIV (Iype et al, 2014). Prognosis pasien meningitis tuberculosis ditentukan terutama oleh faktor usia, stadium penyakit pada saat pengobatan dan terdapatnya tb milier. Bila di grading berdasar British Medical Reserch Council : - Grade 1



: kematian 7%, kebanyakan sembuh tanpa sequele



- Grade 2



: kematian 25%, banyak sembuh dengan sequele



- Grade 3



: kematian > 50%, yang sembuh umumnya dengan sequele berat (Ritarwan, 2011).



BAB III KESIMPULAN Meningitis tuberkulosis adalah suatu peradangan pada lapisan meningens otak termasuk duramater, arachnoid, dan piamater yang dapat terjadi pada anak anak maupun dewasa. Meningitis tuberkulosis disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis dimana bakteri tahan asam ini masuk ke dalam tubuh manusia melalui droplet inhalasi. Infeksi lokal di paru menjadi luas dan menyebar secara hematogen ke ekstraparu termasuk sistem saraf pusat (SSP). Insidensi meningitis TB di dunia, Asia Tenggara maupun di Indonesia cukup banyak sehingga diperlukan diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat. Meningitis tuberkulosis diklasifikasikan menjadi tiga derajat oleh British Medical Research Council berdasarkan nilai GCS pada pasien. Sistem klasifikasi ini digunakan untuk memisahkan pasien dan juga untuk menentukan prognosis. Manifestasi klinik yang sering dijumpai pada meningitis tuberkulosis adalah malaise, anoreksia, demam, nyeri kepala yang semakin memburuk, perubahan mental , penurunan kesadaran, kejang , dan kelemahan pada satu sisi. Untuk anamnesis,



mendiganosa



pemeriksaan



meningitis



fisik,



serta



tuberkulosis pemeriksaan



berdasarkan imaging



dan



kriteria cairan



serebrospinal. Pemeriksaan neurologis ditemukan kaku kuduk yang dapat disertai dengan tanda Kernig dan Brudzinski sedangkan pemeriksaan funduskopi terkadang memperlihatkan edema papil. Penatalaksanaan penyakit ini dapat dilakukan dengan terapi farmakologi dan non farmakologi.



Pencegahan



meningitis tuberkulosis dengan pemberian vaksin BCG. Serta prognosisnya dubia ad bonam tetapi dipengaruhi juga oleh berbagai faktor seperti usia pasien, berat ringan infeksi, lama sakit sebelum mendapatkan pengobatan, penanganan penyakit dan komplikasi .



DAFTAR PUSTAKA 1. Ariya, 2012. Sistem Pakar Diagnosa Awal Radang Selaput Otak (Meningitis) dengan Menggunakan Metode Certain Factor. pp. 6–7. 2. Bakhtiar, 2016. Pendekatan Diagnosis Tuberkulosis Pada Anak Di Sarana Pelayanan Kesehatan Dengan Fasilitas Terbatas. vol. 2, pp. 122–128. 3. Baron, Peterson, dan Finegold, 2007. Diagnostic microbiology. Missouri: Mosby.590-632. 4. CDC, 2005. Extrapulmonary tuberculosis cases and percentages by site of disease. Atlanta : Centers for Disease Control and Prevention. 5. Chin, 2014. Tuberculous Meningitis. Diagnostic and theurapeutic challenges. 4(3):199-205. 6. Depkes RI, 2006. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2. 7. De Souza, Yamane, Pandini, Ceretta, Ferraz, da Luz dan Simoes, 2014. Incidence of tuberculous meningitis in the State of Santa Catarina. Revista da Sociedade Brasileira de Medicina Tropical 47(4): 483–489. 8. Dinnes, Deeks, Kunst, Gibson, Cummins, dan Waught, 2007. A systemic review of rapid diagnostic test for the detection of tuberculosis infection. Health Technology Assessment 11: 1–12. 9. Ducomble, Tolksdorf, Karagiannis, Hauer, Brodhun, Haas dan Fiebig, 2013. The burden of extrapulmonary and meningitis tuberculosis: an investigation of national surveillance data. 18(12): 2043-2046. 10. Evvandert, 2016. Faktor- faktor yang mempengaruhi keluaran pasien meningitis tuberkulosa di SMF Saraf RSUP Dr. M. Djamil Padang 20152016. 11. Feng, Shi, Ma, Chen, Wang, dan Zhang, 2014. Diagnostic Accuracy of Intracellular Mycobacterium tuberculosis Detection for Tuberculous Meningitis. vol. 189: pp. 475– 481. 12. Galimi, 2011. Extrapulmonary tuberculosis . Tuberculous meningitis new developments. vol. 15 : pp. 365–386.



13. Hardiono dan Pusponegoro, 2004. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. IDAI. 14. Huldani, 2012. Diagnosis dan penatalaksanaan meningitis tuberkulosis. p. 4. 15. Isabel dan Rogelio, 2014. Pathogenesis and immune response in tuberculous meningitis. Malays J Med Sci. 21(1): 4-10. 16. Iype, Ayyappan, Ajitch, Zinia, Chithra dan Dalus, 2014. Major outcomes of patients with tuberculous meningitis on directly observed thrice a week regime. Ann Indian Acad Neurol. 17:281-6 17. Katti, 2004. Pathogenesis, diagnosis, treatment, and outcome aspects of cerebral tuberculosis. 215-29. 18. Kechagia, Mamoucha, Adamou, Kanterakis, Velentza dan Skarmoutsou, 2012. Tuberculous Meningitis. 19. Krishnan, Robertson dan Thwaites, 2010. The mechanisms and consequences of the extra-pulmonary dissemination of Mycobacterium tuberculosis. 90: 361–66. 20. Marais, Thwaites, Schoeman, Torok, Missra dan Prasad, 2010. Tuberculous meningitis : A uniform case definition for use in clinical research. 10:803–12 21. Marx dan Chan, 2011. Tuberculous meningitis: diagnosis and treatment overview. Tuberc Res Treat. 20(11): 764-798. 22. Ogawa, Smith, dan Brennessel 1987. Tuberculous meningitis in an urban medical Center Medicine. 66:317-326. 23. Pasco, 2012. Diagnostic features of tuberculousmeningitis : a crosssectional study. 5: 49 24. Pemula dan Apriliana, 2016. Penatalaksanaan yang Tepat pada Meningitis



Tuberkulosis. Medical



Profession



Journal



Of



Lampunung. 6(1), 50-55. 25. Principi dan Esposito, 2012. Diagnosis and therapy of tuberculous meningitis in children. 92: 377-383



26. PDPI, 2006. Persatuan Dokter Paru Indonesia. Pedoman diagnosis & penatalaksanaan tuberkulosisdi Indonesia. Jakarta 27. Putz dan Pabst, 2002. Atlas Anatomi Manusia Sobota Anatomi. 28. Rich, 1933. The pathogenesis of tuberculous meningitis. Johns Hopkins Hosp. 52:5–37. 29. Riskesdas, 2012. Riset Kesehatan Dasar. Laporan departemen kesehatan republik indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 30. Ritarwan, 2011. Aspek klinis dan penatalaksanaan meningitis tuberkulosa. Neurona (Majalah Kedokteran Neuro Sains Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia). 28(2). 31. Rosandali, Aziz, dan Suharti, 2016. Hubungan antara Pembentukan Scar Vaksin BCG dan Kejadian Infeksi Tuberkulosis. vol. 5 : pp. 381–384. 32. Rozak, 2017. Gambaran Pasien Meningitis Tuberkulosis Pada Anak Di Rs Hasan Sadikin Periode 2012-2016. 33. Sari dan Rosalinda, 2018. Otitis Media Supuratif Kronis Tipe Kolesteatom dengan Komplikasi Meningitis dan Paresis Nervus Fasialis Perifer. vol. 7 : pp. 88–95. 34. Sulistyowati, Kusumaningrum, Koendhori, dan Mertaniasih, 2017. Tuberculous Meningitis : The Microbiological Laboratory DIagnosis and Its Drug Sensitivity Patterns. Jurnal Respirasi. vol. 3 : pp. 35–39. 35. TB CARE I, 2014. International standards for tuberculosis. p. 28. 36. Thwaites, Bhavnani, Chau, Hammel, Torok dan Wart, 2011. A randomized pharmaco-kinetic and pharmacodynamic comparison of fluo-roquinolones for tuberculous meningitis. Antimicrob Agents Chemother. 37. Torok, 2015. Tuberculous meningitis: advances in



and



treatment.



British Medical Bulletin. 113:117-31. 38. Tursinawati, Tajally dan Kartikadewi, 2017. Buku Ajar : Sistem Syaraf. 39. Trung, Phuong, Wolbers, Minh, Thanh dan VAN, 2012. Aetiologies of Central Nervous System Infection in Viet Nam: A Prospective Provincial Hospital-Based Descriptive Surveillance Study. 7 : 1-15



40. Urban dan Fischer, 2011.Sobota atlas of Human Anatomy. 41. WHO, 2009. World Health Organization. Treatment of tuberculosis: guidelines. Edisi-4. 42. Yayan, 2008. Meningitis. Faculty of Medicine – University of Riau. Arifin Achmad General Hospital of Pekanbaru. Pp 1-6. 43. Zugar, 2004. Infection of the Central Nervous System. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. pp.441-456.