Referat Metastasis Ca Bone Spine [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT METASTATIC CA BONE SPINE



Oleh Annisa Salsabela 192011101011



Pembimbing dr. I Nyoman Semita, Sp.OT (K) Spine



SMF ILMU BEDAH



RSD DR. SOEBANDI JEMBER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER 2020



2



REFERAT METASTATIC CA BONE SPINE



Disusun untuk Melaksanakan Tugas Kepaniteraan Klinik KSM Bedah RSD dr. Soebandi Jember



Oleh Annisa Salsabela 192011101011



Pembimbing dr. I Nyoman Semita, Sp.OT (K) Spine



SMF ILMU BEDAH RSD DR. SOEBANDI JEMBER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER



3



2020 DAFTAR ISI



Halaman HALAMAN SAMPUL



1



HALAMAN JUDUL 2 DAFTAR ISI 3 BAB 1. PENDAHULUAN 4 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA



5



2.1 Definisi 5 2.2 Epidemiologi



5



2.3 Etiologi 6 2.4 Patofisiologi



6



2.5 Gambaran klinis 2.6 Diagnosis



10



14



2.7 Terapi 22 2.8 Diagnosis banding 2.9 Komplikasi



29



2.10 Prognosis



29



DAFTAR PUSTAKA



28



31



4



BAB 1. PENDAHULUAN Tulang belakang merupakan tempat yang paling sering terkena dalam sistem rangka. Sekitar 30-90% pasien dengan kanker terminal memiliki metastasis yang mempengaruhi tulang belakang. Insiden metastasis tulang belakang tertinggi ditemukan pada kelompok usia 40-65 tahun sesuai dengan periode risiko terbesar berkembangnya keganasan. Jenis kelamin laki-laki adalah yang paling sering terkena karena prevalensi dari keganasan paru pada kelompok ini lebih tinggi (Araujo et al. 2013). Spinal metastases merupakan tumor tulang belakang yang paling sering terjadi, yaitu sekitar 90% massa ditemukan dengan pencitraan tulang belakang. Metastasis tulang belakang lebih sering ditemukan sebagai metastasis tulang, meskipun tidak terbatas pada metastasis tulang dan sekitar 20% hadir dengan gejala invasi kanalis tulang belakang dan kompresi sumsum tulang belakang. Di dalam tulang belakang, metastasis lebih sering ditemukan di daerah toraks, di ikuti oleh daerah lumbar, sedangkan daerah servikal adalah tempat yang paling tidak mungkin ditemukan metastasis. Penyakit metastasis ke tulang belakang menyebar melalui beberapa rute berbeda yang meliputi penyebaran hematogen vena versus penyebaran arteri, perluasan tumor langsung, dan terakhir penyebaran limfatik. Penyebaran hematogen melalui sistem pleksus Batson adalah jalur yang paling umum untuk embolisasi tumor dan invasi tulang belakang (Ziu et al., 2020). Gejala umum yang dirasakan pasien dengan metastasis tulang belakang yaitu, nyeri. Metastasis tulang belakang biasanya sekunder akibat neoplasma ganas pada payudara, paru-paru, dan prostat. Brihaye dkk. melaporkan bahwa 16,5% gejala metastasis adalah sekunder akibat karsinoma payudara, 15,6% karsinoma paru, dan 9,25% karsinoma prostat. Tumor lainnya yang sering menyebabkan metastasis pada tulang, yaitu karsinoma ginjal, gastrointestinal, dan tiroid (Araujo et al. 2013) .



5



BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1



Definisi Metastasis didefinisikan sebagai proses di mana sel kanker meninggalkan



tumor primer, migrasi, dan implan ke organ yang jauh tempat mereka berkembang biak dan membentuk fokus tumor baru (Barragan-Campos et al., 2015). 2.2



Epidemiologi Sekitar dua pertiga pasien kanker akan mengalami metastasis tulang.



Metastasis tulang sebenarnya jauh lebih umum daripada kanker tulang primer karena insidensinya 25/1 dan ini adalah lesi neoplastik yang lebih sering terlihat oleh ahli ortopedi. Tulang adalah tempat paling umum untuk metastasis setelah paru-paru dan hati. Tumor primer yang paling sering menyebabkan metastasis tulang yaitu tumor pada prostat, payudara, ginjal, paru-paru, dan kanker tiroid. Insiden metastasis tulang dari studi otopsi adalah 73% (kisaran 47-85%) pada kanker payudara, 68% (kisaran 33-85%) pada kanker prostat, 42% (kisaran 2860%) pada kanker tiroid, 36% (kisaran 30-55%) pada kanker paru-paru, 35% (kisaran 33–40%) pada kanker ginjal, 6% (kisaran 5-7%) pada kanker kerongkongan , 5% (kisaran 3-11%) pada kanker saluran pencernaan, 11% (kisaran 8-13%) pada kanker rektal. Mengingat tingginya prevalensi kanker payudara, prostat, dan paru-paru, mereka bertanggung jawab atas lebih dari 80% kasus penyakit tulang metastatik hingga 70% pasien dengan kanker payudara atau kanker prostat, dan 15-30% pasien dengan paru-paru, usus besar, kandung kemih, atau kanker ginjal mengembangkan metastasis tulang. Kanker payudara adalah tumor ganas yang paling umum dan penyebab utama metastasis tulang pada wanita. Sekitar 70% orang yang meninggal karena kanker payudara akan memiliki bukti radiologis metastasis tulang sebelum kematian mereka dan dalam 40% kasus tulang menjadi tempat metastasis pertama. Reseptor estrogen, sialoprotein, peptida terkait paratiroid (PTHrP), dan 69 tanda gen yang berkorelasi dengan faktor pertumbuhan fibroblas adalah penanda



6



prediktif kekambuhan tulang. Sedangkan metastasis prostat dan paru adalah yang lebih banyak terjadi pada pria. Tumor primer tidak dapat ditentukan pada 9% kasus metastasis tulang belakang (Maccauro et al. 2011). 2.3



Etiologi Keganasan primer yang paling sering bermetastasis ke tulang belakang



adalah tumor pada payudara (21%), paru-paru (19%), prostat (7,5%), ginjal (5%), gastrointestinal (4,5%), dan tiroid (2,5%). Sementara semua tumor dapat menyebar ke tulang belakang, kanker yang disebutkan di atas bermetastasis ke tulang belakang pada awal proses penyakit. Sementara mekanisme yang tepat dan ekspresi gen yang diperlukan untuk invasi tumor tulang belakang merupakan fokus penelitian berkelanjutan, keberadaan faktor-faktor tertentu seperti RANK dan RANKL (penggerak reseptor faktor nuklir kappa beta/NFkB ligan), yang berinteraksi dengan reseptor untuk mengaktifkan sel-sel osteoklastik, tampaknya memainkan peran dalam pengaturan invasi (Ziu et al., 2020). 2.4



Patofisiologi Jaringan tulang mengalami proses resorpsi yang terus menerus oleh aksi



osteoklas dan pemodelan ulang melalui aksi osteoblas. Pada individu normal, proses ini seimbang. Dalam sel kanker, keseimbangan antara osteoklas dan osteoblas ini hilang dan litik, menebal, atau menghasilkan suatu lesi campuran. Lesi osteolitik disebabkan oleh stimulasi aktivitas osteoklastik disertai dengan penurunan aktivitas osteoblas. Lesi osteoblastik adalah ekspresi dari peningkatan formasi tulang di sekitar sel tumor yang terkait dengan ketidakseimbangan antara aktivitas osteolitik dengan pergantian perubahan tulang. Setelah sel kanker menginvasi tulang, sel kanker akan menghasilkan faktor pertumbuhan yang secara langsung merangsang aktivitas osteoklastik dan/atau aktivitas osteoblas yang mengakibatkan remodeling tulang dan pelepasan lebih lanjut faktor pertumbuhan yang mengarah pada lingkaran setan penghancuran tulang dan pertumbuhan tumor lokal.



7



Sel tumor menghasilkan IL-1, IL-6, IL-8, IL-11, prostaglandin E2, Transforming growth factor α (TGFα), Transforming growth factor β (TGFβ), epidermal gowth factor (EGF), vascular endothelial gorwth factor (VEGF), Tumor necrosing factor (TNF), colony stimulating factor (CSF-1), granulocyte macrophage-colony



stimulating



factor



(GM-CSF),



dan



monocyte-colony



stimulating factor (M-CSF), yang dapat secara langsung atau tidak langsung merangsang aktivitas osteoklas dan kemudian resorpsi tulang. Enzim proteolitik, seperti asam fosfatase, asam hidrolase, alkali fosfat, MMP-2, MMP-9, dan K cathepsin terlibat dalam fase awal pembentukan metastasis tulang yang menurunkan membran basal tulang, memfasilitasi difusi tumor dan pelepasan sitokin matriks tulang serta merangsang proliferasi sel tumor. Sel tumor dapat meningkatkan resorpsi tulang serta merangsang respon tumor terkait imun dengan pelepasan faktor pengaktif osteoklas. Parathyroidrelated peptide (PTHrP) yang diproduksi oleh sel kanker payudara memainkan peran kunci dalam resorpsi tulang yang merangsang aktivitas osteoklas, lebih banyak ditemukan pada kanker payudara metastatik (92%) dibandingkan pada yang tidak bermetastasis (50%). PTHrP dan IL-1, IL-6, serta IL-11 menginduksi resorpsi tulang osteoklas yang merangsang osteoblas dan sel-sel stroma untuk menghasilkan receptor activator of nuclear factor-kB (RANK). RANK terhubung dengan reseptornya pada prekursor osteoklas yang menginduksi proliferasi dan diferensiasi. Kerusakan tulang diperoleh karena memfasilitasi pelepasan faktor pertumbuhan yang menyebabkan proliferasi sel tumor, seperti TGFβ, insulin-like growth factor (IGF), fibroblast growth factor (FGF), platelet-derived growth factor (PDGF), dan BMP yang menstimulasi produksi PTHrP dan kemudian osteolisis. Jadi, osteolisis dan pelepasan faktor pertumbuhan merangsang proliferasi sel tumor dan kemudian pertumbuhan sel metastatik. Biasanya produksi osteoprotegerin oleh osteoblas menetralkan stimulasi osteklastik penguncian ligan RANK, tetapi telah dibuktikan bahwa pelepasan osteoprotegerin berkurang dalam MCF-7 estrogen-dependent pada sel kanker payudara stimulasi



8



dari aktivitas osteoklas. IL-6 juga diekspresikan dalam prostat dan sel kanker payudara menstimulasi sel osteoklas memperkuat efek PTHrP pada osteoklas. Ledakan tulang biasanya terjadi pada kanker prostat. Faktor pertumbuhan seperti TFGβ, PDGF, BMPs, IGFs, FGFs, dan l'uPA (yang menstimulasi pelepasan TGFβ) telah diisolasi dalam sel kanker prostat dan menstimulasi diferensiasi osteoblas dan mereka berperan dalam pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel tumor itu sendiri. Telah dibuktikan bahwa endotelin level 1 meningkat pada tumor prostat metastatik tulang dibandingkan pada tumor nonmetastatik. Endotelin level 1 merangsang aktivitas osteoblas dan menghambat osteoklas, meningkatkan proliferasi sel kanker, dan menstimulasi efek mitogen faktor pertumbuhan lainnya. Produksinya berkurang oleh androgen dan meningkat pada penyakit resisten androgen, ini penting karena biasanya kanker prostat mengembangkan resistensi androgen. Antagonis endothelin-1 mengurangi pertumbuhan metastasis tulang osteoblas atau pertumbuhan tumor. PTHrP dan reseptornya juga ditemukan pada metastasis tulang dan kanker prostat primer, dan telah dibuktikan bahwa sel tumor prostat mampu secara langsung mengekspresikan bentuk ligan RANK, yang secara langsung menginduksi resorpsi tulang, dan mengungkapkan bahwa aktivitas osteolitik hadir dalam kanker prostat. Produk degradasi tulang telah ditemukan dalam urin yang mengarah pada hipotesis bahwa pada kanker prostat pada awalnya terdapat aktivitas osteolitik diikuti oleh aktivitas osteoblas yang tinggi. Pada kanker prostat Wnt menginduksi aktivitas osteoblas, yang pada fase awal dapat diimbangi oleh agonis DKK1 Wnt (suatu penghambat diferensiasi osteoblas), yang mengarah pada lesi litik. Setelah perkembangan tumor, keseimbangan antara Wnt dan inhibitornya bergeser ke arah yang pertama, mendorong lesi osteoblas. Namun demikian, PSA yang diinduksi tumor dapat memblokir PTHrP dan kemudian resorpsi tulang dan mengaktifkan faktor pertumbuhan osteoblas sebagai TGFβ, l'IGF-1 yang dilepaskan oleh tulang selama perkembangan metastastik, yang mengarah ke lingkaran setan juga untuk lesi osteoblas. Proses metastasis di tulang pertama kali yang terjadi adalah sel neoplastik



9



menyebar melalui situs utama dengan mengorbankan sel dan stroma yang sudah ada sebelumnya kemudian melepaskannya dengan pengurangan molekul adhesi dan pembukaan lamina basal epitel, kemudian mencapai pembuluh darah dan menembus ke dalamnya dengan degradasi basal. Lamina dan endotel, kemudian bermigrasi dengan aliran darah dan lolos dari pengawasan sel imun, mencapai sinusoid sumsum tulang, berhenti dan tumbuh di sana. Proses ini terutama terjadi melalui aktivitas proteinase, seperti metaloproteinase, serin, sistein, dan proteinase aspartik, stromelysin, dan uPA. Proteinase ini menghancurkan epitel lamina basal dan jaringan sekitarnya dengan degradasi kolagen tipe IV, laminin, proteoglikan, dan protein lain tetapi juga mengungkap aktivitas biologis yang tersembunyi dan mengurangi adhesi sel ke sel dengan mengganggu reseptor adhesi di membran sel. Interaksi tumor dan host dimediasi oleh sejumlah molekul adhesi permukaan sel yang termasuk dalam empat superfamili integrin, cadherin, imunoglobulin, dan selektin. Akuisisi properti invasif dan difusif oleh sel kanker secara jelas terkait dengan perubahan dalam molekul ini, terutama penurunan ekspresi E-cadherin dan peningkatan CD44. Ekspresi molekul adhesi seperti integrin αIIbβ3 dan αLβ2, atau PECAM-1, ICAM-1 dan N-CAM, memainkan peran yang relevan dalam interaksi sel kanker dengan endotel dan matriks. Lokasi tersering terjadi di segmen kerangka yang mengandung sumsum tulang merah seperti di tulang rusuk, tulang iliaka, tulang dada, epifisis tulang panjang karena daerah tersebut kaya akan vaskularisasi yang memungkinkan sel kanker untuk diangkut ke sini dan menurunkan tingkat dan kecepatan aliran darah bersamaan dengan pembentukan vortisitas dan/atau mikro trombus, serta mendorong adhesi dan imobilisasi sel tumor pada sel-sel endotel. Teori lain menunjukkan bahwa sel-sel neoplastik bermigrasi dan melokalisasi jaringan target karena di tempat tersebut mereka menemukan tempat paling subur untuk tumbuh karena sel-sel tulang dan sumsum tulang mengandung dan mengekspresikan berbagai faktor pertumbuhan, sitokin, enzim, dan zat seperti hormon yang bersama-sama dengan faktor serupa yang diproduksi oleh sel kanker, dapat membuat lingkungan mikro tulang sebagai tempat yang cocok



10



untuk implantasi seluler dan perkembangan. Matrix metalloproteinase, bone sialoprotein, dan osteopontin memainkan peran kunci dalam implantasi sel neoplastik di sumsum tulang dengan menurunkan matriks ekstraseluler yang memodifikasi kontak sel-sel dan matriks sel serta regulasi interaksi perlekatan dan migrasi kemotaktik sel endotel, dan angiogenesis. Setelah lokalisasi mereka di ruang sumsum tulang, pertumbuhannya secara klinis bermanifestasi ke metastasis bergantung pada sejumlah kondisi yang mendorong atau menghambat, terutama pada interaksi dengan sel-sel tulang dan sumsum tulang di sekitarnya, melalui peningkatan ekspresi molekul adhesi, ketersediaan ruang, derajat vaskularisasi, dan jenis remodeling tulang. Perkembangan metastasis jelas tergantung pada proliferasi sel neoplastik, tetapi proses lain sangat penting dalam hubungan ini, terutama neo-angiogenesis (Maccauro et al. 2011). 2.5



Gambaran Klinis Metastasis tulang di tulang belakang (spine) dapat dimanifestasikan secara



klinis sebagai nyeri tak tertahankan, kompresi sumsum tulang belakang atau sindrom cauda equina, hiperkalsemia, fraktur patologis, dan ketidakstabilan tulang belakang. Gejala ini memperburuk kualitas hidup dan menurunkan kelangsungan hidup (Barragan-campos et al., 2015). a.



Nyeri tak tertahankan Gejala tersering pada penderita metastasis tulang adalah nyeri yang tak



tertahankan dan terjadi pada 80-95% penderita kanker. Pada 10% kasus, nyeri mungkin merupakan manifestasi awal dari metastasis tulang. Mekanisme yang diketahui yang menyebabkan nyeri meliputi kerusakan struktural, iritasi periosteal, kompresi akar saraf, kejang otot, dan sekresi mediator kimiawi selama osteolisis (TNF-α dan IL-1), atau prostaglandin tipe E yang mengaktifkan osteoklas dan merangsang reseptor nosiseptif. Ciri-ciri nyeri tak tertahankan adalah onset progresif, persisten atau intensitas meningkat (seringkali pada malam hari, mencegah tidur), diperburuk oleh gerakan torsi atau bahkan oleh manuver Valsava, resisten terhadap obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) yang umumnya mengarah pada penggunaan morfin.



11



b.



Malignant spinal cord compression Malignant spinal cord compression (MSCC) didefinisikan sebagai



tonjolan tekan, perpindahan, atau pembungkus kantung tulang belakang di sekitar medula spinalis atau cauda equina oleh metastasis spinal dan muncul pada kanker stadium lanjut. Kompresi dapat terjadi karena ekstensi tumor di tulang belakang, akibat kompresi sumsum tulang belakang anterior (keterlibatan epidural), ekstensi anterior dari massa yang berasal dari elemen lengkung posterior, pertumbuhan massa foraminal vertebralis, dan fraktur dengan pergeseran dinding posterior. Kompresi sumsum tulang belakang ganas terjadi di daerah toraks pada 6080% kasus, di daerah lumbosakral pada 15-30% kasus, dan di daerah serviks pada 10% kasus. Sekitar 50% pasien memiliki lebih dari satu daerah tulang belakang yang terkena. Ini umum terjadi pada pasien yang menderita kanker payudara (2030% kasus) dan kanker paru-paru (10% kasus); kanker lain yang terkait dengan MSCC termasuk prostat, ginjal, dan limfoma. Kompresi sumsum tulang belakang ganas adalah keadaan darurat neuro-onkologis dan diperlukan perawatan segera. Nyeri terjadi di area yang berdekatan dengan tumor, diperburuk oleh aktivitas yang meningkatkan tekanan intradural seperti batuk, bersin, dan aktivitas fisik. Awalnya nyeri berlokasi di daerah distal, unilateral atau bilateral pada ekstremitas bawah, biasanya asimetris, dan bermanifestasi sebagai radikulopati terutama jika MSCC meliputi tulang belakang lumbosakral. Pasien dengan kompresi sumsum tulang belakang memiliki kelemahan atau kelumpuhan pada 70% kasus. Tanda Lhermitte ini, diwujudkan dengan sensasi mengalirkan listrik di belakang dan/atau atas atau ekstremitas bawah berikut fleksi leher, terjadi pada MSCC serviks atau dada, meskipun juga bisa hadir di myelopathy non-tekan terkait dengan kemoterapi atau radiasi. Pada tahap selanjutnya, MSCC bermanifestasi sebagai mati rasa, anestesi distal, atau defisit motorik (60-80%) pada tingkat segmen yang terganggu. Disfungsi otonom dimanifestasikan sebagai kandung kemih neurogenik merupakan komplikasi utama yang terkait dengan MSCC.



12



c.



Malignant hypercalcemia (MH) Malignant hypercalcemia (MH) merupakan komplikasi penting yang



ditemukan pada sepertiga pasien dengan kanker stadium lanjut (10-30%) dan dikaitkan dengan prognosis yang buruk. MH diklasifikasikan sebagai ringan (kalsium serum, 10,5-11,9 mg / dl), sedang (12,0-13,9 mg / dl), dan berat (≥ 14 mg / dl)28. Kanker payudara, paru-paru, dan ginjal, bersama dengan neoplasma hematologi (terutama mieloma, limfoma, dan leukemia sel-T) adalah kanker penghasil MH utama. MH adalah hasil dari kerusakan tulang, terdapat pada 80% metastasis tulang litik. Gangguan regulasi kalsium pada pasien dengan MH diklasifikasikan ke dalam tiga kategori: 1) faktor humoral yang disekresikan oleh parakrin atau endokrin, seperti beragam sitokin dan PTHrP, yang dihasilkan oleh multiple myeloma, limfoma, dan kanker payudara; 2) pasien dengan BM, di mana efek langsung lokal tumor dapat menyebabkan disolusi tulang dan mobilisasi kalsium, yang dimanifestasikan oleh osteolisis lokal yang ada pada kanker tertentu (karsinoma sel skuamosa kepala dan leher, esofagus, serviks, karsinoma sel ginjal, paru-paru, ovarium, dan endometrium); 3) pada sebagian kecil kasus, hiperkalsemia adalah tanda paraneoplastik yang diakibatkan oleh kelebihan vitamin D yang diaktivasi oleh sel neoplastik. Hubungan antara MH dan metastasis hati telah dijelaskan, yang mempengaruhi metabolisme tulang efektor faktor humoral, seperti PTHrP. Hubungan antara peningkatan PTHrP serum dan kanker telah ditemukan pada dua pertiga pasien. Ginjal memainkan peran penting dalam MH, mengakibatkan penipisan volume dan penurunan aktivitas PTHrP, akibatnya absorpsi kalsium ginjal meningkat, sehingga meningkatkan kadar serum kalsium. Selain itu, tumor penghasil analog vitamin D dapat meningkatkan kadar kalsitriol, menyebabkan



13



MH sekunder. Presentasi klinis tidak spesifik dan pengenalan awal sangat penting. Bila kadar serum kalsium> 12 mg / dl, gejala khasnya meliputi mual, emesis, konstipasi, sakit perut, anoreksia, penurunan berat badan, poliuria, kelelahan, dan penurunan kekuatan. Pasien dengan kadar serum kalsium> 14 mg / dl memiliki gejala neurologis seperti kebingungan, koma, bahkan kematian akibat gagal ginjal, atau serangan jantung sekunder akibat aritmia d.



Fraktur patologis Fraktur patologis terjadi pada 8-30% pasien kanker. Kerusakan tulang



akibat metastasis tulang menurunkan daya dukungnya, akibatnya bentuk fraktur mikro dan timbul nyeri. Ketika ambang kritis melibatkan lebih dari 50% dari luas penampang vertebral dan ada kehilangan mineral, vertebral body menjadi rentan terhadap fraktur patologis. Fraktur patologis lebih sering terjadi pada lengkung kosta dan korpus vertebra, menyebabkan kyphoscoliosis atau penurunan tinggi badan vertebra, yang dapat menyebabkan pola paru restriktif. Fraktur patologis tergantung pada jenis tumor, ukuran, lokasi, kehilangan mineral tulang, dan derajat kerusakan. e.



Ketidakstabilan tulang belakang Ketidakstabilan tulang belakang terjadi pada 10% kasus kanker stadium



lanjut dan merupakan faktor penentu untuk perawatan bedah. Pada tahun 2010, Kelompok



Studi



Onkologi



Tulang



Belakang



(SOSG)



mendefinisikan



ketidakstabilan tulang belakang sebagai hilangnya integritas tulang belakang sebagai akibat dari proses neoplastik, terkait dengan nyeri saat bergerak, dan gejala progresif deformitas dengan gangguan saraf di bawah beban fisiologis yang beragam (Barragan-campos et al., 2015).



14



Tabel 2.1 Sistem skoring untuk ketidakstabilan tulang belakang (BarraganCampos et al., 2015)



2.6



Diagnosis



2.6.1



Bone remodelling biomarkers Serum alkaline phosphatase adalah biomarker peningkatan metabolisme



tulang pada pasien dengan metastasis tulang. Serum alkaline phosphatase disekresikan oleh osteoklas, sehingga meningkatkan kadar serum totalnya, terutama pada metastasis tulang blastik. Alkali fosfatase memiliki keterbatasan pada spesifitas tulang akibat berbagai proses fisiologis seperti proses pertumbuhan, kehamilan, penyakit keganasan (hati dan tulang) dan nonkeganasan (sirosis, hepatitis dan diabetes mellitus) yang juga dikaitkan dengan peningkatan kadar serum. Studi terbaru melaporkan bahwa isoenzim Fab lebih spesifik sebagai penanda remodelling tulang pada pasien dengan kanker paru daripada alkali fosfatase; namun, tidak ada hubungan erat yang ditemukan antara pola spesifik tumor dan aktivitas osteoblas yang tinggi, produk dari resorpsi



15



tulang yang berlebihan. Ada biomarker lain seperti osteocalcin, pyridinoline, deoxypyridinoline dan tartrate-resistant acid phosphatase isoform 5b (TRAcP b5). TRAcP terbentuk selama proses pematangan kolagen tipe I ekstraseluler, di mana ia dilepaskan ke dalam sirkulasi sistemik dan diekskresikan dalam urin. Penggunaan TRAcP dibatasi karena spesifisitas tulang yang bervariasi, terutama faktor yang beragam termasuk variasi diurnal, jenis kelamin, dan menopause. 2.6.2



Conventional radiography (Rontgen) Radiografi adalah studi pertama yang digunakan untuk mengevaluasi



pasien dengan nyeri tulang yang signifikan dan dicurigai mengarah ke metastasis tulang karena murah, cepat, dan mudah dijangkau. Radiografi memungkinkan evaluasi ketidakstabilan tulang belakang dan disk space serta lokasi, luas, dan klasifikasi metastasis tulang. Meskipun rontgen memiliki spesifisitas yang tinggi, namun sensitivitasnya rendah (44-50%). Penampakan radiografi tergantung pada jenis cedera dan dominasi aktivitas osteolitik dan osteoblas. Lesi pada tulang trabekuler lebih sulit dideteksi dengan rontgen daripada lesi yang mengenai tulang kortikal, karena resolusi yang terbatas. Lesi yang lebih kecil dari 1 cm mungkin tidak terdeteksi karena harus ada lebih dari 50% kepadatan mineral yang terpengaruh di tulang trabekuler agar dapat dideteksi dengan rontgen. Melalui foto rontgen, lesi yang menunjukkan metastasis tulang dapat diamati di tulang belakang atau spine. Lesi ini ditandai sebagai osteolisis tubuh vertebral, ketidakmampuan untuk memvisualisasikan pedikel, erosi dari prosesus spinosus, dan kolaps vertebra patologis. 2.6.3



Computed tomography (CT-Scan) CT-Scan berguna dalam evaluasi metastasis tulang karena penilaian tulang



trabekuler dan kortikal yang sangat baik serta badan vertebral, spinal canal, keberadaan fragmen tulang lokal, dan data yang berkaitan dengan kolaps nya vertebra. CT-scan sangat penting untuk perencanaan manajemen bedah tulang belakang terutama untuk instrumentasi bedah.



16



2.6.4



Bone scintigraphy Studi pencitraan dengan radionuklida cepat, relatif murah, dan dengan



sensitivitas tinggi untuk diagnosis penyakit-penyakit pada tulang. Selama beberapa dekade, bone scintigraphy



telah ditetapkan sebagai pemeriksaan



referensi untuk menilai metastasis tulang karena kemampuannya untuk memindai seluruh tubuh. Prosedur ini dilakukan dengan teknesium berlabel bifosfonat (99Tc MDP) isotop, yang dengan cepat terakumulasi di jaringan tulang, sementara hanya 50% dari radiolabel yang tersisa dalam sistem kerangka setelah 2-6 jam. Mekanisme pengambilan bifosfonat bergantung pada dua faktor penting, yaitu kecepatan pembentukan tulang dan aliran darah. Meskipun protokol bervariasi antar institusi, gambar biasanya diperoleh dengan 99Tc MDP dengan dosis 740925 MBq (20-35 mCi). Kamera berdaya rendah yang dilengkapi dengan kolimator resolusi tinggi digunakan untuk mendapatkan gambar seluruh tubuh anterior dan posterior yang digunakan untuk menemukan kelainan tulang (misalnya, metastais tulang, penyakit Paget, osteoartropati, nekrosis avaskular, trauma, osteomielitis, dll.).. Skintigrafi tulang telah memainkan peran penting dalam penentuan stadium dan manajemen pasien dengan kanker sejak 1980. Metode ini sangat sensitif untuk mendeteksi kelainan tulang dan banyak penelitian menganggapnya lebih sensitif daripada rontgen untuk mendeteksi metastasis tulang. Sekitar 75% pasien dengan riwayat kanker dan nyeri tulang memiliki skintigrafi



tulang



yang



abnormal.



Penyakit



metastasis



kadang-kadang



bermanifestasi sebagai soliter suatu peningkatan situs serapan pada tulang belakang. Namun demikian, perubahan degeneratif juga dapat bermanifestasi sebagai situs peningkatan penyerapan yang terisolasi di skintigrafi tulang. Terapi hormonal dan kemoterapi mempengaruhi interpretasi skintigrafi tulang karena peningkatan intensitas dengan munculnya fokus serapan baru tidak selalu menunjukkan perkembangan penyakit. Fenomena ini biasanya diamati tiga bulan setelah dimulainya pengobatan dan berhubungan dengan perubahan sklerotik yang menunjukkan respon. Jika setelah enam bulan area serapan pelacak bertambah



17



besar atau dalam saturasi ini menunjukkan perkembangan penyakit. Salah satu keterbatasan diagnostik skintigrafi tulang adalah visualisasi dari metastasis tulang blastik. Negatif palsu dapat terjadi pada metastasis tulang litik murni, seperti pada situs avaskular, di mana mereka muncul sebagai daerah serapan pelacak rendah. Sebaliknya, positif palsu telah dikaitkan dengan berbagai proses patologis seperti peradangan, perubahan degeneratif, dan trauma. Single photon emission computed tomography (SPECT) digunakan untuk membedakan antara metastasis tulang, perubahan degeneratif, dan proses infeksi. SPECT adalah tes diagnostik yang paling sering digunakan dalam evaluasi tulang belakang karena dapat diinterpretasikan menggunakan gambar aksial, koronal, sagital, dan tiga dimensi, sehingga memfasilitasi lokalisasi dan karakterisasi lesi tersebut. Penyakit metastasis dapat bermanifestasi dalam SPECT sebagai peningkatan serapan radiolabel namun terkadang ada area dengan serapan rendah. Pada tumor fase akut yang diobati dengan radioterapi, osteitis terjadi karena peningkatan serapan pelacak yang ditunjukkan dengan puncaknya pada 2-3 bulan setelah pengobatan. Puncak ini terjadi pada 80-90% kasus yang disebut fenomena aktivasi. 2.6.5



Positron Emission Tomography-Computed Tomoraphy (PET-CT) PET-CT adalah studi pencitraan modern dalam kedokteran nuklir, yang



memasangkan gambar tomografi resolusi tinggi dengan penggunaan radiolabel untuk mendeteksi keberadaan tumor dengan mengidentifikasi zona peningkatan aktivitas metabolik seluler. Dengan menggunakan prinsip fisiologis ini, PET-CT dapat mendeteksi metastasis tulang pada tahap awal serta mengevaluasi respons terhadap pengobatan antikanker. PET-CT memiliki keuntungan menggunakan radiolabel yang berbeda untuk mendeteksi lesi pada tulang dan jaringan lunak. Hal ini juga dapat mendeteksi lesi infiltratif sumsum tulang dalam tahap awal, serta menilai lesi litik. Saat ini, 2-deoksi-2- [18F] -fluoro-D-glukosa (18F-FDG) adalah radiolabel yang paling banyak digunakan dalam PET-CT. 18F-FDG diangkut ke dalam sel melalui protein transpor glukosa (GLUT-1 dan GLUT-5) di mana ia terfosforilasi



18



oleh heksokinase ke dalam glukosa 6-fosfat. Peningkatan glikolisis oleh sel tumor dikaitkan dengan akumulasi radiolabel pada gambar PET-CT. 2.6.6



Magnetic Resonance Imaging (MRI) Magnetic Resonance Imaging (MRI) dilakukan sebagai alat diagnostik lini



kedua untuk mencari metastasis tulang setelah foto rontgen dan skintigrafi tulang. Modalitas diagnostik ini dapat menentukan keberadaan dari metastasis tulang, jumlah, perluasan, dan jenis cedera. Dengan informasi ini, pengobatan yang tepat dapat dipilih untuk setiap pasien dengan metastasis tulang. MRI adalah prosedur standar emas (gold standard) untuk mengevaluasi tulang belakang karena kemampuannya yang luar biasa untuk memvisualisasikan dan membedakan antara jaringan lunak dan jaringan tulang, serta untuk menilai kompresi tulang belakang, kerusakan



kortikal,



keterlibatan



epidural,



kerusakan



saraf,



dan



invasi



paravertebral. MRI juga dapat membedakan antara penyebab maligna dan jinak dari kolaps vertebra. Sumsum tulang dewasa kebanyakan mengandung lemak dan air. Sumsum tulang kuning mengandung 80% lemak, 15% air, dan 5% komponen seluler, sedangkan sumsum tulang merah mengandung 40% air, 40% lemak, dan 20% komponen seluler. Pada penyakit infiltratif, baik difus, diseminata, atau soliter, jaringan lemak biasanya menghilang. Untuk menilai sumsum tulang belakang digunakan urutan mulai dari T1weighted image, T2 fat saturation (FatSat) as well as short Tau inversion recovery (STIR), dan T1-weighted images dengan gadolinium. Spinal bone metastasis yang dinilai dalam urutan T1-weighted memiliki waktu relaksasi yang lebih lama dan menunjukkan penurunan intensitas sinyal dibandingkan dengan jaringan lemak, karena peningkatan kadar air dan penggantian jaringan adiposa dengan jaringan tumor. Gambar T1-weighted dengan gadolinium membantu mengevaluasi metastasis sumsum tulang karena sumsum tulang normal tidak menunjukkan peningkatan setelah pemberian media kontras, sedangkan pada zona yang kompatibel dengan metastasis tulang terdapat peningkatan media kontras. Perubahan gambar T2-weighted adalah variabel karena mereka cenderung



19



menunjukkan sinyal meningkat pada lokasi cedera sebagai akibat dari peningkatan selularitas. Selain itu, T2-weighted juga menunjukkan adanya halo peritumoral. Halo ini terkait dengan edema dan digambarkan sebagai daerah hyperintense sekitar hypointense metastasis lesi. Perubahan-perubahan yang disebutkan sebelumnya terjadi terutama pada jaringan ganas dengan kandungan musin yang tinggi, menunjukkan keganasan, dan telah berkorelasi dengan adanya metastasis tulang blastik. Metastasis tulang dengan komponen sklerotik berperilaku sebagai lesi litik pada MRI dan hanya jika sklerosis ditandai, maka akan bermanifestasi sebagai sinyal intensitas rendah di MRI. Etiologi dari fraktur patologis sulit dibedakan dengan MRI. Namun, temuan yang menunjukkan metastasis tulang sekunder akibat kompresi fraktur patologis meliputi adanya tepi cembung posterior dari korpus vertebra, kelainan kekuatan sinyal pedikel atau elemen lengkung posterior, keterlibatan epidural, gangguan sumsum tulang belakang karena tumor epidural, tumor paraspinal fokal, dan lesi multipel pada satu atau lebih vertebra korpus. Sebaliknya, temuan yang menunjukkan fraktur kompresi vertebra osteoporotik pada fase akut antara lain low signal intensity band pada gambaran T1-weighted and T2-weighted, sumsum tulang normal, tidak adanya kelainan sinyal pada pedikel atau elemen lengkung posterior, dan terdapatnya beberapa garis fraktur akibat kompresi. 2.6.7



Diffusion-weighted imaging (DWI) Diffusion-weighted imaging (DWI) adalah teknik MRI baru yang menilai



jaringan seluler dan dapat digunakan untuk mendeteksi jaringan abnormal noninvasif. Oleh karena itu, DWI memiliki potensi besar untuk meningkatkan spesifisitas dalam mendeteksi kelainan pada jaringan tulang dan sumsum tulang pada pasien kanker. Namun, DWI



harus diinterpretasikan dalam kaitannya



dengan sekuens MRI struktural untuk karakter lesi. DWI memungkinkan visualisasi dan pengukuran gerakan Brownian (intra, trans-, dan ekstraseluler) molekul air, yang menghasilkan intensitas sinyal dengan MRI. Hambatan jaringan biologis, membran sel, dan makromolekul membatasi



20



dan mengganggu pergerakan bebas molekul air, yang dikenal sebagai difusi air. Kekuatan sinyal tergantung pada difusi melalui hambatan semi-permeabel terhadap air, sehingga menghasilkan intensitas sinyal oleh DWI. Proses fisiopatologis seperti tumor, infeksi, peradangan, dan iskemia dapat mengubah rasio antara volume intra dan ekstraseluler sehingga mengubah sifat fisik membran sel dan dengan demikian mempengaruhi difusi molekul air. Seperti disebutkan sebelumnya, DWI dapat mengukur gerakan Brownian air melalui koefisien difusi semu (ADC). Aplikasi klinis pertama DWI adalah untuk mendiagnosis stroke iskemik, kegagalan fungsi pompa Na+/ K+-ATPase menghasilkan translokasi perpindahan air dari ruang ekstraseluler ke ruang intraseluler. Akibatnya, gradien difusi air melalui membran sel meningkat yang sesuai dengan peningkatan hambatan sinyal pada DWI. DWI dapat digunakan untuk mendeteksi tumor dan metastasis, selama itu terkait dengan urutan MRI struktural. Takahara, dkk. memperkenalkan DWIBS, urutan MRI tiga dimensi resolusi spasial tinggi yang memberikan kualitas gambar yang lebih baik. Penggunaan DWIBS untuk membedakan antara lesi jinak dan ganas tulang belakang masih kontroversial karena harus dinilai bersama dengan rangkaian T1weighted, T2-weighted, dan STIR. Tumor dengan kepadatan sel tinggi memiliki gradien difusi yang tinggi dan karena itu restriksi yang lebih besar pada sinyal DWIBS. Edema intratumoral dan komponen kistik tumoral juga mampu menghasilkan sinyal restriksi di DWIBS. Di daerah dengan kepadatan seluler tinggi yang kompatibel dengan keganasan, DWIBS menunjukkan pembatasan sinyal regional dibandingkan jaringan jinak karena artefak pergerakan yang mempengaruhi sinyal pembatasan. Lesi ganas mungkin tidak teridentifikasi di area sekitar jantung seperti mediastinum, hilus paru, dan lobus hati kiri. Penyebab yang meningkatkan positif palsu pada DWIBS antara lain adalah edema sumsum tulang yang disebabkan oleh patah tulang, penyakit degeneratif, nekrosis tulang, infeksi, dan hemangioma. Penyebab yang meningkatkan negatif palsu adalah infiltrasi sumsum tulang yang buruk dan zona gangguan sinyal yang



21



berdekatan dengan dasar tengkorak, di mana intensitas sinyal yang dipancarkan dari otak biasanya tidak baik dibatasi.Nilai ADC dalam proses ganas secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan proses jinak. Kisaran ADC yang dilaporkan untuk fraktur patologis pada kompresi korpus vertebra akibat proses ganas adalah 0,69-0,92 x 10-3 mm2/ s, sedangkan rentang ADC yang dilaporkan untuk fraktur vertebra dengan edema pasca trauma adalah 1,21-1,94 x 10-3 mm2/ s. Dengan parameter ini, lesi metastasis tulang yang mencurigakan dapat dibedakan menjadi jinak dan ganas dengan DWIBS. 2.6.8



Biopsi Pemeriksaan histopatologi adalah pemeriksaan gold standard untuk



neoplasma. Pemeriksaan ini diperlukan jika diagnosis tidak pasti untuk mengkonfirmasi hasil yang diperoleh dari studi pencitraan sebelum memulai pengobatan (karena pemeriksaan imunohistokimia memungkinkan identifikasi beberapa reseptor yang dapat mengarahkan strategi terapi yang lebih spesifik) serta untuk membedakan antara metastasis tulang dan osteonekrosis sebelum radiasi tulang. Indikasi paling umum untuk melakukan biopsi pada jaringan lunak dan tulang adalah untuk membedakan proses infeksi dari tumor. Jaringan dapat diperoleh melalui biopsi terbuka dan biopsi perkutan yang dipandu oleh fluoroskopi, CT, dan MRI. Keuntungan dari biopsi terbuka adalah mendapatkan jaringan sampel yang cukup untuk pemeriksaan sitometrik, sitogenetik, dan imunohistokimia. Kerugian dari biopsi terbuka melekat pada prosedur, seperti infeksi, hematoma, cedera saraf, komplikasi dari anestesi, dan waktu rawat inap yang lebih lama. Penggunaan biopsi perkutan terpandu memiliki beberapa keunggulan antara lain lebih murah dibandingkan dengan biopsi terbuka, pengadaan beberapa sampel, dan



segera



mulai



kemoterapi



neoadjuvant



dan



radiasi



untuk



cedera.



Kelemahannya adalah akurasi diagnostik yang memiliki jangkauan luas (74-97%) dan pengambilan sampel yang tidak memadai (Barragan-campos et al., 2015).



22



2.7



Terapi



2.7.1



Bisfosfonat Bisfosfonat adalah sekelompok obat yang menghambat aktivitas osteoklas



dan resorpsi tulang. Struktur agen ini didasarkan pada pirofosfat yang mengandung fosfor-karbon-fosfor (PCP) di intinya. Agen-agen ini mengikat matriks tulang melalui rantai DNA R 'variabel yang berpartisipasi dalam mekanisme kerja, menentukan potensi relatifnya, dan menyebabkan efek sekunder bifosfonat. Bifosfonat mengikat kristal hidroksiapatit dari matriks tulang, mencapai konsentrasi lokal yang tinggi di lakuna resorpsi tulang, di mana mereka diinternalisasi oleh osteoklas dan menyebabkan apoptosis. Bifosfonat memiliki kemampuan untuk menekan enzim di jalur mevalonat yang bertanggung jawab atas kejadian terakhir yang menyebabkan modifikasi protein penyatuan pasca-translasi, seperti protein Ras. Kedua, bifosfonat memberikan efek analgesik pada metastasis tulang dengan nyeri sedang hingga berat. Properti utama mereka adalah mencegah fraktur patologis serta MH 3. Bifosfonat baru mengandung nitrogen, seperti pamidronate disodium, zoledronic acid, dan ibandronate sodium sehingga memiliki potensi yang lebih besar. Generasi pertama bifosfonat de-nitrogen seperti clodronate disodium dan etidronate memiliki potensi yang lebih rendah. Efek samping yang umum terjadi antara lain anemia, diare, dan edema perifer, serta gejala yang mirip dengan flu biasa seperti demam, artralgia, mialgia, nyeri tulang, dan kelemahan. Meskipun jarang, efek samping utama, seperti osteonekrosis mandibula, telah dilaporkan dimana ini telah terjadi pada pasien dengan kanker payudara dan multiple myeloma yang menggunakan bifosfonat intravena. Fungsi ginjal harus dipantau pada pasien dengan neoplasma agresif, seperti multiple myeloma, atau menjalani pengobatan kemoterapi yang memiliki laju filtrasi glomerulus lebih rendah dari 60 ml / menit sebelum memulai terapi bifosfonat karena mereka cenderung mengembangkan nefrotoksisitas. Perlu dicatat bahwa keadaan hidrasi yang buruk, NSAID, obat antidiabetik oral, dan agen hipolipidemik menurunkan laju filtrasi glomerulus.



23



2.7.2



Kemoterapi Kemoterapi merupakan pilihan pengobatan untuk metastasis tulang pada



tumor metastasis seperti kanker payudara, limfoma dan kanker ginjal. Khasiat kemoterapi tergantung pada histologi, kemosensitivitas, serta adanya reseptor hormonal. Terapi anti tumor memiliki efek terbatas pada metastasis tulang di tulang belakang. Namun, ini memainkan peran penting dalam pengobatan tumor kemosensitif seperti sarkoma Ewing, sarkoma osteogenik, dan limfoma. Tidak ada data yang menunjukkan bahwa metastasis tulang lebih atau kurang sensitif terhadap kemoterapi atau terapi hormon dibandingkan tempat metastasis lainnya. Di antara modalitas terapeutik baru untuk pengobatan metastasis tulang, antibodi monoklonal perlu diperhatikan. Denosumab adalah antibodi monoklonal yang menghambat kompleks RANKL, dan karenanya menurunkan osteoklastik yang dimediasi oleh resorpsi tulang. Denosumab tidak mempengaruhi laju filtrasi glomerulus, dan karenanya tidak memerlukan pemantauan fungsi ginjal dan tidak terkait dengan reaksi akut. Karena memiliki bukti kuat untuk menurunkan komplikasi yang terkait dengan metastasis tulang, maka pada November 2011, denosumab disetujui oleh Food and Drug Administration AS sebagai terapi molekuler untuk menghambat aktivitas osteoblas. Komplikasi yang terkait dengan kemoterapi antara lain nyeri, kelelahan, kelainan hematologi, alopecia, infertilitas, kekebalan, dan perubahan gastrointestinal. Komplikasi yang berhubungan dengan denosumab meliputi osteonekrosis mandibula dan hiperkalsemia. 2.7.3



Radioterapi Radioterapi adalah pengobatan awal yang paling sering digunakan pada



pasien dengan spinal bone metastatis. Indikasi untuk radioterapi paliatif pada pasien metastasis tulang dengan nyeri tulang refrakter terhadap pengobatan yang adekuat dan pencegahan fraktur patologis. Dosis radiasi tergantung pada jenis dan ukuran tumor primer. Radioterapi sinar eksternal konvensional biasanya menggunakan dosis total 25-40 Gy, yang terbagi dalam 8-20 fraksi. Radioterapi dapat diterapkan dalam fraksi tunggal atau ganda, serta radioterapi hemibodi. Pada metastasis



24



tulang tanpa komplikasi, radioterapi dengan fraksi tunggal 8 Gy dianggap sebagai standar emas untuk tujuan analgesik. Untuk metastasis tulang litik dengan risiko fraktur patologis, 10-fraksi 3 Gy digunakan dengan tujuan mencapai kalsifikasi ulang. Indikasi medis untuk radioterapi fraksi tunggal adalah pengobatan untuk nyeri tulang yang tidak terkendali dengan NSAID, opioid, dan korset ortopedi medis, pengobatan metastasis tulang pada tulang yang tidak menahan beban, seperti tulang rusuk, klavikula, dan tulang dada, dan pengobatan pasien dengan metastasis tulang stadium terminal. Indikasi medis untuk radioterapi fraksi ganda adalah pengobatan lesi litik pada tulang panjang yang menahan beban, pengobatan metastasis tulang di tulang belakang dengan MSCC dan terapi pasca operasi untuk fraktur patologis. Indikasi medis untuk radioterapi hemibodi adalah pengobatan paliatif untuk metastasis tulang gejala yang banyak. Efek samping yang paling sering terjadi antara lain mual, emesis, dan malaise gastrointestinal, yang terjadi pada metastasis tulang yang disinari di sebelah lambung atau saluran gastrointestinal. Kasus toksisitas akut yang dilaporkan lebih sedikit dengan penggunaan radioterapi multi-fraksi terdapat 26% toksisitas akut dengan 4,5 Gy dalam skema 5-fraksi, dibandingkan dengan toksisitas 22% yang menggunakan radioterapi fraksi tunggal 10-Gy. Nyeri pasca radiasi muncul pada 14-44% skema radioterapi dan dapat diperbaiki dengan pemberian profilaksis deksametason. 2.7.4



Radioisotop terapi Radioisotop terapi adalah pengobatan sistemik untuk pasien kanker



stadium lanjut, dilakukan melalui emisi radiasi α atau β, yang dapat digunakan untuk mengobati metastasis tulang. Isotop yang paling umum digunakan adalah strontium 89 (89Sr) dan samarium 153 (153Sm). Penggunaan medis radioisotop terapi termasuk nyeri tulang yang tidak dapat dikendalikan dan metastasis tulang dengan lebih dari satu wilayah dengan serapan tinggi yang terkait dengan nyeri tulang. Strontium 89 adalah unsur logam golongan II yang secara biologis



25



berperilaku mirip dengan kalsium. Daerah tulang dengan aktivitas osteoblastik Sr dan emisi partikel β dihantarkan dengan energi maksimum 1,46 MeV, dengan



89



radius jaringan sekitar 7-10 mm. Stronsium diberikan secara intravena sebagai strontium klorida, bekerja pada daerah tulang dengan pergantian kalsium tinggi seperti fokus osteosklerotik, mengalami eliminasi ginjal, dan gastrointestinal. Peningkatan nyeri terjadi selama hari kedua atau ketiga setelah administrasi 89Sr yang dapat dibatasi dengan pemberian NSAID. Meskipun waktu paruh biologis Sr adalah 4-5 hari, sekitar 20% masih dapat ditelusuri di dalam tubuh setelah 20



89



hari81,82. Samarium 153 memiliki waktu paruh biologis 46,3 jam, memancarkan partikel β dengan energi maksimum 0,81 MeV, dengan radius jaringan sekitar 0,60,7 mm80. Samarium terkait dengan asam ethylenediamine-tetramethylene phosphonic (EDTMP). Kompleks fosfonat ini terakumulasi dalam jaringan tulang dalam proporsi langsung dengan aktivitas osteoblas yang dihasilkan oleh sel tumor. Setelah injeksi intravena, kurang dari 1% tetap dalam aliran darah, sedangkan setelah lima jam sekitar 65% dari dosis tetap berada di tulang. Ekskresi ginjal berlangsung sekitar 6 jam. Samarium umumnya diberikan dengan dosis 37 MBq / kg (1 mCi / kg). Kontraindikasi absolut untuk RIT adalah kehamilan, MSCC akut, penyakit ginjal kronis dengan laju filtrasi glomerulus