Referat Otitis Media Efusi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Referat



OTITIS MEDIA EFUSI



Disusun oleh: Albert Leonard Kosasih, S.Ked



04054821618102



Aziska Rani, S.Ked



04054821719141



Jovina Johny, S.Ked



04054821719145



Pembimbing: dr. Hj. Abla Ghanie, Sp. T.H.T.K.L(K), FICS



DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN THT-KL RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2017



HALAMAN PENGESAHAN



Referat OTITIS MEDIA EFUSI



Oleh: Albert Leonard Kosasih, S.Ked



04054821618102



Aziska Rani, S.Ked



04054821719141



Jovina Johny, S.Ked



04054821719145



Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/ RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 15 Mei 2017 – 19 Juni 2017



Palembang, 2 Juni 2017



dr. Hj. Abla Ghanie, Sp.T.H.T.K.L(K), FICS



ii



KATA PENGANTAR



Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Otitis Media Efusi” yang merupakan salah satu syarat mengikuti kepaniteraan klinik senior di Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Hj. Abla Ghanie, Sp.T.H.T.K.L(K), FICS selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan referat ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa yang akan datang. Semoga referat ini dapat memberi manfaat dan pelajaran bagi kita semua.



Palembang, 2 Juni 2017



Penulis



iii



DAFTAR ISI



HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi dan Fisiologi Pendengaran ............................................................ 2 2.2. Definisi ......................................................................................................... 5 2.3. Etiologi ......................................................................................................... 5 2.4. Faktor Predisposisi ....................................................................................... 6 2.5. Epidemiologi ................................................................................................ 6 2.6. Manifestasi Klinis ........................................................................................ 7 2.7. Etiopatogenesis ............................................................................................ 7 2.8. Diagnosis ...................................................................................................... 9 2.9. Tatalaksana ................................................................................................. 11 2.10. Edukasi ....................................................................................................... 14 2.11. Prognosis .................................................................................................... 14 2.12. Komplikasi ................................................................................................. 14 BAB III KESIMPULAN ..................................................................................... 16 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 18



iv



BAB I PENDAHULUAN



Telinga tengah adalah kavitas yang terdiri dari tulang pendengaran (malleus, incus, stapes), dengan tuba eustachius yang berada pada bagian depan, bagian bawah adalah vena jugularis, bagian belakang adalah aditus ad antrum, kanalis fasialis, bagian luar adalah membrane timpani dan bagian atas adalah meningen/otak.1 Otitis media adalah sekelompok penyakit infeksi dan kondisi inflamasi yang mengenai bagian telinga tengah, dengan berbagai gejala, komplikasi dan penatalaksaan yang berbeda pada tiap presentasi penyakitnya. Otitis media dibagi menjadi dua klasifikasi yaitu otitis media supuratif dan non supuratif. Otitis media non supuratif disebut juga otitis media efusi/OME dimana OME mempunyai bentuk akut dan kronis.1 Otitis media efusi (OME) adalah kondisi adanya cairan (serous atau mukoid) pada kavitas telinga bagian tengah, dengan membran timpani yang intak dan tanpa disertai gejala atau tanda inflamasi akut. OME sering terjadi pada bayi dan anak-anak. Puncak insidens berada pada usia 615 bulan. Kondisi ini adalah penyebab tersering penurunan pendengaran pada bayi dan orangtua kerapkali tidak menyadari adanya gangguan pendengaran pada anak, karena sangat sulit mendeteksi adanya gangguan pendengaran yang ringan pada anak. Komplikasi OME yang dapat terjadi cukup berat antara lain, ateletaksis membrane timpanis, kehilangan pendengaran, dan perkembangan wicara terhambat (speech delay). Pada usia dewasa gejala OME unilateral yang berlangsung kronik dapat dicurigai sebagai gejala awal karsinoma nasofaring.2 Oleh karena itu, penting bagi dokter dan keluarga khususnya orang tua untuk dapat mendeteksi secara dini gejala OME dan melakukan pengobatan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.3 Referat ini akan membahas mengenai definisi, etiologi, epidemiolgi, klasifikasi, pathogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, tatalaksana, kompikasi dan prognosis dari otitis media efusi (OME). Tujuan dilakukan pembuatan referat ini adalah untuk memberikan infromasi mengenai OME baik kepada penulis dan pembaca baik dari kalangan akademisi dan masyarakat umum.



1



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1. Anatomi dan Fisiologi Pendengaran Struktur yang terganggu pada otitis media adalah bagian telinga tengah. Dimana telinga tengah itu sendiri terdiri dari : a) Batas Luar: Membran timpani b) Batas Depan: Tuba eustachius c) Batas Bawah: Vena Jugularis d) Batas Belakang: Aditus ad Antrum, Kanalis fasialis pars vertikalis e) Batas Atas: Tegmen Timpani f) Batas dalam: berturut-turut dari atas ke bawah yaitu kanalis semisirkularis horizontal,



kanalis



fasialis,



tingkap



lonjong,



tingkap



bundar,



dan



promontorium.4 Dari batas-batas tersebut maka terbentuklah suatu ruangan/kavitas yang berisi tulang-tulang pendengaran/osikula auditiva yang terdiri dari Maleus (yang bersentuhan dengan membrane timpani), Inkus, lalu Stapes yang berlekatan dengan tingkap lonjong.4 Membran Timpani merupakan suatu bagian yang terdiri dari 2 lapis yaitu pars flaksid dan pars tensa. Untuk pars. Flaksid ini berada di bagian atas dan hanya terdiri dari 2 lapis yaitu lanjutan dari epitel kulit telinga dan lapisan mukosa yang terletak dibagian dalam.Oleh karena lapisannya tipis, maka daerah ini yang sering mengalami retraksi jika terjadi tekanan negatif di telinga tengah.5



Gambar 1. Anatomi Membran timpani.2



2



Sedangkan untuk pars tensa merupakan bagian yang terletak dibawah yang terdiri dari 3 lapis yaitu: lapisan kutaneous (lapisan paling luar yang terdiri dari berlapis kubis), lapisan mukosa (lapisan paling dalam yang terdiri dari epitel selapis kubis atau lanjutan dari mukosa saluran nafas, dan Lamina propria terletak di tengah dan terdiri dari lapisan sirkuler dan radier). Fungsi dari membrane timpani ini adalah untuk mengubah gelombang suara menjadi getaran yang akan diteruskan oleh tulangtulang pendengaran.5 Pada kavum timpani terdapat 3 ruangan yaitu epitimpani, mesotimpani dan hipotimpani. Pada epitimpani terdapat jaringan yang berguna untuk mempertahan tulang-tulang pendengaran dan juga terdapat sedikit udara dan terdapat pintu dari mastoid. Mastoid ini merupakan hasil pneumatisasi dari os. Temporal. Sampai saat ini fungsi dari mastoid masih belum diketahui secara pasti.5



Gambar 2. Anatomi telinga tengah.5



Sedangkan pada Hipotimpani, berbatasan dengan vena jugularis dan terdapat tuba eustachius. Untuk tulang-tulang pendengaran/osikula auditiva, terdiri dari Maleus (yang bersentuhan dengan membrane timpani), Inkus, lalu Stapes yang berlekatan dengan tingkap lonjong. Fungsi dari tulang pendengaran ini selain menghantarkan getaran dari membrane timpani juga untuk memperkuat getaran tersebut sampai 17 kali.5 Tuba eustachius merupakan suatu saluran yang menghubungkan antara cavum timpani dengan nasofaring yang bermuara di Ostium Pharyngeum Tuba Auditifa 3



(OPTA). Fungsi dari tuba eustasi ini sendiri adalah sebagai ventilasi dari cavum timpani, menyeimbangkan tekanan di kavum timpani dan di atmosfir (diluar), sebagai barrier terhadap infeksi asending. Pada anak-anak tuba eustasi ini lebih horizontal dan lebih pendek daripada orang dewasa. Hal inilah yang dapat mencetuskan mudahnya anak-anak menderita otitis media.5



Gambar 3. Tuba Eustachius.



Suara atau bunyi yang masuk ditangkap oleh daun telinga, kemudian diteruskan kedalam liang telinga luar yang akan menggetarkan gendang telinga. Getaran ini akan diteruskan dan diperkuat oleh tulang-tulang pendengaran yang saling berhubungan yaitu malleus, incus dan stapes. Stapes akan menggetarkan tingkap lonjong (oval window) pada rumah siput yang berhubungan dengan scala vestibuli sehingga cairan didalamnya yaitu perilimfe ikut bergetar. Getaran tersebut akan dihantarkan ke rongga dibawahnya yaitu scala media yang berisi endolimfe sepanjang rumah siput. Didalam scala media terdapat organ corti yang berisi satu baris sel rambut dalam (Inner Hair Cell) dan tiga baris sel rambut luar (Outer Hair Cell) yang berfungsi mengubah energi suara menjadi energi listrik yang akan diterima oleh saraf pendengaran yang kemudian menyampaikan atau meneruskan energi listrik tersebut kepusat sensorik mendengar di otak sehingga kita bisa mendengar suara atau bunyi tersebut dengan sadar.4,5



4



2.2. Definisi Otitis media efusi (OME) adalah kondisi adanya cairan (serous atau mukoid) pada kavitas telinga bagian tengah, dengan membran timpani yang intak dan tanpa disertai gejala atau tanda inflamasi akut.3 Secara histologis, ditemukan adanya overproduksi dari musin pada mukosa telinga tengah sehingga menghasilkan secret yang kental seperti lem atau “glue”. OME sering terjadi pada anak usia antara 3-7 tahun, dengan gejala tersering yaitu gangguan pendengaran sehingga menyebabkan anak terlambat berbicara (speech delay).6 Gangguan pendengaran biasanya terjadi hanya sementara dan seringkali sembuh secara tidak langsung, tetapi OME tetap harus diobservasi agar efusi tidak terjadi secara persisten. OME memiliki prevalensi yang lebih rendah pada orang dewasa, Finkelstein et al menyebutkan bahwa gangguan pada sinus paranasal menjadi 66% penyebab dominan pada orang dewasa dengan OME, lalu diikuti dengan penyebab lain seperti hyperplasia limfoid nasofaring, hipertrofi adenoid, dan tumor pada kepala dan leher (karsinoma nasofaring).6



2.3. Etiologi Jenis mikroorganisme penyebab otitis media akut (OMA) juga ditemukan pada otitis media dengan efusi (OME), tetapi pada OME proses inflamasi tidak lagi terjadi dan jumlah bakteri telah berkurang. Penyebab tersering OMA adalah Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza, dan Moraxella catarrhalis. Patogen-patogen tersebut juga berkaitan dengan sinusitis dan pneumonia. Streptococcus pneumonia ditemukan pada 35% kasus dan prevalensinya tidak tergantung usia. Serotipe yang sering ditemukan antara lain, 19, 23, 6, 14, 3. Haemophilus influenza ditemukan pada 20% kasus, pada kasus ini, 25-45% diantaranya dapat memproduksi beta-laktamase dimana hal ini menyebabkan peningkatan resistensi bakteri terhadap antibiotik. Moraxella catarrhalis ditemukan pada 4-13% kasus, dengan frekuensi yang meningkat pada musim salju atau gugur. Bakteri pathogen lainnya seperti Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus, bakteri enterik gram negatif, dan bakteri anaerob. Ketika efusi terjadi lebih dari 3 bulan, bakteri Pseudomonas adalah bakteri yang lebih mendominasi.2 Pada 30% pemeriksaan spesimen timpanosintesis yang dilakukan pada awal tahun 1990, tidak ditemukan bakteri pada specimen. Tetapi ditemukan beberapa virus yang terisolasi diantaranya adalah Respiratory syncytial virus (RSV) dan virus 5



influenza. Hubungan antara infeksi virus dan bakteri masih kontroversial, karena virus yang diidentifikasi sebagai agen infeksi tunggal hanya sebesar 4-6% dari hasil aspirasi telinga tengah pada anak-anak dengan otitis media, diperkirakan virus dapat meningkatkan super-infeksi bakteri dengan menganggu fungsi tuba eustachius.2



2.4. Faktor Predisposisi Terdapat beberapa faktor yang berhubungan dengan OME, antara lain faktor lingkungan, usia, dan gangguan fungsi tuba eustachius. 1. Faktor lingkungan2 Beberapa penelitian menunjukkan adanya faktor lingkungan yang berhubungan dengan peningkatan prevalensi OME diantaranya, pemberian susu botol, menyusui dengan posisi telentang, mempunyai saudara dengan otitis media, mempunyai riwayat alergi pada lingkungan, mempunyai sosial-ekonomi yang rendah, tinggal dengan perokok, mempunyai orang tua dengan riwayat OME. 2. Faktor usia2 Usia merupakan faktor predisposisi pada perkembangan OME, pada bayi tuba esutachius letaknya lebih horizontal dibanding orang dewasa yang pada perkembangannya berubah menjadi 45o saat dewasa. Tuba pada bayi juga lebih lebar dan pendek dibanding orang dewasa, sehingga tuba belum berfungsi baik sebagai ventilasi telinga tengah. Prevalensi OME menurun pada anak diatas usia 6 tahun. Pada orang dewasa, dengan gejala OME kronik pada telinga unilateral dapat dicurigai adanya massa pada nasofaring. 3. Faktor gangguan fungsi tuba2 Gangguan pembukaan tuba eustachius pada nasofaring juga berhubungan dengan peningkatan prevalensi OME. Kondisi ini sering muncul pada pasien dengan cleft palate, anak-anak dengan Down Syndrome dan penyakit lain dengan kelainan pada palatum. Penurunan kemampuan mukosilia dan tingginya viskositas mucus pada sistik fibrosis menurut hipotesis juga berkaitan dengan tingginya prevalensi OME.



2.5. Epidemiologi Angka kejadian OME lebih banyak terjadi pada bayi dan anak-anak. Pada penelitian yang dilakukan di Malaysia prevalensi OME antara usia 3 bulan-18 tahun adalah 18.3% dengan penderita paling banyak adalah laki-laki, walaupun literatur 6



lainnya tidak menemukan hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dan angka kejadian OME.8 Prevalensi otitis media efusi pada usia 5-18 tahun di Jakarta Timur adalah sebesar 1.52%, dengan ambang rata-rata pendengaran penderita OME sebesar 1943.75 dB dan terdapat gangguan pendengaran pada 5 dari 6 anak dengan OME.7 Sedangkan, insidensi OME dengan riwayat rhinitis alergi pada anak usia 4-14 tahun di RSCM 17.2% dari 64 pasien dan 15.6% menderita gangguan fungsi tuba eustachius, dengan penderita didominasi oleh laki-laki.9



2.6. Manifestasi Klinis Otitis media efusi seringkali muncul tanpa nyeri. Cairan yang terkumpul dalam telinga tengah dapat mengurangi pendengaran. Gejala yang menonjol pada otitis media efusi biasanya pendengaran berkurang. Selain itu pasien juga dapat mengeluh rasa tersumbat pada telinga atau suara sendiri terdengar lebih nyaring atau berbeda, pada telinga yang sakit (diplacusis binauralis). Umumnya orang dewasa dapat menjelaskan gejala-gejala yang dialaminya secara lebih dramatis, dapat berupa perasaan rasa penuh dalam telinga, menurunnya ketajaman pendengaran dan tinitus. Masalah cairan dalam telinga tengah ini paling sering ditemukan pada anak dan biasanya bermanifestasi sebagai tuli konduktif. Pada kebanyakan anak, otitis media serosa terjadi secara asimptomatik terutama pada anak-anak dibawah umur 2 tahun. Karena anak-anak memerlukan pendengaran untuk belajar berbicara, maka hilangnya pendengaran akibat cairan di telinga tengah dapat menyebabkan keterlambatan bicara, pemahaman pembicaraan, gangguan perkembangan bahasa dan belajar.10



2.7. Etiopatogenesis Pada dasarnya otitis media efusi dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu otitis media serosa dan otitis media mukoid. Apabila efusi tersebut encer disebut otitis media serosa dan apabila efusi tersebut kental seperti lem disebut otitis media mukoid.4 Otitis media serosa terutama terjadi akibat adanya transudat atau plasma yang mengalir dari pembuluh darah ke telinga tengah yang sebagian besar terjadi perbedaan tekanan hidrostatik, sedangkan pada otitis media mukoid, cairan yang ada di telinga tengah timbul akibat sekresi aktif dari kelenjar dan kista yang terdapat di dalam mukosa telinga tengah, tuba eustachius, dan rongga mastoid. Faktor yang berperan 7



utama dalam keadaan ini adalah terganggunya fungsi tuba eustachius. Faktor lain yang dapat berperan sebagai penyebab barotrauma, sinusitis, rinitis, defisiensi imunologik atau metabolik. Keadaan alergik sering berperan sebagai faktor tambahan dalam timbulnya cairan di telinga tengah (efusi di telinga tengah).4 Disfungsi tuba eustachius adalah prekursor yang utama. Jika tuba eustachius tersumbat, maka akan tercipta keadaan vakum di dalam telinga tengah. Sumbatan yang lama dapat mengarah pada peningkatan produksi cairan yang semakin memperberat masalah. Gangguan pada tuba eustachius yang membuat tuba eustachius tidak dapat membuka secara normal antara lain berupa palatoskisis dan obstruksi tuba serta barotrauma.11 Palatoskisis dapat menyebabkan disfungsi tuba eustachius akibat hilangya penambat otot tensor veli palatini. Pada palastokisis yang tidak dikoreksi, otot menjadi terhambat dalam kontraksinya membuka tuba eustachius pada saat menelan. Ketidakmampuan untuk membuka tuba ini menyebabkan ventilasi telinga tengah tidak memadai, dan selanjutnya terjadi peradangan.11 Obstruksi tuba eustachius dapat disebabkan oleh berbagai keadaan termasuk peradangan, seperti nasofaringitis atau adenoitis. Obstruksi juga disebabkan oleh tumor nasofaring. Bila suatu tumor nasofaring menyumbat tuba eustachius, temuan klinis pertama dapat berupa cairan dalam telinga tengah. Obstruksi dapat pula disebabkan oleh benda asing, misalnya tampon posterior untuk pengobatan epistaksis, atau trauma mekanis akibat adenoidektomi yang terlalu agresif sehingga terbentuk parut dan penutupan tuba.12 Barotrauma adalah keadaan dengan terjadinya perubahan tekanan yang tiba-tiba di luar telinga tengah sewaktu di pesawat terbang atau menyelam, yang menyebabkan tuba gagal untuk membuka. Apabila perbedaan tekanan mencapai 90 cmHg, maka otot yang normal aktivitasnya tidak mampu membuka tuba. Pada keadaan ini terjadi tekanan negatif di rongga telinga tengah, sehingga cairan keluar dari pembuluh darah kapiler mukosa dan kadang-kadang disertai dengan ruptur pembuluh darah, sehingga cairan di telinga tengah dan rongga mastoid tercampur darah.4 Otitis media efusi dapat didahului dengan otitis media akut. Hal ini disebabkan oleh sekresi cairan dari mukosa yang terinflamasi. Mukosa telinga tengah tersensitisasi oleh paparan bakteri sebelumnya, dan melalui reaksi alergi terus menerus



8



memproduksi sekret. Tetapi otitis media dengan efusi tidak harus selalu diawali dengan otitis media akut.13



2.8. Diagnosis Diagnosis otitis media efusi seringkali sulit ditegakkan karena prosesnya sendiri yang kerap tidak bergejala, atau dikenal dengan silent otitis media. Otitis media efusi sering tidak terdeteksi baik oleh orang tuanya, guru, bahkan oleh anaknya sendiri. Selain dari anamnesis, terdapat beberapa pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis otitis media efusi.10,14 1. Anamnesis Anamnesis yang lengkap dan teliti mengenai keluhan yang dirasakan dan riwayat penyakit sebelumnya harus ditanyakan misalnya: -



Pendengaran berkurang atau terdengar suara sendiri lebih keras



-



Telinga rasa seperti tertutup/penuh dan tidak nyaman



-



Telinga berdengung(tinitus)



-



Ada nyeri yang dirasakan atau tidak terasa nyeri pada telinga



-



Pada anak-anak ditanyakan ada tidak gangguan bicara, penurunan prestasi belajar dan masalah perilaku sejak akhir-akhir ini.



-



Riwayat alergi



-



Riwayat infeksi saluran napas bagian atas dan riwayat infeksi telinga berulang.



-



Riwayat dalam keluarga dengan sakit yang sama.



2. Pemeriksaan fisik -



Otoskopi Diagnosis otitis media efusi terutama didasarkan pada pemeriksaan membran timpani. Otoskopi yang tepat memerlukan liang telinga yang bersih dan pencahayaan dan pembesaran yang memadai. Pada kasus efusi mucoid, pemeriksaan otoskopi dapat memperlihatkan membrane timpani opaque, translusen, warna kusam dan tekstur tebal. Tekanan yang disebabkan oleh efusi di telinga tengah dapat menyebabkan membrane timpani sedikit menonjol. Pada efusi serosa kadang-kadang hanya mengisi sebagian rongga timpani, ini memperlihatkan adanya air fluid level dan gelembung udara yang terlihat melalui membran timpani.10,13,14 9



Gambar 4. Otitis media dengan efusi.15



-



Tes pendengaran dengan garpu tala Pemeriksaan dilakukan sebagai salah satu langkah skrining ada tidaknya penurunan pendengaran yang biasa timbul pada otitis media efusi. Pada pasien dilakukan tes Rinne, Weber, dan Swabach. Pada otitis media efusi didapatkan gambaran tuli konduktif.12,14



-



Pneumatic otoscope Pemeriksaan ini dilakukan untuk menilai respon gendang telinga terhadap perubahan tekanan udara. Gerakan gendang telinga yang berkurang atau tidak ada sama sekali dapat dilihat dengan pemeriksaan ini. Kehadiran efusi di telinga tengah terdeteksi oleh alat penumatic otoscope. Gelembung udara dibelakang membrane timpani terlihat melalui pneumatic otoscope sebagai gelembung udara yang bergerak dan merupakan tanda klasik efusi serosa.10,12



3. Pemeriksaan penunjang -



Impedance audiometry (tympanometry) Pemeriksaan ini digunakan untuk mengukur perubahan impedans akustik sistem membran timpani telinga tengah melalui perubahan tekanan udara telinga luar. Timpanogram tipe A merupakan gambaran dimana tekanan telinga tengah kurang lebih sama dengan tekanan atmosfer, timpanogram tipe B adalah gambaran datar tanpa compliance dan timpanogram tipe C



10



menunjukkan negative pressure peak. Pada otitis media efusi, biasanya didapatkan timpanogram tipe B.5,12,14



Gambar 5. Tipe-tipe timpanogram



-



Pure tone audiometry PTA digunakan untuk menentukan derajat ketulian dan jenis ketulian. Dalam kebanyakan kasus audiogram menunjukkan rata-rata penurunan adalah 28 db. Perlu diingat bahwa dalam kasus-kasus ringan sedikit atau tidak penurunan terlihat mungkin hadir. Variasi ini mungkin berkaitan dengan jumlah dan jenis cairan (serous atau mucous) dan lokasi yang tepat dalam telinga tengah. Perlu diketahui bahwa audiometri tidak diperlukan untuk mendiagnosis otitis media efusi, tetapi hal ini tetap berguna dalam mengungkapkan sejauh mana gangguan pendengaran yang dialami dan dalam mengukur efektivitas pengobatan.10,12,14



2.9. Tatalaksana Otitis Media Efusi (OME) terjadi akibat adanya transudat atau plasma yang mengalir dari pembuluh darah ke arah telinga tengah akibat adanya perbedaan tekanan hidrostatik pada tuba eustachius. Apabila efusinya kental seperti lem, disebut sebagai otitis media mukoid (glue ear), cairan tersebut berasal dari sekresi aktif kelenjar dan kista yang terdapat di dalam mukosa telinga tengah, tuba eustachius, dan rongga mastoid.1 Pengobatan pada OME ditujukan untuk menghilangkan cairan dan pencegahan rekurensinya.16 Observasi (watchful waiting) tanpa memberikan pengobatan juga



11



terkadang dilakukan sampai 3 bulan setelah onset OME, apabila onset tidak diketahui maka 3 bulan dari diagnosis OME, pada anak yang tidak beresiko untuk mengalami masalah bahasa, berbicara, dan belajar.2 1. Medikamentosa a. Dekongestan Dekongestan topikal dalam bentuk tetes hidung, spray, atau dekongestan sistemik dapat membantu mengurangi edema di tuba eustachius.16 b. Antihistamin Antihistamin atau steroid dapat digunakan dalam kasus alergi. Apabila memungkinkan,



alergen



sebaiknya



ditemukan



agar



dapat



dilakukan



desensitisasi.16 Antihistamin maupun dekongestan tidak berfungsi bila tidak ada kongesti nasofaring.11 c. Antibiotik Antibiotik berguna pada kasus dengan infeksi saluran nafas atas atau otitis media supuratif yang berlanjut.16 d. Aerasi telinga tengah Pasien sebaiknya melakukan manuver Valsalva. Politzeritation atau kateterisasi tuba eustachius terkadang dibutuhkan. Hal ini dapat membantu terjadinya ventilasi pada telinga tengah dan mendukung terjadinya drainase cairan. Pada anak-anak dapat diberikan permen karet untuk mendorong terjadinya proses menelan yang dapat membuka tuba.16



2. Pembedahan Apabila cairannya kental dan terapi medikamentosa tidak efektif, cairan harus dikeluarkan melalui pembedahan.16 Intervensi dengan pembedahan dilakukan apabila cairan persisten terdapat di telinga tengah selama 3 bulan. Pasien dengan penurunan pendengaran sampai 40 dB dan OME merupakan indikasi absolut untuk dilakukannya insersi tuba untuk mengembalikan keseimbangan tekanan tuba.2 a. Miringotomi dan aspirasi cairan Membran timpani akan dillakukan insisi dan cairan diaspirasi menggunakan suction. Mukus yang kental mungkin membutuhkan pemberian salin atau agen mukolitik untuk mencairkan mukus sebelum diaspirasi. Terkadang dilakukan 2 insisi pada membran timpani, 1 di anteroinferior dan satunya di kuadran 12



anterosuperior untuk mengaspirasi cairan kental, seperti lem (glue-like secretion).16



Gambar 6. Miringotomi



Miringotomi dan aspirasi merupakan prosedur yang dapat meningkatkan pendengaran dan menghilangkan rasa penuh di telinga dengan cepat. Insisi biasanya sembuh dalam waktu 1 minggu, tetapi penyebab disfungsi tuba eustachius biasanya sembuh lebih lama (rata-rata 6 minggu), akibatnya sering terjadi rekurensi.2 b. Insersi PET (Pressure Equalization Tubes) Apabila miringotomi dan aspirasi tidak efektif dan cairan muncul kembali, grommet akan dipakai agar dapat terjadi aerasi terus menerus di telinga tengah. Grommet dibiarkan dalam beberapa minggu atau bulan, atau sampai terlepas dengan sendirinya (9-12 bulan setelah pemasangan).2,16



Gambar 7. Insersi Grommet



c. Mastoidektomi kortikal Mastoidektomi kortikal terkadang dibutuhkan untuk membuang cairan kental terlokalisasi atau akibat patologi lainnya seperti granuloma kolesterol. 13



Granuloma kolesterol terbentuk akibat stasis sekret di telinga tengah dan mastoid.16 d. Pembedahan faktor kausatif Adenoidektomi, tonsilektomi dan/atau wash-out sinus maksilla dapat dilakukan. Hal ini biasa dilakukan setelah miringotomi.16 Adenoidektomi dilakukan apabila adenoid terlalu besar yang dapat mengoklusi nasofaring dan koana, dan menghilangkan sumber inflamasi potensial dan infeksi pada orifisium tuba eustachius.2



2.10. Edukasi Edukasi yang dapat diberikan berupa modifikasi faktor risiko:2 1. Hindari menghisap asap rokok (secondhand smoke) 2. Berikan ASI bila memungkinkan 3. Hindari memberikan ASI kepada anak pada posisi supinasi sempurna 4. Hindari paparan terhadap anak-anak (seperti di pusat penitipan anak) 5. Hindari paparan terhadap anak dengan otitis media 6. Hindari telinga dari air (menggunakan penutup telinga, hindari berenang atau olahraga air) pada pasien dengan tympanostomy tube11



2.11. Prognosis OME berhubungan dengan keterlambatan perkembangan berbicara pada anak usia 18 bulan. Pada OME kronik dapat terjadi perubahan anatomis pada telinga tengah.



16



DAFTAR PUSTAKA



1.



Djaafar ZA, Helmi, Restuti RD. Kelainan Telinga Tengah. In: Soepardi EA, et al, editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. 7th ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2012. p. 57-69



2.



Higgins,



Thomas.



2017.



Otitis



Media



with



Effusion.



(http://emedicine.medscape.com/article/858990-overview#a5, diakses pada 28 Mei 2017) 3.



Pang, K.P., Ang, A.H.C., Tan, H.K.K. 2002. Otitis Media with Effusion. Departement of



Otolaryngology,



National



University



Hospital.



http://www.e-



mjm.org/2002/v57n3/Otitis_Media_with_Effusion.pdf. Diakses pada 28 Mei 2017. 4.



Djaafar ZA, Helmi, Restuti RD. Kelainan Telinga Tengah. In: Soepardi EA, et all, editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. 6th ed. Jakarta : Badan Penerbit FKUI. 2007. p. 64-74



5.



Probost R, Grevers G, Iro H. Middle ear. In: Probost R, Grevers G, Iro H, editors. Basic Otorhinolaryngology. Stutgart : Thieme.; 2006. p. 228-249



6.



Qureishi, A., Lee, Y. 2014. Update on Otitis Media-Prevention and Treatment, vol (7) :15-24. http://eprints.nottingham.ac.uk/3027/1/Qureishi.pdf. Diakses pada 28 Mei 2017.



7.



Tikaram, A., Chew, Y.K. 2012. Prevalence and Risk Factor Asscoiated with Otitis Media with Effusion in Children in Malaysia, vol (11) : 1. https://umexpert.um.edu. Diakses pada 28 Mei 2017.



8.



Syukrinto, Gustav. 2013. Prevalensi OME dan Gangguan Pendengarannya pada Anak usia 5-18 Tahun di Jakarta Timur. http:// http://perpustakaan.fk.ui.ac.id. Diakses pada 28 Mei 2017.



9.



Munawaroh, S., Munasir, Z. 2008. Insidens OME pada Rinitis Alergi Anak. Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FK UI. http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/10-312.pdf. Diakses pada 28 Mei 2017.



10.



Otitis media with effusions (fluid behind the eardrum), Departement of surgery, the University of Arizona.



11.



Paparella, MM., Adams, GL., Levine, SC. Penyakit telinga tengah dan mastoid. Dalam: Adams, GL., Boies,LR., Higler, PA. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Ed. 6. Jakarta:EGC. 1997. P. 90-9 17



12.



Trabajos cientificos, Diagnosis and treatment of secretory otitis media, IORL, 22(1); 1989:1-4



13.



American Academy of Pediatric. 2004. Otitis Media with Effusion. Office Journal of The American Academy of Pediatrics. Volume 113 No 5. p. 1412-29



14.



Farida khan, Muhammad A, G.H. Faroqi, S.A. shah, T.sajid, Management outcome of secretory otitis media, Departement of ENT, Ayub medical college 18(1);2006



15.



Healy GB, Rosbe K. Otitis Media and Middle ear Effusions. In: Snow B, Ballenger J, editors. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 16th ed. Ontario : BC Decker.; 2003. p. 249-253



16.



Dhingra PL, Dhingra S. Diseases of Ear, Nose and Throat. 6th ed. India: Elsevier. 2014. p. 57-66



18