Referat Tonsilektomi Rev [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Kepada Yth, dr. Djoko Prasetyo Adi, Sp.THT REFERAT PENGGUNAAN KATETER FOLEY PADA ADENOTONSILEKTOMI



DISUSUN OLEH : Arissa Reissa Utami



(03012032)



Farry Aditya



(03012100)



Heri Angga Prayogo



(03012123)



PEMBIMBING : dr. Bambang S, Sp.THT dr. Djoko Prasetyo Adi, Sp.THT



KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN THT RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA SEMARANG PERIODE 27 FEBRUARI - 1 APRIL 2017 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI SEMARANG 2017



0



LEMBAR PENGESAHAN



NAMA



: Arissa Reissa Utami



(03012032)



Farry Aditya



(03012100)



Heri Angga Prayogo



(03012123)



UNIVERSITAS



: Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti



JUDUL REFRAT



: Penggunaan Kateter Foley pada Adenotonsilektomi



BAGIAN



: Ilmu Kesehatan THT - RSUD Kota Semarang



PEMBIMBING



: dr. Djoko Prasetyo Adi, Sp.THT



Maret, 2017 Pembimbing



dr. Djoko Prasetyo Adi, Sp.THT



1



DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN



1



DAFTAR ISI



2



BAB I PENDAHULUAN



3



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



4



TONSILITIS



4



Definisi



4



Epidemiologi



4



Jenis tonsilitis, gejala dan tanda, terapi serta komplikasi



4



HIPERTROFI ADENOID



12



TINDAKAN ADENOTONSILEKTOMI



14



Tonsilektomi



DAFTAR ISI



14



Indikasi



14



Kontrainsikasi



14



Teknik



15



Adenoidektomi



18



Indikasi



18



Kontraindikasi



18



Persiapan Pra-OP dan Post-OP



19



Penggunaan kateter Foley



21 23



2



BAB I PENDAHULUAN Adenotonsilektomi merupakan tindakan operasi pengambilan tonsil dan adenoid dimana merupakan prosedur yang paling sering digunakan untuk mengembalikan fungs i dari hidung dan tenggorokan dengan cara mengangkat penyebab dari disfungsi organ tersebut.(1) Insiden toncillectomy rendah sampi awal abad 20an dan mulai meningkat setelah periode tersebut. Di United State diperirakan 200.000 tonsillectomy telah dilakukan dimana sepertiga operasi tersebut menggunakan anastesi umum. Dimana insiden lebih tinggi pada laki-laki disbanding perempuan.(1) Tingginya tindakan adenotonsilektomi yang dilakukan pada akhir dekade ini membuat banyak kemajuan teknik yang ada, baik teknik adenotonsilektomi itu sendiri maupun tindakan dalam pencegahanya terhadap resiko terjadinya komplikasi intra sampai post adenotonsilektomi. Salah satu kemauan teknik yang ada adalah ditemukanya penggunaan kateter foley untuk pengontrolan perdaran intra-operasi yang terjadi. Walaupun penelitian dari teknik ini masih sangat minim dan belum banyak digunakan dalam adenotonsilektomi, namun ternyata ada penelitian yang menyatakan bahwa teknik ini dapan meminimalisir perdarahan intra-operasi dan mempersingkat waktu lamanya operasi.



(2)



3



BAB II TINJAUAN PUSTAKA I.



TONSILITIS a. DEFINISI Tonsil atau yang lebih sering dikenal dengan amandel adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus didalamnya, bagian organ tubuh yang berbentuk bulat lonjong melekat pada kanan dan kiri tenggorok. Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringe a l (adenoid), tonsil palatina, dan tonsil lingual yang membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Tonsil terletak dalam sinus tonsilaris diantara kedua pilar fausium dan berasal dari invaginasi hipoblas di tempat ini. Tonsillitis



sendiri



adalah inflamasi



pada tonsila



(3,4)



palatine



yang



disebabkan oleh infeki virus atau bakteri. Saat bakteri dan virus masuk ke dalam tubuh melalui hidung atau mulut, tonsil berfungsi sebagai filter/ penyaring menyelimuti organisme yang berbahaya tersebut dengan sel-sel darah putih. Hal ini akan memicu sistem kekebalan tubuh untuk membentuk antibodi terhadap infeksi yang akan datang. Tetapi bila tonsil sudah tidak dapat menahan infeks i dari bakteri atau virus tersebut maka akan timbul tonsillitis. Dalam beberapa kasus ditemukan



3 macam tonsillitis,



yaitu



tonsillitis



akut, tonsillitis



membranosa, dan tonsillitis kronis. Oleh karena itu penting bagi perawat untuk mempelajari patofisiologi, manifestasi klinis, prosedur diagnostik dan asuhan keperawatan yang komprehensif pada klien tonsilitis beserta keluarganya.



(3,4)



Gambar 1. Cincin Waldeyer



4



b. EPIDEMIOLOGI Tonsilitis akut dapat terjadi pada usia berapapun tetapi paling sering pada anak usia di bawah 9 tahun. Pada bayi di bawah usia 3 tahun dengan tonsilitis akut, 15% dari kasus yang ditemukan disebabkan oleh bakteri streptokokus, sisanya itu biasanya virus. Pada anak-anak yang lebih tua, sampai dengan 50% dari kasus disebabkan streptococus pyogenes. Tonsilitis akut juga dapat terjadi pada laki-laki dan perempuan dengan jumlah insiden yang sama rata.



(5,6)



c. JENIS TONSILITIS i. Tonsilitis akut 1. Tonsilitis viral Gejala tonsillitis viral lebih menyerupai common cold yang disertai rasa nyeri tenggorok. Penyebab yang paling sering adalah virus Epstein Barr. Hemofilus influenzae merupakan penyebab tonsillitis akut supuratif. Jika terjadi infeksi virus coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat dirasakan pasien. Pada tonsillitis viral terapi yang dianjurkan adalah istirahat,



analgetika,



dan antivirus



apabila terdapat gejala



berat.(3,7) 2. Tonsilitis bakterial Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A steptokokus beta



hemolitikus



yang



dikenal



sebagai



strept



throat,



pneumokokus, streptokokus viridian dan streptokokus piogenes. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan menimbulkan



reaksi



polimorfonuklear



radang



sehingga



berupa



membentuk



tonsil akan



keluarnya



leukosit



detritus.



Detritus



merupakan kumpulan leukosit, bakteri yang mati dan epitel yang terlepas. Secara klinis detritus ini mengisi kriptud tonsil dan tampak sebagai bercak kuning.



(3,7)



Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsillitis folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur-alur maka akan terjadi tonsillitis lakunar is. 5



Bercak detritus ini juga dapat melebar sehingga terbentuk pseudomembran yang menutupi tonsil. (3)



Gejala dan tanda Masa inkubasi 2-4 hari. Gejala dan tanda yang sering ditemuka n adalah nyeri tenggorok dan nyeri ketika menelan, demam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa lesu, rasa nyeri di sendisendi, tidak nafsu makan dan rasa nyeri di telinga (otalgia). Rasa nyeri di telinga ini disebabkan karena nyeri alih melalui saraf glosofaringeus



(n.IX).



Pada pemeriksaan



tampak



tonsil



membengkak, hiperemis dan terdapat detritus berbentuk folike l, lakuna atau pseudomembran. Kelenjar submandibular dapat membengkak dan nyeri tekan.



(3,4,7)



Gambar 2. Perbedaan tonsillitis bakteri dan virus Terapi Antibiotika speKtrum luas seperti penisilin dan eritromisin. Antipiretik dan obat kumur yang mengandung desinfektan. (3) Komplikasi Pada anak sering menimbulkan komplikasi otitis media akut, sinusitis, abses peritonsil (quincy throat), abses parafaring, bronkhitis, glomerulonephritis akut, miokarditis, artritis serta septikemia akibat infeksi v. Jugularis interna (sindrom Lemierre). Akibat hipertrofi tonsil akan menyebabkan pasien bernafas melalui



6



mulut, tidur mendengkur, gangguan tidur karena sleep apnea yang dikenal sebagai obstructive sleep apnea syndrome (OSAS). (3,5)



ii. Tonsilitis Membranosa a.



Tonsilitis Difteri Frekuensi penyakit ini sudah menurun berkat keberhasilan imunisasi pada bayi dan anak. Penyebab tonsilitis difteri ialah kuman coryne bacterium diphteriae, kuman yang termasuk Gram positif. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada titer anti toksin dalam darah seseorang.



(3,7)



Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun pada orang dewasa masih mungkin menderita penyakit ini.



(3,7)



Gejala dan tanda Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu gejala umum, gejala lokal dan gejala akibat eksotoksin. a. Gejala umum seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri menelan.(3,5) b. Gejala lokal yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk membran semu. Membran ini dapat meluas ke palatum mole, uvula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus dan dapat menyumbat saluran napas. Membran semu ini melekat erat pada dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit ini bila infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher akan membengk ak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai leher sapi (bull neck) atau disebut juga Burgemeester’s hals.(3,7) c. Gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai decompensatio



cordis, mengenai saraf kranial



7



menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria. (3)



Gambar 3. Akut tonsillitis membranosa



Diagnosis Diagnosis tonsillitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah membran semu dan didapatkan kuman Corynebacterium Diphteriae.(3) Terapi Anti Difteri Serum (ADS) diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur, dengan dosis 20.000-100.000 unit tergantung dari umur dan beratnya penyakit. • Antibiotika penisilin atau eritromisin 25-50 mg/ KgBB dibagi dalam 3 dosis selama 14 hari. • Kortikosteroid 1,2 mg/KgBB/hari. Antipiretik untuk simptomatis. Karena penyakit ini menular, pasien harus diisolasi. Perawatan harus istirahat ditempat tidur selama 2-3 minggu.(3) Komplikasi Laringitis difteri dapat berlangsung dengan cepat, membran semu menjalar ke laring dan menyebabkan gejala sumbatan. Makin muda usia pasien makin cepat timbul komplikasi ini, Miokarditis dapat mengakibatkan payah jantung atau 8



dekompensatio



cordis. Kelumpuhan



otot palatum mole, otot mata untuk



akomodasi, otot faring serta otot laring sehingga menimbulkan kesulitan menelan, suara parau dan kelumpuhan otot-otot pernapasan. Albuminuria sebagai akibat komplikasi ke ginjal.(3) b.



Tonsilitis Septik Penyebab dari tonsillitis septik ialah streptokokus hemolitikus yang terdapat



dalam susu sapi sehingga dapat timbul epidemi. Oleh karena di Indonesia susu sapi dimasak dulu dengan cara pasteurisasi sebelum diminum maka penyakit ini jarang ditemukan.(3) c.



Angina Plaut Vincent (stomatitis ulsero membranosa) Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau triponema yang



didapatkan pada penderita dengan higiene mulut yang kurang dan defisie ns i vitamin C.(3)



Gejala Demam sampai 39 derajat celcius, nyeri kepala, badan lemah dan kadangkadang terdapat gangguan pencernaan. Rasa nyeri dimulut, hipersalivasi, gigi dan gusi mudah berdarah(3)



Pemeriksaan Mukosa mulut dan faring hiperemis, tampak membran putih keabuan diatas tonsil, uvula, dinding faring, gusi serta prosesus alveolaris, mulut berbau (foetor ex ore) dan kelenjar sub mandibular membesar.



(3)



Terapi Antibiotika spektrum lebar selama 1 minggu. Memperbaiki higiene mulut. Vitamin C dan Vitamin B kompleks.



d.



(3)



Penyakit Kelainan Darah Tidak jarang tanda pertama leukemia akut, angina agranulositosis dan infeks i



mononukleosis timbul di faring atau tonsil yang tertutup membran semu. Kadangkadang terdapat perdarahan diselaput lender mulut dan faring serta pembesaran kelenjar submandibular.



(3)



9







Leukimia akut Gejala pertama sering berupa epistaksis, perdarahan di mukosa mulut, gusi dan dibawah kulit sehingga kulit tampak bercak kebiruan. Tonsil membengkak ditutupi membran semu tetapi tidak hiperemis dan rasa nyeri yang hebat ditenggorok.







(3)



Angina Agranulositosis Penyebabnya ialah akibat keracunan obat dari golongan amidopir in, sulfa dan arsen. Pada pemeriksaan tampak ulkus di mukosa mulut dan faring serta disekitar ulkus tampak gejala radang. Ulkus ini juga dapat ditemukan di genitalia dan saluran cerna.







(3)



Infeksi mononucleosis Pada penyakit ini terjadi tonsilo faringitis ulsero membranosa bilatera l. Membran semu yang menutupi ulkus mudah diangkat tanpa timbul perdarahan. Terdapat pembesaran kelenjar limfe leher, ketiak, dan regio inguinal. Gambaran darah khas yaitu terdapat leukosit mononukleus dalam jumlah besar. Tanda khas yang lain ialah kesanggupan serum pasien untuk beraglutinasi terhadap sel darah domba (reaksi Paul Bunnel).



(3)



iii. Tonsilitis Kronik Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik ialah rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat. Kuman penyebabnya sama dengan tonsilitis akut tetapi kadangkadang kuman berubah menjadi kuman golongan gram negatif.



Patologi Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringa n limfoid superficial mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit poli morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu



10



tonsillitis akut dengan detritus disebut tonsillitis lakunaris, bila bercak detritus berdekatan menjadi satu maka terjadi tonsillitis lakonaris.



(3,7)



Pada tonsillitis kronik proses radang timbul berulang maka selain epitel mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuha n jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripti melebar. Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga



menembus kapsul tonsil dan akhirnya



menimbulkan perlekatan dengan jaringan disekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai pembesaran kelenjar limfa submandibular. (3,7) Gejala Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Rasa ada yang mengganjal di tanggorok, dirasakan kering di tenggorok dan napas berbau. (3)



Gambar 4. Tonsillitis Kronik Dari pemeriksaan dapat dijumpai tonsil dapat membesar bervariasi. Kadangkadang tonsil dapat bertemu di tengah. Standar untuk pemeriksaan tonsil berdasarkan pemeriksaan fisik diagnostik diklasifikasikan berdasarkan ratio tonsil terhadap orofaring (dari medial ke lateral) yang diukur antara pilar anterior kanan dan kiri. T0: Tonsil terletak pada fosa tonsil, T1: 25% T2: >25% T3:50% T4:75% (Brodsky, 2006). Sedangkan menurut Thane dan Cody membagi pembesaran tonsil atas T1: batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar anterior uvula. T2: batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior-uvula sampai ½ jarak pilar anterior-uvula. T3: batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior-uvula



11



sampai ¾ jarak pilar anterior-uvula. T4: batas medial tonsil melewati ¾ jarak pilar anterior-uvula sampai uvula atau lebih (Cody, 1993).



(3)



Gambar 5. Derajad Pembesaran tonsil Terapi Terapi lokal ditujukan pada hygiene mulut dengan berkumur atau obat hisap.(3) Komplikasi Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa rhinitis kronik, sinusitis,



atau otitis media secara perkontinuita tum.



Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul endokarditis, artritis, myositis, nefritis, uveitis, iridositis, dermatitis, pruritus, urtikaria dan furunkulosis.(3,5)



12



II.



HIPERTROFI ADENOID Adenoid ialah massa yang terdiri dari jaringan limfoid yang terletak pada dinding



posterior nasofaring, termasuk dalam rangkaian cincin waldeyer. Secara fisiolo gik adenoid ini membesar pada anak usia 3 tahun dan kemudian akan mengecil dan hila ng sama sekali pada usia 14 tahun. Bila sering terjadi infeksi saluran napas bagian atas maka dapat terjadi hipertrofi adenoid. Akibat dari hipertrofi adenoid ini akan timbul sumbatan koana dan sumbatan tuba eustachius yang dapat menimbulkan otitis media. (3) Akibat sumbatan koana, pasien akan bernapas melalui mulut sehingga terjadi •



fasies adenoid yaitu tampak hidung kecil, gigi insisivus ke depan, arcus faring tinggi menyebabkan kesan wajah pasien seperti orang bodoh







faringitis dan bronkhitis







gangguan ventilasi dan drainase sinus paranasal sehingga dapat menimbulka n sinusitis kronik(3)



Gambar 6. Hipertrofi Adenoid Terapi Pada hipertrofi adenoid dilakukan terapi bedah adenoidektomi dengan cara kuretase menggunakan adenotom.



(3)



13



III.



TINDAKAN ADENOTONSILEKTOMI Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil palatina



(Hermani B, 2004) untuk mencegah tonsilitis rekuren. Sedangkan Adenoidektomi adalah prosedur pengangkatan adenoid. Istilah adenotonsilektomi secara sederhana diartikan sebagai tindakan operasi pengambilan tonsil bersamaan dengan adenoid.(4,8) i. Tonsilektomi 1. Indikasi Tonsilektomi dibagi atas 2 kategori berdasarkan America Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS), indikasi absolut dan indikasi relatif.



(8)



Indikasi absolut : 1. Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner. 2. Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase. 3. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam. 4. Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi. (4,8) Indikasi relatif : 1. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik adekuat. 2. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi medis. 3. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik β -laktamase resisten. 4. Perbesaran tonsil unilateral yang diduga keganasan(4,8) 2. Kontraindikasi Kontraindikasi untuk tonsilektomi meliputi berikut ini: 1. Gangguan perdarahan 2. Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat 3. Anemia 4. infeksi akut (8)



14



3. Teknik Saat ini banyak teknik yang telah dikembangkan untuk tonsilektomi yang memilik i keunggulan masin-masing. Di Indonesia sendiri teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik Guillotine dan diseksi.(9) 1. Guillotine Tonsilektomi cara guillotine dikerjakan secara luas sejak akhir abad ke 19, dan dikenal sebagai teknik yang cepat dan praktis untuk mengangkat tonsil. Namun tidak ada literatur yang menyebutkan kapan tepatnya metode ini mulai dikerjakan. Tonsilektomi modern atau guillotine dan berbagai modifikasinya merupakan pengembangan



dari sebuah alat



yang dinamakan



uvulotome.



merupakan alat yang dirancang untuk memotong uvula



Uvuloto me



yang edematosa atau



elongasi. Diperkenalkan pertama kali oleh Philip Physick (1828) dari Philadelp hia, sedangkan cara yang masih digunakan sampai sekarang adalah modifikasi Sluder. Di negara-negara maju cara ini sudah jarang digunakan dan di Indonesia cara ini hanya digunakan pada anak-anak dalam anestesi umum.(9) Teknik : a) Posisi pasien telentang dalam anestesi umum.



Operator di sisi kanan



berhadapan dengan pasien. b) Setelah relaksasi sempurna otot faring dan mulut, mulut difiksasi dengan pembuka mulut. Lidah ditekan dengan spatula. c) Untuk tonsil kanan, alat guillotine dimasukkan ke dalam mulut melalui sudut kiri. d) Ujung alat diletakkan diantara tonsil dan pilar posterior, kemudian kutub bawah tonsil dimasukkan ke dalam Iubang guillotine. Dengan jari telunjuk tangan kiri pilar anterior ditekan sehingga seluruh jaringan tonsil masuk ke dalam Iubang guillotine. e) Picu alat ditekan, pisau akan menutup lubang hingga tonsil terjepit. f) Setelah diyakini seluruh tonsil masuk dan terjepit dalam lubang guillotine, dengan



bantuan jari,



tonsil



dilepaskan



dari jaringan



sekitarnya



dan



diangkat keluar. Perdarahan dirawat. (9)



15



Gaambar 7: Tonsilektomi dengan cara Guillotine 1.



Cara diseksi Cara ini diperkenalkan pertama kali oleh Waugh (1909). Cara ini digunakan pada pembedahan tonsil orang dewasa, baik dalam anestesi umum maupun lokal.



(9)



Teknik : a) Bila menggunakan anestesi umum, posisi pasien terlentang dengan kepala sedikit ekstensi. Posisi operator di proksimal pasien. b) Dipasang alat pembuka mulut Boyle-Davis gag. c) Tonsil dijepit dengan cunam tonsil dan ditarik ke medial d) Dengan menggunakan respatorium/enukleator tonsil, tonsil dilepaskan dari fosanya



secara tumpul



sampai kutub bawah dan selanjutnya



dengan



menggunakan jerat tonsil, tonsil diangkat. Perdarahan dirawat. (9)



16



Gambar 8. Tonsillectomy dengan cara diseksi 2.



Cryogenic tonsilectomy Tindakan pembedahan tonsil dapat menggunakan cara cryosurgery yaitu proses pendinginan jaringan tubuh sehingga terjadi nekrosis. Bahan pendingin yang dipakai adalah freon dan cairan nitrogen. (9)



3.



Teknik elektrokauter Teknik ini memakai metode membakar seluruh jaringan tonsil disertai kauterisasi untuk mengontrol perdarahan. Pada bedah listrik transfer energi berupa radiasi elektromagnetik untuk menghasilkan efek pada jaringan. Frekuensi radio yang digunakan dalam spektrum elektromagnetik berkisar pada 0,1 hingga 4Mhz. Pada teknik ini elektroda tidak menjadi panas, panas dalam jaringan terbentuk karena adanya aliran baru yang dibuat dari teknik ini. Teknik ini menggunaka n listrik 2 arah (AC) dan pasien termasuk dalam jalur listrik (electrical pathway). (9) Teknik bedah listrik yang paling paling umum adalah monopolar blade, monopolar suction, bipolar dan prosedur dengan bantuan mikroskop. Tenaga listrik dipasang pada kisaran 10 sampai 40 W untuk memotong, menyatukan atau untuk koagulasi.(9)



4.



Teknik Radiofrekuensi Pada teknik ini elektrode radiofrekuensi disisipkan langsung ke jaringa n. Densitas baru di sekitar ujung elektrode cukup tinggi untuk membuka kerusakan



17



bagian jaringan melalui pembentukan panas. Selama periode 4-6 minggu, daerah jaringan yang rusak mengecil dan total volume jaringan berkurang. (9)



5.



Teknik Skapel Harmonik Skalpel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong dan mengkoagulasi menggunakan



jaringan suhu



dengan kerusakan jaringan



yang



lebih



rendah



minimal. Teknik



dibandingkan



elektrokauter



ini dan



laser. Dengan elektrokauter atau laser, pemotongan dan koagulasi terjadi bila temperatur el cukup tinggi untuk tekanan gas dapat memecah sel tersebut (biasanya 1500C-4000C), sedangkan dengan skalpel harmonik temperatur disebabkan oleh friksi jauh lebih rendah (biasanya 500C -1000C). Sistim skalpel harmonik terdiri atas generator 110 Volt, handpiece dengan kabel penyambung, pisau bedah dan pedal kaki.(9)



ii. Adenoidektomi 1. Indikasi Indikasi untuk adenoidektomi adalah sebagai berikut: 1.



2.



3.



(3,10)



Sumbatan a)



sumbatan hidung yang menyebabkan bernafas melalui mulut



b)



sleep apnea



c)



gangguan menelan



d)



gangguan berbicara



e)



kelaianan bentuk wajah muka dan gigi (adenoid face)



Infeksi a)



adenioditis berulang / kronik



b)



otitis media efusi berulang / kronik



c)



otitis media akut berulang



Kecurigaan neoplasma jinak / ganas



(3,10)



2. Kontraindikasi a. Kontraindikasi absolut Tidak ada ada, kecuali untuk kondisi di mana anestesi umum tidak dapat dilakukan.(10)



18



b. Kontraindikasi relatif Gangguan perdarahan berat, yang bisa diatasi dengan pra operasi, intraoperatif, dan obat-obatan koagulasi pasca operasi.(10) iii. Persiapan pra-Operasi Pemeriksaan laboratorium : Health technology assessment (HTA) Indonesia pada tahun 2003 membuat rekomendasi pemeriksaan pra-bedah untuk tindakan bedah elektif. Pemeriksaan penunjang yang direkomendasikan untuk dilakukan rutin adalah pemeriksaan darah tepi dan fungsi hemostasis. Pemeriksaan kimia darah, urinalisis, foto rontgen toraks, elektrokardiografi, dan fungsi paru hanya dilakukan bila terdapat indikasi. (11) 1) Pemeriksaan darah tepi: Hb, Ht, leukosit, hitung jenis, trombosit 2) Pemeriksaan hemostasis: BT/CT, PT/APTT iv. Post Operasi • Minum: dimulai segera setelah operasi untuk mencegah dehidrasi • Makan: Umumnya, tidak ada pembatasan makanan setelah operasi, tetapi beberapa dokter akan menganjurkan diet lunak selama periode pemulihan. Semakin cepat anak makan dan mengunyah, semakin cepat pemulihan. Pasien tonsilektomi mungk in enggan untuk makan karena sakit tenggorokan; akibatnya, beberapa penurunan berat badan dapat terjadi, yang diperoleh kembali setelah diet normal kembali. • Demam: Sebuah demam ringan dapat terjadi pada malam setelah operasi dan terjadi satu atau dua hari setelah operasi. • Kegiatan: Kegiatan berangsur perlahan, dengan kembali ke sekolah setelah biasa makan dan minum , obat tidak lagi diperlukan, dan anak tidur sepanjang malam. Bepergian di pesawat atau jauh dari fasilitas medis tidak dianjurkan selama dua minggu setelah operasi. • Pernapasan: mendengkur dan pernapasan melalui mulut karena pembengkakan di tenggorokan dapat terjadi. Pernapasan harus kembali normal ketika pembengkakan berkurang, 10-14 hari setelah operasi.



19



• Scabs: Sebuah keropeng di tempat tonsil dan adenoid. Bentuk tebal, putih, dan menyebabkan bau mulut. Hal Ini normal. Kebanyakan scabs menghilang dalam lima sampai sepuluh hari setelah operasi. • Perdarahan: bintik kecil darah dari hidung atau dalam air liur merupakan hal yang wajar jika tidak berlebihan dan terus menerus. • Nyeri: Hampir semua anak mengalami tonsilektomi / adenoidectomy akan memilik i rasa nyeri yang ringan sampai sakit parah di tenggorokan setelah operasi. Beberapa mungkin mengeluh sakit telinga dan beberapa mungkin memiliki rasa sakit di rahang dan leher. • kontrol nyeri: seperti acetaminophen, acetaminophen ibuprofen dengan kodein atau acetaminophen dengan hydrocodone.



(12)



20



IV.



PENGGUNAAN KATETER FOLEY Kateter foley atau kateter balon adalah kateter yang dibuat dengan satu drainage



lumen mayor dan satu atau dua lumen minor. Lumen minor untuk menggembungka n balon dan irigasi. Kateter ini tersedia dengan berbagai pilihan ujung, katup, lapisan pembungkus, panjang dan ukuran.



(2)



Prosedur Adenoidektomi (ATE) yang ada saat ini sangat beragam dan banyak mengalami perkembangan dari awal prosedur hingga saat ini. baik secara tehnik ATE nya sendiri, anastesi yang digunakan maupun pencegahan perdarahan yang dilakukan saat dimeja operasi.(8,9) Penggunaan kateter foley untuk alternatif pengontrol perdarahan di bidang THT sebenernya sudah terlebih dahulu digunakan untuk mengatasi epistaxis posterior. Sedangkan Penggunaan kateter foley pada ATE merupan teknik baru yang belum banyak diketahui maupun digunakan banyak tenaga medis dalam perannya untuk menghentika n perdarahan intra-operasi ATE.(2,13)



Gambar 9. Penggunaan kateter Foley dalam mengontrol perdarahan Prinsip dari depth dengan kateter sebenernya sama dengan managemen perdarahan menggunakan kasa tampon yaitu memanfaatkan fungsi hemostasis pembekuan darah dengan memberi waktu proses pembekuan darah terbentuk sampai mampu menghentika n perdarahan yang terjadi. Penelitian yang dilakukan di RSUD kota Semarang (2015) sampel terdiri



206 pasien tindakan adenotonsilektomi dan tonsilektomi, Tindakan



Adenotonsilektomidan dan tonsilektomi yang dilakukan sebanyak 143 dan 63. Jumlah 21



penggunaan kateter foley sebanyak 126 kali dengan 58,9 % dan yang menggunaaka n tampon konvensional (kasa) 86 dengan 40,2%. Metode kateter foley merupakan metode baru dan belum terdapat referensi yang membahas metode tersebut.(2) Penelitian yang dilakukan di RSUD Kota semarang (2015) terdiri dari 30 Responden yang dilakukan adenotonsilektomi,



diantaranya 20 responden dengan



menggunakan kateter foley dan 10 tanpa menggunakan kateter foley. Pada responden yang menggunakan kateter foley sebagai tampon didapatkan rata-rata pendarahan yang terjadi sebesar 122,50 ± 24,7 ml. Sedangkan pada responden yang tidak menggunaka n kateter foley sebagai tampon didapatkan pendarahan yang terjadi sebesar 175,45 ± 49,67 ml. Pada responden yang menggunakan kateter foley sebagai tampon didapatkan ratarata durasi operasi yang berlangsung selama 14,65 ± 2,23 menit. Sedangkan pada responden yang tidak menggunakan kateter foley sebagai tampon didapatkan pendarahan yang terjadi sebesar 18,63 ± 3,23 menit. Didapatkan ada penurunan terhadap jumlah pendarahan durasi operasi adenotonsilektomi yang bermakna secara klinis pada kelompok yang menggunakan kateter foley sebagai tampon dengan kelompok yang tidak menggunakan kateter foley sebagai tampon. (13) Hal ini sesuai dengan tinjauan pustaka yang menyebutkan bahwa kateter foley dapat digunakan sebagia tampon untuk mengurangi pendarahan dari bagian posterior (epistaksis posterior).(3,4) Hal ini mungk in disebakan oleh karena tekanan yang diberikan oleh kateter foley lebih besar dibanding dengan menggunakan kasa, sehingga dapat memaksimalkan proses pembekuan darah yang terjadi karena tidak adanya gangguan agregasi trombosit pada titik perdarahan oleh turbulensi atau aliran darah yang masih terjadi apabila menggunakan depth dilakukan dengan menggunakan



kasa. Akan teteapi penggunaan kateter foley juga dapat



memberikan efek negatif untuk jaringan sekitar karena dapat menyebabkan nekrosis jaringan sekitar apabila tekanan balon yang diberikan terlalu tinggi dan waktu depth terlalu lama.(13)



22



DAFTAR ISI 1. Glover j Alison, The Incidence of Tonsillectomy in school children. International Journal of Epidemiology 2008;37:9–19 2. Syauqi N, Octaviani V, Yudistira A. Jumlah penggunaan kateter foley sebagai variasi tampon pada tonsilektomi, adenotonsilektomi dan biopsi nasofaring. Fakultas Kedokteran Universita Trisakti 2015. 3. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, et al. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Ed 7 th. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012. P 198-203 4. Adams GL, Boies LR, Higler PA. 1997. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. EGC : Jakarta. Hal. 320-322, 330, 339-340, 342. 5. Bull PD. 2002. Lectures Note on Disease of the Ear, Nose, and Throat. Ninth Edition. Blackwell Science : Sheffield. P. 111-113, 116-117. 6. Bhargava KB, Bhargava SK, Shah TM. 2005. A Short Textbook of ENT for Students and Practitioners. Seventh Edition. Usha : Mumbai. P. 226, 243-244, 249-250, 252. 7. Bhargava KB, Bhargava SK, Shah TM. 2005. A Short Textbook of ENT for Students and Practitioners. Seventh Edition. Usha : Mumbai. P. 226, 243-244, 249-250, 252. 8. Medscape. Tonsillectomy. Available at : http://reference.medscape.com/article/872119-overview#a10. Accessed March 7, 2017. 9. Charaklias N, Mamais C, Kumar B. The Art of Tonsillectomy : The UK Experience for the Past 100 Years. American Academy of Otolaryngology—Head and Neck 2011;144(6):851-854. Available at : http://www.sbccp.org.br/arquivos/OTO-06-2011_the-art-of-tonsillectomy.pdf. Accessed March 8, 2017. 10. Medscape. Adenoidectomy. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/872216-overview#a10. Accessed March 7, 2017.



23



11. Partini P, Djer T, Hendarto A, Prawitasari T. Pitfalls in Pediatric Practices. Ikatan Dokter Anak Indonesia 2012. Available at : http://staff.ui.ac.id/system/files/users/hartono.gunardi/publication/buku-pkb-idaijaya-ix1.pdf. Accessed March 8, 2017. 12. American Academy of Otolaryology Head and Neck Surgery. Tonsillectomy and Adenoids PostOp .Available at : http://www.entnet.org/content/tonsillectomy-andadenoids-postop. Accessed March 7, 2017. 13. Handoko A. Hubungan antara Penggunaan Kateter Folley Terhadap Jumlah Pendarahan dan Durasi Operasi Adenotonsilektomi di RSUD Kota Semarang. Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara 2015.



24