Refka Tinea Corporis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFLEKSI KASUS



Juni, 2015



TINEA KORPORIS



OLEH : CHANDRA WIJAYA N 111 14 014 PEMBIMBING KLINIK : dr. NUR RAHMAH, M.Kes, Sp.KK



KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU ANUTAPURA DAN UNIVERSITAS TADULAKO 2015 STATUS PASIEN BAGIAN KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU ANUTAPURA I.



II.



Identitas Pasien 1. Nama pasien : Tn. Ab 2. Umur : 55 Tahun 3. Status : Sudah menikah 4. Jenis kelamin : Pria 5. Alamat : Jl. Baiya raya kel. kawaela 6. Agama : Islam 7. Pekerjaan : nelayan 8. Tgl pemeriksaan : 9 Juni 2015 Anamnesis 1. Keluhan utama : Gatal dan kemerahan pada dada dan punggung 2. Riwayat penyakit sekarang :



Seorang pria usia 55 tahun datang ke RS dan di rujuk ke bagian kulit dan kelamin mengeluhkan gatal pada dada dan punggungnya. Keluhan tersebut sudah dialami sejak ±5 hari yang lalu. Awalnya muncul gatal-gatal pada bagian paha sekitar 1 tahun yang lalu kemudian gatal-gatalnnya terasa juga pada bagian punggung, daerah perut, dada dan kedua lengan pasien, gatal yang dirasakan bertambah jika berkeringat. Pada bagian yang gatal tidak terasa nyeri. Demam (-), mual (-) muntah (-). Pasien sebelumnya pernah menggunakan obat salep yang dibelinya di kios dekat rumahnya, gatalnya hilang kemudian kambuh lagi. 3. Riwayat penyakit terdahulu: Riwayat hipertensi (-) Riwayat diabetes mellitus (tidak diketahui) Pasien juga mengaku sebelumnya jika makan-makanan seperti ikan kering dan telur ia merasakan gatal-gatal pada badannya.



III.



IV.



4. Riwayat penyakit keluarga: Tidak ada keluarga pasien mengalami hal serupa. PemeriksaanFisik Status generalis: 1. Keadaan umum: sakit ringan, gizi baik, kompos mentis 2. Tanda vital  Tekanan darah : 120/70 mmHg  Nadi : 80 x/menit  Pernapasan : 18 x/menit Status Dermatologi - Venerologi Ujud kelainan kulit : makula eritema, anular, tersebar difus, berbatas tegas, pinggir lesi polisiklik dan agak meninggi, dengan papul di tepi. Daerah tengah relatif lebih tenang, skuama, erosi. -



Lokalisasi : 1. Kepala : tidak terdapat ujud kelainan kulit 2. Leher : tidak terdapat ujud kelainan kulit (UKK) 3. Dada : tampak makula hiperpigementasi,



skuama



halus,dengan tepi meninggi 4. Punggung : tampak makula hiperpigmentasi. berbatas tegas, pinggir lesi polisiklik dan agak meninggi, dengan papul di tepi.



5. Perut : tampak makula besar hiperpigmentasi, linear, dengan 6. 7. 8. 9.



tepi polisiklik dan agak meninggi Genitalia : tidak terdapat ujud kelainan kulit (UKK) Selangkangan : tidak terdapat ujud kelainan kulit (UKK) Bokong : tidak terdapat ujud kelainan kulit (UKK) Ekstremitas atas : tampak plak hiperpigmentasi, anular,



eritema 10. Ekstremitas bawah Tungkai atas: terdapat ujud kelainan kulit berupa plak eritema, berbatas tegas, skuama, dengan tepi yang tampak meninggi, adanya papul-papul di tepi lesi Tungkai bawah: tampak plak eritema dengan tepi lesi yang tampak aktif, adanya papul-papul eritema V.



Gambar Gambar 1. tampak makula hiperpigementasi, skuama halus,dengan tepi meninggi pada regio anterior thoraks



Gambar 2. tampak makula hiperpigmentasi. berbatas tegas, pinggir lesi polisiklik dan agak meninggi, dengan papul di tepi pada regio posterior thoraks



Gambar 3. tampak makula besar hiperpigmentasi, linear, dengan tepi polisiklik dan agak meninggi pada regio abdomen



Gambar 5. tampak plak hiperpigmentasi, anular, eritema pada brachium



Gambar 6. erdapat ujud kelainan kulit berupa plak eritema, berbatas tegas, skuama, dengan tepi yang tampak meninggi, adanya papul-papul di tepi lesi regio femoral



VI.



Resume Pria 55 tahun mengeluhkan pruritus dan terdapat lesi eritema pada dada dan punggungnya. Keluhan dialami sejak ±5 hari yang lalu. Awalnya muncul pruritus dan lesi pada bagian paha ± 1 tahun yang lalu kemudian lesi pindah kebagian punggung, perut bawah, lengan kanan atas . pruritus bertambah jika berkeringat dan tidak terasa nyeri, sebelumnya pasien pernah menggunakan salep yang ia beli dari kios, gatalnya berkurang tetapi kemudian lesi makin



bertambah. Status dermatologis makula eritema, anular, tersebar difus, berbatas tegas, pinggir lesi polisiklik dan agak meninggi, dengan papul di tepi. Daerah tengah relatif lebih tenang, skuama, erosi. Riwayat tekanan hipertensi (-). Riw DM (tidak diketahui). Riw hiperuricemia (+) VI



Pemeriksaan penunjang :











Gambar 7. Pemeriksaan KOH 10%







Gambar 8. Tampakan mikroskopik perbesaran 10x (kiri) dan 40x (kanan)



Gambar 9. Perbandingan positif gambaran pada pasien dengan tinea corporis pemeriksaan KOH



VII Diagnosis banding : 1) 2) 3) 4) 5)



Tinea korporis Tinea cruris Psoriasis vulgaris Neurodermatitis Dermatitis Numular.



VIII . Anjuran Pemeriksaan: 1. Pemeriksaan wood lamps 2. Pemeriksaan biakan 3. Pemeriksaan Histopatologi IX. Diagnosis Kerja : Tinea korporis X. Penatalaksanaan 1. Nonmedikamentosa  Jangan menggunakan handuk yang berganti-gantian  Jangan menggunakan pakaian yang berlapis dan ketat  Sirkulasi rumah diperbaiki 2. Medikamentosa a. Topikal miconazole 2% + asam salisilat 3% + vaselin dicampur dalam bentuk salep diaplikasikan tiap 12 jam. b. Sistemik - Cetirizin 1 x 10 mg



XI.



Prognosis Quo ad vitam Quo ad sanationam Quo ad kosmetikan Quo ad fungsionam



: ad bonam : ad bonam : dubia ad bonam : ad bonam



PEMBAHASAN Dermatofitosis adalah infeksi jamur superfisial yang disebabkan genus dermatofita, yang dapat mengenai kulit, rambut dan kuku.pada kulit glabrosa, selain kulit kepala, wajah, kaki, telapak tangan dan kaki, janggut dan lipatan paha. Penyebab utamanya adalah : T.violaseum, T.rubrum, T.metagrofites. Mikrosporon gipseum, M.kanis, M.audolini1. Dermatofitosis infeksi jamur superfisial genus dermatofita, pada lapisan epitel yang berkeratinisasi (lapisan tanduk), jarang menginfeksi lebih dalam, ditandai dengan lesi inflamasi maupun non inflamasi pada daerah kulit berambut halus (glabrous skin) dan tidak dapat hidup pada membran mukosa (vagina, mulut). Kadang-kadang lesinya menyerupai penyakit kulit lain, sehingga sangat diperlukan ketepatan mendiagnosis1. Infeksi ini menyebabkan berbagai manifestasi klinis, termasuk tinea capitis, tinea pedis, tinea corporis, tinea cruris, dan granuloma Majocchi2.



Tinea corporis adalah infeksi jamur pada kulit halus (glabrous skin) di daerah wajah, leher, badan, lengan, tungkai, dan glutea yang disebabkan jamur kecuali pada palmar, plantar dan inguinal3,4,5,6. Seorang manusia mungkin dapat terinfeksi oleh orang lain, binatang, atau alam. Strain zoofilik dapat membuat diagnosis sulit dengan menyebabkan lesi inflamasi di daerah tertentu7. Gambar 1. Tinea corporis



Presentasi klasik dengan warna merah, berbatas tegas (rign worm)8.



Infeksi dermatofit tidak menyebabkan mortalitas yang signifikan tetapi mereka bisa berpengaruh besar terhadap kualitas hidup. Tinea korporis prevalensinya sama antara pria dan wanita. Tinea korporis mengenai semua orang dari semua tingkatan usia tapi prevalensinya lebih tinggi pada preadolescen. Tinea korporis yang berasal dari binatang umumnya lebih sering terjadi pada anak-anak. Secara geografi lebih sering pada daerah tropis daripada subtropis. Berdasarkan habitatnya dermatofit digolongkan sebagai antropofilik (manusia), zoofilik (hewan), dan geofilik (tanah). Dermatofit yang antropofilik paling sering sebagai sumber infeksi tinea, tetapi sumber yang zoofilik di identifikasi (jika mungkin) untuk mencegah reinfeksi manusia. Pada manusia jamur hidup di lapisan tanduk. Jamur itu melepaskan toksin yang bisa menimbulkan peradangan dan iritasi berwarna merah dan gatal1. Infeksi alami diperoleh oleh pengendapan arthrospores yang tersedia atau hifa pada individu yang permukaannya rentan terhadap infeksi. Sumber infeksi biasanya lesi yang aktif pada binatang atau manusia. Pada anak-anak yang terinfeksi dengan T. Rubrum dan E. fl occosum, setengah dari infeksi dapat berasal dari orang tua mereka.



Di bangsal geriatri, epidemi dapat terjadi. Menyebar dari yang ada Infeksi lokal (misalnya kaki, lipat paha, kulit kepala dan kuku) tidak jarang. Invasi kulit di tempat infeksi diikuti oleh penyebaran secara sentrifugal melalui lapisan tanduk epidermis. Setelah periode pembentukan (inkubasi), yang berlangsung 1-3 minggu, tanggapan jaringan terhadap infeksi menjadi jelas9. Setelah masa inkubasi 1-3 minggu, respon jaringan terhadap infeksi semakin jelas dimana bagian tepi lesi yang aktif akan meningkatkan proses proliferasi sel epidermis dan menghasilkan skuama4. Infeksi ini dimulai dengan kolonisasi hifa dan cabang- cabangnya di dalam jaringan keratin yang mati, hifa melepaskan keratinase serta enzim lainnya guna menginvasi lebih dalam stratum korneum dan menimbulkan peradangan, walaupun umumnya, infeksi terbatas pada epidermis, karena adanya mekanisme pertahanan tubuh non spesifik, seperti komplemen, PMN, aktivasi faktor penghambat serum (serum inhibitory factor) namun kadang-kadang dapat bertambah/meluas. Masa inkubasinya sekitar 1-3 minggu. Tinea Corporis merupakan infeksi yang umum terjadi pada daerah dengan iklim hangat, lembab; sekitar 47% disebabkan oleh Trichophyton Rubrum10. Anak-anak lebih mungkin terkontaminasi secara zoofilik patogen, terutama M. Canis dari anjing atau kucing. pakaian oklusif dan, iklim lembab terkait dengan frekuensi yang sering terjadi dan menambah keparahan penyakit. Pakaian yang ketat dan tak menyerap keringat, sering kontak dengan kulit penderita, dan trauma minor (akibat luka bakar) membuat lingkungan di mana dermatofit lebih mudah berkembang. Banyak wabah "tinea corporis gladiatorum" telah mengakibatkan, sebagian besar disebabkan oleh T.tonsurans3. Lesi ini terlihat sebagai plak annular dengan sedikit tepi meninggi, berbatas tegas dan umumnya dikenal sebagai ring worm. Setiap lesi mungkin memiliki satu atau beberapa cincin konsentris dengan papula merah atau plak di tengah.ketika lesinya berlangsung aktif, bagian tengahnya tampak tenang dan jernih, dan dapat meninggalkan hipopigmentasi pasca-inflamasi atau hiperpigmentasi11.



Diagnosis dalam praktek klinik biasanya berdasarkan penampilan klinis, meskipun kerokan dapat diambil dan dianalisis menggunakan mikroskop atau pemeriksaan lampu Wood. Kultur dari Organisme juga dapat dilakukan, meskipun ini adalah proses yang panjang, tetapi mungkin penting dalam menentukan spesies menyebabkan infeksi dan dengan demikian kemungkinan sumbernya 12. Pemeriksaan penunjang menggunakan sediaan dari bahan kerokan (kulit, rambut dan kuku) dengan larutan KOH 10-30%. Dengan pemeriksaan mikroskopis akan terlihat elemen jamur dalam bentuk hifa panjang, spora dan artospora (spora berderet). Dengan pembiakan, bertujuan untuk mengetahui spesies jamur penyebab; sediaan kerokan ditanam dalam agar Sabouroud Dekstrose, untuk mencegah pertumbuhan bakteri dapat ditambahkan antibiotika (contoh; khloramfenicol) ke dalam media tersebut. Perbenihan pada suhu 24- 30°C. Pembacaan diakukan dalam waktu 1-3 minggu10. Gambar 2. Pemeriksaan dengan KOH 20% tampak hypa yang panjang dengan spora di dalamnya dengan pembesaran 100 kali7.



Gambar 3. Pemeriksaan Histopatoligis dengan (Hematoxiline-Eosin perbesaran 100 kali 3.



Gambaran klinis berupa rasa gatal pada lesi terutama saat berkeringat. Keluhan gatal tersebut memacu pasien untuk menggaruk lesi yang pada akhirnya menyebabkan perluasan lesi terutama di daerah yang lembab. Kelainan yang terlihat pada lesi berupa makula eritematosa yang berbentuk bulat atau lonjong dan berbatas tegas. Pada daerah tepi terdapat skuama halus, vesikel dan papul yang aktif, sedangkan pada daerah tengah lebih tenang (central healing). Lesi yang berdekatan dapat membentuk pola gyrate atau polisiklik. Tempat predileksi dari tinea corporis yaitu pada bagian tubuh yang tidak berambut dan lembab seperti thorax, abdomen, glutea, dan ekstremitas4. Beberapa antifungal sistemik dan topikal tersedia dengan efikasi terhadap dermatofit. infeksi yang melibatkan kulit rambut memerlukan antifungal sebagai dermatofit yang dapat menembus folikel rambut. Standar pengobatan tinea di Inggris, Amerika adalah pemberian griseofulvin, triazole oral (itraconazole, flukonazol) dan allylamine (terbinafine) antijamur tampak aman, efektif, dan memiliki keuntungan durasi pengobatan yang lebih pendek3. Terapi pada penyakit kulit tinea korporis dibagi menjadi dua bagian yaitu terapi umum dan khusus. Pada terapi umum bertujuan untuk menghilangkan faktor predisposisi seperti memakai baju yang menyerap keringat supaya lingkungan kulit tidak lembab dan tidak menjadi tempat proliferasi jamur. Kemudian terapi khusus tinea corporis berupa medikamentosa yang terdiri dari obat topikal dan sistemik4.



Penatalaksanaan medikamentosa yang dilakukan pada pasien ini dapat dilakukan secara topikal dan sistemik, sistemik diberikan golongan antihistamin Cetirizin HCl dengan dosis 10 mg diberikan sekali sehari 1 tablet, dan topical diberikan salep miconazole 2%, asam salisilat 3% dan vaselin yang dicampur dan dibuat dalam bentuk salep. Penatalaksanaan yang diperikan pasien ini menggunakan preparat antijamur derivat azol, yaitu miconazol sesuai dengan hasil penelitian dalam jurnal dermatologis, yang disebutkan bahwa penggunaan preparat azol efektif untuk dermatoterapi tinea korporis mampu mencegah terjadinya residitif kasus. Antifungal topikal yang bermanfaat dalam mengobati infeksi dermatofit lokal ,umum seperti tinea corporis, tinea cruris dan tinea pedis 13. Terapi topikal direkomendasikan untuk infeksi lokal karena dermatofit yang hidup pada jaringan kulit4. Terapi topikal sering ditunjukkan ketika ada patch tunggal atau beberapa tinea corporis14. Profil efek samping yang cukup terbatas, membuat terapi topikal pilihan terapi lini pertama bagi banyak pasien. Reaksi yang merugikan utama adalah dermatitis kontak iritan dan alergi, biasanya dari alkohol atau komponen lain di dalam vehikulum. Terapi antifungal sistemik, meskipun terkait dengan insiden yang lebih tinggi dan meningkatkan keparahan efek samping, diperlukan untuk menyembuhkan infeksi tertentu, termasuk tinea manuum, capitis dan unguium. Obat antifungal baru memberikan lebih banyak pilihan untuk terapi sistemik. Untuk rejimen yang disarankan, lihat Tabel 1. Penambahan produk yang mengandung asam glikolat atau laktat atau urea dapat membantu mengurangi jumlah hiperkeratosis infeksi seperti tinea manuum dan tinea pedis. Debridement dan mencukur rambut berpengaruh dalam kombinasi dengan terapi antijamur oral biasanya efektif dalam pengobatan tinea barbae15. Tabel 1. Regimen yang disarankan untuk terapi sistemik pada tinea corporis15.



Tinea (ektensif



corporis pada



dewasa Tinea



Regimen Sistemik Yang Disarankan Flukonazole griseofulvin 150-200 10-20 mg/kg/hari



itrakonazole 200 mg/hari



Terbinafine 250 mg/hari



mg/minggu



selama 1 minggu



selama 1 minggu



5



250



selama korporis



2-4 selama 2-4 2-4



minggu 6 mg/kg/minggu



minggu 15-20 mg/kg/hari



mg/kg/hari



mg/hari



(ekstensif, pada



selama



anak)



minggu



2-4



selama



2-4



selama 1 minggu



selama 1 minggu



minggu



Berbagai kelas antifungal yang digunakan. Imidazol Termasuk clotrimazole, miconazole, ekonazol, sulconazole, oxiconazole, dan ketoconazole. Mereka bekerja dengan menghambat sitokrom P45O 14-a-demethylase, enzim esensial dalam sintesis ergosterol. Nistatin IS poliena yang bekerja secara ireversibel mengikat ergosterol, esensial komponen membran sel jamur. Triazol termasuk itrakonazol dan flukonazol, yang mempengaruhi sitokrom Sistem P45016. Miconazole nitrat adalah agen antifungal sintetik yang menghambat pertumbuhan dari dermathopyta yang diindikasikan untuk penggunaan topikal pada tinea corporis, tinea pedi yang disebabkan oleh T.rubrum14. Ada sedikit perbedaan dalam khasiat antara clotrimazole, ketoconazole, miconazole atau terbinafine. Sebuah respon yang baik biasanya terjadi ketika salah agen ini diterapkan sekali atau dua kali sehari selama 14 sampai 21 hari. Agen topikal dicampur dengan kortikosteroid harus dihindari13. Untuk itraconazole dan griseofulvin, makanan meningkatkan penyerapan. Untuk itraconazole dan ketoconazole, antasida, H2 antagonis dan proton pump inhibitor membuat penyerapannya jadi rendah. Terbinafine kurang aktif terhadap Candida dan Microsportrin spp in vitro. In vivo, dosis yang memadai efektif terhadap organisme ini. Terbinafine memiliki khasiat terbatas dalam pengobatan oral tinea versikolor



tapi efektif secara topikal.



Meskipun beberapa interaksi obat telah



dilaporkan dengan terbinafine dan bioavailabilitas yang tidak berubah dalam makanan, hepatotoksisitas, leukopenia, dan nekrolisis epidermal toksik. Ketokonazol memiliki spektrum yang luas terhadap dermatofit, ragi, dan beberapa mikosis sistemik. Ini memiliki potensi serius terhadap interaksi dan insiden yang lebih tinggi hepatotoksisitas dari agen lain yang tersedia. Risiko toksisitas hati dengan single dosis minimal, tapi bagi banyak indikasi, obat ini telah digantikan oleh flukonazol15. Dengan demikian seorang pria 55 tahun mengeluhkan pruritus dan terdapat lesi eritema pada dada dan punggungnya. Keluhan dialami sejak ±5 hari yang lalu. Awalnya muncul pruritus dan lesi pada bagian paha ± 1 tahun yang lalu kemudian lesi



pindah kebagian punggung, perut bawah, lengan kanan atas . pruritus bertambah jika berkeringat dan tidak terasa nyeri, sebelumnya pasien pernah menggunakan salep yang ia beli dari kios, gatalnya berkurang tetapi kemudian lesi makin bertambah.Status dermatologis makula eritema, anular, tersebar difus, berbatas tegas, pinggir lesi polisiklik dan agak meninggi, dengan papul di tepi. Daerah tengah relatif lebih tenang, skuama, erosi. Riwayat tekanan hipertensi (-). Riw DM (tidak diketahui). Riw hiperuricemia (+), pada pemeriksaan KOH 10% tidak ditemukan hifa. Berdasarkan penjelasan sebelumnya bahwa pasien ini dapat diagnosa dengan tinea corporis berdasarkan anamnesis, klinis dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan.



Daftar Pustaka 1. Kanti dan Rahmanisa. 2014. Tinea Corporis With Grade I Obesity In Women Domestic Workers Age 34 Years. Volume 2, Nomor 4. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 2. Goldstein & goldstein. 2015. Dermatophyte (tinea) infections. Department of Family Medicine University of North Carolina at Chapel Hill. 3. Wolff K, et. al. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine, 7th ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc. 2008 4. Ermawati. 2013. THE USE OF KETOCONAZOLE IN PATIENTS TINEA CORPORIS. Volume 1, Nomor 3. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. 5. Jack L Lesher. 2014. Department of Internal Medicine, Section of Dermatology, Medical College of Georgia 6. Raman. 2014. Comparative Study Of 1% Terbinafine With 1% Clotrimazole In The Management Of Localized Tinea Corporis And Tinea Cruris Infection. International Journal of Pharma and Bio Sciences.



7. Karakoca, et,al,. 2010. Generalized Inflammatory Tinea Corporis. Istanbul Education and Research Hospital, Department of Dermatology 34098 Samatya, Istanbul, Turkey. 8. Habif, T. P. 2004, eds. Clinical Dermatology: A Color Guide to Diagnosis and Therapy 4th edition. Pennsylvania. Mosby. 9. Hay RJ, Ashbee HR. Mycology. Dalam: Rook’s Textbook of Dermatology. Vol 2. 8th ed. Oxford: Blackwell Scientific Publication.2010. 10. Rianyta. 2011. Dermatofitosis e.c Tinea corporis. Vol.38 no.2. Belitung Timur, Propinsi Kepulauan Bangka Belitung, Indonesia. 11. Banerjee, et,al,. 2012. Comparative evaluation of efficacy and safety of topical fluconazole and clotrimazole in the treatment of tinea corporis. Journal of Pakistan Association of Dermatologists. 12. Gohary, et,al,. 2014. Topical antifungal treatments for tinea cruris and tinea Corporis. Published by JohnWiley & Sons, Ltd. Faculty ofMedicine, AldermoorHealth Centre, University



of Southampton, Aldermoor Close,



Southampton, SO16 5ST, UK. [email protected]. 13. Bortulossi Robert. 2007. Antifungal agents for common outpatient pediatric infection. Canadian Pediatrics Society. 14. Ortho Dermatological devision. 2001. Miconazole nitrat cream. Skillman. New jersy. 15. Jean L. Volume 126. Irwin. Austria: The McGraw-Hill Companies: 2007. Klaus. Bolognia Dermatology.et al. USA : Elsevier Limited. 16. Sharquie et,al,. 2013. Treatment of Tinea Corporis by Topical 10% Zinc Sulfate Solution. Vol 12. No.2. The Iraqi Postgraduate Medical Journal