Relativitas Moral Dalam Bisnis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Relativitas Moral Dalam Bisnis Berdasarkan prinsip-prinsip etika bisnis, dapat dikatakan bahwa dalam bisnis dewasa ini, pelaku bisnis dituntut bersaing secara etis. Dalam persaingan global yang tidak mengenal adanya perlindungan dan dukungan politik tertentu, semua perusahaan harus bersaing berdasarkan prinsipprinsip etika. Persoalannya adalah etika siapa yang diikuti karena bisnis global tidak mengenal batas negara. Untuk menjawab pertanyaan ini, berikut adalah beberapa pandangan yang ada di masyarakat : 1. Norma etis berbeda di satu tempat dengan tempat lain. Tidak ada norma yang universal. Oleh karena itu, bila berada di suatu negara, maka norma yang berlaku di negara itu harus diikuti. Perusahaan multinasional harus beroperasi berdasarkan nilai-nilai budaya yang berlaku di negara dimana perusahaan beroperasi. 2. Norma pada negara sendirilah yang paling tepat. Menurut norma ini, prinsip yang harus dipegang ketika berada dimana pun adalah norma yang berlaku di negara sendiri. 3. Tidak ada norma moral yang perlu diikuti sama sekali. Norma ini oleh De George sebagai immoralis naif. Pandangan ini tidak benar sama sekali. Menurut pandangan pertama, norma dan nilai moral bersifat relatif dan tidak ada norma moral yang universal. Hal ini tidak sepenuhnya benar. Tindakan mencuri, berbohong, dan menipu yang terjadi dimana-mana pun pasti di kecam karena tidak etis.



Pandangan yang kedua beranggapan bahwa moralitas bersifat universal yang menyangkut baik buruknya perilaku manusia sebagai manusia. Oleh karena itu, dimana pun berada, prinsip, nilai, dan norma moral akan tetap berlaku. Pandangan ini tidak sepenuhnya benar, karena kemajuan kondisi ekonomi, sosial, politik tidak sama di semua negara, sehingga hukum yang berlaku di negara perusahaan asal belum tentu berlaku di negara lain. Menurut De George, prinsip pokok yang dapat berlaku universal adalah prinsip integritas moral yang berarti bersaing dengan penuh integritas moral. Ia tidak setuju kalau prinsip no harm dikatakan sebagai prinsip pokok dalam bisnis. Alasannya, prinsip ini dituangkan ke dalam aturan dan terlalu bersifat legalistis, karena itu bersifat heteronom. Tanggungjawab Moral Bisnis Apakah bisnis mempunyai tanggung jawab moral? Terdapat berbagai macam pandangan mengenai tanggung jawab moral bisnis. Kaum neoklasik dan modern, mulai dari AdamSmith, ThomasHoobes, JohnLocke, MiltonFiedman, TheodoreLevitt, dan John Kenneth Galbraith berpendapat bahwa bisnis adalah korporasi impersonal yang bertujuan untuk memperoleh laba. Sebagai institusi impersonal atau pribadi, bisnis tidak mempunyai nurai, sehingga tidak bertanggung jawab secara moral (Weiss, 1994:88). Dengan kata lain, menurut pandangan ini bisnis adalah institusi yang tidak berkaitan dengan moralitas yang bertujuan meningkatkan pemenuhan kepentingan pihak-pihak yang terlibat, dan melalui “tangan



ajaib” atau kekuatan pasar kesejahteraan masyarakat pun akan meningkat. Ini berarti pandangan mereka tergantung utilitarisme karena bisnis memberikan yang terbaik untuk sebagian besar anggota masyarakat. Setiap pihak yang mengikat diri terhadap manajemen mutu sesungguhnya menyetujui adanya tanggung jawab moral. Menurut Pratley (1997:134-135) minimal ada tiga tanggungjawab moral korporasi, yaitu: 1. Menghasilkan barang-barang, kepuasan konsumen, dan keamanan pemakaian. 2. Peduli terhadap lingkungan, baik dilihat dari sudut masukan mapun keluaran, pembuangan limbah yang aman, serta mengurangi penyusutan sumber daya. 3. Memenuhi standar minimal kondisi kerja dan sistem pengupahan serta jaminan sosial. Tanggungjawab Sosial Bisnis Tanggungjawab sosial bisnis (Corporate Social Responsibility atau disingkat CSR) adalah memanfaatkan sumber daya yang ada untuk mencapai laba dengan cara-cara yang sesuai dengan aturan permainan dalam persaingan bebas tanpa penipuan dan kecurangan. Impelentasi CSR di perusahaan pada umumnya dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut : 1. Komitmen pimpinan.



Perusahaan yang pimpinannya tidak tanggap dengan masalahmasalah sosial dan lingkungan, kecil kemungkinan akan memperdulikan aktivitas sosial. 2. Ukuran dan kematangan perusahaan. Perusahaan



besar



dan



mapan



lebih



mempunyai



potensi



memberikan kontribusi ketimbang perusahaan kecil dan belum mapan. Namun, bukan berarti perusahaan menegah, kecil dan belum mapan tersebut tidak dapat menerapkan CSR. 3. Regulasi dan sistem perpajakan yang diatur pemerintah. Semakin overlap-nya regulasi dan penataan pajak akan membuat semakin kecil ketertarikan perusahaan untuk memberikan donasi dan sumbangan sosial kepada masyarakat. Sebaliknya, semakin kondusif regulasi atau semakin besar insentif pajak yang diberikan, akan lebih berpotensi memberikan semangat kepada perusahaan untuk berkontribusi kepada masyarakat.



Argumen yang Menentang Perlunya Tanggungjawab Sosial Ada beberapa argumen yang berusaha menentang anggapan bahwa bisnis mempunyai tanggungjawab sosial-moral yaitu:



1. Tujuan bisnis adalah mengejar keuntungan sebesar-besarnya. 2. Tujuan yang terbagi dan harapan yang membingungkan. 3. Biaya keterlibatan sosial. 4. Bisnis mempunyai kekuasaan yang sudah memadai. 5. Kurangnya tenaga terampil. Argumen yang Mendukung Perlunya Tanggungjawab Sosial Beberapa argumen yang mendukung perlunya tanggungjawab sosial bisnis, yaitu: 1. Kewajiban moral. 2. Terbatasnya sumber daya alam. 3. Lingkungan sosial yang lebih baik. 4. Bisnis mempunyai sumber-sumber daya. 5. Keuntungan jangka panjang. 6. Perimbangan tanggungjawab dan kekuasaan.



Isi Tanggungjawab Sosial Bisa dilihat dengan jelas bahwa ada dua jalur tanggungjawab sosial perusahaan sesuai dengan dua jalur relasi perusahaan dengan masyarakat,



yaitu relasi primer dan relasi sekunder. Secara singkat isi tanggungjawab sosial perusahaan adalah sebagai berikut: 1. Terhadap relasi primer, misalnya memenuhi kontrak yang sudah dilakukan dengan perusahaan lain, membayar hutang, memberikan pelayanan kepada konsumen dan pelanggan dengan baik, memperhatikan hak pegawai, dan sebagainya. 2. Terhadap relasi sekunder: bertanggungjawab atas operasi dan dampak bisnis terhadap masyarakat pada umumnya, atas masalahmasalah sosial seperti lapangan kerja, pendidikan, prasarana sosial, pajak, dan lain sebagainya. Kode Etik Perusahaan Kode etik berisi tuntutan keahlian, komitmen moral, dan perilaku yang diinginkan dari orang yang melakukan profesi tersebut. Kode etik perusahaan atau oleh Patrict Murphy disebut ethic statements dibedakan dalam tiga macam (Bertens, 2000:381) : 1. Value Statement (Pernyataan Nilai) Pernyataan nilai dibuat singkat saja dan melukiskan apa yang dilihat oleh perusahaan sebagai misinya dan mengandung nilai-nilai yang dijunjung tinggi perusahaan. Banyak pernyataan nilai yang menegaskan bahwa perusahaan ingin beroperasi secara etis dan



menggarisbawahi pentingnya integritas, kerja tim, kredibilitas, dan keterbukaan dalam komunikasi. 2. Corporate Credo (Kredo Perusahaan) Kredo



perusahaan



biasanya



merumuskan



tanggungjawab



perusahaan terhadap para stakeholder. Dibandingkan dengan pernyataan nilai, kredo perusahaan biasanya lebih panjang dan meliputi beberapa alinea. 3. Code of Conduct/Code of Ethical Conduct (Kode Etik) Kode etik (dalam arti sempit) menyangkut kebijakan etis perusahaan berhubungan dengan kesulitan yang bisa timbul seperti konflik kepentingan, hubungan dengan pesaing dan pemasok, sumbangan kepada pihak lain, dan sebagainya. Kode etik umumnya lebih panjang dari kredo perusahaan dan bisa sampai 50-an halaman. Setiap perusahaan berusaha memiliki salah satu, dua, atau ketiga pernyataan etika tersebut. Dalam pembahasan ini kode etik perusahaan dimaksudkan pernyataan etik perusahaan pada umumnya, tanpa memperhatikan penggolongan yang dibuat oleh Patrict Murphy. Mungkin saja penulis lain akan menyebutkan kode etik perusahaan dengan istilah yang berbeda. Setiap perusahaan berusaha memiliki kode etik. Manfaat kode etik bagi perusahaan dapat disebutkan sebagai berikut (Bertens, 2000:382) :



1. Kode etik dapat meningkatkan kredibilitas suatu perusahaan, karena etika telah dijadikan sebagai corporate culture. 2. Kode etik dapat membantu menghilangkan kawasan abu-abu (grey area) di bidang etika. 3. Kode etik dapat menjelaskan bagaimana perusahaan menilai tanggungjawab sosialnya. 4. Kode etik menyediakan regulasi sendiri (self regulation) dan dalam batasan tertentu tidak perlu campur tangan pihak pemerintah dalam mengatasi berbagai persoalan bisnis. Kode etik perusahaan seringkali menunjukkan sikap optimis yang berlebihan sehingga diragukan kemampuannya untuk emecahkan persoalan etis dalam perusahaan. Kritik yang disampaikan terkait kode etik perusahaan adalah : 1. Kode etik seringkali hanya menjadi slogan belaka. Fungsinya sebatas window dressing yang menbuat pihak luar kagum, padahal belum tentu dijalankan dengan baik. 2. Kode etik dirumuskan terlalu umum dan tetap memerlukan keputusan pimpinan dalam persoalan etis. Jika memerlukan keputusan pimpinan, maka kode etik sesungguhnya tidak diperlukan lagi.



3. Jarang ada penegakan etik dengan memberikan sanksi untuk pelanggaran. Ada atau tidak ada kode etik dirasakan tidak ada perbedaannya, sehingga kurang efektif dalam mendorong munculnya perilaku etis. Untuk mengurangi kekurangan tersebut, suatu kode etik hendaknya : 1. Dirumuskan berdasarkan kesepakatan semua pihak dalam organisasi, sehingga dapat berfungsi dengan baik. 2. Tidak memuat hal-hal yang kurang berguna dan tidak mempunyai dampak nyata. 3. Direvisi sewaktu-waktu agar sesuai dengan perkembangan jaman. 4. Ditegakkan dengan seperangkat sanksi agar setiap permasalahan terselesaikan dengan baik. Kendala-Kendala Pelaksanaan Etika Bisnis Pelaksaaan prinsip-prinsip etika bisnis di Indonesia masih berhadapan dengan beberapa masalah dan kendala, yaitu : 1. Standar moral para pelaku bisnis pada umumnya masih lemah. Banyak yang menempuh jalan pintas, bahkan menghalalkan segala cara



untuk



memperoleh



keuntungan.



Misalnya



memalsukan



campuran, menjual barang sudah kadarluarsa, memanipulasi laporan



keuangan. Disamping itu tidak ada orang yang seratus persen bersih etis dan bermoral dalam seluruh tindakan. 2. Banyak perusahaan yang mengalami konflik kepentingan. Konflik ini muncul karena ketidaksesuaian antara nilai pribadi yang dianut dengan peraturan yang berlaku dan tujuan yang hendak dicapai. (konfilk antara deontologi dan teleology). 3. Situasi politik dan ekonomi yang belum stabil. Ketidakstabilan ini memungkinkan dilakukannya terobosan dan spekulasi untuk memanfaatkan peluang guna memperoleh keuntungan tanpa menghiraukan akibatnya. 4. Lemahnya mempersulit



penegakan hokum. Lemahnya upaya-upaya



untuk



penegakan hokum



memotivasi



pelaku



bisnis



menegakkan norma-norma etik. 5. Belum ada organisasi profesi bisnis dan manajemen yang khusus menangani masalah penegakan kode etik bisnis dan manajemen. Organisasi-organisasi profesi yang ada, secara khusus belum menangani penyusunan dan penegakan kode etik bisnis dan manajemen. Alasan Meningkatnya Perhatian Dunia Bisnis Terhadap Etika Leonard Brooks menyebut 6 (enam) alasan mengapa dunia bisnis akin meningkatkan perhatian terhadap etika bisnis (Rindjin, 2004:91), yaitu :



1. Krisis publik tentang kepercayaan. Pada umumnya, publik kurang percaya terhadap kredibilitas dan kontibusi perusahaan kepada masyarakat. Skandal demi skandal perusahaan telah terjadi, sehingga memudarkan kepercayaan publik. Dewasa ini makin banyak pimpinan puncak perusahaan merumuskan standar etika perusahaan untuk mengontrol perilaku yang curang dan memperbaiki daya saing. 2. Kepedulian terhadap kualitas kehidupan kerja Kekuatan pendorong kedua yang membangkitkan kesadaran terhadap etika bisnis adalah meningkatnya nilai-nilai masyarakat pada mutu kehidupan kerja atau quality of works life (QWL). Hal ini tampak pada fleksibilitas waktu kerja, penekanan pada kebugaran dan kesehatan, pengasuhan anak di perusahaan, dan lain-lain. Jadi terdapat titik temu antara kepentingan social pegawai dengan kebutuhan perusahaan. 3. Hukuman terhadap tindakan yang tidak etis Hukuman secara yuridis



dan ekonomis dikenakan pada



perusahaan-perusahaan yang melakukan tindakan illegal, seperti diskriminasi pekerjaan, pelangaran standar polusi, keamanan dan kesehatan kondisi kerja, dan lain-lain. Pemerintah di negaranegara maju telah menyatakan tekad untuk menegakkan hokum



guna melindungi lingkungan alam dan pegawai dari praktek manajemen yang sewenag-wenang. 4. Kekuatan kelompok pemerhati khusus Kelompok pemerhati khusus (Lembaga Swadaya MasyarakatLSM) senantiasa menjadikan korporasi yang mengancam kesejahteraan publik sebagai sasaran media massa. Lembaga perlindungan konsumen akan menyampaikan kritik yang bisa berdampak pada kepercayaan konsumen apabila ditemukan adanya penyimpangan yang dilakukan korporasi. 5. Peran media dan publisitas Publisitas melalui peningkatan perhatian media massa juga menjadi kepedulian korporasi dewasa ini. Media massa sebagai pihak berkepentingan sangat berpengaruh dalam mmbentuk opini publik tentang korporasi. Oleh karena itu, korporasi senantiasa membina hubungan dengan media massa dan responsif terhadap media massa. 6. Mengubah format organisasi dan etika perusahaan Bagi korporasi yang berkembang dengan jaringan usaha yang luas dan terpencar secara geografis, mempunyai aliansi, mitra usaha, pusat keuntungan yang independen, timbul masalah etis yang menyangkut operasional korporasi. Struktur organisasi,



hubungan tanggung jawab antar unit dan jaringan korporasi senantiasa perlu dikaji ulang dari sudut efisiensi, efektivitas, dan nilai-nilai pedoman aplikasinya tingkatan organisasi maupun individu.