Resume Cross Cultural Conflict and Adjustment [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

HAMBATAN-HAMBATAN DALAM KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA 1. ETNOSENTRISME Etnosentrisme didefinisikan sebagai kepercayaan pada superioritas inheren kelompok atau budayanya sendiri; etnosentrisme mungkin disertai rasa jijik pada orang-orang lain yang tidak sekelompok; etnosentrisme cenderung memandang rendah orang-orang lain yang tidak sekelompok dan dianggap asing; etnosentrisme memandang dan mengukur budaya-budaya asing dengan budayanya sendiri. (Mulyana:2000;70) Jelas sekali bahwa dengan kita bersikap etnosentrisme kita tidak dapat memandang perbedaan budaya itu sebagai keunikan dari masing-masing budaya yang patut kita hargai. Dengan memandang budaya kita sendiri lebih unggul dan budaya lainnya yang asing sebagai budaya ’yang salah’, maka komunikasi lintas budaya yang efektif hanyalah angan-angan karena kita akan cenderung lebih mebatasi komunikasi yang kita lakukan dan sebisa mungkin tidak terlibat dengan budaya asing yang berbeda atau bertentangan dengan budaya kita. Masing-masing budaya akan saling merendahkan yang lain dan membenarkan budaya diri sendiri, saling menolak, sehingga sangat potensial muncul konflik di antaranya. Contoh konflik yang sudah terjadi misalnya suku dayak dan suku madura yang sejak dulu terus terjadi. Kedua suku pedalaman itu masing-masing tidak mau saling menerima dan menghormati kebudayaan satu sama lain. Adanya anggapan bahwa budaya sendiri lah yang paling benar sementra yang lainnya salah dan tidak bermutu tidak hanya berwujud konfik namun sudah berbentuk pertikaian yang mengganas, keduanya sudah saling mmbunuh atar anggota budaya yang lain. Contoh lainnya, orang Indonesia cenderung menilai budaya barat sebagai budaya yang ’vulgar’ dan tidak tahu sopan santun. Budaya asli-budaya timur dinilai sebagai budaya yang paling unggul dan paling baik sehingga masyrakat kita cenderung membatasi pergaulan dengan orang barat. Orang takut jika terlalu banyak komunikasinya maka budaya asli akan tercemar—budaya barat sebagai polusi pencemar. 1. STEREOTIPE Kesulitan komunikasi akan muncul dari penstereotipan (stereotyping), yakni menggeneralisasikan orang-orang berdasarkan sedikit informasi dan membentuk asumsi orang-orang berdasarkan keanggotaan mereka dalam suatu kelompok. Dengan kata lain, penstereotipan adalah proses menempatkan orang-orang ke dalam kategori-kategori yang mapan, atau penilaian mengenai orang-orang atau objek-objek berdasarkan kategorikategori yang sesuai, ketimbang berdasarkan karakteristik individual mereka. Banyak definisi stereotype yang dikemukakan oleh para ahli, kalau boleh disimpulkan, stereotip adalah kategorisasi atas suatu kelompok secara serampangan dengan mengabaikan perbedaan-perbedaan individual. Kelimpik-kelompok ini mencakup : kelompok ras, kelompok etnik, kaum tua, berbagai pekerjaan profesi, atau orang dengan penampilan fisik tertentu. Stereotip tidak memandang individu-individu dalam kelompok tersebut sebagai orang atau individu yang unik. Contoh stereotip : Ø Laki-laki berpikir logis



Ø Wanita bersikap mental Ø Orang berkaca mata minus jenius Ø Orang batak kasar Ø Orang padang pelit Ø Orang jawa halus-pembawaan Menurut Baron dan Paulus ada beberapa faktor yang menyebabkan adanya stereotip. Pertama, sebagai manusia kita cenderung membagi dunia ini ke dalam dua kategori : kita dan mereka. Karena kita kekurangan informasi mengenai mereka, kita cenderung menyamaratakan mereka semua, dan mengangap mereka sebagai homogen. Kedua, stereotip tampaknya bersumber dari kecenderungan kita untuk melakukan kerja kognitif sedikit mungkin dalam berpikir mengenai orang lain. Dengan kata lain, stereotip menyebabkan persepsi selektif tentang orang-orang dan segala sesuatu disekitar kita. Stereotip dapat membuat informasi yang kita terima tidak akurat. Pada umumnya, stereotip bersifat negative. Stereotip tidak berbahaya sejauh kita simpan di kepala kita, namun akan bahaya bila diaktifkan dalam hubungan manusia. Stereotip dapat menghambat atau mengganggu komunikasi itu sendiri. Contoh dalam konteks komunikasi lintas budaya misalnya, kita melakukan persepsi stereotip terhadap orang padang bahwa orang padang itu pelit. Lewat stereotip itu, kita memperlakukan semua orang padang sebagai orang yang pelit tanpa memandang pribadi atau keunikan masing-masing individu. Orang padang yang kita perlakukan sebagai orang yang pelit mungkin akan tersinggung dan memungkinkan munculnya konflik. Atau misal stereotip terhadap orang batak bahwa mereka itu kasar. Dengan adanya persepsi itu, kita yang tidak suka terhadap orang yang kasar selalu berusaha menghindari komunikasi dengan orang batak sehingga komunikasi dengan orang batak tidak dapat berlangsung lancar dan efektif. Stereotip terhadap orang afrika-negro yang negatif menyebabkan mereka terbiasa diperlakukan sebagai kriminal. Contohnya, di Amerika bila seseorang (kulit putih) kebetulan berada satu tempat/ruang dengan orang negro mereka akan , secara refleks, melindungi tas atau barang mereka, karena menggangap orang negro tersebut adalah seorang pencuri. Namun, belakangan, stereotip terhadap orang negro sudah mulai berkurang terleih sejak presiden amerika saat ini juga keturunan negro. Orang Indonesia sendiri di mata dunia juga sering distereotipkan sebagai orang-orang ’anarkis’ , ’bodoh’, konservatif-primitif, dll. (Mulyana, 2008;237-243) 1. PRASANGKA Suatu kekeliruan persepsi terhadap orang yang berbeda adalah prasangka, suatu konsep yang sangat dekat dengan stereotip. Prasangka adalah sikap yang tidak adil terhadap seseorang atau suatu kelompok. Beberapa pakar cenderung menganggap bahwa stereotip itu identik dengan prasangka, seperti Donald Edgar dan Joe R. Fagi. Dapat dikatakan bahwa stereotip merupakan komponen kognitif (kepercayaan) dari prasangka, sedangkan prasangka juga berdimensi perilaku. Jadi, prasangka ini konsekuensi dari stereotip, dan lebih teramati daripada stereotip. Richard W. Brislin mendefinisikan prasangka sebagai sikap tidak adil, menyimpang atau tidak toleran terhadap sekelompok orang. Seperti juga stereotip, meskipun dapat positif atau negatif, prasangka umumnya bersifat negatif.



Prasangka ini bermacam-macam, yang populer adalah prasangka rasial, prasangka kesukuan, prasangka gender, dan prasangka agama. Prasangka mungkin dirasakan atau dinyatakan. Prasangka mungkin diarahkan pada suatu kelompok secara keseluruhan, atau seseorang karena ia anggota kelompok tersebut. Prasangka membatasi orang-orang pada peran-peran stereotipik. Misalnya pada prasangka rasial-rasisme semata-mata didasarkan pada ras dan pada prasangka gender-seksisme pada gendernya. Brislin menyatakan bahwa prasangka itu mencakup hal-hal berikut : memandang kelompok lain lebih rendah, sifat memusuhi kelompok lain, bersikap ramah pada kelompok lain pada saat tertentu, namun menjaga jarak pada saat lain; berperilaku yang dibenci kelompok lain seperti terlambat padahal mereka menghargai ketepatan waktu. Ini berarti bahwa hingga derajat tertentu kita sebenarnya berprasangka terhadap suatu kelompok. Jadi kita tidak dapat tidak berprasangka. Wujud prasangka yang nyata dan ekstrem adalah diskriminasi, yakni pembatasan atas peluang atau akses sekelompok orang terhadap sumber daya semata-mata karena keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut seperti ras, suku, gender, pekerjaan dan sebagainya. Contohnya diskriminasi terhadap orang negro yang ada di amerika. Prasangka dapat menghambat komunikasi. Oleh karena itu, orang-orang yang punya sedikit prasangka pun terhadap suatu kelompok yang berbeda tetap saja lebih suka berkomunikasi dengan orang-orang yang mirip dengan mereka karena interaksi demikian lebih meyenagkan daripada interaksi dengan orang tak dikenal. Ada beberapa contoh prasangka misalnya. orang Jepang kaku dan pekerja keras, orang Cina mata duitan, politikus itu penipu, wanita sebagai objek seks, dll. Prasangka mungkin tidak didukung dengan data yang memadai dan akurat sehingga komunikasi yang terjalin bisa macet karena berlandaskan persepsi yang keliru, yang pada gilirannya membuat orang lain juga salah mempersepsi kita. Cara yang terbaik untuk mengurangi prasangka adalah dengan meningkatkan kontak dengan mereka dan mengenal mereka lebih baik, meskipun kadang cara ini tidak berhasil dalam semua situasi. (Mulyana, 2008; 243-247) 1. RASIALISME Rasialisme adalah suatu penekanan pada ras atau menitikberatkan pertimbangan rasial. Kadang istilah ini merujuk pada suatu kepercayaan adanya dan pentingnya kategori rasial. Dalam ideologi separatis rasial, istilah ini digunakan untuk menekankan perbedaan sosial dan budaya antar ras. Walaupun istilah ini kadang digunakan sebagai kontras dari rasisme, istilah ini dapat juga digunakan sebagai sinonim rasisme. Jika istilah rasisme umumnya merujuk pada sifat individu dan diskriminasi institusional, rasialisme biasanya merujuk pada suatu gerakan sosial atau politik yang mendukung teori rasisme. Pendukung rasialisme menyatakan bahwa rasisme melambangkan supremasi rasial dan karenanya memiliki maksud buruk, sedangkan rasialisme menunjukkan suatu ketertarikan kuat pada isu-isu ras tanpa konotasi-konotasi tersebut. Para rasialis menyatakan bahwa fokus mereka adalah pada kebanggaan ras, identitas politik, atau segregasi rasial. Dalam website-online free dictionary, racialism didefinisikan sebagai perlakuan diskriminatif atau semena-mena yang diberikan kepada anggota suatu kelompok ras tertentu. Diskriminasi berupa perlakuan tidak adil seseorang atau suatu kelompok berdasarkan prasangka.



”racialism – discriminatory or abusive behavior towards members of another race “ http://en.wikipedia.org/wiki/Racialism http://www.thefreedictionary.com/racialism Rasialisme di sini menjadi sangat berbahaya karena selain menghambat keefektifan komunikasi antar budaya—antar ras yang berbeda, rasialisme dapat menjadi pemicu pertikaian antar ras, di mana konflik yang terjadi akan sulit sekali untuk didamaikan dan berlangsung lama. Contoh konflik akibat rasialisme yang pernah terjadi dan terkenal di Indonesia adalah konflik- rasialisme anti-Tionghoa, di mana di Indonesia pernah terjadi pembantaian besar-besaran terhadap ras Tionghoa yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Butuh perjuangan yang panjang agar ras Tionghoa diterima dan diakuidihargai keberadaannya.



Komunikasi



Lintas



(Antar)



Budaya



Komunikasi



Lintas



(Antar)



Budaya



Tema pokok yang sangat membedakan studi komunikasi antar budaya dari studi komunikasi lainnya ialah derajat perbedaan, latarbelakang, pengalaman yang relatif besar antara para komunikator, yang disebabkan oleh perbedaan-perbedaan kebudayaan. Sebagai asumsi dasar adalah bahwa di antara individu-individu dengan kebudayaan yang sama umumnya terdapat kesamaan (homogenitas) yang lebih besar dalam hal latar belakang pengalaman secara keseluruhan dibandingkan dengan mereka yang berasal dari kebudayaan berlainan. Perbedaan-perbedaan kebudayaan antara para pelaku komunikasi ini serta perbedaan lainnya, spserti kepribadian individu, umur, penampilan fisik, menjadi permasalahan inheren dalam proses komunikasi manusia. Dengan sifatnya yang demikian, komunikasi antar budaya dianggap sebagai perluasan dari bidang-bidang studi komunikasi manusia, seperti komunikasi antarpribadi, komunikasi organisasi dan komunikasi massa. Ada beberapa alasan mengapa perlunya komunikasi antar budaya, antara lain: a) membuka diri memperluas pergaulan; b) meningkatkan kesadaran diri; c) etika/etis; d) mendorong perdamaian dan meredam konflik; Komunikasi antar budaya menurut Samovar dan Porter merupakan komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaannya, misalnya suku bangsa, etnik, dan ras, atau kelas sosial. Komunikasi antar budaya ini dapat dilakukan dengan negosiasi, pertukaran simbol, sebagai pembimbing perilaku budaya, untuk menujukkan fungsi sebuah kelompok. Dengan pemahaman mengenai komunikasi antar budaya dan bagaimana komunikasi dapat dilakukan, maka kita dapat melihat bagaimana komunikasi dapat mewujudkan perdamaian dan meredam konflik di tengah-tengah masyarakat. Dengan komunikasi yang intens kita dapat memahami akar permasalahan sebuah konflik, membatasi dan mengurangi kesalahpahaman, komunikasi dapat mengurangi eskalasi konflik sosial. Menurut Charles E Snare bahwa usaha meredam konflik dan mendorong terciptanya perdamaian tergantung bagaimana cara kita mendefinisikan situasi orang lain agar kita dapat mencapai perdamaian dan kerjasama.Jadi jelas dengan mempelajari komunikasi antar budaya berarti kita mempelajari (termasuk membanding) kebiasaan-kebiasaan setiap etnis, adat, agama, geografis dan kelas sosial di masyarakat kita. Dengan pemahaman tersebut kita mengkomunikasikan perbedaan-perbedaan tersebut dengan komunikasi antar budaya, guna



menyelesaikan konflik melalui dialog yang baik antara lain dengan identifikasi perspektif budaya. HAMBATAN-HAMBATAN DALAM KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA 1. ETNOSENTRISME Etnosentrisme didefinisikan sebagai kepercayaan pada superioritas inheren kelompok atau budayanya sendiri; etnosentrisme mungkin disertai rasa jijik pada orang-orang lain yang tidak sekelompok; etnosentrisme cenderung memandang rendah orang-orang lain yang tidak sekelompok dan dianggap asing; etnosentrisme memandang dan mengukur budaya-budaya asing dengan budayanya sendiri. (Mulyana:2000;70) Jelas sekali bahwa dengan kita bersikap etnosentrisme kita tidak dapat memandang perbedaan budaya itu sebagai keunikan dari masing-masing budaya yang patut kita hargai. Dengan memandang budaya kita sendiri lebih unggul dan budaya lainnya yang asing sebagai budaya ’yang salah’, maka komunikasi lintas budaya yang efektif hanyalah angan-angan karena kita akan cenderung lebih mebatasi komunikasi yang kita lakukan dan sebisa mungkin tidak terlibat dengan budaya asing yang berbeda atau bertentangan dengan budaya kita. Masing-masing budaya akan saling merendahkan yang lain dan membenarkan budaya diri sendiri, saling menolak, sehingga sangat potensial muncul konflik di antaranya. Contoh konflik yang sudah terjadi misalnya suku dayak dan suku madura yang sejak dulu terus terjadi. Kedua suku pedalaman itu masing-masing tidak mau saling menerima dan menghormati kebudayaan satu sama lain. Adanya anggapan bahwa budaya sendiri lah yang paling benar sementra yang lainnya salah dan tidak bermutu tidak hanya berwujud konfik namun sudah berbentuk pertikaian yang mengganas, keduanya sudah saling mmbunuh atar anggota budaya yang lain. Contoh lainnya, orang Indonesia cenderung menilai budaya barat sebagai budaya yang ’vulgar’ dan tidak tahu sopan santun. Budaya asli-budaya timur dinilai sebagai budaya yang paling unggul dan paling baik sehingga masyrakat kita cenderung membatasi pergaulan dengan orang barat. Orang takut jika terlalu banyak komunikasinya maka budaya asli akan tercemar—budaya barat sebagai polusi pencemar. 2. RASIALISME Rasialisme adalah suatu penekanan pada ras atau menitikberatkan pertimbangan rasial. Kadang istilah ini merujuk pada suatu kepercayaan adanya dan pentingnya kategori rasial. Dalam ideologi separatis rasial, istilah ini digunakan untuk menekankan perbedaan sosial dan budaya antar ras. Walaupun istilah ini kadang digunakan sebagai kontras dari rasisme, istilah ini dapat juga digunakan sebagai sinonim rasisme. Jika istilah rasisme umumnya merujuk pada sifat individu dan diskriminasi institusional, rasialisme biasanya merujuk pada suatu gerakan sosial atau politik yang mendukung teori rasisme. Pendukung rasialisme menyatakan bahwa rasisme melambangkan supremasi rasial dan karenanya memiliki maksud buruk, sedangkan rasialisme menunjukkan suatu ketertarikan kuat pada isu-isu ras tanpa konotasikonotasi tersebut. Para rasialis menyatakan bahwa fokus mereka adalah pada kebanggaan ras, Rasialisme di sini menjadi sangat berbahaya karena selain menghambat keefektifan komunikasi antar budaya—antar ras yang berbeda, rasialisme dapat menjadi pemicu pertikaian antar ras, di mana konflik yang terjadi akan sulit sekali untuk didamaikan dan berlangsung lama. Contoh konflik akibat rasialisme yang pernah terjadi dan terkenal di Indonesia adalah konflik- rasialisme anti-Tionghoa, di mana di Indonesia pernah terjadi pembantaian besar-besaran terhadap ras Tionghoa yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Butuh perjuangan yang panjang agar ras Tionghoa diterima dan diakui-dihargai keberadaannya.



AnneAhira.com



Sosial & Budaya



Sosial



Konflik Sosial



Konflik Antarbudaya di Indonesia dan Luar Negeri



Ilustrasi contoh konflik antar budaya



Saat ini pemberitaan di berbagai media banyak menceritakan kabar tentang peperangan yang ada di kawasan Timur Tengah. Sementara di Indonesia selain masalah korupsi dan politik, berita lain yang juga sering menjadi perhatian adalah konfik budaya. Tanpa melihat mana yang benar dan mana yang salah, banyak contoh konflik antar budaya yang dapat menimbulkan ketegangan hubungan sesama manusia. Contoh Konflik Antarbudaya Luar Negeri Salah satu contoh konflik antar budaya di luar negeri yang paling sering terjadi berada di wilyah Timur Tengah khususnya Israel dan Palestina. Banyak yang menyatakan jika pertempuran yang terjadi antara Israel dan Palestina merupakan peperangan untuk memperebutkan daerah serta mempertahankan kedaulatan negara. Namun sebenarnya jika diamati secara lebih seksama, masalah ini juga bisa dikatakan sebagai salah satu contoh konflik antarbudaya juga. Karena sumber dari peperangan yang terjadi selama ini salah satunya adalah faktor sejarah. Orang Israel berpendapat jika tanah sengketa itu adalah milik nenek moyang mereka. Sementara bangsa Palestinaa juga menganggap apabila wilayah itu merupakan hak bagi rakyatnya. Jadi, meski gencatan senjata sudah berulang kali dilakukan, tapi jika sumber dari masalah ini tidak diselesaikan, maka konflik akan terus terjadi. Selain itu konflik di daerah Timur Tengah ini juga dipengaruhi oleh satu pandangan budaya yang berbeda. Palestina mendapatkan dukungan dari negara-negara Arab yang pada umumnya masih menerapkan sifat antidemokrasi atau otoriter. Pemimpin atau raja bisa jadi sumber dari segala sumber hukum. Apa saja yang dikatakan atau diperbuat raja, maka rakyat harus menurutinya. Sementara itu Israel mendapatkan dukungan yang lebih besar dari Amerika serta negaranegara barat lainnya. Pada umumnya mereka lebih suka menerapkan demokrasi liberal di mana suara terbanyak dijadikan sebagai produk hukum dan undang-undang. Selain itu, mereka lebih senang serta menghargai hak-hak individu dan kebebasan untuk melakukan apa saja sepanjang tidak mengganggu urusan orang lain. Dunia yang terus mengalami perkembangan dan kemajuan menganggap jika budaya yang masih terjadi di negara-negara Arab adalah budaya kuno sehingga harus ditinggalkan secepatnya dan diganti dengan budaya baru. Yang dimaksud dengan budaya baru adalah budaya demokrasi dan liberal yang sekarang diterapkan di Amerika dan negara-negara Barat tersebut. Hal inilah yang menjadikan konflik di Timur Tengah seakan tidak pernah ada akhirnya. Menghormati Budaya Masing-Masing Agar konflik dan peperangan yang terjadi di Timur Tengah ini bisa berhenti, salah satu cara yang bisa ditempuh adalah mau memahami dan menghormati budaya masing-masing. Namun selain itu juga harus mau memahami jika budaya itu akan selalu berkembang dan terus mengalami perubahan. Contohnya di Timur Tengah yang masih menganut paham otoriter dan kekuasaan absolut berada di tangan raja, sebaiknya mulai melalukan perubahan meski tidak perlu secara radikal.



Raja tetap bisa menjadi penguasa tunggal namun kekuasaannya harus mendapat kontrol dari majelis atau dewan khusus. Sehingga jika raja atau penguasa melakukan kesalahan tetap bisa mendapatkan peringatan dari para anggota dewan tersebut. Atau bisa juga raja dijadikan sebagai simbol persatuan negara sementara kepala pemerintahan dipilih oleh rakyat atau orang maupun lembaga yang dianggap mampu mewakili kepentingan mereka. Mungkin hal ini jika diterapkan secara cepat bisa menimbulkan konflik baru, terutama dari para raja dan penguasa yang tidak mau kehilangan kekuasaannya. Tapi jika mereka mau berpikir jernih demi kehidupan untuk masa depan yang lebih baik, sudah sepantasnya apabila penguasa tersebut mau berbesar hati untuk berbagi kekuasaan dengan pihak lain agar proses pengontrolan terhadap sistem penyelenggaraan negara bisa berjalan lebih baik dan bisa memuaskan semua pihak. Rakyat bisa terpenuhi keinginannya sementara penguasa dan raja tetap tidak kehilangan kehormatannya. Sementara itu untuk bangsa Amerika dan negara-negara barat lainnya, meski punya pandangan yang berbeda, tapi tetap harus mau menghormati budaya negara lain khususnya Timur Tengah. Boleh saja mereka mengembangkan ideologi demokrasi di wilayah tersebut. Tapi perlu disadari tidak semua pemikiran mereka bisa diterapkan dengan baik di daerah atau wilayah lain. Apalagi mengingat sebelum mempraktekan paham demokrasi, beberapa abad yang lalu negara-negara barat juga masih menerapkan sistem kekuasaan absolut di tangan raja. Barulah setelah terjadi revolusi, mereka merubah paham tersebut secara radikal. Kekuasaan raja dibatasi bahkan ada yang menghilangkannya sama sekali. Untuk saat ini perubahan secara radikal belum bisa diterapkan di negara-negara Arab atau Timur Tengah. Sebaiknya perubahan dilakukan secara satu langkah demi satu langkah sehingga pada suatu saat nanti akan tercipta suatu sistem pemerintahan yang lebih adil dan bijaksana di mana raja atau penguasa bisa berbagi kekuasaan dengan orang atau lembaga lain. Contoh Konflik Antarbudaya di Indonesia Di negeri sendiri yaitu Indonesia, salah satu contoh konflik antarbudaya yang hingga saat ini masih sering terjadi adalah hubungan antara Indonesia sendiri dengan Malaysia. Banyak cabang seni yang merupakan hasil karya dari bangsa Indonesia namun dinyatakan sebagai milik bangsa Malaysia. Misalnya lagu daerah yang berjudul Rasa Sayange. Bahkan negara jiran tersebut sudah berani menantang negeri kita untuk membuktikan jika lagi tersebut memang milik Indonesia. Kemudian, ada lagi seni pembuatan batik yang juga diklaim oleh mereka. Padahal selama ini dunia sudah mengakui jika batik adalah milik Indonesia. Bahkan PBB melalui salah satu lembaganya yaitu UNESCO sudah menegaskan hal tersebut. Selain lagu Rasa Sayange dan batik, beberapa seni dan budaya lain yang pernah diklaim oleh Malaysia antara lain adalah tari Pendet dari Bali, Reog dari Ponorogo, seni angklung dari Jawa Barat dan sebagainya. Namun sayang sekali klaim dari Malaysia tersebut tidak dipersoalkan oleh pemerintah. Mereka menyatakan jika antara bangsa Indonesia dan Malaysia memang punya banyak



kesamaan dan pada jaman dulu orang Indonesia yang bertempat tinggal maupun menetap di Malaysia sudah membagi ilmunya pada penduduk setempat. Perlu dipahami bahwa budaya adalah salah satu kebanggaan dan simbol harga diri suatu bangsa. Maka jika budaya tersebut dinyatakan sebagai budaya bangsa lain sudah sepantasnya kita harus berani menyatakan jika perbuatan tersebut merupakan suatu kesalahan besar. Untuk negara Malaysia, boleh saja menggunakan budaya bangsa lain termasuk Indonesia untuk berbagai macam kepentingan. Namun mereka dilarang keras untuk mengklaim atau menyatakan jika budaya tersebut adalah hasil karya mereka sendiri. Contohnya adalah seni barongsai. Kesenian ini sebenarnya berasal dari negara China. Namun di beberapa negara lain, termasuk Indonesia, tetap bisa berkembang dan menjadi salah satu bagian dari budaya negeri ini. Namun Indonesia tidak pernah mau mengakui jika barongsai adalah milik bangsa ini sendiri. Sebaiknya Malaysia harus mau meniru atau mencontoh tindakan seperti itu serta tidak melakukan praktek-praktek yang membuat hubungan kedua negara jadi tegang dan terus memanas. Apabila mau menghormati kedaulatan dan hak-hak masing-masing negara, sebenarnya beberapa contoh konflik antarbudaya tersebut tidak perlu terjadi. Jika ingin menggunakan budaya milik bangsa lain harus tetap menyatakan jika dirinya bukan pencipta atau pemilik budaya tersebut tapi hanya menjadikannya sebagai suatu pengembangan atas budaya yang menjadi milik sendiri.



Gagap Budaya (Culture Shock) BAB I PENDAHULUAN



1.1.



LATAR BELAKANG



Gagap budaya merupakan fenomena yang akan dialami oleh setiap orang yang melintasi dari suatu budaya ke budaya lain sebagai reaksi ketika berpindah dan hidup dengan orang-orang yang berbeda pakaian, rasa, nilai, bahkan bahasa dengan yang dipunyai oleh orang tersebut (Littlejohn, 2004; Kingsley and Dakhari, 2006; Balmer, 2009). Gagap budaya adalah fenomena yang wajar ketika orang bertamu atau mengunjungi budaya yang baru. Orang yang mengalami Gagap budaya berada dalam kondisi tidak nyaman baik secara fisik maupun emosional. Gagap budaya banyak ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu yang sering ditemui adalah gagap budaya dalam berpakaian. Orang sering berpakaian tidak sesuai dengan tempat, situasi dan suasana yang sebenarnya. Misalnya saja gaya pakaian kuliah mahasiswa dan mahasiswi yang baru memasuki universitas, mereka biasanya bingung mengenakan pakaian



yang sesuai dengan dunianya sekarang. Selain itu, gagap budaya juga dialami pada kalangan artis, mereka sering kali mengenakan pakaian dan aksesoris yang berlebihan sehingga tidak sesuai dengan situasi tersebut. 1.2.



RUMUSAN MASALAH



a) Apakah yang dimaksud dengan gagap budaya? b) Apakah efek-efek gagap budaya? c) Apa saja contoh-contoh gagap budaya dalam berpenampilan yang sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari? d) Bagaimana pandangan psikologis terhadap gagap budaya tersebut? e)



Bagaimana cara menanggulangi gagap budaya tersebut?



1.3. TUJUAN PENULISAN a)



Untuk mengetahui pengertian dari gagap budaya.



b) Untuk mengetahui dan menganalisis contoh-contoh fenomena gagap budaya dalam berpakaian yang ditemui dalam kehidupan sehari. c)



1.4.



Untuk mengetahui pandangan psikologis terhadap fenomena gagap budaya tersebut.



MANFAAT PENULISAN



Dapat dijadikan panduan atau bahan bacaan oleh mahasiswa baru yang akan berpindah dari lingkungan sekolah menengah yang lama ke lingkungan universitas yang baru.



BAB II PEMBAHASAN



2.1.



DEFINISI KEBUDAYAAN



Kata “kebudayaan” berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, ialah bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Definisi kebudayaan ialah cara berpikir dan cara merasa, yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan sekelompok manusia, yang membentuk kesatuan sosial dalam suatu ruang dan waktu. Cara berpikir dan cara merasa itu menyatakan diri dalam cara berlaku dan cara berbuat. Dengan demikian definisi itu dapat dipersingkat sebagai berikut: cara berlaku atau berbuat dalam kehidupan, atau dapat disingkat lagi menjadi “cara hidup” (Inggris: way of life). Jadi kebudayaan meliputi seluruh kehidupan manusia. 2.2.



DEFINISI GAGAP BUDAYA



Istilah gagap budaya pertama kali diperkenalkan oleh antropologis bernama Oberg. Menurutnya, culture shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap yang muncul dari kehilangan semua lambang dan symbol yang familiar dalam hubungan social, termasuk di dalamnya seribu satu cara yang mengarahkan kita dalam situasi keseharian, misalnya: bagaimana untuk memberi perintah, bagaimana membeli sesuatu, kapan dan di mana kita tidak perlu merespon (Mulyana, 2008). Banyak definisi dari para ahli tentang gagap budaya, namun pada initinya, jika kami menyimpulkan, gagap budaya adalah kondisi kecemasan yang dialami seseorang dalam rangka penyesuaiannya dalam lingkungan yang baru di mana nilai budaya yang ada tidak sesuai dengan nilai budaya yang dimilikinya sejak lama. Deddy Mulyana lebih mendasarkan gagap budaya sebagai benturan persepsi yang diakibatkan penggunaan pesepsi berdasarkan faktor-faktor internal (nilai-nilai budaya) yang telah dipelajari orang yang bersangkutan dalam lingkungan baru yang nilai-nilai budayanya berbeda dan belum ia pahami. Lingkungan baru dapat merujuk pada agama baru, sekolah baru, lingkungan kerja baru, dsb. 2.3.



FAKTOR PENYEBAB MUNCULNYA GAGAP BUDAYA



Lin (2007) menemukan dalam penelitiannya terhadap anggota Organisasi Komunitas Mahasiswa Cina di Amerika, bahwa fenomena gagap budaya bersifat kontekstual dan dialami dengan berbeda-beda dari generasi ke generasi berikutnya. Artinya, faktor yang mendorong bagaimana munculnya gagap budaya juga akan sangat spesifik tergantung pada di daerah mana individu tersebut berasal, di daerah mana individu berada, serta pada tahun atau masa seperti apa, akan sangat bervariasi. 1.



Individu mengalami ketidakmampuan menyesuaikan diri karena mereka menggunakan standar kulturnya sendiri untuk menilai, menginterpretasikan dan berperilaku dalam lingkungan yang baru (Triandis dalam Chapdelaine, 2004). Hal inilah yang membuat penyesuaian dirinya menjadi tidak efektif karena perbedaan cara menginterpretasikan suatu kejadian bisa menimbulkan kesalahpahaman di sana sini.



1.



Ketidakmampuan adaptasi terjadi karena individu tidak memahami sistem “hadiah dan hukuman” yang berlaku di kultur yang baru, dimana sistim hadiah dan hukuman ini bisa saja tergambar dalam perilaku verbal maupun nonverbal dalam kultur tersebut.



1.



Gagap budaya terjadi karena mereka tidak dapat lagi menggunakan referensireferensi/nilai-nilai kulturnya untuk memvalidasi aspek penting kepribadiannya. Misalnya bila di kultur asalnya ia meyakini dirinya adalah anak baik-baik karena tidak pernah minum-minuman di bar, tidak melakukan seks bebas dengan lawan jenis,dll. Tetapi di lingkungan yang baru, ia tidak dapat menggunakan standar “anak baik” sebagaimana yang digunakan di kultur asalnya.



Di tempat yang baru, kondisi ini justru membuatnya dicap sebagai “anak ketinggalan jaman, kuno dan kolot”. Dalam proses inilah seringkali individu mempertanyakan kembali keyakinan-keyakinan yang dulu pernah dimilikinya, bahkan mempertanyakan kembali konsep dirinya yang sebelumnya diyakini selama ini.



2.4.



TINGKAT-TINGKAT GAGAP BUDAYA



Meskipun ada berbagai variasi reqaksi terhadap culture hock, dan perbedaan jangka waktu penyesuaian diri, Samovar, (2000) menyatakan bahwa orang biasanya melewati 4 tingkatan culture shock. Keempat tingkatan ini dapat digambarkan dalam bentuk kurva u, sehingga disebut u-curve. 1. 1. Fase optimistis, fase pertama yang digambarkan berada pada bagian kiri atas dari kurva U. Fase ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan euphoria sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru. 2. 2. Masalah kultural, fase kedua di mana masalah dengan lingkungan baru mulai berkembang, misalnya karena kesulitan bahasa, system lalu lintas baru, sekolah baru, dll. Fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan. Ini adalah periode krisis daalm culture shock. Orang menjadi bingung dan tercengan dengan sekitarnya, dan dapat menjadi frustasi dan mudah tersinggung, bersikap permusuhan, mudah marah, tidak sabaran, dan bahkan menjadi tidak kompeten. 3. 3. Fase recovery, fase ketiga dimana orang mulai mengerti mengenai budaya barunya. Pada tahap ini, orang secara bertahap membuat penyesuaian dan perubahan dalam caranya menanggulangi budaya baru. Orang-orang dan peristiwa dalam lingkungan baru mulai dapat terprediksi dan tidak terlalu menekan.



4. 4. Fase penyesuaian, fase terakhir, pada puncak kanan U, orang telah mengerti elemen kunci dari budaya barunya (nilai-nilai, adapt khusus, pola keomunikasi, keyakinan, dll). Kemampuan untuk hidup dalam 2 budaya yang berbeda, biasanya juga disertai dengan rasa puas dan menikmati. Namun beberapa hali menyatakan bahwa, untuk dapat hidup dalam 2 budaya tersebut, seseorang akan perlu beradaptasi kembali dengan budayanya terdahulu, dan memunculkan gagasan tentang W curve, yaitu gabungan dari 2 U-curve. Pada saat seseorang memasuki kultur yang baru, ada beberapa tahap yang biasanya dialami individu tersebut sehubungan dengan culture shock (Oberg dalam Irwin, 2007; Guanipa, 1998). Tahap-tahap ini dikenal dengan istilah U-Shape, Yaitu:



1. 1.



Tahap Honey moon/ Euphoria/ Fun



Ini adalah saat pertama kali individu datang ke tempat yang baru, biasanya berlangsung sekitar beberapa hari sampai beberapa bulan. Pada masa ini individu masih terpesona dengan segala sesuatu yang baru. Periode ini ditandai dengan perasaan bersemangat, antusias, terhadap kultur baru dan orang-orangnya. Pada masa ini perbedaan-perbedaan budaya masih dianggap sebagai sesuatu yang menarik dan menyenangkan. 2. Tahap Krisis yaitu: agresif/regresi/Flight Pada tahap berikutnya, individu seringkali dihadapkan pada berbagai macam perbedaan budaya yang ternyata dapat memicu persoalan-persoalan yang belum pernah dihadapinya sebelumnya. Persoalan-persoalan yang nyata ini biasanya menimbulkan perasaan agresif, marah pada kultur barunya karena dianggapnya aneh, tidak masuk akal. 3. Proses Adjustment Bila individu bertahan di dalam krisis, maka individu akan masuk pada tahap ketiga. Tahap ini terjadi apabila individu mulai bersedia untuk belajar kultur baru. Pada periode ini, individu mulai memahami berbagai perbedaan norma dan nilai-nilai antara kultur aslinya dan kultur baru yang saat ini dimasukinya. Ia mungkin mulai paham bagaimana cara menggunakan teknologi yang baru, telah mulai menemukan makanan yang lebih cocok dengan lidah dan perutnya, serta mengatasi iklim yang berbeda dll. Ia mulai menemukan arah untuk perilakunya, dan bisa memandang peristiwa-peristiwa di tempat barunya dengan rasa humor.



Adler (1975) mengelaborasi konsep ini seperti dikembangkan dalam Furnham dan Bochner (1986), bahwa pertama-tama individu mengalami perasaan terisolasi dari kulturnya yang lama. Dan proses disintegrasi terjadi saat individu semakin sadar adanya berbagai perbedaan antara kultur lama dan kultur baru yang diikuti dengan penolakan terhadap kultur baru.



Namun demikian, hal ini akan diikuti oleh integrasi dari kultur baru dan saat ia mulai menguasai bahasa setempat, ia semakin mampu menegosiasikan kebutuhannya sehingga tumbuh perasaan otonomi dalam dirinya. Dan akhirnya ia mencapai tahap kemandirian, dimana ia mampu menciptakan makna dari berbagai situasinya, dan perbedaan yang ada akhirnya bisa dinikmati dan diterima. 4. Fit/Integration Periode berikutnya terjadi apabila individu mulai menyadari bahwa kultur barunya punya hal yang baik maupun hal yang buruk, dimana ia harus menyikapi dengan tepat. Pada masa ini akan terjadi proses integrasi dari hal-hal baru yang telah dipelajarinya dari kultur baru, dengan hal-hal lama yang selama ini dia miliki, sehingga muncul perasaan memiliki. Ini memungkinkan munculnya definisi baru mengenai dirinya sendiri. 5. Re-entry shock Tahap terakhir ini dapat muncul pada saat individu kembali ke negri asalnya. Individu mungkin menemukan bahwa cara pandangnya terhadap banyak hal tidak lagi sama seperti dulu. Dan pada masa inipun membutuhkan kembali penyesuaian terhadap kulturnya yang lama sebagaimana ia dulu memasuki kultur yang baru. Dalam penelitian Gaw (2000) ditemukan bahwa individu yang kembali ke dalam negrinya dan mengalami re-entry culture shock yang tinggi akan menunjukkan adanya masalah dalam penyesuaian diri dan mengalami masalah rasa malu dibandingkan mereka yang mengalami re-entry gagap budaya yang rendah. Masing-masing tahap bukan berarti selalu dijalani secara urut ke jenjang berikutnya. Sangat mungkin bahwa individu yang telah memasuki jenjang berikutnya masih kembali mengalami jenjang sebelumnya ketika dihadapkan pada persoalan baru dalam penyesuaian dirinya. 2.5. GEJALA-GEJALA GAGAP BUDAYA Gejala munculnya gagap budaya bisa berbeda-beda antara satu orang dengan yang lain. Namun ada beberapa symptom yang biasanya ditunjukkan individu saat mengalami culture shock, yaitu antara lain: v Perasaan sedih, kesepian, melankolis, merasa frustasi, kemarahan, kecemasan, disorientasi. v Menjadi lebih kuatir tentang kesehatan. Pada orang-orang yang datang dari negara yang lebih maju, biasanya menjadi lebih sensitive terhadap masalah kebersihan di tempat yang baru. Tidak bersedia makan atau minum dari makanan setempat, karena ketakutan akan berbagai penyakit dan sangat kuatir akan kehigienisan makanan dan penduduk setempat. v Menderita rasa sakit di berbagai areal tubuh, muncul berbagai alergi, serta gangguangangguan kesehatan lainnya, seperti diare, maag, sakit kepala dll.



v Adanya perubahan temperamen, rasa depresi, merasa diri lemah dan rapuh, merasa tidak berdaya. v Perasaan marah, mudah tersinggung, penyesalan, tidak bersedia untuk berinteraksi dengan orang lain. v Selalu membanding-bandingkan kultur asalnya, mengidolakan kultur asal secara berlebihan. v Kehilangan identitas, mempertanyakan kembali identitas diri yang selama ini diyakininya. Misalnya, sebelumnya meyakini bahwa dirinya adalah orang yang cerdas, tiba-tiba kini merasa menjadi orang yang paling bodoh, aneh, tidak menarik dll. v Mencoba terlalu keras untuk menyerap segala sesuatu yang ada di lingkungan barunya (karena rasa cemas ingin menguasai/memahami lingkungannya) yang justru bisa menimbulkan perasaan kewalahan. v Tidak mampu memecahkan masalah sederhana. v Kehilangan kepercayaan diri.



Secara singkat, Irwin (2007) menyebutkan bahwa segala bentuk distress mental maupun fisik yang dialami di lokasi asing disebut sebagai gejala gagap budaya. 2.6. REAKSI PADA GAGAP BUDAYA Reaksi terhadap gagap budaya bervariasi antara 1 individu dengan individu lainnya, dan dapat muncul pada waktu yang berbeda. Reasi-reaksi yang mungkin terjadi, antara lain: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.



Antagonis/ memusuhi terhadap lingkungan baru. Rasa kehilangan arah. Rasa penolakan. Gangguan lambung dan sakit kepala. Homesick/ rindu pada rumah/ lingkungan lama. Rindu pada teman dan keluarga. Merasa kehilangan status dan pengaruh. Menarik diri. menganggap orang-orang dalam budaya tuan rumah tidak peka.



2.7. CONTOH-CONTOH GAGAP BUDAYA Berdasarkan hasil pengamatan mengenai gagap budaya dalam kehidupan sehari-hari, kami menemukan beberapa contoh gagap budaya dalam berpakaian di kehidupan sehari-hari. 1. 1. Gaya berpenampilan mahasiswa dan mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat.



1. 2.



Gaya berpakaian saat jogging.



1. 3.



Gaya berpenampilan para artis ibukota



2.8 EFEK-EFEK YANG DITIMBULKAN OLEH GAGAP BUDAYA



          



Menimbulkan kecemasan Pemicu awal stress Bisa menimbulkan penyakit fisik Meningkatnya perasaan iritasi dan frustasi Nafsu makan berkurang atau kebalikannya Takut kontak fisik dengan pribadi lain Kurang tidur atau kebalikannya Perasaan sakit yang tidak jelas sebabnya Tatapan mata yang kosong Perasaan tidak berdaya dan ingin terus bergantung pada penduduk sebangsanya Cepat marah



2.9.



PANDANGAN PSIKOLOGIS TERHADAP GAGAP BUDAYA



v Pendekatan sosiopsikologis. Pada pendekatan ini, meliputi: 1. Penyesuaian psikologis/afektif : ketidaksamaan kultur antara kultur asal dan kultur di tempat baru menimbulkan perasaan asing, perasaan kesepian, rasa keterhilangan di tempat yang baru bagi dirinya. 2. Penyesuaian sosial : Dalam hal ini, gagap budaya terjadi karena individu tidak memiliki pemahaman budaya yang cukup untuk ia dapat berinteraksi dengan baik dengan warga lingkungan baru. Individu juga memiliki identitas kultur yang begitu besar sehingga menyulitkannya untuk beradaptasi dengan kultur yang baru.



2.10.



CARA MENGATASI GAGAP BUDAYA



Gagap budaya tidak dapat dihindari. Semakin berbeda budayanya makin makin parah efek yang ditimbulkan. Sebagai pemicu awal dari timbulnya stress, gagap budaya bersifat spesisfik pada tiap orang. Untuk itu, cara mengatasinya pun berbeda-beda disesuaikan dengan karakteristik individu masing-masing. Gagap budaya umumnya dapat diatasi atau dikelola dengan berusaha tidak terjebak dalam emosi-emosi negative tersebut. Sibukkan diri dengan berbagai kegiatan sosial yang melibatkan orang banyak. Bisa juga dengan memiliki kenalan orang setempat. Akan lebih baik lagi jika kenalan itu dapat menjadi sahabat. Tak hanya sekedar teman. Dengan ikatana emosi yang kuat hasil dari persahabatan, terbukti manjur mengikis rasa terasing atau perasaan sendiri di ‘negeri orang’. Gagap budaya juga bisa dikurangi jika kita mempelajari lebih dalam tentang budaya setempat.



BAB III PENUTUP



3.1.



KESIMPULAN



Gegar budaya adalah kondisi kecemasan yang dialami seseorang dalam rangka penyesuaiannya dalam lingkungan yang baru di mana nilai budaya yang ada tidak sesuai dengan nilai budaya yang dimilikinya sejak lama. Pengalaman gagap budaya ini sebenarnya dianggap hal yang wajar yang banyak dialami oleh individu yang berada dalam lingkungan yang baru (Guanipa, 1998). Hanya saja, tingkat gangguan yang dialami oleh individu tersebut bisa berbeda dari satu orang ke orang yang lain, tergantung dari beberapa faktor yang ada dalam diri individu tersebut. Tahap terjadinya gagap budaya, yaitu: Tahap Honey moon/ Euphoria/ Fun; Tahap Krisis; agresif/ regresi/Flight; Proses Adjustment; Fit/Integration; Re-entry shock. 3.2.



SARAN



Seiring dengan issue globalisasi baik di bidang pendidikan maupun di bidang tenaga kerja, yang mengharuskan individu untuk berinteraksi dengan budaya yang berbeda, issue mengenai gagap budaya tampaknya perlu dipandang dengan lebih serius daripada sebelumnya. Kalau tidak, dikawatirkan gangguan yang dialami karena gagap budaya bisa menjadi ancaman bagi kesehatan jiwa banyak masyarakat di dunia yang semakin sering melakukan aktifitas lintas budaya. Usaha untuk mengatasi gagap budaya, akhirnya tidak hanya harus dilakukan individu secara perseorangan, tetapi juga perlu ditangani secara professional dan serius oleh instansi atau lembaga yang terlibat dalam pertukaran antar budaya Menurut pendapat saya perbedaan Budaya Amerika dan Indonesia yaitu sebagai berikut : Amerika sangatlah bebas seperti hubungan seks diluar nikah, kumpul kebo, bermesraan di depan umum, perempuan Amerika yang sedang makan menggunakan tangan kirinya (kidal), Amerika roti gandum atau sereal untuk sarapan, Amerika jauh lebih aktif dibandingkan siswa Indonesia. Dalam pelajarannya, guru selalu menyempatkan sebuah sesi tanya jawab seusai menjelaskan materi. Dan siswa selalu bertanya apapun yang tidak ia mengerti. Amerika bekerja dalam sektor swasta, bukan negeri. Amerika, atlet mendapat penghargaan dari masyarakat biasa karena mereka merasa ia bak seorang hero yang berjuang demi negara bagiannya. Indonesia Indonesia masih sangat tabu dan aneh walaupun ada beberapa orang yang menganut kebiasaan ini. perempuan indonesia menanggapi wanita yang menggunakan tangan kiri untuk makan (kidal)itu akan dianggap kasar. Indonesia yang setiap harinya selalu bertemu nasi Siswa Indonesia cenderung merasa cukup apabila sudah menguasai isi suatu bab dengan baik Indonesia, pekerjaan PNS lebih banyak dicari Indonesia berlangganan juara Olimpiade. Jangan salah, setiap Olimpiade Sains Internasional, Indonesia pasti menghasilkan



juara



yang



banyak



July 30, 2015 no Comment



Modernitas di Indonesia semakin lama semakin kuat kita rasakan. Nggak hanya dalam hal hiburan dan teknologi aja, hal-hal intangible seperti gaya hidup dan cara berpikir dan keefisienan kita dalam bekerja pun semakin lama semakin blend in dengan kebiasaan belahan dunia lain. Is this a bad thing? Nggak juga. Bila kita melipir sebentar dari perdebatan tradisi yang semakin luntur, misalnya, ada banyak manfaat yang kita peroleh dari pergeseran ini. Salah satunya adalah kita jadi lebih terbuka dan open minded terhadap ide-ide baru dan perbedaan. Bagi sebagian orang, kita mulai kebarat-baratan, namun kalau diteliti benar, nggak sedikit perbedaan budaya yang masih kental yang memisahkan kita dari warga dunia barat. Budaya di sini maksudnya bukan kesenian atau tari-tarian, melainkan soal value yang berujung pada penghargaan kita terhadap orang lain. Ambil contoh perbedaan budaya Indonesia dengan Amerika. Apa saja yang jelas kentara? Waiter bukan pekerjaan bawahan Di Indonesia: Terserah mau ngaku atau enggak, tapi seringkali, kalau mau jujur, kita menganggap waiter atau pelayan restoran kelasnya ada di bawah kita yang bekerja di kantor, mungkin di gedung yang tinggi, dengan klien-klien internasional. Dalam hati seringkali kita menganggapwaiter nggak beda dengan asisten rumah tangga yang bisa kita suruh mengerjakan apa saja demi kepuasan hati merasa dilayani. Di Amerika: Adalah keterlaluan bila memperlakukan waiter tidak ‘selevel’ dengan kita. Pertama, kita nggak semestinya memanggil waiter di resto karena akan dianggap rude.



Kedua, kalau ingin melihat menu, kita harus menunggu dan waiter akan datang ke meja kita. Begitu juga saat ingin memesan makanan dan mendapatkan bill. Memang ini ada hubungannya dengan customer service mereka yang baik. Setiap meja punya satu waiter yang didedikasikan untuknya dan mereka akan sangat attentive dan menanyakan apa kita membutuhkan tambahan sesuatu setiap 5-10 menit. Intinya lupakan perasaan superior bahwa mereka adalah pelayan kita. Di Amerika dan di banyak negara di Eropa (atau di negara-negara Barat), waiter adalah orang yang akan membantu kita mendapatkan makanan atau minuman dan seperti kita memperlakukan sesama manusia, mereka berhak atas respect dari kita. Pejalan kaki adalah raja Di Indonesia: Let’s be honest, di sini, nasib pejalan kaki nggak terlalu mujur. Nggak hanya nggak punya trotoar yang bebas dari pedagang kaki lima dan motor-motor yang pengemudinya nggak sekolah, saat kita menyetir dan lampu baru berubah dari kuning ke merah, kadang kita nekat ‘nyempet-nyempetin’ untuk terus maju, tanpa memperhatikan bahwa mungkin ada pejalan kaki yang sudah siap menyebrang. (Tentu ini bicara pejalan kaki yang taat aturan ya, yang menyebrang pada tempatnya. Yang nggak taat aturan nggak usah dibahas, panjang pasti ceritanya!) Di Amerika: Pejalan kaki adalah raja. Ketika mobil kita berbelok dan ada pejalan kaki yang sudah bersiap menyebrang, mereka ‘boleh’ marah sama kita. Mereka boleh protes dan akan membuat kita merasa malu karena tidak memperhatikan jalan atau bersikap arogan. Bahkan di beberapa jalan, ada zebra cross khusus di mana begitu di salah satu ujung jalan ada orang yang menginjakkan 1 kaki saja di zebra cross tersebut (belum nyebrang ya, baru naro kaki doang :D), mobil sudah harus berhenti. Time is money so stop basa-basi Di Indonesia: Saya tau kita nggak bermaksud buruk dengan berbasa-basi. Malah tujuannya baik, kita mau menghormati orang lain, makanya kita meluangkan banyak waktu untuk ice breakingsaat baru ketemu orang, lalu meluangkan waktu saat menyampaikan kabar kurang sedap (baca: ngomong muter-muter biar lawan bicara nggak tersinggung), lalu meluangkan banyak waktu lagi saat berpamitan (bener loh, coba perhatiin, saat berkunjung ke rumah keluarga atau teman, atau bahkan ke kantor klien, pamitannya bisa 15 menit sendiri!). Di Amerika: Warga Amerika punya cara menghormati orang lain dengan cara yang berbeda, yaitu dengan tidak menghabiskan waktu mereka. It’s true. Especially in big cities like New York or Los Angeles, it’s rude to waste people’s time. Langsung aja bilang butuh apa dan mereka akan bantu dengan segera. Time efficiency sangat penting buat mereka. Lalu, mana yang lebih baik? Ini bukan soal budaya Barat lebih baik dari budaya Timur dan sebaliknya. Setiap budaya dan tradisi berasal dari histori. Tapi nggak ada salahnya selain meniru cara berpakaian dan mengekspresikan diri, kita adopsi juga hal-hal baik dari belahan dunia lain ini. Perilaku Komunikasi Nonverbal Jerman vs Indonesia :) PERILAKU KOMUNIKASI NONVERBAL JERMAN vs INDONESIA Paper ini disusun dalam rangka untuk memenuhi Tugas Mata kuliah ManajemenHumas Dosen Pengampu: Naviah Kaviati, S.T.



Disusun oleh : INA AFIFAH NIM : 10141007 S1 MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM TERPADU YOGYAKARTA 2012



PENDAHULUAN Manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi satu sama lain, baik itu dengan sesama, adat istiadat, norma, pengetahuan ataupun budaya di sekitarnya. Pada kenyataanya seringkali kita tidak bisa menerima atau merasa kesulitan menyesuaikan diri dengan perbedaan-perbedaan yang terjadi akibat interaksi tersebut, seperti masalah perkembangan teknologi, kebiasan yang berbeda dari seorang teman yang berbeda asal daerah atau cara-cara yang menjadi kebiasaan (bahasa, tradisi atau norma) dari suatu daerah sementara kita berasal dari daerah lain. Dari sebuah hubungan interaksi sosial itu menimbulkan suatu budaya baru yang berawal dari sebuah proses akulturasi budaya. Perlu mengetahui dan memahami bagaimana sebuah Negara berbudaya dan berkomunikasi dalam komunikasi antarbudaya sehingga dengan demikian kita akan memahami perbedaan dan kesamaan budaya kita dengan budaya orang lain, begitu juga dengan kita memahami bagaimana komunikasi yang dilakukan oleh orang Jerman yang budaya jerman seperti layaknya budaya barat pada umumnya sangat berbeda dengan komunikasi ala Indonesia yang berkonteks tinggi dimana kebanyakan pesan bersifat implisit, tidak langsung, dan tidak terus terang dan bisa dikatakan lebih banyak menggunakan bahasa nonverbal dalam berkomunikasi. Budaya jerman dan budaya barat (eropa barat, Amerika, dan Australia) yang berkonteks rendah ditandai dengan pesan lebih bersifat verbal dan eksplisit, gaya bicara langsung, lugas, berterus terang, menekankan komunikasi langsung dan ekplisit: pesan-pesan verbal sangat penting, dan informasi yang akan dikomunikasikan disandi dalam pesan verbal. Dari budaya konteks tinggi seperti yang telah disebutkan, tidak menutup kemungkinan bahwa orang-orang/masyarakat Jerman tidak pernah menggunakan bahasa nonverbal dalam berinteraksi. Oleh karenanaya, penulis ingin sedikit mengulas tentang keunikan bahasa nonverbal yang dilakukan oleh orang-oang Jerman pada umumnya dengan memberikan bandingan bahasa nonverbal dari orang-orang Indonesia.



PERILAKU NONVERBAL A LA JERMAN & INDONESIA Setiap budaya memiliki kekhasan tersendiri termasuk dalam segi komunikasi nonverbal yang dilakukan oleh orang-orang Jerman, walaupun pada dasarnya sebagian isyarat mereka ada kemiripan dengan budaya bangsa Indonesia, tapi ada terdapat perbedaan sehingga membuat suatu Negara memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri dalam mengungkapkan sesuatu.



Berikut adalah beberapa contoh perbedaaan perilaku nonverbal antara orang Jerman dengan orang Indonesia : 











































Dalam berjabat tangan ada pengecualian dari jerman umumnya orang jerman baik pria ataupun wanita tidak suka menyentuh apalagi memegang sesama jenis kecuali mereka mau dipanggil gay atau lesbi sedangkan di Indonesia, berjabat tangan sesama jenis saat bertemu adalah hal yang wajar, bahkan terkadang untuk kalangan tertentu di Indonesia, cipika-cipiki juga merupakan hal yang wajar. Di Jerman kaum wanita seperti juga kaum pria biasa berjabatan tangan dalam pergaulan sosial sedangkan di Indonesia, berjabat tangan lawan jenis bisa menjadi hal yang wajar tapi bisa menjadi hal yang dilarang jika dilihat dari sudut pandang islam. Di Jerman, pemuda yang menggandeng bahu sesama jenis dikatakan gay, sedangkan di Indonesia tidak jarang seorang pemuda menggandeng bahu temannya ketika berjalan kaki menyusuri trotoar tanpa ada kekhawatiran dikatakan homo, dan perilaku tersebut di Indonesia lebih menandakan keakraban kekerabatan maupun kekeluargaan Di jerman, acungan jempol juga dapat berarti satu, isyarat seperti ini terkadang digunakan oleh orang jerman untuk memesan satu (botol atau gelas) bir kepada pelayan sedangkan di Indonesia acungan jempol mungkin mengatakan bagus, oke, sip atau beres. Untuk menunjukkan istimewa (excellent) terkadang orang jerman mempertemukan ujung jempol dan telunjuk (membentuk lingkaran) dengan meninggalkan dan membiarkan ketiga jari lainnya berdiri sedankan di Indonesia, isyarat ini untuk menunjukkan bahwa segala sesuatunya sudah beres. Di Indonesia menyentuhkan telunjuk kanan di kening dengan posisi miring menjunjukkan bahwa seseorang itu sinting sedangkan di Jerman hal ini dilakukan dengan nenunjukkan telunjuk sebelah kanan ke kening sebelah kanan pula. Isyarat ‘gila’ di Jerman bisa berarti “pikirlah pakai otak” atau sebagai tanda untuk berpikir. Orang jerman sangat lazim menunjukkan sesuatu dengan telunjuk kepada atasannya semisal seorang atasan bertanya “dimana buku saya ?” sedangkan di Indonesia, hal tersebut adalah merupakan ketidaksopanan. Orang-orang kita biasanya menggunakan ibu jari menghadap ke atas dengan arah menunjukkan tempat/benda tersebut. Orang Jerman mengetuk-ngetuk meja dengan semua jari yang ditekukkan sehingga tangan terkepal ini bertujuan member applause seseorang, di Indonesia seseorang memberikan applause dengan menepuk-nepukkan kedua telapak tangan dan terkadang diiringi dengan berdiri untuk lebih menjadikan orang yang diberi applause itu istimewa. Orang Jerman menyuruh orang lain diam dengan cara meletakkan jari telunjuk di bibir sambil mengatakan “ssstt” hal ini mirip dengan apa yang dilakukan di Indonesia, tapi di Indonesia bisa juga dengan menempelkan ujung jari-jari tangan kanan ke telapak tangan sebelah kiri atau sebaliknya sehingga membentuk seperti huruf ‘T’, bisa juga dengan mengatup-atupkan antara ibu jari dengan dua jari di atasnya (telunjuk dan jari tengah) Orang Jerman meletakkan jempol ke lubang telinga, membiarkan kelingking berdiri dan menekuk ketiga jari lainnya, isyarat seperti ini berarti mengatakan”mari kita bicara lewat telepon nanti”, sama seperti di Indonesia hanya saja terkadang di Indonesia ditambah dengan tangan digerak-gerakkan. Dijerman isyarat yang buruk seperti mengacungkan jari tengah dapat membawa pelakunya ke meja hijau karena sudah termasuk pelanggaran yang sangat berat, sedangkan di Indonesia isyarat seperti itu memang sangat tidak sopan tetapi bisa tidak sampai membawa pelaku ke meja hijau.







Di jerman memberikan bunga mawar merah kepada wanita dianggap sebagai suatu undangan yang romantis, tetapi menjadi tidak baik jika dikaitkan dengan hubungan bisnis. Tanpa memperhatikan dengan sungguh-sungguh bagaimana budaya mempengaruhi komunikasi, termasuk komunikasi nonverbal dan pemaknaan terhadap pesan nonverbal tersebut, kita bisa gagal berkomunikasi dengan orang lain. Kita cenderung menganggap budaya kita, dan bahasa nonverbal kita sebagai standar dalam menilai bahasa nonverbal orang dari budaya lain. Bila kita langsung berkesimpulan tentang orang lain berdasarkan perilaku nonverbalnya yang berbeda itu, maka kita terjebak dalam etnosentrisme. Etnosentrisme bisa diartikan kecenderungan untuk menilai kelompok lain dengan standar, perilaku, dan adat atau kebiasaan dalam kelompoknya, serta melihat kelompok lain lebih rendah dibandingkan kelompoknya sendiri(Mulyana & Rakhmat:77) sederhananya dapat diartikan menganggap budaya sendiri sebagai standar dalam mengukur budaya orang lain dan disadari atau tidak, kita sering mengganggap kelompok kita sendiri, negeri kita sendiri,budaya kita sendiri, sebagai yang terbaik, yang paling bermoral. KESIMPULAN Seluruh keberhasilan proses komunikasi pada akhirnya tergantung pada efektivitas komunikasi, yakni sejauh mana para partisipannya memberikan makna yang sama atas pesan yang dipertukarkan. Pada gilirannya, latar belakang budaya partisipan yang acapkali berbeda akan sangat menentukan efektivitasnya itu. Oleh karenanya, memahami budaya adalah merupakan prasyarat penting dalam keberhasilan komunikasi. Pentingnya pesan non verbal ini misalnya dilukiskan dengan frase, “bukan apa yang ia katakan, melainkan bagaimana ia mengatakannya” . Lewat perilaku non verbalnya, kita dapat mengetahui suasana emosional seseorang. Betapapun banyaknya kata-kata yang digunakan sebagai bahasa verbal di dunia ini, akan lebih kompleks ketika ada pendampingnya yakni bahasa nonverbal. Dapat dikatakan bahwa secara sederhana, bahasa non verbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata, mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, dan bermakna bagi orang lain.



Sumber : http://belajar-komunikasi.blogspot.com/2010/12/perilaku-verbal-dan-non-verbal pada.html http://dewey.petra.ac.id/dts_res_detail.php?mode=extended&knokat=6785 Mulyana,Deddy.2005.Komunikasi Efektif budaya.Bandung.PT.Remaja Rosda Karya



suatu



pendekatan



·http://komunikasi-bisnis.blogspot.com/2011/02/tantangan-komunikasi di-tengah.html



lintas



FENOMENA CULTURE SHOCK



Berta Esti Ari Prasetya Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana



Abstract Globalization has allowed more and more people to encountere new culture as sojourners. The experience of having a shock culture will be more common to be experienced by more people. This article tackles about the issue of culture shock, included its origin, symptoms, different theories that explain about it, and suggestion to handle culture shock.



Key word: Culture shock.



Latar Belakang Program internasional yang dibuka oleh beberapa sekolah di dunia membuka kemungkinkan adanya siswa-siswa yang datang dari budaya yang berbeda untuk belajar bersama-sama di tempat yang mereka datangi. Di Indonesia sendiri, semakin banyak dibuka sekolah internasional yang memungkinkan diterimanya pelajar dari negara lain untuk belajar di Indonesia. Demikian juga, tak kalah banyak, masyarakat Indonesia yang memilih untuk mengirimkan anak-anak mereka untuk bersekolah di luar negri yang mengharuskan mereka menyesuaikan diri dengan budaya baru.



Riset secara khusus mengenai bagaimana kemampuan penyesuaian diri mereka di negara atau budaya baru yang mereka datangi belum banyak dikuak oleh para peneliti Indonesia. Namun, secara umum, fenomena datangnya para pendatang di negara baru ini telah menggugah beberapa peneliti untuk melakukan riset mengenai penyesuaian diri para siswa internasional ini. Meskipun beberapa riset dikembangkan dari berbagai pendekatan yang berbeda, namun ternyata ditemukan adanya hasil yang konsisten yaitu bahwa ada persoalan-persoalan yang muncul dalam hal penyesuaian diri para siswa ini (Charles & Stewart,; Das, Chow & Rutherford; Searle & Ward, dalam Chapdelaine, 2004). Di antara beberapa persoalan penyesuaian diri yang dialami para siswa ini, salah satu persoalan yang dianggap sebagai issue mendasar yang khas dialami oleh siswa-siswi internasional adalah adanya fenomena culture shock. Fenomena culture shockdianggap menjadi persoalan mendasar bagi para siswa internasioanal karena seringkali fenomena inilah yang menjadi akar dari berbagai kesulitan penyesuaian diri yang dialami oleh siswa-siswi internasional. Hal ini terjadi dikarenakan kultur bisa menjadi kompas bagi arah perilaku, dan menuntun cara berpikir dan berperasaan individu. Ketika individu berada dalam kultur yang berbeda, ia bisa mengalami kesulitan bila kompas yang digunakannya tidak menunjukkan arah yang sama dengan kompas budaya setempat. Mengingat hal itu, maka pembicaraan mengenai penyesuaian diri siswa-siswi internasional tidak dapat dilepaskan dari akar persoalan mereka saat berada di lingkungna yang baru, yaitu pengalaman culture shock. Namun lepas dari konteks globalisasi pendidikan di atas, sebenarnya antar suku di Indonesia sendiri memungkinkan penduduk Indonesia untuk diharuskan belajar budaya baru saat mereka keluar dari tempat tinggalnya, mengingat begitu berbedanya budaya satu dan budaya lainnya di Indonesia. Dalam hal ini, konteks bercampurnya siswa-siswi dari budaya yang berbeda yang terjadi di Indonesia bisa dikatakan bukanlah hal yang baru. Mengingat begitu beragamnya budaya di Indonesia, maka potensi untuk terjadinyaculture shock di antara para penduduk yang tinggal di tempat baru di Indonesia juga akan semakin besar. Selain itu, riset Chapman (2005) juga menemukan bahwa pelajar yang belajar di negrinya sendiri, namun memiliki guru dari budaya yang berbeda, juga bisa mengalami culture shock sebagai akibat dari keterlibatan antara guru dan murid. Meskipun kemungkinan terjadinya culture shock semakin banyak di Indonesia, namun minat untuk membahas mengenaiculture shock ini belum banyak ditemui dalam berbagai literature di Indonesia. Mengingat hal tersebut, penulis memandang perlunya mengangkat topik culture shock ini dalam pembahasan ilmiah di Indonesia. Tulisan ini bermaksud untuk memberikan gambaran mengenai fenomena culture shock, faktor-faktor penyebab dan kemungkinan-kemungkinan untuk mengatasi terjadinya culture shock berdasarkan berbagai literature dan hasil riset. Diharapkan melalui tulisan ini pembaca akan mendapatkan wawasan yang cukup mengenai culture shock dan dapat memetik manfaat agar dapat menggunakan informasi ini untuk membantu diri sendiri ataupun orang lain agar terhindar dari culture shock, ataupun mampu mengatasi culture shock saat berada di budaya yang berbeda. Selain itu. tulisan ini juga merupakan usaha untuk menambahkan minimnya literature mengenai culture shock di Indonesia. Bila memungkinkan tulisan ini juga diharapkan dapat membuka wawasan bagi pembacanya atas peluang-peluang riset yang mungkin dilakukan mengenai fenomena culture shock di masa mendatang.



Definisi Culture Shock



Istilah culture shock awalnya terdokumentasi dalam jurnal medis sebagai penyakit yang parah (berpotensi hilangnya nyawa seseorang), yang diperoleh individu saat ia secara tiba-tiba dipindah ke luar negri (www.wzo.org.il/en/resources/view.asp?id=1445). Namun istilah culture shock dalam istilah sosial pertama kali dikenalkan oleh seorang sosiolog Kalervo Oberg di akhir tahun 1960. (dalam Irwin, 2007) mendefinisikan culture shock sebagai “penyakit” yang diderita oleh individu yang hidup di luar lingkungan kulturnya. Istilah ini mengandung pengertian adanya perasaan cemas, hilangnya arah, perasaan tidak tahu apa yang harus dilakukan atau tidak tahu bagaimana harus melakukan sesuatu, yang dialami oleh individu tersebut ketika ia berada dalam suatu lingkungan yang secara kultur maupun sosial baru. Oberg (dalam Irwin, 2007) lebih lanjut menjelaskan hal itu dipicu oleh kecemasan individu karena ia kehilangan symbol-simbol yang selama ini dikenalnya dalam interaksi sosial, terutama terjadi saat individu tinggal dalam budaya baru dalam jangka waktu yang relative lama. Definisi Adler (1975) lebih menekankan bahwa culture shock adalah suatu rangkaian reaksi emosional sebagai akibat dari hilangnya penguatan (reinforcement) yang selama ini diperoleh dari kulturnya yang lama, diganti dengan stimulus dari kultur baru yang terasa tak memiliki arti, dan karena adanya kesalahpahaman pada pengalaman yang baru dan berbeda. Perasaan ini mungkin meliputi rasa tak berdaya, mudah tersinggung, perasaan takut bahwa orang lain akan berbuat curang padanya karena ketidaktahuannya, perasaan terluka dan perasaan diabaikan oleh orang lain. Guanipa (1998) menambahkan bahwa perasaan tidak nyaman akibat culture shock tidak hanya melulu reaksi emosioanl, tetapi juga meliputi reaksi fisik yang diderita individu ketika mereka berada di tempat yang berbeda dari tempat asalnya. Pengalaman ini juga bisa disebabkan bukan saja karena budaya, dan norma-norma masyarakat yang berbeda, tetapi juga karena iklim, makanan, teknologi yang berbeda dari negara asal dengan negara yang didatanginya. Berbagai keberbedaan tadi menimbulkan perasaan asing, kehilangan orientasi dan kebingungan. Milton (1998) mengamati bahwa pengalaman culture shock itu sendiri bisa sangat unik antara satu orang dengan yang lain, karena berbagai penyebab yang sifatnya bervariasi pula antara satu individu dengan individu lain, maupun antara satu dan budaya lain yang dimasuki individu tersebut. Pengalaman culture shock ini sebenarnya dianggap hal yang wajar yang banyak dialami oleh individu yang berada dalam lingkungan yang baru (Guanipa, 1998). Hanya saja, tingkat gangguan yang dialami oleh individu tersebut bisa berbeda dari satu orang ke orang yang lain, tergantung dari beberapa faktor yang ada dalam diri individu tersebut.



Tahap terjadinya Culture Shock Furnham dan Bochner (1986) menggunakan istilah berbeda bagi individu yang tinggal di kultur baru berdasarkan lamanya ia tinggal. Turis adalah mereka yang tinggal di suatu kultur baru namun tidak terlalu lama (kurang dari 6 bulan). Sedangkan mereka yang tinggal dalam waktu lama dikenal dengan istilahsojourner (sekitar 6-bulan s.d. 5 tahun) yang dibedakan dengan imigran yang tinggal selamanya di negara yang baru. Pada saat seseorang memasuki kultur yang baru, ada beberapa tahap yang biasanya dialami individu tersebut sehubungan dengan culture shock(Oberg dalam Irwin, 2007; Guanipa, 1998). Tahap-tahap ini dikenal dengan istilah U-Shape, Yaitu: 1. Tahap Honey moon/ Euphoria/ Fun



Ini adalah saat pertama kali individu datang ke tempat yang baru, biasanya berlangsung sekitar beberapa hari sampai beberapa bulan. Pada masa ini individu masih terpesona dengan segala sesuatu yang baru. Periode ini ditandai dengan perasaan bersemangat, antusias, terhadap kultur baru dan orang-orangnya. Pada masa ini perbedaan-perbedaan budaya masih dianggap sebagai sesuatu yang menarik dan menyenangkan. Hal ini bisa dikatakan sebagai masa pengalaman menjadi turis. Biasanya turis akan pulang sebelum masa honeymoon selesai, sehingga yang tersisa dalam kenangannya adalah berbagai hal menyenangkan yang ia temui di tempat barunya. Namun bila seseorang tinggal di tempat ini lebih lama, bisa jadi keadaan ini akan diikuti dengan menurunnya suasana hati ketika individu sudah mulai mengalami persoalan-persoalan yang muncul karena adanya keberbedaan budaya. 2. Tahap Krisis yaitu: agresif/ regresi/Flight Pada tahap berikutnya, individu seringkali dihadapkan pada berbagai macam perbedaan budaya yang ternyata dapat memicu persoalan-persoalan yang belum pernah dihadapinya sebelumnya. Persoalan-persoalan yang nyata ini biasanya menimbulkan perasaan agresif, marah pada kultur barunya karena dianggapnya aneh, tidak masuk akal. Biasanya individuindividu akan berpaling kepada teman-teman senegaranya, yang dianggap lebih bisa diajak bicara dengan cara pandang yang sama karena memiliki kultur yang sama. Seringkali muncul pendewaan terhadap kultur asal, menganggap kultur asalnya adalah kultur yang paling baik, dan mengkritik kultur barunya sebagai kultur yang tidak masuk akal, tidak menyenangkan dan aneh. Kondisi mengkritik kultur baru ini bisa termanifestasi dalam kebencian terhadap kultur baru, menolak belajar bahasanya, terlibat dengan orang-orang di kultur baru tsb. Pada masa ini juga muncul stereotip-stereotip tentang orang-orang dari kultur baru yang bisa menghalangi interaksi yang efektif dengan penduduk asli. Oberg (dalam Irwin 2007) menyebut masa ini sebagai masa krisis yang akan menentukan apakah individu akan tinggal atau meninggalkan tempat barunya. Pada masa ini pula bisa muncul keinginan regresi, keinginan-keinginan untuk pulang ke rumah, rindu dengan kondisi-kondisi yang ada di negri asalnya serta mendapatkan perlindungan dari orang-orang yang memiliki kultur yang sama.



3. Proses Adjustment Bila individu bertahan di dalam krisis, maka individu akan masuk pada tahap ketiga. Tahap ini terjadi apabila individu mulai bersedia untuk belajar kultur baru. Pada periode ini, individu mulai memahami berbagai perbedaan norma dan nilai-nilai antara kultur aslinya dan kultur baru yang saat ini dimasukinya. Ia mungkin mulai paham bagaimana cara menggunakan teknologi yang baru, telah mulai menemukan makanan yang lebih cocok dengan lidah dan perutnya, serta mengatasi iklim yang berbeda dll. Ia mulai menemukan arah untuk perilakunya, dan bisa memandang peristiwa-peristiwa di tempat barunya dengan rasa humor. Adler (1975) mengelaborasi konsep ini seperti dikembangkan dalam Furnham dan Bochner (1986), bahwa pertama-tama individu mengalami perasaan terisolasi dari kulturnya yang lama. Dan proses disintegrasi terjadi saat individu semakin sadar adanya berbagai perbedaan antara kultur lama dan kultur baru yang diikuti dengan penolakan terhadap kultur baru. Namun demikian, hal ini akan diikuti oleh integrasi dari kultur baru dan saat ia mulai menguasai bahasa setempat, ia semakin mampu menegosiasikan kebutuhannya sehingga



tumbuh perasaan otonomi dalam dirinya. Dan akhirnya ia mencapai tahap kemandirian, dimana ia mampu menciptakan makna dari berbagai situasinya, dan perbedaan yang ada akhirnya bisa dinikmati dan diterima.



4. Fit/Integration. Periode berikutnya terjadi apabila individu mulai menyadari bahwa kultur barunya punya hal yang baik maupun hal yang buruk, dimana ia harus menyikapi dengan tepat. Pada masa ini akan terjadi proses integrasi dari hal-hal baru yang telah dipelajarinya dari kultur baru, dengan hal-hal lama yang selama ini dia miliki, sehingga muncul perasaan memiliki. Ini memungkinkan munculnya definisi baru mengenai dirinya sendiri. 5. Re-entry shock Tahap terakhir ini dapat muncul pada saat individu kembali ke negri asalnya. Individu mungkin menemukan bahwa cara pandangnya terhadap banyak hal tidak lagi sama seperti dulu. Dan pada masa inipun membutuhkan kembali penyesuaian terhadap kulturnya yang lama sebagaimana ia dulu memasuki kultur yang baru. Dalam penelitian Gaw (2000) ditemukan bahwa individu yang kembali ke dalam negrinya dan mengalami re-entry culture shock yang tinggi akan menunjukkan adanya masalah dalam penyesuaian diri dan mengalami masalah rasa malu dibandingkan mereka yang mengalami re-entry culture shock yang rendah. Masing-masing tahap bukan berarti selalu dijalani secara urut ke jenjang berikutnya. Sangat mungkin bahwa individu yang telah memasuki jenjang berikutnya masih kembali mengalami jenjang sebelumnya ketika dihadapkan pada persoalan baru dalam penyesuaian dirinya.



Gejala-Gejala Culture Shock Gejala munculnya culture shock bisa berbeda-beda antara satu orang dengan yang lain. Namun ada beberapa symptom yang biasanya ditunjukkan individu saat mengalami culture shock, yaitu antara lain (edweb.sdsu.edu/people/CGuanipa/cultshok.htm) : §



Perasaan sedih, kesepian, melankolis, merasa frustasi, kemarahan, kecemasan, disorientasi



§



Menjadi lebih kuatir tentang kesehatan. Pada orang-orang yang datang dari negara yang lebih maju, biasanya menjadi lebih sensitive terhadap masalah kebersihan di tempat yang baru. Tidak bersedia makan atau minum dari makanan setempat, karena ketakutan akan berbagai penyakit dan sangat kuatir akan kehigienisan makanan dan penduduk setempat.



§



Menderita rasa sakit di berbagai areal tubuh, muncul berbagai alergi, serta gangguangangguan kesehatan lainnya, seperti diare, maag, sakit kepala dll.



§



Adanya perubahan temperamen, rasa depresi, merasa diri lemah dan rapuh, merasa tidak berdaya



§



Perasaan marah, mudah tersinggung, penyesalan, tidak bersedia untuk berinteraksi dengan orang lain



§



Selalu membanding-bandingkan kultur asalnya, mengidolakan kultur asal secara berlebihan



§



Kehilangan identitas, mempertanyakan kembali identitas diri yang selama ini diyakininya. Misalnya sebelumnya meyakini bahwa dirinya adalah orang yang cerdas, tiba-tiba kini merasa menjadi orang yang paling bodoh, aneh, tidak menarik dll.



§



Mencoba terlalu keras untuk menyerap segala sesuatu yang ada di lingkungan barunya (karena rasa cemas ingin menguasai/memahami lingkungannya) yang justru bisa menimbulkan perasaan kewalahan.



§



Tidak mampu memecahkan masalah sederhana



§



Kehilangan kepercayaan diri.



Secara singkat Irwin (2007) menyebutkan bahwa segala bentuk distress mental maupun fisik yang dialami di lokasi asing disebut sebagai gejala culture shock.



Efek Culture Shock Bagi para pelajar khususnya, berbagai gangguan yang dialami individu ini, menimbulkan persoalan-persoalan lainnya seperti ketidakmampuan menyelesaikan tugastugas sekolah dengan baik. Persoalan-persoalan emosional yang muncul kadang kala membuat siswa menjadi putus asa dan memutuskan untuk tidak melanjutkan studi dan memilih untuk kembali ke negara asalnya. Milton (1998) sebagai seorang tentara Amerika yang biasa di tempatkan di negara lain mengamati bahwa culture shock yang dialami tentaranya tidak hanya membuat kinerja tentara itu menjadi buruk, tetapi juga membuat kelompok tentara itu kehilangan niat baik dan pengaruhnya di negara baru tersebut. Lebih lanjut Milton meyakini bahwa individu yang gagal untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru juga akan mengalami kerugian pribadi. Tentara yang dikirimkan ke negara baru biasanya dipilih karena memiliki rasa harga diri dan ego yang sehat, sehingga bila di tempat baru tak mampu bekerja dengan baik maka biasanya ia akan mengalami tekanaan pada self-esteemnya. Hopkins (1999) dan Roland (1988) menyatakan bahwa interaksi dengan kultur baru akan mendorong terjadinya self-directed analysis (analisa yang diarahkan kepada diri sendiri) yang memungkinkan individu untuk menemukan insight dari aspek psikisnya mengenai dirinya sendiri. Struktur baru ini akan semakin tampak melalui pengalaman emosional dan afektif saat berinteraksi dengan kultur yang baru. Dalam hal ini, pengalaman interaksi dengan kultur baru tampaknya tidak selamanya negatif. Namun sebaliknya, hal ini akan mendorong individu untuk mengenali dirinya lebih dalam dan menolong individu untuk mengenal dirinya dalam konteks yang lebih luas. Irwin (2007) juga menyatakan bahwa proses penemuan makna baru karena pengaruh kultur barunya memungkinkan individu



kehilangan makna lama yang ia miliki dari kultur lamanya. Hal ini bisa saja membawa implikasi terjadinya krisis identitas dalam diri individu yang terpapar di suatu lingkungan baru.



Faktor Penyebab Munculnya Culture Shock Lin (2007) menemukan dalam penelitiannya terhadap anggota Organisasi Komunitas Mahasiswa Cina di Amerika, bahwa fenomena culture shock bersifat kontekstual dan dialami dengan berbeda-beda dari generasi ke generasi berikutnya. Artinya, faktor yang mendorong bagaimana munculnya culture shock juga akan sangat spesifik tergantung pada di daerah mana individu tersebut berasal, di daerah mana individu berada, serta pada tahun atau masa seperti apa, akan sangat bervariasi. Fenomena mengapa culture shock dapat terjadi bisa dipandang dari beberapa pendekatan. Chapdelaine (2004) mencatat paling tidak terdapat empat pendekatan dalam menjelaskanfenomena culture shock. Pendekatan ini meliputi pendekatan: a)



Pendekatan Kognitif Pendekatan ini mempostulasikan bahwa kemampuan untuk penyesuaian lintas budaya individu akan tergantung dari kemampuan individu tersebut untuk membuat atribusi yang tepat mengenail nilai-nilai kultur, kepercayaan, perilaku dan norma di lingkungan yang baru. Individu mengalami ketidakmampuan menyesuaikan diri karena mereka menggunakan standar kulturnya sendiri untuk menilai, menginterpretasikan dan berperilaku dalam lingkungan yang baru (Triandis dalam Chapdelaine, 2004). Hal inilah yang membuat penyesuaian dirinya menjadi tidak efektif karena perbedaan cara menginterpretasikan suatu kejadian bisa menimbulkan kesalahpahaman di sana sini.



b)



Pendekatan Perilaku Menurut pendekatan ini, ketidakmampuan adaptasi terjadi karena individu tidak memahami sistim “hadiah dan hukuman” yang berlaku di kultur yang baru, dimana sistim hadiah dan hukuman ini bisa saja tergambar dalam perilaku verbal maupun nonverbal dalam kultur tersebut (Anderson dalam Chapdelaine, 2004). Dalam hal ini, bisa saja terjadi, hal yang di kultur asal dianggap sebagai hal yang dianggap baik, sehingga mendapatkan hadiah, mungkin di kultur baru dianggap buruk, sehingga mendapatkan hukuman. Misalnya saja: di Indonesia menanyakan “Mau kemana? Dari mana? Sudah mandi atau belum?” pada teman dianggap sebagai perhatian dan kepedulian. Bisa saja di negara yang lain dianggap terlalu mencampuri urusan orang dan membuat orang tersinggung.



c)



Pendekatan Fenomenologis Menurut pendekatan ini, culture shock merupakan pengalaman transisional dari kondisi kesadaran yang rendah akan diri dan kultur, ke kesadaran yang tinggi akan diri dan kultur (Adler, 1975; Bennett, dalam Chaldelaine, 2004). Menurut pendekatan ini, culture shock terjadi karena mereka tidak dapat lagi menggunakan referensi-referensi/nilai-nilai kulturnya untuk memvalidasi aspek penting kepribadiannya. Misalnya bila di kultur asalnya ia meyakini dirinya adalah anak baik-baik karena tidak pernah minum-minuman di bar, tidak melakukan seks bebas dengan lawan jenis,dll. Tetapi di lingkungan yang baru, ia tidak dapat menggunakan standar “anak baik” sebagaimana yang digunakan di kultur asalnya. Di tempat yang baru, kondisi ini justru membuatnya dicap sebagai “anak ketinggalan jaman, kuno dan



kolot”. Dalam proses inilah seringkali individu mempertanyakan kembali keyakinankeyakinan yang dulu pernah dimilikinya, bahkan mempertanyakan kembali konsep dirinya yang sebelumnya diyakini selama ini. Hal ini seringkali menimbulkan krisis tersendiri bagi individu tersebut. d)



Pendekatan sosiopsikologis Pada pendekatan ini, meliputi d.1. Penyesuaian psikologis/afektif : ketidaksamaan kultur antara kultur asal dan kultur di tempat baru menimbulkan perasaan asing, perasaan kesepian, rasa keterhilangan di tempat yang baru bagi dirinya. d.2. Penyesuaian sosial: Dalam hal ini, culture shock terjadi karena individu tidak memiliki pemahaman budaya yang cukup untuk ia dapat berinteraksi dengan baik dengan warga lingkungan baru. Individu juga memiliki identitas kultur yang begitu besar sehingga menyulitkannya untuk beradaptasi dengan kultur yang baru.



Penelitian Chapdelaine (2004) yang dilakukan terhadap 150 siswa pria di universitas internasional Canada, menemukan bahwa hal yang mendasari munculnya culture shock adalah adanya kesulitan-kesulitan sosial antara individu tersebut dengan penduduk asli dari negara yang didatanginya. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa subjek penelitiannya melaporkan bahwa mereka memiliki lebih banyak kesulitan sosial di negara baru ini, dibandingkan saat mereka berada di negara asalnya. Lebih lanjut Chapdelaine juga menemukan bahwa culture shock yang dialami oleh individu berhubungan negatif dengan tingkat interaksi individu dengan penduduk asli. Semakin tinggi interaksi dengan penduduk asli maka semakin rendah culture shock yang dialami individu, sebaliknya, semakin rendah interaksi dengan penduduk asli, culture shock yang dialami semakin tinggi. Penelitian ini memberikan gambaran, bahwa tingkat interaksi dengan penduduk asli memiliki peranan dalam pengalaman culture shock pada individu. Hal ini mungkin terjadi karena culture shock sendiri muncul karena kurangnya pemahaman individu akan kultur baru yang dimasukinya. Kurangnya interaksi dengan penduduk asli menutup kemungkinan individu tersebut untuk mempelajari kultur baru yang dimasukinya, sehingga kesempatan untuk mengintegrasikan kultur baru dengan kultur lama yang dibawanya dari negara asal akan sulit untuk dilakukan.



Lebih lanjut Chapdelaine (2004) mengembangkan penelitian ini dengan melihat hubungan beberapa variable lain dengan interaksi sosial dengan penduduk asli. Ternyata ditemukan bahwa perbedaan budaya antara kultur asalnya dengan kultur baru yang dimasukinya berhubungan positif dengan interaksi individu tersebut dengan penduduk asli yang didatanginya. Semakin besar perbedaan budaya, semakin rendah tingkat interaksi individu dengan penduduk asli negara tersebut. Hal ini mungkin disebabkan karena perbedaan budaya yang terlalu besar membuat individu kesulitan untuk melakukan interaksi dengan penduduk asli. Selain itu juga ditemukan bahwa semakin besar jumlah orang sebangsa yang ada di negara tersebut, semakin rendah tingkat interaksi individu dengan penduduk asli. Selanjutnya juga ditemukan bahwa bila siswa internasional tadi datang dengan membawa keluarga, maka semakin rendah pula interaksinya dengan penduduk asli. Kedua hal ini bisa dipahami karena adanya orang-orang senegaranya, maupun keluarganya, maka individu cenderung menjalin interaksi dengan orang-orang senegaranya maupun keluarganya. Hal ini semakin kuat terlihat pada mereka yang sibuk mengerjakan urusan studinya, sehingga pada sisa waktu yang dimilikinya di luar kesibukannya untuk sekolah, individu lebih memilih untuk menghabiskan waktu dengan orang-orang yang dianggapnya dekat dan memahaminya (dalam hal ini keluarganya maupun orang-orang yang sebangsa dengan dirinya). Sementara itu, penelitian Lin (2007) menemukan bahwa interaksi dengan rekan sesama bangsa tidak terlalu banyak membantu untuk mengatasiculture shock apabila tidak dibarengi dengan program-program orientasi untuk memberikan dukungan sosial untuk terjadinya penyesuaian intercultural. Dalam penelitian Chapdelaine (2004) ini ternyata tidak ditemukan hubungan langsung antara besarya perbedaan budaya dengan culture shock yang dialami individu. Penelitian ini juga tidak menemukan hubungan antara besarnya paparan terhadap budaya yang berbeda di masa lalu dengan culture shock yang dialami oleh individu. Kedua hal ini mungkin mengindikasikan bahwa yang menjadi hal penting untuk menghindari culture shock adalah kemampuan individu untuk menyesuaikan diri, dan belajar dari budaya-budaya



baru yang pernah dimasukinya. Meskipun budaya begitu berbeda, ataupun minimnya paparan terhadap budaya yang berbeda sebelumnya, tapi dengan kemauan untuk belajar, maka memungkinkan individu tadi untuk menyikapi dengan baik keberbedaan yang ada dan membantu individu untuk mengatasiculture shock.



Saran Untuk Mengatasi Cultures-Shock Secara khusus penelitian Wang (2007) menemukan adanya efektifitas programprogram pelatihan interkultural, memberikan manfaat yang sangat besar untuk membantu individu mengatasiculture shock. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa pelajar yang mengikuti pelatihan ini dengan aktif dan sungguh-sungguh, mereka dapat menyesuaikan diri dengan kultur baru secara baik dan lebih cepat dibandingkan teman-temannya yang lain. Hal yang senada dengan itu juga ditemukan dalam penelitian Kaye dan Taylor (1997) terhadap para ekspatriat yang bekerja di Cina. Diperoleh fakta bahwa sensitifitas inter-kultural berbanding terbalik dengan pengalaman culture shock. Artinya semakin tinggi sensitifitas inter-kultural, semakin rendah tingkat culture shock yang dialami individu. Lebih lanjut ditemukan bahwa pelatihan yang diberikan sebelum ataupun sesudah tiba di Cina berhubungan erat dengan tingginya tingkat sensitifitas inter-cultural yang berarti menurunkan tingkat culture shock para ekspatriat yang bekerja di Cina.



Sedangkan penelitian Lin (2007) menemukan bahwa keterlibatan individu dalam berbagai organisasi akan sangat membantu individu untuk mengatasi culture shock dengan memberikan dukungan sosial dan memampukan individu untuk melakukan penyesuaian budaya. Beberapa literatur yang lain menyarankan mengatasi culture shock dengan baik, yaitu antara lain:



hal-hal



berikut



ini



untuk



1. Sebelum individu berangkat ke negara baru yang akan dimasukinya, ada baiknya apabila ia sudah terlebih dahulu membaca tentang negara tersebut dan budaya yang ada di negri tersebut. Hal ini akan membantu individu ini untuk lebih familier dengan negara yang akan dimasukinya, dan lebih siap untuk berhadapan dengan berbagai perbedaan yang akan dihadapinya (www.ips.uiuc.edu/sao/students/currcultureshock.html).



2. Mengelola pengharapan (manage expectations). Harapan yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi bagaimana orang tersebut menginterpretasikan dan menilai suatu kejadian. Menjaga agar harapan sedapat mungkin realistis dan sesuai dengan kenyataan serta kemampuan diri akan menjaga agar stress selalu dalam kondisi rendah. Berharap terlalu tinggi terhadap penduduk setempat untuk melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan individu itu sendiri hanya akan membuat individu tersebut merasa frustrasi. (www.wzo.org.il/en/reseources/view.asp?id=1445). 3. Memiliki tujuan yang jelas akan kedatangan ke negri tersebut. Dengan terus mengingat dan memegang teguh tujuan awal datang ke negara tersebut, individu akan menjadi lebih siap untuk berjuang demi mencapai tujuannya. Hal ini juga akan menolong individu untuk terus memiliki fokus untuk melakukan hal terbaik dan terpenting selama di negri yang baru. Menjaga prioritas akan menolongnya mengatasi culture shock (www.ips.uiuc.edu/sao/students/curr-cultureshock.html). 4. Dalam penelitian Chapdelaine (2004) ditemukan bahwa tingginya kesempatan untuk berinteraksi dengan penduduk asli berhubungan dengan rendahnya culture shock. Interaksi akan lebih sulit untuk dilakukan apabila seseorang tidak memahami bahasa pengantarnya dengan baik. Oleh karena itu, penguasaan bahasa yang baik menjadi syarat penting untuk mengatasi culture shock. Jadi disarankan bagi individu untuk menguasai bahasa pengantar di negara tersebut untuk menghindarkan individu dari kondisi culture shock. (Guanipa, 1998; www.wzo.org.il/en/reseources/view.asp?id=1445). 5. Bersedia untuk belajar kultur yang baru. Individu perlu menyadari bahwa kultur bukan sesuatu yang dibawa sejak lahir, tetapi sesuatu yang dipelajari (Guanipa, 1998). Hal yang dibawa sejak lahir adalah kemampuan individu untuk belajar kultur, apapun kultur itu. Oleh karena itu, kesediaan untuk belajar kultur yang baru akan membantu untuk mengatasi kesalahpahaman dan menolong teratasinya persoalan-persoalan sosial di tempat yang baru. Hal yang sama yang perlu dipahami adalah bahwa nilainilai yang selama ini telah dipelajari dari kulturnya yang lama bukanlah sesuatu yang bersifat mutlak dan paling benar. Nilai dan keyakinan itu menjadi benar bagi individu karena proses sosialisasi yang dilakukan oleh orangtua individu padanya, melalui pemberian hadiah dan hukuman sehingga individu meyakini kebenarnanya. Dengan demikian kesediaan untuk membuka diri, belajar dan menghargai kultur yang baru akan membuka jalan bagi individu untuk mengatasi culture shock yang dialaminya. 6. Mencoba menemukan kesamaan-kesamaan nilai-nilai antara kulturnya dengan kultur yang baru. Dengan menemukan kesamaan-kesamaan ini, individu akan menjadi lebih merasa dekat dengan negara baru yang didatanginya. Hal ini menimbulkan perasaan memiliki dan familier, sehingga mengurangi perasaan terasing yang dialami akibat culture shock (Guanipa, 1998). 7. Saat kemarahan dan frustasi-frustasi muncul terhadap kultur yang baru dan kecenderungan mengkritik kultur yang baru sangat kuat muncul, sebaiknya individu berhenti sejenak untuk berpikir dan menganalisa persoalan dengan lebih objektif (Guanipa, 1998), tidak melakukan generalisasi. Sangat penting juga menjaga pemikiran untuk tidak dengan gegabah melakukan stereotyping, bisa jadi kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang di tempat yang baru bukan masalah kultur, tetapi



memang masalah watak dari individu tersebut. Dengan kata lain, individu harus menghindari mencampuradukkan masalah personal sebagai masalah kultur. Hal ini berarti, orang dengan watak yang mengganggu tsb. bisa saja ditemukan di kultur manapun, termasuk di kultur asalnya sendiri, sehingga tidak perlu menyalahkan negara baru sebagai pihak yang bertanggungjawab atas ketidaknyamanan yang dialaminya. 8. Memelihara dukungan sosial dan emosional. Ketika berada di lingkungan yang baru, seseorang membutuhkan orang-orang yang bersedia memberikan dukungan sosial. Dukungan sosial meliputi dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental (material), maupun dukungan informasi. Individu harus berusaha agar di tempat yang baru ini, ia memiliki orang-orang yang dapat memberikan dukungan-dukungan sosial yang diperlukan. Dukungan ini bisa diperoleh melalui orangorang yang berasal dari satu negara (misalnya ada perkumpulan pelajar Indonesia di Amerika dll.), atau bisa diperoleh dari orang-orang dari lembaga pelayanan (misalnya di gereja biasanya ada divisi pelayanan mahasiswa/mahasiswa asing). Dengan mengikuti organisasiorganisasi tertentu individu bisa membuka network dan persahabatan dengan orang-orang ini yang bisa memberikan dukungan sosial yang diperlukan (www.wzo.org.il/en/reseources/view.asp?id=1445). 9. Membangun zona stabilitas. Yang dimaksud dengan zona stabilitas adalah segala sesuatu yang bisa membuat individu merasa nyaman dan relax. Hal ini bisa segala sesuatu yang berhubungan dengan hobi,atau hal-hal yang menyenangkan lainnya. Hal ini berarti bahwa selama di negara baru, individu tidak boleh melupakan untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan yang bisa membuat individu merasa nyaman dan relax (www.wzo.org.il/en/reseources/view.asp?id=1445). 10. Beberapa orang menyarankan untuk memiliki jurnal harian. Dalam kondisi belum memiliki seorangpun yang bisa diajak bicara, mencurahkan kegelisahan pada jurnal harian akan membantu proses katarsis individu. Seringkali menuliskan hal-hal yang menggelisahkan dalam jurnal juga menolong individu untuk melihat persoalanpersoalan yang sesungguhnya yang mungkin tak akan tampak bila hanya tersimpan di dalam pikiran saja (www.juliaferguson.com/shock.html) Penutup Seiring dengan issue globalisasi baik di bidang pendidikan maupun di bidang tenaga kerja, yang mengharuskan individu untuk berinteraksi dengan budaya yang berbeda, issue mengenai culture shock tampaknya perlu dipandang dengan lebih serius daripada sebelumnya. Kalau tidak, dikawatirkan gangguan yang dialami karena culture shock bisa menjadi ancaman bagi kesehatan jiwa banyak masyarakat di dunia yang semakin sering melakukan aktifitas lintas budaya. Usaha untuk mengatasi culture shock, akhirnya tidak hanya harus dilakukan individu secara perseorangan, tetapi juga perlu ditangani secara professional dan serius oleh instansi atau lembaga yang terlibat dalam pertukaran antar budaya. Misalnya saja di sekolah internasional, yang memiliki siswa-siswa dari budaya yang berbeda tampaknya perlu menyediakan tenaga konselor dan program yang terarah untuk membantu penyesuaian diri siswa-siswi yang berasal dari budaya yang berbeda. Perhatian juga diperlukan bagi



perusahaan yang memiliki para ekspatriat ataupun mengirimkan karyawannya untuk ditugaskan di tempat yang berbeda dari kultur asalnya, dengan pemberian pelatihan, pemahaman dan training yang sesuai, demi tercapainya produktifitas kerja karyawannya karena terbebas dari culture shock. Pada akhirnya, usaha dari berbagai pihak diharapkan dapat membuahkan hasil yang lebih memuaskan.



DAFTAR PUSTAKA



Adler, P. 1975. The Transitional Experience: An Alternative View of Culture Shock. Journal of Humanistic Psychology 15, 13-23.



Brown, L. & Holloway, I. …. The Initial Stage of The International Sojourn: Excitement or Culture Shock? ………………



______________ Culture Shock.edweb.sdsu.edu/people/CGuanipa/cultshok.htm (retrieved Maret 2006)



______________ Expcerpts from Managing Shock.www.juliaferguson.com/shock.html (retrieved Maret 2006)



Culture



______________ What Happen When We Cross Culture. (www.wzo.org.il/en/reseources/view.asp?id=1445). (retrieved Maret 2006).



______________ Dealing with Culture cultureshock.html(retrieved Maret 2006).



Shock.www.ips.uiuc.edu/sao/students/curr-



Chapdelaine, R.F. 2004. Social Skills Difficulty: Model of Culture Shock for International Graduate Students. Journal of College Student Development March-April 2004.www.findarticles.com/p/articles/mi_qa3752/is_200403/ai_n9351704/print (retrieved Maret 2006)



Chapman, A. 2005. Culture Shock and the International Sutdent “Offshore”. Journal of Research in International Education, 4, 23-42.



Furnham, A. & Bochner, S. 1986. Culture Shock: Psychological Reactions to Unfamiliar Environments. New York: Methuen.



Gaw, K.F. 2000. Reverse Culture Shock in Students Returning from Overseas. International Journal of Intercultural Relations, 24, 83-104.



Guanipa, C. 1998. Culture Shock and The Problem of Adjustment to New Cultural Environment. www. worldwide. edu/planning_guide/culture_re-entry_shock.html (retrieved April, 2006)



Hopkins, J.R. 1999. Studying Abroad as A Form of Experiential Education. Liberal Education, 85, 36-41.



Irwin, R. 2007. Culture Shock: Negotiating Feeling in the Field.Anthropology Matters Journal, 9, 114.



Kaye, M. & Taylor, W.G.K. 1997. Expatriate Culture Shock in China: A Study in the Beijing Hotel Industry. Journal of Managerial Psychology, 12, 495-510.



Lin , C. 2000. Culture Shock, Social Support, and Intercultural Competence: An Investigation of a Chinese Student Organization on a U.S. Campus. Paper presented at the annual meeting of the International Communication Association, Sheraton New York, New York City, NY, Online diambil darihttp://www.allacademic.com/meta/p15158_index.html.



Milton, T.J. 1998. Understanding Culture Shock. FAO Journal, 2, 11-14.



Roland, A, (1988). In Search of Self in India and Japan: A Cross-Cultural Psychology. New York: Princeton University Press.



Wang, J. 2000. Evaluation of CSB/SJU’s China Program. Paper presented at the annual meeting of the International Communication Association, Sheraton New York, New York City, NY, Online diunduh dari :http://www.allacademic.com/meta/p15162_index.html