Resume [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP A. Istilah dan Pengertian Istilah Hukum Perdata Internasional (HPI) yang digunakan di Indonesia sekarang ini merupakan terjemahan dari istilah Private Internasional Law, International Private Law, Internationales Privaatrecht, International Privaatrecht, International Burgerlijkrecht, Droit International Prive, Diritto Internazionale Privato. Dalam membicarakan pengertian HPI ini kita tidak bisa melepaskan diri dari istilah Hukum Internasional (Publik), karena selain sama-sama menyebut internasional, keduanya dipertentangkan antara hukum publik dan perdata. Dengan demikian, antara HPI dan HI (publik) terdapat persamaan, yaitu sama-sama mengatur hubungan atau persoalan yang melintas batas negara (internasional). Sedangkan perbedaannya terletak pada sifat hukum hubungan atau persoalan yang diaturnya (obyeknya). Menurut Mochtar Kusumaatmadja, cara membedakan yang demikian itu lebih tepat daripada membedakan berdasarkan pelakunya (subyek hukumnya) dengan mengatakan bahwa HI (publik) mengatur hubungan antar negara, sedangkan HPI antara orang perseorangan. Karena suatu negara (atau badan hukum publik lainnya) adakalanya melakukan hubungan perdata, sedangkan orang perseorangan menurut hukum internasional modern adakalanya dianggap mempunyai hak dan kewajiban menurut hukum internasional. Dari sumber hukumnya, sumber hukum HI berdasar pasal 38 Statuta (Piagam) Mahkamah Internasional adalah sebagai berikut Perjanjian internasional, Kebiasaan internasional, Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab; dan Putusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang paling terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan bagi menetapkan kaidah hukum. Sedangkan sumber hukum HPI adalah hukum nasional. Oleh karena sumbernya tidak bersifat internasional, maka istilah HPI tersebut dikatakan kurang tepat. Walaupun istilah tersebut banyak mendapat kecaman atau kritik karena dianggap kurang tepat, namun oleh karena istilah tersebut sudah lama dan lazim dipergunakan, maka istilah Hukum Perdata Internasional itu terus digunakan. B. HPI adalah Hukum Nasional Istilah Internasional dalam HPI tidak menunjuk pada sumbernya, tetapi menunjuk kepada fakta-fakta, materinya, feiten complex, atau casus positienya yang bersifat internasional. Jadi, yang internasional itu adalah hubungan-hubungannya, sedangkan kaidah-kaidah HPI adalah hukum perdata nasional. Dengan demikian, masing-masing negara yang ada di dunia ini memiliki HPI sendiri, sehingga akan dikenal HPI Indonesia, HPI Jerman, HPI Inggris, HPI Belanda, dan sebagainya. C. Kritik terhadap Istilah HPI Seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa istilah HPI masih banyak mendapat kritik dari sejumlah penulis HPI, kritik tersebut antara lain mengenai: HPI bukan merupakan hukum internasional, tetapi hukum nasional. Kata internasional dalam HPI tidak merujuk pada sumber hukumnya, Istilah internasional dalam HPI bukan antar negara sebagaimana istilah Hukum Internasional (Publik) yang merupakan hukum antar Negara, Seolah-olah ada ketidakkonsekuenan dalam penggunaan istilah di mana istilah perdata dan internasional. Perdata, tetapi mengapa internasional? Perdata berarti private antara orang-orang pribadi, mana bisa internasional. Jadi seolah-olah ada suatu contradictio in terminis, seperti orang bicara tentang zwarte schimmel.



Tetapi, apabila istilah internasional semata-mata diartikan sebagai internasional dalam hubungannya (internationale verhoudingen atau internasional relations), maka di sini tidak ada lagi contradictio in terminis. D. Hukum Perselisihan Selain istilah HPI adapula yang menggunakan istilah Hukum Perselisihan yang diterjemahkan dari istilah Conflict of Law = Conflictenrecht = Conflicts des lois = Conflict des Status. Sebagai variasi dari istilah conflictenrecht dipergunakan juga istilah collisierecht (Kollisionsrecht) yang kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia bisa menjadi Hukum Kolisi atau Hukum Perselisihan. E. Keberatan terhadap Istilah Hukum Perselisihan 1. Istilah Hukum Perselisihan memberi kesan seolah-olah dalam HPI terdapat perselisihan, bentrokan, pertikaian atau pertentangan di antara berbagai stelsel hukum perdata. Padahal yang dihadapi semata-mata suatu pertemuan atau suatu pertautan dari berbagai stelsel hukum. Tugas utama HPI justru untuk menghindari bentrokan, pertentangan atau perselisihan. Jadi, di sini tidak ada pertentangan atau pertikaian antara berbagai stelsel hukum yang bersangkutan untuk diperlakukan dalam suatu peristiwa hukum tertentu. Apabila suatu stelsel hukum tertentu dipergunakan hakim, maka ini semata-mata karena ditentukan hukum nasional hakim tersebut. 2. Dalam istilah ini juga seolah-olah kedaulatan negara sedang berkonflik, hingga para hakim dalam memilih hukum yang harus dipakainya terpengaruh untuk selalu memakai hukumnya sendiri. Kedaulatan negaranya turut berbicara dan kedaulatan negaranya mensyaratkan, bahwa hukumnya sendiri yang harus berlaku, sehingga hakim dalam setiap persoalan HPI selalu memakai hukumnya sendiri. Padahal, sebenarnya sama sekali tidak ada konflik kedaulatan, karena HPI merupakan bagian dari sistem hukum nasional, maka jika menurut kaidah HPI harus digunakan hukum asing, hal ini berdasar hukum nasional sang hakim sendiri (lex fori). F. Hukum Antar Tata Hukum Setelah melihat dan mempelajari berbagai kelemahan istilah-istilah yang telah dikemukakan di atas, akhirnya Sudargo Gautama menganjurkan sebaiknya digunakan istilah Hukum Antar Tata Hukum (HATAH). Istilah HATAH yang beliau anjurkan ini mengikuti istilah Interlegal Law (Alf Ross), atau Interrechtsordenrechts (Logemann) atau Tussenrechts-Ordenening (Resink). Istilah HATAH memberi kesan tentang adanya suatu Tata Hukum diantara sistem-sistem hukum yang pada suatu saat bertemu. Namun demikian, seperti telah dikemukakan di atas, Sudargo Gautama masih dapat memahami digunakannya istilah HPI, karena istilah tersebut sudah lama dikenal lazim dipergunakan. G. Landasan HATAH Dalam merumuskan HATAH, Sudargo Gautama menggunakan Ilmu Lingkungan Kekuasaan Hukum (Gebiedleer) sebagai landasannya. Menurut Hans Kelsen setiap norma hukum mempunyai 4 (empat) lingkungan kekuasaan berlakunya hukum (rechtsgebiden = spheres). Lingkungan Kekuasaan hukum tersebut adalah sebagai berikut Lingkungan Kuasa Waktu (The spheres of time atau Temporal Spheres); Lingkungan Kuasa Tempat atau Lingkungan kuasa ruang (Territorial spheres atau of space); Lingkungan Kuasa pribadi atau lingkungan kuasa orang (Personal spheres); dan Lingkungan Kuasa Soal-soal (Material Spheres). Berdasarkan lingkungan kuasa tersebut, maka setiap norma hukum berlaku untuk waktu tertentu, pada tempat tertentu, terhadap orang/pribadi tertentu, dan mengenai masalah tertentu.



H. Penggolongan HATAH



HATAH dapat digolongkan atau dibagi dalam dua bagian, yaitu: HATAH Intern dan HATAH Ekstern. HATAH Intern adalah keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stelsel hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan dan peristiwaperistiwa antara warga (warga) negara dalam suatu negara, memperlihatkan titik pertalian dengan stelselstelsel dan kaidah-kaidah hukum yang berbeda dalam lingkungan kuasa waktu, tempat, pribadi, dan soal-soal. Berdasarkan pengertian HATAH Intern tersebut di atas, HATAH Intern ini dapat dibagi lagi dalam 3 (tiga) bagian atau golongan, yaitu: Hukum Antar Waktu, Hukum Antar Tempat, Hukum Antar Golongan, termasuk Hukum Antar Agama. Sedangkan HATAH Ekstern (atau yang biasa disebut sebagai HPI) adalah keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stelsel hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan atau peristiwa-peristiwa antar warga (warga) negara pada suatu waktu memperlihatkan titik-titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah hukum dari dua atau lebih negara, yang berbeda dalam lingkungan kuasa tempat (pribadi), dan soal-soal. Di sini yang ditekankan adalah perbedaan dalam lingkungan kuasa tempat dan soal-soal serta pembedaan dalam sistem satu negara dengan negara lain, artinya di sini terdapat unsur luar negerinya atau unsur asingnya (foreign element). I. Konsepsi / Aneka Pandangan Tentang Luas Ruang Lingkup HPI 1. HPI = Rechtstoepassingsrecht (yang tersempit) HPI hanya terbatas pada masalah hukum yang diberlakukan (rechtstoepassingrecht). Di sini yang dibahas hanyalah masalah-masalah yang harus diberlakukan. Hal-hal yang lain yang berkenaan dengan kompetensi hakim, status orang asing, dan kewarganegaraan tidak termasuk bidang HPI. Pandangan yang demikian ini merupakan pandangan yang tersempit sehubungan dengan ruang lingkup HPI. Sistem semacam ini dianut oleh HPI Jerman dan Belanda. 2. HPI = Choice of law + Choice of Jurisdiction (yang lebih luas) Menurut sistem ini HPI tidak hanya terbatas pada persoalan-persoalan conflict of law (tepatnya choice of law), tetapi termasuk pula persoalan conflict of jurisdiction (tepatnya choice of jurisdiction), yakni persoalan yang bertalian dengan kompetensi atau wewenang hakim. Jadi, HPI tidak hanya menyangkut masalah hukum yang diberlakukan, tetapi juga hakim manakah yang berwenang. Sistem HPI yang lebih luas ini dikenal di Inggris, Amerika Serikat, dan negara-negara Anglo Saxon lainnya. 3. HPI = Choice of Law + Choice of Jurisdiction + Condition des Etrangers (yang lebih luas lagi) Dalam sistem ini HPI tidak hanya menyangkut persoalan pilihan hukum dan pilihan forum/hakim, tapi juga menyangkut status orang asing (condition des etrangers = vreemdelingen-statuut). Sistem semacam ini dikenal di negara-negara latin, yaitu Italia, Spanyol, dan negara-negara Amerika Selatan. 4. HPI = Choice of Law + Choice of Jurisdiction + Condition des Etrangers + Nationalite (yang terluas) Menurut sistem ini HPI menyangkut persoalan pilihan hukum, pilihan forum/hakim, status orang asing, dan kewarganegaraan (nationalite). Masalah kewarganegaraan ini menyangkut persoalan tentang cara memperoleh dan hilangnya kewarganegaraan. Sistem yang sangat luas ini dikenal dalam HPI Perancis, dan juga dianut kebanyakan penulis HPI.



BAB II



TITIK-TITIK PERTALIAN = TITIK TAUT HUKUM PERDATA INTERNASIONAL (Aanknopingspunten = Connecting Factors) A. Pengertian Titik Taut Menurut Sudargo Gautama (Gouw Giok Siong) titik taut atau titik-titik pertalian adalah hal-hal atau keadaan yang menyebabkan berlakunya suatu stelsel hukum (feiten en omstandigheden die voor toepassing in aanmerking doen komen het een of andere rechtsstelsel). Hal yang sama juga diuraikan oleh Cheshire, Connecting factor adalah some outstanding fact which establishes a natural connection between the factual situation before the court. B. Titik-Titik Pertalian Primer (Titik Taut Pembeda) Titik-titik pertalian primer (TPP) adalah faktor-faktor atau keadaan-keadaan atau sekumpulan fakta yang melahirkan atau menciptakan hubungan HPI. Faktor-faktor yang termasuk dalam TPP adalah sebagai berikut: Kewarganegaraan; Bendera kapal; Domisili (domicile); Tempat kediaman (residence); Tempat kedudukan badan hukum (legal seats); dan Pilihan hukum intern. C. Titik-Titik Pertalian Sekunder (Titik Taut Penentu) Titik-titik pertalian sekunder (TPS) adalah faktor-faktor atau sekumpulan fakta yang menentukan hukum mana yang harus digunakan atau berlaku dalam suatu hubungan HPI. Yang termasuk dalam TPS adalah sebagai berikut: 1. Tempat terletaknya benda (situs = lex rei sitae); 2. Tempat dilangsungkannya perbuatan hukum (lex loci actus); 3. Tempat dilangsungkannya atau diresmikannya perkawinan (lex loci celebrationis); 4. Tempat ditandatanganinya kontrak (lex loci contractus); 5. Tempat dilaksanakannya perjanjian (lex loci solutionis = lex loci executionis); 6. Tempat terjadinya perbuatan melawan hukum (lex loci delicti commisi); 7. Pilihan hukum; Menurut Sudargo Gautama ada kemungkinan TPS jatuhnya bersamaan dengan TPP, yaitu: Kewarganegaraan; Bendera kapal; Domisili; Tempat kediaman; dan Tempat kedudukan badan hukum. D. Pembagian Lain Selain pembagian TPP dan TPS yang telah disebutkan di atas, masih dikenal pembagian titik-titik pertalian yang lain, yaitu: Titik Pertalian Kumulatif; Titik Pertalian Alternatif; Titik Pertalian Pengganti; dan Titik Pertalian Pengganti. E. Titik Pertalian Kumulatif Titik pertalian kumulatif merupakan suatu titik pertalian yang di dalamnya terdapat suatu kumulasi titik-titik pertalian, sehingga secara bersamaan sekaligus berlaku berbagai stelsel hukum. 1. Kumulasi hukum sendiri dan hukum asing; dan 2. Kumulasi dua stelsel hukum yang dipertautkan secara kebetulan (willekeurig). F. Titik Pertalian Alternatif Di sini terdapat lebih dari satu titik pertalian yang dapat menentukan hukum yang berlaku, salah satunya dapat dipilih.



G. Titik Pertalian Pengganti (Subsidair) Titik pertalian pengganti adalah titik pertalian yang dipergunakan bilamana titik taut yang seharusnya dipakai tidak ada. Terdapat hubungan yang erat antara titik pertalian pengganti dengan titik pertalian alternatif, titik taut pengganti dapat pula merupakan titik pertalian alternatif. H. Titik Pertalian Tambahan Bilamana titik taut penentu yang harus berlaku adanya tidak mencukupi, dalam hal ini diperlukan suatu titik pertalian tambahan. I. Titik Pertalian Accesoir Dalam istilah ini apa yang diartikan penempatan suatu hubungan hukum di bawah satu stelsel hukum yang sudah berlaku untuk lain hubungan yang lebih diutamakan. BAB III STATUS PERSONAL A. Pengertian Status Personal Status personal adalah kondisi atau keadaan suatu pribadi dalam hukum yang diberikan/diakui oleh negara untuk mengamankan dan melindungi lembaga-lembaganya. Status personal ini meliputi hak dan kewajiban, kemampuan dan ketidakmampuan bersikap tindak di bidang hukum, yang unsur-unsurnya tidak dapat berubah atas kemauan pemiliknya. Walaupun terdapat perbedaan mengenai status personal ini, pada dasarnya status personal adalah kedudukan hukum seseorang yang umumnya ditentukan oleh hukum dari negara di mana ia dianggap terikat secara permanen. B. Ruang Lingkup Status Personal 1. Konsepsi Luas Menurut konsepsi luas, status personal meliputi berbagai hak-hak hukum pada umumnya, termasuk permulaan (lahirnya) dan terhentinya kepribadian, kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum, perlindungan kepentingan pribadi, persoalan yang berkaitan dengan hukum keluarga dan waris. 2. Konsepsi yang Agak Sempit Konsepsi yang antara lain dianut oleh Perancis ini tidak menganggap sebagai status personal: hukum harta benda perkawinan, pewarisan, dan ketidakmampuan bertindak di bidang hukum dalam hal khusus, misalnya dokter tidak diperkenankan memperoleh suatu hak yang timbul dari pasiennya. 3. Konsepsi yang Lebih Sempit Konsepsi ini sama sekali tidak memasukkan hukum keluarga dan waris dalam jangkauan status personal. C. Cara Menentukan Status Personal Persoalan hukum manakah yang harus dipergunakan untuk menentukan status personal seseorang merupakan salah satu persoalan fundamental dalam ajaran-ajaran HPI. Secara garis besar ada 2 (dua) asas atau aliran dalam menentukan status personal, yaitu: 1. Aliran Nasionalitas atau Kewarganegaraan (Lex Patriae) Yang mengaitkan status personal seseorang kepada hukum nasionalnya, dengan kata lain, untuk menentukan status personal suatu pribadi berlaku hukum nasionalnya. 2. Aliran Teritorialitas atau Domisili (Lex Domicilii)



Yang memakai hukum domisili sebagai titik tautnya. Status personal suatu pribadi tunduk pada hukum di mana ia berdomisili. Perbedaan kedua asas atau aliran tersebut di atas pada pokoknya dapat dikembalikan pada perbedaan diletakkannya titik berat atas segi personalitas atau teritorial hukum. Titik taut dalam HPI negara-negara Eropa Kontinental lebih menekankan segi personalitas hukum. Sebaliknya titik taut dalam HPI negara-negara Anglo Saxon lebih menekankan segi teritorial hukum. D. Kewarganegaraan 1. Pengertian Setiap negara yang merdeka dan berdaulat mau tidak mau harus memiliki warganegara. Tidak ada yang berdaulat yang tidak punya warganegara. Suatu negara tidaklah lengkap bilamana tidak memiliki warganegara, karena menurut ilmu negara, suatu negara harus memiliki atau memenuhi tiga unsur pokok, yaitu Harus memiliki wilayah tertentu; Harus memiliki suatu organisasi tertentu; dan Harus memiliki suatu kelompok anggota tertentu. Bilamana negara merupakan suatu organisasi, yaitu organisasi kekuasaan, suatu organisasi memerlukan orang-orang yang dianggap sebagai anggota organisasi yang bersangkutan, maka warganegara adalah anggota negara yang bersangkutan. Pembatasan mengenai siapa yang merupakan warganegara suatu negara ditetapkan sendiri oleh negara yang bersangkutan. Hal ini merupakan hak mutlak suatu negara yang berdaulat. 2. Prinsip-Prinsip Umum Kewarganegaraan Kebebasan suatu negara untuk menentukan siapa menjadi warganegara dibatasi oleh prinsip-prinsip umum (general principles) hukum international mengenai kewarganegaraan. Pembatasan terhadap kebebasan dalam menentukan warga negara: a. Orang-orang yang tidak mempunyai hubungan apapun dengan suatu negara tidak boleh dimasukkan sebagai warganegara dari negara yang bersangkutan; b. Suatu negara tidak boleh menentukan siapa-siapa yang merupakan warganegara suatu negara lainnya. 3. Cara Menentukan Kewarganegaraan Ada dua asas utama dalam menentukan kewarganegaraan seseorang, yaitu Asas Tempat Kelahiran (ius soli); dan Asas Keturunan (ius sanguinis). ad.a Kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh tempat kelahirannya. Misalnya seseorang dilahirkan di negara X, maka ia merupakan warganegara dari negara X tersebut. ad.b. Kewarganegaraan seseorang ditentukan berdasarkan keturunannya. Misalnya seseorang yang lahir di Belanda dari kedua orang tuanya yang mempunyai kewarganegaraan Indonesia, maka yang bersangkutan menjadi warganegara Indonesia. Akibat digunakannya cara yang berbeda dalam menentukan kewarganegaraan tersebut bisa menimbulkan lebih dari satu kewarganegaraan, yaitu kewarganegaraan dengan kedudukan bipatride atau multipatride. Tetapi bisa seseorang bahkan tidak mempunyai kewarganegaraan sama sekali (apatride). E. Domisili (Domicile) 1. Pengertian Pengertian dan pengaturan hukum tentang domisili yang berlaku di berbagai negara tidaklah sama, tetapi memperlihatkan suatu keanekaragaman. Namun demikian, ada corak utama yang terdapat dalam konsepsi domisili yang dikenal dimana-mana, yaitu bahwa yang dimaksud dengan domisili adalah negara atau tempat menetap tang menurut hukum dianggap sebagai pusat kehidupan seseorang (centre of his life).



Pengertian ini sama dalam setiap stelsel hukum, tetapi apa yang dianggap sebagai pusat kehidupan seseorang tidak dinilaikan sama. Berbagai cara yang berbeda digunakan sebagai ukuran untuk menentukan tempat manakah yang merupakan pusat kehidupan itu. 2. Konsepsi Domisili di Inggris Di dalam sistem hukum Inggris dikenal tiga macam domisili, yaitu Domicile of origin; Domicile of choice; dan Domicile by operation of the law. ad.a. Domicile of Origin adalah Setiap orang memperoleh domicile of origin pada waktu kelahirannya. Bagi anak sah, domicile of origin-nya adalah negara dimana ayahnya berdomisili pada saat ia (sang anak) dilahirkan. Sedangkan bagi anak tidak sah, domisili ibunyalah yang menentukan. Domisili sang ayah tersebut dapat berupa domicile of choice atau domicile of origin. Dalam hal sang ayah mempunyai domicile of choice, maka domisili tersebut merupakan domicile of origin sang anak. Jika sang ayah tidak pernah memperoleh domicile of choice, maka domicile of origin sang ayahlah yang menentukan. Konsepsi domicile of origin yang dianut di Inggris dalam memberlakukan hukum bagi status personal, ternyata hampir menyerupai konsepsi kewarganegaraan, karena di manapun seseorang berada, hukum yang berlaku baginya hukum dari negara ia berasal. ad.b. Domicile of Choice Untuk memperoleh domicile of choice menurut sistem hukum Inggris diharuskan untuk memenuhi persyaratan, yaitu Kemampuan (capacity); Tempat kediaman (residence); dan Hasrat (intention). Bagi seseorang yang tidak mampu bertindak dalam hukum, seperti anak di bawah umur dan orang yang berada dalam pengampuan tidak memperoleh domicile of choice tersendiri. Untuk memperoleh domicile of choice, seseorang selain harus mempunyai kemampuan juga disyaratkan untuk memiliki tempat tertentu sebagai kediaman sehari-hari (habitual residence). Selain itu, harus ada pula hasrat untuk tetap tinggal pada tempat kediaman tersebut (permanent residence). Berdasarkan uraian tersebut di atas, pengertian domisili hukum Perancis (dan negara Eropa kontinental lainnya) tidak sama dengan pengertian domisili menurut hukum Inggris. Menurut sistem hukum Perancis (dan negara Eropa kontinental lainnya) istilah domisili cukup memenuhi syarat kemampuan dan tempat kediaman saja. Dengan kata lain istilah domisili tersebut lebih ditekankan pada tempat kediaman saja. Hal semacam ini mirip dengan apa yang dinamakan habitual residence dalam hukum Inggris. Di dalam sistem hukum Inggris, habitual residence itu bisa menjadi domicile of choice bilamana diiringi hasrat untuk terus menetap di tempat yang baru itu (animus semper manendi). Orang yang bersangkutan hendak hidup di negara baru yang dipilihnya itu untuk waktu yang tidak tertentu dan tidak terbatas. Ia harus mempunyai hasrat “hidup dan mati” (live and die) di negara yang dipilihnya itu. ad.c. Domicile by Operation of the Law adalah domisili yang dimiliki orang-orang yang tergantung pada domisili orang lain (dependent). Yang termasuk dalam kategori ini adalah anak di bawah umur, orang yang berada di bawah pengampuan, dan wanita yang berada dalam perkawinan. Domisili anak di bawah umur adalah domisili ayahnya. Kemudian domisili bagi wanita yang berada dalam perkawinan adalah domisili suaminya. 3. Doctrine of Revival Sisi lain yang pantas mendapat perhatian mengenai domisili menurut hukum Inggris ini adalah apa yang dinamakan dengan doctrine of revival. Menurut doktrin ini bilamana seorang telah melepaskan



domisili semula, tetapi tidak memperoleh domisili lainnya, maka domicile of origin-nyalah yang hidup kembali. Hal ini berbeda dengan doctrine of continuance of domicile yang dianut di Amerika Serikat. Menurut doktrin ini domisili yang semula berlangsung hingga yang bersangkutan memperoleh domisili lain. 4. Beberapa Ketentuan Lain Beberapa ketentuan lain yang menarik perhatian dalam konsepsi domisili Inggris adalah: a. Ketentuan bahwa setiap orang harus mempunyai suatu domisili; b. Setiap orang hanya mempunyai satu domisili; dan c. Persoalan apakah seseorang mempunyai domisili menurut HPI Inggris ditentukan oleh hukum Inggris. F. Alasan-Alasan Pendukung Prinsip Kewarganegaraan Ada beberapa alasan yang dikemukakan pendukung prinsip nasionalitas / kewarganegaraan: 1. Prinsip ini paling cocok untuk perasaan hukum seseorang; Hukum nasional yang dihasilkan oleh warganegara dari suatu negara tertentu adalah cocok bagi warganegara yang bersangkutan. Pembuat hukum nasional tentu lebih mengenal kepribadian dan kebutuhan warganegaranya. 2. Lebih permanen dari hukum domisili; Katanya prinsip kewarganegaraan lebih tetap atau permanen dari prinsip domisili, karena kewarganegaraan tidaklah begitu mudah dirubah sebagaimana domisili. Padahal status personal yang mengatur hubungan keluarga memerlukan stabilitas sebanyak mungkin. 3. Prinsip kewarganegaraan membawa lebih banyak kepastian; katanya kewarganegaraan membawa kepastian, karena kewarganegaraan lebih mudah diketahui daripada domisili seseorang. Hal ini disebabkan karena adanya peraturan-peraturan tentang kewarganegaraan yang lebih pasti dari negaranegara yang bersangkutan. Dalam peraturan ini diatur cara-cara memperoleh dan kehilangan kewarganegaraan suatu negara. G. Alasan-Alasan Pendukung Prinsip Domisili Alasan yang dikemukakan oleh pendukung prinsip domisili adalah sebagai berikut: 1. Hukum Domisili adalah Hukum dimana yang Bersangkutan Sesungguhnya Hidup. Dimana seseorang sehari-hari sesungguhnya hidup, sudah sewajarnya jika hukum dari tempat itulah yang dipakai untuk menentukan status personalnya. Orang yang bersangkutan bukan saja menyesuaikan diri dengan kebiasaan, bahasa, dan pandangan sosial dimana ia mulai dengan lingkungan hidup barunya itu, tetapi juga ketentuan-ketentuan hukum negara yang bersangkutan mengenai status personalnya itu. 2. Prinsip Kewarganegaraan Seringkali Memerlukan Bantuan Domisili. Ternyata seringkali prinsip kewarganegaraan tidak dapat dilaksanakan dengan baik tanpa dibantu prinsip domisili. Misalnya kalau terdapat perbedaan kewarganegaraan dalam satu keluarga dimana suami-istri mempunyai kewarganegaraan yang berbeda, dalam keadaan demikian, sukar untuk tetap memakai kewarganegaraan sebagai faktor yang menentukan. Sehingga, dalam hal ini prinsip domisililah yang dapat membantu. 3. Hukum Domisili Seringkali Sama dengan Hukum Sang Hakim. Dalam banyak hal, hukum domisili bersamaan dengan hukum sang hakim (lex fori). Diajukannya suatu perkara di hadapan hakim dimana para pihak atau tergugat bertempat tinggal merupakan pegangan utama untuk menentukan kompetensi atau yurisdiksi hakim. 4. Cocok untuk Negara-negara yang Mengenal Pluralisme Hukum. Hukum domisili adalah satunya yang dapat dipergunakan dengan baik dalam negara-negara yang struktur hukumnya tidak mengenal unifikasi hukum, seperti Amerika Serikat yang di setiap negara bagiannya



mempunyai hukum perdata tersendiri. Dalam keadaan demikian, prinsip nasionalitas tidak dipakai dalam penyelesaian perkara HPI. Sehingga, perlu dibantu dengan prinsip domisili. 5. Domisili Menolong bilamana Prinsip Kewarganegaraan Tidak Dapat Dilaksanakan. Adakalanya prinsip kewarganegaraan tidak dapat dilaksanakan, karena yang bersangkutan tidak mempunyai kewarganegaraan atau mempunyai lebih dari satu kewarganegaraan. 6. Demi Kepentingan Adaptasi dan Asimilasi dari para Imigran. Untuk dapat mempercepat proses adaptasi dan asimilasi orang-orang asing, maka sebaiknya negara-negara imigrasi memakai prinsip domisili. Dengan demikian, dapat dicegah adanya kelompok orang asing yang tetap mempertahankan hubungan mereka dan juga dalam taraf yang lebih luas ikatan-ikatan dengan negara asal mereka. H. Pasal 16 Algemeene Bepalingen Van Wetgeving Voor Indonesie Menurut pasal 16 Algemeene Bepalingen Van Wetgeving Voor Indonesie (AB) seorang warganegara Indonesia yang berada di luar negeri untuk persoalan-persoalan yang berkenaan dengan status personal tetap di bawah hukum Indonesia. Sebaliknya, bagi orang asing yang berada di Indonesia, berkenaan dengan persoalan-persoalan yang berkenaan dengan status personal juga akan tetap di bawah hukum nasionalnya sendiri. Dengan demikian, tampaklah, bahwa pasal 16 AB ini dalam menentukan status personal menganut prinsip kewarganegaraan atau nasionalitas. I. Pandangan Sudargo Gautama Menurut Sudargo Gautama tidak mungkin diperoleh kata sepakat mengenai apa yang lebih baik untuk stelsel-stelsesl HPI yang bersangkutan diantara kedua prinsip tersebut di atas. Tidak akan mungkin meyakinkan pendukung masing-masing prinsip tersebut. Kepentingan-kepentingan yang sifatnya politis dan tradisi negara yang bersangkutan memegang peranan penting dalam menentukan pilihan terhadap prinsipprinsip tersebut di atas. Kebutuhan hukum masing-masing negara juga berbeda. Maka tidak mungkin diadakan unifikasi HPI yang bertalian dengan cara apa yang paling baik untuk menentukan status personal ini. Oleh karena itu, sebaiknya dicari modus Vivendi yang dapat diberlakukan antara kedua prinsip itu. Kombinasi diantara keduanyalah yang paling baik. Juga untuk setiap negara harus ditentukan sendiri sistem mana yang paling cocok. Sudargo Gautama sendiri sebenarnya lebih cenderung menyatakan agar Indonesia menganut prinsip domisili, dengan alasan, diantaranya adalah: 1. Alasan praktis, bahwa diperkecil berlakunya hukum asing. Jadinya yang lebih banyak dipakai adalah hukum Indonesia sendiri. Dengan demikian ada kemudahan didapat hakim Indonesia bila mengadili perkara HPI, karena bagaimanapun juga hukum Indonesia lebih mengenal hukumnya sendiri daripada hukum asing; 2. Mengingat pula, bahwa di Indonesia pada waktu ini masih kekurangan bahan bacaan dan material sumbersumber hukum untuk mengetahui dengan baik hukum asing itu; dan 3. Secara geografis, negara kita terletak dalam lingkungan negara-negara tetangga yang memakai prinsip domisili. Namun, beliau menambahkan bilamana kita hendak mempertahankan prinsip nasionalitas, maka hal ini juga dapat dilakukan dengan menerima suatu kombinasi antara prinsip domisili dan nasionalitas. Misalnya dapat ditentukan bahwa prinsip nasionalitas ini akan dipertahankan terhadap orang asing yang belum 2 tahun menetap di Indonesia. Tetapi, apabila mereka sudah lebih dari 2 tahun menetap di Indonesia, maka tidak akan dipakai lagi hukum nasional mereka berkenaan dengan status personal, hukum Indonesialah yang berlaku.



BAB IV KUALIFIKASI DI DALAM HUKUM PERDATA INTERNASIONAL A. Istilah dan Pengertian Kualifikasi Beberapa istilah kualifikasi yang dikenal diberbagai negara adalah sebagai berikut: 1. Qualification (Perancis); 2. Qualification / Characterisierung (Jerman); 3. Classification / Characterization (Inggris); dan 4. Qualificatie (Belanda). Di dalam setiap proses pengambilan keputusan yuridis, tindakan kualifikasi merupakan tindakan yang praktis selalu dilakukan. Alasannya, dengan kualifikasi orang mencoba menata sekumpulan fakta yang dihadapi, mendefinisikannya, dan menempatkannya ke dalam suatu kategori hukum tertentu. Dengan kata lain, kualifikasi dapat dikatakan sebagai penerjemahan fakta sehari-hari ke dalam kategori hukum tertentu (translated into legal term), sehingga dapat diketahui arti yuridisnya (legal significance). B. Macam-Macam Kualifikasi di dalam HPI Seperti halnya hukum perdata intern lainnya, di dalam HPI juga diperlukan kualifikasi. Fakta-fakta harus berada di bawah kategori hukum tertentu (subsumption of facts under categories of law). Dengan demikian, fakta-fakta diklasifikasikan, dimasukkan ke dalam klas-klas pengertian hukum yang ada; faktafakta dikarakteristikkan. Di dalam HPI, selain fakta-fakta tersebut, kaidah hukumpun perlu dikualifikasikan (classification of law). Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka di dalam HPI dikenal dua macam kualifikasi, yaitu: 1. Kualifikasi Fakta (Classification of Facts) Kualifikasi fakta adalah kualifikasi yang dilakukan terhadap sekumpulan fakta dalam suatu peristiwa hukum untuk ditetapkan menjadi satu atau lebih peristiwa hukum, berdasarkan kategori hukum dan kaidah-kaidah hukum dari sistem hukum yang dianggap seharusnya berlaku. 2. Kualifikasi Hukum (Classification of Law) Kualifikasi hukum adalah penggolongan / pembagian seluruh kaidah hukum ke dalam pengelompokan / pembidangan kategori hukum tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan demikian, proses kualifikasi di dalam HPI mencakup langkah-langkah sebagai berikut: 1. Kualifikasi sekumpulan fakta dalam suatu perkara ke dalam kategori yang ada; 2. Kualifikasi sekumpulan fakta tersebut ke dalam kaidah-kaidah / ketentuan hukum yang seharusnya berlaku (lex causae). C. Arti Pentingnya Kualifikasi bagi HPI Di dalam HPI, masalah kualifikasi merupakan salah satu masalah yang sangat penting, karena dalam suatu perkara HPI selalu terjadi kemungkinan pemberlakuan lebih dari satu sistem hukum untuk mengatur sekumpulan fakta tertentu. Kenyataan ini menimbulkan masalah utama, yaitu dalam suatu perkara HPI, tindakan kualifikasi harus dilakukan berdasarkan sistem hukum mana/apa di antara pelbagai sistem hukum yang relevan. Masalah kualifikasi dalam HPI menjadi lebih rumit dibandingkan dengan proses kualifikasi dalam persoalan-persoalan hukum intern nasional lainnya, karena: 1. Pelbagai sistem hukum seringkali menggunakan terminologi yang serupa/sama, tetapi untuk menyatakan hal yang berbeda. Misalnya: Istilah domisili dalam hukum Indonesia berarti tempat kediaman tetap



(habitual residence), sedangkan dalam hukum Inggris, domisili dapat berarti domicile of origin, atau, domicile of choice, atau domicile by operation of the law. 2. Pelbagai sistem hukum mengenal konsep atau lembaga hukum tertentu, yang ternyata tidak dikenal dalam sistem hukum lain. Misalnya lembaga Trust yang khas dalam hukum Inggris, atau lembaga “pengangkatan anak” yang dikenal dalam hukum adat. 3. Pelbagai sistem hukum menyelesaikan perkara-perkara hukum yang secara faktual pada dasarnya sama, tetapi dengan menggunakan kategori hukum yang berbeda. Misalnya: Seorang janda yang menuntut hasil dari sebidang tanah warisan suaminya, menurut hukum Perancis dianggap sebagai masalah “pewarisan”, sedangkan di Inggris dianggap sebagai “hak janda yang menuntut bagian dari harta perkawinan”. 4. Pelbagai sistem hukum mensyaratkan sekumpulan fakta yang berbeda-beda untuk menetapkan adanya suatu peristiwa hukum yang pada dasarnya sama. Misalnya: Masalah peralihan hak milik yang berbeda antara hukum Perancis dan hukum Belanda. 5. Pelbagai sistem hukum menempuh proses/prosedur yang berbeda untuk mewujudkan / menerbitkan hasil atau status hukum yang pada dasarnya sama. Misalnya: Suatu perjanjian baru dianggap mengikat bila dibuat secara bilateral (hukum Inggris) atau dimungkinkan adanya perjanjian sepihak (Indonesia = BW). Masalah-masalah khas tersebut, sebenarnya dapat dipersempit menjadi dua masalah utama, yaitu bahwa dalam kualifikasi HPI terdapat masalah-masalah: 1. Kesulitan untuk menentukan ke dalam kategori apa sekumpulan fakta dalam perkara harus digolongkan. 2. Apa yang harus dilakukan bila dalam suatu perkara tersangkut lebih dari satu sistem hukum, dan masingmasing menetapkan cara kualifikasi yang berbeda, sehingga timbullah konflik kualifikasi. Jadi, masalah utama yang dihadapi adalah berdasarkan sistem hukum apa kualifikasi dalam suatu perkara HPI harus dilakukan? Kasus klasik di dalam hukum Inggris yang dapat menggambarkan konflik kualifikasi adalah perkara Anton v Bartolo yang terkenal dengan nama the Maltese Marriage Case (1889). Pokok perkaranya adalah sebagai berikut: 1. Sepasang suami istri, pada saat pernikahan (sebelum tahun 1870) berdomisili di Malta (pada waktu itu jajahan Inggris); 2. Setelah pernikahannya, mereka pindah dan berdomisili di Aljazair (saat itu jajahan Perancis) dan memperoleh kewarganegaraan Perancis; 3. Di situ sang suami membeli sebidang tanah; 4. Setelah sang suami meninggal dunia, sang isteri menuntut ¼ bagian dari hasil tanah; 5. Perkara diajukan di pengadilan Perancis; (Aljazair) Beberapa titik taut yang tampak dari sekumpulan fakta di atas menunjukkan: 1. Inggris (Malta) adalah locus celebrationis, sehingga hukum Inggris relevan sebagai lex loci celebrationis; 2. Perancis (Aljazair) adalah domisili, nasinalitas, situs benda, dan locus forum. Oleh karena itu, hukum Perancis relevan sebagai lex domicilii, lex patriae, lex situs, dan lex fori. Proses penyelesaian perkara: Antara kaidah-kaidah HPI Inggris dan Perancis terdapat kesamaan sikap berikut: 1. masalah pewarisan tanah harus diatur oleh hukum dari tempat dimana tanah itu berada/terletak (asas lex resi sitae); 2. hak-hak seorang janda yang terbit karena perkawinan (matrimonial rights) harus diatur berdasarkan tempat para pihak berdomisili pada saat perkawinan diresmikan (asas lex loci celebrationis). Yang menjadi permasalahan bagi hakim Perancis yang mengadili perkara tersebut adalah sekumpulan fakta tersebut di atas, bagi hukum intern Perancis (code Civil) dikualifikasikan sebagai ma salah pewarisan tanah (succession of land), sedangkan berdasar hukum intern Inggris, perkara akan dikualifikasikan sebagai masalah hak janda atas harta perkawinan (matrimonial rights).



Jadi, yang menjadi persoalan disini adalah sebagai perkara apa sekumpulan fakta di atas harus dikualifikasikan ? Disinilah timbul persoalan konflik kualifikasi. Bilamana perkara tersebut dikualifikasikan berdasar hukum lex fori, maka tuntutan sang janda itu akan ditolak, karena berdasar hukum Perancis seorang janda tidak berhak mewarisi harta peninggalan suaminya. Disisi pihak, bilamana perkara tersebut dikualifikasikan menurut hukum Inggris (lex loci celebrationis), maka tuntutan sang janda dapat dikabulkan, karena seorang janda berhak atas tanah itu sebagai bagian dari harta perkawinan. Hakim Perancis (forum) akhirnya memutuskan, bahwa perkara tersebut harus dikualifikasikan sebagai harta perkawinan (matrimonial rights). Jadi hakim Inggris, dalam hal ini, dianggap sebagai hukum yang seharusnya berlakunya (lex causae). D. Teori Kualifikasi Dari perkara Anton V Bartolo tersebut diatas, timbul pertanyaan atau permasalahan: Berdasar sistem hukum apa kualifikasi suatu perkara harus dilakukan ? Pertanyaan semacam inilah yang mendorong timbulnya berbagai teori kualifikasi. Menurut Sudargo Gautama secara garis besar terdapat tiga macam teori kualifikasi, yaitu: 1. Teori Kualifikasi menurut Lex Fori 2. Teori Kualifikasi menurut Lex Cause 3. Teori Kualifikasi yang Dilakukan secara Otonom (autonomen qualification) berdasarkan metode perbandingan hukum atau analytical jurisprudence. Masing-masing teori atau aliran tersebut di atas mempunyai pendukung atau pembela tersendiri yang tidak kurang termashurnya dari yang lain. 1. Kualifikasi Menurut Lex Fori Menurut teori yang ditokohi Franz Kahn (Jerman) dan Bartin (Perancis) kualifikasi harus dilakukan menurut hukum materiel pihak hakim yang mengadili perkara yang bersangkutan (lex fori). Pengertianpengertian hukum yang ditemukan kaidah HPI harus dikualifikasikan menurut sostem hukum negara sang hakim sendiri. Para penganut teori lex fori umumnya sependapat, bahwa terhadap beberapa kualifikasi yang disebut di bawah ini dikecualikan dari kualifikasi lex fori, yaitu: a. kualifikasi kewarganegaraan; b. kualifikasi benda bergerak – benda tidak bergerak; c. kualifikasi suatu kontrak yang ada pilihan hukumnya; d. kualifikasi berdasarkan konvensi-konvensi internasional (bila negara yang bersangkutan turut serta dalam konvensi internasional yang bersangkutan); e. kualifikasi perbuatan melawan hukum; f. pengertian-pengertian yang digunakan mahkamah-mahkamah internasional. Sisi positif atau kebaikan teori ini adalah, bahwa kaidah-kaidah hukum lex fori paling dikenal hakim, perkara yang ada relatif lebih mudah diselesaikan. Tetapi kelemahannya adalah dapat atau adakalanya menimbulkan ketidakadilan, karena kualifikasi dijalankan menurut ukuran-ukuran yang tidak selalu sesuai dengan sistem hukum asing yang seharusnya diberlakukan, atau bahkan dengan ukuran-ukuran yang tidak sama sekali oleh sistem hukum asing tersebut. a. A. berusia 19 tahun, berdomisili di Perancis; b. A menikah dengan B (seorang wanita bekewarganegaraan Inggris); pernikahan dilakukan di Inggris; c. A menikah dengan B tanpa izin orang tua A (hal ini diwajibkan oleh pasal 148 Code Civil Perancis);



d. Di Perancis, A kemudian mengajukan permohonan pembatalan perkawinan (marriage annulment) dengan dasar, bahwa perkawinan dengan B dilakukan tidak seizin orang tua. Permohonan ini dikabulkan pengendalian Perancis. e. Beberapa waktu kemudian, B (merasa sudah tidak terikat pada A) melangsungkan pernikahan dengan C (warganegara Inggris). Perkawinan dilangsungkan di Inggris; f. Setelah menyadari kenyataan, bahwa B masih terikat perkawinan dengan A (karena berdasarkan hukum Inggris perkawinan A dan B belum dibubarkan), maka C mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dengan B, dasar permohonannya adalah, bahwa B telah melakukan poligami; g. Permohonan C tersebut diajukan ini Pengadilan Inggris. Dalam menyelesaikan perkara ini, yang harus diputuskan terlebih dahulu adalah apakah perkawinan A dan B sah atau tidak ? Dalam kaitan ini, titik taut yang ada menunjuk kepada hukum Inggris (karena perkawinan A dan B dilangsungkan dan diresmikan di Inggris), dan juga menunjuk kepada hukum Perancis (karena A adalah warganegara Perancis dan berdomisili di Perancis). Dalam kaitannya dengan permaslahaan tersebut di atas kaidah HPI Inggris menyatakan: 1. Persyaratan esensial suatu perkawinan, termasuk kemampuan hukum seorang pria untuk menikah (legal capacity to marry) harus ditentukan berdasarkan lex domicilii (dalam hal ini Perancis); 2. Persyaratan formal suatu perkawinan harus diatur oleh lex loci celebrationis (dalam hal ini hukum Inggris). Sementara itu, bila pasal 148 Code Civil Perancis diperhatikan, maka dapat dikatakan bahwa ketentuan tentang kewajiban yang tercantum di dalamnya harus dianggap sebagai persyaratan esensial bagi suatu perkawinan. Pasal 148 Code Civil Perancis menyatakan: “Seorang anak laki-laki yang belum berusia 25 tahun tidak dapat menikah bila tidak ada izin dari orang tuanya.” Jadi, bagi hukum Perancis (lex domicilii A) tidak adanya izin orang tua seharusnya menyebabkan batalnya perkawinan antara A dan B. Tetapi, dalam kenyataannya hakim Inggris memutuskan: 1. perkawinan antara A dan B dinyatakan tetap sah, sebab izin orang tua berdasarkan hukum Inggris (lex fori) dianggap sebagai persyaratan formal saja, dan secara hukum perkawinan itu tetap dianggap sah, karena dianggap telah memenuhi ketentuan/persyaratan esensial hukum Inggris sebagai lex loci celebrationis; 2. Karena itu pula, perkawinan antara B dan C dianggap tidak sah (karena dianggap polygamous) dan harus dinyatakan batal (permohonan C dikabulkan). Dari cara berpikir hakim Inggris itu, tampak bahwa ia mengkualifikasikan “izin orang tua” berdasar hukumnya sendiri saja (lex fori). Jadi ketentuan pasal 148 Code Civil Perancis (sebagai lex causae) dikualifikasikan berdasarkan lex fori. 2. Kualifikasi Menurut Lex Cause Teori semula dikemukakan Despagnet, dan kemudian diperjuangkan lebih lanjut oleh Martin Wolff dan G.C. Cheshire. Teori ini beranggapan, bahwa kualifikasi harus dilakukan sesuai dengan sistem serta ukuran dari keseluruhan hukum yang bersangkutan dengan perkara. Tindakan kualifikasi dimaksudkan untuk menentukan kaidah HPI mana dari lex fori yang erat kaitannya dengan hukum asing yang seharusnya berlaku. Penentuan ini dilakukan dengan mendasarkan diri pada kualifikasi yang telah dilakukan berdasar sistem hukum asing yang bersangkutan.



Setelah lembaga hukum tersebut ditetapkan, barulah ditetapkan kaidah-kaidah hukum apa diantara kaidah lex fori yang harus digunakan untuk menyelesaikan suatu perkara. Contoh kasus yang dapat menggambarkan penggunaan kualifikasi lex cause dapat dilihat dalam perkara Nicols v Nicols (1900). Kasus posisinya sebagai berikut: a. sepasang suami isteri warganegara Perancis; b. pernikahan mereka dilakukan di Perancis, tanpa ada perjanjian tentang harga per kawinan (tahun 1985); c. suami isteri itu pindah ke Inggris. Suami meninggal di Inggris, dengan meninggalkan testament yang isinya mengabaikan semua hak isteri atas harta perkawinan; d. sang isteri kemudian mengajukan gugatan di pengadilan Inggris untuk menuntut haknya atas harta bersama. Jalannya proses penyelesaian perkara: Menurut kaidah hukum Inggris, hak milik atas benda-benda bergerak sepasang suami isteri harus diatur dengan sebuah kontrak (baik secara tegas maupun diam-diam). Bila kontrak tersebut tidak ada, maka hukum yang berlaku (untuk mengatur masalah harta perkawinan itu) adalah hukum tempat perkawinan dilangsungkan (lex loci celebrationis, dalam hal ini hukum Perancis). Di dalam hukum material Perancis ditetapkan, bahwa harta yang ada dalam suatu perkawinan menjadi harta bersama (communaute des biens) bila diantara para pihak tidak dibuat perjanjian secara tegas. Dalam keadaan demikian, maka hakim harus menetapkan terlebih dahulu, apakah gugatan janda itu harus dikualifikasikan sebagai masalah pewarisan atau masalah kontraktual ? Hukum intern Inggris mengklasifikasikan masalah semacam ini sebagai masalah pewarisan (testamentary rights), karena kenyataan menunjukkan tidak adanya kontrak yang dibuat para pihak mengenai harta bersama. Oleh karena itulah HPI Inggris menunjuk ke arah lex loci clebrationis (hukum Perancis). Tetapi dalam keputusannya, hakim menganggap lembaga communaute des biens dari hukum Perancis, dapat dianggap sebagai “kontrak diam-diam (implied contract)”. Berdasarkan titik tolak itu, hakim menarik kesimpulan: a. harta perkawinan itu adalah harta bersama, sesuai dengan konsep hukum Perancis; b. walaupun tidak ada kontrak yang tegas mengenai status harta perkawinan, tetapi karena harta perkawinan itu merupakan harta bersama, maka hal itu dapat dianggap sebagai suatu kontrak diamdiam yang dibuat para pihak. Putusan Hakim: a. testament sang suami yang mengabaikan hak-hak isteri atas harta bersama dianggap batal; b. suami hanya berhak ½ bagian dari seluruh harta kekayaan; c. sang janda berhak ½ bagian dari harta kekayaan; d. berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, maka permohonan sang janda dikabulkan. 3. Kualifikasi Otonom Teori yang antara lain dikemukakan oleh Ernest Rabel dan Beckett ini pada dasarnya menggunakan metode perbandingan hukum untuk membangun suatu si stem kualifikasi yang berlaku secara universal. Jadi, kualifikasi yang dilakukan secara otonom ini terlepas dari salah satu sistem hukum tertentu, artinya dalam HPI seharusnya ada pengertian (begrip) hukum yang khas dan berlaku umum serta mempunyai makna yang sama di manapun di dunia ini. Teori memang ideal sekali, tetapi di dalam praktek hal tersebut sukar dilaksanakan, karena: a. menemukan dan menetapkan pengertian-pengertian hukum yang dapat dianggap sebagai pengertian yang berlaku umum, adalah pekerjaan yang sulit dilaksanakan, bila tidak mau dikatakan sebagai tidak



mungkin. Pengalaman telah membuktikan, bahwa pembentukan pengertian-pengertian hukum yang dapat diterima bersama oleh dua atau tiga sistem hukum yang masing-masing tidak memperlihatkan perbedaan yang berarti, sudah banyak membawa kesulitan, apalagi untuk mencapai pembentukan pengertian hukum yang berlaku secara mutlak universal di seluruh dunia. b. hakim yang akan menggunakan kualifikasi yang demikian ini haruslah mengenal semua sistem hukum di dunia ini agar ia dapat menemukan konsep-konsep yang memang diakui di seluruh dunia. Sebagai variasi dari teori kualifikasi lex fori, dikemukakan teori kualifikasi yang lain, yaitu teori kualifikasi bertahap atau teori kualifikasi primer dan sekunder. Teori ini bertitik tolak dari keberatan-keberatan terhadap teori kualifikasi berdasar lex cause. Kualifikasi tidak mungkin dilakukan berdasarkan lex cause saja, karena sistem hukum apa/mana yang hendak ditetapkan sebagai lex cause masih harus ditetapkan terlebih dahulu. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui proses kualifikasi dan bantuan titik taut. Oleh karena itu, untuk menentukan lex causae, mau tidak mau kualifikasi harus dilakukan berdasar lex fori terlebih dahulu. Jadi, proses kualifikasi harus dilakukan dua tahap, yaitu: 1. Kualifikasi Tahap Pertama (Kualifikasi Primer) = Qualification Wrsten Grades = Primary Classification = Qualificatie in de Eerste Graad Kualifikasi primer ini digunakan untuk mencari atau menemukan hukum yang harus dipergunakan (lex cause). Untuk dapat menemukan hukum yang seharusnya dipergunakan itu, harus dilakukan kualifikasi berdsarkan lex fori. Kaidah-kaidah HPI lex gori harus dikualifikasikan menurut hukum material sang hakim (kaidah internal lex fori). Pada tahap ini dicari kepastian mengenai pengertian-pengertian hukum, seperti domisili, pewarisan, tempat dilaksanakannya kontrak. Semua itu harus disandarkan pada pengertian-pengertian dari lex fori. Berdasarkan kualifikasi demikian inilah akan ditemukan hukum yang seharusnya dipergunakan (lex causae). Lex causae yang ditemukan itu bisa berupa hukum asing, juga bisa lex fori sendiri. 2. Kualifikasi Tahap Kedua (Kualifikasi Sekunder) = Qualification Zweiten Grades = Secondary Classification = Qualificatie in de Tweede Graad Apabila sudah diketahui hukum yang seharusnya diberlakukan itu adalah hukum asing, akan perlu dilakukan kualifikasi lebih jauh menurut hukum asing yang sudah ditemukan itu. Pada tahap kedua ini, semua fakta dalam perkara harus dikualifikasikan kembali berdasarkan sistem kualifikasi yang ada pada lex cause. Contoh penerapan teori kualifikasi bertahap ii bisa dilihat dari kasus berikut ini: seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan sejumlah harta peninggalan, baik berupa tetap maupun benda bergerak di berbagai negara. Pewaris adalah warganegara Swiss, tetapi berdomisili terakhir di Inggris dan meninggal di Inggris. Perkara pembagian warisan diajukan di Pengadilan Swiss. Yang menjadi persoalan adalah: Berdasarkan hukum mana proses pewarisan itu harus diatur ? Bilamana hakim yang mengadili perkara tersebut menggunakan teori kualifikasi bertahap, akan tampak proses sebagai berikut: Tahap Pertama: 1. Dengan mendasarkan diri pada hukum intern Swiss, hakim terlebih dahulu menentukan kategori hukum dari sekumpulan fakta yang dihadapinya. Disini berkualifikasi dilakukan berdasarkan lex fori; 2. Seandainya hukum (intern) Swiss menganggap, bahwa peristiwa hukum yang bersangkutan dikualifikasikan sebagai masalah pewarisan, maka langkah berikutnya adalah menetapkan kaidah HPI apa dari lex fori yang harus digunakan untuk menetapkan lex cause dalam proses pewarisan tersebut. Jadi tahap penentuan lex cause ini dilakukan berdasarkan lex fori;



3. Kaidah HPI Swiss menetapkan, bahwa perwarisan harus diatur oleh hukum dari tempat tinggal terakhir pewaris, tanpa membedakan status bendanya (bergerak – tidak bergerak). Hal ini berarti, bahwa kaidah H PI (choice of law rules) Swiss menunjuk ke arah hukum Inggris (lex domicilii) sebagai lex causae. Tahap Kedua: 1. Dengan mendasarkan diri pada kaidah-kaidah HPI dalam hukum Inggris (lex causae), hakim kemudian harus menetapkan bagian-bagian mana dari harta peninggalan yang harus dikategorikan sebagai benda tetapi atau benda bergerak. Jadi, tindakan ini di lakukan berdasarkan lex cause (dan tidak berdasarkan lex fori lagi); 2. Setelah itu, berdasarkan kaidah-kaidah HPI Inggris (sebagai lex causae) hakim menetapkan hukum apa yang harus digunakan untuk mengatur pewarisan tersebut. Pada tahap ini hakim dapat menjumpai: a. untuk benda-benda bergerak, pewarisan dilakukan berdasarkan hukum dari tempat pewaris berdomisili pada saat meninggalnya. Jadi dalam hal ini, hakim harus menggunakan hukum intern Inggris: b. untuk benda-benda tetap, kaidah-kaidah HPI Inggris menetapkan, bahwa hukum yang berlaku adalah hukum dari tempat dimana benda itu berada (lex rei sitae). Jadi seandainya pewaris meninggalkan sebidang tanah di Perancis. Maka tidak mustahil, bahwa hukum Perancislah yang harus dipergunakan untuk mengatur pewarisan tersebut. E. Kualifikasi Masalah Substansial atau Prosedural Pembedaan masalah ke dalam masalah substansial (substance) dan masalah prosedural (procedural) adalah hal yang selalu disadari dalam perkara-perkara HPI. Masalah substansial berkenaan dengan hak-hak subyek hukum yang dijamin oleh kaidah hukum obyektif, sedangkan prosedural berkenaan dengan upaya-upaya hukum (remedies) yang dapat dilakukan oleh subyek hukum untuk menegakkan hak-haknya yang dijamin oleh kaidah-kaidah hukum obyektif, dengan bantuan pengadilan. Asas umum yang dapat diterima dalam HPI adalah, bahwa semua masalah hukum yang termasuk persoalan prosedural harus ditentukan/diatur oleh lex fori, dan forum dapat memberlakukan hukumnya sendiri setelah ia mengkualifikasikan masalah hukum yang dihadapinya sebagai masalah prosedural. BAB V PENUNJUKAN KEMBALI DAN PENUNJUKAN LEBIH JAUH (RENVOI) A. Penyebab Timbulnya Renvoi dan Kaitannya dengan Kualifikasi dan Titik Taut Persoalan renvoi erat sekali kaitannya dengan persoalan prinsip nasionalitas atau domisili dalam menentukan status personal seseorang. Terutama karena adanya perbedaan mengenai prinsip yang dianut (nasionalitas atau domisili) di berbagai negara. Sunarjati Hartono menambahkan, bahwa persoalan renvoi tidak bisa dilepaskan atau erat sekali kaitannya dengan masalah “kualifikasi” dan masalah “titik-titik taut”, karena memang sebenarnya ketiga persoalan tersebut dapat dicakup dalam satu persoalan, yaitu hukum manakah yang akan berlaku (lex cause) dalam suatu peristiwa HPI. Persoalan semacam ini timbul karena menurut kenyataan terdapat aneka warna sistem HPI, oleh karena itu terjadilah conflict de systems in de international prive. Sehingga, tidak ada keseragaman dalam menyelesaikan masalah HPI di berbagai negara.



Renvoi akan timbul bilamana hukum asing yang ditunjuk lex fori menunjuk kembali kepada lex fori tadi, atau kepada sistem hukum yang lain. Setelah sekumpulan fakta dalam suatu perkara HPI telah dikualifikasikan, kemudian dicari titik-titik taut yang dapat memberikan petunjuk tentang hukum mana yang akan berlaku terhadap kasus atau perkara yang bersangkutan. B. Ruang Lingkup Hukum Asing Jika titik-titik taut telah diketahui, kita masih dihadapkan pada persoalan lain, yaitu bagian manakah dari hukum asing yang harus berlaku ? Apakah hukum asing itu hanya hukum intern negara yang bersangkutan saja atau lebih luas lagi, yaitu termasuk juga kaidah-kaidah HPI-nya? Untuk memperjelas uraian tersebut, Sudargo Gautama memberikan contoh sebagai berikut: Bilamana hakim Indonesia berdasarkan ketentuan HPI Indonesia telah menyatakan, bahwa hukum yang berlaku terhadap perkara yang ia periksa atau adili adalah hukum Inggris, maka timbul persoalan atau pertanyaan: Apakah yang diartikan dengan hukum Inggris itu ? Dalam hal ini dapat terjadi dua kemungkinan: 1. Hukum intern (domestic law = municipal law = local law) Inggris yang berlaku di Inggris untuk hubungan-hubungan hukum sesama orang Inggris; atau 2. di dalamnya termasuk pula ketentuan-ketentuan HPI Inggris, jadi termasuk pula ketentuan choice of law. Bilamana kita hanya menunjuk pada hukum intern saja, orang Jerman menyebutnya sebagai sachnormen, penunjuknya dinamakan sachnormverweisung. Bilamana yang dimaksud dengan hukum ketentuan HPI-nya) disebut kollisionsnormen, penunjuknya dinamakan gesamtverweisung. C. Macam-macam Renvoi Jika Penunjukan kepada hukum asing itu dianggap termasuk pula kaidah-kaidah HPI-nya, maka mungkin terjadi apa yang dinamakan dengan penunjukan kembali, misalnya hakim di negara X berdasarkan kaidah HPI negara x harus memberlakukan hukum negara Y dalam arti seluruh sistem hukum negara Y, maka mungkin ketentuan HPI negara Y menunjuk kembali kepada hukum negara X. Mungkin pula HPI negara Y tersebut menunjuk lebih jauh kepada hukum negara ketiga, yaitu Z (penunjukan lebih jauh). Skema:



X



Y



X



X Kembali X Y D. Contoh Penunjukan Contoh klasik yang dapat dijadikan standar penerapan doktrin renvoi ini dapat dilihat dalam kasus Fargo (1883). Kasus posisinya adalah sebagai berikut: 1. Forgo adalah seorang anak luar kawin, memiliki kewarganegaraan Bavaria (Beiren); 2. ia sejak kecil sudah berdomisili (bertempat tinggal di Perancis); 3. ia meninggal dunia di Perancis tanpa meninggalkan testament; 4. Forgo meninggalkan benda-benda bergerak, berupa sejumlah uang yang didepositkan di Bank Perancis; 5. perkara pembagian warisan diajukan oleh saudara-saudara alamiah (natuurlijke bloedverwanten) Forgo pada Pengadilan Perancis. Persoalan hukum yang timbul adalah: berdasar hukum mana pengaturan pembagian warisan tersebut harus dilakukan ? Berdasarkan hukum Bavaria atau hukum Perancis ?



Kaidah HPI lex fori (perancis) menyatakan, bahwa persoalan pewarisan benda-benda bergerak harus diatur berdasarkan kaidah-kaidah hukum dari tempat dimana pewaris menjadi warganegara. Sedangkan kaidah HPI Bavaria menetapkan, bahwa pewarisan benda-benda bergerak harus diatur berdasarkan hukum dari tempat dimana pewaris bertempat tinggal sehari-hari (habitual residence). Proses penyelesaian perkara: 1. Pada tahap pertama, hakim Perancis melakukan penunjukan ke arah hukum Bavaria sesuai perintah kaidah HPI Perancis ; 2. tampaknya, hakim Perancis menganggap penunjukan itu sebagai gesamtverweisung, sehingga melalui meliputi pula kaidah-kaidah HPI Bavaria; 3. telah diketahui, bahwa kaidah HPI Bavaria yang menyangkut pewarisan benda-benda bergerak, menetapkan bahwa hukum yang harus digunakan adalah hukum dari tempat tinggal tetap si pewaris. Jadi kaidah HPI Bavaria menunjuk kembali ke arah hukum Perancis (hukum dari tempat kediaman tetap si pewaris). Pada tahap seperti inilah baru terjadi renvoi; 4. hakim Perancis ternyata kemudian menganggap, bahwa penunjukan kembali oleh kaifah HPI Bavaria sangat suatu sachtnormverweisung; 5. berdasarkan anggapan itu, makin hakim Perancis (dalam hal ini Cour de Cassation) kemudian memberlakukan kaidah hukum waris Perancis (Code Civil) untuk memutus perkara yang bersangkutan. Perbedaan antara pemberlakuan hukum Perancis atau hukum Bavaria untuk memutus perkara tersebut, bukanlah sekadar masalah teoritik saja, tetapi juga dapat menghasilkan keputusan yang mungkin berbeda. Dalam kasus Forgo diatas, menurut hukum Bavaria: Saudara-saudara kandung dari seorang anak di luar kawin tetap berhak menerima harta warisan dari anak luar kawin tersebut. Sedangkan menurut Code Civil Perancis: harta peninggalan dari seorang anak luar kawin akan jatuh ke tangan negara. Oleh karena Cour de Cassation telah menerima renvoi, yang berarti hakim menerapkan Code Civil Perancis, maka sebagai akibatnya harta warisan Forgo jatuh ke tangan fiscus atau pemerintah Perancis. E. Contoh Penunjukan Lebih Lanjut/Jauh Contoh penerapan lebih jauh/lanjut dapat dilihat dalam perkara Patino v Patino Kasus posisinya adalah sebagai berikut: 1. dua orang warganegara Bolivia, yaitu suami-isteri mengajukan perceraian; 2. pernikahan mereka dilakukan di Madrid, Spanyol; 3. permohonan perceraian diajukan di pengadilan Perancis Permasalahan hukum yang timbul: berdasar hukum mana pemenuhan/penolakan permohonan perceraian itu harus dilakukan ? Proses penyelesaian perkara: 1. menyadari perkara ini sebagai perkara HPI, hakim Perancis (lex fori) melihat ke arah kaidah-kaidah HPI Perancis, yang menetapkan bahwa perkara ini dikualifikasikan sebagai perkara yang menyangkut status personal orang, dan oleh karena itu harus ditetapkan sebagai berdasarkan prinsip kewarganegaraan (nasionalitas para pihak); Jadi, hakim menunjuk ke arah hukum Bolivia selaku lex patriae para pihak; 2. penunjukan ke arah hukum Bolivia, oleh hakim dianggap sebagai gesamtverweisung, oleh karena itu harus di lihat kaidah-kaidah HPI Bolivia; 3. kaidah-kaidah HPI Bolivia ternyata menetapkan, bahwa perkara tentang “pemenuhan atau penolakan permohonan perceraian harus diatur berdasarkan lex loci celebrationis. Jadi, kaidah HPI Bolivia menunjuk lagi ke arah hukum Spanyol (sebagai hukum tempat dilangsungkannya perkawinan);



4. tampak disini, bahwa kaidah HPI Bolivia tidak menunjuk kembali ke arah hukum Perancis (sebagia lex dimensilii), tetapi malah menunjuk ke arah suatu sistem hukum negara ketiga, yaitu hukum Spanyol. F. The Foreign Court Theory The Foreign Court Theory (FCT) juga sering disebut sebagai Double Renvoi atau Total Renvoi. FCT ini adalah sejenis renvoi dikembangkan dan sudah lama diterima dalam sistem HPI Inggris. FCT ini didasarkan pada suatu pendirian, bahwa hakim Inggris dalam mengadili suatu peristiwa HPI akan bertindak seolah-olah ia duduk di kursi hakim negara asing (consider himself sitting in foreign country). Dengan kata lain, hakim Inggris bertindak seolah-olah sebagai forum / pengadilan asing, dan harus memutus perkara dengan cara yang sama seperti forum / pengadilan asing (yang sistem hukumnya ditunjuk kaidah HPI Inggris sebagai lex fori). Ada dua hal utama yang perlu kita ketahui dri FCT yang dikembangkan ini, yaitu: 1. Hakim harus menentukan terlebih dahulu sistem hukum / badan peradilan asing manakah yang seharusnya mengadili dan menyelesaikan perkara yang dihadapinya. Hal ini dilakukan dengan menggunakan titik-titik taut dan kaidah HPI lex fori. Pada tahap ini yang sebenarnya dilakukan dalam menentukan badan peradilan mana yang seharusnya menjadi The Proper Lex Fori atau The Foreign Lex Fori. 2. Langkah selanjutnya harus dilakukan berdasarkan sistem HPI dari the foreign lex fori itu. Di sini akan kembali digunakan titik-titik taut dan kaidah-kaidah HPI yang ditentukan berdasarkan lex fori asing itu. Pada tahap yang kedua ini, pada dasarnya terjadi proses ulangan untuk menentukan lex causae. Penentuan lex causae dengan menggunakan lex fori asing itu dapat menimbulkan beberapa kemungkinan, yaitu: 1. Dalam hal negara Y menerima renvoi, maka hukum intern Y yang akan berlaku X menunjuk Y, dan hakim X memutuskan sebagaimana hakim Y mengadili perkara yang berdasarkan fakta-fakta serupa menurut hukum Y. penunjukan adalah gesamtverweisung. Y (hkm asing) X (hkm Inggris) Y (hkm asing) 2. Dalam hal negara Y menolak renvoi, maka hukum intern X yang akan berlaku karena X menunjuk kepada Y, dan hakim memutuskan sebagaimana hakim Y yang akan mengadili perkara serupa. Menurut hukum Y penunjukan adalah sachnormverweisung: Y X Untuk memperjelas uraian tersebut di atas, Sudargo Gautama memberikan contohnya sebagai berikut: 1. Kemungkinan Pertama: Hakim Inggris harus mengadili persoalan HPI yang menyangkut persoalan renvoi dan mempunyai hubungan dengan hukum Perancis. Misalnya seorang warganegara Inggris yang berdomisili di Perancis telah membuat testament sedemikian rupa hingga anaknya tidak mendapat apa-apa. Hukum manakah yang akan diberlakukan untuk menentukan kemampuan membuat surat wasiat tersebut? HPI Inggris berdasar prinsip domisili menunjuk kepada hukum Perancis. Dalam mengadili perkara ini, hakim Inggris akan mengibaratkan dirinya seolah-olah ia adalah hakim Perancis. Dengan kata lain, kaidah-kaidah HPI harus diperhatikan pula. Jika hakim Perancis akan mengadili perkara ini, maka ia akan mempergunakan kaidah-kaidah HPI Perancis berdasarkan prinsip nasionalitas. Jadi, menurut kaidahkaidah HPI Perancis, ditunjuk hukum Inggris sebagai hukum nasional di pewaris. Dalam praktik di Perancis, pada umumnya penunjukan kembali diterima baik, dan penunjukan kepada hukum Inggris itu dianggap sebagai gesamtverweisung, artinya kaidah-kaidah HPI Inggris juga termasuk ke dalam penunjukan itu. Dengan demikian, hakim Perancis akan mengadili perkara ini menurut ketentuan hukum materiel intern Perancis.



Hakim Inggris yang menerima FCT juga akan menyelesaikannya sesuai dengan sikap hakim Perancis: Hukum intern Perancis yang akan dipergunakan. 2. Kemungkinan Kedua: Hakim Inggris harus mengadili persoalan HPI yang berhubungan dengan renvoi dan ada sangkut pautnya dengan hukum Italia. Kasusnya seperti yang dikemukakan di atas dimana terdapat seorang warganegara Inggris yang berdomisili di Perancis membuat testament yang mengabaikan legitime partie. Permasalahan hukum yang timbul adalah berdasar hukum intern mana perkara tersebut harus diselesaikan? Kaidah-kaidah HPI Inggris menunjuk hukum Italia sebagai hukum domisili yang harus dipergunakan. Yang penting untuk diketahui adalah bagaimana jika perkara tersebut diadili oleh hakim Italia, hal tersebut perlu diketahui karena hakim Inggris akan mengibaratkan dirinya sebagai hakim Italia. Di Italia renvoi tidak diterima. Hal ini berarti, bahwa penunjukan kepada hukum Inggris adalah sachtnormverweisung. HPI Italia yang menganut prinsip nasionalitas menunjuk hukum Inggris sebagai hukum Inggris ini merupakan sachtnormverweisung, maka hakim Italia dalam mengadili perkara yang serupa akan mempergunakan hukum intern Inggris. Oleh karena itu, hakim Inggris yang menerima FCT akan mengadili perkara ini sama seperti yang akan dilakukan hakim Italia yang memakai hukum materiel intern Inggris. Dalam kemungkinan pertama, kita saksikan hakim Inggris akan mempergunakan intern Perancis, karena di dalam praktek, hukum Perancis menerima renvoi, sedangkan dalam kemungkinan kedua, hukum intern Inggrislah yang akan dipergunakan, karena renvoi tidak diterima di Italia. Jadi, di dalam FCT, yang menjadi masalah utama bukanlah apakah lex fori (hukum Inggris) menerima atau menolak renvoi, melainkan apakah lex fori asing menerima atau menolak renvoi. Beberapa kasus HPI yang terkenal sehubungan dengan penerapan FCT di Pengadilan Inggris dapat dilihat dalam kasus: Re Annesley Case (Davidson v Annesley), Re Ross Case (Ross v Waterfield), dan Re Duke of Wellington (Glentanar v Wellington). Berikut akan diuraikan satu per satu kasus tersebut: Re Annesley Case (Davidson v Annesley) 1. Ny. Annesley seorang warganegara Inggris. Menurut hukum Inggris yang bersangkutan berdomisili di Perancis. Meninggal dunia di Perancis pada tahun 1924; 2. Sebelum meninggal dunia, pada tahun 1919 ny. Annesley membuat testament menurut hukum Inggris. Dalam testament itu ia mewasiatkan semua harta peninggalannya sedemikian rupa hingga anak lakilakinya tidak mendapatkan apa-apa; 3. Jadi, pokok perkaranya menyangkut persoalan pembagian waris yang mengabaikan legitime portie; 4. Fakta tambahan: walaupun ny. Annesley berdomisili di Perancis, tetapi ia tidak memperoleh status resmi sebagai penduduk Perancis; 5. Forum adalah pengadilan Inggris. Persoalan hukum yang timbul: Berdasar hukum mana hakim Inggris harus menyelesaikan perkara tersebut? Proses penyelesaian perkara: Menurut kaidah HPI Perancis, hukum yang berlaku bagi orang asing adalah hukum nasionalnya (asas nasionalitas). Oleh karena ny. Annesley adalah warganegara Inggris, maka hukum yang berlaku baginya adalah Hukum Inggris. Tetapi di lain pihak, hukum Inggris menunjuk kembali ke arah hukum Perancis sebagai hukum domisili (law of domicile) ny. Annesley. Akhirnya hakim Russel yang mengadili perkara ini menggunakan hukum intern Perancis. Keabsahan testament yang dibuat ny. Annesley itu harus ditetapkan berdasarkan hukum Perancis. Menurut hukum Perancis, testament yang dibuat ny. Annesley itu tidak sah, karena pewaris mengabaikan legitime portie



anaknya. Atas dasar ketentuan tersebut di atas, hakim Russel mengabulkan tuntutan anak-anak di pewaris, khususnya tuntutan atas legitime portie mereka. Berdasarkan penyelesaian perkara tersebut di atas, dapat kita saksikan, bahwa hakim Russel menggunakan FCT. Pola berpikir FCT dalam perkara ini tampak dari: 1. Kaidah HPI Inggris, pertama kali menunjuk ke arah hukum Perancis sebagai lex domicile yang harus digunakan untuk menetapkan keabsahan testament itu; 2. Pengadilan Perancis (menurut pikiran hakim Russel) akan memberlakukan kaidah HPI-nya dan berkesimpulan sebagai lex causae adalah hukum Inggris sebagai lex patriae, karena menurut sistem HPI yang menganut asas nasionalitas, hukum dari tempat pewaris menjadi warganegaralah yang harus digunakan dalam mengatur validitas testament; 3. Hakim Perancis juga dianggap akan berkesimpulan, bahwa dengan penunjukan ke arah hukum Inggris itu, kaidah-kaidah HPI Inggris akan menunjuk kembali ke arah hukum Perancis (jadi penunjukan ke arah hukum Inggris itu akan dianggap sebagai gesamtverweisung; 4. Hakim Perancis, dalam hal ini akan menerima penunjukan kembali (renvoi) itu, dan ia akan menganggap penunjukan itu sebagai sachtnormverweisung ke arah hukum intern Perancis; 5. Oleh karena itu, hakim Inggris berkesimpulan, bahwa hukum intern Perancislah yang harus digunakan untuk menetapkan validitas testament tersebut. Menurut hukum intern Perancis (Code Civil), testament tersebut dianggap tidak sah, karena mengabaikan legitime partie. Re Ross Case (Ross v Waterfield) Kasus posisinya adalah sebagai berikut: 1. a. Penggugat adalah Alexander Gordon Ross; b. Tergugat adalah Ny. Caroline Lucy Isabel Waterfield. 2. Sepasang suami istri (tn Henry James Ross – Janet Anne Ross) telah tinggal di Florence (Italia) sejak tahun 1888. Menurut hukum Inggris mereka membeli berdomisili di Italia. 3. Pada tahun 1888 mereka membeli rumah besar dan tanah yang terkenal dengan Paggio Gherardi; 4. Pada tahun 1902 tn Henry meninggal dunia. Kemudian pada 1927 ny. Janet Anne Ross juga meninggal dunia; 5. Sebelum meninggal dunia ny. Janet Anne Ross sempat membuat testament yang memberikan seluruh harta kekayaannya kepada ny. Caroline Lucy Isabel Waterfield. Akibat adanya testament itu, satu-satunya anak lelaki ny. Janet Anne Ross tidak mendapatkan harta warisan sedikitpun; 6. Penggugat menuntut, bahwa ia berhak atas 1/2 bagian dari benda-benda tidak bergerak yang terletak di Italia, 1/2 bagian dari benda-benda bergerak yang terletak di manapun. Hak tersebut didasarkan pada legitime portio menurut hukum Italia. Jadi, pokok perkara menyangkut persoalan pewarisan yang mengabaikan ketentuan legitime portio; 7. Forum adalah pengadilan Inggris. Persoalan hukum yang timbul: Hukum intern mana yang harus dipergunakan dalam mengadili perkara tersebut? atau berdasar hukum mana keabsahan testament itu ditetapkan? Penyelesaian perkara: Sebelum menentukan sah tidak testament yang dibuat ny. Janet Anne Ross tersebut di atas, hakim harus melihat kaidah-kaidah HPI Inggris terlebih dahulu mengenai perkara HPI yang bersangkutan. Menurut kaidah-kaidah HPI Inggris, pewarisan terhadap benda bergerak ditentukan berdasarkan hukum dimana pewaris berdomisili (law of domicile = lex domicilii).



Hakim J. Luxmoore yang mengadili perkara ini memutus perkara berdasar atau sesuai dengan hukum Italia seperti yang dilaksanakan pengadilan Italia. Dalam hal ini hakim J. Luxmoore hanya berkewajiban untuk simply to follow the decision dari hakim-hakim Italia. Para ahli hukum Italia yang didengar keterangannya dalam persidangan semuanya menyatakan, bahwa jika perkara serupa diadili di Italia, testamen yang dibuat ny. Janet Anne Ross adalah sah. Untuk itu tidak ada tempat bagi gugatan penggugat. HPI Italia menunjuk ke arah hukum Inggris, dan karena di Italia renvoi tidak diterima, maka penunjukan kepada hukum nasional pewaris (hukum Inggris) hanya dianggap sebagai sachtnormverweisung. Duke of Wellington Cases (Duke od Wellington v Lord Glentanar) Posisi kasusnya adalah sebagai berikut: 1. Penggugat : - Lord George Wellesley - Lord Glentanar Tergugat : - Lilian-Maud Dichess of Wellington - Lady Anne Rhys - Duke of Wellington VII 2. Pada tahun 1812 setelah diadakan penyerbuan atas benteng Ciudad Rodrigo. Duke of Wellington I (seorang bangsawan Inggris) dianugerahi tanda kebesaran Spanyol dengan gelar Ciudad Rodrigo. Gelar tersebut turun temurun. Kepada Duke of Ciudad Rodrigo dan ahli warisnya diberikan tanah-tanah kerajaan didataran Granada yang terkenal dengan nama Soto de Roma, termasuk juga tanah-tanah yang dinamakan dehes a baja of lilora dn Las Chanchinasl; 3. Gelar dan tanah tersebut di Spanyol ini turun temurun, hingga kemudian jatuh pada Duke of Wellington V, yang meninggal dunia pada tahun 1941; 4. Kedua gelar tersebut kemudian diwarisi oleh Duke of Wellington VI sekaligus sebagai Duke of Ciudad Rodrigo. Yang bersangkutan adalah warganegara Inggris; 5. Duke of Wellington VI hidup membujang, dan meninggal dunia pada tahun 1943, dengan meninggalkan seorang ibu yang bernama Lilian Maud Ducchess of Wellington; Seorang kakak perempuan yang bernama Lady Anne Rhys; 6. Sebelum meninggal dunia, pewaris (Duke of Wellington VI) membuat dua buah testament. 7. Testament pertama dibuat pada tanggal 6 Mei 1942 berdasarkan hukum Spanyol (selanjutnya disebut testament Spanyol). Dalam testament tersebut ditetapkan, bahwa tanah yang ada di Spanyol diwariskan kepada orang yang menjadi Duke of Wellington VII sekaligus pemegang gelar Ciudad Rodrigo yang baru. Sebagai executeur testamentair ditunjuk paman-paman pewaris, yaitu Lord George Wellesley dan Lord Glentanar; 8. Testament yang kedua dibuat pada tanggal 6 Desember 1942 berdasarkan hukum Inggris (selanjutnya disebut testament Inggris). Dalam testament yang kedua ini ditentukan, bahwa testament Spanyol di atas harus dianggap tetap berlaku. Benda-benda yang sudah termasuk dalam testament Spanyol itu tidak termasuk ke dalam testament Spanyol bersama ini diwasiatkannya. Sebagai executeur testamentair dan Trustees diangkat pula paman-paman pewaris, yaitu Lord George Wellesley dan Lord Glentanar. Kepada mereka sebagai trustees diberikan semua harta benda pewaris yang tidak diwasiatkan dalam testament Spanyol, untuk kemudian diberikan kepada Duke of Wellington VII setelah dia berumur 21 tahun; 9. Yang menjadi Duke of Wellington VII adalah paman pewaris, yaitu Geral. Persoalan-persoalan hukum yang timbul adalah: Menurut hukum intern Inggris gelar Duke of Wellington hanya dapat diwariskan atau dialihkan kepada paman pewaris bilamana pewaris tidak mempunyai anak. Sedangkan menurut hukum intern Spanyol, dalam hal pewaris tidak mempunyai anak, maka gelar Ciudad Rodrigo akan beralih kepada saudara perempuan pewaris.



Akibatnya, tanah yang terletak di Spanyol itu tidak dapat diwariskan kepada siapapun juga, karena tidak ada orang yang dianggap memenuhi syarat untuk sekaligus memegang gelar Duke of Wellington dan Ciudad Rodrigo. Persoalan-persoalan HPI yang timbul adalah: Siapakah yang berwenang mewarisi tanah-tanah yang terletak di Spanyol? Berdasar hukum intern mana perkara tersebut diadili? Hukum intern Spanyol atau hukum intern Inggris? Menurut kaidah HPI Inggris, status benda-benda tetap harus diatur berdasarkan hukum dari tempat di mana benda tersebut terletak (asas lex rei sitae). Sedangkan menurut kaidah HPI Spanyol, proses pewarisan harus diatur oleh hukum dari tempat dimana pewaris menjadi warganegara. Selain itu hukum intern Spanyol menentukan, bahwa seorang pewaris hanya dapat mewariskan tanahnya melalui testament 1/2 bagian saja. Proses pemutusan perkara yang dapat menggambarkan penggunaan FCT adalah sebagai berikut: 1. Hakim Inggris pertamakali menunjuk ke arah hukum Spanyol, karena berdasar kaidah HPI Inggris, masalah pewarisan benda tetap harus diatur oleh hukum di mana benda tetap tersebut terletak, dalam hal ini adalah hukum Spanyol; 2. Setelah itu hakim Inggris beranggapan, bahwa berdasar kaidah HPI Spanyol pewarisan benda-benda tetap harus dilakukan berdasarkan hukum dari tempat dimana pewaris menjadi warganegara, dalam hal ini adalah hukum Inggris; 3. Hukum Inggris sebagai lex patriae pada dasarnya kembali mendasarkan diri pada prinsip lex rei sitae. Oleh karena hakim Inggris menganggap penunjukan itu sebagai gesamtverweisung, maka yang digunakan pada tahap ini adalah kaidah HPI-nya. Jadi, terjadi penunjukan kembali (renvoi) ke arah hukum Spanyol; 4. Karena hukum Spanyol telah menolak penunjukan ke arah sistem hukum internya, maka kaidah HPI Spanyollah yang akan digunakan untuk menunjuk kembali ke arah hukum Inggris; 5. Pada tahap ini penunjukan kembali dari hukum Spanyol kepada hukum Inggris dianggap hakim Inggris sebagai sachtnormverweisung ke arah hukum intern Inggris. Atas dasar inilah hakim Inggris memberlakukan kaidah-kaidah hukum intern untuk memutus perkara yang bersangkutan. Menurut hukum intern Inggris, testament Spanyol tidak berhasil mengalihkan benda-benda Spanyol pewaris, karena yang berhak menerimanya harus menjadi Duke of Wellington sekaligus Ciudad Rodrigo, padahal setelah meninggalnya pewaris gelar tersebut tidak lagi berada pada satu orang sama. Karenanya cara peralihan yang efektif baru terjadi dengan testament Inggris. Benda-benda Spanyol yang tidak diwasiatkan secara efektif dalam testament Spanyol, kini secara efektif beralih menurut testament Inggris dalam keseluruhannya dan dikurangi atau terpengaruh oleh ketentuan legitimo portio yang dikenal dalam hukum Spanyol. Akhirnya, hakim Wynn Parry yang mengadili perkara ini memutuskan, bahwa Duke of Wellington VIIlah yang berhak atas benda-benda bergerak dan tidak bergerak yang berada di Spanyol. G. Renvoi menurut RUU HPI Indonesia Menurut pasal 2 Rancangan Undang-Undang HPI Indonesia (Draf Akademik), apabila terjadi hukum nasional seseorang yang dinyatakan berlaku dan apabila hukum tersebut menunjuk kepada hukum Indonesia sebagai hukum yang berlaku baginya, maka hukum intern Indonesialah yang berlaku. Berdasarkan ketentuan di atas, dianjurkan agar diterima renvoi. Dengan diterimanya renvoi ini berarti pemakaian hukum intern Indonesia akan diperbesar. Hal ini tentunya akan memberikan jaminan yang lebih banyak lagi akan pemakaian hukum yang tepat dan jitu dalam suatu persoalan hukum yang dihadapi hakim Indonesia.



BAB VI KETERTIBAN UMUM DAN HAK-HAK YANG TELAH DIPEROLEH A. Istilah Ketertiban Umum : Ordre Public (Perancis); Openbare Orde (Belanda); Vorbehaltklausel (Jerman); Ordine Publicio (Italia); Public Policy (Inggris); Order Publicio (Spanyol). B. Arti Penting dan Fungsi Ketertiban Umum dalam HPI Banyak pakar HPI menyatakan, bahwa persoalan “ketertiban umum” merupakan salah satu masalah yang terpenting dalam ajaran HPI, Kollewijn misalnya, mengatakan: Het Probleem der openbare orde is nog steeds een der grootste probleem van het international privaatrecht. Namun bagi Niboyet, memang persoalan ketertiban umum merupakan masalah terpenting dalam HPI, tetapi juga merupakan masalah tergelap dalam HPI. Memang telah banyak tulisan mengenai ketertiban umum ini, tetapi menurut Kuhn selubung keraguan dan kegelapan masih saja menyelimuti persoalan yang sudah demikian banyak dibahas. Keadaan demikian bisa terjadi, karena dalam kenyataan diantara para penulis atau pakar HPI belum terdapat kata sepakat mengenai apa sebenarnya yang merupakan isi dan makna yang bulat dan lengkap dari lembaga “ketertiban umum” ini. Sekarang di mana letak pentingnya atau arti pentingnya lembaga ketertiban umum bagi HPI? Seperti telah dikemukakan dalam pembahasan terdahulu, bahwa tugas atau fungsi HPI adalah mencari hukum perdata tertentu yang diberlakukan bilamana hubungan-hubungan perdata memperlihatkan unsur-unsur asing (foreign element). Oleh karena adanya unsur-unsur asing tersebut, maka HPI adalah bidang hukum yang pokok permasalahannya berkisar sekitar kemungkinan diberlakukannya hukum asing dalam suatu perkara hukum. Bilamana kaidah-kaidah HPI telah menentukan, bahwa terhadap perkara yang bersangkutan harus dipergunakan hukum asing, apakah ini berarti forum harus memberlakukan hukum asing tersebut dalam yurisdiksinya? Dengan kata lain, apakah berdasar kaidah HPI forum harus selalu memberlakukan hukum asing dalam yurisdiksinya? Jawabannya adalah: Tentu tidak selalu demikian, artinya ada hal-hal tertentu yang dapat mengesampingkan pemberlakuan hukum asing dalam yurisdiksi lex fori. Adakalanya sistem hukum negara Y yang menurut kaidah HPI negara X (lex fori) harus diberlakukan atau dipergunakan oleh hakim negara X demikian bertentangan dengan sendi-sendi pokok hukum negara X (lex fori), maka dalam keadaan demikian tentunya hukum asing tersebut tidak bisa diberlakukan. Prinsipnya adalah: Jika pemberlakuan hukum dapat menimbulkan pelanggaran atau bertentangan dengan sendi-sendi pokok hukum setempat (lex fori), maka hukum asing tersebut dapat dikesampingkan atas dasar demi kepentingan umum atau demi ketertiban umum. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa lembaga ketertiban umum memiliki fungsi sebagai pembatas atau pencegah berlakunya hukum asing yang menurut kaidah HPI negara yang bersangkutan seharusnya dipergunakan (lex causae). Bilamana pemakaian hukum asing itu menimbulkan pelanggaran terhadap sendi-sendi asasi hukum nasional, maka hakim dapat mengesampingkan pemakaian hukum asing tersebut. C. Luas Lingkup Ketertiban Umum Dalam sistem-sistem hukum berbagai negara dibedakan antara ketertiban umum internasional dan ketertiban umum intern. Ketertiban umum internasional meliputi kaidah-kaidah yang bermaksud melindungi kesejahteraan negara dan perlindungan bagi masyarakat, misalnya mengenai sah tidaknya suatu perjanjian internasional. Adapun ketertiban umum intern meliputi kaidah-kaidah yang hanya membatasi kebebasan



perseorangan, misalnya saja kaidah-kaidah dalam UU Perkawinan yang berkenaan dengan batas usia untuk pernikahan. D. Pemakaian Ketertiban Umum Lembaga ketertiban umum ini harus dipakai seminimal mungkin, jangan sampai mengarah kepada chauvinism hukum yang akan menghambat perkembangan HPI sendiri. Lembaga ini hanya baik untuk bertahan, tidak untuk menyerang atau menghambat sistem hukum asing yang berlaku. Pertimbangan politis seringkali yang menjadi pertimbangan utama dalam menentukan apakah suatu kaidah asing harus dipandang bertentangan dengan ketertiban forum sang hakim. Oleh Sudargo Gautama lembaga ketertiban diibaratkannya sebagai “rem darurat pada kereta api” yang hanya dipergunakan apabila benar-benar diperlukan saja. E. Contoh Seorang warganegara Indonesia, beragama Islam, dan sudah menikah di Indonesia. Ketika ia bertempat tinggal di Jerman hendak menikah lagi dengan seorang perempuan warganegara Jerman. Perkawinan yang kedua ini tidak akan dapat dilangsungkan di Jerman, karena bertentangan dengan paham ketertiban umum HPI Jerman. Monogami dianggap sebagai suatu sendi asasi sistem hukum perkawinan Jerman. F. Ketertiban Umum dalam RUU HPI Indonesia Pasal 3 RUU HPI Indonesia menyebutkan, bahwa kaidah-kaidah hukum asing yang sebenarnya harus diperlakukan menurut ketentuan-ketentuan Hukum Perdata Internasional Indonesia, tidak akan dipergunakan bilamana bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan yang baik. Selanjutnya dijelaskan, bahwa dengan diterimanya konsepsi “ketertiban umum” yang selalu dipergunakan sebagai suatu “rem darurat”, maka dalam ha-hal pengecualian, hukum asing yang seyogyanya harus dipergunakan menurut ketentuan HPI Indonesia sendiri, akan dikesampingkan dan akan diganti dengan pemakaian hukum nasional intern Indonesia. G. Istilah dan Pengertian Hak-hak yang Diperoleh Istilah-istilah yang dikenal untuk menyebut hak-hak yang telah diperoleh ini antara lain: - Verkregen rechten (Belanda); - Droit acquis (Perancis); - Vested rigts; acquired rigts; Rights and obligations Created abroad (Inggris); - Wohlerworworbenen rechte (Jerman). Wirjono Prodjodikoro menyebut atau menerjemahkan istilah-istilah tersebut sebagi “pelanjutan keadaan hukum”. Menurut Sunarjati Hartono, persoalan-persoalan yang dicakup oleh hak-hak yang diperoleh ini adalah berkaitan dengan apakah hak-hak dan kewajiban yang dimiliki seseorang berdasarkan kaidah-kaidah hukum asing tertentu, perlu diakui atau tidak oleh lex fori. Jadi, hak-hak yang diperoleh seseorang berdasarkan hukum asing tertentu selalu berkaitan dengan status hukum yang diterbitkan oleh sistem hukum asing itu. Menurut Sudargo Gautama, masalah hak-hak yang telah diperoleh dalam HPI dikemukakan untuk menegaskan, bahwa perubahan terhadap fakta-fakta tidak akan mempengaruhi berlakunya kaidah-kaidah hukum yang semula digunakan. Untuk memperjelas uraiannya itu, Sudargo Gautama mengemukakan contoh sebagai berikut: Misalnya seorang yang telah menjadi dewasa menurut ketentuan hukum negara X kemudian menjadi warganegara Y yang mengatur batas kedewasaan yang berbeda. Apakah perubahan kewarganegaraan ini akan mengakibatkan yang bersangkutan menjadi tidak dewasa lagi? Menurut Sudargo Gautama, jika diterima ketentuan sekali dewasa tetap dewasa, orang yang bersangkutan tetap menjadi dewasa menurut ketentuan HPI negara yang baru itu (Y), maka di sini diterima prinsip “hak-hak yang telah diperoleh”.