Resume [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

RESUME ASUHAN KEPERAWATAN PADA KELOMPOK KEBUTUHAN KHUSUS PADA Ny. R DI RUTAN KELAS IIB DONGGALA PALU 1. PENGERTIAN Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan (Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995). Sistem pembinaan pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan atas asas pengayoman, persamaan perlakuan dan pelayanan, pendidikan, pembimbingan, penghormatan harkat dan martabat manusia, kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan dan terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu. Lembaga Pemasyarakatan sebagai wadah pembinaan narapidana yang berdasarkan sistem pemasyaraktan berupaya untuk mewujudkan pemidanaan yang integratif yaitu membina dan mengembalikan kesatuan hidup masyarakat yang baik dan berguna. Lembaga Pemasyarakatan melaksanakan rehabilitasi, redukasi, resosialisasi, dan perlindungan baik terhadap narapidana serta masyarakat di dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan. 2. FAKTOR PREDISPOSISI DAN FAKTOR PRESIPITASI



Seiring dengan kemajuan budaya dan ilmu pengetahuan (iptek), perilaku manusia didalam hidup bermasyarakat dan bernegara justru semakin kompleks dan bahkan multikompleks. Perilaku demikian apabila ditinjau dari segi hukum tentunya ada perilaku yang dapat dikategorikan sesuai dengan norma dan ada perilaku yang tidak sesuai dengan norma. Perilaku yang tidak sesuai dengan norma tersebut dapat disebut sebagai penyelewengan terhadap norma yang telah disepakati. Hal ini menyebabkan terganggunya ketertiban dan ketenteraman kehidupan manusia. Berbagai pengaruh dari kemajuan iptek, kemajuan budaya, dan perkembangan pembangunan pada umumnya bukan hanya orang dewasa, akan tetapi, anak-anak juga terjebak melanggar norma terutama norma hukum. Anakanak terjebak dalam pola asosial yang makin lama dapat menjurus



pada



tindakan



kriminal,



seperti



narkotika,



pemerasan,



pencurian,



penganiayaan, pemerkosaan, dan sebagainya. POLTEKKES KEMENKES PALU JURUSAN KEPERAWATAN PRODI NERS PROGRAM PROFESI



SERLI, S.Tr.Kep NIM ; P07120417059



Berdasarkan data yang diperoleh dari Lembaga pemasyarakatan atau Rumah Tahanan Kelas II Donggala terbanyak dihuni Narapidana kasus Narkoba, disusul Kasus Pencurian,kemudian Kasus Asusila dan Perlindungan Anak,KDRT serta Kasus Korupsi. Dari 247 Orang Warga Binaan di LP Ganti Di Donggala ini, 6 Orang diantaranya adalah Narapidana Wanita, Sedangkan Untuk Narapidana dengan Status Residivis hanya terdapat sekitar 4-5 Orang saja. Sejak tahun 1964 sistem pembinaan bagi narapidana anak telah berubah secara mendasar, yaitu dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. Begitu pula institusinya yang semula disebut rumah penjara dan rumah pendidikan Negara berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan.Anak yang bersalah pembinaannya ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak, dipisah pisahkan sesuai dengan status mereka masingmasing yaitu anak pidana, anak negara, dan anak sipil Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Selama berada di Lembaga Pemasyarakatan, narapidana sadar, bahwa dia jauh dari keluarga dan diasingkan dari lingkungan sosialnya serba adanya pembatasanpembatasan bagi kebebasannya. Keadaan serta terbatas inilah yang menurut Patotisuro Lumban Gaol (2006: 30) menyebabkan napi merasa tidak aman, cemas, dan ingin segera bebas. Namun, disisi lain napi merasa takut untuk bebas karena adanya penolakan sosial, pengasingan dan pengucilan dari masyarakat. Stigma atas pidana penjara merupakan masalah utama bagi narapidana. sebagaimana dikatakan D. Schafmeister dimana setiap terpidana merasakan kebutuhan untuk menyembunyikan identitas mereka. Kebanyakan dari mereka takut, untuk didalam lingkungan sosial, dikenal sebagai pelanggan penjara yang oleh setiap orang akan selalu ditunjuk-tunjuk. Penolakan terhadap bekas narapidana hingga sekarang sangat sulit dihilangkan. Sehingga mau tidak mau kecemasan akan hal tersebut pasti dialaminya 3. LANGKAH LANGKAH REHABILITASI



POLTEKKES KEMENKES PALU JURUSAN KEPERAWATAN PRODI NERS PROGRAM PROFESI



SERLI, S.Tr.Kep NIM ; P07120417059



Tahun 2014 lalu, pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bersama tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi. Merujuk pada Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika dan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika, inilah dasar hukum untuk upaya dan langkah menyelamatkan pengguna narkoba. Para pengguna narkoba itu tidak lagi ditempatkan sebagai pelaku tindak pidana atau kriminal, dengan melaporkan diri pada Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) yang diresmikan sejak tahun 2011. Saat ini, sudah tersedia 274 IPWL di seluruh Indonesia dari berbagai lembaga, termasuk Puskesmas, Rumah Sakit dan Lembaga Rehabilitasi Medis, baik milik Pemerintah atau Swasta. Seluruh IPWL yang tersedia memiliki kemampuan melakukan rehabilitasi medis, termasuk terapi simtomatik maupun



konseling. Untuk IPWL berbasis rumah sakit, dapat memberikan



rehabilitasi medis yang memerlukan rawat inap. Adapun



tahapan



dalam



pelaksanaan



proses



rehabilitasi



pada



korban



penyalahgunaan narkoba terbagi menjadi tiga tahap, sebagai berikut; 1. Tahap rehabilitasi medis (detoksifikasi), tahap ini pecandu diperiksa seluruh kesehatannya baik fisik dan mental oleh dokter terlatih. Dokterlah yang memutuskan apakah pecandu perlu diberikan obat tertentu untuk mengurangi gejala putus zat (sakau) yang ia derita. Pemberian obat tergantung dari jenis narkoba dan berat ringanya gejala putus zat. Dalam hal ini dokter butuh kepekaan, pengalaman, dan keahlian guna memdeteksi gejala kecanduan narkoba tersebut. 2. Tahap rehabilitasi nonmedis, tahap ini pecandu ikut dalam program rehabilitasi. Di Indonesia sudah di bangun tempat-tempat rehabilitasi, sebagai contoh di bawah BNN adalah tempat rehabilitasi di daerah Lido (Kampus Unitra), Baddoka (Makassar), dan Samarinda. Di tempat rehabilitasi ini, pecandu menjalani berbagai program diantaranya program therapeutic communities (TC), 12 steps (dua belas langkah, pendekatan keagamaan, dan lain-lain.



POLTEKKES KEMENKES PALU JURUSAN KEPERAWATAN PRODI NERS PROGRAM PROFESI



SERLI, S.Tr.Kep NIM ; P07120417059



3. Tahap bina lanjut (after care), tahap ini pecandu diberikan kegiatan sesuai dengan minat dan bakat untuk mengisi kegiatan sehari-hari, pecandu dapat kembali ke sekolah atau tempat kerja namun tetap berada di bawah pengawasan. Untuk setiap tahap rehabilitasi diperlukan pengawasan dan evaluasi secara terus menerus terhadap proses pulihan seorang pecandu. 4. SUMBER KOPING Sumber koping terdiri dari a. Confrontative (Konfrontasi). Individu menggunakan usaha agresif untuk mengubah keadaan yang menekan, dengan tingkat kemarahan yang cukup tinggi, dan pengambilan risiko. b. Seeking Social Support (Pencarian Dukungan Sosial). Usaha individu untuk memperoleh dukungan dari orang lain berupa nasehat, informasi, dan bantuan yang diharapkan membentu memecahkan masalahnya. c. Planful Problem Solving (Perencanaan Penyelesaian Masalah). Individu berusaha menganalisa situasi untuk memperoleh solusi, kemudian mengambil tindakan langsung untuk menyelesaikan masalah. 5. MEKANISME KOPING Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk mengkaji bentuk bentuk Coping pada narapidana lembaga pemasyarakatan. Aday (1994) dengan menggunakan studi kasus telah menemukan penggunaan strategi Coping pada narapidana yang terkategori tua, yaitu dengan keterlibatan terhadap aktivitas keagamaan, penyangkalan problem, serta mencari bantuan pada narapidana lain. Sedangkan Thies (2000) menganalisa strategi Coping pada napi yang menderita HIV/AIDS dengan menggunakan interview individual dan menyimpulkan adanya penggunaan Coping berfokus pada emosi khususnya proses kognitif penyangkalan, atensi selektif dan pengambilan jarak, mobilisasi dukungan serta beberapa strategi behavioral. Akan tetapi penelitian tentang bentuk-bentuk coping pada narapidana khususnya pada anak didik LAPAS di Indonesia sepengetahuan peneliti belum banyak dilakukan. Silawaty & Ramdhan (2008) meneliti tentang peran agama terhadap penyesuaian diri narapidana di POLTEKKES KEMENKES PALU JURUSAN KEPERAWATAN PRODI NERS PROGRAM PROFESI



SERLI, S.Tr.Kep NIM ; P07120417059



LAPAS. Agama memang dapat menjadi salah satu bentuk coping, akan tetapi dalam penelitian tersebut hanya memfokuskan pada coping dengan agama saja dan tidak meneliti bentuk-bentuk coping lain. Disamping itu penelitian tersebut dilakukan pada narapidana dewasa. 6. PROSES PEMBINAAN Tujuan perawatan pada kelompok binaan LAPAS adalah untuk meningkatkan kemampuan unuk memperbaiki gaya hidup dalam menaikkan status kesehatan. Selain itu kelompok binaan LAPAS akan mempercayai bahwa dengan mengontrol gaya hidup akan menghasilkan hal yang positif dan akan meningkatkan kulitas hidupnya. Berikut ini adalah tahap-tahap pembinaan berdasarkan pasal-pasal pada PP No. 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga



Binaan



Pemasyarakatan a.



Pembinaan Tahap Awal Pembinaan tahap awal bagi narapidana dimulai sejak yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3 (satu pertiga) dari masa pidana. Pembinaan tahap awal ini meliputi : 1) Masa pengamatan, pengenalan dan penelitan lingkungan paling lama 1 (satu) bulan; 2) Perencanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian; 3) Pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian; 4) Penilaian pelaksanaan program pembinaan tahap awal. Tahap ini diawali dengan tahap admisi dan orientasi, yaitu sejak masuk di daftar, diteliti suratsurat vonisnya, lama pidananya, diperhitungkan kapan bebasnya, hasil penelitian



tersebut



penting



untuk penyusunan program



pembinaan



selanjutnya b.



Pembinaan Tahap Lanjutan Pembinaan tahap lanjutan dibagi dalam 2 (dua) periode : 1) Tahap lanjutan pertama, sejak berakhirnya pembinaan tahap awal sampai dengan ½ (satu perdua) dari masa pidana; 2) Tahap lanjutan kedua, sejak berakhirnya pembinaan tahap lanjutan pertama sampai dengan 2/3 (dua pertiga) dari masa pidana.



POLTEKKES KEMENKES PALU JURUSAN KEPERAWATAN PRODI NERS PROGRAM PROFESI



SERLI, S.Tr.Kep NIM ; P07120417059



Pembinaan tahap lanjutan meliputi : a)



Perencanaan program pembinaan lanjutan;



b)



Pelaksanaan program pembinaan lanjutan;



c)



Penilaian pelaksanaan program pembinaan lanjutan;



d)



Perencanaan dan pelaksanaan program asimilasi.



c. Pembinaan Tahap Akhir Pembinaan tahap akhir dilaksanakan sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pidana dari narapidana yang bersangkutan. Pembinaan tahap akhir meliputi : 1) Perencanaan program integrasi; 2) Pelaksanaan program integrasi; 3) Pengakhiran pelaksanaan pembinaan tahap akhir. Tahap integrasi atau non institusional, tahap ini apabila narapidana sudah menjalani 2/3 masa pidananya dan paling sedikit 9 bulan, narapidana dapat diusulkan diberikan pembebasan bersyarat. Disini narapidana sudah sepenuhnya berada di tengah-tengah masyarakat dan keluarga. Setelah pembebasan bersyarat habis, kembali ke lembaga pemasyarakatan untuk mengurus atau menyelesaikan surat bebas atau surat lepasnya. Apabila dalam tahap ini mendapatkan kesulitan atau hal-hal yang memungkinkan tidak mendapatkan persyaratan pembebasan bersyarat, maka narapidana diberikan cuti panjang lepas yang lamanya sama dengan banyaknya remisi terakhir, tapi tidak boleh lebih dari 6 bulan. Berdasarkan uraian di atas, tampak jelas bahwa proses pemasyarakatan berjalan tahap demi tahap dan masing-masing tahap ada gerak ke arah menuju kematangan. Pembinaan tahap awal dan tahap lanjutan dilaksanakan di Lapas, sedangkan untuk pembinaan tahap akhir dilaksanakan di luar Lapas oleh Bapas. Dalam hal narapidana tidak memenuhi syarat-syarat tertentu pembinaan tahap akhir narapidana yang bersangkutan tetap dilaksanakan di Lapas



7. PENGKAJIAN Nama



: Ny. R



Umur



: 36 tahun



POLTEKKES KEMENKES PALU JURUSAN KEPERAWATAN PRODI NERS PROGRAM PROFESI



SERLI, S.Tr.Kep NIM ; P07120417059



Status



: Menikah



Alamat



: Jl. Ki Hajar Dewantoro



Agama



: Islam



Lamanya di Lapas : 6 bulan Jenis Narkoba yg digunakan



: Ganja



Alasan Menggunakan Narkoba : Klien mengatakan menggunakan



ganja hanya



untuk senang senang , dan bisa bergaul dengan teman temannya 1.



Fisik. Penampilan klien cukup rapi, kulit putih, rambut disisir, makan teratur 3kali sehari, agak susah untuk tidur, klien kooperatif mau diajak kerjasama, sharig pengalaman yang menyebabkan dia dijebloskan ke Lapas



2.



Emosional. Perasaan gelisah (takut diketahui), tidak percaya diri, dan tidak berdaya. Potensial mengalami gangguan mental dan perilaku. 3. Sosial. Lingkungan sosial yang biasa akrab dengan klien adalah teman pengguna zat, anggota keluarga lain, pengguna zat di lingkungan kerja 4.



Intelektual. Pikiran yang selalu ingin menggunakan zat adiktif, perasaan ragu untuk berhenti, aktivitas pekerjaan yang menurun sampai berhenti, pekerjaan terhenti.. 5. Spiritual. Kegiatan keagamaan kurang atau tidak ada, nilai-nilai kebaikan ditinggalkan karena perubahan perilaku mis., mencuri, berbohong. 6. Keluarga. Ketakutan akan perilaku klien, malu pada masyarakat, penghamburan dan pengurasan ekonomi keluarga oleh klien, komunikasi dan pola asuh tidak efektif, dukungan moril terhadap klien tidak terpenuhi. 8. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1.



2.



b.



Alkohol a. Resiko tinggi terhadap cedera: jatuh berhubungan dengan kesulitan keseimbangan b. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan asupan makanan yang kurang Halusinogen. a. Perubahan proses pikir sampai dengan kerusakan penyesuaian dengan kehilangan daya ingat. Ansietas berhubungan dengan proses berpikir.



POLTEKKES KEMENKES PALU JURUSAN KEPERAWATAN PRODI NERS PROGRAM PROFESI



SERLI, S.Tr.Kep NIM ; P07120417059



3.



Stimulan. a. Gangguan pola tidur berhubungan dengan sensori sistem saraf pusat. b. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan penggunaan obat-obatan IV. Depresan. a. Gangguan pola tidur berhubungan dengan hipersensitifitas. b. Kerusakan pertukaran gas: pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru.



4.



9. KRITERIA HASIL Mendemonstrasikan hilangnya efek-efek penarikan diri yang memburuk Tidak mengalami cedera fisik



a. b.



10. PERENCANAAN Mandiri 1. Identifikasi tingkat gejala putus alkohol, misalnya tahap I diasosiasikan dengan tanda/gejala



hiperaktivitas



(misalnya



tremor,



tidak



dapat



beristirahat,



mual/muntah, diaforesis, takhikardi, hipertensi); tahap II dimanifestasikan dengan peningkatan hiperaktivitas ditambah dengan halusinogen; tingkat III gejala meliputi DTs dan hiperaktifitas autonomik yang berlebihan dengan kekacauan mental berat, ansietas, insomnia, demam. 2. Pantau aktivitas kejang. Pertahankan ketepatan aliran udara. Berikan keamanan lingkungan misalnya bantalan pada pagar tempat tidur. 3. Periksa refleks tendon dalam. Kaji cara berjalan, jika memungkinkan



4. Bantu dengan ambulasi dan aktivitas perawatan diri sesuai kebutuhan Kolaborasi 1. Berikan cairan IV/PO dengan hati-hati sesuai petunjuk 2. Berikan obat-obat sesuai petunjuk: benzodiazepin, oksazepam, fenobarbital, magnesium sulfat.



11. RASIONAL



POLTEKKES KEMENKES PALU JURUSAN KEPERAWATAN PRODI NERS PROGRAM PROFESI



SERLI, S.Tr.Kep NIM ; P07120417059



a. Pengenalan dan intervensi yang tepat dapat menghalangi terjadinya gejala-gejala dan



mempercepat



kesembuhan.



Selain



itu



perkembangan



gejala



mengindikasikan perlunya perubahan pada terapi obat-obatan yang lebih intensif untuk mencegah kematian. b. Kejang paling umum terjadi dan dihubungkan dengan penurunana kadar Mg,



hipoglikemia, peningkatan alkohol darah atau riwayat kejang. c. Refleksi tertekan, hilang, atau hiperaktif. Nauropati perifer umum terjadi terutama pada pasien neuropati d. Mencegah jatuh dengan cedera e. Mungkin dibutuhkan pada waktu ekuilibrium, terjadinya masalah koordinasi



tangan/mata. f.



Penggantian yang berhati-hati akan memperbaiki dehidrasi dan meningkatkan pembersihan renal dari toksin sambil mengurangi resiko kelebihan hidrasi.



12. IMPLEMENTASI 1. Mengidentifikasi tingkat gejala putus alkohol: tidak lagi minum alkohol selama



di lapas, awal masuk lapas sempat sakaw, sekarang sudah jarang muncul. 2. Memantau



aktivitas



kejang.



Mempertahankan



ketepatan



aliran



udara.



Memberikan keamanan lingkungan misalnya bantalan pada pagar tempat tidur. 3. Memeriksa refleks tendon dalam. Mengkaji cara berjalan; tidak ditemukan



adanya perubahan pada otot bagian dalam 4. Membantu dengan ambulasi dan aktivitas perawatan diri sesuai kebutuhan



POLTEKKES KEMENKES PALU JURUSAN KEPERAWATAN PRODI NERS PROGRAM PROFESI



SERLI, S.Tr.Kep NIM ; P07120417059