RM Pada Amputasi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN



Amputasi adalah tindakan pembedahan dengan membuang bagian tubuh. Amputasi dapat terjadi oleh berbagai sebab, seperti trauma, kelainan bawaan, infeksi, keganasan, gangguan vaskuler dengan atau tanpa diabetes mellitus. Tipe amputasi berdasarkan tingkatan dibagi menjadi partial foot, syme, transtibial (below knee), knee disarticulation (through knee), hip disarticulation, transcondylar/supracondylar,



transfemoral



(above



knee),



transpelvic



(hemipelvectomy), dan translumbar (hemicorporectomy).1,2 Menurut sumber the National Center for Health Statistics, terdapat 1.230.000 amputee di Amerika, dengan kasus amputasi baru yang dilakukan pertahunnya sebanyak 50.000 orang. Perbandingan antara amputasi ektremitas atas dan ekstremitas bawah adalah 1 : 4,9. Kebanyakan terjadi karena penyakit vaskuler, dengan 90% melibatkan kaki. Sekitar 5% merupakan amputasi partial foot dan ankle, 50% merupakan below knee amputation, 35% merupakan above knee, dan 7-10% merupakan amputasi pada hip.3,4 Hilangnya sebagian alat gerak akan menyebabkan ketidakmampuan seseorang dalam derajat yang bervariasi, tergantung dari luas hilangnya alat gerak, usia pasien, ketepatan operasi dan manajemen pasca operasi. Satu atau seluruh faktor ini bertanggung jawab atas kondisi ketidakmampuan pasien untuk kembali ke kemampuan fungsional seperti sebelumnya. Oleh karena itu, pengetahuan mengenai penanganan rehabilitasi medik pada amputasi sangat diperlukan oleh semua dokter.5



1



BAB II AMPUTASI



II.1.



Definisi Amputasi (bahasa latin: “amputare” yaitu memotong, atau memangkas)



adalah pembuangan suatu anggota gerak / anggota badan atau hasil perkembangan badan.6 II.2.



Insiden dan Demografi Menurut sumber the National Center for Health Statistics, terdapat



1.230.000 amputee di Amerika, dengan kasus amputasi baru yang dilakukan pertahunnya sebanyak 50.000 orang. Perbandingan antara amputasi ekstremitas atas dan ekstremitas bawah adalah 1 : 4,9.3 Penyebab tersering amputasi pada ekstremitas atas adalah trauma dan penyakit kanker, selanjutnya akibat komplikasi penyakit vaskular. Level tersering amputasi ekstremitas atas adalah transradial, sebanyak 57% dari semua kasus amputasi lengan. Amputasi transhumeral sebanyak 23% dari semua kasus amputasi. Sebanyak 60% amputee lengan berusia 21 sampai 64 tahun, dan 10% berusia lebih muda dari 21 tahun.3 Pada ekstremitas bawah, 75% - 93% tindakan amputasi disebabkan oleh karena penyakit vaskuler (penyakit diabetes, aterosklerosis, imunologik dan idiopatik). Diabetes merupakan faktor risiko terbanyak pada amputasi sebesar 2/3 semua kasus amputasi ekstremitas bawah. Sebanyak 6% - 10% amputasi ekstremitas bawah disebabkan oleh trauma pada ekstremitas serta akibat tumor.7 Di Inggris, insiden terjadinya peningkatan amputasi ekstremitas bawah karena vascular impairment atau iskemik ekstremitas bawah meningkat dari 56% pada tahun 1998/99 menjadi 75% pada tahun 2004/05.8 Sejak tahun 1965 di Amerika, perbandingan amputasi atas lutut dengan amputasi bawah lutut adalah 70 : 30. Seperempat abad kemudian, karena alasan pentingnya dalam mempertahankan



2



sendi lutut dan keberhasilan dalam perawatan, maka perbandingan menjadi 30 : 70.9 II.3.



Amputasi Ekstremitas Bawah



II.3.1. Level Amputasi Ekstremitas Bawah Level amputasi pada ekstremitas bawah sebagai berikut : 10 



Amputasi jari kaki







Amputasi transmetatarsal







Amputasi syme (ankle disarticulation)







Amputasi transtibial (antara 1/2 dan 1/3 bagian distal tungkai bawah)







Knee disarticulation







Amputasi transfemoral (8 cm atau lebih dari proksimal ke level sendi lutut)







Hip disarticulation (amputasi transfemoral yang pendek atau proksimal sampai ke trochanter major)







Hemipelvectomy



Gambar 1. Level amputasi ekstremitas bawah11



3



II.3.2. Program Rehabilitasi Amputee Ektremitas Bawah Prinsip umum penatalaksanaan amputasi ekstremitas bawah dapat dibagi dalam empat (4) fase :7 1. Penanganan preprostetik (preprosthetic management) 2. Perawatan pasca operasi (postoperative care) 3. Fitting protesa dan latihan (prosthetic fitting and training) 4. Follow-up jangka panjang (long-term follow-up care) II.3.2.1. Penanganan Preprostetik Penanganan preprostetik dimulai ketika keputusan untuk melakukan amputasi telah dibuat dan fase ini berakhir ketika pasien melakukan fitting protesa. Hasil yang optimal dapat diperoleh apabila anggota tim dapat mengevaluasi penderita sebelum dilakukan amputasi, tetapi seringkali kejadian terlambat sampai periode pasca operasi.7 Keadaan psikologi pasien, sarana pendukung yang tersedia serta keluarga merupakan faktor penting yang mempengaruhi rehabilitasi. Amputee berusia muda akan mengalami kesulitan menerima keadaannya, gambaran diri, sosialisasi, kehilangan pekerjaan, keuangan, dan fungsi seksual. Aspek psikologis atau tidak adanya dukungan sosial dapat memperburuk keadaan pasien. Seringkali konsultasi psikologi secara formal atau kejiwaan tidak dibutuhkan. Akan tetapi, bila keadaan psikologi amputee mempengaruhi peran serta dalam program rehabilitasi, maka diperlukan konsultasi secara formal.11 Evaluasi prepostetik, yang dilakukan pre atau pasca operasi, sebaiknya memperhatikan faktor-faktor yang akan mempengaruhi status fungsional dari pasien dan fitting protesa. Oleh karena itu diperlukan penilaian keadaan premorbiditas penderita, fungsi muskuloskeletal, neurologis dan kardiopulmonal yang akan mempengaruhi program rehabilitasi. Pertimbangan ini terutama pada amputasi ekstremitas bawah.12



4



A. Fungsi Kardiovaskular Pemakaian protesa ekstremitas bawah meningkatkan jumlah kebutuhan energi selama ambulasi bila dibandingkan dengan kecepatan berjalan yang sama pada ekstremitas bawah tanpa amputasi. Pemakaian protesa bawah lutut unilateral membutuhkan energi sekitar 40% - 50% lebih daripada normal, sedangkan pada penggunaan protesa atas lutut membutuhkan energi 90% - 100%. Pada beberapa pasien, peningkatan energi ini dapat memberikan beban pada otot jantung, mengakibatkan iskemia. Sehingga pemakaian protesa tersebut dapat mencetuskan congestive heart failure atau infark miokard.12 Level of Amputation Energy Increase Partial foot



10 - 20 %



Symes



0 - 30 %



Below knee



40 - 50 %



Above knee



90 - 100 %



Bilateral below knee



60 - 100%



B. Sistem Saraf Pusat Gangguan pada serebrovaskular akibat adanya sindrom otak organik. Apabila kemampuan daya ingat jangka pendek dan kemampuan belajar keterampilan motorik baru terganggu, maka kemampuan untuk belajar pemakaian protesa menjadi sulit.12 C. Penglihatan Fungsi penglihatan yang adekuat sangat penting, di mana untuk membantu visual feedback terhadap hilangnya sensibilitas pada bagian tubuh yang



5



diamputasi. Kemampuan membaca majalah dan untuk penempatan 2 kaki di lantai merupakan kriteria sederhana untuk dapat melakukan latihan protesa dengan berhasil.12 D. Fungsi Muskuloskeletal Kekuatan otot dan LGS sebaiknya dievaluasi pada sisi amputasi dan non amputasi. Kekuatan otot proksimal, terutama ekstensi dan abduksi panggul, penting pada amputee atas lutut. 12 II.3.2.2 Perawatan Pasca Operasi Tujuannya adalah untuk mengurangi edema, nyeri, mencegah kontraktur, mencegah komplikasi kardiopulmoner dan general body deconditioning, latihan anggota gerak khususnya lengan untuk persiapan pemakaian kruk, edukasi penderita dan keluarganya serta memberikan dukungan psikologik.7 Program yang diberikan meliputi : positioning untuk mencegah kontraktur, mobilisasi di tempat tidur, latihan transfer, mobilitas dengan kursi roda, latihan lingkup gerak sendi untuk semua sendi, latihan penguatan isometrik untuk semua kelompok otot / ekstremitas, aktivitas fungsional (berpakaian, hygiene personal, toileting dll), perawatan kardiovaskular dan respirasi, edukasi tentang perawatan kulit serta perlindungan terhadap penyakit pembuluh darah perifer, dukungan mental dan terapi psikologik bila diperlukan. 13 Pada tahap ini yang perlu diperhatikan adalah : 13 a. Mencegah komplikasi pasca operasi Latihan pernafasan sebaiknya diberikan untuk mencegah komplikasi anestesi berupa pernafasan dalam (deep breathing) dan mekanisme batuk efektif. Hal ini untuk mencegah terjadinya pneumonia statis. Dengan intake oksigen yang meningkat ini dapat mengurangi kemungkinan timbulnya hipotensi postural pada saat perubahan posisi dari berbaring ke posisi tegak. b. Melaksanakan perawatan luka dan mengurangi edema



6



Sasaran dari penanganan pasca operasi adalah untuk mencapai penyembuhan luka operasi dan mengusahakan jaringan puntung terbentuk stabil sedini mungkin serta mulai memobilisasi penderita. Faktor-faktor yang menghambat penyembuhan luka : -



edema



-



infeksi



-



berkurangnya aliran darah



-



penyakit sistemik seperti diabetes melitus Dilakukan perawatan pada luka pasca amputasi dengan menggunakan pembalut / dressing dapat berupa “rigid dressing” atau “soft dressing”. Pemasangan rigid dressing / plaster of Paris dapat dilakukan segera setelah operasi, keuntungannya adalah untuk mencegah edema sehingga mempercepat penyembuhan luka dan maturasi puntung, mengurangi nyeri post operasi, melindungi dari trauma dan memungkinkan untuk segera kembali berdiri dan ambulasi lebih awal. Teknik ini dikenal dengan IPOF (Immediate Post Operative Fitting). Rigid dressing harus dibuka untuk melihat luka operasi pada hari ke 7 – 10, dan bila terjadi pengendoran gips ataupun ada tanda-tanda infeksi lokal maupun sistemik merupakan indikasi untuk melepas gips lebih awal. Bila luka baik, rigid dressing baru dapat dipasangkan lagi, dan dilanjutkan ambulasi dengan atau tanpa pylon sampai bisa memakai protesa definitif (biasanya 4-8 minggu). Bila pemasangan rigid dressing baik, dapat juga digunakan sebagai socket untuk protesa sementara. Secara psikologis hal ini dapat juga memberikan dorongan semangat pada penderita.7 Pada soft dressing, biasanya digunakan verban elastik / elastic bandage dan terutama dipakai untuk luka-luka yang perlu sering dikontrol, seperti adanya infeksi. Penderita juga diajarkan cara-cara pembalutan ini sehingga dapat memakainya sendiri. Pembalutan dimulai dari ujung distal kearah proksimal dengan metoda 8 sampai di atas kondilus femoralis dengan penekanan terutama pada distal, tidak boleh terlalu ketat pada sebelah



7



proksimal karena akan menyebabkan bagian distal menjadi iskemik. Daerah patela tidak ditutupi untuk memudahkan lingkup gerak sendi lutut Elastic bandage dapat dilepas dan kemudian dipakai kembali sampai siap menggunakan prostesis definitif. Pembebatan puntung akan mempercepat penyembuhan, penyusutan dan maturasi. Prosedurnya harus dipahami benar oleh amputee.14



Gambar 2. Cara pemakaian elastic bandage pada amputasi atas lutut14



c. Mempertahankan atau memperbaiki kondisi anggota gerak untuk mencapai kondisi optimal Pada fase ini pencegahan kontraktur sangat penting. Hal ini diakibatkan oleh karena :  ketidakseimbangan otot akibat tindakan amputasi  rasa nyeri dan postur yang kurang baik di tempat tidur dalam jangka waktu lama Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :  



menggunakan splint di belakang sendi lutut yang diamputasi mempertahankan postur tubuh yang baik Dalam hal ini selain menghindari postur tubuh yang kurang baik di tempat tidur, juga dianjurkan untuk tidur dalam posisi tengkurap. Apabila duduk dengan kursi roda menggunakan stump board, tetapi penggunaan kursi roda sebaiknya dihentikan bila pasien sudah dapat menggunakan kruk atau protesa.



8



d. Melatih agar dapat melaksanakan aktivitas kehidupan sehari-hari secara mandiri Aktivitas terapi fisik dimulai segera setelah amputasi dan intensitasnya ditingkatkan secara bertahap dalam mempersiapkan penderita untuk latihan jalan dan mandiri dalam AKS. Ini dapat diperoleh melalui program latihan yang selektif seperti penguatan otot-otot ekstremitas atas, latihan spesifik bagi puntung dan latihan untuk tungkai yang sehat. Latihan dimulai dengan latihan ranges of motion (ROM), mula-mula dibantu kemudian aktif. Kemudian diberi tahanan manual untuk meningkatkan kekuatan otot. Stump exercise juga perlu dilakukan, latihan ini ditujukan untuk penguatan otot-otot yang dipergunakan untuk mengontrol protesa. Disamping itu dilakukan pula keseimbangan pada posisi duduk, berdiri, dan berjalan.15 e. Pemeliharaan puntung dan tungkai yang tidak diamputasi Pemeliharaan puntung ini sangat penting, karena puntung yang sehat dan terawat dapat berfungsi sebagai aktivator dan pengungkit bagi protesa. Puntung ini juga harus menumpu berat badan pada daerah-daerah yang secara anatomis tidak dirancang untuk itu. Pemeliharaan puntung meliputi perawatan kebersihan kulit, massage, tapping dan desensitisasi. Massage dan tapping pada puntung yang dilakukan lebih awal akan menolong toleransi puntung terhadap sentuhan dan tekanan. Teknik ini dapat dilakukan ketika menggunakan soft compression dressing dan sampai soft compresion dressing tersebut dilepas. Sebagai tambahan, teknik ini juga dapat mengurangi sensasi dari phantom pain.16 Setiap malam puntung dicuci dengan air hangat dan sabun yang lembut, kemudian dikeringkan dengan handuk. Begitu juga dengan daerah lipatan kulit dibersihkan. Perawatan terhadap puntung ini berlangsung untuk selamanya.16 Massage : 17



9







Menggunakan satu atau dua tangan, lakukan gentle massage pada puntung.







Hati-hati pada daerah bekas operasi. Setelah melewati daerah bekas operasi, tekanan pemijatan dapat







ditingkatkan. Massage ini sebaiknya dilakukan ± 5 menit 3 – 4 kali sehari. Hal ini dapat dilakukan lebih sering jika dirasakan dapat mengurangi phantom pain.



Gambar 3. Massage pada puntung. 17



Tapping : 17 



Lakukan tapping pada puntung dengan menggunakan ujung jari tangan.







Hati-hati bila melakukannya didaerah bekas operasi Setelah melewati daerah bekas operasi, tapping dapat dilakukan lebih keras







menggunakan satu atau dua tangan Tapping sebaiknya dilakukan 1-2 menit 3-4 kali sehari.



Gambar 4. Tapping pada puntung 17



10



Desensitisasi : 17 



Teknik ini dilakukan ketika tidak mengenakan soft compression dressing.







Dilakukan 2-3 menit dua kali sehari dan biasanya dilakukan ketika mandi. Awalnya, dilakukan dengan cotton ball dan digosokkan secara langsung







pada kulit puntung dengan gerakan sirkular. Ketika rasa dapat ditoleransi, secara progresif baru dapat menggunakan



 



bahan yang lebih kasar seperti tissue. Akhirnya, selanjutnya dapat menggunakan handuk mandi. Teknik ini sebaiknya dilakukan sampai penderita dapat mentoleransi gosokan dari handuk.



Gambar 5. Cara melakukan desensitisasi pada puntung 17



Gambar 6. Inspeksi dengan menggunakan cermin 17



11



Tungkai yang tidak diamputasi merupakan tungkai yang dominan dalam ambulasi dan harus bekerja keras. Perawatannya meliputi kebersihan kulit seperti tungkai yang diamputasi. Sedang untuk perawatan kuku harus dilakukan secara hati-hati terutama pendertia diabetes melitus dan gangguan vaskular.17 Problem yang sering timbul pada puntung adalah infeksi, neuroma dan nyeri phantom seperti yang telah disebutkan sebelumnya.17 f. Persiapan gait training Sebelum penderita berlatih untuk jalan, perlu dilatih dahulu keseimbangan pada posisi duduk, bangkit berdiri, keseimbangan tegak secara stasioner. Setelah itu dapat dimulai dengan menggunakan bilateral axillary crutches / kruk untuk ambulasi. Kruk ini dapat digunakan secara intermittent dalam hidupnya.15 Latihan dapat dilakukan di parallel bar, disamping itu juga diajarkan penggunaan protesa, latihan jalan, naik turun tangga, berjalan di atas dasar yang tidak rata.15 II.3.2.3. Fitting Protesa Sesudah puntung cukup stabil maka dapat diberikan suatu protesa definitif yang lebih komplek dan secara kosmetik lebih baik dari yang sementara. Protesa definitif ini dikendalikan sepenuhnya oleh kekuatan otot penderita sebagai daya pengungkit puntung. Tujuan selama stadium ini adalah : 16 -



evaluasi persiapan dan pemasangan dengan protesa yang sesuai



-



melatih penderita memakai dan menggunakan protesa



-



melaksanakan prosthetic check out akhir Protesa ekstremitas bawah diberikan pada bagian ekstremitas bawah yang



hilang dengan maksud untuk mengembalikan kesimetrisan tubuh amputee dan biasanya dilakukan untuk fungsi ambulasinya.



12



II.3.2.4. Latihan Prostetik Teknik latihan pada penderita amputasi ekstremitas bawah sangat bervariasi tergantung dari level amputasi dan apakah kasus unilateral atau bilateral serta usianya. II.3.2.4.1. Latihan keseimbangan Latihan dasar keseimbangan dimulai di parallel bar dengan jarak kedua kaki dibuka sekitar 8 inch. Perhatikan postur tubuh harus tegak dan kemudian tubuh digerakkan ke samping secara bergantian untuk merasakan protesa pada puntung. Perpindahan beban tubuh yang dirasakan pada tungkai normal ke protesa haruslah mempunyai durasi yang sama. Setelah penderita merasa percaya diri, maka kedua tangan di parallel bar dapat dilepas dan penderita dapat melakukan latihan dengan kedua tangan diletakkan di sisi tubuh. Pandangan pasien lurus terhadap cermin pengoreksi yang diletakkan di depan pasien.18 II.3.2.4.2. Latihan berjalan Penderita merentangkan kedua kakinya kira-kira 3-4 inch. Berat badan dibebankan pada sisi tungkai yang normal, lutut pada sisi amputasi difleksikan, kemudian kaki yang memakai prostetik digerakkan perlahan ke depan dan kemudian kembali ke posisi berdiri secara normal. Cara ini diulang sampai penderita merasa mampu mengontrol gerakan shank dan kakinya. Beban kemudian dipindahkan pada protesa dan prosedur diulangi pada sisi tungkai yang normal.18 II.3.2.4.3. Ambulasi progresif Setelah keseimbangan dan rasa percaya diri meningkat, penderita dapat dipersiapkan untuk latihan berjalan di luar parallel bar. Saat ini penderita membutuhkan kemampuan untuk memutarkan badan. Untuk dapat memutar dengan mudah, letakkan kaki normal di depan, dari tungkai yang normal, kemudian putar kearah kaki prostetik. Berbalik 180 derajat seharusnya dapat dilakukan dengan mudah, dengan secara langsung memutar setengah lingkaran penuh, dari pada serangkaian putaran yang bertahap.18



13



II.3.2.4.4. Naik dan turun tangga Ketika naik tangga, penderita melangkahkan kaki normal lebih dahulu pada anak tangga, kemudian bawa prostesis dengan mengangkatnya melalui tungkai yang normal. Cara ini dilakukan sampai anak tangga terakhir dicapai. Turun tangga, penderita menempatkan kaki prostesis



lebih dulu pada anak



tangga, kemudian diikuti kaki yang normal. Penderita dapat memulai dengan berpegangan pada pengangan tangga, kemudian hanya menggunakan tangan pada sisi prostesis dan akhirnya tanpa berpegangan.18 II.3.2.5. Follow Up : Masalah amputee dan penanganannya Pasien yang telah menyelesaikan program rehabilitasi sebaiknya melakukan follow-up kepada seorang tim minimal setiap 3 bulan selama 18 bulan pertama. Kunjungan dapat lebih sering apabila pasien mendapatkan masalah dalam fitting protesa, kondisi puntung, maupun kesulitan dalam melakukan aktivitas tertentu. Setelah periode ini, pasien dianjurkan melakukan pemeriksaan minimal tiap 6 bulan untuk menjamin keadaan dan fungsi protesa adekuat. Penting untuk mengganti protesa atau komponen-komponennya setiap 2 atau 3 tahun. Beberapa masalah yang perlu diperhatikan adalah : 12,16 1. Edema Edema hebat dapat menyebabkan nekrosis, edema dapat diminimalkan dengan pemakaian rigid dressing. 2. Nyeri Nyeri insisional akan mereda sejalan dengan penyembuhan (4-5 hari), penanganannya adalah evaluasi anggota gerak, rigid dressing post operasi. 3. Hematoma Pengontrolan perdarahan yang baik sebelum menutup luka dan penggunaan drain akan mengurangi risiko terjadinya hematoma. Dengan adanya hematoma akan memperlambat penyembuhan dan merupakan suatu media yang baik untuk pertumbuhan bakteri, sehingga memudahkan terjadinya infeksi. Bila ditemukan hematom, perlu dilakukan aspirasi dan kompresi kuat pada daerah yang terkena.



14



4. Infeksi Angka kejadian infeksi oleh karena amputasi sekitar 15% dan sering ditemukan pada amputasi dengan penyakit pembuluh darah perifer, terutama diabetes melitus. Antibiotika profilaksis dapat diberikan, akan tetapi harus diingat bahwa level antibiotika pada puntung sangat rendah. 5. Nekrosis, Ulserasi dan Gangren Nekrosis akan memperlambat penyembuhan. Sedikit nekrosis pada tepi kulit dapat diobati secara konservatif. Nekrosis yang lebih berat menunjukkan insufisiensi aliran darah pada level tersebut yang mungkin memerlukan reseksi atau reamputasi pada level yang lebih proksimal. 6. Neuroma Suatu neuroma terjadi pada akhir potongan saraf. Nyeri yang timbul pada umumnya disebabkan oleh tarikan pada saraf tersebut oleh jaringan parut dan juga oleh karena tekanan pada saraf tersebut. Penanganan neruroma adalah dengan melakukan perubahan pada kantong protesa sehingga tidak menekan atau menarik pada tempat yang sakit. Penyuntikan secara langsung dengan anestesi lokal, dengan atau tanpa steroid, dapat membantu. Neurlosis dengan fenol dapat dicoba setelah penyuntikan anestesi lokal gagal. Bila tindakan konservatif gagal, pembedahan untuk membebaskan saraf pada level proksimal dapat dipertimbangkan. 7. Sensasi phantom dan nyeri phantom Sensasi phantom adalah bila penderita pasca amputasi masih merasa bahwa bagian tubuh yang telah diamputasi masih ada, sensasi ini dapat mengganggu tetapi jarang menimbulkan nyeri, dan biasanya hilang dengan sendirinya setelah protesa digunakan secara teratur. Sedangkan nyeri phantom adalah nyeri bayangan / semu yang merupakan rasa sakit yang dirasakan oleh penderita pada bagian tubuh yang sebenarnya telah diamputasi. Nyeri phantom pada umumnya timbul lebih lambat daripada sensasi phantom dan frekuensinya lebih sedikit pada usia di bawah 35 tahun. Insiden dan beratnya nyeri phantom meningkat pada amputee yang



15



mengalami iskemi sebelum amputasi, profil kepribadian yang kompulsif atau tipe pekerja keras, amputasi pada ekstremitas atas, adanya nyeri kronik sebelumnya dan amputasi atas indikasi trauma, nyeri phantom akan berkurang bila program rehabilitasi post operatif segera diberikan. Meskipun telah dicoba menggunakan beberapa modalitas terapi, penanganan nyeri phantom belum memberikan hasil yang optimal. Obat oral yang dimasukkan dalam first line penanganan nyeri phantom adalah golongan antidepresan trisiklik dan antikonvulsan (misal carbamazepin, gabapentin). Obat lain yang dapat diberikan dan ternyata telah memberikan keberhasilan termasuk mexiletine, calcitonin, N-methyl-D-aspartate (NMDA) reseptor antagonis, dan opioid. Evaluasi dan koreksi dari masalah protesa dan nyeri puntung juga merupakan komponen penting dalam penanganan awal nyeri phantom.



Latihan



ROM,



relaksasi,



massage



puntung,



pemberian



transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS), compressive stocking dan mengajarkan pemakaian protesa yang benar dapat bermanfaat dalam membantu penanganan medis. 8. Kontraktur Kontraktur sering terjadi pada puntung yang pendek. Kontraktur sendi dapat dicegah dengan positioning yang fisiologis dari puntung dan latihan penguatan otot-otot maupun mobilisasi sendi. Kontraktur ringan dapat ditangani dengan stretching pasif pada sendi secara gentle dan disertai latihan penguatan otot yang mengontrol sendi tersebut. Kontraktur sendi yang berat dapat terjadi pada puntung yang pendek, dan adanya kontraktur ini akan menyulitkan pemakaian protesa, sehingga diperlukan tindakan bedah. 9. Problem tulang Masalah yang sering ditemui yaitu fraktur, osteoporosis dan spur. Penyebab fraktur adalah gait yang tidak stabil, dimana risiko untuk jatuh meningkat. Insiden diperkirakan 3-5%.



16



10. Skoliosis Disebabkan karena panjang tungkai yang tidak sama. Penanganannya dengan koreksi panjang prostesis. 11.Masalah penyesuaian psikososial Amputee merasa rendah diri, depresi dan tidak cakap. Mereka memerlukan konseling psikologis untuk memecahkan masalah secara terbuka. Adaptasi psikologis dipengaruhi oleh kepribadian premorbid, tipe amputasi, kondisi medis dan keberhasilan program prostesis. 12. Masalah aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) dan penyesuaian pekerjaan Amputee dapat mengalami hambatan dalam melakukan AKS. Tidak ada kontra indikasi untuk melakukan berbagai aktivitas fisik yang dapat dilakukan amputee, kecuali aktivitas-aktivitas yang menuntut keseimbangan yang baik (misal bekerja dalam ketinggian).



17



BAB III KESIMPULAN



Amputasi (bahasa latin: “amputare” yaitu memotong, atau memangkas) adalah pembuangan suatu anggota gerak / anggota badan atau hasil perkembangan badan. Indikasi amputasi adalah untuk live saving dan atau limb saving. Komplikasi amputasi : masalah kulit, infeksi, tulang, neuroma, phantom sensation, phantom pain, edema, kontraktur, respirasi & sirkulasi. Edema dapat diatasi dengan elastic bandage figure of eight. Sementara kontraktur sendi dapat dihindari dengan menghindari posisi fleksi genu, abduksi hip, dan fleksi hip (positioning). Hal yang harus diperhatikan pada pasien yang ingin menggunakan prostetik yaitu kardiovaskuler, masalah vaskuler pada puntung, defisit serebrovaskuler, masalah sensasi, serta penglihatan dan pendengaran. Amputee dapat mengalami hambatan dalam melakukan AKS. Tidak ada kontra indikasi untuk melakukan berbagai aktivitas fisik yang dapat dilakukan amputee, kecuali aktivitas-aktivitas yang menuntut keseimbangan yang baik (misal bekerja dalam ketinggian).



DAFTAR PUSTAKA



18



1. McAnelly, RD., & Virgil W. Faulker. 1996. Lower Limb Prostheses. Randall L. Braddom, et al (Eds.). Physical Medicine & Rehabilitation. Philadelphia : W.B Saunders Company. P.289-297. 2. Reksoprodjo, S. 1988. Indikasi dan Kondisi Pra/Pasca Amputasi. Naskah Lengkap Simposium Kedokteran Fisik & Rehabilitasi Medik Dalam Klinik. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal.48-49. 3. Esquenazi A. Upper limb amputee rehabilitation and prosthetic restoration. In: Braddom RL. Physical medicine and rehabilitation, 2 nd ed. Philadelphia: WB Saunders company; 2000: 263-77. 4. Friedmann, LW. 1990. Rehabilitation of The Lower Extremity Amputee. Frederic J. Kottke, et al (Eds.). Krusen’s Handbook of Physical Medicine and Rehabilitation. 4th Edition. Philadelphia : W.B Saunders Company. P.10241068. 5. Vitriana. 2002. Rehabilitasi Pasien Amputasi Bawah Lutut dengan Menggunakan Immediate Post Operative Prosthetic. [Online]. [Diakses 7 Januari 2016]. HYPERLINK http//www.pustaka.unpad.ac.id/rebilitasi_pasien_amputasi _ bawah_lutut.pdf. 6. Newman DWA. Kamus kedokteran Dorland. Edisi bahasa Indonesia. Ed 29. Jakarta: EGC; 2002: 80. 7. Gitter A, Bosker G. Upper and lower extremity prosthetics. In : Delisa, editors. Physical medicine and rehabilitation principle and practice. 4th ed. Vol 2. Philadelphia: Lippicott Williams and Wilkins; 2005: 1325-40. 8. Judy H. World wide wounds. Wound healing complications associated with lower limb amputation. UK (Last updated: Sept 2006). Available from URL: http://www.worldwidewounds.com/ 9. Kelly BM. Upper limb prosthetics. (Last updated: Jan 14, 2009). Available from URL: http://emedicine.medscape.com/ 10. Uustal H, Baerga E. Prosthetics. In: Cucurullo S. Physical medicine and rehabilitation board review. New York: Demos; 2004: 416-58. 11. Tan JC. Prostheses. In: Tan JC. Practical manual of physical medicine and rehabilitation. Toronto: Mosby; 1998: 229-59. 12. Meier RH. Rehabilitation in patient with amputation, In : Halstead LS, Grabois M. Medical rehabilitation. New York: Raven press Books; 1985: 133-45. 13. Terrence PG, Barry SM. Amputations. In: Garrison SJ. Handbook of physical medicine and rehabilitation basics. Medical rehabilitation. Philadelphia: J.B. Lippincott company; 1995: 34-43, 171-78. 14. Powel M. Amputation. In: Powel M. Orthopaedics nursing and rehabilitation. 9th ed. St Louis: English Language Book Society/Churchill Livingstone; 1986: 646-57. 15. O’Sullivan SB, Cullen KE, Schmidt TJ. Physical rehabilitation evaluation and treatment procedures. Philadelphia: FA Davis Company; 1981: 194-8, 221-9. 16. Leonard EI, editors. Lower limb prostheses. In: Braddom RL. Physical medicine and rehabilitation, 2nd ed. Philadelphia: WB Saunders company; 2000: 279-308. 17. Rossbach P. Military in step. A publication of the amputee coalition of America in partnership with the U.S. Army amputee patient care program. ACA. (Last updated : 6 March 2008). Available from URL : http://www.amputee-coalition.org/



19



18. Edward JW, Ann A. Physical treatment and training of amputees. In: Vultee FE. Orthopaedic appliances atlas. Vol 2. Michigan; 1960: 313-37.



LAPORAN KASUS



I. IDENTITAS PASIEN



20



Nama



: Tn. SA



Umur



: 34 tahun



Jenis kelamin



: Laki-laki



Alamat



: Cimangud RT 16/14 Kasumalang Subang, Jawa Barat



Agama



: Islam



Pekerjaan



: Kondektur bis



No. RM



: 284232



Tanggal periksa



: 8 Januari 2016



II. ANAMNESIS Keluhan Utama: Nyeri pada luka operasi Riwayat Penyakit Sekarang: Kisaran 1 tahun yang lalu (Februari 2015), pasien mengalami kecelakaan saat bekerja sebagai kondektur bis (tabrakan dengan truk kontainer). Akibat kecelakaan itu, tungkai kiri pasien harus diamputasi setinggi paha (atas lutut). Selain itu, pasien juga menjalani operasi pada tungkai kanan (betis). Tungkai kanan pasien sudah dioperasi sebanyak 3 kali, operasi yang pertama bersamaan dengan operasi amputasi tungkai kiri (debridement). Setelah 3 hari dari operasi pertama, pasien lalu menjalani operasi yang kedua yaitu pemasangan eksternal fiksasi. Operasi dilakukan di RS Permata Medika Semarang (kecelakaan terjadi di tol Krapyak). Selama ini, pasien rutin kontrol ke dokter SpOT di Subang sebulan sekali. Saat kontrol terakhir bulan Desember 2015, pasien dirujuk ke RSO Solo untuk menjalani operasi yang ketiga. Saat ini, pasien sudah menjalani operasi yang ketiga berupa pemasangan ulang eksternal fiksasi pada betis kanannya. Tidak ada keluhan pada tungkai kiri yang diamputasi. Saat ini pasien mengeluh nyeri pada tungka kanan. Saat ini pasien sudah bisa duduk, untuk perawatan diri dan toileting masih dibantu oleh keluarga. Pasien dan keluarga ingin pasien bisa jalan mandiri dengan alat bantu atau kaki palsu dan pasien ingin dapat kembali bekerja. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat hipertensi dan diabetes melitus disangkal 21



Riwayat Sosial Ekonomi Sebelum tungkai kiri pasien diamputasi, pasien bekerja sebagai kondektur bis. Pasien tinggal bersama istri yang tidak bekerja, dan 2 orang anak yang masih sekolah (13 tahun dan 6 tahun). Biaya pengobatan ditanggung BPJS. Riwayat Aktivitas Sebelum Sakit -



III.



Mobilisasi Komunikasi ADL Okupasional Hubungan sosial



: dapat berdiri dan berjalan mandiri : berbicara dan pemahaman baik : mandiri : kondektur bis : penderita mempunyai hubungan yang baik dengan keluarga dan tetangga .



PEMERIKSAAN FISIK



Kesadaran



: compos mentis



Kontak



: baik



Komunikasi



: baik



Tanda vital



:



TD : 120/80 mmHg, N : 78 x/menit, RR : 16 x/menit, Suhu : afebris Postur dan mobilisasi : -



Tungkai bawah



-



Saat duduk



: amputasi atas lutut kiri, terpasang eksternal fiksasi pada regio cruris kanan : punggung lurus, bahu simetris, alignment vertebra simetris pada garis tengah



-



Alih baring di bed Berbaring-duduk Duduk-berbaring Keseimbangan duduk



: sudah dapat dilakukan : sudah dapat dilakukan : sudah dapat dilakukan : baik



Status general Kulit



: warna coklat, rash (-), kulit kering (-), hiperpigmentasi (-)



Kepala



: mesosefal



Mata



: konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik



Hidung



: discharge (-), deviasi (-), bentuk normal 22



Mulut



: bibir tidak sianosis



Telinga: fungsi pendengaran kesan baik, discharge (-) Thoraks Pulmo : -



Inspeksi



: simetris statis dan dinamis, retraksi suprasternal (-), retraksi interkostal (-) Palpasi : stem fremitus kanan = kiri, ekspansi dinding dada (+) Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru Auskultasi : vesikuler, ronkhi (-), wheezing (-)



Cor : -



Inspeksi Palpasi



: iktus cordis tidak tampak : iktus cordis teraba di ICS V medial midclavicula sinistra, tidak kuat angkat Perkusi : batas kiri 2 cm medial midclavicula line sinistra ICS V batas atas ICS III linea parasternal sinistra batas kanan linea parasternalis dekstra Auskultasi : BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)



Abdomen : -



Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi



: datar : supel, hepar/ lien tidak teraba, nyeri tekan (-), massa (-) : timpani : bising usus normal



Trunkus : alignment vertebra lurus, bahu dan scapula simetris, spasme otot (-), nyeri tekan (-), hump (-), lecet/decubitus (-) Status neuromuskuler Oedem Capilary refill Sianosis Akral dingin Motorik : Gerak Kekuatan Tonus Trofi ROM anggota gerak R.Fisiologis



Superior -/