Skripsi FirdhaFR 107 Syariah Muamalah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

“TINJAUAN HUKUM ISLAM DALAM PENERAPAN PENGAMPUNAN PAJAK SEBAGAI USAHA OPTIMALISASI PENDAPATAN NEGARA DI INDONESIA”



SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan dalam Penyelesaian Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Hukum Ekonomi Syariah (Mu’amalah)



Oleh: FIRDHA FADHILAH RIDWAN NPM: 10010213107



FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG 2017 M / 1438 H



PERSETUJUAN



Disetujui oleh:



Pembimbing I



Pembimbing II



Titin Suprihatin, Dra.,M.Hum.



Eva Misfah Bayuni, S.E.I, M.E.Sy.



Mengetahui



Dekan



Ketua Program Studi Hukum Ekonomi



Fakultas Syari’ah Unisba



Syari’ah (Mu’amalah)



M. Roji Iskandar, Drs., M.H.



Dr. Neneng Nurhasanah, Dra., M.hum.



i



PENGESAHAN Skripsi ini telah di munaqasyahkan oleh tim penguji skripsi pada hari senin, tanggal 14 Agustus 2017, dan telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana (S-1) pada Fakultas Syari’ah Program Studi Hukum Ekonomi Syariah (Mu’amalah) Universitas Islam Bandung. Bandung, 14 Agustus 2017 M 21 Dzulqa’dah 1438 H PANITIA UJIAN MUNAQASYAH Ketua



Sekretaris



M. Roji Iskandar, Drs., MH.



Dr. Neneng Nurhasanah, Dra.,M.Hum.



TIM PENGUJI:



1. Dr.H.M.Zainuddin,Lc.,Dipl.,M.H.



2. Zaini Abdul Malik, S.Ag.,M.A. SEKRETARIS MAJELIS



Ifa Hanifia Senjiati, S.Sy., M.Si.



ii



MOTTO



)٣(ْ‫ْو ِكيال‬ َ ْْ‫َوت َ َوكَّل‬ َّ ِ‫ْو َكفَىْب‬ َّ َ‫عل‬ َ ِ‫اَّلل‬ َ ِ‫ىَّْللا‬ “dan bertawakkallah kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pemelihara”. (QS Al-Ahzab [33]: 3)



iii



ABSTRAK TINJAUAN HUKUM ISLAM DALAM PENERAPAN PENGAMPUNAN PAJAK SEBAGAI USAHA OPTIMALISASI PENDAPATAN NEGARA DI INDONESIA FIRDHA FADHILAH RIDWAN Kata Kunci :Pengampunan Pajak, Pendapatan Negara, Hukum Islam Berdasarkan laporan APBN 2017, Pendapatan negara bertumpu pada perpajakan sebesar 85,6%. Pemerintah Indonesia juga telah mengeluarkan kebijakan pengampunan pajak untuk menambah sisi penerimaan negara. Padahal dalam Islam pajak hanya dijadikan sebagai sumber pendapatan negara yang bersifat komplemen. Sementara itu konsep pengampunan pajak belum ada di zaman Rasulullah Saw. Rumusan masalah yang ingin diketahui adalah: Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pendapatan negara di Indonesia, bagaimana penerapan pengampunan pajak sebagai usaha optimalisasi pendapatan negara di Indonesia, dan bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap penerapan pengampunan pajak sebagai usaha optimalisasi pendapatan negara di Indonesia.Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui tinjauan hukum Islam dan hukum Indonesia tentang pendapatan negara, untuk menganalisis dan memahami penerapan pengampunan pajak sebagai usaha optimalisasi pendapatan negara di Indonesia, untuk memahami secara mendalam mengenai tinjauan hukum Islam terhadap penerapan pengampunan pajak sebagai usaha optimalisasi pendapatan negara di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan deskriptif dan yuridis normatif. Sumber data yang digunakan adalah data sekunder yaitu laporan APBN 2017 dan laporan Dirjen Pajak mengenai statistik amnesti pajak dengan teknik pengumpulan data dokumentasi dan studi kepustakaan. Analisis data yang digunakan adalah perbandingan hukum danverifikasi penarikan kesimpulan. Hasil penelitian berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat di tarik simpulan sebagai berikut: Pertama, pendapatan negara di Indonesia memiliki beberapa perbedaan dengan pendapatan negara pada zaman Rasulullah Saw dalam hal mengatur, mengelola, termasuk cara memperoleh penerimaan negara. Kedua, Penerapan pengampunan pajak sebagai usaha optimalisasi pendapatan negara di Indonesia belum berhasil mengoptimalkan pendapatan negara dalam jangka pendek karena berkurangnya pemasukan pajak dan denda yang seharusnya dibayar. Ketiga, tinjauan hukum Islam terhadap penerapan pengampunan pajak sebagai usaha optimalisasi pendapatan negara di Indonesia, dana dari uang tebusan yang otomatis masuk kedalam kas negara untuk menambah sisi penerimaan negara diragukan kehalalannya karena tidak sesuai dengan konsep perampasan harta dalam jarimah ta’zir.



iv



KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: “Tinjauan Hukum Islam terhadap Penerapan Pengampunan Pajak sebagai Usaha Optimalisasi Pendapatan Negara di Indonesia” dengan lancar tanpa kendala. Shalawat serta salam penulis limpahkan kepada Nabi junjungan kita Nabi Muhammad SAW, sang revolusioner yang telah membawa perubahan dari zaman jahiliyah hingga zaman yang penuh rahmat ini. Skripsi ini diajukan guna memenuhi tugas dan syarat untuk memperoleh gelar sarjana strata satu (S-1) Fakultas Syari’ah Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah (Mu’amalah). Ucapan terimakasih sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah memberikan pengarahan, bimbingan dan bantuan dalam berbagai bentuk. Ucapan terimakasih terutama penulis sampaikan kepada: 1. Allah SWT yang selalu memberikan rahmat, hidayah, kesehatan, rezeki, dan nikmat yang tidak terhingga. 2. Orang tuaku tercinta, Dadan Muhammad Ridwan dan Diah Sabariah yang telah memberikan cinta, semangat, motivasi dorongan do’a, moril dan materil kepada penulis. 3. Bapak M. Roji Iskandar, Drs.,M.H. selaku Dekan Fakultas Syari’ah Universitas Islam Bandung . 4. Ibu Titin Suprihatin, Dra.,M.Hum. selaku Dosen Pembimbing I yang telah membimbing penulis dengan sabar dan ikhlas dalam menyelesaikan skripsi ini.



v



5. Ibu Eva Misfah Bayuni, S.E.I, M.E.Sy. selaku Dosen Pembimbing II yang telah membimbing penulis dengan sabar dan ikhlas dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Ibu Ifa Hanifia Senjiati, M.E.Sy., M.Si. selaku Dosen sekaligus mentor terbaik yang telah mengajarkan banyak hal dan selalu memberi dukungan moril kepada penulis. 7. Segenap Dosen beserta seluruh jajaran staff Fakultas Syari’ah Universitas Islam Bandung. 8. Adik ku tercinta Itsnaina Lathifah Ridwan, Nisrina Hurul’ain Raudhatul Jannah Ridwan, Maritza Putri Humairah Ridwan, dan Adeeva Safaniya Mahya Ridwan yang telah memberi dukungan dan semangat kepada kakaknya dalam menyelesaikan perkuliahannya. 9. Anisa Natasya Fauziah, Salma Mufidah, Maria Dwi Pertiwi, Aris Priatna, Geovanna Reztu Perkasa, yang selalu memberikan semangat, dorongan do’a kepada penulis. Terimakasih selalu menjadi teman, serta telah menjadi keluarga dan sahabat yang sangat luar biasa selama ini bagi penulis. 10. Sahabat Jannahku Amanah Wardiah Jannah, Bunga Endah Permata Sari, Ulfah Nasti Wili Astuti, Wulansari Putri, terimakasih telah memberikan semangat dan dukungan moril kepada penulis. 11. Teman Seperjuanganku Risma Yulia Putri, Anna Annisa, Mayang, Khairunnisa Safitri, Febriyanti, Shanti, Annisa Coryani, Amy, dan Arum.



vi



12. Keluarga Besar BMT Fasya Unisba Devi Rusdiana, Nadya Zahra, Rani Sariatul, Tika, Faza, Widi, Sena, Irfan, Aris, Geo, dan Syamsu. 13. Keluarga Besar Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Syariah (BEMFS) Angkatan 2013-2014. 14. Keluarga Besar Dewan Amanat Mahasiswa Fakultas Syariah (DAMFS) Angkatan 2014-2015. 15. Keluarga Besar Kepada seluruh angkatan 2013 Fakultas Syariah Unisba. 16. Kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan dan penuh kekurangan, oleh karena itu dengan segenap kerendahan hati penulis menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya, serta semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak. Aamiin.



vii



DAFTAR ISI LEMBAR JUDUL PERSETUJUAN ............................................................................................. i PENGESAHAN .............................................................................................. ii MOTTO .......................................................................................................... iii ABSTRAK ...................................................................................................... iv KATA PENGANTAR .................................................................................... v DAFTAR ISI ................................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... x DAFTAR TABEL .......................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xii BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1 1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 6 1.3 Tujuan Penulisan .............................................................................. 7 1.4 Manfaat Penulisan ............................................................................ 7 1.5 Kerangka Pemikiran ......................................................................... 8 1.5.1 Pendapatan Negara ................................................................. 8 1.5.2 Pajak ....................................................................................... 9 1.6 Telaah Pustaka ............................................................................................ 13 1.7 Teknik Penelitian ........................................................................................ 14 1.7.1 Metode Penelitian ............................................................................ 14 1.7.2 Sumber Data..................................................................................... 15 1.7.3 Teknik Pengumpulan Data ............................................................... 15 1.7.4 Teknik Analisis Data........................................................................ 16 1.8 Sistematika Pembahasan ............................................................................. 16 BAB II PENDAPATAN NEGARA DALAM ISLAM ........................................... 18 2.1 Kelembagaan Baitul M𝑎̂l .................................................................... 18 2.2 Pendapatan Negara di Masa Nabi Rasulullah SAW ................................... 19 2.3 Sumber-sumber Pendapatan Negara Perspektif Islam ................................ 25 2.3.1 Sumber Pendapatan Primer .............................................................. 26 2.3.2 Sumber Pendapatan Sekunder .......................................................... 30 2.4 Pajak Perspektif Islam ................................................................................ 31 2.5 Pengampunan Pajak Perspektif Islam ......................................................... 32 2.5.1 Konsep Pengampunan dalam Islam ................................................. 32 2.5.2 Jarimah Ta’zir .................................................................................. 35 BAB III PENDAPATAN NEGARA DI INDONESIA ........................................... 39 3.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Republik Indonesia .. 39 3.2 Sumber-sumber Pendapatan Negara di Indonesia ...................................... 40 3.3 Perpajakan di Indonesia .............................................................................. 42 3.4 Pengampunan Pajak .................................................................................... 46 3.4.1 Sejarah Pengampunan Pajak di dunia .............................................. 46 3.4.2 Sejarah Pengampunan Pajak di Indonesia........................................ 46 3.4.2 Kebijakan Pengampunan Pajak di Indonesia Tahun 2016 ............... 48 BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PENERAPAN PENGAMPUNAN PAJAK SEBAGAI USAHA OPTIMALISASI PENDAPATAN NEGARA DI INDONESIA .......................................................... 55



viii



4.1 Analisis Pendapatan Negara di Indonesia Perspektif Islam ........................ 55 4.1.1 Analisis Sumber-sumber Pendapatan pada Laporan APBN 2017 Perspektif Islam ........................................................................................ 57 4.1.2 Analisis Pajak sebagai Sumber Pendapatan Negara di Indonesia .... 61 4.2 Analisis Pendapatan Pengampunan Pajak di Indonesia .............................. 63 4.3 Analisis Hukum Islam Terhadap Penerapan Pengampunan Pajak di Indonesia....................................................................................................... 65 4.3.1 Analisis Evaluasi Implementasi Pengampunan Pajak di Indonesia Perspektif Islam ........................................................................................ 65 4.3.2 Analisis Pengampunan Pajak Tahun 2016-2017 sebagai Usaha Optimalisasi Pendapatan Negara di Indonesia Perspektif Islam .... 70 BAB V PENUTUP..................................................................................................... 75 5.1 Simpulan ..................................................................................................... 75 5.2 Saran ........................................................................................................... 76 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 77



ix



DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran ..................................................................... 12



x



DAFTAR TABEL Tabel 1.1 Komposisi Realisasi Berdasarkan SSP yang diterima ..................... 5 Tabel 2.1 Sumber Pendapatan Negara dalam Islam......................................... 26 Tabel 3.1 Pajak-pajak Pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak ..... 44 Tabel 3.2 Pajak-pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Provinsi Maupun Kabupaten/Kota ................................................................... 45 Tabel 4.1 Perbandingan Aspek APBN pada Masa Rasulullah SAW dengan APBN di Indonesia ............................................................................ 57 Tabel 4.2 Pendapatan Negara Indonesia dalam APBN 2017 ........................... 58 Tabel 4.3 Perbandingan Pendapatan dalam APBN di Indonesia dengan Pendapatan dalam Al-Kharaj Perspektif Abu Yusuf ......................... 59 Tabel 4.4 Realisasi Berdasarkan Surat Setoran Pajak (SSP) yang diterima .... 63 Tabel 4.5 Komposisi Harta Berdasarkan SPH yang diterima .......................... 64 Tabel 4.6 Perbandingan Pertumbuhan Perekonomian Indonesia sebelum dan Sesudah Penerapan Pengampunan Pajak .................................... 71



xi



DAFTAR LAMPIRAN Daftar Riwayat Hidup Surat Keputusan Nomor :381/SK-Dek/FS/IV/2016 Kartu Bimbingan Skripsi I Kartu Bimbingan Skripsi II Tabel I-Account APBN Postur APBNP 2015 dan RAPBN 2016 Postur APBNP 2016 dan APBN 2017 Perkembangan Defisit Anggaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016-2017 Undang-Undang No.11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2016 Tentang Pengaturan Lebih Lanjut mengenai Pelaksanaan Undang-Undang No.11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak



xii



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Islam adalah agama universal yang mengatur hubungan makhluk hidup dengan Penciptanya dan makhluk hidup dengan sesamanya. Islam adalah sebuah sistem yang mengatur segala aspek kehidupan makhluknya mulai dari hukum, budaya, politik, ekonomi, dan lain-lain. Khalifah sebagai pemimpin suatu negara bertugas untuk mensejahterakan dan memakmurkan rakyatnya yang salah satu caranya dengan mengatur kebijakan fiskal.“Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dibidang keuangan meliputi penerimaan negara, pengeluaran negara, dan utang.”1 Ketiga komponen diatas diatur oleh lembaga Baitul M𝑎̂l pada saat di zaman Rasulullah Saw. Sementara di masa sekarang di atur dalam APBN. Sistem ekonomi Islam muncul sejak adanya umat manusia itu sendiri. Oleh karenanya, teori



bagaimana



memperoleh



pendapatan



telah



diajarkan



Allah



SWT.



Menciptakan manusia sekaligus menurunkan pula petunjuk tentang bagaimana cara-cara memperoleh pendapatan sebagaimana firman Allah SWT berikut ini:



‫َو ََل تَأ ْ ُكلُوا أ َ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم ِب ْال َبا ِط ِل َوت ُ ْدلُوا ِب َها ِإلَى ْال ُح َّك ِام ِلتَأ ْ ُكلُوا فَ ِريقًا ِم ْن‬ َ‫اْلثْ ِم َوأ َ ْنت ُ ْم ت َ ْعلَ ُمون‬ ِ َّ‫أ َ ْم َوا ِل الن‬ ِ ْ ‫اس ِب‬



Gusfahmi, Pajak Menurut Syari’ah,PT Raja Grafindo,Jakarta,2007,hlm.144.



1



1



2



Artinya: Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.(QS.Al-Baqarah [2]: 188). Kemudian hadis riwayat Tirmidzi juga menerangkan mengenai kewajiban memperoleh pendapatan sesuai syariah.



‫ع ْن ِع ْل ِم ِه فِي َما فَ َع َل‬ ُ ‫ع ْن‬ َ ‫ع ْم ِر ِه فِي َما أ َ ْفنَاهُ َو‬ َ ‫َلَ تَ ُزو ُل قَدَ َما َعبْد يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة َحتَّى يُسْأ َ َل‬ ‫ع ْن َما ِل ِه ِم ْن‬ َ ‫َو‬ 2َ َ ُ‫ع ْن ِجس ِْم ِه ِفي َما أ ْباله‬ َ ‫سبَهُ َوفِي َما أ َ ْنفَقَهُ َو‬ َ َ ‫َما ِل ِه ِم ْن أَيْنَ ا ْكت‬ Artinya:Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya. Pada periode pemerintahan Rasulullah Saw, negara menerapkan kebijakan fiskal dengan menggunakan prinsip anggaran berimbang (Balanced Budget). Pada zaman itu negara hanya mengandalkan sumber pendapatan Baitul M𝑎̂l yang telah ditetapkan oleh syariah seperti ghanimah, zakat, ushr, jizyah, kharaj,’ushur (bea cukai), waqaf, dharibah, pendapatan dari harta milik negara/umum, dan lainnya.3 Pada pemerintahan Islam periode modern, terjadi perubahan dengan menerapkan kebijakan fiskal yang berbeda yaitu memakai anggaran defisit (Defisit budget). Suatu negara yang mengalami defisit akan menyelesaikannya dengan tiga cara umum, yaitu meningkatkan pendapatan negara, memangkas pengeluaran, atau berhutang baik ke luar negeri ataupun dalam negeri. 4



Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa al-Tirmizi, Kitab Jamiús Shahih, Daarul Fikri, Beirut, 1400H/1980 M, jld. 4, No.2532, hlm.36. 3 Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam UII, Ekonomi Islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm.515. 4 Gusfahmi, Utang atau Pajak , diakses dari http://www.pajak.go.id/content/article/utangatau-pajak pada pukul 21 Maret 2016 pukul 08.05. 2



3



Indonesia merupakan salah satu negara yang menggunakan sistem anggaran defisit. Dalam mengatasi anggaran negara yang defisit, Indonesia telah melakukan berbagai cara mulai dari memangkas pengeluaran APBN dengan mengurangi pengeluaran yang bersifat konsumtif dan bukan bersifat darurat serta berusaha meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak.5 Rochmat Soemitro mendefiniskan pajak sebagai peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor publik berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat imbalan yang secara langsung dapat ditunjukan, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan digunakan sebagai alat pendorong, penghambat atau pencegah, untuk mencapai tujuan yang ada di luar bidang keuangan.6 “Sementara Abdul Qadim Zallum berpendapat bahwa pajak adalah harta yang diwajibkan Allah SWT kepada kaum muslim untuk membiayai beragai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka, pada saat kondisi Baitul M𝑎̂l tidak ada uang/harta.”7 Eksistensi Pajak dalam Islam dijelaskan sebagaimana dalam potongan firman Allah SWT berikut ini:



َ‫سائِلِين‬ َّ ‫سبِي ِل َوال‬ َّ ‫ساكِينَ َوابْنَ ال‬ َ ‫َوآتَى ْال َما َل‬ َ ‫علَى ُحبِ ِه ذَ ِوي ْالقُ ْربَى َو ْاليَتَا َمى َو ْال َم‬ َّ ‫ص َالة َ َوآتَى‬ َ ‫الز َكاة‬ َّ ‫ام ال‬ ِ ‫الرقَا‬ ِ ‫َو ِفي‬ َ َ‫ب َوأَق‬ Artinya: “…dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya,



anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat…”. (QS. Al-Baqarah [2]:177).



5



Theo Yusuf, Alasan di balik Menkeu Sri Mulyani Pangkas Anggaran, diakses dari http://www.antaranews.com/berita/578122/alasan-di-balik-menkeu-sri-mulyani-pangkas-anggaran pada tanggal 11 Agustus 2016 pukul 15.20 WIB. 6 Rochmat Sumitro, Pengantar Singkat Hukum Pajak, PT.Eresco, Bandung, 1988, hlm.12. 7 Abdull Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, diterjemahkan oleh: Ahmad S,dkk., Pustaka Thariqul Izzah,Bogor,2002,hlm.138.



4



Tafsiran dari potongan ayat di atas yakni mengeluarkan harta, sedangkan dia mencintainya dan berhasrat kepadanya. Itulah jenis lain dan cara bersedekah yang lebih tinggi kedudukannya karena lebih mengutamakan diri orang lain daripada diri mereka sendiri, padahal mereka sangat memerlukan tetapi mereka tetap



memberikannya



dari



harta



yang



mereka



sendiri



mencintai



dan



memerlukannya.8 Namun, jika penarikan pajak tidak sesuai dengan rambu-rambu syariat dan Pemerintah berlaku dzalim pada rakyat, maka Allah SWT melarangnya.9



‫ع ْن تَ َراض‬ ِ َ‫يَاأَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ََل تَأ ْ ُكلُوا أ َ ْم َوالَ ُك ْم َب ْينَ ُك ْم بِ ْالب‬ َ ً ‫ارة‬ َ ‫اط ِل إِ ََّل أ َ ْن تَ ُكونَ تِ َج‬ ‫ِم ْن ُك ْم‬ Artinya:“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan harta-harta kalian di antara kalian dengan cara yang batil, kecuali dengan perdagangan yang kalian saling ridha…..” (QS. An-Nisa [4]:29). “Karakteristik pokok dari pajak yang diterapkan di Indonesia adalah pemungutannya harus berdasarkan Undang-Undang yang mana tercantum pada Undang-Undang No.28 Tahun 1983 Pasal 1 angka 1.”10 Dalam upaya meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak serta untuk meningkatkan Tax Ratio melalui intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan, salah satunya adalah upaya alternatif implementasi pengampunan pajak (Tax Amnesty). Amnesti pajak pertama pada abad ke-20 dilakukan oleh Italia di condono di pene pecuniary, dan sampai saat ini terhitung 38 negara telah menerapkan tax amnesty di negaranya. ‘Abdullah bin Muhammad Alu Syaikh, Lubaabut Tafsir Min Ibnii Katsiir, diterjemahkan oleh: ‘Abdul Ghoffar, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Jakarta, 2013, hlm.418. 9 Gusfahmi, Pajak Haramkah?, diakses dari http://www/pajak.go.id/content/article/Pajak-haramkah pada tanggal 5 agustus 2016 pukul 15:21. 10 Fitri Kurniawati, Analisis Komparasi Sistem Perpajakan Indonesia Dengan Sistem Perpajakan Menururt Islam, Jurnal Infestasi, Vol. 5, No. 1, Juni 2009, hlm.24. 8



5



Tujuan dibuatnya kebijakan pengampunan pajak di Indonesia adalah untuk mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi, mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan, dan meningkatkan penerimaan pajak.11 Menurut Laporan Menteri Keuangan, “Untuk tahun 2017 pendapatan negara akan semakin bertumpu pada penerimaan perpajakan yang mencapai 85,6% dari total pendapatan negara”.12 Pendapatan negara Indonesia dalam APBN 2017 sebesar 1.750.300.000.000 dengan sumbangan dari sektor perpajakan termasuk uang tebusan dari Pengampunan Pajak sejumlah Rp1.498.900.000.000. Tabel 1.1 Komposisi Realisasi Berdasarkan SSP yang diterima13 Keterangan



Pembayaran Tebusan



Jumlah TOTAL



Rp.110.000.000.000



Pembayaran Bukti Permulaan Rp.1.080.000.000 Rp.124.000.000.000



Pembayaran Tunggakan Rp.12.500.000.000



Dan berdasarkan Laporan Dirjen pajak, data statistik Tax Amnesty per 28 Maret 2017, Uang tebusan yang masuk ke negara yaitu Rp. 110.000.000.000 sementara dana repatriasi akan masuk ke pasar keuangan. Terlihat bahwa Pemerintah Indonesia ingin menambah sisi penerimaan negara dengan mengoptimalkan perpajakan melalui kebijakan Tax Amnesty. Kebijakan Pajak yang ditetapkan pemerintah Indonesia berbeda dengan sistem perpajakan di zaman Rasulullah Saw jika dilihat dari subjek dan objeknya. Dalam Islam pajak juga hanya dijadikan sebagai sumber pendapatan negara yang



11



Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak, Pasal 2. Pidato disampaikan pada Konferensi Pers APBN 2017 di Aula Djuanda Kantor Pusat Kementian keuangan Jakarta, pada tanggal 27 oktober 2016. 13 Direktorat Jendral Pajak Kementrian Keuangan, Statistik Amnesti Pajak, diakses dari http://www.pajak.go.id/statistik-amnesti. 12



6



bersifat komplemen.14 Sementara itu konsep pengampunan pajak belum ada di zaman Rasulullah Saw. Maka dari itu, penulis merasa tertarik untuk membahas lebih lanjut dalam sebuah penelitian yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penerapan Pengampunan Pajak Sebagai Usaha Optimalisasi Pendapatan Negara di Indonesia”. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan masalah dalam beberapa pertanyaan diantaranya: 1. Bagaimana tinjauan hukum Islam dan hukum Indonesia tentang pendapatan negara? 2. Bagaimana penerapan pengampunan pajak sebagai usaha optimalisasi pendapatan negara di Indonesia? 3. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap penerapan pengampunan pajak sebagai usaha optimalisasi pendapatan negara di Indonesia? 1.3 Tujuan Penulisan Berdasarkan rumusan masalah di atas maka terdapat beberapa tujuan, diantaranya: 1. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam dan hukum Indonesia tentang pendapatan negara. 2. Untuk menganalisis dan memahami penerapan pengampunan pajak sebagai usaha optimalisasi pendapatan negara di Indonesia.



14



Gusfahmi, op-cit, hlm.33.



7



3. Untuk memahami secara mendalam mengenai tinjauan hukum Islam terhadap penerapan pengampunan pajak sebagai usaha optimalisasi pendapatan negara di Indonesia. 1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagi Mahasiswa : Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi atau sumber rujukan bagi mahasiswa dalam melakukan penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan penerapan pengampunan pajak di Indonesia. 2. Bagi Pemerintah: Penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi Pemerintah sebagai Khalifah dalam menjalani aktivitas reformasi perpajakan dari Tax Amnesty untuk mengoptimalkan pendapatan negara di Indonesia berdasarkan prinsip Islam. 3. Bagi Masyarakat: Penelitian ini dapat dijadikan informasi untuk menambah wawasan bagi masyarakat tentang penerapan pengampunan pajak di Indonesia dalam mengoptimalkan pendapatan negara yang sesuai dengan prinsip syariah. 1.5 Kerangka Pemikiran 1.5.1 Pendapatan Negara a. Pendapatan Negara di Indonesia Pencapaian tujuan negara selalu terkait dengan keuangan negara sebagai bentuk pembiayaan terhadap penyelenggaraan negara. Pengelolaan keuangan negara di Indonesia didasarkan pada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan Trilogi Pembangunan.Tanpa keuangan negara, berarti tujuan negara tidak dapat terselenggara sehingga hanya berupa cita-cita hukum belaka.Untuk mendapat keuangan negara sebagai bentuk



8



pembiayaan tujuan negara, harus tetap berada dalam bingkai hukum yang diperkenankan oleh Undang-Undang Dasar 1945.15 Sumber pendapatan di Indonesia pada dasarnya terdiri dari pajak (pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional), penerimaan bukan pajak (penerimaan SDA, bagian laba BUMN, dan lainnya), dan hibah.16 Indonesia menggunakan sistem anggaran defisit sehingga langkah negara untuk menutupi anggaran yang defisit salah satunya yaitu dengan melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi di bidang perpajakan dengan menerapkan kebijakan Tax Amnesty. b. Pendapatan Negara dalam Perspektif Islam Pada sistem ekonomi Islam ada beberapa prinsip yang harus ditaati oleh Ulil Amri dalam melaksanakan pemungutan pendapatan negara, yaitu Ada Nash yang memerintahkannya, harus ada pemisahan muslim dan non muslim, hanya golongan kaya yang menangung beban, adanya tuntutan kemaslahatan umum.17 Sumber-sumber pendapatan negara dalam Islam dibagi kedalam dua jenis yaitu pendapatan primer dan sekunder. Pendapatan primer terdiri dari ghanimah, zakat, ushr, jizyah, kharaj, ’ushur (bea cukai). Sedangkan pendapatan sekunder terdiri dari uang tebusan, pinjaman, khumus, amwal fadhla, waqaf, nawaib, zakat fitrah.18



15



Muhammad Djafar Saidi,Hukum Keuangan Negara,Rajawali Pers,Jakarta,2011,hlm.3. Direktorat Jendral Pajak Kementrian Keuangan, Undang-Undang No.18 Tahun 2016 Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2017, diakses dari http://www.djpk.depkeu.go.id/wp-content/uploads/2017/01/UU-APBN-2017.pdf 17 Gusfahmi,Op.cit.hlm.147-149. 18 An Nabhani, Taqyudin, Membangun Sistem Ekonomi Islam Alternatif: Perspektif Islam, alih bahasa Maghfur Wahid, Risalah Gusti , Surabaya, 1999, hlm. 268. 16



9



“Pemerintahan negara Islam menunjukan bahwa anggaran belanja negara dalam Islam sudah ditetapkan langsung oleh Allah SWT. Hal ini akan berbeda sekali dengan negara demokrasi (non-Islam), yang menetapkan jenis penerimaan melalui keputusan rakyat (DPR), dan dilakukan melalui pemungutan suara.”19 Di zaman pemerintahan Islam, anggaran berimbang memang dipilih karena waktu itu belum terdapat seruan untuk pertumbuhan ekonomi.20 1.5.2 Pajak a. Pajak di Indonesia Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan (Selanjutnya disebut dengan UU KUP 2007), pajak didefinisikan sebagai: “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”21 Pajak sebagai instrumen politik dapat dielaborasi dalam beberapa fungsi antara lain sebagai sumber penerimaan negara, instrumen keadilan dan pemerataan, instrumen kebijakan pembangunan, instrumen ketenagakerjaan, instrumen kebijakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.22 Jenis pajak pusat yang dikelola oleh Dirjen Pajak Indonesia yaitu pajak pengahasilan, pajak



19



Gusfahmi, op-cit, hlm.146. Gusfahmi, op-cit, hlm.162. 21 Undang-Undang Nomor 28 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan 2007 22 Ibid, hlm.45. 20



10



pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, bea materai, pajak bumi dan bangunan.23 b. Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) Pengampunan Pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana dibidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty).24 Pengampunan Pajak berpegang teguh pada prinsip atau asas kepastian hukum, keadilan, kemanfaatan, dan kepentingan nasional. Tujuan penyusunan Undang-Undang tentang pengampunan



pajak



yaitu untuk



mempercepat



pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan harta, mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan, basis data perpajakan yang lebih valid, dan meningkatkan penerimaan pajak, yang antara lain akan digunakan untuk pembiayaan pembangunan.25 Subjek dalam pengampunan pajak yaitu setiap wajib pajak berhak mendapatkan pengampunan pajak kecuali yang sedang dalam penyelidikan dan proses peradilan atau tengah menjalani hukuman pidana atas tindak pidana dibidang perpajakan. Sementara objek pengampunan pajak sendiri yaitu pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai atau pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah. 26



Dirjen Pajak Departemen keuangan RI, “Buku Panduan Hak dan Kewajiban Perpajakan”, diakses dari http://www.pajakonline.com/engine/learning/view.php?id=765 . 24 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak, Pasal 1, Angka1. 25 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak, Pasal 2, Ayat (2). 26 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak,Pasal3. 23



11



c. Pajak dalam Perspektif Islam Secara etimologi, “Pajak dalam bahasa Arab disebut dengan istilah Dharibah, yang artinya: mewajibkan, menetapkan, menentukan, memukul, menerangkan, membebankan dan lain-lain.” Pajak di zaman Rasulullah Saw tergolong ke dalam beberapa jenis yaitu, jizyah, kharaj, al-‘usyr, nawaib, dan khums.27 Pajak (dharibah) menurut Islam, berbeda dengan pajak dalam sistem nonIslam karena Pajak (dharibah) bersifat temporer, hanya boleh dipungut untuk pembiayaan yang merupakan kewajiban bagi kaum muslim, hanya diambil dari kaum muslim, hanya dipungut dari kaum muslim yang kaya, dapat dihapus bila sudah tidak diperlukan.28 Hubungan Pajak dengan syariat, yaitu pajak mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya (Mu’amalah), oleh sebab itu ia merupakan bagian dari syariat. Maka dari itu, pajak sudah ada di zaman Rasulullah Saw dan diterapkan untuk menambah pendapatan negara khalifah tentunya dengan aturan yang sesuai dengan syariat. Tanpa adanya rambu-rambu syariat dalam perpajakan, maka pajak dapat menjadi alat penindas oleh penguasa kepada rakyat (kaum muslim). Indonesia juga menerapkan pajak untuk menambah sisi penerimaan negara. Kini Tax Amnesty menjadi salah satu kebijakan baru yang dibuat pemerintah sebagai salah satu usaha “untuk mengoptimalkan pendapatan negara dalam jangka pendek dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak dengan tidak memberlakukan peraturan perundang-undangan yang berlaku, terutama sanksi 27 Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islam, Salemba Empat, Jakarta, 2002, hlm. 184. 28 Fitri Kurniawati, op-cit, hlm.23.



12



administrasi dan sanksi pidana dibidang perpajakan.”29 Program pengampunan pajak ini belum ada di masa Rasulullah Saw namun konsep pengampunan, pembayaran sanksi dengan denda, dan kedudukan pajak sebagai pendapatan negara dipelajari dalam Islam. Dari penjelasan variabel-variabel diatas, maka dapat dirancang kerangka pemikiran sebagai berikut : Pajak Menurut Islam Pengampunan Pajak



Optimalisasi Pendapatan Negara di Indonesia



Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran



1.6 Telaah Pustaka Dalam



upaya



penggalian



informasi



lebih



mendalam



mengenai



pengampunan pajak, penulis melakukan penelusuran terhadap penelitianpenelitaan sebelumnya. Adapun penelitian terdahulu mengenai Pengampunan pajak dari beberapa sudut pandang dideskripsikan sebagai berikut: 1. Ragimun dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Implementasi Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) di Indonesia”, memaparkan bahwa kebijakan Tax Amnesty yang telah diterapkan di Indonesia menunjukkan hasil yang kurang efektif. Hal ini disebabkan oleh tingkat kepatuhan Wajib Pajak yang merupakan pemegang peranan penting dalam program ini



29



Zainal Muttaqin, Tax Amnesty di Indonesia, PT.Refika Aditama, Bandung, hlm.11.



13



memang mengalami kenaikan, namun hal ini tidak berbanding lurus dengan peningkatan jumlah dari pajak yang diterima.30 2. Umi Cholifah dalam Tesisnya yang berjudul “Pengampunan Pajak di Indonesia dalam Perspektif Islam”, memaparkan kebijakan Tax Amnesty di Indonesia berdasarkan hukum positif dan hukum Islam. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa penerapan Tax Amnesty di Indonesia memliki legalitas yang kuat dan pengampunan pajak di perbolehkan dalam Islam, hanya saja perbedaan yang paling mencolok yakni terdapat pada subjek yang mendapatkan amnesti. Dimana amnesti dalam Islam hanya diberlakukan kepada orang yang tidak mampu ataupun orang yang telah memiliki beban pungutan lainnya.31 Objek kajian pada penelitian-penelitian tersebut memiliki persamaan dengan penelitian ini secara tema besar, yakni tentang pengampunan pajak. Sementara titik perbedaan yang paling menonjol terletak pada sudut pandang yang diambil, yakni selain meneliti dengan analisa hukum positif dan Islam, penulis juga akan meneliti Hukum penerimaan dana Tax Amnesty sebagai upaya mengoptimalkan pendapatan negara dalam Islam.



Ragimun,“Analisis Implementasi Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) di Indonesia”, dipublikasikan oleh Badan Kebijakan Fiskal RI, dalam, http://www.kemenkeu.go.iddiakses tanggal 14 September 2016. 31 Umi Cholifah, Pengampunan Pajak di Indonesia dalam Perspektif Islam, Tesis, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2017. 30



14



1.7 Teknik Penelitian 1.7.1 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif dan yuridis normatif. Pendekatan deskriptif adalah metode penelitian yang bertujuan untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta dan sifat hubungan antarfenomena yang diselidiki.32 “Sedangkan yuridis normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti data sekunder sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan mengadakan penelusuran terhadap peraturan dan literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.” 33 1.7.2 Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, yaitu yang termasuk kepada hukum positif dan hukum normatif diantaranya Undang-Undang RI No. 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang No.11 Tahun 2016 tentang Tax Amnesty. Kedua, bahan hukum sekunder yang dimaksud adalah jurnal dan buku yang berkaitan dengan pajak dan keuangan publik. Ketiga, sumber bahan hukum tersier yang menguatkan penjelasan dari bahan hukum primer dan sekunder yaitu berupa kamus hukum. Keempat, sumber bahan non hukum yaitu Al-qur’an, sunnah, dan kitab-kitab fiqhiyah.



32



Moh.Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Bogor 2005, hlm.54. Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat),Rajawali Pers, Jakarta, 2001, hlm. 13-14. 33



15



1.7.3 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis dalam melakukan penelitian ini adalah: a. Studi Kepustakaan Dalam Penelitian ini, Penulis akan melakukan kajian literatur melalui studi kepustakaan seperti Kitab Abdul Qadim Zallum yang berjudul Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, buku-buku, jurnal, dan literatur lainnya yang berkaitan dengan Pajak, Tax Amnesty, Keuangan Publik. b. Dokumentasi Penulis mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan berupa Laporan APBN Indonesia yang dipublikasikan pada website Kementrian Keuangan Republik Indonesia (www.kemenkeu.go.id), dan Laporan Tax Amnesty yang dipublikasikan pada website Dirjen Pajak (www.pajak.go.id). 1.7.4 Teknik Analisis Data Teknik analsis data yang digunakan dalam penelitian ini mencakup perbandingan Hukum dan penarikan kesimpulan. a. Perbandingan Hukum Kegunaan dari penerapan perbandingan hukum adalah, antara lain, bahwa penelitian tersebut akan memberikan pengetahuan tentang persamaan dan perbedaan antara pelbagai bidang tata hukum dan pengertian dasar sistem hukum. Hasil perbandingan hukum adalah untuk mengetahui bidang mana yang dapat di unifikasikan dan bidang manakah yang harus diatur dengan hukum antar tata hukum.34 b. Verifikasi dan Penarikan Kesimpulan



34



Soejorno Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum , UI-Press, Jakarta, 1986, hlm.263.



16



Penulis menganalisis pola, penjelasan dan alur sebab akibat dari teori dan data yang diperoleh dari laporan Kementrian Keuangan tentang penerapan Tax Amnesty dan penerimaan pendapatan negara di Indonesia yang kemudian dibandingkan dengan literatur berupa buku dan jurnal yang sesuai dengan masalah yang dibahas serta dianalisis dengan menggunakan Pedoman Undang-Undang No.11 Tahun 2016 tentang Tax Amnesty dan hukum Islam sebagai acuan. 1.8 Sistematika Pembahasan Untuk mempermudah dalam pembuatan, penulis membuat sistematika sebagai berikut : Bab I Pendahuluan :berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka pemikiran, teknik penelitian, dan sistematika pembahasan. Bab



II



Pendapatan



Negara



Perspektif



Islam:



berisi



tentang



kelembagaan Baitul M𝑎̂l, pendapatan Negara di masa pemerintahan Nabi Muhammad Saw, sumber-sumber pendapatan negara perspektif Islam, pajak dalam perspektif Islam, pengampunan pajak dalam perspektif Islam, konsep pengampunan dalam Islam, jarimah ta’zir. Bab III Pendapatan Negara di Indonesia:



membahas mengenai



anggaran pendapatan dan belanja negara Republik Indonesia, sumber-sumber pendapatan negara, perpajakan di Indonesia, jenis-jenis pajak di Indonesia, sejarah dan kebijakan pengampunan pajak di Indonesia. Bab IV Analisis Hukum Islam Terhadap Penerapan Pengampunan Pajak Sebagai Usaha Optimalisasi Pendapatan Negara di Indonesia:analisis



17



optimalisasi pendapatan negara di Indonesia Perspektif Islam, analisis pengampunan pajak tahun 2016-2017 sebagai usaha optimalisasi pendapatan negara di Indonesia perspektif Islam, analisis implementasi pengampunan pajak di Indonesia, analisis hukum Islam terhadap penerapan pengampunan pajak di Indonesia. Bab V Penutup: berisi simpulan dari hasil analisis, saran dan rekomendasi untuk penelitian selanjutnya.



BAB II PENDAPATAN NEGARA PERSPEKTIF ISLAM ̂l 2.1 Kelembagaan Baitul M𝒂 Baitul M𝑎̂l berasal dari kata bait (rumah) dan m𝑎̂l (harta).35 Sedangkan secara terminologi, menurut Abdul Qadim Zallum, “Baitul M𝑎̂l adalah tempat penampungan dan pengeluaran harta, yang merupakan bagian dari pendapatan negara.”36 Baitul M𝑎̂l menjadi institusi khusus yang menangani harta milik negara dan dialokasikan kepada kaum Muslim yang berhak menerimanya.“Setiap harta, baik berupa tanah, bangunan, barang tambang, uang, maupun harta benda lainnya adalah hak Baitul M𝑎̂l kaum Muslim.”37 Di masa Rasulullah Saw, Baitul M𝑎̂l bukan berupa bangunan melainkan hanya sebagai pihak. Jika ada harta untuk negara, Rasulullah Saw dibantu dengan sahabatnya langsung mencatatnya dan langsung membagikannya kepada pihak yang berhak. Penyegaran pembagian harta Baitul M𝑎̂l juga dilakukan sejak masa Rasulullah Saw. Masjid Nabawi digunakan sebagai kantor pusat negara sekaligus menjadi tempat tinggal beliau dan Baitul M𝑎̂l.38 Setelah Rasulullah Saw wafat, Baitul M𝑎̂l yang dicetuskan dan difungsikan oleh Rasulullah Saw dilanjutkan oleh Abu Bakar dan semakin dikembangkan fungsinya pada masa pemerintahan Khalifah Umar Bin Khattab.



35



A.A.Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah, PT.Bina Ilmu, Surabaya,1997, hlm.216. Abdul Qadim Zallum, op-cit,hlm.17. 37 Ibid. 38 M.Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf Relevansinya dengan Ekonomi Kekinian, PSEI STIS, Yogyakarta, 2003, hlm.182. 36



18



19



Khalifah Umar melakukan reorganisasi Baitul M𝑎̂l dengan mendirikan Diwan Islam (DI) yaitu sebuah rumah khusus untuk menyimpan harta. Khalifah Umar juga mengangkat para penulisnya, menetapkan gaji dari harta Baitul M𝑎̂l dan Baitul M𝑎̂l memiliki cabang di setiap ibu kota Provinsi. Tiap cabang dan pusat memiliki buku induk yang mencatat segalanya.39 Umar juga membuat ketentuan bahwa pihak eksekutif tidak boleh turut campur dalam mengelola harta Baitul M𝑎̂l. Di tingkat provinsi, pejabat yang bertanggungjawab terhadap harta umat tidak bergantung pada gubernur dan mereka mempunyai otoritas penuh dalam melaksanakan tugasnya serta bertanggungjawab langsung kepada pemerintah pusat.40 2.2 Pendapatan Negara di Masa Pemerintahan Nabi Muhammad Saw Pada masa awal pemerintahan Islam, negara yang dibangun Rasulullah Saw tidak mewarisi harta sebagaimana layaknya dalam pendirian suatu negara. Oleh sebab itu, kebijaksanaan fiskal sangat memegang peranan penting dalam membangun negara Islam tersebut.41 Kebijaksanaan fiskal pada pemerintahan Rasulullah Saw, anggaran negara masih sangat sederhana dan tidak serumit sistem anggaran modern. Negara memakai prinsip anggaran berimbang (balanced budget). Pendapatan negara berbeda dari tahun ke tahun bahkan dari hari ke hari.Berbagai bagian negara mengirimkan sejumlah tertentu dari kelebihan penghasilannya sesudah membayar



39



Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, Pustaka Asatrus, Jakarta, 2005, hlm.34. 40 Ibid. 41 Mustafa E.Nasution, Beberapa Pemikiran tentang Keuangan Publik Islam, diakses dari http://www.tazkiaonline.com/artikel, pada tanggal 31 Mei 2004.



20



berbagai pengeluaran administratif dan pengeluaran mereka lainnya.Yang paling menarik adalah bahwa Baitul M𝑎̂l tidak menerima pendapatan kotor dan pajak dari provinsi-provinsi, tetapi hanya surplus yang tersisa setelah dikurangi semua jasa setempat dan pembayaran kemiliteran.42 Di masa periode awal, dasar penyusunan anggaran adalah berapa penghasilan yang diterima yang menentukan jumlah yang tersedia untuk dibelanjakan, kecuali dalam keadaan darurat. Jadi dapat disimpulkan, bahwa konsep anggaran berimbang atau surpluslah yang merupakan praktik yang berlaku di masa Islam periode awal. Karena pada saat itu tidak terdapat seruan untuk pertumbuhan ekonomi dalam arti modern dan juga kebutuhan negara sederhana, maka pendapatan negara dari zakat dan infak sudah memenuhi kebutuhan.43 Pada masa-masa awal pemerintahan Islam di Madinah (623 M), pendapatan dan pengeluaran negara hampir tidak ada.Rasulullah Saw sendiri adalah seorang kepala negara. Rasulullah Saw tidak mendapat gaji sedikitpun dari negara atau masyarakat, kecuali hadiah kecil yang umumnya berupa bahan makanan.44 Situasi mulai berubah setelah turunnya surat Al-Anfal. Pada waktu perang Badar di tahun 2 Hijriyah, sejak itu negara mulai mempunyai pendapatan dari hasil rampasan perang (ghanimah) yang disebut dengan khums (seperlima),



42



Mannan, M Abdul, Islamic Economic:Theory and Practice, diterjemahkan oleh: Ahmad Ikhrom dan Dimyauddin, Zikrul Hakim, Jakarta, 2004, hlm.235. 43 Ibid. 44 M.Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf:Relevansinya dengan Ekonomi Kekinian, Pusat Studi Ekonomi Islam, Yogyakarta, 2003, hlm.175.



21



berupa kuda, unta, dan barang-barang bergerak lainnya yang didapatkan dalam peperangan.45 Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:



‫سو ِل َو ِلذِي ْالقُ ْربَى‬ ُ ‫لر‬ َّ ‫سهُ َو ِل‬ َ ‫َيء فَأ َ َّن ِ َّّلِلِ ُخ ُم‬ ْ ‫َوا ْعلَ ُموا أَنَّ َما َغنِ ْمت ُ ْم ِم ْن ش‬ َّ ‫س ِبي ِل إِ ْن ُك ْنت ُ ْم آ َم ْنت ُ ْم ِب‬ ‫اّلِلِ َو َما أ َ ْنزَ ْلنَا َعلَى َع ْب ِدنَا‬ َّ ‫ين َواب ِْن ال‬ َ ‫َو ْاليَتَا َمى َو ْال َم‬ ِ ‫سا ِك‬ َّ ‫ان َو‬ ‫َيء قَدِير‬ ْ ‫َّللاُ َعلَى ُك ِل ش‬ ِ ‫ان َي ْو َم ْالتَقَى ْال َج ْم َع‬ ِ َ‫َي ْو َم ْالفُ ْرق‬



Artinya: Ketahuilah, Sesungguhnya segala yang kamu peroleh sebagai rampasan perang maka seperlima untuk Allah , Rasul, kerabat rasul, anak yatim, orang miskin dan ibnussabil, (demikian) jika kamu beriman kepada Allah, dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu pada hari bertemunya dua pasukan. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Anfal [8]:41) Selain dari khums, akibat peperangan tersebut juga diperoleh pendapatan



baru berupa uang tebusan dari tawanan perang bagi yang ditebus. Kekayaan pertama yang merupakan sumber pendapatan resmi negara (penerimaan penuh/resmi karena dapat digunakan sepenuhnya untuk negara), adalah setelah diperolehnya fay’i, yaitu harta peninggalan suku Bani Nadhir, bangsa Yahudi yang tinggal di pinggiran kota Madinah, yang melanggar piagam Madinah.46 Rasulullah Saw kemudian mendapatkan pula penerimaan negara yaitu waqaf, berupa tanah, pemberian seorang Rabbi dari Nadhir yang telah masuk Islam. Adapun sumber pendapatan lain berasal dari kharaj, yaitu pajak atas tanah yang dipungut kepada non-muslim ketika Khaibar ditaklukan. Jumlah kharaj dari tanah ini tetap, yaitu setengah dari hasil produksi.47 Pemerintah Rasulullah Saw juga memperoleh ‘ushr, yaitu bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang yang melintasi perbatasan negara yang wajib 45



Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam, Ekonisia, Kampus FE UII, Yogyakarta, 2003,



hlm.118. 46 Adiwarman A.Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta,2004, hlm.41. 47 Ibid.



22



dibayar hanya sekali dalam setahun dan hanya berlaku bagi barang yang nilainya lebih dari 200 dirham. Tingkat bea yang diberikan kepada non-muslim adalah 5% dan kepada Muslim sebesar 2.5%.48 Sumber pendapatan zakat dan ‘ushr walaupun sudah diundangkan sebagai pendapatan negara sejak tahun kedua hijriyah, namun baru bisa dipungut sebatas zakat fitrah. Kewajiban atas zakat mal baru terwujud pada tahun kesembilan hijriyah.49 Mengenai pendapatan negara, Allah SWT telah menggariskan secara tegas beberapa sumber primer yang boleh dipungut Ulil Amri. Dalam sistem ekonomi Islam ada beberapa prinsip yang harus ditaati oleh Ulil Amri dalam melaksanakan pemungutan pendapatan negara, yaitu sebagai berikut:50 1. Nash yang Memerintahkannya “Setiap pendapatan dalam negara Islam harus diperoleh dan disalurkan sesuai dengan hukum syara’.” Prinsip kebijakan penerimaan negara yang pertama adalah harus adanya nash (Al-quran dan Hadis) yang memerintahkannya, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah [2]:188. Dalil-dalil setiap pungutan yang dijadikan sumber penerimaan negara akan dibahas di sub bab sumber-sumber pendapatan negara perspektif Islam. Selain harta yang telah difardhukan oleh Allah SWT sebagai pendapatan tidak boleh diambil secara mutlak. Sebab, tidak diperbolehkan sedikit pun mengambil harta seorang muslim, selain dengan cara yang hak menurut syara’,



48



Ibid, hlm.45. Herisudarsono, op-cit, hlm.120. 50 Gusfahmi,op-cit, hlm.145-146. 49



23



yang telah ditunjukan oleh dalil-dalil syara’ yang rinci.51 Rasulullah Saw bersabda:52



ُ‫ب نَ ْفس ِم ْنه‬ ِ ‫َلَ يَ ِح ُّل َما ُل ْام ِرئ ُم ْس ِلم ِإَلَّ ِب ِط ْي‬



Artinya: “Tidak halal mengambil harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan dirinya.” 2. Harus ada Pemisahan Muslim dan Non-Muslim “Islam membedakan antara subjek zakat dan pajak Muslim dengan nonMuslim.Zakat misalnya, hanya bersumber dari kaum Muslim, dan hanya digunakan untuk kepentingan kaum Muslim. Kata “him” pada QS.Al-Taubah [9]:103 - ‫ ُخذْ ِم ْن أ َ ْم َوا ِل ِه ْم‬, bermakna mereka yang Muslim.” Ini memang petunjuk langsung dari Allah SWT untuk membedakan mereka (Muslim atau kafir).53 3. Hanya Golongan Kaya yang Menanggung Beban “Prinsip kebijakan pemasukan terpenting ketiga adalah bahwa sistem zakat dan pajak harus menjamin bahwa hanya golongan kaya dan makmur yang mempunyai kelebihan yang memikul beban utama.”54 Sesuai dengan firman Allah SWT:



‫اس َوإِثْ ُم ُه َما‬ ِ َّ‫يَ ْسأَلُون ََك َع ِن ْالخ َْم ِر َو ْال َم ْيس ِِر قُ ْل فِي ِه َما إِثْم َكبِير َو َمنَافِ ُع ِللن‬ َّ ‫أ َ ْكبَ ُر ِم ْن نَ ْف ِع ِه َما َويَ ْسأ َلُون ََك َماذَا يُ ْن ِفقُونَ قُ ِل ْال َع ْف َو َكذَ ِل َك يُبَ ِي ُن‬ ‫ت‬ ِ ‫َّللاُ لَ ُك ُم ْاْليَا‬ َ‫لَ َعلَّ ُك ْم تَتَفَ َّك ُرون‬ Artinya: “Dan mereka menanyakan kepadamu (tentang) apa yang (harus)



mereka infakkan. Katakanlah, “kelebihan (dari apa yang diperlukan)”.



51



An Nabhani, Taqyudin, op-cit, hlm.263. Al-Maliki, Abdurrahaman,As-Siyasatu al Iqtishadiyatu al-Mutsla, diterjemahkan oleh:Ibnu Sholah, Al-Izzah, Jawa Timur, 2001, hlm.227 53 Gusfahmi, op-cit, hlm.147-148. 54 Gusfahmi, Ibid, hlm. 148. 52



24



Demikianlah



Allah



menerangkan



ayat-ayat-Nya



kepadamu



agar



kamu



memikirkan.” (QS.Al-Baqarah [2]:219). Prinsip penting dalam hal ini adalah bahwa sumber penerimaan hanya di pungut dari orang kaya saja, sekalipun dari non-Muslim. Jizyah misalnya, tidak dipungut dari orang yang betul-betul tak mampu. Jizyah tidak diambil selain dari kaum prianya, sehingga tidak wajib bagi kaum wanita, anak-anak serta orang gila.55 Hal ini menunjukan keadilan Islam dalam pembebanan kepada masyarakat, sekalipun terhadap non-Muslim. 4. Adanya Tuntutan Kemaslahatan Umum “Prinsip kebijakan penerimaan negara keempat adalah adanya tuntutan kemaslahatan umum yang mesti didahulukan untuk mencegah kemudharatan. ”Dalam keadaan tertentu (darurat), Ulil Amri wajib mengusahakan tersedianya kebutuhan rakyat di saat ada atau tidaknya harta. Tanpa dipenuhinya kebutuhan tersebut, besar kemungkinan akan datang kemudharatan yang lebih besar lagi. Atas dasar tuntutan umum inilah, negara boleh mengadakan suatu jenis pendapatan tambahan.56 2.3 Sumber-Sumber Pendapatan Negara Perspektif Islam “Pengklasifikasian pendapatan negara sangat penting karena mengikuti dari sifat keagamaan dan pendapatan dari setiap kategori memang harus dipelihara secara terpisah dan tidak boleh dicampur sama sekali.”57 Ghanimah (QS.Al-Anfal [8]:1) hanya untuk lima kelompok (QS.Al-Anfal [8]:41), zakat (QS.Al-Taubah 55



An Nabhani, Taqyudin,op-cit, hlm.257. Gusfahmi, op-cit, hlm.149. 57 Azmi, Sabahudin, Islamic Economics:Public Finance in Early Islamic Thought, diterjemahkan oleh: Widyawati, Nuansa, Bandung,2005, hlm.89. 56



25



[9]:103) hanya boleh diperuntukkan bagi delapan asnaf, sementara fay’i (QS.AlHasyr [59]:6) dapat dibelanjakan untuk seluruh kemaslahatan kaum Muslim. Inilah salah satu ketentuan penggunaan anggaran sistem Ekonomi Islam, yang membedakannya dengan sistem ekonomi konvensional (non-Islam).”Sumbersumber pendapatan negara dan jenis pengeluaran negara telah ditentukan oleh Allah SWT sehingga Ulil Amri tidak perlu lagi membuat jenis penerimaan dan pengeluaran yang baru.”58 Jika diklasifikasikan berdasarkan tujuan penggunaanya, pendapatan negara dapat dikelompokan menjadi dua kelompok, yaitu pendapatan tidak resmi negara dan pendapatan resmi negara.59 “Pendapatan tidak resmi negara, yang terdiri dari ghanimah dan shadaqah. Pendapatan tidak resmi ini disebut demikian karena diperuntukkan hanya untuk manfaat tertentu. Sementara pendapatan resmi negara, terangkum dalam satu kesatuan nama fay’i yang terdiri dari jizyah, kharaj, ‘ushr-bea cukai.” Maksud pendapatan resmi yaitu pendapatan dimana negara berhak membelanjakannya untuk kepentingan seluruh penduduk (kepentingan umum).60 Sumber pendapatan negara Islam Madinah di masa Rasulullah Saw jika dikelompokkan berdasarkan jenisnya dapat dibagi atas pendapatan primer dan pendapatan sekunder.“Pendapatan primer dapat dikatakan sebagai pendapatan wajib yang harus dikeluarkan oleh kaum Muslimin juga non-Muslim.Sedangkan pendapatan sekunder, diperoleh tergantung situasi dan kondisi yanga ada.”61



58



Gusfahmi, op-cit, hlm.84. Azmi, Sabahudin, op-cit, hlm.89. 60 Gusfahmi, op-cit, hlm.84 61 Heri Sudarsono, op-cit, hlm.123. 59



26



2.3.1 Sumber Pendapatan Primer Sumber Pendapatan negara dalam Islam yang termasuk dalam sumber pendapatan primer diklasifikasikan berdasarkan jenis, subjek, objek, tarif, dan tujuan penggunaannya sebagaimana yang dipaparkan dalam tabel berikut ini: Tabel 2.1 Sumber Pendapatan Negara dalam Islam62 No



Nama Pendapatan Ghanimah



Jenis Pendapatan Tidak Resmi Tidak Resmi Tidak Resmi



4



Zakat UshrShadaqah Jizyah



5



Kharaj



Resmi



6



Ushr-Bea Cukai



Resmi



1 2 3



Resmi



Subjek



Objek



Tarif



NonMuslim Muslim Muslim



Harta



Tertentu



Tujuan Penggunaan 5 KELP.



Harta Hasil pertanian/Dagang Jiwa



Tertentu Tetap



8 KELP. 8 KELP.



Tidak Tetap Tidak Tetap Tidak Tetap



UMUM



NonMuslim NonMuslim NonMuslim



Sewa Tanah Barang Dagang



UMUM UMUM



Untuk lebih memahami setiap sumber pendapatan primer yang telah diklasifiksikan dalam tabel di atas, Penulis akan menjelaskan lebih terperinci dalam penjelasan berikut ini. 1. Ghanimah “Ghanimah adalah segala sesuatu yang dikuasakan kepadanya dari harta orang kafir, baik sebelum maupun setelah peperangan.Harta tersebut bisa berupa uang, senjata, barang-barang dagangan, bahan pangan, dan lain-lain.”Pengertian ini merupakan makna dari firman Allah SWT:63 …‫ل‬ ُ ‫لر‬ َّ ‫َو ِل‬ ِ ‫سو‬



ُ‫سه‬ َ ‫َوا ْعلَ ُموا أَنَّ َما َغ ِن ْمت ُ ْم ِم ْن‬ َ ‫ش ْيء فَأ َ َّن ِ َّّلِلِ ُخ ُم‬



Artinya: “Ketahuilah, sesungguhnya segala yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka seperlima untuk Allah, rasul…” (Al-Anfal [8]:41). 62



Gusfahmi, Ibid,hlm.31. Abdull Qadim Zallum, op-cit, hlm.40.



63



27



2. Zakat “Zakat adalah sejumlah (nilai/ukuran) tertentu yang wajib dikeluarkan dari harta (yang jenisnya) tertentu pula danhanya wajib dipungut dari kaum Muslim.”64 Wajibnya zakat didasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah, yaitu firman Allah SWT:



َ ُ ‫صدَقَةً ت‬ ‫ص َالت َ َك‬ َ ‫ص ِل َعلَ ْي ِه ْم ۖ إِ َّن‬ َ ‫ط ِه ُر ُه ْم َوتُزَ ِكي ِه ْم بِ َها َو‬ َ ‫ُخ ْذ ِم ْن أ َ ْم َوا ِل ِه ْم‬ َّ ‫س َكن لَ ُه ْم ۗ َو‬ ‫س ِميع َع ِليم‬ َ ُ‫َّللا‬ َ Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS.Al-Taubah [9]:103). 3. ‘Ushr-Sadaqah Menurut Gusfahmi,‘Ushr berarti sepersepuluh. Ini merupakan suatu pajak atas hasil pertanian.‘Ushr sering juga digunakan dalam pengertian sedekah dan zakat, sebab tidak ada garis tegas antara zakat dan ‘Ushr dalam Fiqh. Istilah ‘Ushr tidak ditemukan di dalam Al-quran, tetapi dua ayat (QS.AlBaqarah [2]:267) dan (Al-An’am [6]:141) diambil sebagai acuan dan ayat ini ditujukan kepada penguasa. Firman Allah SWT:65



َ ‫َيا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا أ َ ْن ِفقُوا ِم ْن‬ َ‫س ْبت ُ ْم َو ِم َّما أ َ ْخ َر ْجنَا لَ ُك ْم ِمن‬ ِ ‫طيِ َبا‬ َ ‫ت َما َك‬ ‫ض‬ ِ ‫ْاْل َ ْر‬



Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (QS.Al-Baqarah [2]:267).



ُّ‫صا ِد ِه َو ََل ت ُ ْس ِرفُوا ِإنَّهُ ََل يُ ِحب‬ َ ‫ُكلُوا ِم ْن ث َ َم ِر ِه ِإذَا أَثْ َم َر َوآتُوا َحقَّهُ َي ْو َم َح‬ ْ َ‫ال ُم ْس ِر ِفين‬... Artinya: “Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia



berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan 64



Abdul Qadim Zallum, op-cit, hlm.175. Gusfahmi, op-cit, hlm.113-114.



65



28



kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”(Al-An’am[6]:141). 4. Jizyah “Jizyah adalah hak yang Allah SWT berikan kepada kaum Muslim dari orang-orang kafir sebagai tanda bahwa mereka tunduk kepada Islam.”Apabila orang-orang kafir itu telah memberikan jizyah, maka wajib bagi kaum Muslim melindungi jiwa dan harta mereka. Ketentuan jizyah ini berdasarkan firman Allah SWT:66



َّ ‫قَا ِتلُوا الَّذِينَ ََل يُؤْ ِمنُونَ ِب‬ ‫اّلِلِ َو ََل ِب ْال َي ْو ِم ْاْل ِخ ِر َو ََل يُ َح ِر ُمونَ َما َح َّر َم‬ َّ ‫اب َحتَّى‬ ُ ‫َّللاُ َو َر‬ َ َ ‫ق ِمنَ الَّذِينَ أُوتُوا ْال ِكت‬ ِ ‫سولُهُ َو ََل يَدِينُونَ دِينَ ْال َح‬ ُ ‫يُ ْع‬Artinya: “Perangilah orangَ‫صا ِغ ُرون‬ َ ‫طوا ْال ِج ْزيَةَ َع ْن يَد َوهُ ْم‬ orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (Al-Taubah [9]:29).



5. Kharaj “Kharaj adalah hak kaum Muslim atas tanah yang diperoleh (dan menjadi bagian ghanimah) dari orang kafir, baik melalui peperangan maupun perjanjian damai.” Sebagaimana firman Allah SWT:67



َ‫الر ِازقِين‬ َّ ‫أ َ ْم ت َ ْسأَلُ ُه ْم خ َْر ًجا فَخ ََرا ُج َربِ َك َخيْر َو ُه َو َخي ُْر‬



Artinya: “Atau kamu meminta upah kepada mereka?", maka upah dari Tuhanmu



adalah lebih baik, dan Dia adalah Pemberi rezeki Yang Paling Baik.” (QS.AlMu’minun [23]:72)



66



Abdul Qadim Zallum, op-cit, hlm.74. Abdul Qadim Zallum, op-cit,hlm.54.



67



29



6. Ushr-Bea Cukai “Ushr dalam kata ini bermakna sepersepuluh yang diambil dari pedagang kafir yang memasuki wilayah Islam karena membawa dagangan.” Kebijakan ini lebih mirip dengan kebijakan pemungutan bea cukai dewasa ini.68 2.3.2 Sumber Pendapatan Sekunder Selain sumber-sumber pendapatan primer yang telah dijelaskan di atas, terdapat beberapa sumber pendapatan lainnya, yang bersifat tambahan (sekunder). Pendapatan sekunder ini diperoleh tidak tetap jumlah dan waktunya, tergantung situasi. Di antara sumber pendapatan sekunder tersebut adalah:69 1. Uang tebusan dari para tawanan perang, hanya terjadi di perang Badar. 2. Pinjaman-pinjaman, untuk pembayaran uang pembebasan kaum Muslimin dan meminjam beberapa pakaian serta hewan tunggangan dari Sufyan bin Umaiyah. 3. Khumus atas rikaz atau harta karun, temuan pada periode sebelum Islam. 4. Amwal Fadhla, berasal dari harta benda kaum Muslimin yang meninggal tanpa ahli waris atau berasal dari barang-barang seorang Muslim yang murtad dan pergi meninggalkan negaranya. 5. Waqaf, harta benda yang didekasikan oleh seorang Muslim untuk kepentingan agama Allah SWT dan pendapatannya akan didepositokan di Baitul M𝑎̂l. 6. Nawaib, pajak khusus yang dibebankan kepada kaum Muslim yang kaya raya dalam rangka menutupi pengeluaran negara selama masa darurat, seperti yang pernah terjadi di perang Tabuk.



68



Gusfahmi, op-cit, hlm.130. Adiwarman A.Karim, op-cit, hlm.48.



69



30



7. Zakat Fitrah, zakat yang ditarik di masa bulan ramadhan dan dibagi sebelum shalat Id. 8. Bentuk lain sedekah seperti qurban dan kaffarat. Kaffarat adalah denda atas kesalahan yang dilakukan seorang Muslim pada saat melakukan kegiatan ibadah seperti berburu pada musin haji. 2.4 Pajak dalam Perspektif Islam Allah SWT dan Rasul-Nya telah menetapkan pembiayaan atas berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran, harus dipenuhi oleh Baitul M𝑎̂l, baik dalam kondisi ada uang/harta didalamnya maupun tidak.Jika tidak ada uang/harta di baitul mal, maka kewajibannya (beralih) kepada kaum Muslim untuk membiayainya. Jika dari pendapatan ini tidak cukup, dan uang baitul mal kosong, dan sumbangan dari kaum Muslim juga tidak mencukupi untuk menutupi pembiayaan berbagai kebutuhan dan pospos pengeluaran, maka pada saat itulah kewajiban pembiayaan berbagai kebutuhan dan untuk pos-pos pengeluaran beralih kepada kaum Muslim. Jika berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran itu tidak dibiayai, maka akan timbul kemudharatan atas kaum Muslim. Padahal Allah SWT juga telah mewajibkan negara dan umat untuk menghilangkan kemudharatan yang menimpa kaum Muslim, yaitu jika tidak ada harta sama sekali, dan kaum Muslim tidak ada yang mendermakan.70 Jika terjadi kondisi tersebut, negara mewajibkan kaum Muslim untuk membayar pajak hanya untuk menutupi kekurangan biaya untuk memenuhi kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang diwajibkan, tanpa berlebih. Kewajiban



70



Abdul Qadim Zallum, op-cit, hlm.160-161.



31



membayar pajak tersebut hanya dibebankan atas mereka yang mempunyai kelebihan.71 “Adapun pajak yang ada pada zaman Rasul sampai dengan kekuasaan khalifah yaitu jizyah, kharaj, ushr, nawaib, dank khums”72 telah dijelaskan pada sumber pendapatan primer dan sekunder yang dibahas sebelum sub bab ini. 2.5 Pengampunan Pajak dalam Perspektif Islam Pengampunan pajak dalam Islam memang belum pernah diterapkan. Namun, mengingat pengampunan pajak merupakan salah satu bentuk penerapan amnesti yang merupakan “wewenang Presiden dan mempunyai akibat hukum hilangnya kesalahan pelaku sehingga dapat dibebaskan dari sanksi atau ancaman baik pidana maupun perdata”73, dan hal ini hampir serupa dengan konsep pengampunan jarimah ta’zir dalam Islam. Pada dasarnya “jarimah ta’zir merupakan hukuman yang tidak diatur dalam nash dan dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana yang tidak dikenai hukuman qisas atau hudud melainkan sebagai hukuman yang bersifat mendidik.”74 Sebelum membahas lebih lanjut mengenai jarimah ta’zir, Penulis akan membahas mengenai konsep pengampunan dalam Islam terlebih dahulu yang akan dipaparkan dalam sub bab berikut ini. 2.5.1 Konsep Pengampunan dalam Islam “Dalam dunia peradilan Islam juga dikenal suatu bentuk pengampunan, dengan istilah al-‘afwu (‫ ) العفو‬dan al-syafa‘at (‫ )الشفاعة‬baik pengampunan tersebut



71



Ibid. Mohammad Solekhan, “Pajak dan Zakat di lihat dari Hukum Islam”, Hukum dan Dinamika Masyarakat, Vol.10, Oktober 2012, hlm.88-89. 73 Zainal Muttaqin, op-cit, hlm.29. 74 H. E. Hassan Saleh dkk, Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, PT. Raja Gafindo, 2008, hlm.465. 72



32



diberikan oleh pihak korban atau yang diberikan oleh penguasa kepada pelaku dari tindak kejahatan.”75 “Al-‘afwu (‫ ) العفو‬menurut Abi al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariyya al-Razy adalah setiap pembuat dosa (pelaku kejahatan) yang seharusnya menjalani hukuman menjadi terhapuskan sebab telah mendapatkan pengampunan.”76 Sementara al-Syarif Ali bin Muhammad al-Jurjani ahli ilmu kalam serta ahli hukum mazhab Maliki, menurutnya al-syafa’at adalah: 77



‫الجنَايَة ُ فِي َحـقـِه‬ ُّ ‫ى ال‬ َ ‫س‬ ِ ‫ع ِن الذُّنـ ُ ْو‬ َ ِ ‫ـاوز‬ ُ ‫ـؤا ُل ِإلـَى التـ َّ َج‬ ِ ‫ب ِمنَ الـَّذِي َوقَـ َع‬ َ ‫ِه‬



Artinya: “Suatu permohonan untuk dibebaskan atau dikurangi dari menjalani hukuman terhadap suatu tindak pidana yang telah dilakukan”. “Secara umum Islam memandang bahwa pada dasarnya memberikan syafa‘at berupa bantuan, baik materil maupun moril, atau pertolongan lainnya menurut kebutuhan orang yang meminta syafa‘at merupakan tindakan yang terpuji namun bisa juga menjadi suatu tindakan yang tidak terpuji.”78 Sebagaimana firman Allah SWT:



‫سيِئَةً َي ُك ْن‬ َ ‫َصيب ِم ْن َها َو َم ْن َي ْشفَ ْع‬ َ ‫َم ْن َي ْشفَ ْع‬ ِ ‫سنَةً َي ُك ْن لَهُ ن‬ َ ً‫شفَا َعة‬ َ ‫شفَا َعةً َح‬ َّ َ‫لَهُ ِك ْفل ِم ْن َها َو َكان‬ ‫َيء ُم ِقيتًا‬ ْ ‫َّللاُ َعلَى ُك ِل ش‬ Artinya: “Barang siapa yang memberikan syafa’at yang baik, niscaya ia



akan memperoleh bahagian (pahala) dari padanya dan barang siapa memberi



75



Abdul Aziz Dahlan (et.al.), Ensiklopedia Hukum Islam ,PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2006, hlm.30 76 Abi al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariyya al-Razy, Mujmal al – Lughat,Dar al-Fikr, Beirut, 1414 H/ 1994 M, hlm. 472. 77 Al-Syarif Ali bin Muhammad al-Jurjani, Al-Ta’rifat, Dar al-Fikr ,Beirut, 1414 H/ 1994 M, hlm. 127. 78 Ahmad Dukan Khoeri, Analisis Hukum Islam terhadap Kewenangan Presiden dalam Memberikan Grasi, Skripsi, Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang, 2015, hlm.26.



33



syafa'at yang buruk, niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) dari padanya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”(QS. Al-Nisa :85). Syafa’at yang baik ialah yang digunakan untuk memelihara sesama muslim, menolak kejahatan dan meraih kebaikan, dan dalam semua sikap hanya satu yang diharapkan yaitu wajah Allah SWT, bukan mengharapkan rasywah (uang suap). Maka dari itu, hendaklah yang disyafa’atkan itu dalam perkara yang dibolehkan oleh syara’, bukan di dalam usaha melanggar batas-batas yang ditentukan oleh Allah, atau melangkahi batasbatas kebenaran.79 “Dengan kata lain memberikan syafa‘at dalam surah al-Nisa ayat 85 ini supaya seseorang ataupun sekelompok orang yang telah melakukan tindak pidana dapat kembali memperoleh hak-haknya sebagai warga negara, karena syafa‘at diberikan supaya kembali untuk berbuat kebaikan.”80 Sama halnya dengan Al‘afwu yang dimana menghapuskan hukuman kepada pelaku tindak kejahatan karena telah diberi pengampunan. “Ada



sejumlah



keterangan



dalam



beberapa



kitab



hadis



terkait



pengampunan, diantaranya yaitu bahwa pengampunan juga dianjurkan dalam suatu perkara tindak pidana selama itu memang masih bisa dimungkinkan. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a. sebagai berikut”:



ْ َ‫شةَ قَال‬ َ ‫َع ْن َعا ِئ‬ َ‫ ا ْد َر ُء ْوا ال ُحد ُْود‬: ‫سلَّ َم‬ ُ ‫ قَا َل َر‬: ‫ت‬ َ ‫صلَى هللاِ َعلَ ْي ِو َو‬ َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ َ‫َع ِن ْال ُم ْس ِل ِميْن‬ َ َ ‫َما ا ْست‬ ‫ئ فِى‬ ِ ‫ فَا َِّن‬, ُ‫س ِب ْيلَه‬ َ ‫ام ا َ ْن يُ ْخ ِط‬ َ ‫ط ْعت ُ ْم فا ِْن َكانَ لَهُ َم ْخ َر ُج فَخَلُّوا‬ َ ‫اَل َم‬ 81 ‫ئ فِى العُقُ ْو بَ ِة‬ َ ‫ال َع ْف ِو َخىْر ِم ْن ا َ ْن ىُ ْخ ِط‬



79



Hamka, Tafsir Al-Azhar: Juz V-VI, PT.Pustaka Panjimas, Jakarta, 2004, hlm.235. Ahmad Dukan Khoeri, op-cit, hlm.27. 81 Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa al-Tirmizi, Sunan al-Tirmizi, fi Bab Ma Ja‟a fi Dar’i alHudud, Dar al-Fikr, Beirut, 2005, hlm. 436. 80



34



Artinya: “Hindarilah oleh kalian hudud (hukum maksimal yang tidak bisa direvisi) atas sesama muslim semampu mungkin; jika ada jalan keluar untuk menghindar, lakukan; sungguh imam salah dalam mengampuni lebih baik daripada salah dalam menjatuhkan hukuman “. Mengenai ketentuan pemberian pengampunan kepada pelaku tindak pidana, telah banyak diperaktekkan oleh sebagian besar para sahabat Nabi dan fuqaha. Mereka lebih menyukai untuk memberikan syafa’at kepada pelaku tindak pidana tersebut, karena memberikan maaf merupakan ‘amaliyah yang dianjurkan Allah SWT sebagaimana firman-Nya:82



َ‫ض َع ِن ْال َجا ِه ِلين‬ ْ ‫ف َوأَع ِْر‬ ِ ‫ُخ ِذ ْالعَ ْف َو َوأْ ُم ْر بِ ْالعُ ْر‬



Artinya: “Jadilah engkau pemaaf (mudah memafkan di dalam menghadapi



perlakuan orang-orang, dan janganlah membalas) dan suruhlah orang mengerjakan makruf (perkara kebaikan), dan berpalinglah daripada orang-orang bodoh (janganlah engkau melayani kebodohan mereka).” (QS.Al-‘Araf [7] :199). 2.5.2 Jarimah Ta’zir Menurut bahasa kata jarimah berasal dari kata “jarama” kemudian menjadi bentuk masdar “jaramatan“ yang artinya: perbuatan dosa, perbuatan salah atau kejahatan. Pelakunya dinamakan dengan “jarim”, dan yang dikenai perbuatan itu adalah “mujarom ‘alaihi”.83 Menurut istilah para Fuqoha’ yang dinamakan jarimah ialah “larangan-larangan syara’ yang diancam dengan hukum had atau ta’zir.”84 Yang dimaksud dengan larangan adalah mengabaikan perbuatan yang diperintahkan syara’. Had adalah ketentuan hukuman yang sudah ditentukan oleh Allah, sedangkan ta’zir ialah hukuman atau pengajaran yang besar kecilnya ditetapkan oleh penguasa.85



82



Ahmad Dukan Khoeri, op-cit, hlm.31. Marsum, Fiqih Jinayat (Hukum Pidana Islam),BAG. Penerbitan FH UII, Yogyakarta,1991, hlm.2 84 Abdul Qadir Audah, Al Tasyri’ al Jina’iy al Islami, Muasasah al Risalah, Beirut, 1992, hlm.65. 85 Ibid, hlm.65. 83



35



“Secara etimologis Ta’zir berarti menolak dan mencegah. Kata ini juga memiliki arti menolong atau menguatkan.” Hal ini seperti dalam firman Allah SWT sebagai berikut:86



ً ‫ص‬ َّ ِ‫ِلتُؤْ ِمنُوا ب‬ ‫يال‬ ُ ‫اّلِلِ َو َر‬ ِ َ ‫سبِ ُحوهُ بُ ْك َرة ً َوأ‬ َ ُ ‫سو ِل ِه َوتُعَ ِز ُروهُ َوت ُ َوقِ ُروهُ َوت‬



Artinya: “Agar kamu semua beriman kepada Allah dan Rasul-Nya,



menguatkan (agama)-Nya, membesarkan-Nya, dan bertasbih kepada-Nya pagi dan petang.”(QS.Al-Fath [48] :9). Ta’zir juga berarti pengajaran terhadap kesalahan-kesalahan yang tidak diancam hukuman had. Sanksi jarimah ta’zir merupakan hukuman yang sanksinya ditentukan oleh penguasa atau Ulil Amri untuk kemaslahatan umum. 87 Tujuan diberlakukan ta’zir yaitu:88 1. Preventif (pencegahan), yaitu bahwa sanksi ta’zir harus memberikan dampak positif bagi orang lain, sehingga orang lain tidak melakukan perbuatan melanggar hukum yang sama. 2. Represif (membuat pelaku jera), yang dimana dimaksudkan agar pelaku tidak mengulangi perbuatan jarimah dikemudian hari. 3. Kuratif (islah), yaitu bahwa sanksi ta’zir itu harus mampu membawa perbaikan sikap dan perilaku terpidana dikemudian hari. 4. Edukatif (pendidikan), yaitu agar diharapkan dapat mengubah pola hidupnya kearah yang lebih baik.



86



Nurul irfan dan Masyrofah, Fiqih Jinayah, Amzah, Jakarta, 2013, hlm.136. Abdul Aziz Dahlan (et.al.),op-cit, hlm.52. 88 Nurul irfan dan Masyrofah, op-cit,hlm.253. 87



36



Sementara itu, Jarimah ta’zir dibagi menjadi tiga bagian yaitu:89 1. Jarimah hudud dan qisas diyat yang mengandung unsur syubhat atau tidak memenuhi syarat, namun hal itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiat, seperti pencurian harta syirkah, pembunuhan ayah terhadap anaknya, pencurian yang bukan harta benda. 2. Jarimah ta’zir yang jenis jarimahnya ditentukan oleh nash, tetapi sanksinya oleh syar’i diserahkan kepada penguasa, seperti sumpah palsu, saksi palsu, mengicu timbangan, menipu, mengingkari janji, mengkhianati amanat, dan menghina agama. 3. Jarimah ta’zir yang jenis jarimah dan jenis sanksinya secara penuh menjadi wewenang penguasa demi terealisasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan yang paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran terhadap peraturan pemerintah lainnya. Hukuman-hukuman ta’zir banyak jumlahnya, namun Hakim diberi wewenang untuk memilih hukuman yang tentunya sesuai dengan keadaan jarimah serta pembuat jarimah itu sendiri. Jenis-jenis hukuman ta’zir adalah sebagai berikut:90 1. Hukuman Mati 2. Hukuman Jilid (Dera) 3. Hukuman Kawalan (Penjara atau Kurungan) 4. Hukuman Salib 5. Hukuman Pengucilan 6. Hukuman Ancaman, Teguran, dan Nasihat 7. Hukuman Berupa Harta Menurut Makhrus Munajat sanksi ta’zir yang berupa harta dikelompokkan menjadi 3 yaitu:91



89



Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, Teras, Yogyakarta, 2009, hlm



180. 90



Nurul irfan dan Masyrofah, op-cit, hlm.147. Makhrus Munajat, op-cit, hlm.208.



91



37



a. Merampas Harta Hukuman ta’zir dengan mengambil harta itu bukan berarti mengambil harta pelaku untuk diri hakim atau untuk kas umum, melainkan hanya menahannyauntuk sementara waktu.Adapun apabila pelaku tidak bisa diharapkan untuk bertobat maka hakim dapat men-tasarufkan harta tersebut untuk kepentingan yang mengandung maslahat. b. Mengubah Bentuk Barang Adapun hukuman ta’zir yang berupa mengubah harta pelaku antara lain seperti mengubah patung yang disembah oleh orang muslim dengan cara memotong bagian kepalanya sehingga mirip dengan pohon. c. Hukuman denda Penjatuhan hukuman denda bersama dengan hukuman yang lain bukan merupakan hal yang dilarang bagi seorang hakim yang mengadili jarimah ta’zir karena hakim diberi kebebasan penuh dalam masalah ini.Hukuman denda dapat dijatuhkan bagi orang yang menyembunyikan,menghilangkan, merusakkan barang milik orang lain dengan sengaja. Perampasan terhadap harta yang diduga merupakakn hasil perbuatan jahat atau mengabaikkan hak orang lain yang ada didalam hartanya. Dalam hal ini, boleh menyita harta tersebut bila terbukti harta tersebut tidak dimiliki dengan jalan yang sah. Penguasa boleh mengampuni suatu tindak pidana ta‘zir dan hukumannya, baik sebagian maupun keseluruhannya. Dalam hal ini, penguasa boleh mengampuni tindak pidana dan hukumannya jika ia melihat ada kemaslahatan umum di dalamnya dan setelah menghilangkan dorongan hawa nafsu.92 Terdapat pula beberapa sebab yang dapat menyebabkan hapusnya hukuman ta’zir yaitu meninggalnya si pelaku, pemaafan, dan taubat.93



92 Abdul Qadir Audah, al -Tasyri ‘al-Jina’ i al-Islamiy Muqaranan bil Qan un il Wad‘iy, Penerjemah Tim Tsalisah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam III , P.T. Kharisma Ilmu, Bogor, tt, hlm.169-171. 93 A.Djazuli, Fiqh Jinayah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm.223.



BAB III PENDAPATAN NEGARA DI INDONESIA 3.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Republik Indonesia Menurut Nurul Huda dan Ahmad Muti dalam bukunya yang berjudul Keuangan Publik Islami, mendefinisikan APBN sebagai berikut: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintah negara Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. APBN berisi daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran (1 januari-31 desember).APBN, perubahan APBN, dan pertanggungjawaban APBN setiap tahun ditetapkan dengan undang-undang.94 Penyusunan APBN berpegang teguh pada prinsip yang digolongkan ke dalam 2 bagian berikut ini,diantaranya:95 1. Berdasarkan aspek pendapatan: a. intensifikasi penerimaan anggaran dalam jumlah dan kecepatan penyetoran; b. intensifikasi penagihan dan pemungutan piutang negara; c. penuntutan ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh negara dan penuntutan denda. 2. Berdasarkan aspek pengeluaran: a. hemat, efesien, dan sesuai dengan kebutuhan; b. terarah, terkendali, sesuai dengan rencana program atau kegiatan; c. semaksimal mungkin menggunakan hasil produksi dalam negeri dengan memperhatikan kemampuan atau potensi nasional. Struktur APBN terdiri atas pendapatan negara dan hibah, belanja, keseimbangan primer, surplus/defisit, dan pembiayaan.



94 Nurul Huda dan Ahmad Muti, “Keuangan Publik Islami: Pendekatan Al-kharaj (Imam Abu Yusuf)”, Ghalia Indonesia, Bogor, 2011, hlm.132. 95 Ibid, hlm.134.



39



40



Sejak tahun anggaran 2000, Indonesia telah mengubah komposisi APBN dari T-account menjadi I-account sesuai dengan standar statistik keuangan pemerintah, Government Finance Statictic (GFS).96 Tabel I-Account APBN dapat dilihat dalam lampiran. 3.2 Sumber-sumber Pendapatan Negara di Indonesia Secara umum, sumber-sumber penerimaan negara dapat dikelompokan menjadi penerimaan dari beberapa sektor, sebagai berikut:97 1. Pajak Pajak merupakan iuran yang wajib dibayar oleh rakyat sebagai sumbangan kepada negara, propinsi, kota praja dan sebagainya. Pemungutan pajak menjadi konsekuensi logis dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sebagai pencerminan suatu keadilan untuk kesejahteraan, dengan berlandaskan pada teori dan asas-asas perpajakan.98 Fungsi pajak adalah sebagai budgeter dan regulerend. Fungsi finansial (budgeter) yaitu memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke kas negara dalam rangka untuk membiayai pengeluaran negara. Sementara fungsi mengatur (regulerend) yaitu sebagai alat untuk mengatur masyarakat baik di bidang ekonomi, sosial, maupun politik dengan tujuan tertentu.99 2. Kekayaan Alam “Bumi, Air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.100



96



Nurul Huda dan Ahmad Muti, op-cit, hlm. 136. Erly Suandi, “Hukum Pajak”, Salemba Empat, Jakarta Selatan, 2004, hlm.2. 98 Muhamad Turmudi “Pajak dalam Perspektif Hukum Islam: Analisa Perbandingan Pemanfaatan Pajak dan Pajak”, Jurnal Al-‘adl, Vol.8, No.1, Januari 2015, hlm.130. 99 Erly Suandi, op-cit, hlm.12-13. 100 Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33, Ayat (3). 97



41



Dalam buku tafsir Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, bahwa maksud menguasai adalah “mengatur dan menyelenggarakan peruntukan , penggunaan, persediaan, dan pemeliharaannya, menentukan dan mengatur hubungan hukum antara subjek hukum dan pembuatan hukum mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.”101 3. Retribusi “Retribusi adalah pungutan yang dilakukan oleh negara sehubungan dengan penggunaan jasa yang disediakan oleh negara.”Objek dari Retribusi yaitu jasa umum, jasa usaha, perizinan tertentu.102 4. Sumbangan Sumbangan disini mengandung makna bahwa biaya yang dikeluarkan khusus untuk prestasi pemerintah namun tidak boleh dikeluarkan dari kas umum melainkan dari penduduk golongan tertentu dengan sukarela.103 5. Laba dari Badan Usaha Milik Negara “Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah usaha yang sebagian besar modalnya merupakan kekayaan negara.BUMN dapat berbentuk persero, perum, dan perjan.”104 6. Sumber-sumber Lain Sumber-sumber lain dalam pendapatan negara misalnya percetakan uang (defisit spending) dan pinjaman.Percetakan uang ini tidak bisa digunakan



101



Erly Suandi, loc.cit. Erly Suandi, op-cit, hlm.4. 103 Ibid. 104 Ibid, hlm.5. 102



42



walaupun untuk menutupi anggaran negara yang defisit karena membawa akibat yang sangat mendalam di bidang ekonomi.105



3.3 Perpajakan di Indonesia Pada mulanya istilah pajak di Indonesia diwujudkan dalam bentuk upeti dari perseorangan atau kelompok sebagai tanda hormat dan tunduk kepada penguasa. Dalam wilayah agraris kerajaan di Indonesia, pajak dipungut dari sebagian hasil bumi yang diserahkan secara langsung dan lebih sering dilakukan disamping pajak tanah. Sedangkan bagi kerajaan-kerajaan maritim, diberlakukan pemajakan



tak



langsung



yaitu



dengan



memungut



pajak



dari



barang



perdagangan.106 Tahun 2005, Pemerintah mulai menyusun tiga rancangan undang-undang yang dimana juga mengubah tiga undang-undang perpajakan yang berlaku sebelumnya yaitu undang-undang mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), undang-undang mengenai Pajak Penghasilan (PPh) dan undang-undang mengenai Pajak Pertambahan Nilai/Pajak Penjualan Barang Mewah (PPn/PPNBM). Sebelumnya pemerintah telah melaksanakan reformasi perpajakan tahun 1984, tahun 1994, tahun 1997, dan tahun 2000. Reformasi perpajakan kali ini cukup menarik, karena memiliki arti khusus, yaitu memperkuat upaya penarimaan pajak yang semakin menjadi tulang punggung dalam pembiayaan keuangan negara. Kemudian tahun 2008 disusun reformasi



105



Ibid. Onghokman, “Pajak dalam Perspektif Sejarah”, LP3ES, Jakarta, 1985,hlm.75.



106



43



perpajakan yang merubah mengenai Pajak Penghasilan yaitu dengan mengenakan tarif berbeda pada wajib pajak perorangan dan wajib pajak badan.107 Untuk menggali penerimaan negara dari sektor perpajakan dibutuhkan upaya-upaya nyata, serta diimplementasikan dalam bentuk kebijakan pemerintah. upaya-upaya



tersebut



dapat



berupa



intensifikasi



maupun



ekstensifikasi



perpajakan. Saat ini, sebagai bentuk reformasi perpajakan salah satu agendanya adalah menerapkan Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty.108 Jenis-Jenis pajak di Indonesia diklasifikasikan ke dalam 3 bagian yaitu berdasarkan golongan, wewenang pemungut, dan sifat. 1. Berdasarkan Golongan a. Pajak Langsung Pajak langsung adalah pajak yang bebannya wajib ditanggung oleh wajib pajak yang bersangkutan dan tidak dapat dialihkan ke pihak lain. Contoh dari pajak langsung adalah pajak penghasilan.109 b. Pajak Tidak Langsung Pajak tidak langsung adalah pajak yang bebannya dialihkan kepada pihak lain. Contoh dari pajak tidak langsung adalah pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah.110



Iput Wiliyan Pradana, “Perkembangan Penerimaan Pajak di Indonesia”, Universitas Negeri Surabaya, Januari 2013. 108 Ragimun, “Analisis Implementasi Pengampunan Pajak (Tax Amnesty di Indonesia)”, 2014, hlm.3. 109 Erly Suandy, op-cit, hlm. 36. 110 Erly Suandy, loc.cit (merujuk ke halaman yang sama yaitu halaman 36). 107



44



2. Berdasarkan Wewenang Pemungut a. Pajak Pusat Pajak pusat/pajak negara adalah pajak yang wewenang pemungutannya ada pada pemerintah pusat yang pelaksanaannya dilakukan oleh Departemen Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak. Pajak pusat di atur dalam undang-undang dan hasilnya akan masuk ke anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).111 Tabel 3.1 Pajak-pajak Pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak112 No 1



Jenis Pajak Pajak Penghasilan (PPh)



Definisi PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun Pajak.



2



Pajak Pertambahan Nilai (PPN)



PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean.



3



Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM)



Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah : a. Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau b. Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau c. Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; atau d. Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau e. Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat.



4



Bea Materai



Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen, seperti surat perjanjian, akta notaris, serta kwitansi pembayaran, surat berharga, dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal diatas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan.



5



PBB



Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau pemanfaatan tanah dan atau bangunan.



6



Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)



BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.



111



Ibid. Dirjen Pajak Departemen keuangan RI, “Buku Panduan Hak dan Kewajiban Perpajakan”, diakses dari http://www.pajakonline.com/engine/learning/view.php?id=765 Pada tanggal 9 November 2009. 112



45



b. Pajak Daerah Pajak Daerah adalah pajak yang wewenang pemungutannya ada pada pemerintah daerah yang pelaksanaannya dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah. Pajak pusat diatur dalam undang-undang dan hasilnya akan masuk ke anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Tabel 3.2 Pajak-Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota113 No 1



Jenis Pajak Pajak Provinsi



a. b. c. d.



2



Pajak Kabupaten/Kota



a. b. c. d. e. f. g.



Keterangan Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tamah dan Air Permukaan Pajak Hotel Pajak Restoran Pajak Hiburan Pajak Reklame Pajak Penerangan Jalan Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C Pajak Parkir



3. Berdasarkan Sifat a. Pajak Subjektif Pajak subjektif adalah pajak yang memperhatikan kondisi /keadaan wajib pajak yaitu dengan memperhatikan gaya pikulnya. Gaya pikul adalah kemampuan wajib pajak memikul pajak setelah dikurangi biaya hidup minimum.Gaya pikul mengandung dua unsur yaitu unsur subjektif dan unsur objektif.114 2. Pajak Objektif Pajak objektif adalah pengenaan pajak yang hanya memperhatikan kondisi objeknya saja.Maksudnya yaitu pajak yang memperhatikan objek yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar, kemudian baru dicari subjeknya baik orang pribadi maupun badan.115



113



Dirjen Pajak Departemen keuangan RI, Ibid. Erly Suandy, op-cit, hlm.38. 115 Ibid. 114



46



3.4 Pengampunan Pajak 3.4.1 Sejarah Pengampunan Pajak di dunia Amnesti pajak pertama abad ke-20 dilakukan oleh Italia, di condono di pene pecuniarie dengan melihat kembali keputusan kerajaan pada 11 november 1900. Dari awal tahun ke dua sampai akhir-akhir ini, pemerintah ltalia telah menghiasi pembayar pajak Italia lima puluh delapan kali yang berarti amnesti pajak dilaksanakan lebih dari dua tahun sekali.116 Amnesti pajak yang disetujui sebelum reformasi pajak yang komprehensif dari sistem pajak ltalia yang diperkenalkan oleh Undang-undang No. 825 tanggal 9 Oktober 1971 yang terkait hampir secara eksklusif dengan hukuman, khususnya tindakan kriminal. Amnesti pidana umum juga mencakup kejahatan pajak. Amnesti pertama yang membahas pajak umum semua pembayar pajak mengikuti peraturan pajak umum. Sebagai instrumen untuk memfasilitasi transisi ke sistem baru, untuk mengkompensasi kehilangan pendapatan sementara yang berasal dari transisi dan untuk meringankan beban kerja pejabat agar dapat menyerahkan tugas baru yang dipercayakan kepada mereka melalui reformasi.117 3.4.2 Sejarah Pengampunan Pajak di Indonesia Pemerintah Indonesia pertamakali menerapkan kebijakan pengampunan pajak pada tahun 1964 melalui Penetapan Presiden No.5 Tahun 1964. “Kebijakan pengampunan didasarkan pada pertimbangan adanya kebutuhan dana yang besar



116 Jacques Malherbe, Tax Amnesties, Kluwer Law International BV , United State of America, 2011, hlm.17-18. 117 Ibid, hlm.18.



47



untuk kepentingan revolusi Nasional dan Pembangunan Nasional Semesta Berencana.” 118 Kebijakan pengampunan pajak diberlakukan kembali pada tahun 1984 melalui Keputusan Presiden Nomor 26 tahun 1984 yang kemudian diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 72 tahun 1984. Kebijakan pengampunan pajak 1984 ini dilatarbelakangi oleh adanya perubahan sistem perpajakan yang bertujuan untuk meningkatkan keikutsertaan masyarakat dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional.Sistem pemungutan pajak berubah dari official assessment menjadi self assessment, yaitu menetapkan dan membayar sendiri pajak yang terhutang dengan dilandasi kejujuran dan keterbukaan.119 Tahun 2016 Pemerintah kembali menerapkan kebijakan pengampunan pajak dengan menerbitkan Undang-Undang nomor 11 tahun 2016 yang dilaksanakan sejak 1 Juli 2016 sampai dengan 31 Maret 2017. Kebijakan ini diterapkan untuk mendukung optimalisasi penerimaan dan perbaikan sistem perpajakan ke depan. “Secara etimologis, istilah pengampunan pajak berasal dari kata “tax amnesty”. Kata amnesty berasal dari bahasa Yunani “amnestia” yang dapat diartikan , melupakan atau suatu tindakan melupakan.”120 Berikut beberapa hal pokok yang terkait dengan amnesti, yaitu:121 1. Kewenangan amnesti hanya berada pada wewenang Presiden dalam kedudukan sebagai kepala negara.



118



Zainal Muttaqin, op-cit, hlm.37. Ibid, hlm.38. 120 Zainal Muttaqin, op-cit, hlm.27. 121 Ibid, hlm.29. 119



48



2. Pemberian amnesti mempunyai akibat hukum yaitu hilangnya kesalahan pelaku pelanggaran sehingga pelaku dapat dibebaskan dari sanksi atau ancaman baik pidana maupun administrasi. 3. Penjatuhan amnesti harus diberi wadah dalam bentuk undang-undang. 4. Amnesti diberikan pada momen tertentu (tidak setiap saat). Pada masa sekarang amnesti disebagai konsep pengampunan diterapkan tidak hanya dalam hukum pidana, tapi juga dalam bidang politik, hak asasi manusia, ekonomi bahkan pajak.Dengan menggunakan pengertian amnesti sebelumnya maka “pengampunan pajak (tax amnesty) merupakan konsep penghapusan sanksi yang diberikan oleh Presiden dalam keadaan atau situasi tertentu kepada wajib pajak yang telah melakukan pelanggaran terhadap undangundang perpajakan.”122 Definisi pengampunan pajak juga terdapat pada undang-undang no.11 tahun 2016 Pasal 1 Nomor 1: “Pengampunan Pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”123 3.4.3 Kebijakan Pengampunan Pajak di Indonesia Tahun 2016 Kebijakan pengampunan pajak merupakan suatu terobosan kebijakan yang diperlukan untuk mendukung optimalisasi penerimaan dan perbaikan sistem perpajakan ke depan. Pengampunan Pajak berpegang teguh kepada 4 prinsip, yaitu:124



122



Ibid, hlm.30. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak, Pasal 1. 124 Ibid, hlm.4. 123



49



1. Kepastian hukum, maksudnya adalah pelaksanaan pengampunan pajak harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum. 2. Keadilan, maksudnya adalah pelaksanaan pengampunan pajak menjunjung tinggi keseimbangan hak dan kewajiban dari setiap pihak yang terlibat. 3. Kemanfaatan, artinya seluruh pengaturan kebijakan pengampunan pajak bermanfaat bagi kepentingan negara, bangsa, dan masyarakat, khususnya dalam memajukan kesejahteraan umum. 4. Kepentingan nasional, artinya pelaksanaan pengampunan pajak mengutamakan kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat di atas kepentingan lainnya. Tujuan Pengampunan Pajak berdasarkan Undang-Undang No.11 Tahun 2016 adalah sebagai berikut:125 1. Mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan harta, yang antara lain akan berdampak terhadap peningkatan likuiditas domestik, perbaikan nilai tukar rupiah, penurunan suku bunga, dan peningkatan investasi. 2. Mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan serta perluasan basis data perpajakan yang lebih valid, komprehensif, dan terintegrasi. 3. Meningkatkan penerimaan pajak, yang antara lain akan digunakan untuk pembiayaan pembangunan. Sasaran dari pengampunan pajak yaitu setiap “wajib pajak yang mempunyai kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan”126 dan memiliki tanggungan pajak, kecuali “wajib pajak yang tengah dalam penyidikan dan berkas penyidikannya telah dinyatakan oleh kejaksaan, proses peradilan, dan menjalani hukuman pidana atas tindak pidana di bidang perpajakan.”127 Namun, terdapat pula pihak-pihak yang dapat menggunakan haknya untuk tidak mengikuti program kebijakan pengampunan pajak seperti petani, nelayan, pensiunan, tenaga kerja Indonesia, subjek pajak warisan yang 125



Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak, Pasal 2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2016 Tentang Pengaturan Lebih Lanjut mengenai Pelaksanaan Undang-Undang No.11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, Pasal 1Ayat (1). 127 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak, Pasal 3. 126



50



belum terbagi, yang dimana jumlah penghasilannya pada tahun pajak terakhir dibawah penghasilan tida kena pajak. Selain itu, warga negara Indonesia yang tidak tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan dan tidak memiliki penghasilan dapat pula menggunakan haknya untuk tidak mengikuti program pengampunan pajak.128 Pengampunan yang diberikan kepada wajib pajak yaitu meliputi pengampunan atas kewajiban perpajakan sampai dengan akhir tahun pajak terakhir yang belum atau sepenuhnya diselesaikan oleh wajib pajak. Kewajiban yang dimaksud terdiri atas kewajiban pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai atau pajak penjualan atas barang mewah.129 Sementara harta warisan dan hibah tidak dijadikan objek pengampunan pajak apabila pihak penerima tidak memiliki penghasilan atau memiliki penghasilan dibawah penghasilan tidak kena pajak, serta harta warisan/hibah telah dilaporkan dalam SPT tahunan pajak penghasilan pewaris/penghasilan pemberi hibah.130 Wajib Pajak yang ingin diampuni kewajibannya harus melunasi utangnya dibidang perpajakan atau mengalihkan hartanya bagi yang menyimpan hartanya di luar negeri yaitu dengan cara membayar uang tebusan dimulai pada 1 juli 2016 sampai dengan 31 maret 2017. Tarif uang tebusan dibagi kedalam tiga bagian, yaitu:131 (1) Tarif uang tebusan atas harta yang berada di luar wilayah NKRI yang dialihkan ke dalam wilayah NKRI dan diinvestasikan di dalam wilayah 128



Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2016, Pasal 1 Ayat (2)-(3). Undang-Undang No.11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, Pasal 3 Ayat (4)-(5). 130 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2016 Tentang Pengaturan Lebih Lanjut mengenai Pelaksanaan Undang-Undang No.11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, Pasal 2 ayat (1)-(3) 131 Undang-Undang No.11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, Pasal 4. 129



51



NKRI dalam jangka waktu paling singkat 3 tahun terhitung sejak dialihkan, adalah sebagai sebesar: a. 2% (dua persen) untuk periode penyampaian surat pernyataan pada bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak undang-undang ini mulai berlaku; b. 3% (tiga persen) untuk periode penyampaian surat pernyataan pada bulan keempat terhitung sejak undang-undang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 desember 2016; dan c. 5% (lima persen) untuk periode penyampaian surat pernyataan terhitung sejak 1 januari 2017 sampai dengan 31 maret 2017. (2) Tarif uang tebusan atas harta yang berada di luar wilayah NKRI dan tidak dialihkan ke luar wilayah NKRI adalah sebesar: a. 4% (empat persen) untuk periode penyampaian surat pernyataan pada bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak undang-undang ini mulai berlaku; b. 6% (enam persen) untuk periode penyampaian surat pernyataan pada bulan keempat terhitung sejak undang-undang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 desember 2016; dan c. 10% (sepuluh persen) untuk periode penyampaian surat pernyataan terhitung sejak 1 januari 2017 sampai dengan 31 maret 2017. (3) Tarif uang tebusan bagi wajib pajak yang peredaran usahanya sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada tahun pajak terakhir adalah sebesar: a. 0.5% (nol koma lima persen) bagi wajib pajak yang mengungkapkan nilai harta sampai dengan Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dalam surat pernyataan; atau b. 2% (dua persen) bagi wajib pajak yang mengungkapkan nilai harta lebih dari Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dalam surat pernyataan. Besarnya uang tebusan dihitung dengan cara mengalikan tarif di atas dengan dasar pengenaan uang tebusan. Dasar pengenaan uang tebusan dihitung berdasarkan nilai harta bersih (selisih antara nilai harta dikurangi nilai utang) yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan SPT PPh terakhir. Untuk perhitungan dasar pengenaan uang tebusan besarnya nilai utang yang berkaitan secara langsung dengan perolehan harta tambahan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang nilai harta sebesar 75% untuk wajib pajak badan dan 50% untuk wajib



52



pajak orang pribadi dari nilai tambahan. Berikut tata cara pengajuan pengampunan pajak:132 1. Wajib Pajak datang ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau tempat lain yang ditentukan oleh Menteri untuk meminta penjelasan mengenai pengisian dan pemenuhan kelengkapan dokumen yang harus dilampirkan dalam Surat Pernyataan, yaitu: a. bukti pembayaran Uang Tebusan; b. bukti pelunasan Tunggakan Pajak bagi Wajib Pajak yang memiliki Tunggakan Pajak; c. daftar rincian Harta beserta informasi kepemilikan Harta yang dilaporkan; d. daftar Utang serta dokumen pendukung; e. bukti pelunasan pajak yang tidak atau kurang dibayar atau pajak yang seharusnya tidak dikembalikan bagi Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan atau penyidikan; f. fotokopi SPT PPh Terakhir; dan g. surat pernyataan mencabut segala permohonan yang telah diajukan ke Direktorat Jenderal Pajak h. surat pernyataan mengalihkan dan menginvestasikan Harta ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia paling singkat selama jangka waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak dialihkan dalam hal Wajib Pajak akan melaksanakan repatriasi; i. melampirkan surat pernyataan tidak mengalihkan Harta ke luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia paling singkat selama jangka waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak diterbitkannya Surat Keterangan dalam hal Wajib Pajak akan melaksanakan deklarasi; j. surat pernyataan mengenai besaran peredaran usaha bagi Wajib Pajak yang bergerak di bidang UMKM. 2. Wajib Pajak melengkapi dokumen-dokumen yang akan digunakan untuk mengajukan Amnesti Pajak melalui Surat Pernyataan, termasuk membayar uang tebusan, melunasi tunggakan pajak, dan melunasi pajak yang tidak atau kurang dibayar atau pajak yang seharusnya tidak dikembalikan bagi Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan atau penyidikan. 3. Wajib Pajak menyampaikan Surat Pernyataan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau Tempat Lain yang ditentukan Menteri Keuangan. 4. Wajib Pajak akan mendapatkan tanda terima Surat Pernyataan. 5. Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas nama Menteri menerbitkan Surat Keterangan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari 132 Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, “Amnesti Pajak”, diakses dari http://www.pajak.go.id/content/amnesti-pajak, pada tanggal 12 Juli 2017 pukul 9:12.



53



kerja terhitung sejak tanggal diterima Surat Pernyataan beserta lampirannya dan mengirimkan Surat Keterangan Pengampunan Pajak kepada Wajib Pajak. 6. Dalam hal jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas nama Menteri belum menerbitkan Surat Keterangan, Surat Pernyataan dianggap diterima. 7. Wajib Pajak dapat menyampaikan Surat Pernyataan paling banyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Maret 2017 di mana Surat Pernyataan Kedua dan Ketiga dapat disampaikan sebelum atau setelah Surat Keterangan atas Surat Pernyataan sebelumnya dikeluarkan. Jika wajib pajak telah memperoleh surat keterangan namun belum atau kurang diungkapkan dalam surat pertanyaan, atau wajib pajak yang memiliki tanggungan pajak namun tidak berpartisipasi dalam program pengampunan pajak, dan pemerintah menemukan data/informasi harta wajib pajak yang diperoleh sejak 1 januari 1985 sampai dengan 31 desember 2015 dan belum dilaporkan dalam SPT pajak penghasilan maka dianggap sebagai tambahan penghasilan dan dikenai sanksi pajak penghasilan ditambah dengan sanksi admnistrasi perpajakan berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari pajak penghasilan yang tidak atau kurang dibayar.133 Data dan informasi yang bersumber dari wajab pajak yang berpartisipasi dalam program pengampunan pajak tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana kecuali atas persetujuan wajib pajak sendiri.134 Menteri, wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata



133



Undang-Undang No.11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, Pasal 18-19. Undang-Undang No.11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, Pasal 20-21.



134



54



maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Setiap orang yang melanggar ketentuan atau membocorkan data wajib pajak yang mengikuti pengampunan pajak akan dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima) tahun. Penuntutan terhadap tindak pidana ini hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.135



135



Undang-Undang No.11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, Pasal 22-23.



BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PENERAPAN PENGAMPUNAN PAJAK SEBAGAI USAHA OPTIMALISASI PENDAPATAN NEGARA DI INDONESIA 4.1 Analisis Pendapatan Negara di Indonesia Perspektif Islam Pada umumnya suatu negara dapat mengelola kebijakan fiskal negaranya dengan menerapkan sistem anggaran defisit, sistem anggaran surplus, atau sistem anggaran berimbang. Di masa periode pemerintahan Rasulullah SAW lebih sering menggunakan sistem anggaran berimbang atau surplus, sementara di Indonesia lebih sering menggunakan sistem anggaran defisit sebagaimana laporan menteri keuangan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir periode 2012-2017 yang menunjukan defisit negara semakin meningkat setiap tahunnya, namun defisit APBN terhadap PDB (Product Domestic Bruto) dari tahun 2014 ke tahun 2015 menurun sebesar 0.05%.Tabel perkembangan defisit anggaran negara Republik Indonesia tahun 2012-2017 dapat dilihat dalam lampiran. Konsekuensi dari suatu negara yang menggunakan sistem anggaran defisit adalah utang. Berbeda dengan Periode pemerintahan Rasulullah SAW yang memilih sistem anggaran berimbang, karena pada saat itu anggaran negara masih sederhana dan tidak serumit sistem anggaran seperti pada saat ini. Selain itu, Rasulullah SAW mengikuti anjuran untuk menggunakan prinsip berimbang sebagaimana firman Allah berikut ini:



‫َوالَّذِينَ إِذَا أ َ ْنفَقُوا لَ ْم يُ ْس ِرفُوا َولَ ْم يَ ْقت ُ ُروا َو َكانَ بَيْنَ َٰذَ ِل َك قَ َوا ًما‬



55



56



Artinya: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqan [25] :67). Kebijakan anggaran berimbang ini tidak berorientasikan pertumbuhan, karena ketika itu juga belum terdapat seruan untuk pertumbuhan ekonomi.136 Indonesia merupakan salah satu negara mayoritas muslim yang menggunakan kebijakan anggaran defisit. Beberapa ulama tidak setuju dengan penerapan sistem anggaran defisit namun ada juga yang setuju dan memiliki konsep solusi masing-masing berdasarkan syariah untuk menangani anggaran negara yang defisit. Selain perbedaan kebijakan anggaran yang digunakan antara periode pemerintahan Rasulullah SAW dengan pemerintahan Indonesia, terdapat pula beberapa perbedaan diantara keduanya dalam mengatur, mengelola, termasuk cara memperoleh penerimaan negara. Pada masa Rasulullah SAW, ada yang serupa dengan APBN di Indonesia, karena sama-sama mengatur pendapatan dan pengeluaran negara. Namun APBN pada masa Rasulullah SAW berbentuk lembaga, sedangkan APBN di Indonesia bukan merupakan sebuah lembaga, melainkan rencana anggaran yang disusun satu tahun sekali dan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Selain itu, jenis-jenis penerimaan dan pengeluaran APBN pada masa Rasulullah SAW diatur olehnash sehingga tidak perlu ditentukan kembali setiap satu tahun sekali seperti dalam APBN di Indonesia, dan kedudukan sumber dana yang diperoleh untuk



136



Gusfahmi, loc-cit (merujuk ke halaman yang sama yaitu halaman 162).



57



menambah pendapatan negara jelas halal. Sementara di Indonesia dalam menyusun rencana anggaran kas negara berpedoman pada undang-undang, sehingga sumber-sumber dana untuk menambah pendapatan negara tidak terikat konteks halal-haram. Mengenai perbandingan aspekAPBN pada masa Rasulullah dengan APBN di Indonesia akan diringkas dalam sebuah tabel berikut ini. Tabel 4.1 PerbandinganAspek APBN pada masa Rasulullah SAW dengan APBN di Indonesia137 No 1 2



Aspek Keterikatan dengan halal haram (syariah) Penentuan jenis-jenis penerimaan



APBN pada masa Rasulullah SAW Terikat



APBN di Indonesia Tidak terikat



Ditentukan oleh syariah



Ditetapkan oleh pemerintah dan DPR Ditetapkan oleh pemerintah dan DPR Tahunan



3



Besarnya untuk masing-masing jenis pendapatan



Ditetapkan oleh Khalifah



4



Periode



Tidak ada periode



4.1.1 Analisis Sumber-sumber Pendapatan pada Laporan APBN 2017 Perspektif Islam Sumber-sumber



pendapatan



dalam



Islam



berdasarkan



tujuan



penggunaannya diklasifikasikan kedalam sumber pendapatan resmi dan tidak resmi, sedangkan berdasarkan jenisnya dikelompokkan menjadi sumber pendapatan primer dan sumber pendapatan sekunder. Selain itu pemerintahan khalifah juga membedakan subjek yang menjadi sasaran pemungutan dan pengalokasian ke dalam beberapa golongan sesuai dengan nash. Berbeda dengan pemerintah Indonesia yang tidak mengklasifikasikan sumber pendapatan yang



137



M. Shiddiq Al-Jawi, Bagaimana Khilafah Mengatasi Defisit Anggaran, diakses dari http://hizbut-tahrir.or.id/2013/12/01/bagaimana-khilafah-mengatasi-defisit-anggaran.



58



dipungut berdasarkan subjek pemungutannya maupun penerimaannya.Berikut tabel mengenai sumber pendapatan negara Indonesia berdasarkan laporan APBN 2017. Tabel 4.2 Pendapatan Negara Indonesia dalam APBN 2017138 Uraian



PENDAPATAN NEGARA I. Penerimaan dalam Negeri 1. Penerimaan Perpajakan Pajak Dalam Negeri i. Pajak Penghasilan ii. Pajak Pertambahan Nilai iii. Pajak Bumi dan Bangunan iv. Cukai v. Pajak Lainnya Pajak Perdagangan Internasional i. Bea Masuk ii. Pajak Pungutan Ekspor 2. Penerimaan Bukan Pajak Penerimaan Sumber Daya Alam Bagian Laba BUMN PNBP Lainnya Badan Layanan Umum 3. Hibah



APBN 2017 (milliar rupiah) 1.750.283,4 1.748.910,7 1.498.871,6 1.464.796,6 787.704,7 493.888,7 17.295,6 157.158,0 8.749,6 34.075,1 33.735,0 340,1 250.039,1 86.995,9 41.000,0 84.428,1 37.615,1 1.372,7



Presentase (%) 100%



85,6%



14,3%



0,1%



Pendapatan negara Indonesia di dominasi oleh sektor perpajakan sebesar 85,6%, sisanya dibantu dari hibah sebesar 0,1% dan dari penerimaan bukan pajak sebesar 14,3%. Pajak dijadikan tulang punggung dan andalan negara Indonesia dalam menambah sisi pendapatan negara. Berbeda dengan di masa pemerintahan Rasulullah SAW yang hanya menjadikan pajak sebagai sumber negara yang bersifat komplemen karena sumber pendapatan pada masa pemerintahan khalifah lebih bertumpu kepada sumber-sumber pendapatan seperti ghanimah, zakat, dan fay’i.



Republik Indonesia, “Buku II Nota Keuangan dan APBN Tahun 2017”, hlm. II.3-6 -



138



II.3-19.



59



Sumber-sumber pendapatan di masa pemerintahan Rasulullah SAW tidak berbeda sepenuhnya dengan sumber pendapatan di negara Indonesia, karena terdapat beberapa sumber-sumber pendapatan di masa Rasulullah SAW yang juga diterapkan di Indonesia.Abu Yusuf telah mengklasifikasikan pendapatan yang tidak ada dalam Islam dan pendapatan yang tidak ada dalam APBN Indonesia. Abu Yusuf adalah pencipta kitab Al-Kharaj yang memuat tentang pembahasan perpajakan, sumber-sumber pendapatan negara termasuk bagaimana cara mengumpulkan hingga mengalokasikannya dengan berlandaskan nilai-nilai syariah.Berikut perbandingan pendapatanyang tidak ada dalam APBN di Indonesia dan yang tidak ada dalam pendapatan Al-Kharaj perspektif Abu Yusuf. Tabel 4.3 Perbandingan Pendapatan dalam APBN di Indonesia dengan Pendapatan dalam Al-Kharaj Perspektif Abu Yusuf139 Pendapatan No 1 2 3 4



Pendapatan dalam Al-Kharaj Perspektif Abu Yusuf



Pendapatan dalam APBN di Indonesia Pajak Penghasilan (PPh) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Migas Pajak Ekspor



Zakat Jizyah Ghanimah



Dari tabel di atas, dapat dijelaskan bahwa paling tidak ada 4 jenis penerimaan APBN RI yang tidak ada dalam kebijakan penerimaan perspektif Abu Yusuf. Abu yusuf menjadikan zakat dengan segala sektor yang dicakup olehnya sebagai penerimaan negara sehingga tidak perlu lagi ditambahkan dengan bentuk pajak lain. Sementara dalam APBN RI zakat, jizyah, dan ghanimah tidak dijadikan sumber pendapatan negara. Jizyah tidak dijadikan sumber pendapatan negara karena pada saat ini di Indonesia tidak perlu dipungut pajak kepada setiap jiwa non muslim yang merasa terancam dan butuh perlindungan dari peperangan. 139



Nurul Huda dan Ahmad Muti, op-cit, hlm.152.



60



Ghanimah juga tidak bisa dijadikan sumber pendapatan Indonesia mengingat kondisi Indonesia saat ini berbeda dengan di masa Rasulullah SAW. Pemungutan pajak yang berlebihan sebenarnya tidak baik untuk kegiatan bisnis dan tidak boleh dijadikan sumber utama negara karena dalam Islam pajak hanya dijadikan sumber pendapatan komplemen. Maka dari itu, untuk mengoptimalkan pendapatan, negara Indonesia bisa mencoba memaksimalkan pengelolaan sumber daya alam (SDA). Indonesia memiliki potensi SDA yang besar, terutama sektor pertanian kelautan, kehutanan, dan pertambangan. Investasi di sektor-sektor tersebut juga terus tumbuh, dan akan lebih efisien jika Indonesia mandiri dalam mengelola SDA yang ada. Pemanfaatan SDA untuk menambah pendapatan negara juga dianjurkan dalam Islam seperti diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dari Sha’bi bin Jatsamah, dia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: 140



‫س ْو ِل ِه‬ ُ ‫ََل ُح َمى اَِلَّ ِ َّّلِلِ َو ِل َر‬



Artinya: “Tidak ada penguasaan (pemagaran) kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya.” Maksudnya yaitu tidak boleh ada penguasaan/pemagaran kecuali dilakukan oleh negara untuk keperluan jihad, menyantuni orang-orang fakir, orang-orang miskin, serta untuk kemaslahatan umum.



4.1.2 Analisis Pajak sebagai Sumber Pendapatan Negara di Indonesia Perspektif Islam Para ulama



mendukung



dan memperbolehkan memungut pajak jika



sistem perpajakan yang diterapkan berprinsipkan keadilan dan selaras dengan



140



Abdul Qadim Zallum, op-cit, hlm.101.



61



spirit



Islam. Menurut



mereka, sistem perpajakan yang adil adalah apabila



memenuhi tiga kriteria berikut ini, yaitu:141 1. Pajak dikenakan untuk membiayai pengeluaran yang benar-benar diperlukan untuk merealisasikan maqasid Syariah. 2. Beban pajak tidak boleh terlalu kaku dihadapkan pada kemampuan rakyat untuk menanggung dan didistribusikan secara merata terhadap semua orang yang mampu membayar. 3. Dana pajak yang terkumpul dibelanjakan secara jujur bagi tujuan yang baik, karenanya itu pajak diwajibkan. Dalam laporan APBN 2017, Pendapatan negara didominasi oleh sektor perpajakan dengan “total keseluruhan penerimaan perpajakan sebesar Rp1.498.9 T yang terdiri dari PPh sebesar Rp 787,7 T, PPN sebesar Rp 493,9 T, PBB sebesar RP 17,3 T, bea cukai sebesar RP 157,2 T, bea masuk sebesar RP 33,7 T, bea keluar sebesar RP 0,3 T, dan pajak lainnya sebesar RP 8,7 T.” 142 Penerimaan perpajakan dalam APBN tahun 2017 menurun sebesar 2,6 persen jika dibandingkan dengan APBNP tahun 2016. Menurunnya penerimaan perpajakan tahun



2017



terutama



dipengaruhi



adanya



kebijakan-kebijakan



yang



penerimaannya sudah diperoleh di tahun 2016 seperti kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty), dan melemahnya perekonomian dunia yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Melihat praktik perpajakan di Indonesia, terdapat beberapa perbedaan antara sistem pajak (dharibah) termasuk jenis-jenis pajak menurut Islam dengan sistem perpajakan di Indonesia. Mengenai jenis-jenis pajak, terdapat jenis pajak di masa pemerintahan khalifah yang diterapkan di Indonesia seperti jizyah dan khums, namun terdapat pula jenis pajak di Indonesia yang dikelola pemerintahan 141



Mohammad Solekhan, op-cit, hlm.88. Kementrian Keuangan Republik Indonesia, Informasi APBN 2017, diakses dari https://www.kemenkeu.go.id/Publikasi/informasi-apbn-2017 pada tanggal 6 desember 2016. 142



62



pusat namun tidak ada di masa pemerintahan khalifah seperti pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, bea materai, dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. Memang sebenarnya terdapat pula jenis pajak di Indonesia yang serupa dengan jenis pajak di masa khalifah seperti Kharaj dengan PBB dan ushr dengan bea cukai, namun tetap saja dalam praktiknya terdapat perbedaan. Perbedaan selanjutnya, pajak dalam Islam boleh dipungut ketika keadaan kas negara kosong sehingga dapat dihapus ketika sudah tidak diperlukan, sedangkan pajak di Indonesia karena menggunakan kebijakan anggaran defisit sehingga kas negara selalu minus sehingga harus terus menerus memungut pajak serta menjadikan pajak sebagai sumber utama. Kemudian Pajak di Indonesia dipungut tanpa mengenal subjek pajak itu merupakan muslim atau non muslim karena negara Indonesia berlandasakan pancasila dimana sangat menjunjung tinggi keberagaman agama rakyatnya. Berbeda dengan keadaan negara dimasa pemerintahan khalifah yangmembedakan subjek pemungutan, penerimaan, serta sasaran pengalokasiannya. 4.2 Analisis Pendapatan Pengampunan Pajak di Indonesia Wajib Pajak yang ingin medapatkan pengampunan dibidang perpajakan harus menyetorkan uang tebusan ke bank persepsi atau direktorat jenderal pajak terdekat dengan memenuhi dan melengkapi persyaratan yang telah dijelaskan sebelumnya. Berikut tabel perolehan dana pengampunan pajak berdasarkan surat setoran pajak yang diterima.



63



Tabel 4.4 Realisasi Berdasarkan Surat Setoran Pajak (SSP) yang diterima143



Tahun



Bulan



2016 2016 2016 2016 2016 2016



07 08 09 10 11 12



2017 01 2017 02 2017 03 TOTAL



Uang tebusan pengampunan pajak 130,20 4.816,17 88.790,75 734,45 1.015,52



Uraian Penghentian pemeriksaan bukti permulaan 0,54 65,66 287,89 44,93 84,14



7.734,32



256,22



449,32 1.110,36



32,57 11,69



508,26 813,92



990,66 1.935,99



9.432,89 114.231,74



964,74 1.748,39



7.659,03 19.366,79



18.056,68 135.346,93



Pembayaran tunggakan Pajak 986,76 1.137,06 940,97 0 0



Jumlah (milliar rupiah)



1.117,50 6.018,88 90.019,60 779,38 1.099,65



6.911,14 14.901,68



Berdasarkan tabel realisasi surat setoran pajak (SSP) yang diterima, jumlah penerimaan pajak dari program pengampunan pajak ini naik turun setiap bulannya. Untuk setoran dari pembayaran uang tebusan paling besar di periode pertama (1 Juli 2016 - 30 September 2016) yaitu sebesar 88.790,75 miliar.Para pembayar pajak cenderung melakukan pembayaran pada periode I karena mengincar tarif tebusan terendah dan itu sangat menguntungkan bagi wajib pajak yang memiliki harta banyak dan tunggakan pajak yang besar. Sementara untuk setoran dari penghentian pemeriksaan bukti permulaan paling besar di periode terakhir (1 januari 2017 – 31 maret 2017) yaitu sebesar Rp1.748,39 miliar. Sama hal nya dengan setoran dari pembayaran tunggakan pajak paling besar di periode akhir yaitu sebesar Rp7.659,03. Berdasarkan surat pernyataan harta (SPH), dana yang berhasil terkumpul dari program pengampunan pajak adalah sebesar Rp4.884 Triliun. Berikut ini tabel yang menunjukan komposisi harta berdasarkan SPH yang diterima. Direktorat Jenderal Pajak Kementrian Keuangan, “Statistik Amnesti Pajak”, diakses dari http://www.pajak.go.id/statistik-amnesti pada tanggal 5 Juli 2017 pukul 09:37. 143



64



Tabel 4.5 Komposisi Harta Berdasarkan SPH yang diterima144 Uraian



Repatriasi



Jumlah



Rp147 T



Deklarasi Luar Negeri Rp.1.037 T



Deklarasi Dalam Negeri Rp3.701 T



Total Rp4.884 T



Pemerintah menargetkan dana repatriasi yang diterima sebesar Rp1000 triliun, namun realisasinya dana yang terkumpul hanya mencapai Rp146 triliun. Uang tebusan yang ditargetkan Pemerintah juga dibawah target yaitu hanya terkumpul Rp114 triliun dari Rp165 triliun yang ditargetkan. Hanya dana deklarasi yang telah melampaui target pemerintah. Dana deklarasi termasuk deklarasi luar negeri dan deklarasi dalam negeri sebelum di targetkan sebesar Rp4.000 triliun, Direktorat Jenderal Pajak kini telah berhasil mengumpulkan Rp4.738 triliun. Untuk uang tebusan yang diperoleh dari pengampunan pajak akan langsung masuk ke kas negara dan dihitung sebagai pajak penghasilan. 4.3 Analisis Hukum Islam Terhadap Penerapan Pengampunan Pajak di Indonesia 4.3.1 Analisis Evaluasi Implementasi Pengampunan Pajak di Indonesia Perspektif Islam Pengampunan pajak di Indonesia pernah diterapkan pada tahun 1964 dan 1984 namun ternyata tidak berhasil. “Pen.Pres No.5 tahun 1964 yang bertujuan menghimpun dana untuk modal pembangunan, dan Kep.Pres No.26 tahun 1983 yang menjadikan tax amnesty sebagai instrumen untuk melepaskan diri dari sanksi perpajakan tidak berhasil memotivasi wajib pajak untuk berpartisipasi dalam pengampunan pajak.”145 Mirip dengan pengampunan pajak, tahun 2007-2009



144



Ibid. Zainal Muttaqin, op-cit, hlm.49.



145



65



pernah diterapkan sunset policy. Perbedaan diantara keduanya, sunset policy hanya menghapus sanksi administrasi berupa bunga saja, dengan demikian hutang pajak dan kekurangan pembayaran pajak tetap harus di bayar. Sementara perbedaan pengampunan pajak periode 2016-2017 dengan pengampunan pajak tahun 1964 dan 1984 terletak pada bentuk regulasi hukum yang digunakan. Asas-asas yang dijadikan landasan program pengampunan pajak yaitu kepastian hukum, keadilan, kemanfaatan, dan kepentingan nasional. Mengingat dalam pelaksaannya program pengampunan pajak diwadahi oleh payung hukum yang kuat



yaitu



Undang-Undang No.11



tahun



2016



sehingga



dalam



pelaksanaanya memiliki kepastian hukum. Diadakannya program pengampunan pajak periode 2016-2017 juga diharapkan membawa manfaat yang besar untuk kepentingan nasional bagi pendapatan negara dan perluasan basis data perpajakan di masa yang akan datang dalam rangka mempercepat pertumbuhan ekonomi dan mensejahterakan rakyat Indonesia. Penerapan kebijakan pengampunan pajak juga perlu berlandaskan prinsip keadilan dan diharapkan menjaga keseimbangan hak dan kewajiban dari setiap pihak yang terlibat. Namun realitanya, penerapan pengampunan pajak dianggap mencederai asas keadilan oleh sebagian besar masyarakat khususnya wajib pajak yang patuh dan taat membayar pajak seperti misalnya buruh. Buruh merupakan salah satu wajib pajak yang taat membayar pajak karena pendapatannya akan selalu dipotong terlebih dahulu secara rutin sebagai pajak penghasilan. Mereka merasa tak adil karena dengan adanya program pengampunan pajak ini memberikan keringanan kepada pihak yang lalai dalam



66



membayar pajak yang kebanyakan rakyat berpenghasilan besar atau bahkan lebih dengan pendapatan tentunya diatas PTKP. Konsep pengampunan pajak ini hampir serupa dengan konsep pajak dalam Islam yaitu Nawaib. Nawaib adalah jenis pajak yang boleh ditarik ketika kas negara dalam keadaan darurat atau kosong. Maka tidak disalahkan pemerintah Indonesia



mengadakan



kebijakan



pengampunan



pajak



karena



negara



bertanggungjawab dalam membiayai keperluan rakyatnya. Konsep Nawaib juga sama halnya dengan pengampunan pajak yaitu hanya diberlakukan sementara atau tidak diberlakukan terus menerus. Perbedaannya, nawaib merupakan murni jenis pajak tanpa mengandung konsep pengampunan apalagi harus membayar utang pajak dengan uang tebusan untuk mendapatkan hak penghapusan sanksi administrasi



dan



pidana



dibidang perpajakan.



Dalam



perspektif



Islam



pengampunan pajak memang tidak ada praktiknya yang serupa sekalipun di masa Rasulullah SAW. Namun, pengampunan pajak dapat dibahas dengan mengaitkan konsep pemberian ampunan dalam Islam dalam menjadikan pembayaran denda sebagai penebus kesalahan sebagai alternatif menambah pendapatan negara. Dalam Al-Quran surat Al-Nisa ayat 85 dijelaskan bahwa pemberian ampunan atau syafa’at diperbolehkan namun bukan bermaksud untuk melanggar batas-batas Allah SWT ataupun melangkahi batas batas kebenaran. Pemberian syafa’at kepada pelaku pelanggaran perlu dipertimbangkan karena merupakan tindakan terpuji namun juga dapat menjadi tindakan tidak terpuji apabila menyalahgunakan pemberian syafa’at tersebut. Sebagian besar para sahabat Nabi lebih menyukai untuk memberikan syafa’at kepada pelaku tindak pidana karena



67



memberikan maaf merupakan ‘amaliyah yang dianjurkan oleh SWT apalagi jika pemberian maaf itu untuk membuat seseorang menjadi lebih baik lagi sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an surat Al-‘araf ayat 199. Pemberian ampunan kepada orang-orang yang melakukan kesalahan yang tidak diatur dalam hukuman had maka sanksinya ditentukan oleh Ulil Amri atau penguasa demi kemaslahatan umat. Pengampunan pajak juga tidak diatur sebelumnya dalam Al-Qur’an sehingga ditentukan peraturan yang memuat sanksi oleh Presiden untuk menambah pendapatan dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Sasaran utama diberlakukan pengampunan pajak yaitu kepada pihak-pihak yang menyimpan dana di luar negeri khususnya di negara surga pajak (tax heaven). Sebenarnya menyimpan dana di luar negeri itu tidak salah karena itu merupakan



hak



mereka



sebagai



warga



negara



yang



mungkin



ingin



menginvestasikan uangnya atau memiliki usaha di luar negeri. Namun, kesalahan atau bentuk pelanggarannya itu terletak pada penghasilan atau harta kekayaan yang dikenai pajak namun belum dilaporkan pada SPT PPh. Seseorang yang sengaja menyimpan hartanya di negara surga pajak (tax heaven) tanpa melaporkan harta kekayaannya yang dikenai pajak pada negara dalam bentuk SPT sampai bertahun-tahun artinya sama dengan menghindari pembayaran pajak dan itu termasuk pelaku kejahatan penggelapan pajak (tax evasion). Berdasarkan laporan kementerian keuangan yang di publish di salah satu web berita, tercatat lebih dari 6.000 WNI memiliki rekening disatu negara. Uang yang disimpan di negara tersebut belum tercatat sebagai aset yang dilaporkan pemilik rekening di dalam SPT. Artinya selama ini pemilik rekening tersebut



68



tidak pernah membayar pajak atas asetnya yang disimpan di luar negeri.Belum lagi data yang memuat nama-nama WNI yang menggunakan jasa firma hukum panama bocor ke media, dan 80% data tersebut cocok dengan data pemerintah Indonesia. Utang negara yang semakin besar sehingga membuat anggaran negara semakin defisit, dan banyaknya harta WNI di luar negeri yang belum dilaporkan pada SPT PPh semakin menguatkan Pemerintah untuk melancarkan dan segera menerapkan program pengampunan di Indonesia. Namun karena berkaca dari skandal panama papers, tidak sedikit rakyat Indonesia yang merasa tidak diadili khususnya mereka yang taat dalam membayar pajak karena menganggap pemerintah mempermudah dan mengurangi sanksi para konglomerat Indonesia yang belum melaporkan hartanya pada laporan SPT PPh dengan diberlakukannya program pengampunan pajak. Sebagai warga negara yang baik seharusnya mengikuti peraturan pemerintah karena pemerintah merupakan khalifah yang ditugaskan untuk mengatur rakyatnya demi mendapatkan kesejahteraan bersama. Pemerintah memungut pajak semata-mata bertujuan untuk membiayai keperluan rakyat dan manfaatnya akan dirasakan oleh rakyat itu sendiri. Pemerintah juga perlu menumbuhkan kepercayaan kepada rakyat dengan mengelola uang penerimaan pajak secara benar dan adil.Diberlakukannya pengampunan pajak ini intinya serupa dengan diberlakukannya jarimah ta’zir yaitu untuk mencegah wajib pajak agar patuh atau tidak lalai dalam melakukan kewajibannya membayar pajak, membuat jera dengan memberi sanksi yang kongkrit kepada wajib pajak yang



69



memiliki kesalahan dibidang perpajakan namun tidak mengikuti program pengampunan pajak, memberi pelajaran yang membuat mereka memperbaiki kesalahan mereka agar dapat menjadi wajib pajak yang patuh dikemudian hari. Pengampunan pajak memang menjadi salah satu cara yang ampuh dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam melaporkan SPT karena memperluas basis data dibidang perpajakan yang akan dapat diambil dampak positifnya bagi penerimaan perpajakan di masa mendatang. Namun perlu dipertimbangkan pula dampak negatifnya, bahwa dengan diterapkannya pengampunan pajak yang tidak memberikan sanksi tegas pasca pemberian pengampunan akan menimbulkan moral hazard dikalangan wajib pajak. Para wajib pajak tidak akan langsung seluruhnya menjadi patuh karena justru malah akan bertambah lalai dan merasa tidak jera dengan ancaman yang diberikan pemerintah karena berharap pemerintah akan kembali mengulang penerapan program pengampunan pajak di masa yang akan datang. Pemerintah perlu mempertimbangkan dan berpikir panjang kedepan, apakah dengan diberlakukannya pengampunan pajak ini



lebih banyak



menimbulkan maslahat untuk kesejahteraan bersama atau malah menimbulkan mudharat.Pemerintah Indonesia harus sangat berhati-hati dalam menerapkan kebijakan apalagi kaitannya sebagai alternatif mengoptimalkan pendapatan negara. 4.3.2 Analisis Pengampunan Pajak Tahun 2016-2017 sebagai Usaha Optimalisasi Pendapatan Negara di Indonesia Perspektif Islam



70



Keberhasilan program pengampunan pajak sangat tergantung dari dukungan semua pihak terutama sosialisasi tentang program ini kepada rakyat Indonesia khususnya para wajib pajak. Indikator yang dapat dipakai untuk keberhasilan tax amnesty yaitu tujuan diadakannya pengampunan pajak yang tercantum dalam undang-undang no.11 tahun 2016 tentang pengampunan pajak dan telah dibahas sebelumnya pada halaman 48. Berikut akan dipaparkan tabel yang berisi data-data dimana menunjukan pertumbuhan perekonomian Indonesia sebelum dan setelah dilaksanakan program pengampunan pajak dilihat dari sisi Produk domestik bruto, pendapatan negara, penerimaan perpajakan, tingkat kepatuhan penyampaian SPT wajib pajak, nilai tukar rupiah, suku bunga, investasi, dan inflasi. Data-data berikut dirangkum dari beberapa sumber yaitu direktorat jenderal perpajakan kementrian keuangan, laporan APBN, bappenas, tempo, serta kompas. Tabel 4.6 Perbandingan Pertumbuhan Perekonomian Indonesia Sebelum dan Sesudah Penerapan Pengampunan Pajak Uraian Produk Domestik Bruto/PDB (%) Pendapatan Negara (miliar) Penerimaan Perpajakan (miliar) Tingkat kepatuhan penyampaian SPT wajib pajak (%) Nilai Tukar Rupiah (Rp) Suku Bunga (%) Investasi (%) Inflasi (%)



2015



Tahun 2016



2017



4,8 1.761.642,8 1.489.255,5 60,42



5,1 1.786.225,0 1.539.166,2 63,15



5,2 1.750.283,4 1.498.910,7 72,5



12.500 6,2 5,1 5,0



13.500 5,5 5,3 4,7



13.300 5,3 5,9 4,0



Pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat dinilai dari presentase PDB yang dicapai. PDB Indonesia tahun 2015 hanya berkisar disekitar 4,8%,kemudian meningkat di tahun 2016 sebesar 5,1% dan meningkat kembali di tahun 2017 sebesar 5,2%. Program pengampunan pajak juga membawa pengaruh positif



71



terhadap perbaikan nilai tukar rupiah, terbukti pada tahun 2017 nilai tukar rupiah menguat menjadi Rp13.300 dibandingkan tahun sebelumnya Rp13.500. Selain rupiah dapat menguat dan stabil, harga saham akan terangkat. Investasi di sektor riil akan meningkat dan akan membawa pergerakan yang bagus bagi perekonomian nasional. Faktanya Investasi di Indonesia memang meningkat semenjak telah diterapkannya program pengampunan pajak sebesar 0,7% dari tahun sebelumnya. Dipasar modal Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melonjak tajam menembus level 5000 pada akhir juni 2016, ini menggambarkan peningkatan kepercayaan (level of confidence) inflasi dan suku bunga Indonesia menurun setiap tahunnya sehingga memicu investor menjadi lebih gencar berinvestasi di pasar modal. Tujuan Pemerintah Indonesia untuk mendorong reformasi perpajakan dengan memperluas basis data wajib pajak juga terbilang berhasil mengingat presentase tingkat kepatuhan wajib pajak yang menyampaikan SPT juga meningkat yaitu sebesar 63,15% di tahun 2016 dan 72,5% di tahun 2017. PDB Indonesia memang meningkat di tahun 2016 dan 2017, namun penerimaan negara dan perpajakan menurun di tahun 2017. Penyebabnya, karena pelaksanaan program pengampunan pajak dilaksanakan dua periode di tahun 2016 dan hanya satu periode di tahun 2017, terlebih lagi uang tebusan disetor paling banyak di periode awal karena para penyetor mengincar tarif terendah namun tetap saja pendapatan negara di tahun 2016 lebih kecil dari sebelumnya. Dengan adanya pengampunan pajak justru mengurangi penerimaan perpajakan karena menghilangkan potensi pemasukan itu sendiri dari tarif yang ditawarkan memang



72



relatif rendah dibanding tarif PPh yang sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan yaitu sebesar maksimal 30%, ditambah sanksi administrasi 48% dari pokok. Lazimnya pengampunan pajak hanya mengampuni pajak penghasilan saja, tidak perlu sampai pada PPN dan PPNbm sehingga benar-benar menghilangkan potensi penerimaan pajak yang berakibat pada berkurangnya pendapatan negara yang terbukti menurun kembali ditahun 2017. Uang tebusan sebagai penebus kesalahan wajib pajak yang lalai dalam membayar pajak sama halnya dengan hukuman berupa harta pada jarimah ta’zir. Pada jarimah ta’zir, hukuman berupa harta diperbolehkan merampas harta yaitu mengambil harta pelaku namun bukan untuk diri hakim atau kas umum, melainkan



menahannya



untuk



sementara



waktu



namun



diperbolehkan



mentasarufkan harta tersebut jika pelaku tidak bisa diharapkan bertobat atau untuk kepentingan yang mengandung maslahat, atau dapat pula dengan memberikan denda.



Pemberian



denda



dapat



dijatuhkan



kepada



seseorang



yang



menyembunyikan, menghilangkan, merusak barang orang lain dengan sengaja, atau harta diduga merupakan hasil perbuatan jahat yang mengabaikan hak orang lain di dalam hartanya jika terbukti harta tersebut tidak dimiliki dengan jalan yang sah. Uang tebusan ini akan disetor langsung ke kas negara melalui bank persepsi yang ditunjuk artinya uang tebusan ini akan mejadi sektor penerimaan baru dalam kas negara. Seperti yang telah dijelaskan dalam hukuman berupa harta dalam jarimah ta’zir, jika demi kepentingan yang mengandung maslahat dan apabila ada hak orang lain di dalam hartanya maka boleh menjadikan penerimaan dana



73



pengampunan pajak itu sebagai pendapatan negara. Namun kembali lagi, hukuman denda dalam jarimah ta’zir boleh dilakukan perampasan harta dari pelaku ketika memang terbukti harta tersebut tidak dimiliki dengan jalan yang sah. Sementara, informasi dari penyetor uang tebusan pengampunan pajak sangat dirahasiakan oleh negara, bahkan pihak lain yang berusaha membocorkan akan dikenai sanksi penjara. Selain itu, dana repatriasi merupakan dana yang dialihkan dari luar negeri dan tidak menutup kemungkinan ada dana dari negara surga pajak (tax heaven) yang dimana familiar sebagai tempat menyimpannya harta kekayaan pelaku kriminal pencucian uang, korupsi, dan penggelapan pajak, maka kedudukan penerimaan dana tax amnesty sebagai penambah pendapatan negara menjadi diragukan kejelasan sumber dananya. Diberlakukannya pengampunan pajak dalam jangka pendek akan sangat merugikan kas negara. Maka dari itu, Pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan dari berbagai segi untuk menerapkan pengampunan pajak sebagai alternatif mengoptimalkan pendapatan negara dari sektor pajak, karena sumber-sumber pendapatan yang didapat hingga pengalokasian dana yang diatur dan dikelola pemerintah akan dipertanyakan dan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat sebagaimana yang telah dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah [2]:188 dan hadis Tirmidzi yang telah dicantumkan dalam bab I. Dalam jangka pendek program pengampunan pajak memang belum dapat mengoptimalkan pendapatan negara karena justru malah membuat pendapatan negara menurun kembali ditahun 2017, namun dalam jangka panjang itupun jika pemerintah tegas menegakkan hukum dalam menerapkan pengampunan pajak termasuk tegas dalam pemberian sanksi bagi wajib pajak yang belum melapor



74



pada SPT PPh terakhir serta tidak berpartisipasi dalam program pengampunan pajak, akan memberi dampak positif karena memperluas basis data perpajakan yang mana akan menambah sisi penerimaan negara dan belanjut pada percepatan pertumbuhan perekonomian nasional.



BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan Hasil penelitian berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat di tarik simpulan sebagai berikut: 1. Tinjauan hukum Islam dan hukum Indonesia tentang pendapatan negara, terdapat beberapa perbedaan diantara keduanya dalam mengatur, mengelola, termasuk cara memperoleh penerimaan negara. Di masa Rasulullah Saw pendapatan dan pengeluaran negara diatur dalam Baitul M𝑎̂l, jenis dan besaran sumber pendapatan negaranya telah diatur oleh nash, memisahkan subjek pemungutan dan pengalokasian sumber pendapatan menjadi muslim dan non-muslim. Sedangkan di Indonesia penerimaan dan pengeluaran negara diatur dalam APBN, jenis dan besaran penerimaanya ditentukan satu tahun sekali oleh pemerintah, sertatidak mengklasifikasikan subjek pemungutan dan sasaran pengalokasian. 2. Penerapan pengampunan pajak sebagai usaha optimalisasi pendapatan negara di Indonesia belum berhasil mengoptimalkan pendapatan negara dalam jangka pendek, karena hanya meningkat di tahun 2016 menjadi 1.786.225,0 T dan kemudian menurun kembali di tahun 2017 menjadi 1.750.283,4 T. 3. Tinjauan hukum Islam terhadap penerapan pengampunan pajak sebagai usaha optimalisasi pendapatan negara di Indonesia, dana dari uang tebusan yang otomatis masuk ke dalam kas negara untuk menambah sisi penerimaan negara diragukan kehalalannya. Karena dalam jarimah ta’zir, harta boleh dirampas untuk kemaslahatan umat jika terbukti dana tersebut diperoleh dari jalan yang tidak sah.



75



76



Sementara sampai saat ini pemerintah masih belum mengetahui modus dibalik wajib pajak yang tidak melaporkan hartanya ke dalam SPT PPh terakhir.



5.2 Saran Berikut beberapa saran yang diberikan oleh penulis kepada pihak-pihak yang berhubungan dengan penelitian ini, diantaranya: 1. Pemerintah sebagai khalifah alangkah baiknya mengikuti aturan Islam untuk tidak menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Negara Indonesia dapat mengoptimalkan pendapatan negara dengan memaksimalkan pengelolaan kekayaan alam yang ada secara inovatif, mandiri, dan transparan. Maka dari itu, negara Indonesia membutuhkan generasi muda yang berwawasan luas dengan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dan tentunya dengan penanaman moral agar memiliki rasa tanggungjawab di dunia dan akhirat. Selain itu, dalam membuat



kebijakan



untuk



mengoptimalkan



pendapatan



negara



perlu



memperhatikan mudharat dan maslahat yang timbul dan tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Untuk program pengampunan pajak yang telah terlaksana, diharapkan pemerintah memastikan dana yang diperoleh dari uang tebusan merupakan dana dari harta yang terbukti didapat dari jalan yang tidak sah dan mempertegas sanksi pasca pengampunan pajak. 2. Mahasiswa khususnya Peneliti selanjutnya yang akanmeneliti tentang topik pengampunan pajak, diharapkan dapat menggunakan data primer sekaligus sekunder agar mendapatkan data yang lebih lengkap dan menyeluruh.



77



LAMPIRAN-LAMPIRAN



DAFTAR RIWAYAT HIDUP



78



Firdha Fadhilah Ridwan, anak pertama dari 5 bersaudara pasangan Dadan Muhammad Ridwan dan Diah Sabariah ini lahir di Bandung pada tanggal 06 Agustus 1996. Pada tahun 2007,



menyelesaikan pendidikan tingkat dasar di SDN Arjasari II Kabupaten Bandung, tingkat menengah pertama di SMPN 40 Bandung pada tahun 2010, dan tingkat menengah akhir di SMA Laboratorium Percontohan UPI Bandung pada tahun 2013. Firdha Fadhilah Ridwan tengah mendalami ilmu Hukum Ekonomi Syariah di Fakultas Syariah, Universitas Islam Bandung (UNISBA). Sepanjang masa kuliahnya, Firdha pernah menjabat



sebagai Sekretaris Departemen PAI Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Syariah pada tahun 2014-2015 dan



anggota komisi D Dewan Amanat Mahasiswa (DAM) Fakultas Syariah tahun 2015-2016. Selain itu, dia pernah menjadi salah satu anggota dari BMT Fasya Unisba mulai tahun 2016 dan menjabat sebagai accounting hingga berakhir di jabatan sekretaris. Di tahun 2016 awal, Firdha sempat mewakili mahasiswa fakultas syariah Universitas Islam Bandung bersama 2 rekan lainnya yaitu Rani Sariatul Muhibati dan Irfan Sjahroedien untuk berpartisipasi dalam perlombaan ekonomi syariah tingkat nasional (TEMILNAS) yang diadakan oleh Forum Silaturahmi dan Studi Ekonomi Islam (Fossei) di Universitas Muhamadiyah Yogyakarta.



79



80



81



POSTUR APBNP 2016 DAN APBN 2017 (miliar rupiah)



82



POSTUR APBNP 2015 DAN RAPBN 2016 (miliar rupiah)



83



Perkembangan Defisit Anggaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012-2017 2012 Surplus/Defisit Anggaran Rasio Defisit APBN thd PDB (%)



LKPP/Audited 2013 2014



2015



Realisasi 2016



APBN 2017



(153.3)



(211.7)



(226.7)



(298.5)



(307.7)



(330.2)



(1.86)



(2.33)



(2.25)



(2.59)



(2.46)



(2.41)



Sumber: Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Profil Utang dan Penjaminan Pemerintah Pusat, Kementrian Keuangan Republik Indonesia, 2017, hlm.7.



84



Tabel I-Account APBN A. PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH I. Penerimaan dalam Negeri 1. Penerimaan Perpajakan Pajak Dalam Negeri i. Pajak Penghasilan 1) Minyak dan Gas 2) Non Minyak dan Gas ii. Pajak Pertambahan Nilai iii. Pajak Bumi dan Bangunan iv. Bea Perolehan hak atas tanah dan Bangunan v. Cukai vi. Pajak Lainnya Pajak Perdagangan Internasional i. Bea Masuk ii. Pajak Pungutan Ekspor 2. Penerimaan Bukan Pajak



85 Penerimaan Sumber Daya Alam i. Minyak Bumi ii. Gas Alam iii. Pertambangan Umum iv. Kehutanan v. Perikanan Bagian Laba BUMN Penerimaan Nasional Bukan Pajak Lainnya B. BELANJA NEGARA I. Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 1. Pengeluaran Rutin Belanja Pegawai Belanja Barang Pembayaran Bunga Utang i. Hutang Dalam Negeri ii. Hutang Luar Negeri



i. Subsidi BBM ii. Subsidi Non BBM Pengeluaran Rutin Lainnya 2. Pengeluaran Pembangunan Pembiayaan Pembangunan Rupiah Pembiayaan Proyek II. Dana Perimbangan 1. Dana Bagi Hasil 2. Dana Alokasi Umum 3. Dana Alokasi Khusus III. Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang C. KESEIMBANGAN PRIMER D. SURPLUS/DEFISIT ANGGARAN (A-B) E. PEMBIAYAAN (E.I+II) I. Dalam Negeri 1. Perbankan dalam Negeri 2. Non Perbankan dalam Negeri Privatisasi Penjualan Aset Program Restrukturisasi Perbankan Obligasi Negara (Netto) i. Penerbitan Obligasi Pemerintah ii. Pembayaran Cicilan Pokok Hutang/Obligasi DN II. Luar Negeri 1. Pinjaman Proyek



86 2. Pembayaran Cicilan Pokok Hutang Luar Negeri 3. Pinjaman Program dan Penundaan Cicilan Hutang Sumber: Sonny Sumarsono, Manajemen Keuangan Pemerintahan, Graha Ilmu., Yogyakarta, 2010, hlm.81.



87



88



89



90



91



92



93



LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.131, 2016



EKONOMI. Pajak. Pengampunan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5899)



94



UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK



DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,



Menimbang :



a. bahwa pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bertujuan untuk memakmurkan seluruh rakyat



Indonesia



yang



merata



dan



berkeadilan,



memerlukan pendanaan besar yang bersumber utama dari penerimaan pajak; b. bahwa untuk memenuhi kebutuhan penerimaan pajak yang



terus



meningkat,



diperlukan



kesadaran



dan



masih



perlu



di



dalam



kepatuhan masyarakat dengan mengoptimalkan semua potensi dan sumber daya yang ada; c. bahwa kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam melaksanakan ditingkatkan



kewajiban karena



perpajakannya



terdapat



Harta,



baik



maupun di luar negeri yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan; d. bahwa untuk meningkatkan penerimaan negara dan pertumbuhan



perekonomian



serta



kesadaran



dan



kepatuhan masyarakat dalam pelaksanaan kewajiban



www.peraturan.go.id



2016, No.131



- 2-



95



perpajakan, perlu menerbitkan kebijakan Pengampunan Pajak; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, sampai dengan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak;



Mengingat



:



Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;



Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



MEMUTUSKAN: Menetapkan:



UNDANG-UNDANG TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK.



BAB I KETENTUAN UMUM



Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1.



Pengampunan Pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.



2.



Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang mempunyai



hak



dan



kewajiban



perpajakan



sesuai



dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. 3.



Harta



adalah



akumulasi



tambahan



kemampuan



ekonomis berupa seluruh kekayaan, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang digunakan untuk usaha maupun bukan untuk usaha, yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.



www.peraturan.go.id



2016, No.131



-3-



4.



Utang adalah jumlah pokok utang yang belum dibayar yang berkaitan langsung dengan perolehan Harta.



5.



Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender, kecuali jika Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.



6.



Tunggakan Pajak adalah jumlah pokok pajak yang belum dilunasi berdasarkan Surat Tagihan Pajak yang di dalamnya terdapat pokok pajak yang terutang, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, dan Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah termasuk pajak yang seharusnya tidak dikembalikan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.



7.



Uang Tebusan adalah sejumlah uang yang dibayarkan ke kas negara untuk mendapatkan Pengampunan Pajak.



8.



Tindak Pidana di Bidang Perpajakan adalah tindak pidana



sebagaimana



diatur



dalam



Undang-Undang



mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. 9.



Surat Pernyataan Harta untuk Pengampunan Pajak yang selanjutnya disebut Surat Pernyataan adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk mengungkapkan Harta, Utang, nilai Harta bersih, serta penghitungan dan pembayaran Uang Tebusan.



10. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. 11. Surat Keterangan Pengampunan Pajak yang selanjutnya disebut Surat Keterangan adalah surat yang diterbitkan oleh Menteri sebagai bukti pemberian Pengampunan Pajak. 12. Surat



Pemberitahuan



Tahunan



Pajak



Penghasilan



Terakhir yang selanjutnya disebut SPT PPh Terakhir adalah: a.



Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2015 bagi Wajib Pajak yang



www.peraturan.go.id



96



2016, No.131



- 4-



97



akhir tahun bukunya berakhir pada periode 1 Juli 2015 sampai dengan 31 Desember 2015; atau b.



Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2014 bagi Wajib Pajak yang akhir tahun bukunya berakhir pada periode 1 Januari 2015 sampai dengan 30 Juni 2015.



13. Manajemen



Data



administrasi



dan



data dan



Informasi



adalah



informasi



Wajib



sistem



Pajak yang



berkaitan dengan Pengampunan Pajak yang dikelola oleh Menteri. 14. Bank Persepsi adalah bank umum yang ditunjuk oleh Menteri untuk menerima setoran penerimaan negara dan berdasarkan



Undang-Undang



ini



ditunjuk



untuk



menerima setoran Uang Tebusan dan/atau dana yang dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia



dalam



rangka



pelaksanaan



Pengampunan



Pajak. 15. Tahun Pajak Terakhir adalah Tahun Pajak yang berakhir pada jangka waktu 1 Januari 2015 sampai dengan 31 Desember 2015.



BAB II ASAS DAN TUJUAN



Pasal 2 (1)



(2)



Pengampunan Pajak dilaksanakan berdasarkan asas: a.



kepastian hukum;



b.



keadilan;



c.



kemanfaatan; dan



d.



kepentingan nasional.



Pengampunan Pajak bertujuan untuk: a.



mempercepat



pertumbuhan



dan



restrukturisasi



ekonomi melalui pengalihan Harta, yang antara lain akan berdampak terhadap peningkatan likuiditas domestik, perbaikan nilai tukar Rupiah, penurunan suku bunga, dan peningkatan investasi;



www.peraturan.go.id



2016, No.131



-5-



b.



mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan serta perluasan basis



data



perpajakan



yang



lebih



valid,



komprehensif, dan terintegrasi; dan c.



meningkatkan penerimaan pajak, yang antara lain akan digunakan untuk pembiayaan pembangunan.



BAB III SUBJEK DAN OBJEK PENGAMPUNAN PAJAK



Pasal 3 (1)



Setiap Wajib Pajak berhak mendapatkan Pengampunan Pajak.



(2)



Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Wajib Pajak melalui pengungkapan Harta yang dimilikinya dalam Surat Pernyataan.



(3)



Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu Wajib Pajak yang sedang: a.



dilakukan penyidikan dan berkas penyidikannya telah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan;



b.



dalam proses peradilan; atau



c.



menjalani hukuman pidana,



atas Tindak Pidana di Bidang Perpajakan. (4)



Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengampunan atas kewajiban perpajakan sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir, yang belum atau belum sepenuhnya diselesaikan oleh Wajib Pajak.



(5)



Kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas kewajiban: a.



Pajak Penghasilan; dan



b.



Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.



www.peraturan.go.id



98



2016, No.131



- 6-



99



BAB IV TARIF DAN CARA MENGHITUNG UANG TEBUSAN



Pasal 4 (1)



Tarif Uang Tebusan atas Harta yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau Harta yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia



dan diinvestasikan di



dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu paling singkat 3 (tiga) tahun terhitung sejak dialihkan, adalah sebesar: a.



2% (dua persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku;



b.



3% (tiga persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan keempat terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2016; dan



c.



5% (lima persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan terhitung sejak tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.



(2)



Tarif Uang Tebusan atas Harta yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebesar: a.



4% (empat persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan



pada



bulan



pertama



sampai



dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak UndangUndang ini mulai berlaku; b.



6% (enam persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan keempat terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2016; dan



www.peraturan.go.id



2016, No.131



-7-



c.



10% (sepuluh persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan terhitung sejak tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.



(3)



Tarif Uang Tebusan bagi Wajib Pajak yang peredaran usahanya sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada Tahun Pajak Terakhir adalah sebesar: a.



0,5% (nol koma lima persen) bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan



nilai



Harta



sampai



dengan



Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dalam Surat Pernyataan; atau b.



2%



(dua



mengungkapkan



persen)



bagi nilai



Wajib Harta



Pajak



yang



lebih



dari



dengan



cara



Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dalam Surat Pernyataan, untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.



Pasal 5 (1)



Besarnya



Uang



Tebusan



dihitung



mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dengan dasar pengenaan Uang Tebusan. (2)



Dasar pengenaan Uang Tebusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan nilai Harta bersih yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir.



(3)



Nilai Harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan selisih antara nilai Harta dikurangi nilai Utang.



Pasal 6 (1)



Nilai Harta yang diungkapkan dalam Surat Pernyataan meliputi: a.



nilai Harta yang telah dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir; dan



www.peraturan.go.id



100



2016, No.131



- 8-



b.



101



nilai Harta tambahan yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir.



(2)



Nilai Harta yang telah dilaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan nilai yang dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir.



(3)



Dalam hal Wajib Pajak diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan



Tahunan



Pajak



Penghasilan



menggunakan satuan mata uang selain Rupiah, nilai Harta yang telah dilaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan kurs yang ditetapkan oleh Menteri untuk keperluan penghitungan pajak pada tanggal akhir tahun buku sesuai dengan SPT PPh Terakhir. (4)



Nilai Harta tambahan yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan nilai nominal untuk Harta berupa kas atau nilai wajar untuk Harta selain kas pada akhir Tahun Pajak Terakhir.



(5)



Dalam hal nilai Harta tambahan menggunakan satuan mata



uang



selain



Rupiah,



nilai



Harta



tambahan



ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan: a.



nilai nominal untuk Harta berupa kas; atau



b.



nilai wajar pada akhir Tahun Pajak Terakhir untuk Harta selain kas,



dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh Menteri untuk keperluan penghitungan pajak pada akhir Tahun Pajak Terakhir.



Pasal 7 (1)



Nilai Utang yang diungkapkan dalam Surat Pernyataan meliputi: a.



nilai Utang yang telah dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir; dan



b.



nilai Utang yang berkaitan dengan Harta tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b.



www.peraturan.go.id



2016, No.131



-9-



(2)



Untuk penghitungan dasar pengenaan Uang Tebusan, besarnya nilai Utang yang berkaitan secara langsung dengan



perolehan



Harta



tambahan



yang



dapat



diperhitungkan sebagai pengurang nilai Harta bagi: a.



Wajib Pajak badan paling banyak sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari nilai Harta tambahan; atau



b.



Wajib Pajak orang pribadi paling banyak sebesar 50% (lima puluh persen) dari nilai Harta tambahan.



(3)



Nilai Utang yang telah dilaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan nilai yang dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir.



(4)



Dalam hal Wajib Pajak diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan



Tahunan



Pajak



Penghasilan



menggunakan satuan mata uang selain Rupiah, nilai Utang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan dalam



mata



uang



Rupiah



berdasarkan



kurs



yang



nilai



yang



ditetapkan oleh Menteri untuk keperluan penghitungan pajak pada tanggal akhir tahun buku sesuai dengan SPT PPh Terakhir. (5)



Nilai Utang yang berkaitan dengan Harta tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditentukan dalam



mata



uang



Rupiah



berdasarkan



dilaporkan dalam daftar Utang pada akhir Tahun Pajak Terakhir. (6)



Dalam hal nilai Utang yang berkaitan dengan Harta tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditentukan dalam mata uang selain Rupiah, nilai Utang ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan kurs yang



ditetapkan



oleh



Menteri



untuk



keperluan



penghitungan pajak pada akhir Tahun Pajak Terakhir.



www.peraturan.go.id



102



2016, No.131



-10-



103



BAB V TATA CARA PENYAMPAIAN SURAT PERNYATAAN, PENERBITAN SURAT KETERANGAN, DAN PENGAMPUNAN ATAS KEWAJIBAN PERPAJAKAN



Pasal 8 (1)



Untuk memperoleh Pengampunan Pajak, Wajib Pajak harus menyampaikan Surat Pernyataan kepada Menteri.



(2)



Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh: a.



Wajib Pajak orang pribadi;



b.



pemimpin



tertinggi



berdasarkan



akta



pendirian



badan atau dokumen lain yang dipersamakan, bagi Wajib Pajak badan; atau c.



penerima kuasa, dalam hal pemimpin tertinggi sebagaimana dimaksud pada huruf b berhalangan.



(3)



Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a.



memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;



b.



membayar Uang Tebusan;



c.



melunasi seluruh Tunggakan Pajak;



d.



melunasi pajak yang tidak atau kurang dibayar atau melunasi pajak yang seharusnya tidak dikembalikan bagi



Wajib



Pajak



yang



sedang



dilakukan



pemeriksaan bukti permulaan dan/atau penyidikan; e.



menyampaikan SPT PPh Terakhir bagi Wajib Pajak yang telah memiliki kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan; dan



f.



mencabut permohonan: 1.



pengembalian kelebihan pembayaran pajak;



2.



pengurangan



atau



penghapusan



sanksi



administrasi perpajakan dalam Surat Ketetapan Pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak yang di dalamnya terdapat pokok pajak yang terutang; 3.



pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar;



4.



keberatan;



www.peraturan.go.id



2016, No.131



-11-



5.



pembetulan atas surat ketetapan pajak dan surat keputusan;



6.



banding;



7.



gugatan; dan/atau



8.



peninjauan kembali,



dalam



hal



Wajib



Pajak



sedang



mengajukan



permohonan dan belum diterbitkan surat keputusan atau putusan. (4)



Uang Tebusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b harus dibayar lunas ke kas negara melalui Bank Persepsi.



(5)



Pembayaran Uang Tebusan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menggunakan surat setoran pajak yang berfungsi sebagai



bukti



pembayaran



Uang



Tebusan



setelah



mendapatkan validasi. (6)



Dalam hal Wajib Pajak bermaksud mengalihkan Harta ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wajib Pajak harus mengalihkan Harta ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menginvestasikan Harta dimaksud di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia paling singkat selama jangka waktu 3 (tiga) tahun: a.



sebelum 31 Desember 2016 bagi Wajib Pajak yang memilih



menggunakan



tarif



Uang



Tebusan



sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dan huruf b; dan/atau b.



sebelum 31 Maret 2017 bagi Wajib Pajak yang memilih



menggunakan



tarif



Uang



Tebusan



sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c. (7)



Dalam hal Wajib Pajak mengungkapkan Harta yang berada dan/atau ditempatkan di dalam wilayah Negara Kesatuan



Republik



Indonesia,



selain



memenuhi



persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wajib Pajak tidak dapat mengalihkan Harta ke luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia paling singkat



www.peraturan.go.id



104



2016, No.131



-12-



105



selama jangka waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak diterbitkannya Surat Keterangan.



Pasal 9 (1)



Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) memuat paling sedikit informasi mengenai identitas Wajib Pajak, Harta, Utang, nilai Harta bersih, dan penghitungan Uang Tebusan.



(2)



Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan: a.



bukti pembayaran Uang Tebusan;



b.



bukti pelunasan Tunggakan Pajak bagi Wajib Pajak yang memiliki Tunggakan Pajak;



c.



daftar rincian Harta beserta informasi kepemilikan Harta yang dilaporkan;



d.



daftar Utang serta dokumen pendukung;



e.



bukti pelunasan pajak yang tidak atau kurang dibayar dikembalikan dilakukan



atau



pajak bagi



yang Wajib



pemeriksaan



seharusnya Pajak



bukti



tidak



yang



sedang



permulaan



atau



penyidikan; f.



fotokopi SPT PPh Terakhir; dan



g.



surat



pernyataan



mencabut



permohonan



sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf f. (3)



Dalam hal Wajib Pajak bermaksud mengalihkan Harta ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6), selain melampirkan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak harus melampirkan surat pernyataan mengalihkan dan menginvestasikan Harta ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia paling singkat selama jangka waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak dialihkan.



www.peraturan.go.id



2016, No.131



-13-



(4)



Dalam hal Wajib Pajak mengungkapkan Harta yang berada dan/atau ditempatkan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (7), selain melampirkan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak harus melampirkan surat pernyataan tidak mengalihkan Harta ke luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia paling singkat selama jangka waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak diterbitkannya Surat Keterangan.



(5)



Bagi Wajib Pajak yang peredaran usahanya sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada Tahun Pajak Terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), selain melampirkan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4), Wajib Pajak dimaksud harus melampirkan surat pernyataan mengenai besaran peredaran usaha.



Pasal 10 (1)



Surat Pernyataan disampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau tempat lain yang ditentukan oleh Menteri.



(2)



Sebelum



menyampaikan



Surat



Pernyataan



dan



lampirannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Wajib Pajak meminta penjelasan mengenai pengisian dan pemenuhan



kelengkapan



dilampirkan



dalam



Direktorat



Jenderal



Surat Pajak



dokumen Pernyataan atau



tempat



yang



harus



ke



kantor



lain



yang



ditentukan oleh Menteri. (3)



Berdasarkan penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak membayar Uang Tebusan dan menyampaikan Surat Pernyataan beserta lampirannya.



(4)



Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas nama Menteri menerbitkan Surat Keterangan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterima Surat Pernyataan beserta lampirannya dan mengirimkan Surat Keterangan kepada Wajib Pajak.



www.peraturan.go.id



106



2016, No.131



-14-



(5)



Dalam



hal



107



jangka



waktu



10



(sepuluh)



hari



kerja



sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Menteri atau pejabat



yang



menerbitkan



ditunjuk



atas



Surat



nama



Menteri



Keterangan,



Surat



belum



Pernyataan



dianggap diterima sebagai Surat Keterangan. (6)



Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas nama Menteri dapat



menerbitkan



surat



pembetulan



atas



Surat



atau



kedua



Keterangan dalam hal terdapat:



(7)



a.



kesalahan tulis dalam Surat Keterangan; dan/atau



b.



kesalahan hitung dalam Surat Keterangan.



Wajib Pajak dapat menyampaikan Surat Pernyataan paling banyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.



(8)



Wajib Pajak dapat menyampaikan Surat Pernyataan kedua atau ketiga sebelum atau setelah Surat Keterangan atas



Surat



Pernyataan



yang



pertama



diterbitkan. (9)



Dalam hal Wajib Pajak menyampaikan Surat Pernyataan yang kedua atau ketiga, penghitungan dasar pengenaan Uang



Tebusan



dalam



Surat



Pernyataan



dimaksud



memperhitungkan dasar pengenaan Uang Tebusan yang telah dicantumkan dalam Surat Keterangan atas Surat Pernyataan sebelumnya. (10) Dalam hal terdapat kelebihan pembayaran Uang Tebusan yang disebabkan oleh: a.



diterbitkannya surat pembetulan karena kesalahan hitung sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b; atau



b.



disampaikannya Surat Pernyataan kedua atau ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (8),



atas



kelebihan



dikembalikan



pembayaran dan/atau



dimaksud diperhitungkan



harus dengan



kewajiban perpajakan lainnya dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterbitkannya surat pembetulan



atau



disampaikannya



Surat



Pernyataan



kedua atau ketiga dimaksud.



www.peraturan.go.id



2016, No.131



-15-



Pasal 11 (1)



Wajib Pajak yang telah menyampaikan Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan lampirannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, diberi tanda terima sebagai bukti penerimaan Surat Pernyataan.



(2)



Wajib



Pajak



yang



telah



memperoleh



tanda



terima



di



Bidang



sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan: a.



pemeriksaan;



b.



pemeriksaan bukti permulaan; dan/atau



c.



penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan,



untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir. (3)



Dalam hal Wajib Pajak yang telah memperoleh tanda terima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sedang dilakukan: a.



pemeriksaan;



b.



pemeriksaan bukti permulaan; dan/atau



c.



penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan,



untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir, terhadap pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, dan/atau Perpajakan



penyidikan



Tindak



dimaksud



Pidana



ditangguhkan



sampai



dengan



diterbitkannya Surat Keterangan. (4)



Pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, dan/atau penyidikan



Tindak



Pidana



di



Bidang



Perpajakan



sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihentikan dalam hal Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas nama Menteri menerbitkan Surat Keterangan. (5)



Wajib Pajak yang telah diterbitkan Surat Keterangan, memperoleh fasilitas Pengampunan Pajak berupa: a.



penghapusan pajak terutang yang belum diterbitkan ketetapan pajak, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan, dan tidak dikenai sanksi pidana di bidang perpajakan, untuk kewajiban perpajakan



www.peraturan.go.id



108



2016, No.131



-16-



109



dalam masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir; b.



penghapusan berupa



sanksi



bunga,



administrasi



atau



denda,



untuk



perpajakan kewajiban



perpajakan dalam masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir; c.



tidak dilakukan pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan Tindak Pidana di Bidang



Perpajakan,



atas



kewajiban



perpajakan



dalam masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir; dan d.



penghentian pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, dalam hal Wajib Pajak sedang dilakukan pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan atas kewajiban perpajakan, sampai dengan akhir Tahun



Pajak



Terakhir,



yang



sebelumnya



telah



ditangguhkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3), yang



berkaitan



dengan



kewajiban



perpajakan



sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5). (6)



Penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf d dilakukan oleh pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang melaksanakan tugas dan fungsi penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.



BAB VI KEWAJIBAN INVESTASI ATAS HARTA YANG DIUNGKAPKAN DAN PELAPORAN



Pasal 12 (1)



Wajib



Pajak



yang



menyatakan



mengalihkan



dan



menginvestasikan Harta sebagaimana dimaksud dalam



www.peraturan.go.id



2016, No.131



-17-



Pasal 8 ayat (6) harus mengalihkan Harta dimaksud melalui Bank Persepsi yang ditunjuk secara khusus untuk itu paling lambat: a.



tanggal 31 Desember 2016 bagi Wajib Pajak yang menyatakan



mengalihkan



dan



menginvestasikan



Harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6) huruf a; dan/atau b.



tanggal 31 Maret 2017 bagi Wajib Pajak yang menyatakan



mengalihkan



dan



menginvestasikan



Harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6) huruf b. (2)



Jangka waktu investasi paling singkat 3 (tiga) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6) terhitung sejak tanggal dialihkannya Harta ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.



(3)



Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk: a.



surat berharga Negara Republik Indonesia;



b.



obligasi Badan Usaha Milik Negara;



c.



obligasi lembaga pembiayaan yang dimiliki oleh Pemerintah;



d.



investasi keuangan pada Bank Persepsi;



e.



obligasi perusahaan swasta yang perdagangannya diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan;



f.



investasi



infrastruktur



melalui



kerja



sama



Pemerintah dengan badan usaha; g.



investasi sektor riil berdasarkan prioritas yang ditentukan oleh Pemerintah; dan/atau



h.



bentuk investasi lainnya yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.



Pasal 13 (1)



Wajib



Pajak



atau



kuasa



yang



ditunjuk



harus



menyampaikan laporan kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas nama Menteri mengenai: a.



realisasi tambahan



pengalihan yang



dan



investasi



diungkapkan



atas dalam



Harta Surat



www.peraturan.go.id



110



2016, No.131



-18-



111



Pernyataan untuk Harta tambahan yang dialihkan ke



dalam



wilayah



Negara



Kesatuan



Republik



Indonesia, bagi Wajib Pajak yang harus mengalihkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6); dan/atau b.



penempatan



atas



Harta



tambahan



yang



diungkapkan dalam Surat Pernyataan untuk Harta tambahan yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, bagi Wajib Pajak yang tidak dapat mengalihkan Harta ke luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (7). (2)



Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas nama Menteri dapat menerbitkan dan mengirimkan surat peringatan setelah batas akhir periode penyampaian Surat Pernyataan dalam hal: a.



Wajib Pajak yang menyatakan mengalihkan dan menginvestasikan Harta ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia tetapi tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6); dan/atau



b.



Wajib Pajak yang menyatakan tidak mengalihkan Harta ke luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia



tetapi



tidak



memenuhi



ketentuan



sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (7). (3)



Wajib Pajak harus menyampaikan tanggapan atas surat peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal kirim.



(4)



Dalam hal berdasarkan tanggapan Wajib Pajak diketahui bahwa



Wajib



Pajak



tidak



memenuhi



ketentuan



sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6) dan/atau Pasal 8 ayat (7), berlaku ketentuan: a.



terhadap Harta bersih tambahan yang tercantum dalam



Surat



Keterangan



diperlakukan



sebagai



penghasilan pada Tahun Pajak 2016 dan atas



www.peraturan.go.id



2016, No.131



-19-



penghasilan dimaksud dikenai pajak dan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perpajakan; dan b.



Uang Tebusan yang telah dibayar oleh Wajib Pajak diperhitungkan



sebagai



pengurang



pajak



sebagaimana dimaksud dalam huruf a. (5)



Terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tetap berlaku ketentuan mengenai perlakuan khusus dalam



rangka



Pengampunan



Pajak



sebagaimana



dimaksud dalam Pasal 11.



BAB VII PERLAKUAN PERPAJAKAN



Pasal 14 (1)



Bagi Wajib Pajak yang diwajibkan menyelenggarakan pembukuan



menurut



ketentuan



Undang-Undang



mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, harus membukukan selisih antara nilai Harta bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) yang disampaikan dalam Surat Pernyataan dikurangi dengan nilai Harta bersih yang telah dilaporkan oleh Wajib Pajak dalam SPT PPh Terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, sebagai tambahan atas saldo laba ditahan dalam neraca. (2)



Harta



tambahan



yang



diungkapkan



dalam



Surat



dalam



Surat



Pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b yang berupa aktiva tidak berwujud, tidak dapat diamortisasi untuk tujuan perpajakan. (3)



Harta



tambahan



yang



diungkapkan



Pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b yang berupa aktiva berwujud, tidak dapat disusutkan untuk tujuan perpajakan.



www.peraturan.go.id



112



2016, No.131



-20-



113



Pasal 15 (1)



Wajib Pajak yang telah memperoleh Surat Keterangan dan membayar Uang Tebusan atas: a.



Harta



tidak



bergerak



berupa



tanah



dan/atau



bangunan; dan/atau b.



Harta berupa saham,



yang belum dibaliknamakan atas nama Wajib Pajak, harus melakukan pengalihan hak menjadi atas nama Wajib Pajak. (2)



Pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibebaskan dari pengenaan Pajak Penghasilan, dalam hal: a.



permohonan pengalihan hak; atau



b.



penandatanganan



surat



pernyataan



oleh



kedua



belah pihak di hadapan notaris yang menyatakan bahwa Harta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah benar milik Wajib Pajak yang menyampaikan Surat Pernyataan, dalam hal Harta dimaksud



belum



dapat



diajukan



permohonan



pengalihan hak, dilakukan dalam jangka waktu paling lambat tanggal 31 Desember 2017. (3)



Pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibebaskan dari pengenaan Pajak Penghasilan dalam hal terdapat perjanjian pengalihan hak dalam jangka waktu paling lambat tanggal 31 Desember 2017.



(4)



Apabila sampai dengan tanggal 31 Desember 2017, Wajib Pajak tidak mengalihkan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas pengalihan hak yang dilakukan dikenai



pajak



sesuai



dengan



ketentuan



peraturan



perundang-undangan yang mengatur mengenai Pajak Penghasilan.



Pasal 16 (1)



Wajib Pajak yang menyampaikan Surat Pernyataan, tidak berhak:



www.peraturan.go.id



2016, No.131



-21-



a.



114



mengompensasikan kerugian fiskal dalam surat pemberitahuan untuk bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir, ke bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak berikutnya;



b.



mengompensasikan kelebihan pembayaran pajak dalam



surat



pemberitahuan



atas



jenis



pajak



sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) untuk masa pajak pada akhir Tahun Pajak Terakhir, ke masa pajak berikutnya; c.



mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dalam surat pemberitahuan atas jenis pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir; dan/atau



d.



melakukan pembetulan surat pemberitahuan atas jenis pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak



Terakhir,



setelah



Undang-Undang



ini



diundangkan. (2)



Setelah Undang-Undang ini diundangkan, pembetulan surat pemberitahuan untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir yang disampaikan oleh Wajib Pajak yang menyampaikan



Surat



Pernyataan



dianggap



tidak



Pajak,



Surat



disampaikan.



Pasal 17 (1)



Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan



Kelebihan



Pembayaran



Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, Putusan Gugatan, Putusan Peninjauan Kembali, untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak



www.peraturan.go.id



2016, No.131



-22-



115



sebelum akhir Tahun Pajak Terakhir, yang terbit sebelum Wajib Pajak menyampaikan Surat Pernyataan, tetap dijadikan dasar bagi: a.



Direktorat



Jenderal



Pajak



untuk



melakukan



penagihan pajak dan/atau pengembalian kelebihan pembayaran pajak; b.



Wajib Pajak untuk mengompensasikan kerugian fiskal; dan



c.



Wajib Pajak untuk mengompensasikan kelebihan pembayaran pajak,



sesuai



dengan



ketentuan



peraturan



perundang-



undangan di bidang perpajakan. (2)



Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan



Kelebihan



Pembayaran



Pajak,



Surat



Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, Putusan Gugatan, Putusan Peninjauan Kembali, untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak sebelum akhir Tahun Pajak Terakhir, yang terbit setelah Wajib Pajak menyampaikan Surat Pernyataan, tidak dapat dijadikan dasar bagi: a.



Direktorat



Jenderal



Pajak



untuk



melakukan



penagihan pajak dan/atau pengembalian kelebihan pembayaran pajak; b.



Wajib Pajak untuk mengompensasikan kerugian fiskal; dan



c.



Wajib Pajak untuk mengompensasikan kelebihan pembayaran pajak.



(3)



Dalam Keputusan



hal



terdapat



Surat



Pengembalian



Ketetapan



Pajak,



Pendahuluan



Surat



Kelebihan



Pembayaran Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan



Pengurangan



Keputusan



Pembatalan



Keputusan



Pengurangan



Ketetapan Ketetapan Sanksi



Pajak,



Surat



Pajak,



Surat



Administrasi,



Surat



Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan



Keberatan,



Putusan



Banding,



Putusan



www.peraturan.go.id



2016, No.131



-23-



Peninjauan Kembali, untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak sebelum akhir Tahun Pajak Terakhir, yang terbit sebelum Wajib Pajak menyampaikan Surat



Pernyataan



yang



mengakibatkan



timbulnya



kewajiban pembayaran imbalan bunga bagi Direktorat Jenderal Pajak, atas kewajiban dimaksud menjadi hapus.



BAB VIII PERLAKUAN ATAS HARTA YANG BELUM ATAU KURANG DIUNGKAP



Pasal 18 (1)



Dalam



hal



Wajib



Pajak



telah



memperoleh



Surat



Keterangan kemudian ditemukan adanya data dan/atau informasi mengenai Harta yang belum atau kurang diungkapkan



dalam



Surat



Pernyataan,



atas



Harta



dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima



atau



diperoleh



Wajib



Pajak



pada



saat



ditemukannya data dan/atau informasi mengenai Harta dimaksud. (2)



Dalam hal: a.



Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pernyataan sampai



dengan



periode



Pengampunan



Pajak



berakhir; dan b.



Direktur Jenderal Pajak menemukan data dan/atau informasi



mengenai



Harta



Wajib



Pajak



yang



diperoleh sejak tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan 31 Desember 2015 dan belum dilaporkan dalam



Surat



Pemberitahuan



Tahunan



Pajak



Penghasilan, atas



Harta



dimaksud



dianggap



sebagai



tambahan



penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada



saat



ditemukannya



data



dan/atau



informasi



mengenai Harta dimaksud, paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku. (3)



Atas tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat



(1)



dikenai



Pajak



Penghasilan



sesuai



dengan



www.peraturan.go.id



116



2016, No.131



-24-



117



ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak



Penghasilan



dan



ditambah



dengan



sanksi



administrasi perpajakan berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar. (4)



Atas tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat



(2)



dikenai



pajak



dan



sanksi



sesuai



dengan



ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.



BAB IX UPAYA HUKUM



Pasal 19 (1)



Segala sengketa yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini hanya dapat diselesaikan melalui pengajuan gugatan.



(2)



Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan pada badan peradilan pajak.



BAB X MANAJEMEN DATA DAN INFORMASI



Pasal 20 Data dan informasi yang bersumber dari Surat Pernyataan dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan,



penyidikan,



dan/atau



penuntutan



pidana



terhadap Wajib Pajak.



Pasal 21 (1)



Menteri



menyelenggarakan



Manajemen



Data



dan



Informasi dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang ini. (2)



Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan



www.peraturan.go.id



2016, No.131



-25-



Pengampunan



Pajak,



dilarang



membocorkan,



menyebarluaskan, dan/atau memberitahukan data dan informasi yang diketahui atau diberitahukan oleh Wajib Pajak kepada pihak lain. (3)



Data dan informasi yang disampaikan Wajib Pajak dalam rangka Pengampunan Pajak tidak dapat diminta oleh siapapun berdasarkan



atau



diberikan



kepada



peraturan



pihak



perundang-undangan



manapun lain,



kecuali atas persetujuan Wajib Pajak sendiri. (4)



Data dan informasi yang disampaikan Wajib Pajak digunakan sebagai basis data perpajakan Direktorat Jenderal Pajak.



Pasal 22 Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak,



tidak



dapat



dilaporkan,



digugat,



dilakukan



penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.



BAB XI KETENTUAN PIDANA



Pasal 23 (1)



Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.



(2)



Penuntutan



terhadap



tindak



pidana



sebagaimana



dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.



www.peraturan.go.id



118



2016, No.131



-26-



119



BAB XII KETENTUAN PELAKSANAAN PENGAMPUNAN PAJAK



Pasal 24 Ketentuan lebih lanjut mengenai: a.



pelaksanaan Pengampunan Pajak;



b.



penunjukan Bank Persepsi yang menerima pengalihan Harta;



c.



prosedur dan tata cara investasi;



d.



penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1); dan



e.



penunjukan



pejabat



yang



berwenang



untuk



melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4), Pasal 10 ayat (5), Pasal 10 ayat (6), Pasal 11 ayat (4), Pasal 13 ayat (1), dan Pasal 13 ayat (2), diatur dengan Peraturan Menteri.



BAB XIII KETENTUAN PENUTUP



Pasal 25 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.



www.peraturan.go.id