Syok Anafilaktik [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO



REFARAT MEI 2017



SYOK ANAFILAKTIK



PENYUSUN : Wa Ode Marwiah Sahrul, S.Ked K1A1 12 050 PEMBIMBING : dr. Haeril Aswar, Sp.PD



KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT UMUM BAHTERAMAS FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2017



SYOK ANAFILAKTIK Wa Ode Marwiah Sahrul, Haeril Aswar



A. PENDAHULUAN Syok merupakan salah satu sindroma kegawatan yang memerlukan penanganan intensif dan agresif. Syok adalah suatu sindroma multifaktorial yang menuju hipoperfusi jaringan lokal atau sistemis dan mengakibatkan hipoksia sel dan disfungsi multipel organ. Kegagalan perfusi jaringan dan hantaran nutrisi dan oksigensistemik yang tidak adekuat tak mampu memenuhi kebutuhan metabolisme sel. Karakteristik kondisi ini, yaitu: 1. Ketergantungan suplai oksigen. 2. Kekurangan oksigen. 3. Asidosis jaringan. Sehingga terjadi metabolisme anaerob dan berakhir dengan kegagalan fungsi organ vital dan kematian.[1] Klasifikasi syok yang dibuat berdasarkan penyebabnya menurut Isselbacher, dkk, (1999, hal 219): [2] 1. Syok Hipovolemik atau oligemik Perdarahan dan kehilangan cairan yang banyak akibat sekunder dari muntah, diare, luka bakar, atau dehidrasi menyebabkan pengisian ventrikel tidak adekuat, seperti penurunan preload berat, direfleksikan pada penurunan volume, dan tekanan end diastolic ventrikel kanan dan kiri. Perubahan ini yang menyebabkan syok dengan menimbulkan isi sekuncup (stroke volume) dan curah jantung yang tidak adekuat. 2. Syok Kardiogenik Syok kardiogenik ini akibat depresi berat kerja jantung sistolik. Tekanan arteri sistolik < 80 mmHg, indeks jantung berkurang di bawah 1,8 L/menit/ m2, dan tekanan pengisian ventrikel kiri meningkat. Pasien sering tampak tidak berdaya, pengeluaran urin kurang dari 20 ml/ jam, ekstremitas dingin dan sianotik. Penyebab paling sering adalah 40% lebih karena miokard infark ventrikel kiri, yang menyebabkan penurunan kontraktilitas ventrikel



kiri yang berat, dan kegagalan pompa ventrikel kiri. Penyebab lainnya miokarditis akut dan depresi kontraktilitas miokard setelah henti jantung dan pembedahan jantung yang lama. Bentuk lain bisa karena gangguan mekanis ventrikel. Regurgitasi aorta atau mitral akut, biasanya disebabkan oleh infark miokard akut, dapat menyebabkan penurunan yang berat pada curah jantung forward (aliran darah keluar melalui katub aorta ke dalam sirkulasi arteri sistemik) dan karenanya menyebabkan syok kardiogenik. 3. Syok Obstruktif Ekstra Kardiak Syok ini merupakan ketidakmampuan ventrikel untuk mengisi selama diastole, sehingga secara nyata menurunkan volume sekuncup (Stroke Volume) dan berakhirnya curah jantung. Penyebab lain bisa karena emboli paru masif. 4. Syok Distributif Bentuk syok septik, syok neurogenik, syok anafilaktik yang menyebabkan penurunan tajam pada resistensi vaskuler perifer. Patogenesis syok septik merupakan gangguan kedua system vaskuler perifer dan jantung.



B. DEFINISI Reaksi anafilaksis merupakan sindrom klinis akibat reaksi imunologis (reaksi alergi) yang bersifat sistemik, cepat dan hebat yang dapat menyebabkan gangguan respirasi, sirkulasi, pencernaan dan kulit. Jika reaksi tersebut cukup hebat dapat menimbulkan syok yang disebut sebagai syok anafilaktik. Syok anafilaktik membutuhkan pertolongan cepat dan tepat.[1]



C. EPIDEMIOLOGI Insidens syok anafilaktik 40 – 60 persen adalah akibat gigitan serangga, 20-40 persen akibat zat kontras radiografi, dan 10 – 20 persen akibat pemberian obat penicillin. Sangat kurang data yang akurat dalam insiden dan prevalensi terjadinya syok anafilaktik. Anafilaksis yang fatal hanya kira-kira 4 kasus kematian dari 10 juta masyarakat pertahun. Sebagian besar kasus yang serius anafilaktik adalah akibat pemberian antibiotik seperti penicillin dan bahan zat



radiologis. Penicillin merupakan penyebab kematian 100 dari 500 kematian akibat reaksi anafilaksis. [1]



D. ETIOLOGI Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah sifat alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan paparan alergen. Golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan susu adalah makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang bisa menyebabkan anafikasis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat, dan lain-lain. Media kontras intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan cuaca dingin juga bisa menyebabkan anafilaksis.[1]



E. PATOFISIOLOGI Syok anafilaktik terjadi akibat respon hipersensitivitas tipe I, yakni reaksi antigen dengan antibodi IgE. Namun adapula reaksi anafilaktoid, untuk gejala dan tanda anafilaksis tanpa melibatkan IgE, misalnya pada agen radiokontras dan obat-obatan yang turut menginduksi degranulasi sel mast. Alergen yang masuk ke dalam darah akan dikenali oleh APC di mukosa maupun di darah. APC selanjutnya akan mempresentasikan antigen ke sel limfosit Th2. Sel Th2 akan mengeluarkan sitokin-sitokin (IL-4 dan IL-13) yang akan memicu sel memori limfosit B menghasilkan IgE. Apabila alergen kembali muncul, maka alergen akan langsung berikatan dengan IgE tersebut. Ikatan antigen-antibodi IgE itu akan mengaktivasi sel mast untuk mengeluarkan mediator-mediator anafilaksis seperti histamin, eikosanoid, prostaglandin D2, trombosit activating factor, bradikinin, leukotrin C4, D4 dan E4, dan sebagainya. Pelepasan berbagai mediator inilah yang mendasari gejala pada kulit, saluran napas, sistem vascular, dan traktus gastrointestinal.[3]



Gambar 1. Mekanisme Reaksi Tipe 1



Mediator kimia pada anafilaksis ternyata berefek langsung pada miokardium. Reseptor H1 memediasi vasikonstriksi pada arteri koroner dan meningkatkan permeabilitas kapiler, sementara reseptor H2 meningkatkan kontraktilitas atrium dan ventrikel, frekwensi atrium, dan vasodilatasi arteri koroner. Interaksi dari stimulasi reseptor H1 dan H2 menghasilkan penurunan tekanan diastolis dan penurunan tekanan nadi. Penelitian pada hewan menunjukan kemungkinan adanya peran modulasi dari reseptor H3. Platelet activating



factor



juga



menurunkan



aliran



darah



koroner,



atrioventrikular delay dan memiliki efek depresi terhadap jantung.[4]



Gambar 2. Patomekanisme syok



konduksi



F. DIAGNOSIS 1. Gejala Klinis Gambaran atau gejala klinik suatu reaksi anafilakis berbeda-beda gradasinya sesuai berat ringannya reaksi antigen-antibodi atau tingkat sensitivitas seseorang, namun pada tingkat yang berat berupa syok anafilaktik gejala yang menonjol adalah gangguan sirkulasi dan gangguan respirasi. Kedua gangguan tersebut dapat timbul bersamaan atau berurutan yang kronologisnya sangat bervariasi dari beberapa detik sampai beberapa jam. Pada dasarnya makin cepat reaksi timbul makin berat keadaan penderita. Gejala respirasi dapat dimulai berupa bersin, hidung tersumbat atau batuk saja yang kemudian segera diikuti dengan sesak napas. Gejala pada kulit merupakan gejala klinik yang paling sering ditemukan pada reaksi anafilaktik. Walaupun gejala ini tidak mematikan namun gejala ini amat penting untuk diperhatikan sebab ini mungkin merupakan gejala prodromal untuk timbulnya gejala yang lebih berat berupa gangguan nafas dan gangguan sirkulasi. Oleh karena itu setiap gejala kulit berupa gatal, kulit kemerahan harus diwaspadai untuk kemungkinan timbulnya gejala yang lebih berat. Manifestasi dari gangguan gastrointestinal berupa perut kram,mual,muntah sampai diare yang juga dapat merupakan gejala prodromal untuk timbulnya gejala gangguan nafas dan sirkulasi.[1] 



Kardiovaskuler. Hipotensi dan kolaps kardiovaskuler. Takikardi, aritmia, EKG mungkin memperlihatkan perubahan iskemik. Henti jantung.







Sistem Pernapasan. Edema glottis, lidah dan saluran napas dapat menyebabkan stridor atau obstruksi saluran napas. Bronkospasme – pada yang berat.







Gastrointestinal. Terdapat nyeri abdomen, diare atau muntah.







Hematologi. Koagulopati.







Kulit. Kemerahan, eritema, urtikaria.[5]



Gambar 3. Gejala yang ditimbulkan pada reaksi anafilaksis[6]



2. Pemeriksaan Fisis Pasien tampak sesak, frekuensi napas meningkat, sianosis karena edema laring dan bronkospasme. Hipotensi merupakan gejala yang menonjol pada syok anafilaktik. Adanya takikardia,edema periorbital, mata berair, hiperemis konjungtiva. Tanda prodromal pada kulit berupa urtikaria dan eritema.[1]



3. Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan laboratorium diperlukan karena sangat membantu menentukan diagnosis, memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan digunakan untuk memonitor hasil pengobatan serta mendeteksi komplikasi lanjut. Hitung eosinofil darah tepi dapat normal atau meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi.[1] Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen penyebab yaitu dengan uji cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (skin end-point titration/SET). Uji cukit paling sesuai karena mudah dilakukan dan dapat



ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak, meskipun uji intradermal (SET) akan lebih ideal.[1] Untuk membantu menegakkan diagnosis maka American Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah membuat suatu kriteria. 



Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit hingga beberapa jam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan salah satu dari respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).







Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit hingga beberapa jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit; respiratory compromise; penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan; dan gejala gastrointestinal yang persisten.







Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada alergen yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik). Pada bayi dan anak-anak, tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau penurunan darah sistolik lebih dari 30%. Sementara pada orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal.



Gambar 4. Kriteria diagnosis maka American Academy of Allergy, Asthma and Immunology 2012.[7] G. DIAGNOSIS BANDING[8] 1. Reaksi Vasovagal Reaksi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mendapat suntikan. Pasien tampak mau pingsan, pucat, dan berkeringat. Dibandingkan dengan reaksi



anafilaksis, pada reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun, tetapi masih mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti pada anafilaksis. 2. Infark Miokard Akut Pada infark miokard akut gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak, tetapi tidak tampak obstruksi saluran napas, maupun kelainan kulit. Pemeriksaan EKG dan enzimatik akan membantu diagnosis infark miokard. 3. Reaksi Hipoglikemik Reaksi hipoglikemik dapat disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau oleh sebab lain. Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat sampai tidak sadar. Tekanan darah kadang-kadang menurun, tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas atau kelainan kulit. Pemeriksaan kadar gula darah dan pemberian terapi glukosa menyokong diagnosis reaksi hipoglikemik. 4. Reaksi Histeris Pada reaksi histerik tidak dijumpai adanya tanda-tanda gagal napas, hipotensi atau sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan meskipun hanya sementara. Penilaian tanda-tanda vital dan status neurologik dengan cepat membedakan keadaan ini dengan reaksi anafilaktik. Sering juga pasien mengeluh parastesia. 5. Carsinoid syndrome Sindrom karsinoid menyerupai anafilaksis idiopatik. Sindrom ini ditandai dengan adanya gejala gastrointestinal, spasme bronkus, dan rasa panas sekitar kulit. Tetapi tidak dijumpai adanya urtikaria atau angioedema. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan serotonin darah meninggi serta kadar histamine dan 5 hidroksi indol asam asetat dalam urin meninggi. H. PENATALAKSANAAN[1] 1. Posisi trendeleburg atau berbaring dengan kedua tungkai diangkat (diganjal dengan kursi) akan membantu menaikkan venous return sehingga tekanan darah ikut meningkat.



2. Pemberian Oksigen 3–5 ltr/menit harus dilakukan, pada keadaan yang amat ekstrim tindakan trakeostomi atau krikotiroidektomi perlu dipertimbangkan. 3. Pemasangan infus, Cairan plasma expander (Dextran) merupakan pilihan utama guna dapat mengisi volume intravaskuler secepatnya. Jika cairan tersebut tak tersedia, Ringer Laktat atau NaCl fisiologis dapat dipakai sebagai cairan pengganti. Pemberian cairan infus sebaiknya dipertahankan sampai tekanan darah kembali optimal dan stabil. 4. Adrenalin 0,3 – 0,5 ml dari larutan 1 : 1000 diberikan secara intramuskuler yang dapat diulangi 5–10 menit. Dosis ulangan umumnya diperlukan, mengingat lama kerja adrenalin cukup singkat. Jika respon pemberian secara intramuskuler kurang efektif, dapat diberi secara intravenous setelah 0,1 – 0,2 ml adrenalin dilarutkan dalam spuit 10 ml dengan NaCl fisiologis, diberikan perlahan-lahan. Pemberian subkutan, sebaiknya dihindari pada syok anafilaktik karena efeknya lambat bahkan mungkin tidak ada akibat vasokonstriksi pada kulit, sehingga absorbsi obat tidak terjadi. 5. Aminofilin,



dapat



diberikan



dengan



sangat



hati-hati



apabila



bronkospasme belum hilang dengan pemberian adrenalin. 250 mg aminofilin diberikan perlahan-lahan selama 10 menit intravena. Dapat dilanjutkan 250 mg lagi melalui drips infus bila dianggap perlu. 6. Antihistamin dan kortikosteroid merupakan pilihan kedua setelah adrenalin. Kedua obat tersebut kurang manfaatnya pada tingkat syok anafilaktik, dapat diberikan setelah gejala klinik mulai membaik guna mencegah komplikasi selanjutnya berupa serum sickness atau prolonged effect. Antihistamin yang biasa digunakan adalah difenhidramin HCl 5 – 20 mg IV dan untuk golongan kortikosteroid dapat digunakan deksametason 5 – 10 mg IV atau hidrokortison 100 – 250 mg IV. 7. Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP), seandainya terjadi henti jantung (cardiac arrest) maka prosedur resusitasi kardiopulmoner segera harus dilakukan sesuai dengan falsafah ABC dan seterusnya. Mengingat



kemungkinan terjadinya henti jantung pada suatu syok anafilaktik selalu ada, maka sewajarnya ditiap ruang praktek seorang dokter tersedia selain obat-obat emergency, perangkat infus dan cairannya juga perangkat resusitasi (Resuscitation kit) untuk memudahkan tindakan secepatnya. 8. Algoritma Penatalaksanaan Reaksi Anafilaksis



I. PROGNOSIS[9] Prognosis suatu syok anafilaktik amat tergantung dari kecepatan diagnosa dan pengelolaannya karena itu umumnya adalah dubia ad bonam. Syok anafilaksis jarang terjadi tapi anafilaksis yang lebih ringan terjadi lebih sering. Sampai 500-1000 kasus syok anafilaksis per tahun diperkirakan terjadi di



Amerika Serikat. Perkiraan angka kematian berkisar antara 0,65-2% pasien anafilaksis. Reaksi terhadap makanan dianggap sebagai penyebab anafilaksis paling umum saat terjadi di luar rumah sakit. Reaksi berat terhadap penisilin terjadi dengan frekuensi 1-5 kasus per 10.000 pasien, dengan kematian dalam 1 kasus per 50.000-100.000 jiwa di Amerika Serikat. Anafilaksis pada media radiokontras konvensional (RCM) diperkirakan menyebabkan hingga 900 kematian pada tahun 1975, atau 0,009% pasien yang menerima RCM. Di Inggris, setengah episode syok anafilaksis berasal dari iatrogenik (misalnya anestesi, antibiotik, media radiokontras), sementara makanan dan sengatan serangga masing-masing mencapai seperempat dari episode fatal. Penyebab



kematian



yang



paling



umum



adalah



menurunnya



fungsi



kardiovaskular dan pernafasan. Satu laporan meneliti 214 kematian anafilaksis dimana kematian dapat diperkirakan pada 196, 98 di antaranya disebabkan oleh asfiksia (49 saluran udara bawah [bronkospasme], 26 saluran udara bagian atas dan bawah, dan 23 saluran napas bagian atas [angioedema]). Kematian akibat bronkospasme akut terjadi hampir secara eksklusif pada orang-orang dengan asma yang sudah ada sebelumnya.



J. PENCEGAHAN Pasien yang pernah mengalami reaksi anafilaksis mempunyai risiko untuk memperoleh reaksi yang sama bila terpajan oleh pencetus yang sama. Pasien kadang-kadang diberikan bekal suntikan adrenalin yang harus dibawa kemanapun pasien pergi. Hal ini terutama bila pencetus tersebut sering timbul tidak terduga seperti pada sengatan tawon atau anafilaksis idiopatik.[8] Pasien asma dan penyakit jantung bila mendapat serangan anafilaksis maka gejala akan jauh lebih berat. Pasien tidak dianjurkan menggunakan obatobat beta agonis karena bila terjadi reaksi anafilaksis pengobatannya akan sulit sehingga harus digunakan obat-obat subtitusi pengganti beta agonis.[8]



Beberapa tindakan pencegahan untuk menghindari reaksi anafilaksis dengan memberikan prednisone dan antihistamin sebelum memberikan media kontras pada pemeriksaan radiologi kepada pasien berisiko.[8] Pencegahan syok anafilaktik merupakan langkah terpenting dalam setiap pemberian obat, tetapi ternyata tidaklah mudah untuk dilaksanakan. Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan, antara lain:[10] 1. Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat. 2. Individu yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi terhadap banyak obat, mempunyai risiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok anafilaktik. 3. Penting menyadari bahwa tes kulit negatif, pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi anafilaktik. Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1 – 3% dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60% bila tes kulit positif. 4. Yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya reaksi anafilaktik atau anafilaktoid serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan. Mempertahankan suhu tubuh dipertahankan dengan memakaikan selimut pada penderita untuk mencegah kedinginan dan mencegah kehilangan panas. Jangan sekali-kali memanaskan tubuh penderita karena akan sangat berbahaya.



DAFTAR PUSTAKA



1. Mboi, N. 2014. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Menteri Kesehat Republik Indonesia, 332-7. 2. Fitria, C. N. 2010. Syok dan Penanganannya. Gaster, Jurnal Ilmu Kesehatan, 7(2), 593-604. 3. Tanto, Chris., et al. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ke – 4. Jakarta: Media Aesculapius. 4. Syamsul



H.Salam.



2016.



Syok



Anafilaksis.



Available



at:



http://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-content/uploads/2016/10/syokanafilaksis-2.pdf. Accessed on April 21, 2017. 5. Syamsul H.Salam. 2016. Penatalaksanaan Syok Anafilaksis. Available at: http://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-content/uploads/2016/10/syokanafilaksis-1.pdf. Accessed on April 21, 2017. 6. Anonym.



2009.



Anafilaksis



(Reaksi



Alergi



Akut).



Available



at:



http://medicastore.com/penyakit/150/Anafilaksis_reaksi_alergi_akut.html. Accessed on April 21, 2017. 7. Simons, F. E. R., Ardusso, L. R., Bilo, M. B., et al. 2012. 2012 Update: World Allergy Organization Guidelines for the assessment and management of anaphylaxis. Current opinion in allergy and clinical immunology, 12(4), 389399. 8. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I edisi IV. Jakarta: Interna Publishing. 9. Mustafa,



SS.



2017.



Anaphylaxis.



http://emedicine.medscape.com/article/135065-overview#a6. Accessed on April 22, 2017. 10. Departemen Kesehatan, R. I. (2007). Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas.



Diperoleh



dari



id/downloads/doen2008/puskesmas_2007.



http://www.



depkes.



go.