Teknik Sipil (Tinjauan Pustaka) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB II TINJAUAN PUSTAKA



1.1.



Tinjauan Pustaka Menurut UBC 1997, tujuan desain bangunan tahan gempa adalah untuk mencegah terjadinya kegagalan struktur dan kehilangan korban jiwa, dengan tiga kriteria standar sebagai berikut : a. Tidak terjadi kerusakan sama sekali pada gempa kecil. b. Ketika terjadi gempa sedang, diperbolehkan terjadi kerusakan arsitektural tetapi bukan merupakan kerusakan struktural. c. Diperbolekan terjadinya kerusakan struktural dan non-struktural pada gempa kuat, namun kerusakan yang terjadi tidak sampai menyebabkan bangunan runtuh. Menurut Applied Tecnology Council (ATC)-40, kriteria-kriteria struktur tahan gempa adalah sebagai berikut : 1. Immediate Occupancy (IO) Bila gempa terjadi, struktur mampu menahan gempa tersebut, struktur tidak mengalami kerusakan struktural dan tidak mengalami kerusakan non struktural. Sehingga dapat langsung dipakai. 1. Life Safety (LS) Struktur gedung harus mampu menahan gempa sedang tanpa kerusakan struktur, walaupun ada kerusakan pada elemen non-struktur. 2. Collapse Pervention (CP) Struktur harus mampu menahan gempa besar tanpa terjadi keruntuhan struktural walaupun struktur telah mengalami rusak berat, artinya kerusakan struktur boleh terjadi tetapi harus dihindari adanya korban jiwa manusia. Pada struktur stabil apabila dikenakan beban, struktur tersebut akan mengalami perubahan bentuk (deformasi) yang lebih kecil dibandingkan struktur yang tidak stabil. Hal ini disebabkan karena pada struktur yang stabil memiliki kekuatan dan kestabilan dalam menahan beban. (Daniel L. Schodeck 1999)



2.2. Dasar Teori 2.2.1. Analisis Dinamik Secara umum analisis struktur terhadap beban gempa dibagi menjadi dua macam, yaitu : 4



1. Analisis beban statik ekuivalen adalah suatu cara analisis struktur dimana pengaruh gempa pada struktur dianggap sebagai beban statik horizontal yang diperoleh dengan hanya memperhitungkan respon ragam getar yang pertama. Biasanya distribusi gaya geser tingkat ragam getar yang pertama ini disederhanakan sebagai segitiga terbalik. 2. Analisis dinamik adalah analisis struktur dimana pembagian gaya geser gempa di seluruh tingkat diperoleh dengan memperhitungkan pengaruh dinamis gerakan tanah terhadap struktur. Analisis dinamik terbagi menjadi 2, yaitu : a. Analisis ragam respon spektrum dimana total respon didapat melalui superposisi dari respon masing-masing ragam getar. b. Analisis riwayat waktu adalah analisis dinamis dimana pada model struktur diberikan suatu catatan rekaman gempa dan respon struktur dihitung langkah demi langkah pada interval tertentu. Analisis dinamik untuk perancangan struktur tahan gempa dilakukan jika diperlukan evaluasi yang lebih akurat dari gaya-gaya gempa yang bekerja pada struktur, serta untuk mengetahui perilaku dari struktur akibat pengaruh gempa. Analisis dinamik dapat dilakukan dengan cara elastis maupun inelastis. Pada cara elastis dibedakan Analisis Ragam Riwayat Waktu (Time History Modal Analysis), dimana pada cara ini diperlukan rekaman percepatan gempa dan Analisis Ragam Spektrum Respon (Respons spectrum Modal Analysis), dimana pada cara ini respon maksimum dari tiap ragam getar yang terjadi didapat dari Spektrum Respon Rencana (Design Spectra). Pada analisis dinamis elastis digunakan untuk mendapatkan respon struktur akibat pengaruh gempa yang sangat kuat dengan cara integrasi langsung (Direct Integration Method). Analisis dinamik elastis lebih sering digunakan karena sederhana. Untuk struktur gedung yang tidak beraturan yang tidak memenuhi struktur gedung beraturan, pengaruh gempa rencana terhadap struktur gedung tersebut harus ditentukan melalui analisis respon dinamik 3 dimensi. Untuk mencegah terjadinya respon struktur gedung terhadap pembebanan gempa yang dominan dalam rotasi dari hasil analisis vibrasi bebas 3 dimensi, paling tidak gerak ragam pertama (fundamental) harus dominan dalam translasi. (SNI 03-1726-2002) Analisis dinamik adalah untuk menentukan pembagian gaya geser tingkat akibat gerakan tanah oleh gempa dan dapat dilakukan dengan cara analisis ragam 5



spektrum respon. Pembagian gaya geser tingkat tersebut adalah untuk menggantikan pembagian beban geser dasar akibat gempa sepanjang tinggi gedung pada analisis beban statik ekuivalen. Pada analisis ragam spektrum respon, sebagai spektrum percepatan respon gempa rencana harus dipakai diagram koefisien gambar dasar (C) untuk wilayah masing-masing gempa gempa. Nilai C tersebut tidak berdimensi sehingga respon masing-masing ragam merupakan respon relatif. Untuk struktur gedung tidak beraturan yang memiliki waktu-waktu getar alami yang berdekatan harus dilakukan dengan metoda yang dikenal dengan Kombinasi Kuadratik Lengkap (Complete Quadratic Combination atau CQC). Waktu geser alami harus dianggap berdekatan, apabila selisih nilainya kurang dari 15%. Untuk struktur gedung tidak beraturan yang memiliki waktu getar alami yang berjauhan, penjumlahan respon ragam tersebut dapat dilakukan dengan metoda yang dikenal dengan Akar Jumlah Kuadrat (Square Root of the Sum of Square atau SRSS). (SNI 03-1726-2002) Perbedaaan antara Beban Statik dan Dinamik (Widodo 2000) Pada ilmu statika keseimbangan gaya-gaya didasarkan atas kondisi statik, artinya gaya-gaya tersebut tetap intensitasnya, tetap tempatnya dan tetap arah / garis kerjanya. Gaya-gaya tersebut dikategorikan sebagai beban statik. Kondisi seperti ini akan berbeda dengan beban dinamik dengan pokok-pokok perbedaan sebagai berikut ini : a. Beban dinamik adalah beban yang berubah-ubah menurut waktu (time varying) sehingga beban dinamik merupakan fungsi dari waktu. b. Beban dinamik umumnya hanya bekerja pada rentang waktu tertentu. Untuk gempa bumi maka rentang waktu tersebut kadang-kadang hanya beberapa detik saja. Walaupun hanya beberapa detik saja namun beban angin dan beban gempa misalnya dapat merusakkan struktur dengan kerugian yang sangat besar. c. Beban dinamik dapat menyebabkan timbulnya gaya inersia pada pusat massa yang arahnya berlawanan dengan arah gerakan. d. Beban dinamik lebih kompleks dibanding dengan beban statik, baik dari bentuk fungsi bebannya maupun akibat yang ditimbulkan. Asumsi-asumsi kadang perlu diambil untuk mengatasi ketidakpastian yang mungkin ada pada beban dinamik. e. Karena beban dinamik berubah-ubah intensitasnya menurut waktu, maka pengaruhnya terhadap struktur juga berubah-ubah menurut waktu. Oleh karena itu penyelesain problem dinamik harus dilakukan secaara berulang-ulang 6



bersifat penyelesaian tunggal (single solution), maka penyelesaian problem dinamik bersifat penyelesaian berulang-ulang (multiple solution). f. Sebagai akibat penyelesaian yang berulang-ulang maka penyelesaian struktur dengan beban dinamik akan lebih mahal dan lebih lama.



Gambar 2.1. Diagram Beban (p) – Waktu (t)



Beban dinamik menimbulkan respon yang berubah-ubah menurut waktu, maka struktur yang bersangkutan akan ikut bergerak atau ada gerakan. Dalam hal ini bahan akan melakukan resistensi terhadap gerakan dan pada umumnya dikatakan bahan yang bersangkutan mempunyai kemampuan untuk meredam getaran. Dengan demikian pada pembebanan dinamik, akan terdapat peristiwa redaman yang hal ini tidak ada pada pembebanan ststik. Menurut Tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk bangunan gedung SNI 031726-2002, Struktur gedung ditetapkan sebagai struktur gedung beraturan, apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut : 1. Tinggi struktur gedung diukur dari taraf penjepitan lateral tidak lebih dari 10 tingkat atau 40 m. 2. Denah struktur adalah persegi panjang tanpa tonjolan dan kalaupun mempunyai tonjolan, panjang tonjolan tersebut tidak lebih dari 25% dari ukuran terbesar denah struktur gedung dalam aarah tonjolan tersebut. 3. Denah struktur gedung tidak menunjukkan coakan sudut dan kalaupun mempunyai coakan sudut, panjang sisi coakan tersebut tidak lebih dari 15% dari ukuran terbesar denah struktur gedung dalam arah sisi coakan tersebut.



7



4. Sistem struktur gedung terbentuk oleh subsistem-subsistem penahan beban lateral yang arahnya saling tegak lurus dan sejajar dengan sumbu-sumbu utama orthogonal denah struktur gedung secar keseluruhan. 5. Sistem struktur gedung tidak menunjukkan loncatan bidang muka dan kalaupun mempunyai loncatan bidang muka, ukuran dari denah struktur bagian gedung yang menjulang dalam masing-masing arah, tidak kurang dari 75% dari ukuran terbesar denah struktur bagian gedung sebelah bawahnya. Dalam hal ini, struktur rumah atap yang tingginnya tidak lebih dari 2 tingkat tidak perlu dianggap menyebabkan adanya loncatan bidang muka. 6. Sistem struktur gedung memiliki kekakuan lateral yang beraturan, tanpa adanya tingkat lunak. Yang dimaksud dengan tingkat lunak adalah suatu tingkat, dimana kekakuan lateralnya adalah kurang dari 70% kekakuan lateral tingkat di atasnya atau kurang dari 80% kekakuan lateral rata-rata 3 tingkat di atasnya. Dalam hal ini, yang dimaksud kekakuan lateral suatu tingkat adalah gaya geser yang bila bekerja di tingkat itu menyebabkan satu satuan simpangan antar-tingkat. 7. Sistem struktur gedung memiliki berat lantai tingkat yang beraturan, artimya setiap lantai tingkat memiliki berat yang tidak lebih dari 150% dari berat lantai tingkat di atasnya atau di bawahnya. Berat atap atau rumah atap tidak perlu memenuhi ketentuan ini. 8. Sistem struktur gedung memiliki unsur-unsur vertikal dari sistem penahan beban lateral yang menerus, tanpa perpindahan titik beratnya, kecuali bila perpindahan tersebut tidak lebih dari setengah ukuran unsur dalam arah perpindahan tersebut. 9. Sistem struktur gedung memiliki lantai tingkat yang menerus, tanpa lubang atau bukaan yang luasnya lebih dari 50% luas seluruh lantai tingkat. Kalaupun ada lantai tingkat dengan lubang atau bukaan seperti itu, jumlahnya tidak boleh melebihi 20% dari jumlah lantai tingkat seluruhnya. Untuk struktur gedung beraturan, pengaruh Gempa Rencana dapat ditinjau sebagai pengaruh beban gempa statik ekuivalen, sehingga menurut standar ini analisisnya dapat dilakuakan berdasarkan analisis statik ekuivalen. Struktur gedung yang tidak memenuhi ketentuan diatas, ditetapkan sebagai struktur gedung tidak beraturan. Untuk struktur gedung tidak beraturan, pengaruh Gempa Rencana harus ditinjau sebagai pengaruh pembebanan gempa dinamik, sehingga analisisnya harus dilakukan berdasarkan analisis respon spektrum.



8



2.2.2. Konsep Perencanaan Gedung Tahan Gempa Struktur tahan gempa adalah struktur yang tahan (tidak rusak dan runtuh) apabila terlanda gempa, bukan struktur yang semata-mata (dalam perencanaan) sudah diperhitungkan dengan beban gempa. (Tjokrodimulyo, 2007) Dalam perncanaan bangunan tahan gempa struktur yang didesain harus memenuhi kriteria sebagai berikut : a. Di bawah gempa ringan (gempa dengan periode ulang 50 tahun dengan probabilitas 60% dalam kurun waktu umur gedung) struktur harus dapat berespon elastik tanpa mengalami kerusakan baik pada elemen struktural (balok, kolom, pelat dan pondasi struktur) dan elemen non structural (dinding bata, plafond dan lain lain). b. Di bawah gempa sedang (gempa dengan perioda ulang 50-100 tahun) struktur bangunan boleh mengalami kerusakan ringan pada lokasi yang mudah diperbaiki yaitu pada ujung-ujung balok di muka kolom, yang diistilahkan sendi plastis, struktur pada tahap ini disebut tahap First Yield yang merupakan parameter penting karena merupakan batas antara kondisi elastisk (tidak rusak) dan kondisi plastik (rusak) tetapi tidak roboh atau disingkat sebagai kondisi batas antara beban gempa ringan dan gempa kuat. c. Di bawah gempa kuat (gempa dengan periode ulang 200-500 tahun dengan probabilitas 20%-10% dalam kurun waktu umur gedung) resiko kerusakan harus dapat diterima tapi tanpa keruntuhan struktur. Jadi, kerusakan struktur pada saat gempa kuat terjadi harus didesain pada tempat-tempat tertentu sehingga mudah diperbaiki setelah gempa kuat terjadi. 2.2.3. Prinsip dan Kaidah Perancangan 2.2.3.1. Prinsip Dasar Kaidah



Perencanaan,



Perancangan



dan



Pelaksanaan Prinsip-prinsip dasar perlu diperhatikan dalam perencanaan, perancangan dan pelaksanaan struktur bangunan beton bertulang tahan tahan gempa yaitu : 1. Sistem struktur yang digunakan haruslah sesuai dengan tingkat kerawanan daerah dimana struktur bangunan tersebut berada terhadap gempa. 2. Aspek kontinuitasdan integritas struktur bangunan perlu diperhatiakn. Dalam pendetailan penulangan dan sambungan-sambungan, unsur-unsur struktur bangunan harus terikat secara efektif menjadi satu kesatuan untuk meningkatkan struktur secara menyeluruh. 9



3. Konsistensi sistem struktur yang diasumsikan dalam desain dengan sistem struktur yang dilaksanakan harus terjaga. 4. Materi beton yang digunakan haruslah memiliki daya tahan tinggi di lingkunagannya. 5. Unsur-unsur arsitektural yang memiliki masa yang besar harus terikat dengan kuat pada sistem portal utama dan harus diperhitungkan pengaruhnya terhadap sistem struktur. 6. Metode pelaksanaan sistem quality control dan quality assurance dalam tahapan konstruksi harus dilaksanakan dengan baik dan harus sesuai dengan kaidah yang berlaku. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa besarnya gaya gempa yang diterima struktur bangunan pada dasarnya dipengaruhi oleh karakteristik gempa yang terjadi, karakterstik tanah dimana bangunan berada dan karakteristik struktur bangunan, massa bangunan, beban gravitasi yang bekerja, kekakuan dan lain-lain. 2.2.3.2. Sistem Struktur Ada 4 jenis sistem struktur dasar yang ditetapkan dalam peraturan perencanaan gempa Indonesia (SNI 03-1726-2002), yaitu : 1. Sistem dinding penumpu, yaitu sistem struktur yang tidak memiliki rangka ruang pemikul beban gravitasi secara lengkap. Dinding penumpu atau sistem bresing memikul hampir semua beban gravitasi. Beban lateral dipikul dinding geser atau rangka bresing. 2. Sistem rangka gedung, yaitu sistem struktur yang pada dasarnya memiliki rangka ruang pemikul beban gravitasi secara lengkap. Beban lateral dipikul dinding geser atau rangka bresing. 3. Sistem rangka rangka pemikul momen, yaitu sistem struktur yang pada dasarnya memiliki rangka ruang pemikul beban gravitasi secara lengkap. Beban lateral dipikul rangka pemikul momen terutama melalui mekanisme lentur. 4. Sistem ganda, yaitu sistem yang terdiri dari rangka ruang yang memikul seluruh beban gravitasi, pemikul beban lateral berupa dinding geser atau rangka bresing dengan rangka pemikul momen. Rangka pemikul momen harus direncakan secara terpisah mampu memikul sekurang-kurangnya 25% dari seluruh beban lateral, dan kedua sistem



10



harus direncanakan untuk memikul secara bersama-sama seluruh beban lateral dengan memperhatikan interaksi sistem ganda. Selain 4 sistem struktur dasar tersebut, dalam SNI 03-1726-2002 juga mengenalkan 3 sistem struktur lain, yaitu sistem struktur gedung kolom kantilever (sistem struktur yang memanfaatkan kolom kantilever untuk memilkul beban lateral), sistem interaksi dinding geser dengan rangka, dan subsistem tunggal (subsistem struktur bidang yang membentuk struktur gedung secara keseluruhan). 2.2.3.3. Jenis Beban Beban yang akan ditanggung oleh suatu struktur atau elemen struktur tidak selalu dapat diramalkan sebelumnya. Meski beban-beban tersebut telah diketahui dengan baik pada salah satu lokasi struktur tertentu, distribusi dari elemen yang satu ke elemen yang lain pada keseluruhan struktur masih membutuhkan asumsi dan pendekatan. Jenis beban yang biasa digunakan dalam bangunan gedung meliputi : a. Beban Lateral, yang terdiri atas : 1. Beban Gempa Besarnya simpanagn horisontal (drift) bergantung pada kemampuan struktur dalam menahan gaya gempa yang terjadi. Apabila bangunan memiliki kekakuan yang besar untuk melawan gaya gempa maka bangunan akan mengalami simpangan horizontal yang lebih kecil dibandingkan dengan bangunan yang tidak memiliki kekakuan yang cukup besar. Berdasarkan SNI 03-1729-2002 pasal 15.11.2.3, untuk mensimulasikan arah pengaruh gempa rencana yang sembarang terhadap struktur bangunan baja, pengaruh pembebanan gempa dalam arah utama harus dianggap efektif 100% dan harus dianggap terjadi bersamaan dengan pengaruh gempa dalam arah tegak lurus pada arah utama tetapi efektifitasnya hanya sebesar minimal 30% tapi tidak lebih dari 70%. 2. Beban Angin Beban angin pada sruktur terjadi karena adanya gesekan udara dengan permukaan bangunan dan perbedaan tekanan dibagian depan dan belakang bangunan. Pada daerah tertentu tekanan angin yang besar dapat merubuhkan bangunan. Menurut Daniel L. Schodek (1999), besarnya tekanan yang diakibatkan angin pada suatu titik akan 11



tergantung kecepatan angin, rapat massa udara, lokasi yang ditinjau pada bangunan, perilaku permukaan bangunan, bentuk geometris bangunan dan dimensi bangunan. b. Beban Gravitasi, yang terdiri atas : 1. Beban Hidup Beban hidup adalah semua beban yang terjadi akibat penghunian atau penggunaan suatu bangunan dan kedalamnya termasuk bebanbeban pada lantai yang berasal dari barang-barang yang dapat berpindah, mesin-mesin serta peralatan yang tidak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bangunan dan dapat diganti selama masa hidup



gedung



tersebut,



sehingga



mengakibatkan



perubahan



pembebanan pada lantai dan atap. Besarnya beban hidup pada suatu bangunan dapat berubah-ubah, tergantung pada fungsi bangunan tersebut seperti terlihat pada tabel 2.1. Beban hidup dapat menimbulkan lendutan pada struktur, sehingga harus dipertimbangkan menurut peraturan yang berlaku agar struktur tetap aman. Menurut Schueller (1998), beban yang disebabkan oleh isi benda-benda di dalam atau di atas suatu bangunan disebut beban penghunian (occupancy load). Beban ini mencakup beban peluang untuk berat manusia, perabot partisi yang dapat dipindahkan, lemari besi, buku, lemari arsip, perlengkapan mekanis dan sebagainya. Pada suatu bangunan bertingkat, kemungkinan semua lantai tingkat akan dibebani secara penuh oleh beban hidup adalah kecil, demikian juga kecil kemungkinannya suatu struktur bangunan menahan beban maksimum akibat pengaruh angin atau gempa yang bekerja secara bersamaan. Desain bangunan dengan meninjau beban-beban maksimum yang mungkin bekerja secara bersamaan tidak ekonomis sehingga pedoman-pedoman pembebanan mengizinkan untuk melakukan reduksi terhadap beban hidup yang dipakai. Reduksi beban dapat dilakukan dengan mengalikan beban hidup dengan suatu koefisien reduksi yang nilainya tergantung pada fungsi bangunan.



12



Tabel 2.1 Beban Hidup Pada Lantai Gedung No



Lantai gedung



Beba



Satuan



n 1 2



3 4 5 6



7 8 9 10 11



12



13



Lantai dan tangga rumah tinggal, kecuali yang disebut dalam no. 2 Lantai tangga rumah tinggal sederhana dan gudang-gudang tidak penting yang bukan untuk took, pabrik atau bengkel. Lantai sekolah, ruang kuliah, kantor, took, toserba, restoran, hotel, asrama, dan rumah sakit. Lantai ruang olah raga. Lantai dansa Lantai dan balkon dalam dari ruang-ruang untuk pertemuan yang lain dari yang disebut dalam no. 1 s/d 5, seperti masjid, gereja, ruang pagelaran, ruang rapat, bioskop, dan panggung penonton dengan tempat duduk tetap. Panggung penonton dengan tempat duduk tidak tetap atau untuk penonton berdiri. Tangga, bordes tangga dan gang dari yang disebut dalam no.3 Tangga, bordes tangga dan gang dari yang disebut dalam no. 4,5,6 dan 7 Lantai ruang pelengkap dari yang disebut dalam no. 3,4,5,6 dan 7 Lantai untuk pabrik, bengkel, gudang, perpustakaan, ruang arsip, took buku, took besi, ruang alat-alat dan ruang mesin harus direncanakan terhadap beban hidup yang ditentukan tersendiri dengan minimum. Lantai gedung parkir bertingkat :  Untuk lantai bawah  Untuk lantai tingkat lainnya



200



Kg/m2



125



Kg/m2



250



Kg/m2



400 500 400



Kg/m2 Kg/m2 Kg/m2



500



Kg/m2



300



Kg/m2



500



Kg/m2



250



Kg/m2



400



Kg/m2



800 400 300



Kg/m2 Kg/m2 Kg/m2



Balkon-balkon yang menjorok bebas keluar harus direncanakan terhadap beban hidup dari lantai yang berbatasan dengan minimum Sumber : Peraturan Pembebanan Indonesia untuk bangunan gedung (Standar Nasional Indonesia 1983 hal. 11) 2. Beban Mati Beban mati adalah berat dari semua bagian bangunan yang bersifat tetap. Menurut Salmon (1992), beban mati merupakan beban gaya berat pada suatu posisi tertentu. Disebut demikian karena ia bekerja terus menerus menuju arah bumi pada saat bangunan telah 13



berfungsi. Beban mati terdiri dari dua jenis, yaitu berat bangunan itu sendiri dan superimpossed deadload (SiDL). Beban Superimpossed adalah beban mati tambahan yang diletakkan pada bangunan, dimana dapat berupa lantai (ubin/keramik), peralatan mekanikal elektrikal, langit-langit, dan sebagainya. Perhitungan besarnya beban mati suatu elemen dilakukan dengan meninjau berat satuan material tersebut berdasarkan volume elemen. Berat satuan (unit weight) material secara empiris dapat dilihat pada tabel 2.2 dan 2.3. Tabel 2.2 Berat Sendiri Bahan Bangunan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20



Bahan bangunan



Beba



Satuan



n Baja 7850 Kg/m3 Batu alam 2600 Kg/m3 Batu belah 1500 Kg/m3 Batu karang (berat tumpuk) 700 Kg/m3 Batu pecah 1450 Kg/m3 Besi tuang 7250 Kg/m3 1 Beton ( ) 2200 Kg/m3 Beton bertulang (2) 2400 Kg/m3 3 Kayu (kelas 1) ( ) 1000 Kg/m3 Kerikil, koral (kering udara sampai lembab, tanpa 1650 Kg/m3 diayak) Pasangan bata merah 1700 Kg/m3 Pasangan batu belah, batu bulat, batu gunung 2200 Kg/m3 Pasangan batu cetak 2200 Kg/m3 Pasanagn batu karang 1450 Kg/m3 Pasir (kering udara sampai lembab) 1600 Kg/m3 Pasir (jenuh air) 1800 Kg/m3 Pasir kerikil, koral (kering udara sampai lembab) 1850 Kg/m3 Tanah, lempung dan lanau (kering udara sampai 1700 Kg/m3 lembab) Tanah, lempung dan lanau (basah) 2000 Kg/m3 Timah hitam (timbel) 1140 Kg/m3 Sumber : Peraturan Pembebanan Indonesia untuk bangunan gedung (Standar Nasional Indonesia 1983) Tabel 2.3 Berat Sendiri Komponen Gedung



No



Komponen Gedung



Beba



Satuan



n 1



2



Adukan, per cm tebal :  Dari semen  Dari kapur, semen merah atau tras Aspal, termasuk bahan-bahan mineral penambah,



21 17 14



Kg/m2 Kg/m2 Kg/m2 14



3



4



5



6



7 8 9 10 11 12



per cm tebal Dinding pasangan bata merah : 450  Satu bata Kg/m2 250 Kg/m2  Setengah bata Dinding pasangan batako : 1. Berlubang : 200 Kg/m2  Tebal dinding 20 cm (HB 20) 120 Kg/m2  Tebal dinding 10 cm (HB 10) 2. Tanpa lubang : 300 Kg/m2  Tebal dinding 15 cm 200 Kg/m2  Tebal dinding 10 cm Langit-langit dan dinding (termasuk rusukrusuknya, tanpa penggantung langit-langit atau pengaku), terpadu dari :  Semen asbes (eternity dan bahan lain sejenis), 11 Kg/m2 dengan tebal maksimum 4mm 10 Kg/m2  Kaca, dengan tebal 3-4 mm Penggantung langit-langit (dari kayu), dengan 40 bentang maksimum 5m dan jarak s.k.s minimum 0,8 Kg/m2 m Penutup atap genting dengan reng dan usuk / kaso 50 Kg/m2 per m2 bidang atap Penutup atap sirap dengan reng dan usuk / kaso per 40 Kg/m2 m2 bidang atap Penutup atap seng gelombang (BWG 24) tanpa 10 Kg/m2 gording Penutup lantai dari ubin semen Portland, teraso dan 21 Kg/m2 beton, tanpa adukan, per cm tebal Semen asbes gelombang ( tebal 5mm) 11 Kg/m2 Ducting AC dan penerangan 30,6 Kg/m2 Sumber : Peraturan Pembebanan Indonesia untuk bangunan gedung (Standar Nasional Indonesia 1983)



2.2.3.4. Kombinasi Pembebanan Kombinasi beban yang dipakai dalam penelitian ini mengacu pada SNI 2847-2013 pasal 9.2.1 yaitu : a. U = 1,4D b. U = 1,2D + 1,6L + 0,5(Lr atau R) c. U = 1,2D + 1,6(Lr atau R) + (1,0L atau 0,5W) d. U = 1,2D + 1,0W + 1,0L + 0,5(Lr atau R) e. U = 1,2D + 1,0E + 1,0L f. U = 0,9D +1,0W g. U = 0,9D + 1,0E Kecuali sebagai berikut : (a) Factor beban pada beban hidup L dalam Pers. (c) sampai (e) diizinkan direduksi sampai 0,5 kecuali untuk garasi, luasan yang ditempati 15



sebagai tempat perkumpulan publik, dan semua luasan dimana L lebih besar dari 4,8 KN/m2. (b) Bila W didasarkan pada beban angin tingkat layan, 1,6W harus digunakan sebagai pengganti dari 1,0W dalam pers. (d) dan (f), dan 0,8W harus digunakan sebagai pengganti dari 0,5W dalam pers. (c). (c) Dihilangkan karena tidak relevan, lihat Daftar Deviasi. 2.2.3.5. Defleksi Lateral Menurut Mc. Cormac (1981) simpangan struktur dapat dinyatakan dalam bentuk Drift Indeks. Seperti pada Gambar. 2.2



Gambar 2.2. Defleksi Lateral Sumber : Mc.Cormac (1981) Drift Indeks dihitung dengan menggunakan Persamaan 2 : Drift Indeks = �/�



(2.1)



Dimana : Δ = Besar defleksi maksimum yang terjadi (m) H = Ketinggian struktur portal (m)



Besarnya drift Indeks tergantung pada besarnya beban-beban yang dikenakan pada bangunan. Berdasarkan AISC 2005, besarnya drift indeks berkisar antara 0,01 sampai dengan 0,0016. Kebanyakan, besar nilai drift indeks yang digunakan antara 0,0025 sampai 0,002.



2.2.4. Ketentuan Umum Bangunan Gedung Dalam Pengaruh Gempa 2.2.4.1. Faktor Keutamaan Untuk berbagai kategori gedung seperti terlihat pada tabel 2.4 bergantung pada probabilitas terjadinya keruntuhan bangunan gedung selama umur gedung yang diharapkan. Pengaruh gempa rencana terhadap bangunan gedung harus dikalikan dengan suatu faktor keutamaan (I). Faktor keutamaan (I) bangunan tergantung kategori bangunan itu sendiri seperti terlihat pada tabel 2.5.



16



Tabel 2.4. Kategori Resiko Bangunan Gedung dan Struktur Lainnya untuk Beban Gempa No



1



2



3



Jenis Pemanfaatan Gedung dan struktur lainnya yang memiliki resiko rendah terhadap jiwa manusia pada saat terjadi kegagalan, termasuk tidak dibatasi untuk: 1. Fasilitas pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan 2. Fasilitas sementara 3. Gedung penyimpanan 4. Rumah jaga dan struktur kecil lainnya Semua gedung dan struktur lain, kecuali yang termasuk dalam kategori resiko I, III, IV, termasuk, tapi tidak dibatasi untuk : 1. Perumahan 2. Rumah toko dan rumah kantor 3. Pasar 4. Gedung perkantoran 5. Gedung apartemen/rumah susun 6. Pusat perbelanjaan/mall 7. Bangunan industri 8. Fasilitas manufaktur 9. Pabrik  Gedung dan non gedung yang memiliki resiko tinggi terhadap jiwa manusia pada saat terjadi kegagalan, termasuk tapi tidak dibatasi untuk: 1. Bioskop. 2. Gedung pertemuan. 3. Stadion. 4. Fasilitas kesehatan yang tak memiliki unit bedah & unit gawat darurat. 5. Fasilitas penitipan anak. 6. Penjara. 7. Bangunan untuk orang jompo.  Gedung dan non gedung tidak termasuk dalam kategori resiko IV, yang memiliki potensi untuk menyebabkan dampak ekonomi yang besar dan/atau gangguan massal terhadap kehidupan masyarakat sehari-hari bila terjadi kegagalan, termasuk tetapi tidak dibatasi untuk: 1. Pusat pembangkit listrik biasa. 2. Fasilitas penanganan air. 3. Fasilitas penanganan limbah. 4. Pusat telekomunikasi  Gedung dan non gedung yang tidak termasuk kedalam kategori resiko IV, (termasuk tetapi tidak



Kategori resiko



I



II



III



17



dibatasi untuk fasilitas manufaktur, proses penanganan penyimpanan, penggunaan atau tempat penyimpanan bahan bakar berbahaya, bahan kimia berbahaya, limbah berbahaya, atau bahan yang mudah meledak), yang mengandung bahan beracun atau peledak dimana jumlah kandungan bahannya melebihi nilai batas yang disyaratkan oleh instansi yang berwenang dan cukup menimbulkan bahaya bagi masyarakat jika terjadi kebocoran  Gedung dan non gedung yang ditunjukan sebagai fasilitas yang penting, tetapi tidak dibatasi untuk: 1. Bangunan-bangunan monumental. 2. Gedung sekolah dan fasilitas pendidikan. 3. Rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya yang memiliki fasilitas bedah dan unit gawat darurat. 4. Fasilitas pemadam kebakaran, ambulans dan kantor polisi serta garasi kendaraan darurat. 5. Tempat perlindungan terhadap gempa bumi, angin badai dan tempat perlindungan darurat lainnya. 6. Fasilitas kesiapan darurat, komunikasi, pusat 4 operasi dan fasilitas lainnya untuk tanggap darurat. 7. Pusat pembangkit energi dan fasilitas publik lainnya yang dibutuhkan pada saat keadaan darurat. 8. Struktur tambahan (termasuk menara telekomunikasi, tangki penyimpan bahan bakar, menara pendingin, struktur stasiun listrik, tangki air pemadam kebakaran atau struktur rumah atau struktur pendukung air atau material atau peralatan pemadam kebakaran) yang diisyaratkan untuk beroperasi pada saat keadaan darurat.  Gedung dan non gedung yang dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi struktur bangunan lain yang masuk ke dalam kategori resiko IV Sumber : SNI 03-1726-2012 Pasal 4.1.2.



IV



Tabel 2.5. Faktor Keutamaan I untuk Berbagai Kategori Gedung & Bangunan No 1 2 3



Kategori Resiko Bangunan I atau II III IV Sumber : SNI 03-1726-2012 Pasal 4.1.2.



Ie 1,00 1,25 1,50



2.2.4.2. Faktor Reduksi Maksimum



18



Faktor reduksi (Rm) adalah nilai faktor reduksi gempa yang maksimum dapat dikerahkan oleh bangunan gedung tersebut dan yang nilainya ditetapkan SNI untuk berbagai sistem struktur bangunan seperti pada tabel 2.6 dibawah ini. Tabel 2.6. Klasifikasi Sistem Struktur, Sistem Pemikul Beban Gempa, R, Ω 0, Cd



No



Sistem Penahan Gaya Seismik



Koefisien Modifikas i Respon (R)



Faktor Kuat Lebih System (Ω₀ᶢ)



Faktor besaran Defleks i (Cd b)



Sistem Rangka Penahan Momen 1 Rangka momen baja khusus 8 3 5,5 2 Rangka momen rangka batang baja 7 3 5,5 khusus 3 Rangka momen baja menengah 4,5 3 4 4 Rangka momen baja biasa 3,5 3 3 5 Rangka momen beton bertulang khusus 8 3 5,5 6 Rangka momen beton bertulang 5 3 4,5 menengah 7 Rangka momen beton bertulang biasa 3 3 2,5 8 Rangka momen baja dan beton 8 3 5,5 komposit khusus 9 Rangka momen komposit menengah 5 3 4,5 10 Rangka momen terkekang posisi 6 3 5,5 komposit 11 Rangka momen komposit biasa 3 3 2,5 0 12 Rangka momen Cold Form khusus 3,5 3 3,5 dengan baut Sumber : SNI 03-1726-2012 Pasal 7.2.2 2.2.4.3. Wilayah Gempa Didalam peta hazard gempa Indonesia 2010 terdapat peta percepatan puncak (PGA) dan respon spektra percepatan di batuan dasar (S B) untuk perioda pendek 0.2 detik (Ss) dan untuk periode 1.0 detik (S 1) dengan redaman 5% mewakili tiga level hazard gempa yaitu 500, 1000 dan 2500 tahun atau memiliki kemungkinan terlampaui 10% dalam 50 tahun, 10% dalam 100 tahun, dan 2% dalam 50 tahun. Definisi batuan dasar SB adalah lapisan batuan di bawah permukaan tanah



19



yang memiliki kecepatan rambat gelombang geser (Vs) mencapai 750 m/detik dan tidak ada lapisan batuan lain di bawahnya yang memiliki nilai kecepatan rambat gelombang geser yang kurang dari itu.



Gambar 2.1 Peta respon spektra percepatan 0,2 detik (Ss) Sumber : Kementerian Pekerjaan Umum (2010) Gambar 2.2 Peta respon spektra percepatan 1,0 detik (S1)



Sumber : Kementerian Pekerjaan Umum (2010) 2.2.4.4. Jenis Tanah Setempat Perambatan gelombang Percepatan Puncak Efektif Batuan Dasar (PPEBD) melalui lapisan tanah di bawah bangunan diketahui dapat memperbesar gempa rencana di muka tanah tergantung pada jenis lapisan tanah. Pengaruh gempa rencana di muka tanah harus ditentukan dari hasil analisis perambatan gelombang gempa dari kedalaman batuan dasar ke muka tanah dengan menggunakan gerakan gempa masukan dengan percepatan puncak untuk batuan dasar (SNI 03-1726-2002). SNI 03-1726-2012 menetapkan jenis-jenis tanah di Indonesia menjadi 4 kategori, yaitu Tanah Keras, Tanah Sedang, Tanah Lunak, dan Tanah 20



Khusus yang identik dengan Jenis Tanah versi UBC berturut-turut S C, SD, SE, dan SF. Jenis tanah ditetapkan sebagai tanah keras, tanah sedang dan tanah lunak apabila untuk lapisan setebal maksimum 30 m paling atas dipenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam Tabel 2.6 dibawah ini. Tabel 2.6. Klasifikasi Tanah Kelas Situs



SA (Batuan Keras) SB (Batuan) SC (Tanah keras, sangat padat dan batuan lunak) SD (Tanah sedang SE (Tanah lunak)



Sifat tanah rata-rata untuk 30 m teratas Kecepatan hasil uji Kuat geser tak rambat penetrasi terdrainase gelombang standar (m/s) > 1500 Diasumsikan tidak ada di 750 - 1500 Indonesia 350 - 750 > 50 ≥ 100



175 - 350



15 - 50



50 - 100



< 175



< 15



< 50



atau setiap profil tanah yang mengandung lebih dari 3 m tanah dengan karakteristik sebagai berikut : 1. Indeks Plastisitas, PI > 20, 2. Kadar Air, w ≥ 40 %, 3. Kuat geser niralir, Sᵤ < 25 KPa. SF (Tanah Setiap profil lapisan tanah yang memiliki salah satu khusus yang atau lebih dari karakteristik seperti : membutuhka 1. Rawan dan berpotensi gagal terhadap beban gempa seperti mudah likuifaksi, tanah lempung sangat n investigasi sensitif, tanah tersementasi lemah. geoteknik dan 2. Lempung organik tinggi dan/atau gambut (dengan analisis ketebalan > 3 m). respons 3. Lempung berplastisitas sangat tinggi (ketebalan H > spesifik) 7,5 m dengan PI > 75). 4. Lapisan Lempung lunak/setengah teguh dengan ketebalan H > 35 m dengan SU < 50 KPa. Sumber : SNI 03-1726-2012 Pasal 5.3. 2.2.4.5.



Faktor Respon Gempa Faktor respon gempa dinyatakan dalam percepatan gravitasi, besarnya nilai faktor respon gempa diperoleh dari perhitungan SS dan S1. Tabel 2.7. Koefisien Situs, Fa Kelas



Parameter respon spektral percepatan gempa (MCER) 21



Situs



terpetakan pada periode pendek, T = 0,2 detik, SS S ≤ 0,25 S = 0,5 S = 0,75 S = 1,0 S ≥ 1,25 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,2 1,2 1,1 1,0 1,0 1,6 1,4 1,2 1,1 1,0 2,5 1,7 1,2 0,9 0,9 SSB



SA SB SC SD SE SF Catatan : 1. Untuk nilai-nilai antara SS dapat dilakukan interpolasi linier 2. SS = Situs yang memerlukan investigasi geoteknik spesifik dan analisis respon situs-spesifik. Sumber : SNI 03-1726-2012 Pasal 6.2. Tabel 2.8. Koefisien Situs, Fv Kelas Situs



Parameter respon spektral percepatan gempa (MCER) terpetakan pada periode pendek, T = 1 detik, S1 S ≤ 0,1 S = 0,2 S = 0,3 S = 0,4 S ≥ 0,5 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,7 1,6 1,5 1,4 1,3 2,5 2,0 1,8 1,6 1,5 3,5 3,2 2,8 2,4 2,4 SSB



SA SB SC SD SE SF Catatan : 1. Untuk nilai-nilai antara S1 dapat dilakukan interpolasi linier 2. SS = Situs yang memerlukan investigasi geoteknik spesifik dan analisis respon situs-spesifik. Sumber : SNI 03-1726-2012 Pasal 6.2. Parameter spektrum respons percepatan pada perioda pendek (S MS) dan perioda 1 detik (SM1 Parameter spektrum respons percepatan pada perioda pendek (SMS) dan perioda 1 detik (SM1 ) yang disesuaikan dengan pengaruh klasifikasi situs, ditentukan dengan perumusan berikut ini:  ���= �� � �� (2.2)  ��1 = �� � �1 (2.3) Parameter percepatan spektral desain untuk perioda pendek (S DS) dan pada periode 1 detik (SD1 ) harus ditentukan dengan perumusan berikut ini: 



���= 2/3 � ���



(2.4) 22







��1 = 2/3 � ��1



(2.5)



Kurva spektrum respons desain harus dikembangkan dengan mengikuti ketentuan di bawah ini : 1. Untuk periode yang lebih kecil dari T 0, spectrum respon percepatan desain



(sa) harus diambil dari persamaan



berikut : Sa = SDS (0,4 + 0,6 T/To) (2.6) 2. Untuk periode lebih besar dari atau sama dengan T 0 dan lebih kecil dari atau sama dengan T S, spektrum respons percepatan desain (Sa) sama dengan SDS. 3. Untuk periode lebih besar dari Ts, spektrum respons percepatan desain (Sa) diambil dari persamaan berikut : Sa = SD1/T (2.7) Keterangan : SDS = parameter respons spektral percepatan desain pada periode pendek S D1 = parameter respons spektral percepatan desain pada periode 1 detik T = periode getar fundamental struktur To = 0,2 x SD1/SDS (2.8) Ts = SD1/SDS (2.9)



Gambar 2.11. Sektrum Respons Desain Sumber : SNI-03-1726-2012 Pasal 6.4 2.2.4.6.



Kategori Desain Gempa Kategori desain gempa dievaluasi berdasarkan parameter respon percepatan periode pendek dan berdasarkan parameter respon percepatan periode 1,0 detik.



23



Tabel 2.9. Kategori Desain Gempa berdasarkan parameter respon percepatan pada periode pendek Kategori Resiko Bangunan I atau II atau III IV



Nilai SDS



SDS < 0,167 0,167 ≤ SDS < 0,33 0,330 ≤ SDS < 0,50 0,500 ≤ SDS Sumber : SNI 03-1726-2012 Pasal 6.5.



A B C D



A C D D



Tabel 2.10. Kategori Desain Gempa berdasarkan parameter respon percepatan pada periode 1 detik Kategori Resiko Bangunan Nilai SD1 I atau II atau III IV SD1 < 0,067 A A 0,067 ≤ SD1 < 0,133 B C 0,1330 ≤ SD1 < 0,20 C D 0,200 ≤ SD1 D D Sumber : SNI 03-1726-2012 Pasal 6.5. Tabel 2.11. Kategori Desain Gempa dan Resiko Kegempaan KODE RSNI 1726-201X



Tingkat Resiko Kegempaan Rendah Menengah Tinggi KDG A,B SRPM B/M/K SDS B/K



KDG C SRPM M/K SDS B/K



KDG D,E,F SRPM K SDS K



Catatan : 1. SRPM = Sistem Rangka Pemikul Momen 2. SDS = Sistem Dinding Struktur 3. B / M / K = Biasa / Menengah / Khusus Sumber : RSNI 1726-201X 2.2.4.7.



Arah pembebanan Gempa Arah penerapan beban gempa yang digunakan dalam desain harus



merupakan arah yang akan menghasilkan pengaruh beban paling kritis. Untuk 24



struktur bangunan yang dirancang untuk kategori desain seismik B, gaya gempa desain diijinkan untuk diterapkan secara terpisah dalam masing-masing arah dari dua arah ortogonal dan pengaruh interaksi ortogonal diijinkan untuk diabaikan. Pembebanan yang diterapkan pada struktur bangunan yang dirancang untuk kategori desain seismik C harus, minimum, sesuai dengan persyaratan dalam kategori desain seismik B. Struktur yang mempunyai ketidakberaturan sistem nonparalel yang didefenisikan ada jika elemen penahan gaya lateral vertikal tidak paralel atau simetris terhadap sumbu-sumbu ortogonal utama sistem penahan gaya gempa harus menggunakan salah satu dari prosedur berikut: a. Prosedur kombinasi ortogonal. Struktur harus dianalisis menggunakan prosedur analisis gaya lateral ekivalen, prosedur analisis spektrum respons ragam, atau prosedur riwayat respons linier, dengan pembebanan yang diterapkan secara terpisah dalam semua dua arah ortogonal. Pengaruh beban paling kritis akibat arah penerapan gaya gempa pada struktur dianggap terpenuhi jika komponen dan fondasinya didesain untuk memikul kombinasi beban-beban yang ditetapkan berikut: 100% gaya untuk satu arah ditambah 30% gaya untuk arah tegak lurus. Kombinasi yang mensyaratkan kekuatan komponen maksimum harus digunakan. b. Prosedur penerapan serentak gerak tanah ortogonal. Struktur harus dianalisis menggunakan prosedur riwayat respons linier atau prosedur riwayat respons nonlinier dengan pasangan ortogonal riwayat percepatan gerak tanah yang diterapkan secara serentak. Struktur yang dirancang untuk kategori desain seismik D, E, atau F harus, minimum, sesuai dengan kategori desain seismik C. Sebagai tambahan, semua kolom atau dinding yang membentuk bagian dari dua atau lebih sistem penahan gaya gempa yang berpotongan dan dikenai beban aksial akibat gaya gempa yang bekerja sepanjang baik sumbu denah utama sama atau melebihi 20% kuat desain aksial kolom atau dinding harus didesain untuk pengaruh beban paling kritis akibat penerapan gaya gempa dalam semua arah. Baik prosedur kombinasi ortogonal maupun prosedur penerapan serentak gerak tanah ortogonal, diijinkan untuk digunakan untuk memenuhi persyaratan pada kategori desain seismik D, E, atau F.



25



2.3.



Kinerja Struktur 2.3.1. Kinerja Batas Layan Untuk memenuhi persyaratan kinerja batas layan struktur, dalam segala hal simpangan antar tingkat yang dihitung dari simpangan struktur gedung tidak boleh melampaui 0,03/R x tinggi tingkat yang bersangkutan atau 30 mm, diambil nilai terkecil. ∆s antar tingkat < 0,03/R x H (2.10) 2.3.2. Kinerja Batas Ultimit Untuk memenuhi persyaratan kinerja batas ultimit gedung, dalam segala hal simpangan antar tingkat yang dihitung dari simpangan struktur (∆M x ξ) tidak boleh melampaui 0,02 kali tinggi tingkat yang bersangkutan. a. Untuk struktur gedung beraturan : ξ = 0,7 R b. Untuk struktur gedung tidak beraturan ξ=



(2.11)



0,7 R faktor skala



(2.12)



26