Transplantasi Organ Menurut Islam [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN 1.1



Latar belakang Transplantasi ialah pemindahan organ tubuh yang masih mempunyai daya hidup sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi lagi dengan baik. Pada saat ini juga, ada upaya untuk memberikan organ tubuh kepada orang yang memerlukan, walaupun orang itu tidak menjalani pengobatan, yaitu untuk orang yang buta. Hal ini khusus donor mata bagi orang buta. Dalam pelaksanaan transplantasi organ tubuh ada tiga pihak terkait dengannya: pertama, donor, yaitu orang yang menyumbangkan organ tubuhnya yang masih sehat untuk dipasangkan pada orang lain yang organ tubuhnya menderita sakit, atau terjadi kelainan. Kedua: resepien, yaitu orang yang menerima organ tubuh dari donor karena organ tubuhnya harus diganti. Ketiga, tim ahli, yaitu para dokter yang menangani operasi transplantasi dari pihak donor kepada pasien. Transplantasi organ tubuh manusia merupakan masalah baru yang belum pernah dikaji oleh para fuqaha klasik tentang hukum-hukumnya. Karena masalah ini  adalah anak kandung dari kemajuan ilmiah dalam bidang pencangkokan anggota tubuh, dimana para dokter modern bisa mendatangkan hasil yang menakjubkan dalam memindahkan organ tubuh dari orang yang masih hidup/ sudah mati dan mencangkokkannnya kepada orang lain yang kehilangan organ tubuhnya atau rusak karena sakit dan sebagainya yang dapat berfungsi persis seperti anggota badan itu pada  tempatnya sebelum di ambil.



1



1.2



Rumusan Masalah Dengan memperhatikan ulasan singkat latar belakang di atas, maka dapat disusunlah rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana transplantasi dalam hukum islam (fiqih)? 2. Bagaimana transplantasi menurut MUI?



1.3



Tujuan Tujuan  penulisan  makalah  ini adalah : 1. Untuk mengetahui transplantasi dalam hukum islam (fiqih). 2. Untuk mengetahui transplantasi menurut MUI.



1.4



Manfaat Manfaat dari penulisan makalah ini adalah : 1. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami transplantasi dalam hukum islam (fiqih). 2. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami transplantasi menurut MUI.



2



BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Transplantasi dalam Hukum Islam (Fiqih)



Mengukir sejarah dalam kehidupan, bukan suatu hal yang mudah. Sebagaimana membalik kedua teelapak tangan, atau segampang yang dibayangkan, lebih-lebih pada masa sekarang, semua serba maju dan berkembang terutama dalam IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi). Akan tetapi, pada tahun 2010, tepatnya di RSU Dr Soetomo, mampu mengukir sejarah yang sangat cemerlang, yaitu melakukan oprasi cangkok hati, dari seorang ibu kepada anaknya. Sebagaimana diungkapkan Saifullah Yusuf (Gus Ipul), “ ini adalah sejarah RSU dr Soetomo dan sejarah para dokter. Ini pertama kali di Surabaya. Jatim ukir sejarah.”



3



Transplantasi merupakan salah satu temuan teknologi kedokteran modern, dengan metode kerja, berupa pemindahan jaringan atau organ tubuh dari satu tempat ke tempat lainnya. Hal ini dapat dilakukan pada satu individu atau dua individu. Transplantasi dilakukan dengan tujuan pengobatan penyakit, yaitu: a.



Pengobatan serius, jika tidak dilakukan transplantasi, maka akan berakibat pada kematian. Seperti transplantasi jantung, ginjal, dan hati.



b.



Pengobatan yang dilakukan untuk menghindari cacat fisik, yang akan menimbulkan gangguan psikologi pada penderita, seperti transplantasi kornea mata, dan menambal bibir sumbing. Transplantasi jenis ini, dilakukan bukan untuk menghindari kematian, tetapi sekedar pengobatan untuk menghindari cacat seumur hidup. Pada tahun 40-an, telah diadakan pengujian transplantasi organ hewan pada



hewan juga. Kemudian disusul pada tahun 50-an, dari hewan ke manusia sampai berhasil, dan berkembang dari organ manusia kepada organ manusia. Dari keberhasilan uji coba tersebut, timbul suatu masalah baru, yang perlu dikaji dalam kaitannya dengan huku Islam. Apakah transplantasi organ tubuh manusia kepada manusia diperbolehkan dalam hukum Islam atau tidak? Kalau kita lihat dari literature Arab, transplantasi bukan suatu hal yang baru. Karena, pada abad ke-6 H, masalah tersebut sudah dibahas dalam literature Arab. Akan tetapi,



transplantasi



tidak menjadi



perbincangan



public, karena



transplantasi merupakan fiqh iftiradi (pengandaian), yang biasa didapatkan dalam literatur Arab, dan kemungkinan terjadinya tidak bisa dipastikan kapan dan dimana.



4



2.1.1 Pengertian Transplantasi Transplantasi berasal dari bahasa Inggris, yaitu to transplan, yang berarti to move from one place to another (bergerak dari satu tempat ke tempat lain). Adapun pengertian menurut ahli



ilmu kedokteran,



transplantasi itu ialah pemindahan jaringan, atau organ dari tempat satu ke tempat lain. Yang dimaksud jaringan disini ialah kumpulan sel-sel (bagian terkecil dari individu), yang sama mempunyai fungsi tertentu. Maksur organ ialah kumpulan jaringan yang mempunyai fungsi berbeda, sehingga merupakan satu kesatuan yang mempunyai fungsi tertentu, seperti jantung, hati dan lain-lain. Sedangkan transplantasi dalam literature Arab kontemporer, dikenal dengan istilah naql al-a’dza’ atau juga disebut dengan zar’u al-a’dza’. Kalau dalam literatur Arab klasik, transplantasi disebut dengan istilah alwasl (penyambungan). Adapun pengertian transplantasi secara terperinci dalam literatur Arab klasik dan kontemporer, sama halnya dengan ketrangan ilmu kedokteran di atas. Sedang transplantasi di Indonesia lebih dikenal dengan istilah pencangkokan. Pencangkokan organ tubuh yang menjadi perbincangan pada waktu ini adalah mata, ginjal, dan jantung. Karena ketiga organ tubuh tersebut sangat penting fungsinya untuk manusia, terutama sekali ginjal dan jantung. Mengenai donor mata pada dasarnya dilakukan, karena ingin membagi kebahagiaan kepada orang yang belum pernah melihat keindahan alam ciptaan Allah SWT, ataupun orang yang menjadi buta karena penyakit. Ada tiga tipe donor organ tubuh, dan setiap tipe mempunyai permasalahan sendiri-sendiri, yaitu:



5



a.



Donor dalam keadaan hidup sehat. Tipe ini memerlukan seleksi cermat dan general check up, baik terhadap donor maupun terhadap penerima (resepient), demi menghindari



kegagalan



transplantasi



yang



disebabkan



karena



penolakan tubuh resepien, dan sekaligus mencegah risiko bagi donor. Dalam syarat seseorang diperbolehkan pada saat hidupnya mendonorkan sebuah organ tubuhnya atau lebih kepada orang lain yang membutuhkan organ yang disumbangkan itu, seperti ginjal. Akan tetapi mendonorkan organ tunggal yang dapat mengakibatkan kematian si pendonor, seperti mendonorkan  jantung, hati, dan otaknya. Maka hukumnya tidak diperbolehkan, berdasarkan firman Allah SWT dalam Al – Qur’an : 1) Surat Al-Baqorah ayat 195 ”Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan ”. 2) An-Nisa ayat 29 ” Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri ”. 3) Al – Maidah ayat 2 ”Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. “. b.



Donor dalam hidup koma, atau diduga akan meninggal segera. Untuk tipe ini, pengambilan organ tubuh donor memerlukan alat kontrol dan penunjang kehidupan. Misalnya dengan bantuan alat pernapasan khusus. Kemudian alat-alat tersebut dicabut setelah pengambilan organ tersebut selesai.



c.



Donor dalam keadaan mati. Tipe ini merupakan tipe yang ideal, sebab secara medis, tinggal menunggu penentuan kapan donor dianggap meninggal secara medis



6



dan yuridis. Harus diperharhatikan pula, daya tahan organ tubuh yang mau di transplantasi. 2.1.2 Pembagian Transplantasi Melihat dari pengertian di atas, Djamaluddin Miri membagi transplantasi itu pada dua bagian: a.



Transplantasi jaringan, seperti pencangkokan kornea mata.



b.



Transplantasi organ, seperti pencangkokan organ ginjal, jantung, dan sebagainya. Melihat dari hubungan genetik antara donor, pemberi jaringan atau



organ yang ditransplantasi, dari resipien, orang yang menerima pindahan jaringan atau organ, ada tiga macam pencangkokan: Pertama, auto transplantasi, yaitu transplantasi di mana donor resipiennya satu individu. Seperti seorang yang pipinya dioprasi, untuk memulihkan bentuk, diambilkan daging dari bagian badannya yang lain dalam badannya sendiri. Kedua, homo transplantasi, yakni di mana transplantasi itu donor dan resipiennya individu yang sama jenisnya, (jenis di sini bukan jenis kelamin, tetapi jenis manusia dengan manusia). Pada homo transplantasi ini, bisa juga terjadi donor dan resipiennya dua individu yang masih hidup, bisa juga terjadi antara donor yang telah meninggal dunia yang disebut cadaver donor, sedang resipien masih hidup. Ketiga, hetero transplantasi, ialah yang donor dengan resipiennya dua individu yang berlainan jenisnya, seperti transplantasi yang donornya adalah hewan sedangkan resipiennya adalah manusia.



7



Pada auto transplantasi, hampir selalu tidak pernah mendatangkan reaksi penolakan, sehingga jaringan atau organ yang ditransplantasikan, hampir selalu dapat dipertahankan oleh resipien dalam jangka waktu yang cukup lama. Pada homo transplantasi dikenal tiga kemungkinan: a.



Apabila resipien dan donor adalah saudara kembar yang berasal dari satu telur, maka transplantasi hampir selalu tidak menyebabkan reaksi penolakan. Pada golongan ini, hasil transplantasinya serupa dengan hasil transplantasi pada auto transplantasi.



b.



Apabila resipien dan donor adalah saudara kandung, atau salah satunya adalah orang tuanya, maka reaksi penolakan pada golongan ini, lebih besar daripada golongan pertama, tetapi masih lebih kecil daripada golongan ketiga.



c.



Apabila resipien dan donor adalah dua orang yang tidak ada hubungan saudara, maka kemungkinan besar transplantasi selalu menyebabkan reaksi penolakan. Pada waktu sekarang homo transplantasi paling sering dikerjakan



dalam klinik, terlebih-lebih dengan menggunakan cadaver donor, karena: a. Kebutuhan organ dengan mudah dapat dicukupi, karena donor tidak sulit dicari. b. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat, terutama dalam bidang immunologi, maka reaksi penolakan dapat ditekan seminimal mungkin. Pada hetero transplantasi, hampir selalu menyebabkan timbulnya reaksi penolakan yang sangat hebat, dan sukar diatasi. Maka itu, penggunaan masih terbatas pada binatang percobaan. Tetapi, pernah



8



diberitakan adanya percobaan mentransplantasikan kulit babi, yang sudah diiyophilisasi untuk menutup luka bakar yang sangat luas pada manusia. Sekarang hampir semua organ telah dapat ditransplantasikan, sekalipun sebagian masih dalam taraf menggunakan binatang percobaan, kecuali otak. Karena memang teknisnya amat sulit. Namun demikian, pernah diberitakan bahwa di Rusia sudah pernah dilakukan percobaan transplantasi kepala pada binatang dengan hasil baik. 2.1.3 Pendapat Ulama tentang Transplantasi Para ulama fiqih (pakar hukum islam) klasik sepakat menyambung organ tubuh manusia, dengan organ manusia boleh dilakukan, selama organ lainnya tidak didapatkan. Sedangkan pakar hukum islam kontemporer berbeda pendapat, akan boleh dan tidaknya transplantasi organ tubuh manusia. Berikut ini pernyataan para pakar hukum Islam klasik dan kontemporer: Imam al-Nawawi (wafat abad ke-6) dalam karyanya, Minhaj alTalibin mengatakan bahwa jika seseorang menyambung tulangnya dengan barang yang najis, karena tidak ada barang yang suci, maka hukumnya udhur (tidak apa-apa). Namun, apabila ada barang yang suci, kemudian disambung dengan barang yang najis, maka wajib dibuka jika menimbulkan bahaya. Zakariya al-Ansari (abad ke-9) dalam karyanya Fathu al-Wahhab Sharh Manhaj al-Tullab merupakan kitab ringkasan dari kitab Miinhaj alTalibin karya Imam al-Nawawi (wafat abad ke-6). Zakariya



mengatakan



bahwa



jika



ada



seseorang



melakukan



penyambungan tulanynya, atas dasar butuh dengan tulang yang najis, dengan alasan tidak ada tulang lain yang cocok. Maka hal itu



9



diperbolehkan, dan sah shalatnya dengan tulang najis tersebut. Kecuali, jika dalam penyambungan itu tidak ada unsur kebutuhan, atau ada tulang lain yang suci selain tulang manusia, maka ia wajib membuka (mencabut) kembali tulang najis tersebut walaupun sudah tertutup oleh daging. Dengan catatan, jika proses pengambilan tulang najis tersebut aman (tidak membahayakan), dan tidak menyebabkan kematian. Al-Bujayrami, dalam komentarnya atas ‘ibarah (teks) kitab Fathu alWahhab di atas, mengatakan bahwa tidak diperbolehkannya menyambung tulang dengan tulang manusia, jika yang lain masih ada, walaupun tulangnya hewan yang najis seperti celeng dan anjing. Oleh karena itu, jika yang lain baik dan suci, maupun yang najis tidak ada, maka menyambung tulang dengan tulang manusia itu hukumnya boleh. Senada dan Zakariya, ialam Ibnu Hajr dalam Tuhfah-nya, bahwa ia memperbolehkan transplantasi organ manusia dengan organ manusia, dalam keadaan jika sesuatu yang suci dan yang najis tidak ada. Jika masih ditemukan tulang yang najis, maka tidak boleh memakai tulang manusia. Pakar hukum Islam kontemporer, dalam masalah transplantasi boleh dan tidaknya ada dua pendapat: Pertama, Ibn Baz ulama dari Saudi Arabia, mengatakan bahwa praktek transplantasi organ tubuh manusia kepada manusia lainnya, yang dilakukan atas dasar kemaslahatan pada orang lain, itu tidak boleh berdasarkan hadist Nabi Muhammad Saw, bahwa “Merusak tulang orang mati hukumnya sama dengan merusak tulang orang hidup”. Hadist tersebut menunjukan bahwa manusia itu muhtaramah (mulya) hidup dan matinya, dan kalaupun si mayat mewasiatkan anggota tubuhnya untuk diberikan kepada orang lain, maka wasiat itu tidak sah, karena



10



manusia tidak mempunyai (ha katas) tubuhnya sendiri, dan ahli waris hanya menerima warisan dari mayit harta peninggalan, bukan termasuk di dalamnya (warisan) anggota tubuh mayit. Kedua, berbeda dengan Ibn Baz, para pakar hukum Islam kontemporer, diantaranya Qardawi, Al-Buti, Abd Allah Kanun dan Abd Allah al-Faqih, yang menyatakan bahwa praktik transplantasi boleh, dan kebolehannya itu bersifat muqayyad (bersyarat). Seseorang tidak boleh mendonorkan sebagian organ tubuhnya, yang justru akan menimbulkan bahaya, kesulitan, dan kesengsaraan bagi dirinya, atau bagi seseorang yang punya hak tetap atas dirinya. Misalnya suami atau orang tua. Qardawi dalam fatwanya mengatakan, “Ada yang mengatakan bahwa diperbolehkannya seseorang mendermakan atau mendonorkan sesuatu, ialah apabila itu miliknya. Maka, apakah seeorang itu memiliki tubuhnya sendiri sehingga ia dapat mempergunakan sekehendak hatinya?” Lanjut Qardawi, “Perlu diperhatikan bahwa meskipun tubuh merupakan titipan dari Allah, tetapi manusia diberi wewenang untuk memanfaatkan dan mempergunakannya, sebagaimana harta. Sebagaimana manusia boleh mendermakan sebagian hartanya, untuk kepentingan orang lain yang membutuhkannya, maka diperkenankan juga seseorang mendermakan sebagian tubuhnya untuk orang lain yang membutuhkan. Hanya perbedaannya adalah bahwa manusia adakalanya boleh mendermakan, atau membelanjakan seluruh hartanya. Tetapi ia tidak boleh mendermakan seluruh anggota badannya. Bahkan ia tidak boleh mendermakan dirinya (mengorbankan dirinya) untuk menyelamatkan orang sakit dari kematian, dari penderitaan yang sangat, atau dari kehidupan yang sengsara. Sementara hasil keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama, sebagaimana termaktub dalam ahkamul fuqaha, mengatakan bahwa pencangkokan organ



11



tubuh manusia, ada yang membolehkan dengan syarat karena diperlukan, dengan ketentuan tertib pengamanan, dan tidak ditemukan selain organ tubuh manusia itu. Dari penjelasan di atas bahwa transplantasi dalam hukum Islam, terdapat perselisihan pendapat. Dalam hal ini, ada yang melarang praktik tersebut secara mutlak berdasarkan hadist Nabi Muhammad Saw. Dan dalil ‘aqli bahwa anggota tubuh manusia bukan milik manusia sendiri, melainkan hanya titipan Allah SWT, yang harus dijaga hidup dan mati. Sementara pakar hukum Islam lainnya mengatakan, boleh dengan beberapa syarat, seperti dijelaskan di atas, kalau tidak memenuhi syaratsyaratnya, maka hukumnya sebagaimana pendapat pertama, yaitu tidak boleh. Termasuk syarat yang memperbolehkan praktik transplantasi menurut banyak pakar hukum Islam, yaitu bahwa praktik tersebut dilakukan dengan hibah (pemberian) tanpa adanya jual beli di antara dua pihak pendonor dan resipien. Namun ada pendapat yang mengatakan, bahwa praktik transplantasi boleh dilakukan dengan jual beli.



2.2 Transplantasi Menurut MUI Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan, hukum transplantasi atau cangkok organ tubuh diperbolehkan selama sesuai dengan ketentuan syariat. Sebaliknya, jika tidak memenuhi ketentuan syariat, cangkok organ tak boleh dilakukan. Ketentuan hukum mengenai cangkok organ tersebut tertuang dalam fatwa yang dikeluarkan MUI pada 2010. Fatwa tersebut menegaskan, pencangkokan



12



yang diperbolehkan jika melalui hibah, wasiat dengan meminta, tanpa imbalan, atau melalui bank organ tubuh. Donor organ tubuh dari orang meninggal juga diperbolehkan dengan syarat kematiannya disaksikan dua dokter ahli. Transplantasi dihukumi boleh, karena salah satu dasarnya adalah adanya maslahat yang lebih besar. Maslahat itu ditentukan oleh kesaksian tim medis berdasarkan analisis kedokteran yang kuat. "Namun, transplantasi diharamkan bila didasari tujuan komersial. Tidak boleh diperjualbelikan," kata Ketua MUI, Ma'ruf Amin, beberapa waktu lalu. Ketua Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (NU) Zulfa Musthofa, mengatakan, kesimpulan yang sama diputuskan pula oleh NU. Bahkan, hukum transplantasi tersebut disepakati dalam Muktamar NU. Kesimpulannya,



transplantasi



organ



tubuh



menurut



hukum



Islam



diperbolehkan. Dengan catatan, jelas Zulfa, syarat dan ketentuan syariatnya terpenuhi. Di antara syarat itu adalah persetujuan dari pemilik organ tersebut. “Kalau tidak ada izin itu, tidak boleh.” Hukum cangkok organ juga dibahas di Forum Bahtsul Masail pada Kongres ke-16 Muslimat NU beberapa waktu lalu. Tiga narasumber tampil memberikan pandangan terkait masalah ini, yaitu Prof Dr KH Ali Mustafa Yaqub MA (Rais Syuriah PBNU Bidang Fatwa yang juga Imam Besar Masjid Istiqlal), Prof Dr Dra Istibsjaroh SH MA (praktisi hukum Islam), dan Dr Imam Susanto (dokter spesialis bedah). KH Ali Mustafa mengatakan, sebagai sesuatu yang tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW, transplantasi organ tubuh manusia sempat diperselisihkan hukumnya oleh ulama. Ada pendapat yang membolehkan, ini sesuai dengan hadis Bukhari dan Muslim yang menyebutkan, organ tubuh akan hancur kecuali tulang ekor.



13



“Karena itu, memanfaatkan sesuatu yang apabila tidak dimanfaatkan akan hancur adalah hal yang baik, jadi hukumnya boleh,” kata Mustafa. Namun, adapula yang mengharamkan. Mereka yang berpendapat seperti ini, salah satunya berpegang pada surat Ali Imran ayat 109 yang intinya menyebutkan, apa saja yang ada di langit dan bumi adalah milik Allah, manusia menggunakan saja. “Jadi, memberikan sesuatu yang tidak kita miliki kepada orang lain hukumnya haram,” jelas Mustafa. Kedua pendapat ini, menurut dia, saling bertolak belakang. Namun, pendapat yang rajih (kuat) dalam transplantasi organ tubuh adalah pendapat pertama yang memperbolehkan, dengan syarat ada izin dari yang bersangkutan



14



BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa transplantasi adalah suatu rangkaian tindakan medis untuk memindahkan organ atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain atau tubuh sendiri dalam rangka pengobatan untuk mengganti jaringan dan atau organ tubuh yang tidak berfungsi dengan



baik



atau



mengalami



suatu



kerusakan.



Transplantasi



dapat



diklasifikasikan dalam beberapa faktor,  seperti  ditinjau dari sudut si penerima atau resipien organ dan penyumbang organ itu sendiri. Jika dilihat dari si penerima



organ



meliputi



autotransplantasi,



homotransplantasi,



heterotransplantasi. Sedangkan dilihat dari sudut penyumbang meliputi transplantasi dengan donor hidup, koma dan donor mati (jenazah). Banyak sekali faktor yang menyebabkan sesorang melakukan transplantasi organ. Antara lain untuk kesembuhan dari suatu penyakit (misalnya kebutaan, rusaknya jantung dan ginjal), Pemulihan kembali fungsi suatu organ, jaringan atau sel yang telah rusak atau mengalami kelainan, tapi sama sekali tidak terjadi kesakitan biologis (contoh: bibir sumbing). Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan, hukum transplantasi atau cangkok organ tubuh diperbolehkan selama sesuai dengan ketentuan syariat. Sebaliknya, jika tidak memenuhi ketentuan syariat, cangkok organ tak boleh dilakukan. 3.2 Saran Tidak ada kata sempurna yang pantas untuk segala hal di dunia, begitu juga dengan makalah yang telah kami susun, oleh karena itu bagi pihak terkait kami mengharapkan kritik dan saran guna perbaikan dan semoga makalah ini dapat bermanfaat.



15



DAFTAR PUSTAKA 1. Dr.Hj. Iis Salsabilah, M,Ag. 2016. Bekal Menjadi Perawat Profesional Berdasarkan Ajaran Islam. Bandung: Yayasan Adhi Guna Kencana. 2. Ali Hasan. 2000. MASAIL Fiqhiyah Al-Haditsah pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam. Jakarta: Raja Grafindo persada.



16