Tubo Ovarium Abses - Melinda [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Clinical Science Session



TUBO OVARIUM ABSES



Oleh: Melinda Tri Agusti 2140312104



Preseptor : dr. Doddy Pratama, Sp. OG(K)



BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI RSUD Dr. H. M. ALI HANAFIAH BATUSANGKAR FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 2021



KATA PENGANTAR



Alhamdulillahirabbil,alamiin, puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan ramhat dan karunia-Nya sehingga clinical science session yang berjudul “Tubo Ovarium Abses” ini dapat penulis selesaikan. CSS ini merupakan salah satu tugas kepaniteraan klinik di bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Dr. H. M. Ali Hanafiah Batusangkar Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang.



Terima kasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah banyak membantu menyusun CSS ini, khususnya kepada dr. Doddy Pratama, Sp. OG(K) selaku preseptor dan juga rekan-rekan dokter muda. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.



Oleh karena ini, penulis mengharapkan kritik dan saran sebagai masukan untuk perbaikan demi kesempurnaan CSS ini. Semoga CSS ini dapat bermanfaat bagi kita semua.



Batusangkar, Desember 2021



Penulis



ii



DAFTAR ISI



Kata Pengantar



ii



Daftar Isi



iii



BAB 1: PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang



1



1.2. Batasan Masalah



1



1.3. Tujuan Penulisan



2



1.4. Metode Penulisan



2



BAB 2: TINJAUAN PUSTAKA TUBO OVARIUM ABSES 2.1. Definisi



3



2.2. Epidemiologi



3



2.3. Etiologi dan Faktor Resiko



3



2.4. Patofisiologi



4



2.5. Diagnosis



5



2.6. Diagnosis Banding



7



2.7. Tatalaksana



8



2.8. Komplikasi



10



2.9. Prognosis



10



BAB 3: KESIMPULAN



11



Daftar Pustaka



12



iii



BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tubo Ovarium Abses (TOA) adalah radang disertai dengan akumulasi pus yang terjadi pada ovarium dan atau tuba fallopi pada satu sisi atau kedua sisi adneksa yang merupakan komplikasi dari infeksi pada traktus genetalia wanita. Biasanya terjadi bersamaan dengan Penyakit Transmisi Seksual/ Sexually Transmitted Diseases (STDSs).1 Abses ini pada umumnya terjadi pada wanita usia produktif yaitu antara usia 20-40 tahun yang merupakan kelanjutan dari infeksi saluran genital bagian bawah.2,3 Paritas pada pasien dengan Tubo Ovarium Abses sangat berbeda, namun studi epidemiologi menunjukkan 25-50% terjadi padanullipara. Tubo Ovarium Abses berhubungan erat dengan PID (Pelvic inflammatory disease), dan pada umumnya pasien memiliki riwayat PID sebelumnya. Pelvic Inflammatory Disease disebabkan oleh mikroorganisme yang menghuni endoserviks kemudian naik ke endometrium dan tuba fallopi. Tubo Ovarium Abses merupakan end-stage process dari PID akut.2 Tubo Ovarium Abses terjadi sekitar 18-34% pada pasien dengan PID dan 22% dengan salpingitis di Nairobi, Kenya1,3. Mekanisme terbentuknya Tubo Ovarium Abses terkadang sulit ditegakkan karena presentasi klinik yang berbeda dan derajat kerusakan tuba pada saat infeksi ditemukan. Tubo Ovarium Abses umumnya disebabkan oleh mikroorganisme umum yang menjadi penyebab STD (sexually transmitted diseases). Berhubunganseks dengan partner yang memiliki agen infeksius merupakan faktor risiko yang sangat penting dalam terjadinya Tubo Ovarium Abses. Selain itu, operasi ginekologi, kanker organ genital (genital malignancy), IVF treatment, dan apendisitis yang mengalami perforasi juga diketahui menjadi penyebab Tubo Ovarium Abses4. Diagnosis Tubo Ovarium Abses sulit ditegakkan dan sulit dibedakan dengan peradangan pelvis, sehingga dibutuhkan anamnesa, pemeriksaan fisik,serta pemeriksaan penunjang yang tepat untuk dapat menegakkan diagnosis pasti dan memberikan terapi yang tepat. Komplikasi yang dapat timul apabila tidak ditangani segera yaitu dapat menyebabkan kematian, infertilitas, kehamilan ektopik, dan syok sepsis, sehingga membutuhkan penanganan yang cepat. Terapi yang dapat diberikan untuk pasien dengan abses tubo ovarium adalah antibiotik spektrum luas, drainage, ataupun tindakan bedah. Tubo Ovarium Abses bisa ditangani dengan baik jika ditatalaksana dengan adekuat.3,4



1.2. Batasan Masalah Batasan penulisan ini membahas mengenai definisi, klasifikasi, epidemiologi, manifestasi klinis, diagnosis, diagnosis banding, terapi, danprognosis Tubo Ovarium Abses.



1.3. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan ini adalah untuk menambah pengetahuan pembaca dan penulis mengenai Tubo Ovarium Abses.



1.4. Metode Penulisan Penulisan Clinical Science SessionTubo Ovarium Abses ini menggunakanmetode tinjauan kepustakaan yang merujuk pada berbagai literatur.



2



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Inflamasi dan supuratif akibat infeksi pada tuba ovarian akan menyebabkan melekatnya pada ovary. Secara sonografi, bila tuba ovarium dan ovary dapat dibedakan disebut dengan tuboovarian complex, sedangkan bila terdapat proses inflamasi dan keduanya sulit dibedakan disebut dengan tuboovarian abcess (TOA). TOA biasanya terjadi unilateral dan mungkin dapat menginvasi struktur sekitarnya seperti bowel, bladder dan kolateral adneksa. Bila absesnya semakin progresif, abses dapat ruptur dan menyebabkan peritonitis serta sepsis.



2.2. Epidemiologi Tuba Ovarium Abses merupakan abses yang sering dijumpai pada wanita usia reproduktif setelah menderita infeksi traktus genitalia atas. Kejadian Tubo Ovarium Abses dengan PID berkisar 17-20%. Tubo Ovarium Abses sering terjadi pada wanita yakni antara usia 20-40 tahun.3,4 Paritas pada pasien dengan Tubo Ovarium Abses sangat berbeda, namun studi epidemiologi menunjukkan 25-50% terjadi pada nullipara.1 Apabila TOA sudah terjadi komplikasi dengan sepsis, mortalitas akan meningkat menjadi 5-10%.



2.3. Etiologi dan Faktor Resiko Tubo Ovarium Abses dapat disebabkan oleh organisme yang bervariasi. Penelitian menunjukkan bahwa 30-40% TOA adalah polimikrobial. TOA juga dapat terjadi sekunder pada kelainan abdomen seperti apendisitis, divertikulitis atau pyelonefritis yang disebabkan oleh penyebaran bakteri langsung atau secara hematogen. TOA disebabkan oleh infeksi berbagai bakteri seperti spesies Streptococcus, E.coli, spesies Bacteroides, spesies Prevotella, spesies Peptostreptococcuss6. Beberapa faktor resiko yang terkait adalah: •



Pasangan seksual multiple







Tidak menggunakan kontrasepsi barrier







Riwayat penyakit peradangan panggul







Penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) yang lama biasanya berhubungan dengan Actinomyces israelii







Riwayat penyakit menular seksual seperti gonorhea dan chlamidia.







Intercourse pertama saat usia sangat muda







Diabetes dan keadaaan immunocompromise



Pada penelitian terdahulu disebutkan bahwa abses tuboovarial umumnya disebabkan oleh Neisseria gonorrhoe yang menjadi penyebab PID. Saat ini didapatkan bahwa Mikrobiologi dari Abses Tubo Ovarium umumnya adalah polimikroba campuran yakni flora anaerob dan aerob. Organisme anaerob biasanya terdapat pada abses daerah pelvis dan adneksa pada 63-100% kasus. Dalam penelitian terbaru landers dan Sweet melaporkan bahwa flora terbanyak pada aspirasi abses tuboovarial adalah Escherisia coli (37%), B. Fragilis (22%), Bacteroides (26%), peptococus (11%), dan peptostreptococcus (18%).1 Organisme yang ditemukan pada Tubo Ovarium Abses juga ditemukan pada PID. Spesies streptokokus, escherecia coli dan organisme enterik gram negatif lain juga sering ditemukan. Kuman anaerob yang sering dijumpai adalah bakterioides dan prevotela, porphyromonas serta peptostreptokokus. Gonokokus jarang ditemukan pada Tubo Ovarium Abses walaupun sering dijumpai padaPID.1 Faktor yang menyebabkan virulensi bakteri misalnya Bacteroides adalah kapsul polisakaridanya dan enzim yang dihasilkan oleh bakteri. Di antara enzim yang dihasilkan antara lain Kollagenase dan hialuronidase, dan heparinase yang menyebabkan pembekuan pada pembuluh darah kecil dan menyebabkan berkurangnya aliran darah pada jaringan yang terinfeksi. Superoksida dismutase juga dapat menyebabkan kuman patogen dapat bertahan pada kondisi aerob.1



2.4. Patofisiologi Abses adalah akumulasi cairan yang berisi bakteri aerob dan anaerob, sel- sel inflamasi, serta debris-debris yang nekrosis sebagai usaha tubuh untuk mengisolasi proses peradangan yang terjadi. Abses intraabdomen yang palingsering terjadi pada wanita selama masa reproduksi adalah abses pada pelvis5. Adanya penyebaran bakteri dari vagina ke uterus lalu ke tuba dan atau parametrium, terjadilah salpingitis dengan atau tanpa ooforitis. Keadaan ini bisa terjadi pada pasca abortus, pasca persalinan atau setelah tindakan genekologi sebelumnya6. Mekanisme pembentukan Tubo Ovarium Abses secara pasti masih sulit ditentukan, tergantung sampai di mana keterlibatan tuba infeksinya sendiri. Pada permulaan proses penyakit, lumen tuba masih terbuka mengeluarkan eksudatyang purulent dari febriae dan menyebabkan peritonitis. Ovarium sebagaimana struktur lain dalam pelvis mengalami inflamasi, tempat ovulasi dapat sebagai tempat masuk infeksi. Abses masih bisa terbatas mengenai tempat masuk infeksi. Abses masih bisa terbatas mengenai tuba dan ovarium saja, dapat pula melibatkan struktur pelvis yang lain seperti usus besar,buli-buli atau adneksa yang lain. Proses peradangan dapat mereda spontan atau sebagai respon pengobatan, 4



keadaan ini biasanya memberi perubahan anatomi disertai perlekatan fibrin terhadap organ terdekatnya. Apabila prosesnya cepat dan hebat maka abses akan pecah. 5 Mekanisme terbentuknya Tubo Ovarium Abses terkadang sulit ditegakkan, dikarenakan oleh presentasi klinik yang berbeda dan derajat kerusakan tuba saat infeksi ditemukan. Penelitian yang pernah dilakukan pada bakteri gonococus saat kuman tersebut mencapai tuba falopii, menyerang mukosa tuba, menembus sel epitel melalui mekanisme fagositosis, dan menyebabkan kerusakan dari sel epitel. Kerusakan dari endosalfing menyebabkan diproduksinya eksudat yang purulen. Gonococus dapat menembus lapisan subepitel mukosa tuba dan sampai padalapisan muskularis dan serosa tuba pada proses peradangan. Bakteri B Fragilis mempunyai virulensi yang lebih tinggi dimana kuman ini dapat merusak epitel tuba pada stadium awal penyakit dan menyebabkan lumen tuba terbuka sehingga pus dapat keluar dari fimbriae dan dapat berlanjut menjadi peritonitis. 1 Infeksi permukaan, aglutinasi dan abses terbentuk saat bakteri, leukosit dan cairan terakumulasi pada suatu ruangan tertutup. Perfusi abses ke dinding dalam sangat berbahaya, menimbulkan lingkungan anaerobik sehingga kuman anaerobik asli ataupun fakultatif dapat berkembang biak.1 Ovarium dapat melekat dengan fimbriae dari tuba yang terinfeksi (pyosalphing) dan menjadi dinding abses, atau infeksi ovarium primer, yang dapat berlanjut menjadi abses. Usus, peritoneum parietal, uterus dan omentum biasanya menjadi melekat. Abses dapat membesar dan mengisi kavum douglas, atau bocor dan menimbulkan abses metastasis.1 Jika pertahanan tubuh mampu mengatasi, maka infeksi kemudian menjadi steril. Proses ini mencakup drainase spontan ke dalam celah viskus. Akan tetapi, jka terjadi ruptur intraperitoneal, infeksi dapat menyebar cepat dan timbul bakteremia. Pembentukan abses merupakan keadaan terakhir pertahanan tubuh dan infeksi yang mencapai keadaan ini sangat berat dan berbahaya. Tubo OvariumAbses merupakan bentuk paling berbahaya dari PID.1



2.5. Diagnosis A. Anamnesis Nyeri perut atau nyeri pelvis merupakan gejala klinis tersering pada pasiendengan TOA. Ini merupakan gejala klinis tersering dan terjadi pada hampir 90% pasien. Landers dan Sweet melaporkan dari 232 pasien dengan TOA, 50% di antaranya mempunyai gejala demam, keputihan pada 28% kasus, mual 25% kasus, dan perdarahan pervaginam pada 21% kasus. Beberapa penelitian lain menyebutkan terdapat demam disertai leukositois, pada 66-68% kasus. 5



B. Pemeriksaan fisik 1. Abdomen Palpasi abdomen dapat ditemukan adanya nyeri tekan dan nyeri lepas, dan juga kadang dapat teraba massa. pada auskultasi ditemukan adanya penurunan suara bising usus dan tanda ileus lainnya.



2. Pada pemeriksaan dalam Dapat ditemukan massa pada adneksa, dan juga pada saat menggerakkan serviks terasa lunak. Akan tetapi, karena lunaknya adneksa dan serviks tersebut, terkadang susah menentukan diagnosis dengan



pemeriksaan dalam tersebut. Terkadang juga dapat



ditemukan vaginal discharge yang purulent pada saat pemeriksaan.8 Kriteria Disease Control and Prevention (CDC) dalam mendiagnosa adanya penyakit radang panggul yaitu apabila ditemukan saat pemeriksaan panggul adalah sebagai berikut: a. Kriteria minimal (1 atau lebih): • Nyeri gerak servik • Nyeri tekan uterus • Adnexa kenyal



b. Kriteria tambahan: pasien penderita radang panggul yang dicurigai TOA harus memiliki 1 atau lebih kriteria berikut: • Demam > 38,3 C atau > 101 F • Discharge mukopurulen serviks yang abnormal atau kerapuhan serviks • Leukositosis • Peningkatan LED > 64 mm/jam • Peningkatan c-protein > 20 mg/L • Pemeriksaan laboratorium terbukti adanya infeksi pada serviks misalnya oleh Chlamidia trachomatis dan Neisseria gonorrhoe 6



c. Kriteria spesifik untuk diagnosis PID • Biopsi endometrial dengan bukti histopatologi endometritis • Sonografi transvaginal atau MRI yang menunjukkan penebalan, adanya cairan yang mengisi tuba dengan atau tanpa cairan pada pelvis atau tuboovarian complex atau pada doppler menunjukkan adanya infeksi pelvis. 6



• Penemuan laparoscope adanya PID. 3. Pemeriksaan penunjang a. USG Dapat membantu untuk mendeteksi perubahan seperti terjadinya progresi. regresi, ruptur atau pembentukan pus. Ultrasound adalah modalitas pencitraan pilihan pertama untuk diagnosis dan evaluasi TOA. Pada USG didapatkan adanya kista multilokular yang komplekas dengan penebalan dinding yang ireguler, partisi dan internal echo.5



b. CT (computed tomography) Tampilan paling sering dari Tubo-ovarium abcess adalah unilateral location (73%), multilokular (89%) dan dinding yang tebal dan seragam. Beberapa hal yang jarang ditemukan adalah bowel thickening (59%), penebalan ligament uteralscaral (64%) dan pylosalpinx (50%).5



c. Pemeriksaan laboratorium Hasil pemeriksaan yang didapatkan dari laboratorium kurang bermakna. Hitung jenis sel darah putih bervariasi dari



leukopeni



sampai leukositosis. Hasil urinalisis



memperlihatkan adanya pyuria tanpa bakteriuria. Nilai laju endap darah minimal 64 mm/h serta nilai akut C- reaktif protein minimal 20 mg/L dapat difikirkan ke arah diagnosa TOA.5



2.5



Diagnosa Banding TOA utuh dan belum memberikan keluhan, yaitu:9 • Kistoma ovari, tumor ovari • KET • Abses peri, apendikuler • Mioma uteri • Hidrosalping



TOA utuh dengan keluhan, yaitu:9 • Perforasi apendik • Perforasi divertikel/abses divertikel • Perforasi ulkus peptikum 7



• Kelainan sistematis yang memberi distres akut abdominal • Kista ovari terinfeksi atau terpuntir. 2.6. Tatalaksana Penanganan tuboovarial abses pada saat sekarang sedikit berbeda bila dibandingkan dengan penanganan alternatif sebelumnya dimana terdahulu disebutkan bahwa eradikasi abses tidak dapat dilakukan dengan terapi antibiotik saja melainkan harus dengan penatalaksanaan secara surgikal. Ketersediaan antibiotik yang sesuai dan pertimbangan fertilitas mendorong pencapaian keberhasilan penatalaksanaan konservatif pada TOA yang tidak ruptur.1



A. Penanganan pada TOA yang mengalami ruptur TOA ruptur merupakan keadaan akut yang membutuhkan intervensi medis segera. Stabilisasi hemodinamik dan pemberian antibiotik dan intervensi pembedahan segera mutlak diperlukan dalam penanganan. Keterlambatan dalam diagnosa dan intervensi pembedahan dapat meningkatkan mortalitas. Histerektomi total dan salfingoofarektomi bilateral biasanya dilakukan pada abses yang ruptur, pus yang terdapat pada rongga abdomen diambil untuk kultur, dilakukan irigasi untuk meminimalisir penyebaran infeksi. 1



B. Penanganan abses tuboovarium asimptomatik tanpa ruptur Pengobatan sama dengan pada salfingitis kronik, yaitu terapi antibakteri jangka panjang. Jika selama 15-21 hari pemberian terapi dengan antibiotik tidak terdapat perubahan ukuran massa, maka drainase dapat dilakukan. Pada eksplorasi bisa dilakukan histerektomi total atau adnektomi bilateral, namun pada kasus- kasus tertentu bisa saja dilakukan salfingoofarektomi unilateral atau salfingostomi linear.



C. Penanganan TOA simpomatik tanpa ruptur Penatalaksanaan yakni dengan rawat inap di rumah sakit, bedrest dalam posisi semiFowler, pengawasan tanda vital, pemberian cairan intravena, urin output,dan pemberian medikamentosa. Laparotomi dianjurkan pada setiap kasus yang telah terjadi ruptur atau kasus yang tidak merespon penatalaksanaan medis dan drainase perkutaneus yang tidak memungkinkan. 7 Pengobatan pada Tubo Ovarium Abses yaitu dengan medikamentosa dan drainase. 1. Medikamentosa 8



Untuk pemberian obat-obatan, terdapat dua regimen yang dianjurkan; • Cefoxitin 2 g IV setiap 6 jam (atau cefocetan 2 g IV setiap 12 jam), • Klindamisin 900 mg IV dan gentamisin 1,5 mg / kg PO setiap 8 jam (setelah bolus 2 mg / kg gentamisin) ditambah dengan obat pulang bisa doksisiklin oral (100 mg per hari) atau klindamisin (450 mg lima kali sehari) selama dua minggu.8



Jika terapi inisial tersebut memperlihatkan perbaikan, lanjutkan dengan pemberian antibiotik oral (tetrasiklin, doksisiklin) selama 10-14 hari. Jika terjadi ruptur atau adanya kebocoran pada abses tersebut atau jika pasien tidak respon terhadap terapi yang diberikan, lakukan laparotomi eksplorasi. Sekitar 50% pasien dengan abses tuboovarian simtomatik yang belum ruptur akan membutuhkan tindakan pembedahan.2 Tanda-tanda pengobatan berespon dapat dilihat dengan berkurangnya nyeri, demam, dan dilihat dari nilai leukosit yang diperoleh setelah 72 jam. Penilaian menggunakan USG juka dilakukan untuk peningkatan ataupun pengurangan dari ukuran abses tersebut. Abses dapat menjadi hilang atau membentuk kapsul dalam penyembuhannya tanpa drainase.11



2. Drainase dan pembedahan dapat dilakukan dengan cara: a. Drainase transvaginal Drainase TOA menggunakan arahan USG. Pendekatan transvaginal memberikan jalur langsung dari vagina ke dalam kavum douglas atau regio adneksa dimana abses biasanya terlokalisasi.1 b. Drainase Transgluteal Drainase perkutaneus yang dipandu dengan menggunakan USG atau dengan CT scan biasanya digunakan untuk abses pelvik unilokuler dan keberhasilan dengan teknik ini dilaporkan mencapai 75-89%. Keuntungan yang dapat diperoleh dari teknik drainase ini antara lain menurunkan morbiditas dan lama perawatan dan pembiayaan di rumah sakit. Kesulitan dari teknik ini yakni akses pencapaian lokasi abses yang terdapat pada daerah rektouterina dan di antara pembuluh darah dankandung kencing. Dalam hal ini pencapaian ke daerah abses dapat dilakukan melalui pendekatan secara transgluteal1 c. Drainase Laparoskopik Teknik laparoskopi dalam penatalaksanaan abses mempunyai kelebihan yakni memberikan visualisasi langsung pada daerah drainase abses, dan hal ini tentu saja sekaligus sebagai alat bantu dalam konfirmasi diagnosa. Penatalaksanaan pasien dengan 9



laparoskopi menurunkan morbiditas, dan pembiayaan bila dibandingkan dengan ekstirpasi dan drainase abses per laparotomi.1 d. Drainase pembedahan Drainase kavum douglas dengan insisi kolpotomi telah digunakan selama beberapa tahun sebelumnya. Akan tetapi, prosedur ini harus tidak dikerjakan kecuali abses teraba pada linea mediana, melekat pada dinding vagina, dan mengisi sepertiga atas septum rektovaginal. Pasien dengan TOA jarang memiliki kriteria tersebut. Kolpotomi kurang disukai karena beberapa laporan berhubungan dengan tingginya komplikasi kematian, dan angka reoperasi untuk infeksi lanjutan 1



2.7. Komplikasi a. TOA yang utuh: pecah sampai sepsis reinfeksi di kemudian hari,infertilitas b. TOA yang pecah: syok sepsis, abses intraabdominal. 11



2.8. Prognosis Pasien dengan abses tanpa ruptur memiliki prognosis yang sangat baik. Penatalaksanaan dapat dilakukan dengan drainasi perkutaneus atau drainase transvaginal. Terapi medis dengan diikuti oleh pembedahan yang tepat, dapat menjadikan hasil pengobatan yang bagus. Banyak abses tuboovarial tanpa ruptur yang telah didiagnosis secara klinis hanya memunculkan salfingitis akut dengan adhesi pada omental dan intestinal, yang dengan cepat akan memberikan respon terhadap antibiotik yang adekuat. Rangkaian USG dapat mengidentifikasi abses tuboovarial tanpa ruptur dan progresifitas dari penyakitnya. Resiko infertiliti terjadi pada 5- 10% kasus, dan terjadi peningkatan resiko kehamilan ektopik. Resiko terjadi reinfeksi pada kasus TOA harus dipertimbangkan jika belum dilakukan terapi bedah definitif, namun hanya pada kurang dari 10% kasus.7



10



BAB III PENUTUP



Kesimpulan 1.



Tubo Ovarium Abses adalah radang disertai dengan akumulasi pus yang terjadi pada ovarium dan atau tuba fallopi pada satu sisi atau kedua sisi adneksa



2.



Tubo Ovarium Abses sering terjadi pada wanita yakni antara usia 20-40 tahun dan paling banyak terjadipada nulipara



3.



Tubo Ovarium Abses disebabkan oleh infeksi berbagai bakteri sepertispesies Streptococcus, E.coli, spesies Bacteroides, spesies Prevotella, spesies Peptostreptococcuss.



4.



Faktor resiko terjadinya Tubo Ovarium Abses yaitu pasangan seksual multipel, Riwayat penyakit peradangan panggul, Penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR), Riwayat penyakit menular seksual.



5.



Diagnosis Tubo Ovarium Abses dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis yaitu nyeri perut atau nyeri pelvis yang meupkan gejala klinis tersering. Pada pemeriksaan fisik pada pemeriksaan abdomen ditemukan nyeri tekan dan nyeri lepas, penurunan suara bising usus, pada pemeriksaan dalam dapat ditemukan massa pada adneksa, terasa lunak saat menggerakan servik. Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pemeriksaan USG, CT –scan dan pemeriksaan labratorium.



6.



Tatalaksana dapat berupa medikamentosa ataupun drainase dan pembedahan.



7.



Komplikasi bisa ruptur abses, syok septik, infertilitas, kehamilan ektopik, abses intra abdominal.



8.



Prognosis pada abses tanpa ruptur memiliki prognosis yang baik.



DAFTAR PUSTAKA



1.



Sweet RL, Gibs RS. Sexually transmitted Disease. Ed Infectious diesease of the female genital tract. Philadelpia: 2002.



2.



Pernoll, M.L. Benson & Pernoll’s handbook of Obstetrics and Gynecology. MCGraw Hill. Kansas. 2001.



3.



Lareau SM, Beigi RH. Pelvic Inflammatory Disease and Tubo-ovarian Abcess. Infect Dis Clin N Am 2008; 22: 693–708.



4.



Rosen M, Breitkopf D, Waud K. Tubo-ovarian abscess management options for women who desire fertility. Obstet Gynecol Surv 2009; 64(10):681-9



5.



Osborne NG. Tubo-Ovarian Abcess: Pathogenesis and Management. Journal of The National Medical Association 1986; 78 (10).



6.



Landers, D.V dan Sweet, R.L. Tubo Ovarian Abscess: Contemporary Approach to Management. Rev Infect Dis 1983; 5:876.



7.



DeCherney. Operative delivery. In :Current Diagnosis and Treatment Obstetrics & Gynecologist. 10Thedition. New York : McGraw Hill Companies. 2007.



8.



Paulman, P.M, Harrison, J, Paulman A, Nasir, L.S, Collier, D.S, Bryan, S. Signs and Symptoms in Family Medicine. Mosby Inc, Philadelphia. 2012



9.



Benson R.C dan Pernoll M.L. Buku Saku Obstetri dan Ginekologi. EGC. Jakarta; 2009.



10.



Cherry, J.D, Harrison, G.J, Kaplan, S.L, Steinbach W.J, Hotez, P.J. Feigin and Cherry’s Textbook of Pediatric Infectious Disease 7th Ed. Elsevier Saunders. Philadelphia. 2014 Dewwit J, Reining A, Allsworth JE, Peipert JF. Tuboovarian abscesses: is size associated with duration of hospitalization & complications Obstet Gynecol Int 2010; 2010:847041.