Tugas 2 Makalah Health Belief Model [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KATA PENGANTAR Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat penyelenggaraan-Nya, makalah yang berjudul “Health Belief Model” ini bisa diselesaikan. Makalah ini ditulis dengan



tujuan sebagai tugas mata kuliah



Psikologi Industri . Tujuan yang lebih khusus dari penulisan makalah ini ialah untuk menambah pengetahuan tentang apa yang di maksud dengan Health Belief Model. Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Dosen yang telah memberikan tugas untuk menulis makalah ini, serta kepada siapa saja yang telah terlibat dalam proses penulisannya, terlibih kepada teman – teman seangkatan Program studi magister epidemiologi 2017 Universitas Airlangga. Akhirnya, harapan penulis semoga makalah yang berjudul Health Belief Model ini bermanfaat bagi pembaca. Penulis telah berusaha sebisa mungkin untuk menyelesaikan makalah ini, namun penulis menyadari makalah ini belumlah sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapakan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna menyempurnakan makalah ini.



Surabaya, 28 Agustus 2017



Penulis



1



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR



1



DAFTAR ISI



2



BAB I



PENDAHULUAN



3



I.1 Latar Belakang



3



I.2 Rumusan Masalah



3



I.3 Tujuan



3



PEMBAHASAN



4



2.1



Pengertian Health Belief Model



4



2.2



Sejarah Perkembangan Health Belief Model



5



2.3



Komponen Health Belief Model



6



2.4



Kelebihan dan Kekurangan Health Belief Model



10



2.5



Contoh Kasus dan Pembahasan



12



2.5.1



Contoh Kasus



12



2.5.2



Pembahasan



20



BAB II



BAB III



PENUTUP



25



3.1



Kesimpulan



25



3.1



Saran



25



DAFTAR PUSTAKA



26



2



BAB 1 PENDAHULUAN 1.1



Latar Belakang Perubahan bisa terjadi setiap saat, dan merupakan proses yang dinamik



serta tidak dapat dielakkan. Berubah berarti beranjak dari keadaan yang semula. Tanpa berubah tidak ada pertumbuhan dan tidak ada dorongan. Perubahan juga dapat terjadi pada perilaku dari seseorang maupun suatu kelompok. Perilaku merupakan basil hubungan antara perangsang (stimulus) dan respon (Notoatmojo,1993), sedangkan Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Perilaku



kesehatan



masyarakat



merupakan



faktor



yang



sangat



mempengaruhi kualitas kesehatan masyarakat. Sebagian besar penyakit bermula dari perubahan perilaku yang buruk. Penurunan kualitas kesehatan masyarakat akibat perilaku kesehatan masyarakat yang buruk ini kemudian menjadi suatu hal yang sangat krusial bagi petugas kesehatan. Perilaku yang buruk, rusaknya lingkungan, dan penurunan kualitas kesehatan menjadi siklus yang harus diputus untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang sehat. Melalui teori Health Belief Model, kita mampu mempelajari perilaku kesehatan masyarakat yang akan mempermudah pemahaman tehadap perubahan kualitas kesehatan masyarakat. Melalui pemahaman dan pengaplikasian teori Health Belief Model yang baik akan tercipta kualitas kesehatan masyarakat indonesia yg baik pula. 1.2



Rumusan Masalah 1. Apa yang di maksud health belief model ? 2. Bagaimana contoh penerapan dari health belief model



1.3



Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui tentang health belief model 2. Untuk mengetahui bagaimana penerapan dari health belief model



3



BAB 2 PEMBAHASAN



2.1



Pengertian Health Belief Model Health Belief Model (HBM) seringkali dipertimbangakan sebagai



kerangka utama dalam perilaku yang berkaitan dengan kesehatan manusia dan telah mendorong penelitian perilaku kesehatan sejak tahun 1950-an. Hal ini menjadikan HBM sebagai model yang menjelaskan pertimbangan seseorang sebelum mereka berperilaku sehat. Oleh karena itu, HBM memiliki fungsi sebagai model pencegahan atau preventif (Salihat, 2009). Bila di telusuri menggunakan susunan kata, teori health belief model terdiri 3 kata dasar yaitu health, menurut UU No.36 tahun 2009 Tentang Kesehatan, kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupunsosialyang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial danekonomi. Kata dasar yang kedua yaitu belief dalam bahasa inggris artinya percaya atau keyakinan. Menurut peneliti belief adalah keyakinan terhadap sesuatu yang menimbulkan perilaku tertentu. Sedangkan kata yang terakhir yaitu model adalah seseorang yang bisa dijadikan panutan atau contoh dalam perilaku, cita-cita dan tujuan hidup yang akan dicapai individu. Biasanya teori modeling ini sangat efektif pada perkembangan anak di usia dini, namun dalam materi peneliti kali ini teori modeling di umpakan sebuah issue atau pengalaman pengobatan dari seseorang yang memiliki riwayat sakit yang sama dan memilih serta menjalani pengobatan alternative yang mendapatkan hasil yang positif (Putri, 2016). Health belief model merupakan suatu konsep yang mengungkapkan alasan dari individu untuk mau atau tidak mau melakukan perilaku sehat (Janz & Becker, 1984 as cited in Putri, 2016). Health belief model juga dapat diartikan sebagai sebuah konstruk teoretis mengenai kepercayaan individu dalam berperilaku sehat (Conner, 2005 as cited in Putri, 2016). Teori Health Belief Model merupakan salah satu teori yang digunakan untuk memahami dan mengidentifikasi bagaimana dan kemana mengarahkan strategi untuk perubahan perilaku dan juga menjelaskan pada tiap aspek penting beberapa



4



perilaku manusia. Teori ini dapat digunakan untuk meramalkan atau memodifikasi perilaku kesehatan karena kemungkinan individu akan melakukan tindakan pencegahan, penanganan, dan dapat dikaitkan dengan perkembangan penyakit kronis yang tergantung secara langsung pada hasil dari keyakinan atau penilaian kesehatan (Kirscht, 1988 dalam Salhat, 2009; Machfoedz, 2006 as cited in Ummuzahro, 2015). Konsep utama dari health belief model adalah perilaku sehat ditentukan oleh kepercaaan individu atau presepsi tentang penyakit dan sarana yang tersedia untuk menghindari terjadinya suatu penyakit (Putri, 2016). Dari pengertian-pengertian mengenai health belief model yang sudah dijelaskan diatas dapat disimpulkan bahwa health belief model adalah model yang menspesifikasikan bagaimana individu secara kognitif menunjukkan perilaku sehat maupun usaha untuk menuju sehat atau penyembuhan suatu penyakit. Health belief model ini didasari oleh keyakinan atau kepercayaan individu tentang perilaku sehat maupun pengobatan tertentu yang bisa membuat diri individu tersebut sehat ataupun sembuh (Putri, 2016). 2.2



Sejarah Perkembangan Teori Health Belief Model Pada tahun 1950-an peneliti kesehatan publik Amerika Serikat mulai



mengembangkan suatu model yang memiliki target indikasi untuk program edukasi kesehatan. (Hochbaum 1958; Rosenstock 1966 as cited in Ummuzahroh, 2015). Tapi, psikolog sosial di Amerika Serikat ini mendapati masalah dengan sedikitnya orang yang berpartisipasi dalam program pencegahan dan deteksi penyakit. Penelitian yang terus berkembang melahirkan model kepercayaan sehat atau health belief model (Ummuzahror, 2015). Irwin Rosenstock (1974) adalah tokoh yang mencetuskan health belief model untuk pertama kali bersama Godfrey Hochbaum (1958). Yaitu teori yang di rancang agar dapat memahami dengan baik bagaimana orang mempersepsikan ancaman suau penyakit. Mereka mengembangkannya dengan mengemukakan kerentanan yang dirasakan untuk penyakit TBC. (Hochbaum, 1958 pada Jones and Barlett, 2010 1966 as cited in Ummuzahroh, 2015). Rosenstock



dan



lebih



jauh



oleh



Baker



selama



1970-1980an



mengembangkan teori health belief model untuk memprediksi perilaku kesehatan



5



preventif dan juga respon untuk perawatan pada pasien yang sakit akut dan kronis. Namun akhir akhir ini teori health belief modeldi kembangkan untuk memprediksi berbagai perilaku yang berhubungan dengan kesehatan. Health belief model adalah model kognitif yang menjelaskan dan memperediksi perilaku sehat dengan fokus pada sikap dan perilaku pada individu (Widyautama, 2016). Sedangkan menurut Notoatmodjo (2010), munculnya model ini didasarkan pada kenyataan bahwa problem-problem kesehatan ditandai oleh kegagalan orang atau masyarakatuntuk menerima usaha pencegahan dan penyembuhan penyakit yang diselenggarakan oleh provider (Ummuzahroh, 2015). 2.3



Komponen Health Belief Model Health Belief Model memiliki empat konstruksi utama yaitu persepsi



kerentanan yang dirasakan (perceived susceptibility), keseriusan yang dirasakan (perceived seriousness), manfaat yang didapatkan (perceived benefits), dan hambatan yang dihadapi (perceived barriers) (Jones & Bartlett, 2010 as cited in Ummuzahroh, 2015). Dalam perkembangannya, perilaku/tindakan seseorang untuk mencegah atau mengobati penyakit juga dipengaruhi oleh self-efficacy dan petunjuk/pendorong untu bertindak (cues to action) (Jones & Bartlett, 2010 as cited in Ummuzahroh, 2015). Sementara itu perubahan perilaku yang lakukan oleh dividu dipengaruhi oleh modifying factors antara lain usia, jenis kelamin, ras/suku, motivasi, kepribadian, sosial ekonomi, dan tingkat pendidikan (Jones & Bartlett, 2010 as cited in Ummuzahroh, 2015). 1.



Persepsi terhadap kerentanan (perceived susceptibility) Perceived



Susceptibility



adalah



kepercayaan



seseorang



dengan



menganggap menderita penyakit adalah hasil melakukan perilaku terentu. Hal ini mengacu pada persepsi subyektif seseorang menyangkut risiko yang timbul dari kondisi kesehatannya. Perceived susceptibility juga diartikan miliki hubungan positif dengan perilaku sehat. Jika persepsi kerentanan terhadap penyakit tinggi maka perilaku sehat yang dilakukan seseorang juga tinggi. Ketika seseorang peracya bahwa mereka beresiko terhadap sebuah penyakit, mereka akan lebih sering melakukan sesuatu untuk mencegah



6



terjadinya penyakit tersebut. Namun, sebaliknya ketika seseorang percaya bahwa mereka tidak beresiko atau memiliki resiko yang rendah, maka perilaku yang tidak sehat cenderung di hasilkan. Contoh dari perceived susceptibility adalah seorang pekerja seks komersial yang memiliki kepercayaan bahwa pekerjaannya memiliki resiko yang tinggi untuk tertular penyakit infeksi menular seksual maupun HIV maka dia akan menggunakan kondom ketika berhubungan untuk mencegah dirinya terkena penyakit tersebut. 2.



Persepsi terhadap keseriusan (perceived severity) Perceived severity merupakan kepercayaan subjektif dari individu terhadap seberapa parah konsekuensi secara medis (kematian, cacat dan rasa sakit) maupun dari segi sosial (efek terhadap pekerjaan, kehidupan keluarga) dari penyakit yang akan di deritanya. Perceived severity dapat terbentuk dari informasi medis maupun pengetahuan individu, namun juga dapat terbentuk atas kepercayaan individu tentang kesulitan dari sebuah penyakit yang tercipta atau mempengauhi hidup mereka secara umum. Perceived seriousness juga memiliki hubungan yang positif dengan perilaku sehat. Jika persepsi keparahan individu tinggi maka ia akan berperilaku sehat. Contohnya adalah individu percaya kalau merokok dapat menyebabkan kanker maka dia akan berhenti merokok karena besar masalah kesehatan yang akan dia alami apabila terus merokok. Ketika perceived susceptibility di kombinasikan dengan perceived severity akan menghasilkan penerimaan ancaman (perceived threat). Asumsinya adalah apabila seseorang berfikit kesakitan akan betul-betul mengancam dirinya maka ancaman yang di rasakan meningkat dan menyebabkan perilaku pencegajan juga meningkat.



3.



Persepsi terhadap keuntungan (Perceived benefits) Perceived Benefits adalah kepercayaan terhadap keuntungan dari metode yang disarankan untuk mengurangi resiko penyakit. Penerimaan susceptibilitysesorang terhadap suatu



kondisi



yang dipercaya dapat



menimbulkankeseriusan (perceived threat) menghasilkan suatukekuatan yang mendukung kearah perubahan perilaku. Ini tergantung pada kepercayaan



7



seseorang terhadap efektivitas dari berbagai upaya yang tersedia dalam mengurangi ancaman penyakit, atau keuntungan-keuntunganyangdirasakan (perceived benefit) dalam mengambil upaya-upaya kesehatan tersebut. Ketika seorang memperlihatkan suatu kepercayaan terhadap adanya kepekaan (susceptibility) dan keseriusan (seriousness), sering tidak diharapkan untuk menerima apapun upaya kesehatan yang direkomendasikan kecuali jika upaya tersebut dirasa manjur dan cocok. Contohnya adalah Individu yang sadar akan keuntungan deteksi dini penyakit akan terus melakukan perilaku sehat seperti medical check up rutin. Perceived benefits secara ringkas berarti persepsi keuntungan yang memiliki hubungan positif dengan perilaku sehat. Individu yang sadar akan keuntungan deteksi dini penyakit akan terus melakukan perilaku sehat. 4.



Persepsi terhadap hambatan (perceived barriers) Perceived barriers secara singkat berarti persepsi hambatan atau persepsi menurunnya kenyamanan saat meninggalkan perilaku tidak sehat. Perceived barriers atau hambatan yang dirasakan untuk berubah, atau apabilaindividu menghadapi rintangan yang ditemukan dalam mengambil tindakantersebut. Aspek-aspek negatif yang potensial dalam suatu upaya kesehatan (seperti:ketidakpastian, efek samping), atau penghalang yang dirasakan (seperti:khawatir tidak cocok, tidak senang, gugup), yang mungkin berperan sebagaihalangan untuk merekomendasikan suatu perilaku.Contoh lain SADARI (periksa payudara sendiri) untuk perempuan yang dirasa agak susah dalm menghitung masa subur membuat perempuan enggan SADARI. Hubungan perceived barriers dengan perilaku sehat adalah negatif. Jika persepsi hambatan terhadap perilaku sehat tinggi maka perilaku sehat tidak akan dilakukan.



5.



Cuest to action Tambahan dari empat kepercayaan heaalth belief model adalah cues of action atau pemicu. Pemicu timbulnya perilaku adalah kejadian, orang, atau barang yang dapat mendorong seseorang merubah perilakunya.Cues to action bisa juga di katakan sebagai hal yang mempercepat tindakan atau membuat seseorang merasa butuh mengambil tindakan atau melakukan tindakan nyata



8



untuk melakukan perilaku sehat. Cues to action juga berarti dukungan atau dorongan dari lingkungan terhadap individu yang melakukan perilaku sehat. Bentuk dari cues of action banyak bentuknya salah satunya yaitu illness of family member, media reports, saran dari orang lain, nasehat dari petugas kesehatan, poster, dll. 6.



Self-efficacy Self-efficacy adalah keyakinan pada kemampuan diri sendiri unuk melakukan sesuatu Seseorang umumnya tidak mencoba melakukan sesuatu yang baru kecuali mereka berpikir mereka mampu melakukannya. Jika seseorang percaya sebuah perilaku baru itu berguna (perceived benefit), tetapi tidak berfikir dia mampu melakukannya (perceived barrier), kemungkinan besar bahwa perilaku itu tidak akan dilakukan.



7.



Faktor lainnya (modifying factors) Selain 6 faktor pembentuk di atas (5 pembentuk utama) ada juga yang di sebut modifying factors yang dapat di bagi kedalam 3 variable yaitu : a. Variabel demografi yang terdiri dari usia, jenis kelamin, latar belakang budaya, sosial dan ekonomi b. Variabel psikologis yang terdiri dari kepribadian, kelas sosial, tekanan sosial c. Variabel struktural yang terdiri dari pengetahuan dan pengalaman tentang masalah HBM menjelaskan perubahan dan pemeliharaan perilaku kesehatan sebagai



petunjuk cara kerja dari perilaku kesehatan yang meliputi persepsi individu, faktor-faktor yang berpengaruh dan kemungkinan untuk bertindak. Agar lebih jelas dapat dilihat pada gambar di bawah ini:



9



Individual Perceptions



Modifying Factors



Likelihood of Action



Age, sex, ethnicity, personality, socioeconomic, knowledge



Perceived benefits minus perceived barriers



Perceived threat of disease



Likelihood of behavior



Perceived susceptibility/perceived seriousness



Cues to action



Gambar 2.1 Component of the Health Belief Model Sumber: Stretcher, V., & Rosenstock I.M. (1997). The Health Belief Model. In Glanz K., Lewis F.M., & Rimer B.K., (Eds). Health Education: Theory, Research and Practice. San Fransisco: Jossey-Bass



Model ini menjelaskan dan memprediksikan kemungkinan terjadinya perubahan perilaku yang dihubungkan dengan pola keyakinan (belief) atau perasaan (perceived) tertentu. Model ini didasarkan atas sekuensi agar perubahan perilaku terjadi yaitu: 1.



Adanya perasaan bahwa kesehatannya dalam keadaan terancam



2.



Adanya perasaan individu tentang kerentanannya dan keseriusan penyakit



3.



Faktor perubahan atau keterbatasan (modifying factors) berkaitan dengan umur, jenis kelamin, etnis, kepribadian, sosial ekonomi dan pengetahuan yangberhubungan dengan perasaan tentang adanya manfaat dan hambatan dalam perubahan perilaku.



4.



Adanya petunjuk, edukasi, gejala atau media informasi yang dapat mempengaruhi seseorang tentang bahaya penyakit sehingga merasa perlu mengambil tindakan (Jones & Bartlett, 2010 as cited in Ummuzahroh, 2015).



2.4 1.



Kelebihan dan Kekurangan Health Belief Model Kelebihan health belief model a. Mudah di gunakan b. Bentuk intervensi yang praktis bagi tenaga kesehatan khususnya untuk tindakan preventif



10



c. Analisator perilaku yang beresio terhadap kesehatan 2.



Kekurangan health belief model a. Rosenstock berpendapat bahwa model HBM mungkin lebih berlaku untuk masyarakat kelas menengah saja. b. Sheran dan Orbel (1995) menyatakan dalam penelitian sebelumnya, item kuesioner HBM tidak random dan dapat dengan mudah dibaca oleh responden sehingga validasinya diragukan. c. Penelitian cross sectional untuk memperjelas hubungan perilaku dan keyakinan seseorang.



11



2.5



Contoh Kasus dan Pembahasan



2.5.1 Contoh Kasus GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU MEROKOK PADA PENDERITA HIPERTENSI DI DESA SIDOKARTO KECAMATAN GODEAN, SLEMAN, YOGYAKARTA



Septian Emma Dwi Jatmika, Muchsin Maulana Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta Email: [email protected]



Abstract Background: Smoking is a risk factor for hypertension. Prevention can be done by controlling these risk factors to reduce the risk of further complications in patients. Methods: The study was descriptive observational. Inclusion criteria respondent are 30 samples. Research Instrument using questionnaires which measured knowledge, attitudes, and behaviors of smoking variable with hypertension. Results: The results showed 66.67% of respondents behaved poorly in smoking and 10% of respondents had less knowledge. While 63.3% of respondents had a negative attitude. Conclusion: The study overview of knowledge can be categorized quite good. However, the smoking behavior of respondents categorized as less, supported by the negative attitude of the respondent... Keywords: knowledge, attitudes, smoking, hypertension Abstrak Latar Belakang: Merokok adalah salah satu faktor risiko terjadinya hipertensi. Pencegahan dapat dilakukan dengan mengendalikan faktor risiko tersebut untuk mengurangi risiko komplikasi lebih lanjut pada penderita. Metode: Jenis penelitian adalah observasional deskriptif. Jumlah responden yang memenuhi kriteria inklusi sebesar 30 sampel. Instrument penelitian menggunakan kuesioner yang mengukur tentang variabel pengetahuan, sikap, dan perilaku merokok dengan kejadian hipertensi. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan sebesar 66,67% responden berperilaku kurang baik dalam merokok dan 10% responden memiliki pengetahuan kurang baik. Sedangkan sebesar 63,3% responden memiliki sikap negatif. Kesimpulan: Gambaran pengetahuan responden penelitian dapat 12



dikategorikan cukup baik. Namun perilaku merokok responden tergolong kurang baik, didukung dengan sikap responden yang negatif. Kata kunci: pengetahuan, sikap, perilaku merokok, hipertensi 1.



Pendahuluan Merokok menjadi gaya hidup sebagian besar penduduk di negara



bekembang, termasuk Indonesia. Perokok di Indonesia pada usia 15 tahun keatas belum mengalami penurunan sejak tahun 2007 sampai 2013, angka ini cenderung meningkat dari 34,2% tahun 2007 menjadi 36,3% tahun 2013. Faktanya, 64,9% laki-laki dan 2,1% perempuan masih merokok pada tahun 2013. Rerata jumlah batang rokok yang dihisap paling banyak 18,3 batang perhari di Bangka Belitung. Merokok terbukti memiliki dampak buruk bagi kesehatan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sani mengungkapkan bahwa merokok menyebabkan peningkatan denyut jantung, tekanan darah dan kadar katekolamin yang berperan penting sebagai penyebab kelainan jantung. Selain itu, kebiasaan merokok pada penderita hipertensi meningkatkan risiko kardiovaskuler lainnya seperti penyakit jantung koroner (PJK), stroke, gagal jantung, dan penyakit arteri perifer. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Csanyi, dkk menyatakan hipertensi dan kebiasaan merokok dapat menimbulkan atherosklerosis dini sehingga merokok merupakan salah satu faktor terjadinya hipertensi dan komplikasi penyakit lainnya. Sebutan lain hipertensi adalah “The Silent Killer” karena penyakit ini sering membuat penderitanya kecolongan sebab tidak menimbulkan gejala spesifik.



Berdasarkan



pengukuran



tekanan



darah,



prevalensi



hipertensi



menunjukkan penurunan dari 31,7% tahun 2007 menjadi 25,8% tahun 2013. Hal ini diduga dipengaruhi oleh alat ukur tensi yang tidak terstandar dan kesadaran masyarakat untuk mengakses fasilitas kesehatan. Akan tetapi, hasil wawancara menunjukkan adanya peningkatan prevalensi hipertensi dari 7,6% tahun 2007 menjadi 9,5% tahun 2013. Faktor risiko seseorang menderita hipertensi ditentukan melalui interaksi dua atau lebih faktor risiko antara lain: faktor yang tidak dapat dikendalikan (non modifiable risk factors) dan faktor yang dapat dikendalikan (modifiable risk factors). Faktor yang tidak dapat dikendalikan antara lain umur dan jenis kelamin.



13



Sedangkan, faktor yang dapat dikendalikan antara lain merokok, hipertensi, penyakit diabetes mellitus, obesitas dan dislipidemia. Hipertensi dapat berkembang dari komplikasi ringan sampai komplikasi berat seperti stroke. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya kesehatan untuk menurunkan prevalensi hipertensi di masyarakat melalui pengobatan hipertensi yang sudah ada. Namun di Indonesia masih menggunakan sistem penemuan kasus secara pasif artinya menunggu pasien datang ke fasilitas kesehatan. Upaya pencegahan lainnya dengan mengendalikan faktor risiko hipertensi untuk mengurangi risiko komplikasi. Daerah Istimewa Yogyakarta termasuk lima besar provinsi dengan kasus hipertensi tertinggi yaitu sebesar 35,8%. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Supriyono menunjukkan 46,67% masyarakat masih berperilaku merokok di dalam rumah Berdasarkan hasil Riskesdas 2010, prevalensi perokok DIY sebesar 31,6% dan 66,1% berperilaku merokok di dalam rumah. Sedangkan pada tahun 2012 presentase rumah tangga bebas asap rokok sebesar 44,6% di DIY. Desa Sidokarto merupakan daerah pedesan yang terletak di Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman, DIY. Prevalensi perokok di pedesaan yang menghisap 6-10 batang perhari sebesar 32,3%, sedangkan prevalensi di perkotaan dengan jumlah batang rokok yang sama sebesar 27,4%. Guna menurunkan angka hipertensi ringan sampai dengan komplikasi, maka perlu dilakukan penelitian mengenai pengetahuan tentang rokok, sikap, dan perilaku merokok penderita hipertensi di Desa Sidokarto, Kecamatan Godean, Sleman, Yogyakarta. Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah observasional deskriptif yang bertujuan mendeskripsikan tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku merokok penderita hipertensi. Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2013 di Desa Sidokarto, Kecamatan Godean, Sleman, Yogyakarta dengan jumlah sampel sebesar 30 responden, diambil secara purpossive sampling. Kriteria inklusi responden yaitu pasien laki-laki yang terdiagnosis hipertensi, memiliki kebiasaan merokok, pernah merokok, atau sudah berhenti merokok, tidak ada gangguan komunikasi serta bersedia menjadi responden. Instrument penelitian menggunakan kuesioner yang mengukur variabel pengetahuan, sikap, dan perilaku merokok dengan kejadian



14



hipertensi. Analisis data penelitian ini adalah analisis univariat melalui proses komputerisasi. 2.



Hasil Penelitian dan Pembahasan A. Hasil Penelitian 1) Karakteristik Responden Berdasarkan Kelompok Umur Hasil penelitian menunjukkan, sebesar 36,67% responden berada pada kelompok umur 71-80 tahun di Desa Sidokarto, Kecamatan Godean, Sleman, Yogyakarta 2) Gambaran Kejadian Hipertensi Berdasarkan Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Merokok Berdasarkan



hasil



penelitian,



sebesar



66,67%



responden



berperilaku merokok yang kurang baik, sebesar 46,67% responden memiliki pengetahuan cukup baik tentang rokok, dan 63,33% memiliki sikap negative tentang rokok. Sebesar 33,33% responden merokok dalam kurun waktu 30 hari terakhir dengan jumlah rokok paling banyak dihisap (13,33%) lebih dari 20 batang perhari. Sebesar 30% responden merokok dalam kurun waktu 7 hari terakhir dan 26,67% responden merokok selama 24 jam terakhir dengan jumlah rokok paling banyak dihisap (13,33%) 4-6 batang perhari. Tipe perokok adiktif dan sudah menjadi kebiasaan lebih banyak ditemukan dalam penelitian ini dibandingkan tipe perokok lain. B. Pembahasan 1) Tingkat Pengetahuan Responden Tentang Rokok Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan merupakan hasil penginderaan terhadap suatu objek.8 Peneliti mengkategorikan pengetahuan menjadi tiga kategori yaitu pengetahuan baik, cukup baik dan kurang baik. Penelitian ini menunjukkan sebesar 46,67% responden memiliki pengetahuan yang cukup baik. Pengetahuan diukur



melalui



pertanyaan-pertanyaan



tentang



penyakit



yang



ditimbulkan akibat rokok antara lain penyakit jantung dan penyakit hipertensi. Sebesar 96,67% responden mengetahui hipotensi dan



15



gangguan kehamilan dan seluruh responden menyatakan merokok menyebabkan penyakit asma dan kanker paru. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ningsih, yaitu 62,7% responden mengetahui bahwa merokok dalam jangka waktu lama dapat



menyebabkan



penyakit



hipertensi.



Merokok



terbukti



meningkatkan tekanan darah. Merokok sebatang setiap hari akan meningkatkan tekanan sistolik 10-25 mmHg dan menambah detak jantung 5-20 kali per menit. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Aditama, sebesar 89,3% responden mengetahui bahwa kanker paru dapat diakibatkan oleh rokok. Faktor penyebab utama kanker paru adalah kebiasaan merokok. Penelitian yang sama menyatakan sebesar 88% responden mengetahui bahwa merokok menyebabkan penyakit jantung. Kebiasaan merokok berpengaruh pada jantung dan pembuluh darah melalui mekanisme aterosklerotik, gangguan metabolisme lemak, gangguan sistem homeostatik, gangguan irama jantung serta penurunan kemampuan untuk oksigenasi. Sebesar 66,7% responden mengetahui bahwa stroke merupakan dampak merokok. Stroke sangat sering terjadi akibat hipertensi yang tak terkendali. Hasil



penelitian



Ningsih



menunjukkan,



seluruh



responden



mengetahui bahwa nikotin merupakan zat yang berbahaya bagi tubuh manusia yang terkandung dalam rokok dan 70% responden mengetahui karbon monoksida merupakan zat yang berbahaya bagi tubuh manusia yang terkandung dalam rokok. Hasil penelitian yang sama, menyatakan dengan detail terkait pengetahuan responden tentang zat-zat kimia berbahaya dalam rokok. Peneliti memberikan pertanyaan mengenai ada tidaknya zat-zat seperti nikotin, tar dan karbon monoksida sebesar 48,9% responden tidak mengetahui namanama dari zat yang terkandung dalam rokok seperti tar dan karbonmonoksida



(CO),



sedangkan



85,3%



responden



hanya



mengetahui zat nikotin yang terkandung di dalam rokok. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa pengetahuan masyarakat masih



16



kurang mengenai zat-zat kimia dalam rokok dan efek dari zat tersebut bagi tubuh. Pengetahuan responden yang baik tidak berbanding lurus dengan perilaku merokok. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan yang baik tidak selalu mengubah perilaku, akan tetapi merupakan kumpulan hal yang positif antara perubahan perilaku dan variabel-variabel lainnya yang dapat mendukung perubahan perilaku. Tingkat pengetahuan seorang perokok mengenai dampak merokok beragam disetiap negara karena dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan masih kurang luasnya kampanye kesehatan.13 Responden dalam penelitian ini yang berpengetahuan baik namun memiliki perilaku merokok yang kurang baik dipengaruhi oleh perilaku merokok yang sudah menjadi kebiasaan responden (60%) dank arena adiksi (60%). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sirait,dkk menunjukkan bahwa disamping pengetahuan yang kurang, juga karena pengaruh adiksi dari nikotin yang terdapat pada rokok. 2) Sikap Responden Terhadap Perilaku Merokok Sikap seseorang dapat berubah dengan diperolehnya tambahan informasi tentang suatu objek tertentu. Begitu pula halnya dengan merokok, semakin banyak manfaat yang diketahui tentang merokok semakin baik sikap yang dibentuk, begitu juga sebaliknya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebesar 63,3% responden memiliki sikap negatif terhadap perilaku merokok artinya responden setuju dengan penggunaan tembakau sehingga cenderung untuk berperilaku merokok. Hasil penelitian ini menunjukkan sebesar 56,67% responden beranggapan bahwa merokok sangat baik dipakai untuk menyambut tamu di acara-acara selamat di kampung. Sebesar 40% responden setuju bahwa tidak ada orang yang meninggal karena merokok, maka merokok tidak perlu dilarang. Sebesar 30% responden setuju bahwa merokok itu merupakan hak asasi manusia sehingga merokok dapat dimana saja dan kapan saja Sedangkan responden yang memiliki sikap positif terhadap perilaku merokok dikarenakan



17



responden mengetahui tentang bahaya rokok serta dampak yang ditimbulkan. Berdasarkan hasil penelitian ini juga didapatkan sikap positif terhadap perilaku merokok dimana sebagian besar responden menjawab setuju bahwa masyarakat juga berkewajiban memberikan informasi tentang merokok dan bahayanya kepada masyarakat lain yaitu sebesar 83,3% dan separuh lebih (60%) responden setuju bahwa seharusnya pemerintah melarang orang-orang yang merokok di tempat-tempat umum, perkantoran dan sekolah. 3) Perilaku Merokok Responden Variabel Perilaku merokok dikategorikan menjadi 3 yaitu baik, cukup baik dan kurang baik. Hasil yang ditunjukkan penelitian ini sebesar 66,67% perilaku merokok responden kurang baik. Peneliti mengkategorikan perilaku merokok respoden dalam 30 hari terakhir, 7 minggu terkahir, 24 jam terakhir dan berdasarkan tipe merokok. Sebesar 13,33% responden dalam 30 hari terakhir menghisap >20 batang rokok/hari. Sebesar 13,33% responden dalam 7 hari terakhir menghisap 4-6 batang rokok/hari. Sedangkan dalam 24 jam terakhir sebesar 13,33% respoden menghisap 4-6 batang rokok/hari. Berdasarkan jumlah rokok yang dihisap, perokok dikategorikan menjadi 3 yaitu perokok ringan, perokok sedang dan perokok berat. Perokok ringan adalah perokok yang merokok kurang dari 10 batang per hari. Perokok sedang adalah perokok yang menghisap rokok 10-20 batang per hari. Sedangkan perokok berat adalah perokok yang menghisap rokok lebih dari 20 batang per hari. Berdasarkan pengkategorian tersebut dapat diketahui bahwa sebagian kecil responden (13,33%) termasuk kedalam kelompok perokok ringan. Sama halnya dengan penelitian lain didapatkan hasil bahwa sebagian besar responden (87,5%) termasuk kedalam kelompok perokok ringan sedangkan sebesar 12,5% responden termasuk kedalam kelompok perokok sedang.9 Penelitian yang dilakukan oleh Sirait, dkk menunjukkan hasil tidak sejalan dengan



18



penelitian ini, yaitu sebesar 49,8% perokok laki-laki menghisap 11-20 batang perhari dan sebesar 5,6% mengkonsumsi >20 batang perhari. Sedangkan hasil penelitian Umar,dkk menyatakan sebesar 55,6% responden penderita penyakit jantung koroner merupakan perokok berat



(.20



batang/hari).16



Nikotin



dalam



tembakau



dapat



menyebabkan tekanan darah meningkat setelah hisapan pertama. Selain dari lamanya merokok, risiko merokok terbesar tergantung pada jumlah rokok yang dihisap perhari. Seseorang yang merokok lebih dari satu pack rokok sehari akan 2 kali lebih rentan terkena hipertensi daripada mereka yang tidak merokok. Berdasarkan karakteristik responden kelompok umur sebesar 36,67% responden adalah kelompok umur 71-80 tahun. Hasil penelitian Rahajeng dan Tuminah, menyatakan bahwa semakin tinggi umur responden mempunyai risiko terhadap hipertensi. Tingginya risiko pria untuk mengalami hipertensi seringkali dipicu oleh perilaku tidak sehat (merokok dan konsumsi alkohol), depresi dan rendahnya status pekerjaan, perasaan kurang nyaman terhadap pekerjaan dan pengangguran. Demikian halnya pengaruh faktor pendidikan.18 Hasil penelitian Lewa, dkk menunjukkan bahwa lansia yang terpapar dengan kebiasaan merokok akan meningkatkan risiko kejadian hipertensi sistolik sebesar 2,8 kali lebih besar dibandingkan dengan lansia yang tidak terpapar kebiasaan merokok. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian lain yang menyatakan bahwa lansia yang merokok mempunyai kemungkinan sebesar 1,179 kali dan 1,07 kali, lebih besar terkena hipertensi hipertensi



sistolik



dibandingkan



dengan



lansia



yang



tidak



merokok.20,21 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tipe-tipe perilaku merokok yang paling banyak adalah karena zat adiktif dan kebiasan yaitu sebesar 60%. Responden merokok bukan hanya untuk mengendalikan perasaan mereka, akan tetapi sudah menjadi kebiasaan. Perokok tipe ini merupakan suatu perilaku yang bersifat otomatis,



seringkali



tanpa



dipikirkan



dan



tanpa



disadari



19



menghidupkan api rokok bila rokok yang dihisap telah habis. Selain itu, dalam penelitian ini sebesar 60% responden termasuk dalam kategori tipe perilaku merokok kecanduan. Hal ini akan membuat perilaku merokok menjadi lebih sulit untuk dihentikan. Responden yang sudah menjadi pecandu rokok akan menambah dosis rokok yang digunakan setiap saat setelah efek dari rokok yang dihisapnya berkurang. Sedangkan persentase tipe perilaku merokok yang paling sedikit dalam penelitian ini dipengaruhi oleh perasaan positif yaitu sebesar 20% artinya responden merokok merasakan penambahan rasa positif seperti nikmat yang dirasakan setelah minum kopi atau makan, akan bertambah nikmat dengan merokok.



DAFTAR PUSTAKA Aditama, T, Y., Rokok dan Kesehatan, Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, 1997. Green, L, W., Kreuter, M, W., Health Promoting Planning : An Educational And Environment, Mayfield Publishing, 1991. Crofton, J., Simpson, D., Tembakau: Ancaman Global, PT. Elex Media Computindo, Jakarta, 2009. Sarwono., Sosialisasi Kesehatan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2004. Bustan, M, N., Epidemiologi Penyakit Tidak Menular, Rineka Cipta, Jakarta, 2007. 2.5.2 Pembahasan Berdasarkan Teori HBM Health Belief Model pada kasus perokok ini adalah perubahan sikap dari seseorang sebagai perokok aktif menjadi tidak perokok. Adapun pembahasan kasus ini akan di pilah berdasarkan pada komponen HBM. Antara lain. 1.



Perceived Susceptibility Pada kasus di atas, Perceived Susceptibility terhadap rokok terlihat bahwa 46,67% responden memiliki pengetahuan dan pandangan kerentanan terhadap rokok yang cukup baik. Pengetahuan mereka diukur melalui pertanyaan20



pertanyaan tentang penyakit yang ditimbulkan akibat rokok antara lain penyakit jantung dan penyakit hipertensi. Sebesar 96,67% responden mengetahui hipotensi dan gangguan kehamilan dan seluruh responden menyatakan merokok menyebabkan penyakit asma dan kanker paru. 2.



Persepsi terhadap keseriusan (perceived severity) 96,67% responden mengetahui hipotensi dan gangguan kehamilan dan seluruh responden menyatakan merokok menyebabkan penyakit asma dan kanker paru. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ningsih, yaitu 62,7% responden mengetahui bahwa merokok dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan penyakit hipertensi. Merokok terbukti meningkatkan



tekanan



darah.



Merokok



sebatang



setiap



hari



akan



meningkatkan tekanan sistolik 10-25 mmHg dan menambah detak jantung 520 kali per menit. Resiko penyakit yang di sebabkan oleh rokok sangatlah serius karena sebagian besar berpotensi mengakibatkan kematian secara cepat pada serangan yang tiba-tiba, namun pandangan seseorang terhadadap tinggkat keseriusan akibat penyakit-penyakit tersebut sangat bersifat subyektif sehingga hal ini juga turut mempengaruhi keseriusan dan usaha seseorang untuk berperilaku sehat. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Aditama, sebesar 89,3% responden mengetahui bahwa kanker paru dapat diakibatkan oleh rokok. Faktor penyebab utama kanker paru adalah kebiasaan merokok. Penelitian yang sama menyatakan sebesar 88% responden mengetahui bahwa merokok menyebabkan penyakit jantung. Kebiasaan merokok berpengaruh pada jantung dan pembuluh darah melalui mekanisme aterosklerotik, gangguan metabolisme lemak, gangguan sistem homeostatik, gangguan irama jantung serta penurunan kemampuan untuk oksigenasi. Sebesar 66,7% responden mengetahui bahwa stroke merupakan dampak merokok. Stroke sangat sering terjadi akibat hipertensi yang tak terkendali.



21



3.



Persepsi terhadap keuntungan (Perceived benefits) Keuntungan dan kerugian yang akan diperoleh terhadap sebuah perubahan menjadi faktor yang sangat dipertimbangkan oleh seseorang untuk melakukan perubahan perilaku. Pandangan orang yang belum merokok berbeda dengan pandangan seorang



perokok



aktif.



Orang



yang



bukan



perokok



aktif



akan



mempertimbankan keuntungan dan kerugian apa yang bisa dialami jika dia merokok atau tetap tidak merokok. Sedangkan pada perokok aktif akan mempertimbangkan sebaliknya keuntungan dan kerugian apa yang akan dia peroleh



jika



berhenti



merokok



atau



tetap



aktif



merokok.\



Berdasarkan jumlah rokok yang dihisap, perokok dikategorikan menjadi 3 yaitu perokok ringan, perokok sedang dan perokok berat. Perokok ringan adalah perokok yang merokok kurang dari 10 batang per hari. Perokok sedang adalah perokok yang menghisap rokok 10-20 batang per hari. Sedangkan perokok berat adalah perokok yang menghisap rokok lebih dari 20 batang per hari. Bila di komfersikan ke nilai rupiah, maka dapat hitung bahwa perokok berat harus mengeluarkan biaya lebih dari Rp.20.000,- per hari atau Rp.600.000,- per bulan atau Rp.7.120.000,- per tahun untuk membeli rokok. Namun pada seorang perokok berat ada pula hal-hal yang dalam pandangannya akan memberikan kerugian jika dia berhenti merokok. Seperti para pekerja malam, rokok dijadikan sebagai alat untuk mengusir rasa ngantuk, bahkan ada sebagian yang akan di kucilkan dalam kelompok sosialnya jika tidak merokok karena sebagian besar anggota kelompok sosialnya dalah perokok sehingga usaha untuk berhenti merokok dalam pandangan mereka akan menimbulkan kerugian pada sisi sosiaal ekonomi. 4.



Persepsi terhadap hambatan (perceived barriers) Hasil penelitian ini menunjukkan sebesar 56,67% responden beranggapan bahwa merokok sangat baik dipakai untuk menyambut tamu di acara-acara selamat di kampung. Sebesar 40% responden setuju bahwa tidak ada orang yang meninggal karena merokok, maka merokok tidak perlu dilarang. Sebesar 30% responden setuju bahwa merokok itu merupakan hak asasi manusia sehingga merokok dapat dimana saja dan kapan saja



22



Selain itu iklan dan presepsi yang di bangun oleh para produsen rokok memberikan gambaran kepada masyarakat seaka-akan bahwa merokok itu banyak manfaatnya. 5.



Cuest to action Bentuk dari cues of action banyak bentuknya salah satunya yaitu illness of family member, media reports, saran dari orang lain, nasehat dari petugas kesehatan, poster, dll. Pengaruh orang-orang terdekat seperti keluarga, teman/sahabat, promosi larangan dan bahaya rokok, saran dari orang yang dijadikan panutan maupun petugas kesehatan ikut menentukan perilaku seseorang untuk berhenti merokok.



6. Self-efficacy Self-efficacy atau dapat diartikan sebagai keyakinan pada kemampuan diri sendiri atau rasa percaya diri menjadi tolak ukur awal bagi seseorang untuk melakukan usaha berhenti merokok atau tidak merokok bagi yang bukan perokok. Dari kayakinan diri inilah yang akan memperlihatkan kesungguhan seseorang untuk melakukan usaha berhenti merokok. 7.



Faktor lainnya (modifying factors) Selain 6 faktor pembentuk di atas (5 pembentuk utama) ada juga yang di sebut modifying factors yang dapat di bagi kedalam 3 variable yaitu : a) Variabel demografi yang terdiri dari usia, jenis kelamin, latar belakang budaya, sosial dan ekonomi Hasil penelitian menunjukan, kelompok umur yang paling banyak merokok berada pada kelompok umur 71-80 tahun sebesar 36,67% responden, lebih banyak pada laki-laki, sedangkan sosial budaya masyarakat setempat masih menganggap perilaku merokok adalah perilaku yang normal dan wajar. b) Variabel psikologis yang terdiri dari kepribadian, kelas sosial, tekanan sosial Kepribadian yang sesuai dengan norma-norma, dan tekanan sosial dapat mempengaruhi seseorang untuk berperilaku merokok atau tidak merokok



23



c) Variabel struktural yang terdiri dari pengetahuan dan pengalaman tentang masalah Seharusnya pengetahuan dan pengalaman mempunyai hubungan yang erat dengan sikap dan perilaku, namun pada penelitian di atas tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan terhadap bahaya rokok dengan perilaku merokok 8.



Likelihood of behivor Dari faktor-faktor yang telah di uraikan di atas akan menghasilkan kemunkinan-kemungkinan terjadi perubahan perilaku sehat yaitu : a) Pada perokok : akan berhenti merokok atau tetap merokok b) Pada non perokok : akan tetap tidak merokok atau mencoba-coba untuk merokok



24



BAB 3 KESIMPULAN DAN SARAN 3.1



KESIMPULAN Health belief model adalah model yang menspesifikasikan bagaimana



individu secara kognitif menunjukkan perilaku sehat maupun usaha untuk menuju sehat atau penyembuhan suatu penyakit. Health belief model ini didasari oleh keyakinan atau kepercayaan individu tentang perilaku sehat maupun pengobatan tertentu yang bisa membuat diri individu tersebut sehat ataupun sembuh Health Belief Model memiliki empat konstruksi utama yaitu persepsi kerentanan yang dirasakan (perceived susceptibility), keseriusan yang dirasakan (perceived seriousness), manfaat yang didapatkan (perceived benefits), dan hambatan yang dihadapi (perceived barriers) (Jones & Bartlett, 2010 as cited in Ummuzahroh, 2015). Dalam perkembangannya, perilaku/tindakan seseorang untuk mencegah atau mengobati penyakit juga dipengaruhi oleh self-efficacy dan petunjuk/pendorong untu bertindak (cues to action) (Jones & Bartlett, 2010 as cited in Ummuzahroh, 2015). 3.2



SARAN Dari makalah ini di harapkan dapat membantu masyarakat maupun tenaga



kesehatan untuk lebih mengetahui tentang konsep dan penerapan health belief model sehingga dapat di gunakan untuk menyusun langkah konkrit dalam tindakan preventif terhadap perilaku masyarakat yang tidak sehat



25



DAFTAR PUSTAKA



Salihat, Kurnia. 2009. Hubungan Persepsi Literatur. Universitas Indonesia : Jakarta http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/124279-S-5618-Hubungan%20persepsiLiteratur.pdf (Di akses pada 28 Agustus 2017) Putri, Devi. 2016. Gambaran Health Belief Model Pada Penderita Kanker Yang Memilih Dan Menjalani Pengobatan Alternatif. Universitas Sunan Ampel : Surabaya http://digilib.uinsby.ac.id/13200/ (Di akses pada 28 Agustus 2017) Ummuzahroh, 2015. Konsep Health Belief Model. https://www.scribd.com/document/286894081/Konsep-Health-Belief-Model-doc (Di akses pada 28 Agustus 2017)



Widyautama, A. 2016. Studi Deskriptif Mengenai Health Belief pada Mahasiswa Perokok Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung. Universitas Islam Bandung : Bandung http://repository.unisba.ac.id/bitstream/handle/123456789/4816/06bab2_wid yautama_10050010126_skr_2016.pdf?sequence=6&isAllowed=y (Di akses 28 Agustus 2017)



26