Tugas Malpraktik [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TUGAS MID MATA KULIAH HUKUM PELAYANAN DAN PEMBIAYAAN KESEHATAN DOSEN : DR. HARUSTIATI A. MOEIN, S.H, M.H



OLEH



Muhammad Wirasto Ismail P0906216001



PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM JURUSAN HUKUM KESEHATAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017



BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar belakang



Seringkali kita mendengar Istilah malpraktik oleh masyarakat, namun apakah pandangan masyarakat tentang malpraktik itu sesuai dengan apa yang dimaksud sebenarnya. Dalam menjalankan profesinya, dokter dan petugas medis harus taat pada norma-norma sosial, etika profesi dan hukum. Pelanggaran akan nilai-nilai tersebut dapat menjadi sorotan masyarakat, dan bisa berlanjut kepada tuduhan malpraktek kedokteran. Seiring dengan kemajuan teknologi dan kemudahan dalam mengakses informasi, masyarakat menjadi semakin kritis. 1 Masyarakat semakin mudah mengakses persoalan, termasuk memberikan penilaian terhadap pelayanan yang diberikan kepada dokter petugas kesehatan. Pandangan masyarakat yang tajam atas jasa pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan mengenai tuntutan hukum terhadap dokter semakin meningkat. Ditambah dengan dikeluarkannya UUD No. 29 Tahun 2004 masyarakat semakin sadar bahwa tenaga kesehatan dapat dituntut dan dipidanakan bila melakukan hal yang melanggar hukum. Tentunya bila kesadaran akan hak dan tuntutannya yang berlebihan tersebut tidak diiringi dengan pemahaman yang cukup tentang system dan kondisi pelayanan kesehatan, maka ketidak puasan tersebut dapat dengan mudahnya diberikan tuduhan malpraktik. 2Hal itu dapat terjadi akibat kesadaran hukum pasien yang semakin meningkat selain itu kesadaran atau semakin mengertinya pasien mengenai hak-haknya ketika dirawat oleh seorang dokter. Interpretasi yang salah di masyarakat luas bahwa kegagalan dokter dalam mengobati pasien dianggap sebuah tindakan malpraktek. Banyak juga masyarakat yang hanya mengadopsi istilah tanpa sadar betul apa maksud sebenarnya, padahal seorang dokter tidak bisa disalahkan bila tindakan yang dilakukaan dirinya dalam upaya penyembuhan pasien sudah sesuai dengan Standard Operational Procedure (SOP). 1



2



Hardisman, Opini Masyarakat Tentang Praktik Kedokteran (Padang : Artikel Penelitian), hlm : 1



ibid



Menurut Valentinv. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, malpraktek adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim digunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama, dari definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar telah terjadi kelalaian tenaga kesehatan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang ukurannya adalah lazim dipergunakan diwilayah tersebut. Namun menurut World Medical Association, tidak semua kegagalan medis adalah akibat malpraktik medis Sejak 2006 hingga 2012, tercatat ada 182 kasus dugaan malpraktek yangi dilakukan dokter di seluruh Indonesia. Malpraktek ini terbukti dilakukan dokter setelah melalui sidang yang dilakukan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Akibat dari malpraktek yang terjadi selama ini, sudah ada 29 dokter yang ijin prakteknya dicabut sementara.3 Oleh karena itu pemahaman mengenai malpraktek, secara garis besar penting untuk dipahami bagi masyarakat, agar opini tentang pelayanan kesehatan tidak lagi menjadi momok sehingga kepercayaan masyarakat bisa kembali terhadap pelayanan kesehatan di Indonesia.



1.2 Rumusan masalah



1. Pengertian Malpraktik dalam pandangan masyarakat awam? 2. Bagaimana upaya-upaya penyelesaian kasus dugaan malpraktek?



3



http://koran-sindo.com/news.php?r=0&n=15&date=2016-01-18



BAB II PEMBAHASAN



2.1



Pengertian Malpraktik dalam pandangan masyarakat awam



Anggapan masyarakat bahwa layanan di rumah sakit harus selalu sempurna, seolah olah stigma di masyarakat adalah layanan rumah sakit yang baik, pasien pasti sembuh. Dokter dianggap serba bisa, kalau tidak sembuh, berarti malpraktek. Pelayanan kedokteran itu kompleks dan berjenjang, pekerjaan yang harus dilakukan dengan penuh hati-hati, berhubungan dengan manusia (Hak Asasi Manusia). Sedangkan permasalahan yang dihadapi saat ini adalah pasien sering dibawa terlambat, dokter multifungsi, dimana sebagai dokter memiliki banyak kesibukan dan jabatan sehingga kadang kadang terjadi overwork.4 Maraknya kasus dugaan malpraktek medik atau kelalaian medik di Indonesia, ditambah “keberanian” pasien yang menjadi korban untuk menuntut hak-haknya, para dokter seakan baru mulai 'sibuk' berbenah diri. Terutama dalam menghadapi kasus malpraktek. 'Kesibukan' ini terjadi sejalan dengan makin baiknya tingkat pendidikan dan keadaan sosial ekonomi masyarakat. Dalam salah satu penelitian yang dilakukan, secara umum masyarakat berpandangan bahwa malpraktik merupakan kesalahan yang dilakukan oleh dokter sehingga berakibat buruk bagi pasien. Sebagian besar masyarakat menilai lebih menitik beratkan pada rasa tidak puas atas hasil yang terjadi tanpa melihat upaya apa yang telah dilakukan oleh dokter. Proses penanganan medis ada prosedunya dan hasil dari tindakan dokter jelas terukur dan dapat diperkirakan. Disis lain ada pemahaman masyarakat bahwa dokter hanya berupaya dan Tuhan yang menentukan membuat masyarakat menganggap dokter dapat lepas tangan dan tak tersentuh oleh hukum. Masyarakat pun tak menuntut para dokter yang tak profesional karena adanya pemahaman masyarakat mengenai hal tersebut.



4



Hardisman, Opini Masyarakat Tentang Praktik Kedokteran (Padang : Artikel Penelitian), hlm : 6



Padahal dalam pandangan hukum mengenai hubungan dokter pasien disebut sebagai hubungan terapeutik dan berlaku asas-asas hubungan terapeutik yang mencakup, yaitu5: a. Asas konsensual Berdasarkan azas ini maka masing-masing pihak harus menyatakan persetujuannya. Dengan kata lain, dokter atau rumah sakit juga harus menyatakan persetujuannya, baik secara eksplisit (misalnya secara lisan menyatakan



sanggup)



maupun



pendaftaran,



memberikan



nomor



secara urut,



emplisit menjual



(misalnya



menerima



karcis).



Pernyataan



kesanggupan itu tidak harus disampaikan sendiri oleh dokter tetapi dapat disampaikan oleh pegawainya. b. Azas itikad baik Itikad baik (utmost of good faith) merupakan azas yang paling utama dalam hubungan kontraktual, termasuk hubungan terapeutik. Tanpa disertai adanya itikad baik maka hubungan terapeutik juga tidak sah menurut hukum. c. Azas bebas Para pihak yang mengikatkan diri dalam hubungan kontraktual bebas menentukan apa saja yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing, sepanjang hal ini menjadi kesepakatan semua pihak, termasuk bentuk perikatannya. Hanya saja perlu disadari dalam hubungan terapeutik adalah bahwa upaya medik itu penuh dengan uncertainty dan hasilnya tidak dapat diperhitungkan secara matematik. Oleh sebab itu perlu dipikirkan secara masak-masak sebelum memberikan garansi kepada pasien. d. Azas tidak melanggar hukum Meskipun para pihak bebas menentukan isi kesepakatan, namun tidak boleh melanggar hukum. Jika misalnya pasien meminta dokter melakukan aborsi tanpa indikasi medis dan dokter pun setuju, maka hal ini tidak boleh dianggap sebagai hubungan terapeutik. Kesepakatan seperti itu harus dipandang sebagai pemufakatan jahat yang justru dapat menyeret dokter serta



5



Suharto G. 2008. Aspek Medikolegal Praktek Kedokteran. Semarang: ABH Associates.



pasien ke meja hijau. Karena bukan merupakan hubungan kontraktual makan dokter pun tidak dapat digugat mengganti kerugian yang terjadi atas dasar wanprestasi jika seandainya timbul kerugian pada pasien akibat kelalaian dokter ketika melakukan aborsi. e. Azas kepatutan dan kebiasaan Dalam hukum perdata dinyatakan bahwa para pihak yang telah mengadakan perikatan, selain harus tunduk pada apa yang telah disepakati, juga pada apa yang sudah menjadi kebiasaan dan kepatutan. Kebiasaan dan kepatutan yang berlaku di dunia kedokteran akan sedikit membedakan hubungan terapeutik dengan hubungan kontraktual lainnya, seperti misalnya dalam hal pemutusan hubungan secara sepihak oleh pihak pasien mengingat hubungan tersebut merupakan hubungan kepercayaan sehingga sudah sepatutnya jika pasien dapat memutuskan kapan saja jika kepercayaannya kepada dokter hilang.



Konsekuensi hukum yang timbul akibat disepakatinya hubungan terapeutik antara dokter dan pasien adalah timbulnya hak dan kewajiban pada masing-masing pihak. Perikatan antara dokter dengan pasien dalam hubungan dokter pasien hampir seluruhnya berupa perikatan ikhtiar, di mana dokter berupaya semaksimal mungkin untuk mengobati penyakit yang diderita oleh pasien. Apabila dokter telah berupaya semaksimal mungkin dan pasien tidak sembuh juga, maka dokter telah cukup bekerja dengan baik, karena perikatannya berupa ikhtiar. Dengan perkataan lain, pasien tidak dapat menuntut dokter untuk menyembuhkan penyakitnya. Dokter harus berupaya semaksimal mungkin untuk mengobati pasien. Dengan demikian kecenderungan masyarakat mendefinisikan malpraktik adalah kesalahan penanganan terhadap pasien yang sakit sehingga penyakitnya semakin parah atau meninggal dunia dengan unsur ketidak sengajaan, karena jika disengaja ini berarti penganiayaan. Padahal bentuk perjanjian dalam hubungan dokter pasien dalam tinjauan perjanjian teurepatik adalah berupa upaya atau ikhtiar yang sesuai dengan sisi keilmuannya yang diatur dalam regulasi berupa standar prosedur operational yang merujuk pada kode etik kedokteran dan bukan perjanjian dalam bentuk hasil.



Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang sangat luas, yang sering tumpang-tindih pada suatu issue tertentu, seperti pada informed consent, wajib simpan rahasia kedokteran, profesionalisme, dan lain-lain. Bahkan di dalam praktek kedokteran, aspek etik seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik yang telah diangkat menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai etika. Aspek etik kedokteran yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar profesi mengakibatkan penilaian perilaku etik seseorang dokter yang diadukan tidak dapat dipisahkan dengan penilaian perilaku profesinya. Etik yang memiliki sanksi moral dipaksa berbaur dengan keprofesian yang memiliki sanksi disiplin profesi yang bersifat administratif. Keadaan menjadi semakin sulit sejak para ahli hukum menganggap bahwa standar prosedur dan standar pelayanan medis dianggap sebagai domain hukum, padahal selama ini profesi menganggap bahwa memenuhi standar profesi adalah bagian dari sikap etis dan sikap profesional. Dengan demikian pelanggaran standar profesi dapat dinilai sebagai pelanggaran etik dan juga sekaligus pelanggaran hukum.6 World Medical Association dalam Deklarasi Geneva pada tahun 1968 menelorkan sumpah dokter (dunia) dan Kode Etik Kedokteran Internasional. Kode Etik Kedokteran Internasional berisikan tentang kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap sesama dan kewajiban terhadap diri sendiri. Selanjutnya, Kode Etik Kedokteran Indonesia dibuat dengan mengacu kepada Kode Etik Kedokteran Internasional. Selain Kode Etik Profesi di atas, praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsip-prinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan arahan dalam membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya atau benar-salahnya suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi moral. Pengetahuan etika ini dalam perkembangannya kemudian disebut sebagai etika biomedis. Etika biomedis memberi pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat keputusan klinis yang etis (clinical ethics) dan pedoman dalam melakukan penelitian di bidang medis.7



6



Astuti, Endang Kusuma. (Hubungan hukum antara dokter dengan pasien dalam upaya pelayanan



medis:2003)hlm.12 7



ibid



2.2



Upaya penyelesaian kasus dugaan malpraktik



Pada banyak kasus medikolegal kompleks yang sampai ke pengadilan, banyak yang memerlukan pendapat saksi ahli karena metodologi dan tata laksana standar kedokteran ada di luar pengetahuan juri. Jika terdapat tuduhan tindakan malpraktik maka orang yang mengajukan tuduhan tersebut disyaratkan untuk memberikan bukti adanya penyimpangan tersebut. Bukti tersebut harus datang dari ahli yang memiliki kualifikasi yang sesuai dengan subjek yang dipermasalahkan. Pembelaan yang lebih relevan dan dapat diterapkan dalam praktik kedokteran sehari-hari termasuk : (1) Asumsi pasien mengenai resiko berdasarkan surat persetujuan yang telah dibuat, (2) Faktor penyebab kelalaian terletak di tangan pasien tiga. (3) Kelalaian terletak pada pihak ke tiga



Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” memiliki arti “salah”, “praktek” memiliki arti “pelaksanaan” atau “tindakan” sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi. Dari segi hukum, malpraktek dapat terjadi karena suatu tinndakan yang disengaja (intentional) seperti pada misconduct tertentu,



tindakan



kelalaian



(negligence)



ataupun



suatu



kekurangmahiran/ketidakkompetenan yang tidak beralasan.Professional misconduct yang merupakan kesengajan dalam bentuk pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, jukum administratif serta hukum pidana dan perdata, seperti melakukan kesengajaan yang merugikan pasien, fraud, pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran, aborsi ilegal, euthanasia, penyerangan seksual, misreprentasi, keterangan palsu, menggunakan iptekdok yang belum teruji, berpraktik tanpa SIP, berpraktik di luar kompetensinya. Pada saat tuntutan malpraktek diajukan, akan menjadi sebuah tugas bagi sang pemohon perkara (pasien maupun anggota keluarganya) untuk mencari sendiri bukti yang mendukung tuntutannya tersebut. Hal ini akan terus dilakukan oleh pemohon sampai perkara tersebut menjadi sebuah kasus yang prima fasie dengan bukti – bukti yang cukup dihadirkan di depan pengadilan dan di hadapan juri yang memungkinkan hakim



memberikan putusan secara seksama berdasar bukti itu sendiri. Setelah bukti tersebut diajukan oleh pemohon, maka bukti yang dibawa pemohon tersebut akan dihadapkan kepada orang yang disangkakan.



Untuk itu upaya yang baik dilakukan adalah pencegahan baik dari sisi profesionalitas dalam memahami hak dan kewajiban serta menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga, dan masyarakat sekitar. Menurut hukum perdata, hubungan profesional antara dokter dengan pasien dapat terjadi karena 2 hal, yaitu:8 1. Berdasarkan perjanjian (ius contractu) Kontrak berupa terapeutik secara sukarela antara dokter dengan pasie berdasarkan kehendak bebas. Tuntutan dapat dilakukan bila terjadi "wanprestasi", yakni pengingkaran terhadap hal yang diperjanjikan. Dasar tuntutan adalah tidak, terlambat, salah melakukan, ataupun melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukan menurut perjanjian itu. 2. Berdasarkan hukum (ius delicto) Berlaku prinsip siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi. Rumusan perjanjian atau kontrak menurut hukum perdata ialah suatu tindakan atau perbuatan hukum yang dilakukan secara sukarela oleh dua orang atau lebih, yang bersepakat untuk memberikan "prestasi" satu kepada lainnya. Dalam hubungan



antara



dokter



dengan



pasien,



timbul



perikatan



usaha



(inspanningsverbintenis) dimana sang dokter berjanji memberikan "prestasi" berupa usaha penyembuhan yang sebaik-baiknya dan pasien selain melakukan pembayaran, ia juga wajib memberikan informasi secara benar atau mematuhi nasihat dokter sebagai "kontra-prestasi". Disebut perikatan usaha karena didasarkan atas kewajiban untuk berusaha. Dokter harus berusaha dengan segala daya agar usahanya dapat menyembuhkan penyakit pasien. Hal ini berbeda dengan kewajiban yang didasarkan karena hasil atau resultaat pada perikatan 8



Astuti, Endang Kusuma. (Hubungan hukum antara dokter dengan pasien dalam upaya pelayanan



medis:2003)hlm.35



hasil (resultaatverbintenis), dimana prestasi yang diberikan dokter tidak diukur dengan apa yang telah dihasilkannya, melainkan ia harus mengerahkan segala kemampuannya bagi pasien dengan penuh perhatian sesuai standar profesi medis. Selanjutnya dari hubungan hukum yang terjadi ini timbullah hak dan kewajiban bagi pasien dan dokter. Hubungan pasien dan SPK (Sarana Pelayanan Kesehatan) adalah suatu hubungan sederajat berupa perikatan ikhtiar dengan masing-masing memiliki hak dan kewajibannya. Karena pengobatan merupakan suatu ikhtiar, SPK tidak bisa menjanjikan kesembuhan, melainkan memberikan usaha maksimal sesuai dengan standar pelayanan untuk kesembuhan pasien.Pasien sebaiknya mengerti bahwa haknya adalah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai penyakit, pemeriksaan, pengobatan, efek samping, risiko, komplikasi, sampai alternatif pengobatannya. Pasien juga berhak untuk menolak pemeriksaan atau pengobatan dan meminta pendapat dokter lain. Selain itu, isi rekam medik atau catatan kesehatan adalah milik pasien sehingga berhak untuk meminta salinannya. Pasien memiliki kewajiban untuk memberikan informasi selengkaplengkapnya, mematuhi nasihat/anjuran pengobatan, mematuhi peraturan yang ada di SPK, dan membayar semua biaya pelayanan kesehatan yang telah diberikan9.



Di pihak lain, SPK wajib memberikan pelayanan sesuai dengan standar dan kebutuhan medis pasien, merujuk ke tempat yang lebih mampu jika tidak sanggup menangani pasien, dan merahasiakan rekam medik. SPK pun berhak menerima pembayaran atas jasa layanan kesehatan yang diberikannya kepada pasien. Selain mengerti hak dan kewajibannya, kedua belah pihak pun harus memiliki komunikasi yang baik dan rasa saling percaya untuk menghindari kesalahpahaman. Berbagai konflik antara pasien dan SPK hampir selalu diawali oleh komunikasi yang buruk dan kurangnya rasa percaya di antara keduanya. Baik pasien maupun SPK harus saling terbuka dan mau menerima masukan agar pengobatan dapat dilaksanakan dengan baik.Ada berbagai cara



9



Alil, Sukma, Raras, Ratna, Naila, Priscilia. Penerapan Medikolegal Dalam Menghadapi Malpraktik (Refarat Forensik) hlm.25



lain yang dapat dipilih, seperti penyelesaian secara kekeluargaan atau dengan bantuan penengah/mediator yang dipercayai dan dihormati oleh kedua pihak.10 Selain cara-cara penyelesaian masalah di atas, terdapat pula Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) jika pasien merasa dokter berlaku tidak sesuai etika. Untuk masalah yang berkaitan dengan kinerja/tindakan dokter di dalam praktiknya, pasien dapat mengadukannya ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang anggotanya terdiri atas tokoh masyarakat, sarjana hukum, dan dokter. Pasien bisa mengadu ke kedua lembaga tersebut sekaligus dengan meminta bantuan kantor cabang organisasi profesi dokter atau dinas kesehatan setempat.11 Hubungan pasien dan SPK memang dinamis sehingga masalah pun akan selalu timbul. Dengan cara penyelesaian masalah yang tepat, diharapkan hubungan di antara keduanya dapat terus terjalin dengan baik sehingga dunia pelayanan kesehatan di Indonesia dapat lebih berkualitas.12



10



ibid ibid 12 ibid 11



BAB III PENUTUP



3.1



Kesimpulan



Malpraktek menurut masyarakat awam adalah adalah kesalahan penanganan terhadap pasien yang sakit sehingga penyakitnya semakin parah atau meninggal. Sedangkan dalam sisi kedokteran Malpraktek adalah praktek kedokteran yang salah atau tidak sesuai dengan standar profesi atau standar prosedur operasional. Dalam tinjauan hubungan dokter pasien sebagai perjanjian teurepatik adalah berupa upaya dan bukan berorientasi pada segi hasil. Hubungan pasien dan SPK (Sarana Pelayanan Kesehatan) adalah suatu hubungan sederajat berupa perikatan ikhtiar dengan masing-masing memiliki hak dan kewajibannya. Karena pengobatan merupakan suatu ikhtiar, SPK tidak bisa menjanjikan kesembuhan, melainkan memberikan usaha maksimal sesuai dengan standar pelayanan untuk kesembuhan pasien. Ada berbagai cara lain yang dapat dipilih, seperti penyelesaian secara kekeluargaan atau dengan bantuan penengah/mediator yang dipercayai dan dihormati oleh kedua pihak. Selain cara-cara penyelesaian masalah di atas, terdapat pula Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang anggotanya terdiri atas tokoh masyarakat, sarjana hukum, dan dokter. Pasien bisa mengadu ke kedua lembaga tersebut sekaligus dengan meminta bantuan kantor cabang organisasi profesi dokter atau dinas kesehatan setempat.



3.2



Saran



Diperlukan suatu pemahaman yang baik agar tidak salah dalam memahami tentang penjelasan mengenai malpraktek, unsur-unsur malpraktek, aspek hukum malpraktek, serta contoh kasus yang membedakan antara malpraktek atau bukan, dan pemahaman standar profesi secara keseluruhan sehingga angka kejadian malpraktek yang dilakukan dokter dapat ditekan. Selain itu juga diperlukan upaya-upaya baik pemerintah maupun



organisasi profesi untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yaitu meningkatkan kualitas sumber daya, tenaga, peralatan, pelengkapan dan mateial yang diperlukan dengan menggunakan teknologi tinggi atau dengan kata lain meningkatkan input dan struktur, memperbaiki metode atau penerapan teknologi yang dipergunakan dalam kegiatan pelayanan, hal ini berarti memperbaiki pelayanan kesehatan.



DAFTAR PUSTAKA



1. Hardisman. 2010.Opini Masyarakat Tentang Malpraktik. Padang :Artikel Penelitian. 2. Suharto G. 2008. Aspek Medikolegal Praktek Kedokteran. Semarang: ABH Associates. 3. Dugaan Malpraktik di dunia Medis : http://koran-sindo.com/news.php?r=0&n=15&date=2016-01-18 4. Astuti, Endang Kusuma. 2003. Hubungan hukum antara dokter dengan pasien dalam upaya pelayanan medis 5. Alil, Sukma, Raras, Ratna, Naila, Priscilia. Penerapan Medikolegal Dalam Menghadapi Malpraktik : Refarat Forensik 6. Hubungan Hukum antara dokter dan pasien : https://hukumkes.wordpress.com/2008/03/15/aspek-hukum-pelayanan-kesehatan/