Utang BLBI [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1



Penyelesaian Utang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia Oleh Ridwan Khairandy A. Pendahuluan Pada Juli 1997, Indonesia mulai mengalami krisis moneter dan kemudian berlanjut menjadi krisis ekonomi yang akut. Krisis moneter yang telah berubah menjadi krisis multidimensional mendorong pemerintah untuk meminta bantuan Dana Moneter International (IMF). Atas usul IMF sebagai bagian dari reformasi perbankan, pada 1 November 1997, pemerintah harus mencabut izin usaha enam belas bank swasta nasional. Upaya ini dimaksudkan untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, tetapi dalam kenyataannya justeru malah menyebabkan masyarakat makin tidak percaya terhadap perbankan nasional. Kemudian terjadi penarikan dana secara besar-besaran (rush). Penarikan dana tersebut tindak hanya menimpa bank-bank yang tidak sehat, tetapi juga bank-bank yang sehat. Dalam waktu sekejap, bank yang semula sehat karena efek domino beralih status menjadi bank sakit karena karena kesulitan likuiditas.1 Di tengah kondisi perbankan di ambang kehancuran itu, sejalan dengan kebijakan pemerintah pada 3 September 1997, Bank Indonesia (BI) harus menjalankan perannya sebagai lender of last resort. BI kemudian menyalurkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) secara besar-besaran kepada bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas tersebut. Ketika rush sudah berhenti, bank-bank swasta penerima nasional BLBI tersebut menghadapi persoalan baru, yakni berkaitan dengan kewajiban untuk mengembalikan atau melunasi 1 J. Didik J. Rachbini (ed), Bank Indonesia Menuju Independensi Bank Sentral (Jakarta: PT Mardi Mulyo, 2000), hlm 11.



2



pinjaman BLBI tersebut. Utang BLBI tersebut sampai sekarang belum dapat diselesaikan. Dalam



menghadapi



penyelesaian



utang



BLBI



tersebut,



pemerintah



menghadapi dilema memilih instrumen hukum yang digunakan. Di sini terdapat beberapa pilihan instrumen hukum yang digunakan, diantaranya adalah:2 1. Pendekatan secara keperdataan; 2. Pendekatan secara pidana; dan 3. Pendekatan secara perdata dan pidana secara bersamaan. Penyelesaian hukum melalui pendekatan secara keperdataan misalnya dilakukan dengan skim Master of Settlement Acquisition Agreement (MSAA) dan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) sampai hari ini masih menimbulkan kontroversi baik yang menyangkut keabsahan (validitas) kontraknya maupun kewajaran isi kontraknya sendiri. Penyelesaian melalui hukum pidana juga menimbulkan persoalan kekhawatiran akan diputusbebasnya terdakwa atas dasar onslag van recht vervolging mengingat perkara tersebut masuk dalam ruang lingkup hukum perdata. B. Kerancuan Pengertian antara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dan Kredit Likuiditas Bank Indonesia. Secara yuridis ada kerancuan pengertian antara Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dan BLBI serta Fasilitas Diskonto (Fasdis). Pasal 32 ayat (3) UndangUndang No. 13 Tahun 19683 tidak memakai istilah BLBI, tetapi KLBI. Departemen Kuangan dan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) memakai istilah BLBI bagi 2 Soehandjono, “Diperlukan “Dirigen” dengan Payung Polotik untuk Menyelesaikan Kasus BLBI”, Kompas, 4 Januari 2002 dan 5 Januari 2002. 3 Undang-Undang No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral ini telah dicabut dan digantikan oleh Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Undang-Undang No. 13 Tahun 1968 relevan untuk digunakan dalam menyelesaikan utang BLBI mengingat terjadinya penyaluran BLBI ini terjadi selama periode berlakunya undang-undang tersebut.



3



pemberian likuiditas bagi bank yang mengalami kesulitan likuiditas. Istilah lain yang dipakai dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/272/Kep/Di tanggal 6 Maret 1998 bukan BLBI atau KLBI, tetapi Fasdis yang sebenarnya merupakan salah satu fasilitas BLBI.4 Istilah KLBI ditemukan dalam Pasal 32 Undang-Undang No. 13 Tahun 1968. KLBI adalah kredit yang diberikan BI kepada bank yang memerlukan dana guna memenuhi penarikan-penarikan yang dilakukan nasabah.5 Likuiditas sendiri dapat diartikan sebagai kewajiban bank untuk memenuhi kewajiban-kewajiban berjangka pendek. Berdasarkan ketentuan Pasal 32 Undang-Undang No. 13 Tahun 1968, KLBI dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, kredit likuiditas yang diberikan BI kepada bank berkaitan dengan fungsi BI sebagai banker’s bank. Kedua, kredit likuiditas yang diberikan BI berkaitan dengan fungsinya sebagai lender of last resort. Dalam bentuk yang pertama, menurut Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 1968, BI dapat memberikan kredit likuiditas kepada bank dengan cara: 1. menerima penggadaian ulang; 2. menerima sebagai jaminan surat-surat berharga; dan 3. menerima aksep dengan syarat-syarat yang ditentukan BI. Dalam bentuk yang kedua, kredit likuiditas yang diberikan merupakan manifestasi dari fungsi BI sebagai bank sentral sebagai upaya terakhir untuk meminjam uang (lender of last resort). Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 1968 menyebutkan bahwa BI 4 A. Tony Prasentiantono, et.al, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia Suatu pelajaran yang Aangat Mahal bagi Otoritas Moneter dan Perbankan (Jakarta: Center for Financial Policy Studies, 2000), hlm 108. 5 Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan (Jakarta: Intermedia, 1995), hlm 77 – 78.



4



dapat memberikan kredit likuiditas kepada bank untuk mengatasi kesulitan likuiditas dalam keadaan darurat.6 Pemberian kredit likuiditas yang berkaitan dengan fungsi BI sebagai lender of last resort disebut juga sebagai Fasdis. Fasdis adalah penyediaan dana jangka pendek oleh BI dengan cara pembelian promes yang diterbitkan bank atas dasar diskonto. Fasdis dapat dibagi menjadi dua, yakni Fasdis I dan Fasdis II. Fasdis I disediakan dalam rangka memperlancar pengaturan dana bank sehari-hari. Fasdis II diberikan untuk memudahkan bank dalam menanggulangi kesulitan pendanaan karena rencana pengerahan dana tidak sesuai dengan penarikan kredit jangka menengah atau panjang oleh nasabah (mistmatch).7 Dalam kaitannya dengan pembinaan perbankan nasional, Undang-Undang No 13 Tahun 1968 telah menggariskan bahwa pemberian kredit likuiditas antara lain dimaksudkan untuk memperluas, memperlancar, dan mengatur lalu lintas pembayaran giral dan menyelenggaran kliring antar bank di samping untuk memberikan bimbingan guna penatalaksanaan bank-bank secara sehat.8 Dari sisi ini semakin jelas bahwa kredit likuiditas yang disediakan dan diberikan BI tersebut tidak lain dimaksudkan agar upaya untuk mempertahankan, melindungi, memperbaiki, dan menjaga kelancaran sistem lalu lintas pembayaran tetap terlaksana dengan baik. Tanpa sistem pembayaran yang aman dan terpercaya, maka kelancaran kegiatan ekonomi menjadi sangat terganggu.9 6 Pengaturan BI sebagai lender of last resort di dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 peruntukannya yang lebih jelas daripada undang-undang sebelumnya. Penjelasan Umum jo Pasal 11 Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 menyebutkan bahwa dalam melaksnakan fungsi lender of last resort, BI hanya membantu untuk mengatasi mismacht yang disebabkan oleh risiko kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, risiko manejemen, dan risiko Pasar. 7 Dahlan Siamat, loc.cit. 8 Riyanto, “Kisruh Masalah BLBI”, Suara Pembaruan, 8 Oktober 1998. 9 Ibid.



5



Menurut Riyanto, pengalaman menunjukkan bahwa dalam pemberian berbagai bentuk KLBI lazimnya diikuti berbagai formalitas seperti halnya hubungan antara kreditur dan debitur berupa ikatan kredit antara pihak-pihak berkaitan dengan jumlah, tingkat bunga, jangka waktu, dan jenis jaminannya.10 J. Soedradjat Djiwandono memiliki pendapat yang berbeda mengenai dasar hukum dan makna BLBI dan KLBI. Dia menyatakan bahwa dalam arti yang luas, BLBI adalah terminologi yang digunakan untuk mengelompokkan seluruh bantuan likuiditas kepada bank, di luar KLBI.11 BLBI adalah fasilitas BI yang digunakan untuk menjaga kestabilan sistem pembayaran dan sektor perbankan agar jangan terganggu karena ketidakseimbangan (mismatch) antara penerimaan dan penarikan dana pada bank-bank, baik jangka pendek maupun jangka panjang.12 Dalam operasinya, fasilitas yang dapat dimasukkan ke dalam kategori ini banyak jenisnya, masing-masing disusun untuk membantu bank untuk menyelesaikan masalah likuiditas, sesuai dengan kondisi dan sifat masalah yang dihadapi. Bantuan likuiditas untuk bank, di dalam perekonomian negara-negara berkembang seperti Indonesia, merupakan pelaksana paling vital sistem pembayaran nasional untuk menjaga kestabilan dan mendukung perkembangan ekonomi nasional. Oleh karena itu, berbagai skim yang digunakan BI untuk menyelenggarakan kegiatan ini melekat pada posisinya yang sudah ada dan dipergunakan sejak lama. BLBI sebagai terjemahan dari konsep liquidity support dalam perbankan di Indonesia baru dikenal di Indonesia pada 1998.13 10 Ibid. 11 J. Soedradjat Djiwandono, Mengelola Bank Indonesia dalam Masa Krisis (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2001), hlm 241. 12 Ibid, hlm 249. 13 Ibid, hlm 250.



6



Istilah BLBI memang baru muncul dan langsung menjadi bahan pergunjingan di masyarakat, semenjak Indonesia menjalankan program pemulihan ekonomi dengan dukungan IMF dalam dalam rangka pinjaman siaga. Dalam dokumen International Monteary Fund (IMF), berbagai fasilitas yang diberikan BI dalam membantu perbankan ini disebut liquidity support. Untuk membedakannya dengan istilah yang sudah dikenal, yakni KLBI, berbagai skim fasilitas bantuan BI kepada bank-bank yang disebut BLBI. KLBI adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan berbagai skim kredit likuiditas BI untuk mendukung program pemerintah, seperti Kredit Koperasi Unit Desa (KKUD), Kredit Usaha Tani (KUT), kredit koperasi, kredit pengembangan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Syariah, dan kredit kepada Badan Urusan Logistik (Bolog).14 Skim tersebut masuk dalam kategori kredit program.15 BLBI merupakan fasilitas “non program” yang merupakan tanggapan (response) atas kesulitan likuiditas bank karena penarikan dana nasabah yang tidak dapat diatasi oleh bank-bank secara individual.16 Ada dua unsur pokok perbedaan KLBI dan BLBI, yakni asal inisiatif dan tingkat suku bunga. Apabila KLBI inisiatif sepenuhnya diambil oleh pemerintah sesuai dengan program yang diprioritaskan seperti kredit pengusaha kecil dan koperasi serta untuk keperluan stabilitas harga, maka di dalam BLBI, pada dasarnya inisiatif diambil oleh bank untuk memenuhi kebutuhan likuiditasnya. Selain itu, suku bunga yang dikenakan juga berbeda. Untuk KLBI diberikan subsidi, sedangkan untuk BLBI dikenakan suku bunga “penalti” di atas suku bunga pasar (dari 14 Ibid. 15 A. Tony Prasetianto, et.al, op.cit, hlm 12. Penjelasan Umum Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 menyebutkan bahwa BI sekarang tidak lagi memberikan kredit program. Pengahapusan ini dikaitkan dengan fungsi BI sebagai otoritas moneter yang independen, sehingga pemberian kredit program bukan lagi menjadi tanggung jawab BI. 16 Ibid.



7



150 % sampai dengan 500 % dari Jakarta Inter Bank Rate).17 Dengan demikian, BLBI diberikan BI atas permintaan bank dalam fungsinya sebagai lender of the last resort18, karena bank menghadapi masalah ketidakseimbangan likuiditas (mismatch) antara penerimaan dan pembayaran dana yang tidak dapat ditutup dengan sumber dana lain yang lazim dalam bidang perbankan. KLBI ditujukan membantu pelaksanaan program pemerintah (sebagai agent of development) memberi kredit kepada bank pelaksana agar menyalurkan kredit tersebut ke sektor atau kegiatan atau kelompok yang diprioritaskan dalam program pemerintah.19 Dalam arti yang luas, BLBI merupakan bantuan likuiditas Bank Indonesia di luar KLBI. Bantuan likuiditas yang termasuk dalam pengertian BLBI sebenarnya meliputi lima belas macam yang dapat dikelompokkan ke dalam lima jenis:20 1. Fasilitas dalam rangka mempertahankan kestabilan sistem pembayaran terhadap gangguan dari timbulnya kesenjangan antara mismatch penerimaan dan penarikan dana yang dihadapi bank. Fasilitas yang masuk dalam ketegori ini adalah Fasdis I yang berjangka sangat pendek, dan Fasdis II yang berjangka lebih panjang. 2. Fasilitas dalam rangka Operasi Pasar Terpadu (OT) untuk mendukung bekerjanya program moneter dalam bentuk pembelian Surat Berharga Pasar Uang (SPBU) atau surat utang yang dikeluarkan bank-bank, dilakukan melalui lelang. 3. Fasilitas dalam rangka penyehatan (nursing atau resque) bank bermasalah dalam bentuk Kredit Likuiditas Darurat (KLD) atau kredit subordinasi (SOL). 4. Fasilitas untuk menjaga kestabilan sistem perbankan dan sistem pembayaran untuk 17 Ibid. 18 Dalam kenyataannya, fungsi ini sering dipertanyakan. Last atau first resort, yang jelas ketika terjadi rush, BLBI hampir merupakan the only resort. Lihat ibid, hlm 4. 19 J. Soedardjat Djiwandono, op.cit, hlm 259. 20 Ibid, hlm 250.



8



menanggulangi dampak dari penarikan dana perbankan secara besar-besaran dan sistemik (bank runs), dalam kaitan fungsi BI sebagai lender of last resort. Fasilitas ini berupa pemberian izin penarikan dana dari giro cadangan atau giro wajib minimum (GBM), saldo negatif atau saldo debet atau overdraft rekening bank di BI. 5. Fasilitas untuk mempertahankan kepercayaan masyarakat terhdap perbankan dalam bentuk dana talangan untuk membayar kembali dana nasabah bank yang dicabut izin usahanya atau bank dalam likuidasi, untuk pelaksanaan sistem penjaminan menyeluruh (blanket guarantee), dan pembayaran kewajiban luar negeri bank perbankan nasional (trade finance dan interbank debt exchange offer). Soedradjat Djiwandono menyebutkan bahwa dasar hukum pemberian BLBI adalah Pasal 29 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 1968.21 Undang-undang tersebut sebenarnya tidak membedakan antara KLBI dan BLBI. Di dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 1968, kedua jenis liquidity support tersebut masuk dalam kategori kredit likuiditas. Jika KLBI dikaitkan dengan kredit program di mana BI memberikan kredit untuk membantu sektor yang pemerintah melalui bank pelaksana merupakan kredit likuiditas dalam kaitannya BI sebagai banker’s bank. Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 1968 memberikan kewenangan BI sebagai lender of last resort untuk memberikan kredit likuiditas kepada bank-bank untuk mengatasi kesulitan likuiditas dalam kondisi darurat. Jadi, BLBI yang dimaksud di atas jika dikaitkan Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 1968 ia juga adalah kredit likuiditas yang diberikan BI dalam fungsinya sebagai lender of last resort untuk mengatasi kesulitan likuiditas yang dialami bank-bank dalam keadaan darurat. 21 J. Soedradjat Djiwandono, op.cit, hlm 251.



9



BI sendiri mendefenisikan BLBI sebagi kredit yang diberikan kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas dalam keadaan darurat.22 Definisi selaras dengan ketentuan Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 1968. Tabel I Jenis-Jenis Bantuan Likuiditas Bank Indonesia No



Jenis



1 2 3 4



Fasdis I Fasdis II KLD Kredit Subordinasi SPBU lelang



5



Jangka Waktu 2 hari 90 hari 6 bulan 20 Tahun



Suku Bunga



3 bulan



6



SPBU lelang



tanpa



3 minggu s/d 3 bulan



7



Saldo giro negatif/ debet



8



Fasdis I Repo



Kondisi hari terjadi saldo debet 7 hari



9



SPBU Khusus



3 s/d bulan



10



Fasdis



1 bulan



11



Fasilitas dana talangan bank likuidasi dan dibekukan Jaminan pemerintah terhadap kewajiban pembayaran bank umum Jaminan pemrintah terhadap kewajiban pembayaran BPR Dana talangan untuk pembayaran kewajiban luar negeri



12



13



14



18



Maksimum 2 bulan



Peruntukan



Keterangan



16 % /tahun 6% Capping



Penyehatan bank Penyehatan bank



Tidak berlaku lagi Tidak berlaku lagi Tidak berlaku lagi Tidak berlaku lagi



Diskonto 2% di atas SBI bilateral Rata-rata tertimbang diskonto SBI lelang terakhir 125 % dari rata-rata



Pelonggaran harian Memenuhi harian



Diskonto 28%



Membantu bank sehat yang tidak memiliki SBI, tetapi kesulitan likuidtas



likuiditas likuiditas



Menjaga kestabilan sistem perbankan



Diskonto 27% /tahun



125 % dari rata-rata JIBOR atau over ningt atau satu bulan sebelumnya Pembayaran terhadap nasabah BDL dan BBO



Valas: LIBOR 1 tahun + 10 % Rupiah SBI 1 tahun + 2%



Pengalihan Fasdis I Repo, Fasdis II Repo, dan saldo debet Menutup pelanggaran GMW atau mengantisipasi saldo negatif



Blanket guarantee



Sejak 26 Januari 1998 s/d 31 Januari 2000



Blanket guarantee



Sejak 26 Janurai 1998 s/d 31 Januari 2000



Pulihkan terhadap nasional



kepercayaan perbankan



22 Humas BI, “Menatap Masa Depan, Menata Masa Lalu”, Kompas, 27 Desember 2001.



10



15



bank dalam rangka trade finance dan inter bank debt arreas Jaminan pembiayaan perdagangan internasional



Untuk menggairahkan perdagangan internasional



C. Penyaluran dan Penyalahgunaan Pemanfaatan BLBI Keketatan likuiditas semenjak dilakukan langkah-langkah untuk memperkuat nilai rupiah pada Agustus 1997 menimbulkan tekanan pada sektor perbankan dan sektor riil perekonomian nasional. Menghadapi masalah yang meluas ini disadari bahwa langkahlangkah kebijakan pemerintah juga harus menyangkut keseluruhan perekonomian nasional. Oleh karena itu, dalam sidang Kabinet Terbatas bidang Ekonomi, Keuangan, dan Pengawasan Pembangunan ( Ekku Wasbang) 3 September 1997 diputuskan kebijakan yang bersifat menyeluruh, menyangkut sepuluh butir langkah. Untuk sektor perbankan diputuskan sebagai berikut:23 1. Bank-bank nasional yang sehat, tetapi mengalami kesulitan likuiditas sementara supaya dibantu. 2. Bank-bank yang nyata-nyata tidak sehat, agar diupayakan penggabungan atau akuisisi dengan bank-bank yang sehat. Jika upaya ini tidak berhasil, supaya dilikuidasi sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku dengan mengamankan semaksimal mungkin para deposan, terutama para deposan kecil. Dengan demikian jelas bahwa kebijakan yang dilakukan BI tidak dapat dilepaskan dan dipisahkan dari kebijakan yang diambil pihak eksekutif , dalam hal ini Presiden yang menurut UU No. 13 Tahun 1968 memang berwenang untuk itu. Dalam



23 J. Soedradjat Djiwandono, op.cit, hlm 244.



11



kenyataannya, kebijakan tersebut belum dapat mengatasi masalah krisis moneter yang berlangsung saat itu. Kebijakan pemerintah dalam bidang ekoniomi terus berlangasung. Pada 1 November 1997, pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor: Peng86\MK\1997 telah mencabut izin usaha enam belas Bank Umum yang bermasalah. Pencabutan izin usaha tersebut disertai dengan untuk melikuidasi bank yang bersangkutan.24 Penyaluran dana BLBI kepada bank-bank nasional didasarkan pada kebijakan pemerintah untuk menalangi dana simpanan masyarakat yang disimpan di bank-bank. Kebijakan penalangan dana simpanan terpaksa dilaksanakan pemerintah untuk mencegah berlanjutnya penarikan dana simpanan bank secara besar-besaran (rush) yang terjadi pasca pencabutan izin usaha enam belas bank swasta yang dinilai tidak solvabel. Berbeda dengan harapan pemerintah, pencabutan izin usaha enam belas bank tersebut malah mengakibatkan merosotnya kepercayaan terhadap bank dari masyarakat, antar bank, dan dari luar negeri. Kemudian meruyak selebaran gelap yang memuat daftar bank-bank 24 Menurut Pasal 37 UU No. 7 Tahun 1992 jo Pasal 2 Peraturan Pemenrintah (PP) No. 68 Tahun 1986 bilamana menurut BI suatu bank diperkirakan: 1. Mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya dan/atau; 2. Membahayakan sistem perbankan, BI memberitahukan kepada Menteri Keuangan dengan menyebutkan indikasi permasalahan dan langkah-langkah yang akan ditempuh oleh BI. Khusus untuk yang berbentuk Perseroan Terbatas Terbuka (PT. Tbk), pemberitahuan juga disampaikan kepada Ketua Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Langkah-langkah yang dapat ditempuh BI setelah memberitahukan kepada Menteri Keuangan meliputi: 1. Melakukan tindakan agar: (a). pemegang saham menambah modal; (b) pemegang saham mengganti dewan komisaris dan atau direksi bank; (c). bank menghapus kredit yang mecet dan memperhitungkan kerugian bank dengan modalnya; (d). bank melakukan merjer atau konsolidasi dengan bank lain; (e). bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambilalih seluruh kewajibannya. 2. Mengambil tindakan lain sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, seperti: (a). menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank kepada pihak lain; (b). Menjual sebagian harta dan kewajiban kepada bank lain; dan menjual sebagian harta bank kepada bank atau pihak lain. Apabila menurut penilaian BI, ternyata tindakan-tindakan penyelematan di atas tidak dapat mengatasi kesulitan bank yang bersangkutan atau keadaan bank itu sistem perbankan, maka BI mengusulkan kepada Menteri Keuangan untuk izin usaha bank tersebut.



12



swasta yang akan terkena pencabutan izin usaha tahap kedua.25 Akibatnya terjadi rush besar-besaran oleh nasabah, terutama di bank-bank swasta ke bank-bank pemerintah atau bank asing. Merosotnya kepercayaan terhadap perbankan nasional diperburuk lagi oleh penilaian perusahaan-perusahaan rating, seperti Moody’s dan Standard and Poor yang terus menerus menurunkan rating bank-bank Indonesia, baik swasta maupun pemerintah. Penyaluran BLBI makin meningkat karena berlanjutnya rush. Terjadinya



perubahan



politik



yang



begitu



drastis



pada Mei 1998



mengakibatkan rush terus berlanjut, bahkan Bank Central Asia (BCA) sebagai bank swasta terbesar juga terkena rush yang pada akhirnya masuk dalam pengawasan BPPN. Keadaan ini semakin menambah kekhawatiran nasabah yang menyimpan dana di bank swasta nasional sebab BCA dianggap sebagai parameter perbankan di Indonesia. Keadaan mengakibatkan BI harus menyalurkan BLBI secara besar-besaran. Keadaan perbankan nasional bertambah buruk. Pemerintah mengambil kebijakan untuk membekukan kegiatan tiga bank swasta nasional, yakni Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Bank Umum Nasional (BUN), dan Bank Modern serta mengambilalih empat lainnya, yakni BCA, Bank Danamon, Bank FDFCI, dan Bank Tiara. Pemerintah juga memutuskan untuk menggabungkan empat bank pemerintah, yakni Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bank Pembangunan Indonesia, dan Bank Ekspor Impor Indonesia menjadi Bank Mandiri. Pada akhirnya secara keseluruhan, pemerintah telah mengambil kebijakan terhadap bank-bank bermasalah: 25 Ibid, hlm 242.



13



1. Mencabut enam belas izin usaha bank umum; 2. Membekukan operasi sepuluh bank umum (Bank Beku Operasi/BBO); 3. Membekukan kegiatan usaha 38 bank umum (Bank Beku Kegiatan Usaha/BBKU); dan 4. Mengambilalih empat bank umum (Bank Take Over/BTO). Dalam audit yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ditemukan total BLBI yang disalurkan BI sampai dengan 29 Januari 1999 sebesar Rp 144,5 triliun, dengan jumlah penerima BLBI sebanyak 48 (empat puluh delapan) bank.26 Menurut catatan BI, 10 bank menerima 70 % dari sekuruh jumlah BLBI yang diberikan oleh BI. Bank yang paling banyak menerima BLBI adalah BDNI sebesar Rp 37 triliun, BCA Rp 26 triliun, dan Bank Danamon Rp 23 triliun. Tabel II Sepuluh Besar Bank Penerima BLBI Bank BDNI BCA Danamon BUN Bank Indonesia Raya Bank Nusa Nasional Bank Tiara Asia Bank Modern Bank Utama Bank Asia Pasific



Pemegang Saham Pengendali Syamsul Nursalim Liem Sioe Liong Usman Admadja Bob Hasan dan Kaharuddin Ongko Perusahaan Publik Aburizal Bakri Perusahaan Publik Samadikun Hartono Hutomo Mandala Putra



Jumlah (Rp Triliun) 37,039 26,59 23,049 12,067 4,018 3, 020 2,978 2,557 2,334 2,054



Keempat puluh delapan bank berkewajiban untuk mengembalikan dana BLBI. 26 Lihat Jawa Pos, 23 September 2000. Lihat juga Bisnis Indonesia, 11 Nopember 2000. Audit yang dilakukan oleh BPK ini adalah audit penyaluran BLBI dari kepada bank-bank penerima BLBI. Adapun audit terhadap pemanfaatan BLBi oleh bank-bank penerima BLBI dilakukan oleh Badan Pengawas Pelaksanaan Keuangan Pembangunan (BPKP) Deapertemen Keuangan Departemen Keuangan Republik Indonesia.



14



Itu adalah utang yang harus dilunasi. Utang tersebut itulah yang dicobaselesaikan oleh BPPN melalui berbagai skim. Penyelesaian sampai sekarang ini masih menimbulkan persoalan hukum. Sebenarnya bank penerima BLBI tidak bank swasta, tetapi juga bank-bank yang masuk dalam kategori badan usaha milik negara (BUMN). Jumlah yang disalurkan juga tidak sedikit, yakni mencapai jumlah Rp 163, 195 triliun.



Tabel III Bank BUMN Penerima BLBI (Dalam Triliunan Rupiah) No 1 2 3 4 5 6 7



Nama Bank Penerima BLBI Bank Exim Bapindo BBD BDN BRI BNI BTN



Jumlah BLBI yang Diterima Rp 101,847 Rp 40,396 Rp 11,279 Rp 8,673 Rp 8,174 Rp 2,550 Rp 1,453



Menurut analisis Ahmad Deni Dahuri, ternyata bank-bank BUMN lebih banyak menerima BLBI dari pada bank-bank swasta yang terkena kesulitan likuiditas akibat adanya rush.27 BLBI diberikan BI kepada empat puluh delapan bank tersebut dimaksudkan mengatasi kesulitan likuiditas akibat adanya rush yang dialami bank-bank swasta tersebut, tetapi di dalam prakteknya dijumpai beberapa penyimpangan. Di bawah ini diberikan dua 27 Jawa Pos, 13 Nopember 2000.



15



contoh kasus penyalahgunaan pemanfaatan BLBI oleh Bank Modern dan Bank Dagang Negara (BDNI). 1.



Kasus Bank Modern28 BI telah menyalurkan BLBI kepada Bank Modern sebesar Rp 2,5 Triliun.



Menurut keterangan Mulyoharjo,29 Bank Modern melalui Samadikun Hartono sebagai pemegang saham mayoritas bank tersebut telah melakukan penyimpangan pemanfaatan BLBI. Jumlah penyimpangan mencapai Rp 766 milyar. Dana itu digunakan untuk melakukan transaksi valuta asing dan penarikan dana untuk kelompok perusahaan terkait atau terafiliasi untuk peningkatan aktivitas produksi. 2.



Kasus Bank Dagang Negara Indonesia30 BDNI adalah bank swasta yang pemegang saham mayoritasnya adalah



Syamsul Nursalim. Bank ini berhasil menghimpun dana deposito, giro, dan tabungan sebesar Rp 16,904 triliun. BDNI menyalurkan dana tersebut kepada perusahaan yang berada dalam satu kelompok perusahaan, yakni PT Dipasena sebesar Rp 12,847 triliun. Kredit mencapai 75,6 % dari seluruh kredit yang disalurkan. Berarti di sini terjadi pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (BMPK) yang ditentukan Pasal 11 ayat (4) Undang-Undang No. 7 Tahun 1992. Ketika terjadi kesulitan likuiditas akibat rush yang dialami bank ini, BI menyalurkan BLBI. Ternyata BLBI tersebut dipakai sesuai dengan tujuan semula, tetapi untuk menutup permasalahan keuangan yang dialami PT Dipasena. Jadi, peruntukkan BLBI tersebut tidak digunakan untuk menalangi dana pembayaran dana tabungan,



28 Kompas, 5 Januari 2001. Lihat juga Suara Indonesia, 11 Januari 2001. 29 Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Republik Indonesia. 30 Kompas, 5 Oktober 2000. Lihat juga Suara Indonesia, 24 September 2000.



16



deposito, dan giro nasabah, tetapi digunakan untuk kepentingan pribadi pemegang saham. D. Penyelesaian Utang BLBI secara Perdata di luar Pengadilan Hubungan hukum antara BI dan bank-bank penerima BLBI dapat dikonstruksikan sebagai hubungan hukum yang terjadi karena adanya perjanjian utangpiutang. Di sini terjadi perjanjian utang-piutang antara BI dan bank-bank penerima BLBI. Di dalam perjanjian utang piutang, bank penerima BLBI memiliki kewajiban melunasi atau membayar utang yang telah jatuh tempo. Bank-bank penerima BLBI sebagai pihak debitur harus membayar utang BLBI itu sesuai dengan jenis fasilitas BLBI yang diterimanya pada saat jatuh tempo asing masing-masing fasilitas tersebut. Jika bankbank penerima BLBI tidak melaksanakan prestasi membayar pada saat jatuh tempo, maka ia masuk dalam kualifikasi cidera janji atau wan prestasi.31 Mengingat bank-bank penerima BLBI sebagai debitur tidak dapat membayar utang BLBI tersebut pada waktunya, maka debitur telah melakukan perbuatan atau berada dalam keadaan wan prestasi pihak Apabila debitur dalam keadaan wan prestasi, maka kreditur dapat memilih diantara beberapa kemungkinan tuntutan sebagaimana ditentukan Pasal 1267 KUHPerdata, yakni: 1. Pemenuhan perikatan; 2. Pemenuhan perikatan dengan ganti kerugian; 3. Ganti kerugian; 4. Pembatalan perjanjian timbal balik; atau 5. Pembatalan perjanjian disertai ganti rugi.



31 Pengertian wan prestasi yang umum adalah pelaksanaan kewajiban perjanjian yang tidak tepat pada waktunya pada waktunya atau tidak dilakukan menurut selayaknya. Lihat M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian (Bandung: Alumni, 1986), hlm 60.



17



Mengingat penyaluran BLBI lebih bernuansa perdata, khususnya perjanjian utang-piutang, maka upaya penyelesaian wan prestasi pembayaran utang BLBI dapat dilakukan baik melalui gugatan perdata ke pengadilan maupun diselesaikan di luar pengadilan melalui proses negosiasi. Untuk menyelesaikan utang BLBI, Pemerintah baik melalui berbagai kebijakan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) maupun BPPN memiliki kecenderungan diselesaikan secara perdata di luar pengadilan (out of court). Di sini pemerintah menuntut tanggung jawab pribadi (personal liability) para pemegang saham32 bank-bank penerima BLBI untuk melunasi utang BLBI tersebut. Kebijakan ini lebih didasarkan akan perlunya pengembalian atau pelunasan utang BLBI tersebut dan diharapkan ada pemasukan dana bagi pemerintah sebagai salah satu sumber penerimaan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Dengan demikian, terkesan pemerintah mengesampingkan penyelesaian penuntutan hukum pidana kepada para pemegang saham pengendali, padahal diketahui adanya penyalahgunaan penggunaan BLBI dan adanya pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Untuk menyelesaikan utang BLBI ini, pada 6 Februari 1999 pemerintah Indonesia (Menteri Keuangan) dan Gubernur BI telah menandatangani perjanjian yang isinya antara lain:33 1. Pemerintah, dalam hal ini BPPN mengambilalih hak tagih (cessie) terhadap bank penerima BLBI dari BI. 2. Tahap pertama, hak tagih dengan posisi 29 Januari 1999 berjumlah Rp 32 Khususnya pemegang saham pengendali. 33 Humas BI, loc.cit.



18



144.536.094.294.530,00 dan dibayar dengan surat utang masing-masing SU001/MK/1998 tanggal 25 September 1998 senilai Rp 80 triliun dan SU-003/MK/1999 tanggal 8 Februari 1999 sebesar Rp 64,5 triliun. 3. Pembuatan akta cessie terhadap semua bank penerima BLBI. 4. Verifikasi akan dilakukan keduabelah pihak tentang pengalihan hak tagih tersebut. 5. Pembayaran BLBI selebihnya setelah tanggal 29 Januari 1999 akan dilakukan kemudian pada saat yang dianggap tepat dengan cara menerbitkan Surat Utang Pemerintah atau dengan cara lain Untuk mengembalikan uang negara yang disalurkan kepada bank dalam pengawasan (BDP), BLBI, dana talangan, dan program penjaminan, pemerintah membentuk BPPN yang bertugas: 1. Menyehatkan bank yang ditetapkan dan diserahkan BI. 2. Menyelesaikan aset bank, aset fisik maupun kewajiban debitor melalui Asset Management Unit (AMU). 3. Mengupayakan uang negara yang telah disalurkan melalui penyelesaian aset dalam restruturisasi. 4. Menjual aset dan melaporkannya kepada Menteri Keuangan. 5. Melakukan penyertaan modal sementara dan pengalihan modal. 6. Mengosongkan tanah atau bangunan yang menjadi hak milik bank dalam penyehatan. 7. Mengambil alih dan menjual aset dalam restrukturisasi melalui penawaran umum melalui lelang. 8. Menagih kepada debitor dengan menerbitkan surat paksa. 9. Menyita kekayaan debitor.



19



Dengan kewenangan tersebut, BPPN menyelesaikan utang BLBI melalui beberapa cara, yakni melalui Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA), Master Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA), Master Recognition Arrangement (MRA), Penyelesaian Kewajiban Pemegang (PKPS). Sampai dengan 31 Desember 2000, telah disepakati penyelesaian utang antara para pemegang saham pengendali bank-bank penerima BLBI dan BPPN per 29 Januari 1999 sebagai berikut:34 Tabel IV Debitor BLBI yang Mengikuti Penyelesaian Utang BLBI secara Keperdataan No



Status Bank



1 2 3 4



BTO BBO BBKU BDL Jumlah



Jumlah Bank



Bank PKPS



5 10 18 15 48



1 5 11 19



MSAA



1 3 4



MRNIA



APU



1 3 4



1 11 12



Jumlah (milyar Rp)



70.366 47.264 9.913 127.533



1. Master Settlement and Acquisition Agreement Model penyelesaian utang BLBI dengan MSAA dilakukan kepada pemegang saham pengendali (PSP) bank penerima BLBI yang memiliki aset yang cukup untuk menyelesaikan kewajibannya kepada pemerintah. Kewajiban yang diselasaikan di sini adalah:35 a. PSP bank yang berstatus BBO atau BBKU (misalnya BDNI) menyelesaikan BLBI dan kredit yang melanggar BMPK. b. PSP bank yang berstaus BTO (misalnya BCA) menyelesaikan kredit yang melanggar



34 Kompas, 15 Desember 2001. 35 Humas BI, loc.cit.



20



BMPK, sedang BLBI bank BTO diselesaikan melalui proses rekapitalisasi dengan cara proses konversi tagihan BLBI menjadi penyertaan modal pemerintah di bank yang bersangkutan. Kewajiban yang harus dibayar PSP bank yang berstatus BBO dan BBKU adalah sebesar kewajiban BLBI terutang, dikurangi dengan nilai clean asset bank. Kewajiban yang harus dibayar oleh PSP bank yang berstatus BTO dan direkapitalisasi adalah sebesar jumlah kewajiban kredit yang melanggar BPMPK kepada pihak terkait. Sesuai dengan MSAA, pembayaran kewajiban bank dilakukan oleh PSP bank secara tunai dan in kind, yaitu dengan menyerahkan aset. Pembayaran dengan aset ini dilakukan melalui transfer agreement, yaitu bank-bank menyerahkan saham-saham dari perusahaan yang dimiliki dengan nilai yang disepakati sebelumnya. Saham-saham tersebut diserahkan kepada perusahaan yang dibentuk untuk itu (holding company yang juga disebut acquisition vehicle – AV). Langkah-langkah penyelesaian yang dilakukan dengan mekanisme MSAA ini adalah:36 a. PSP mengambil alih kewajiban atas pinjaman kepada pihak terkait (pelanggaran BMPK), sehingga pinjaman dari bank kepada pihak terkait beralaih menjadi pinjaman kepada PSP bank. b. Bank mengalihkan kredit yang melanggar BMPK (pinjaman kepada pihak terkait) kepada BPPN. Untuk pengalihan ini BPPN/Menteri Keuangan membayar dengan menerbitkan obligasi pemerintah. Setelah pengalihan itu, BPPN berstatus sebagai kreditor PSP bank. 36 Ibid.



21



c. PSP (sekarang debitor BPPN) menyerahkan asetnya (berupa saham-saham) kepada AV (holding company) melalui transfer agreement. PSP bank yang kemudian menerima pembayaran berupa promissory note yang dapat dikonversi menjadi convertible bond yang sewaktu-waktu dapat dikonversi menjadi saham di AV (holding company). d. PSP bank menyerahkan promissory note (dari AV atau holding company) kepada BPPN sebagai pembayaran kewajiban terutang. e. Pada saat dilakukan penyerahan aset oleh PSP bank, BPPN meneliti apakah sesuai dengan disclosure, representation of warranties yang dinyatakan PSP bank. Sebagai jaminan atas disclosure, representation of warranties PSP menyatakan aset, di luar aset yang digunakan untuk membayar kewajiban kepada pihak ketiga. f. Setelah aset diserahkan kepada AV atau holding company, berarti para pihak telah melaksanakan kewajiban dan menerima haknya. PSP bank dianggap telah menyelesaikan secara tuntas (settlement). g. MSAA mengatur release and discharge yang dapat diterbitkan selama proses penyelesaian atau setelah proses penyelesaian berakhir. Release and discharge yang dapat disamakan dengan kuitansi adalah jumlah yang sesuai dengan jumlah yang diterima sebagai pembayaran. Dalam penyelesaian BLBI melalui mekanisme MSAA, BPPN mengeluarkan release and discharge apabila PSP bank telah memenuhi kewajibannya kepada pemerintah. Release and discharge itu sendiri memuat dua hal, yakni:37 a. BPPN atas nama pemerintah menyatakan telah menerima pembayaran atau pelunasan 37 Ibid.



22



kewajiban bank PSP, baik berupa kredit yang melanggar BMPK saja (dalam hal bank berstatus BTO) ataupun kredit yang melanggar BMPK dan BLBI sekaligus (dalam hal bank berstatus BBKO dan BBO). b. Dengan pembayaran atau pelunasan, sesuai dengan janji dalam MSAA, BPPN, pemerintah tidak akan menuntut secara pidana PSP bank dan pengurus serta karyawan atas pelanggaran BMPK dan BLBI. 2. Master Refinancing and Note Issuance Agreement atau Master Recognition Arrangement Mekanisme MRNIA ini diberlakukan terhadap bank yang asetnya tidak mencukupi untuk memenuhi kewajibannya. PSP bank ini mengakui bahwa kewajibannya belum selesai walaupun telah membayar sebagian kewajibannya secara tunai. Sisanya yang belum dapat dibayar penuh dengan cara penyerahan aset yang kemudian masuk dalam dimasukkan dalam daftar personal guarantee dari PSP bank untuk menjamin pelunasan kewajibannya dengan batas waktu yang dietetapkan.38 Ada beberapa perbedaan antara MSAA dan MRNIA/MRA diantaranya adalah: Ada kewajiban dalam MSAA dalam melakukan pembayaran menggunakan aset yang dapat dijual oleh dan atas perintah BPPN melalui AV/holding company tanpa memerlukan persetujuan PSP bank. Sebaliknya, menurut MRNIA/MRA penjualan aset yang termasuk dalam daftar PG oleh BPPN harus mendapat persetujuan dari PSP bank atau dilakukan oleh sendiri PSP bank.39



38 Ibid. 39 Ibid.



23



3. Konversi BLBI menjadi Penyertaan Modal Sementara Melalui Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia 26 Maret 1999 dikeluarkan kesepakatan rekapitalisasi bank-bank dengan status BTO. Untuk menindaklanjuti hal tersebut, BPPN pada 29 Mei 1999 melakukan rekapitalisasi bank-bank BTO, yaitu BCA, Bank Tiara, Bank Danamon, dan Bank PDFCI. Rekapitalisasi dilakukan dengan jalan konversi BLBI menjadi PMS yang memiliki arti sebagai berikut:40 a. Pemerintah mengakui pengalihan BLBI maupun term of condition pengalihan. b. Tagihan BLBI yang semula berbentuk kredit BI kepada bank yang kemudian menjadi tagihan pemerintah kepada bank diubah menjadi penyertaan modal, sehingga kedudukan pemerintah berubah dari kreditor menjadi pemegang saham. c. Perubahan bentuk tagihan mengakibatkan BLBI mejadi lunas karena terjadi restrukturisasi dengan mengacu kepada perjanjian baru dan menghapus perjanjian lama. d. Dengan hapusnya perjanjian lama dalam rangka BLBI, maka jaminan yang melekat di BLBI menjadi hapus demi hukum. 4. Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham Pengendali Mengingat banyak komentar negatif atas atas penggunaan mekanisme MSAA, maka penyelesaian kewajiban pembayaran utang BLBI untuk bank-bank yang masuk kategori BBKU digunakan mekanisme Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham Pengendali (PKPSP) melalui penandatanganan Akta Pengakuan Utang (APU). Pola penyelesaian dengan ini hampir sama dengan MSAA, tetapi dalam pola PKPSP, PSP bank 40 Ibid.



24



tetap bertanggungjawab atas kekurangan pelunasan, jika hasil penjualan aset yang diserahkan belum juga mencukupi. Tanggung jawab PSP bank dilakukan dengan cara memberikan jaminan pribadi/jaminan korporat (personal guarantee/corporat guarantee). Mengingat bank-bank penerima BLBI adalah badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas (PT), maka untuk mengkaji keabsahan program penyelesaian utang BLBI yang menuntut pemenuhan tanggung jawab pribadi para pemeganng pengendali tersebut harus didasarkan kepada Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Karakteristik perusahaan berbentuk PT adalah terbatasnya tanggung jawab para pemegang saham. Menurut Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1995, pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuatnya atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian melebihi nilai saham yang telah diambilnya. Ini merupakan ciri utama PT sebagai badan hukum yang memiliki status persona in judicio.41 Pertanggungjawaban yang timbul semata-mata dibebankan kepada harta kekayaan yang terhimpun dalam perseroan tersebut.42 Ketentuan tersebut tidak berlaku mutlak, Pasal 3 ayat (2) menetapkan pengecualian terbatasnya tanggung jawab tersebut, jika: 1. Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi. 2. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan iktikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi. 3. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang



41 Rudhi Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hlm 226. 42 Ibid.



25



dilakukan perseroan. 4. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan. Pasal 10 ayat (4) Peraturan pemerintah No. 68 Tahun 1996 jo Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1997 menentukan pula adanya tanggung jawab pribadi anggota direksi, komisaris, dan pemegang saham sampai kepada harta pribadi dalam hal yang bersangkutan turut serta menjadi penyebab kesulitan keuangan yang dihadapi atau menjadi penyebab kegagalan suatu bank. Di sini terjadi apa yang di dalam sistem common law sebagai piercing corporate veil. Kata piercing berarti mengoyak atau menembus. Kata veil berarti kerudung atau cadar. Dengan frase piercing corporate veil secara harfiah sebagai cadar badan hukum dikoyak atau ditembus. Dalam penerapannya ke dalam hukum perseroan, piercing corporate veil bermakna bahwa hukum tidak memberlakukan prinsip terpisahnya tanggung jawab dan harta kekayaan badan hukum dari tanggung jawab dan kekayaan pemegang sahamnya. Berdasarkan doktrin ini dimungkinkan para pemegang saham bertanggung jawab sampai kepada harta pribadi walaupun pemegang saham dilakukan oleh dan atas nama perseroan sendiri.43 Dalam kasus pencabutan izin usaha bank, pembekuan kegiatan operasi bank, dan pengambilalihan bank oleh pemerintah, para pemegang saham tidak dapat berlindung di balik ketentuan terbatasnya tanggung jawab pemegang saham. Diyakini ada keterlibatan para pemegang saham (utama) melakukan perbuatan melawan hukum yang menyebabkan 43 Munir Fuadi, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, Buku Ketiga (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hlm 11.



26



bank-bank tersebut mengalami kesulitan untuk melunasi utang-utangnya. Kesalahan tersebut terletak pada pelanggaran ketentuan BMPK yang diatur Undang-Undang No. 7 Tahun 1992. Misalnya untuk kasus Bank Anrico, 90 % kredit disalurkan kepada perusahaan anggota kelompok sendiri. BDNI menyalurkan 74 % kreditnya kepada perusahaan anggota kelompok sendiri, seperti PT Dipasena. Memakai uang bank yang termasuk dalam kelompok sendiri memang sangat enak, karena saringannya dapat ditiadakan, bunga yang dikenakan juga sangat rendah. Cost of money tentunya lebih rendah dari bunga deposito yang diberikan kepada deposan. Bunga giro sangat rendah. Bahkan lazim giro tidak memperoleh bunga, sedangkan yang mengendap di bank dapat dalam bentuk giro tanpa beban bunga dapat mencapai jumlah besar.44 Ketentuan BMPK dapat juga diselundupkan melalui pemberian kredit oleh perusahaan keuangan (multi finace company). Ketika kemungkinan ini dibendung perusahaan memanfaatkan commercial paper (CP). Contoh pelanggaran BMPK dengan menggunakan modus penerbitan CP dapat dilihat dalam kasus Bank Pasific. PT Pasific International Finance (PIF) sebuah perusahaan keuangan menerbitkan CP yang menurut neraca per 31 Desember 1993 senilai Rp 721 milyar.45 Neraca terakhir per 31 Desember 1996 menunjukkan Rp 1 triliun.46 Sebelum CP yang diterbitkan PT FIF itu dijual kepada para investor, CP tersebut dijamin pembayarannya (aval) oleh Bank Pasific yang merupakan perusahaan di mana Endang Mokodompit juga menjadi direktur utama. Ketika CP tersebut jatuh tempo, PT PIF tidak dapat membayarnya, sehingga kewajiban 44 Kwik Kian Gie, Praktek Bisnis dan Orientasi Ekonomi Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm 133. 45 Sinar, 7 Juni 1997. 46 Bisnis Indonesia, 13 Nopember 1997.



27



pembayarannya ditanggung Bank Pasific. Praktis total kerugian Bank Pasific mencapai Rp 2 triliun.47 Untuk nmenutup kerugian Bank Pasific tersebut, BI memberikan bantuan likuiditas yang sangat besar.48 Berdasarkan uraian di atas, tampak adanya pelanggaran kewajiban bank untuk menjaga kesehatan bank dan kewajiban melakukan usaha sesuai dengan prinsip kehatihatian (prudential banking). Upaya penyelesaian utang BLBI dengan bank penerima BLBI dengan PKPS merupakan manifestasi tanggung jawab pribadi para pemegang perseroan sebagaimana diatur Undang-Undang No. 1 Tahun 1995. PKPS antara lain dilakukan dengan instrumen MSAA. MSAA merupakan perjanjian antara BPPN dan para obligor BLBI. Pada dasarnya perjanjian ini mengatur penyelesaian utang BLBI dengan cara penyerahan aset yang dimiliki para obligor kepada BPPN. Dengan penyerahan aset tersebut diharapkan utang BLBI dapat dibayar atau dilunasi. Aset yang diserahan tersebut kemudian akan dijual oleh BPPN. Jika hasil penjualan aset yang berjalan lancar seperti diharapkan semula walaupun dilakukan secara bertahap, secara perlahan-lahan dapat mempercepat proses pemulihan ekonomi nasional. Walaupun MSAA dibuat untuk lebih mempercepat penyelesaian utangpiutang BLBI, tetapi dalam kenyatannya menimbulkan sejumlah persoalan hukum yang pelik banyak menyangkut keabsahan maupun isi perjanjian itu sendiri. Mantan Menteri Keuangan Bambang Sudibjo menyatakan bahwa perjanjian itu sudah batal ketika ditandatangani para pihak, oleh karenanya perlu dibuat perjanjian baru. Namun demikian, dia tetap menghendaki penyelesaian utang-piutang BLBI diselesaikan di luar pengadilan. 47 Ibid. Lihat juga Infobank, Juni 211/1997. 48 Syahrir, “Kebijakan BLBI mau Ke mana ?“, Bisnis Indonesia, 5 Otober 1998.



28



Dari segi isi perjanjian juga dipersoalkan, karena aset yang diserahkan juga bermasalah baik dari segi hukum maupun nilai ekonomisnya. Menghadapi sejumlah permasalahan hukum tersebut, Kwik Kian Gie sebagai Menko Ekuin dan sekaligus sebagai ketua KKSK menugaskan Fred. B.G. Tumbuan dan Kartini Muljadi untuk melakukan telaah hukum (legal audit) terhadap perjanjian tersebut. Fred. B.G. Tumbuan mengkaji MSAA antara BPPN dan Sudono Salim, Anthoni Salim dan Andree Salim sebagai pemegang saham pengendali BCA dan Bank Risjad Salim. Hasil kajian tersebut sebagai berikut:49 1. Fred. B.G. Tumbuan menyatakan bahwa Sudono Salim, Anthoni Salim, Andree Salim selaku pemegang saham pengendali BCA dan RSI telah mengambilalih seluruh kewajiban affiliate loans (utang terafiliasi yang terkait dengan BMPK). Ketiganya menyanggupi pembayaran utang dengan cara pembayaran tunai yang relatif kecil dan penyerahan harta kekayaan berupa saham di acquisitor company kepada BPPN yang ditampung di PT Holdiko. Aset yang diserahkan terdiri dua kelompok. Pertama, perusahaan yang dikendalikan ketiga orang tersebut. Kedua, perusahaan yang tidak dikendalikan ketiganya (non acquitor companies). Selanjutnya, kepemilikan aset kelompok Salim ditransfer ke PT Holdiko dengan perantaraan dua perusahaan yang bertindak selaku pemegang PT Holdiko. Kedua perusahaan tersebut adalah PT Gemahripah Pertiwi dan PT Cakrasubur Nirmala. Kedua pemegang saham PT Holdiko ini selanjutnya menggadaikan seluruh sahamnya di PT Holdiko ke BPPN, dan juga memberikan kuasa kepada BPPN untuk menjalankan hak-hak pemegang saham PT Holdiko melalui MSAA. 49 Kompas, 26 September 2000.



29



Dengan dibayarnya sejumlah uang tunai yang relatif kecil dan ditransfernya sejumlah aset ke PT Holdiko, BPPN langsung memberikan release and discharge (pembebasan dari tuntutan pelanggaran BMPK) kepada ketiga pemegang saham tersebut. Ketiganya dinyatakan tidak lagi bertanggung jawab atas pelanggaran BMPK. Menurut Tumbuan adanya ketentuan release and discharge tidak memiliki dasar hukum, apalagi belum terjadi pembayaran lunas oleh para pemegang saham tersebut kepada BPPN. Oleh karena itu, jika terjadi penurunan nilai perusahaan kelompok Salim yang diakuisisi PT Holdiko sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemegang saham yang secara sadar telah memilih pembayaran utang BMPK dengan menyerahkan kepemilikan aset. Sebenarnya sejak PT Gemahripah Pertiwi dan PT Cakrasubur Nirmala sebagai pemegang saham PT Hodiko menggadaikan seluruh sahamnya kepada BPPN, dan juga memberikan kuasa kepada BPPN untuk menjalankan hak-hak pemegang saham di PT Holdiko. Secara yuridis BPPN telah menerima gadai serta diberikan kuasa untuk menjalankan hak-hak pemegang saham di PT Holdiko, maka BPPN telah menguasai aset-aset kelompok Salim di PT Holdiko serta berhak menjual aset-aset tersebut kepada calon pembeli yang berminat. Hasil penjualan itu digunakan untuk pembayaran utang-utang kelompok Salim. Apabila telah dilunasi, maka BPPN membebaskan kelompok Salim sebagai pemegang saham pengendali BCA dari tuntutan pidana akibat pelanggaran BMPK. 2. MSAA mengatur pula bahwa setelah aset kelompok Salim ditransfer ke PT Holdiko, PT Holdiko memberikan kuasa dimaksud kepada BPPN, maka tugas BPPN adalah menjual aset-aset tersebut. Ketentuan ini disertai klausul bahwa jika hasil penjualan



30



aset melebihi utang, kelebihan itu menjadi hak PT Holdiko. Jika ternyata hasil penjualan aset tidak mencukupi untuk membayar utang, kekurangannya menjadi tanggung jawab BPPN. Dengan demikian kerugian tersebut menjadi beban negara. Beban negara ini harus ditanggung rakyat Indonesia (pihak ketiga) karena harus ditanggung APBN. Sehubungan dengan ini, menurut Tumbuan Pasal 1340 Kitab undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menyatakan: (1) Suatu perjanjian hanya mengikat pihak-pihak yang membuatnya; (2) Suatu perjanjian tidak dapat membawa kerugian kepada pihak-pihak ketiga, dan tidak mendapat manfaat karenanya. Berdasar ketentuan tersebut, keharusan rakyat Indonesia sebagai pihak ketiga untuk menanggung kerugian dan beban yang ditimbulkan utang BLBI adalah tidak berkekuatan hukum sama sekali. 3. BPPN memberikan release and discharge karena ia menyakini bahwa aset kelompok Salim adalah benar-benar cukup untuk melunasi kewajiban pelanggaran BMPK, jika kemudian aset tersebut tidak cukup untuk melunasi utang, asas iktikad baik yang tidak dapat membenarkan BPPN untuk menanggung kerugian tersebut. BPPN pasti tidak akan memberikan release and discharge kepada para pemegang saham jika diketahui atau diduga pembayaran affiliate loans dalam bentuk acquisition shares oleh para pemegang saham tidak akan cukup untuk melunasi utangnya. Di lain pihak para pemegang saham mengaku bertanggung jawab atas terjadinya pelanggaran BMPK dan setuju mengambilalih dan membayar lunas seluruh utang BMPK dengan menyerahkan aset sebagai bentuk pembayaran non tunai, semestinya sadar untuk sepenuhnya menanggung risiko jika ternyata aset yang diserahkan tidak cukup untuk melunasi utang tersebut.



31



4. Melihat ketidakwajaran tersebut, Tumbuan mengusulkan untuk dilakukan revisi atau amandemen MSAA, tetapi amandemen tersebut tidak perlu menghentikan penjualan aset tersebut. Apabila ternyata hasil penjualan acquisitor shares tidak mencukupi untuk melunasi utang affiliate loans, pemegang saham tetap harus bertanggung jawab atas kekurangan tersebut sebagai utang pribadi mereka. Upaya amandemen MSAA akan mengalami beberapa kendala yuridis. Sesuai dengan asas kebebasan berkontrak, para pihak dapat menentukan isi perjanjian secara bebas. Apabila mereka telah bersepakat tentang isi perjanjian, maka ia akan menimbulkan kekuatan mengikatnya perjanjian sebagaimana layaknya undang-undang bagi kedua belah pihak (pacta sunt servanda).50 Apa yang dinyatakan seseorang dalam suatu hubungan hukum menjadi hukum bagi mereka (cum nexum faciet mancipiumque, uti lingua mancoassit, ita jus esto).51 Asas inilah yang menjadi kekuatan mengikatnya perjanjian (verbindende kract van de overeenkomst).52 Ini bukan saja kewajiban moral, tetapi juga kewajiban hukum yang pelaksanaannya wajib ditaati.53 Sebagai konsekuensinya, hakim dan pihak ketiga tidak boleh mencampuri isi perjanjian yang dibuat para pihak tersebut. Mengingat MSAA adalah perjanjian timbal balik, walaupun isinya dianggap merugikan negara, pemerintah tidak dapat memutuskannya secara sepihak. Dalam hal ini Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata menyatakan bahwa persetujuan tidak dapat ditarik kembali selain dengan kata sepakat keduabelah pihak, atau alasan-alasan yang oleh 50 Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 51 Lon. L. Fuller dan Melvin Aron Eisenberg, Basic Contract Law, (St. Pul-Minn: West Piblishing Co, 1972), hlm 112. 52 Arthur Hartkamp dan Marianne M.M. Tillema, Contract Law in in the Netherlands, (Deventer: Kluwer, 1998), hlm 34. 53 Fred. B.G. Tumbuan, “Kekuatan Mengikat Perjanjian dan Batas-Batasnya”, Makalah, Jakarta (Juli 1998), hlm 1.



32



undang-undang dinyatakan untuk itu. Jika pihak yang merasa dirugikan bermaksud membatalkan perjanjian tersebut, maka harus mengajukan pembatalan itu melalui putusan pengadilan. Kebebasan berkontrak pada masa kejayaannya pada abad sembilan belas, memang menjadi paradigma baru dalam hukum kontrak,54 ia mengarah ke kebebasan tanpa batas (unsrestrictive freedom of contract).55 Keadaan ini mencerminkan pengaruh aliran filsafat yang menekankan semangat individualisme dan pasar bebas yang berkembang saat itu di dalam hukum kontrak.56 Dalam perkembangannya, kebebasan berkontrak bukanlah kebebasan tanpa batas. Negara baik melalui pengaturan undang-undang maupun pengadilan membuat sejumlah pembatasan kebebasan berkontrak.57 Dalam



kerangka KUHPerdata,



ada



sejumlah



pembatasan



kebebasan



berkontrak. Berdasar Pasal 1337 KUHPerdata, kebebasan untuk menentukan isi perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum. Adanya ketentuan release dan discharge di dalam MSAA dapat dikategorikan bertentangan dengan undang-undang sebagaimana ditentukan Pasal 1337 KUHPerdata tersebut. Pelanggaran BMPK sebagaimana dimaksud Pasal 11 jo Pasal 50 UndangUndang No. 7 Tahun 1992 adalah termasuk tindak pidana. Dasar kebebasan berkontrak



54 Michael Rosenfeld, “Contract and Justice: The Relation between Classical Contract Law and Social Contract Theory”, Iowa Law Review, vol 70 (1985), hlm 821. 55 John D. Calamari dan Joseph M. Perilo, Contract, (St. Paul-Minn, West Publishing Co, 1977), hlm 5. Lihat juga Roscoe Pound, “Liberty of Contract”, Yale Law Journal, vol 19 (1909), hlm 456. 56 Fredrich Kessler, “Contract Adhesion – Some Thought about Freedom of Contract”, Columbia Law Review, vol 43 (1943), hlm 630. Lihat pula Luis Muniz Arguelles, “A Theory on Will Theory: Freedom of Contract in Histrorical and Comparative Perspective”, Revista Juridica De La Universidad De Puerto Rico, hlm 245. Lihat juga Arthur Taylor von Mehren dan James Russel Gordley, The Civil Law System, (Boston: Litle Brown and Company, 1977), hlm 788. 57 Peter Gillies, Business Law, (Sydney : The Federation Press, 1993), hlm 117.



33



tidak dapat dijadikan justifikasi untuk mengesampingkan ketentuan undang-undang tersebut. Jika memang dirasakan ada ketidakwajaran di dalam isi perjanjian MSAA tersebut dapat dilacak pada awal proses terjadi kesepakatan berdasarkan asas iktikad baik, khususnya iktikad pada pra kontrak. Ketentuan ini memang belum diatur KUHPerdata Indonesia, bahkan di dalam KUHPerdata (Baru) Negeri Belanda, namun ia telah diterima sebagai doktrin yang dibangun dalam praktek pengadilan. Di Negeri Belanda, doktrin iktikad baik dalam proses negosiasi dan penyusunan kontrak telah diakui keberadaannya melalui Putusan Hoge Raad tanggal 15 Nopember 1957 NJ 1958 No. 67.58 Putusan ini menyataklan bahwa para pihak yang berunding



harus



dilandasi



iktikad



baik,



kepatutan,



dan



keadilan.59



Sebagai



konsekuensinya, pihak yang satu harus memperhatikan kepentingan hukum pihak lainnya di dalam kontrak.60 Hoge Raad kemudian berhasil menarik asas kecermatan dalam pembuatan kontrak (contractuele zorgvuldigheid, duty of care), yakni adanya kecermatan bagi pembeli untuk meneliti atau memeriksa (onderzoekplicht) fakta-fakta yang berkaitan dengan kontrak.61 Beberapa tahun kemudian Hoge Raad juga menerima kewajiban yang sama bagi penjual untuk memberitahukan (mededelingsplicht) fakta material bagi penjual dalam proses negosiasi kontrak.62 Sebagai akibat dari pandangan tersebut, maka setiap orang memiliki contractuele zorgvuldigheid (kecermatan dalam pembuatan perjanjian) 58 P.L. Wery, Perkembangan Hukum tentang Iktikad Baik di Nederland, (Jakarta: Percetakan Negara, 1990), hlm 15. 59 Arthur Hartkamp dan Marianne M.M. Tillema, op.cit, hlm 71. 60 Ewoud Hondius (ed), Pracontractual Liability: Report to the XIIIth Congress International Academy of Comparative Law Montreal, Canada, 18 – 24 August, 1990, (Deventer: Kluwer, 1991), hlm 226. 61 Ibid. 62 Ibid.



34



dan contractuele waardigheid (kemulian dalam perjanjian). Dengan demikian, sejak saat diadakannya perjanjian sudah harus ada maatschapelijk zorgvuldigheid, ketelitian, dan kehati-hatian dalam pergaulan hidup hukum masyarakat. Dengan doktrin tersebut, maka semestinya dalam negosiasi MSAA, pihak BPPN harus memiliki kewajiban untuk meneliti baik yang menyangkut subjek maupun objek perjanjian. Pihak obligor pun harus pula menyampaikan keterangan (disclose) faktafakta material yang menyangkut objek perjanjian. Dengan tindakan yang demikian, seharusnya tidak akan terjadi penyerahan aset-aset yang bermasalah baik secara hukum maupun nilai ekonomisnya. Jika kasus ini dibawa ke pengadilan, maka hakim wajib menelusuri proses terjadinya kontrak dengan dasar iktikad baik tersebut. Iktikad baik harus juga dilihat pada pelaksanaan perjanjian. Sehubungan dengan ini Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyatakan bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Hoge Raad dalam putusannya tanggal 9 Februari 1923 menyatakan bahwa doktrin iktikad baik merupakan doktrin yang merujuk kepada kewajaran atau kepatutan dan keadilan (redelijkheid en billijkheid) yang hidup dalam masyarakat.63 Hoge Raad menyatakan bahwa perjanjian harus dilaksanakan menurut kepatutan dan keadilan (volgens de eisen van redelijkheid en billijkheid).64 Hoge Raad dengan tegas manyatakan bahwa memperhatikan iktikad baik dalam pelaksanaan perjanjian tidak lain adalah menafsirkan perjanjian menurut ukuran kepatutan dan keadilan.65 Dengan demikian lahir pandangan yang menyatakan bahwa Hoge Raad menyamakan iktikad baik dengan kepatutan dan keadilan dalam kontrak. 63 P.L. Wery, op.cit, hlm 11. 64 Ibid. 65 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku II, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hlm 177.



35



Berkaitan dengan batalnya suatu perjanjian harus dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Jika dipenuhinya syarat yang menyangkut syarat subjektif, yakni adanya kata sepakat dan kecakapan bertindak, perjanjian dengan tidak dengan sendirinya batal. Perjanjian terus berlangsung sepanjang tidak ada pihak-pihak yang meminta pembatalannya. Apabila tidak terpenuhi syarat yang menyangkut syarat objektif, yakni persyaratan yang menyangkut hal tertentu dan kausa hukum yang halal, maka perjanjian tersebut adalah batal demi hukum. Perjanjian MSAA yang memuat klausul release and discharge tidak memenuhi persyaratan kausa hukum yang halal, karena ia bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yakni Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 dan peraturan pelaksanaannya.



E. Penyelesaian melalui Instrumen Hukum Pidana Dalam menyelesaikan utang BLBI tampaknya pemerintah tidak memiliki sikap yang sama apakah harus diselesaikan secara perdata, seperti melalui instrumen MSAA, MRNIA, APU, dan PKPS ataukah juga melalui instrumen hukum pidana. Walaupun BPPN dan para obligor BLBI telah menandatangani MSAA, MRNIA, APU, dan PKPS, tetapi Kejaksaan Agung juga berusaha untuk melakukan tuntutan pidana. Ini terbukti dengan telah diperiksanya dan bahkan ditangkapnya beberapa obligor BLBI. Ini dilakukan Kejaksaan Agung, karena mereka diduga telah melakukan penyimpangan pemanfaatan BLBI. Di dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 1968 tidak dijumpai adanya norma hukum yang mengatur sanksi pidana bagi barang siapa yang melakukan pelanggaran



36



menyalahgunakan dana BLBI. Selain itu, jika dilakukan tuntutan pidana, belum tentu memenuhi unsur tindak pidana, karena utang BLBI pada hakekatnya adalah utang-piutang yang termasuk dalam ruang lingkup hukum perdata. Jika tuntutan pidana tetap diajukan, ada kemungkinan hakim memutus onslag van rechts vervolging. Putusan onslag van recht vervolging dijatuhkan apabila hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, tetapi perbuatan perdata, maka terdakwa harus diputus lepas dari segala tuntutan hukum sebagaimana ditentukan Pasal 191 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Peluang untuk menuntut secara pidana para obligor tersebut sebenarnya tidak hanya didasarkan pada penyalahgunaan BLBI, tetapi lebih banyak diarahkan kepada pelanggaran BMPK. Di sini ada peluang yang besar, karena para obligor tersebut umumnya melakukan pelanggaran BMPK yang ditentukan Undang-Undang No. 7 tahun 1992. E. Kerancuan Penyelesaian Hukum Dalam penyelesaian utang BLBI terjadi kerancuan antara pelanggaran atau penyalagunaan pemanfaatan BLBI dan pelanggaran BMPK. Permasalahan yang diselesaikan apakah utang BLBI ataukah pelanggaran BMPK. Keduanya memiliki kualifikasi hukum yang berbeda. Penyelesaian utang BLBI lebih bernuansa masalah perdata, yakni penyelesaian wan prestasi yang timbul dalam perjanjian utang piutang antara BI (yang kemudian dialihkan kepada BPPN) dan para obligor. Wan prestasi tersebut baik menyangkut keterlambatan membayar utang BLBI maupun melaksanakan perjanjian tidak selayaknya,



37



antara lain menggunakan dana BLBI bukan kepentingan mengatasi kesulitan likuiditas yang dialami bank tersebut. Sedangkan pelanggaran BMPK lebih bernuansa hukum pidana, yakni pelanggaran BMPK yang ditentukan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 dan peraturan pelaksanaannya. Pelanggaran BMPK secara tegas memang ada ancaman sanksi pidananya. Pemanfaatan BLBI dan pelanggaran BMPK harus dipilah-pilah. BLBI yang disalurkan adalah dalam rangka untuk mengatasi keadaan darurat dan semata-mata untuk mengganti dana pihak ketiga (giro, deposito, dan tabungan) yang ditarik nasabah secara besar-besaran. BLBI muncul tidak bersamaan dengan terjadinya pelanggaran BMPK. Oleh karena itu, kurang tepat apabila dikatakan bahwa BLBI disalahgunakan oleh pengurus bank atau kelompok perusahaan terkait, sehingga menyakibatkan terjadinya pelanggaran BMPK.66 Pelanggaran BMPK adalah sesuatu yang terpisah dari BLBI, apabila memang terjadi pelanggaran, maka akan lebih terkait dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 beserta peraturan pelaksanaannya. F. Simpulan 1. Penyelesaian utang BLBI secara perdata melalui MSAA masih menimbulkan permasalahan yuridis yang berkaitan dengan keabsahan dan ketidakpatutan isi perjanjian tersebut. 2. Penyelesaian utang BLBI melalui instrumen hukum pidana dapat diputus oleh hakim dengan onslag van het recht vervolging, karena permasalahan utang BLBI berada dalam ruang lingkup hukum perdata. 66 Riyanto, loc.cit.



38



3. Penyelesaian utang BLBI dalam prakteknya masih ada kerancuan dengan penyelesaian pelanggaran BMPK.



Daftar Pustaka Arguelles, Luis Muniz, ”A Theory on Will Theory: Freedom of Contract in Historical and Comparative Perspective”, Revista Juridica De La Universidad De Puerto Rico. Calamari, John D. dan Joseph M. Perilo, Contract. ST.Paul-Minn: West Publishing Co, 1977. Djiwandono, J. Soedradjat, Mengelola Bank Indonesia Dalam Masa Krisis. Jakarta: Pustaka LP3ES, 2001. Fuller, Lon.L, dan Melvin Aron Eisenberg, Basic Contract Law. St.Paul-Minn: West Publishing Co, 1972. Fuady, Munir, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, Buku Ketiga. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996. Gillies, Peter, Business Law. Sydney: The Federation Press, 1993. Harahap, M. Yahya, Segi-Segi Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni, 1986. Hartkamp, Arthur dan Marriane M.M. Tillema, Contract Law in the Netherlands. Deventer: Kluwer, 1998. Hondius, Ewod (ed), Pracontractual Liability: Report to the XIIIth Congress International Academy of Comparative Law, Montreal, Canada, 18 – 24 August, 1990. Deventer: Kluwer, 1991. Kessler, Fredrich, “Contract Adhesion – Some Thought about Freedom of Contract”, Columbia Law Review, vol 43 (1943). Khairandy, Ridwan, “Problematika Tanggung Jawab Bank yang berkaitan dengan Kredit Likuidtas dan Pelanggagaran BMPK, Yogyakarta, 1998. Kwik Kian Gie, Praktek Bisnis dan Orientasi Ekonomi Indonesia. Jakarta: Gramedia,



39



1996. Mehren, Arthur Taylor von, dan James Russel Gordley, The Civil Law System. Boston: Litle Brown, 1977. Pound, Roscoe, “Liberty of Contract”, Yale Law Journal, vol 19 (1909). Prasetianto, A. Toni, et.al, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia Suatu Pelajaran yang sangat mahal bagi Otoritas Monter dan Perbankan. Jakarta: Center for Financial Policy Studies, 2000. Prasetya, Rudhi, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995. Rachbini, Didik J (ed), Bank Indonesia Menuju Independensi Bank Sentral. Jakarta: PT Mardi Luyo, 2000. Rosenfeld, Michael, “Contract and Justice: The Relation between Classical Contract Law and Social Contract Theory”, Iowa Law Review, vol 70 (1985), hlm 821. Riyanto, “Kisruh Masalah BLBI”, Suara Pembaruan, 8 Oktober 1998. Satrio, J, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku II. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995. Siamat, Dahlan, Manajemen Lembaga Keuangan. Jakarta: Intermedia, 1995. Syahrir, “Kebijakan BLBI Mau ke mana?” Bisnis Indonesia, 5 Oktober 1998. Tumbuan, Fred.B.G, “Kekuatan Mengikat Perjanjian dan Batas-Batasnya”, makalah, Jakarta (Juli 1998). Werry, P.L., Perkembangan Hukum tentang Iktikad Baik di Nederland. Jakarta: Percetakan Negara, 1990. Bisnis Indonesia, 11 Nopember 2000. Bisnis Indonesia, 13 Nopember 2000. Infobank, Juni 211/1997. Jawa Pos, 13 Nopember 2000. Jawa Pos, 23 September 2000. Kompas, 5 0ktober 2000. Kompas, 26 September 2000. Kompas, 5 Januari 2001. Kompas, 15 Desember 2001. Kompas, 27 Desember 2001. Sinar, 7 Juni 1997. Suara Indonesia, 24 September 2000. Suara Indonesia, 11 Januari 2001.