Uts Belajar Dan Pembelajaran [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

UJIAN TENGAH SEMESTER 2 MATA KULIAH BELAJAR DAN PEMBELAJARAN NAMA



: MUHAMMAD NIZAM



NIM



: F1051181001



KELAS



: II A



HARI/TANGGAL



: JUMAT / 12 APRIL 2019



1. Soal: Belajar merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh manusia untuk dapat mempertahankan kehidupannya dengan cara meningkatkan kualitas pengetahuannya sehingga dapat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Perubahan yang terjadi secara terus menerus membawa pengaruh terhadap cara pandang tentang apa yang dimaksud dengan belajar. Terdapat beberapa cara pandang yang berbeda mengenai teori belajar. Para kaum behaviorist mempunyai pandangan yang berbeda dengan kaum konstruktivis. Uraikan pendapat anda tentang teori belajar menurut tiga orang ahli dan bagaimana implementasinya dalam pembelajaran khususnya belajar Fisika menurut Standar Proses dan peraturan terkait. Jawaban : Sebelum membahas tentang teori belajar dan penerapannya pada pembelajaran khususnya fisika, ada baiknya dibahas terlebih dahulu apa itu belajar. Belajar adalah perubahan yang relatif permanen dalam perilaku atau potensi perilaku sebagai hasil dari pengalaman atau praktek yang diperkuat. Belajar merupakan hasil dari interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan perubahan perilaku. Dalam belajar yang penting adalah bahwa bentuk input dan output dari stimulus dalam bentuk tanggapan. Stimulus adalah apa yang guru berikan atau hadirkan kepada siswa, sedangkan reaksi ataupun respon adalah tanggapan atau fedback yang diberikan oleh siswa kepada guru, baik itu berupa tanggapan, sanggahan, ataupun pertanyaan kembali sehingga siswa benar-benar mendapatkan arti atau hakikat sesuatu dengan sesungguhnya. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon penting untuk dicatat karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur, yang diamati adalah stimulus dan respon. Oleh karena itu, apa yang diberikan guru (stimulus) dan apa yang diterima siswa (respon) harus dapat diamati dan diukur. Adapun definisi belajar menurut para ahli sebagai berikut : a. James O. Whittaker : belajar adalah suatu proses dimana perilaku yang dihasilkan atau dimodifikasi melalui pelatihan atau pengalaman. b. Winkel : belajar adalah aktivitas mental atau psikis, yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai dan sikap. c. Robet M. Gagne : belajar adalah perubahan yang terjadi dalam kemampuan manusia setelah belajar terus menerus, bukan hanya karena proses pertumbuhan saja. Belajar dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal yang mana saling berinteraksi antara kedua faktor tersebut. d. Drs. Slameto : belajar adalah proses orang mencoba untuk mendapatkan perubahan perubahan perilaku baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungan. e. Lester D. Crow : belajar merupakan upaya untuk memperoleh kebiasaan, pengetahuan dan sikap. Jadi, pada intinya belajar itu sendiri adalah suatu proses yang dilakukan untuk mendapatkan perubahan dalam dirinya, yakni yang sebelumnya tidak tahu apa-apa, menjadi lebih tahu, dari sebelumnya yang tidak paham menjadi paham dan sebagainya. Seseorang melakukan suatu aktivitas khususnya belajar pasti memiliki tujuan atau maksud tertentu yang ingin dicapainya, seperti untuk dapat mempertahankan kehidupannya dari para saingannya bahkan musuh sekalipun. Dan untuk mencapai tujuan dalam belajar sesorang mesti melalui suatu proses ataupun berbagai tahapan. Adapun tahapan dalam proses belajar seseorang yaitu sebagai berikut. 1. Tahap Inkompetensi bawah sadar



Kondisi pada saat ini kita tidak tahu kalau ternyata kita tidak tahu. Orang-orang yang berada dalam situasi ini cenderung mengambil resiko, membuka diri untuk bahaya atau merugikan, karena alasan sederhana bahwa mereka tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan. 2. Tahap Inkompetensi sadar Sadar diri pengakuan bahwa kita tidak tahu dan penerimaan penuh pada ketidaktahuan kita. 3. Kompetensi sadar Menyadari bahwa kita tahu, bahwa adalah ketika kita mulai memiliki keahlian pada subjek, tetapi tindakannya belum dapat berjalan secara otomatis. Belajar dari ini, kita harus melaksanakan semua tindakan di tingkat sadar. Ketika kita melakukannya, kita berpikir secara sadar tentang bagaimana melakukannya. Pada tahapi ini, reaksi kita jauh lebih lambat dibandingkan reaksi dari para ahli. 4. Kompetensi bawah sadar Tahapan ahli yang hanya melakukannya, dan bahkan mungkin tidak tahu bagaimana dia melakukannya secara rinci. Dia tahu apa yang dia lakukan, dengan kata lain, ada sesuatu yang dia lakukan dalam hidup ini untuk orang lain tanpa beresiko, tetapi baginya bebas dari resiko. Hal ini terjadi karena ia telah membangun pengalaman dan mencapai kompetensi sadar dalam kegiatan selama beberapa tahun. Dia tahu apa yang dia lakukan, dan dia juga tahu apa yang tidak bisa dilakukan. Untuk seseorang yang tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman, apa yang tampak beresiko. Belajar merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh manusia untuk dapat mempertahankan kehidupannya dengan cara meningkatkan kualitas pengetahuannya sehingga dapat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Perubahan karena pembelajaran dapat berlangsung dalam berbagai bentuk, seperti kognitif, afektif, atau psikomotorik. Tidak terbatas pada penambahan pengetahuan saja. Sifat perubahan yang terjadi relatif permanen, tidak akan kembali ke keadaan semula, tidak bisa diterapkan pada perubahan akibat situasi sesaat, seperti perubahan akibat kelelahan, sakit, mabuk dan sebagainya. Perubahan yang terjadi tidak harus segera mengikuti pengalaman belajar, hal ini dikarenakan perubahan yang terjadi segera umumnya tidak dalam bentuk perilaku, tetapi utamanya hanya dalam potensi seseorang untuk berperilaku. Perubahan terjadi sebagai hasil dari pengalaman, praktek dan latihan berbeda dengan segera berubah karena insting atau gerak refleks. Perubahan akan lebih mudah terjadi ketika penguat dalam bentuk imbalan yang diterima (reward) atau hukuman (punishment) sebagai konsekuensi dari perubahan perilaku. Perubahan dalam proses pembelajaran menuju tujuan yang lebih baik dan bermanfaat bagi dirinya sendiri atau orang lain. Di dunia pendidikan khususnya di dalam pembelajaran sekarang ini, yang lebih tepat mendefinisikan belajar adalah dengan kata membelajarkan. Membelajarkan merupakan istilah yang kini akrab dipakai dalam dunia pendidikan (khususnya pendidikan formal / persekolahan). Secara filosofis pembelajaran, pada hakikatnya, lebih bersifat membumi atau humanis, bukan hanya karena lebih menekankan pada arti pentingnya pelaksanaan proses pendidikan dengan lebih memperhatikan perkembangan dan pertumbuhan anak, melainkan juga karena lebih menekankan pada arti pentingnya memenuhi kebutuhan anak serta membantu perkembangan bakat, minat dan kemampuan anak. Hanya saja, dalam praktik pendidikan keseharian, masih sering dijumpai pelaksanaan pembelajaran yang bernuansa pengajaran (instruction) daripada pembelajaran itu sendiri. Berangkat dari perkembangan yang sangat cepat dan mutakhirnya kemajuan TIK (Teknologi Informasi dan Komputer), masalah sumber belajar sudah tidak lagi berpusat pada guru. Sangat mungkin bahwa peserta didik atau siswa akan belajar atau mendapatkan informasi dari soft ware-soft ware yang ada, misalnya melalui e-learning. Ada banyak masalah yang membahas tentang perubahan yang terjadi pada perilaku, sikap dan pemikiran serta keterampilan para peserta didik yang dihasilkan dari proses belajar sehingga memicu para ahli pendidikan untuk merumuskan teori hasil pemikiran ataupun bahkan penelitian di bidang belajar dan pembelajaran sehingga banyak bermunculan teori teori belajar yang dapat diterapkan di dalam aktivitas pembelajaran, salah satunya pada pembelajaran fisika. Tentunya didalam melaksanakan pembelajaran fisika para pendidik harus sejalan dengan kurikulum yang berlaku pada saat itu dan harus berlandaskan Badan Nasional Standar Pendidikan (BSNP). Badan Nasional Standar Pendidikan (BSNP) merumuskan 16 prinsip pembelajaran yang harus dipenuhi dalam proses pendidikan abad ke 21 yaitu, (1) dari berpusat pada guru menuju berpusat pada siswa, (2) dari satu arah menuju interaktif, (3) dari isolasi menuju lingkungan jejaring, (4) dari pasif menuju aktifmenyelidiki, (5) dari maya atau abstrak menuju konteks dunia nyata, (6) dari pribadi menuju pembelajaran berbasis tim, (7) dari luas menuju perilaku khas memberdayakan kaidah keterikatan, (8) dari stimulasi rasa tunggal menuju stimulasi ke segala penjuru, (9) dari alat tunggal menuju alat multimedia, (10) dari hubungan satu arah bergeser menuju kooperatif, (11) dari produksi massa menuju kebutuhan pelanggan,



(12) dari usaha sadar tunggal menuju jamak, (13) dari satu ilmu dan teknologi bergeser menuju pengetahuan disiplin jamak, (14) dari kontrol terpusat menuju otonomi dan kepercayaan, (15) dari pemikiran faktual menuju kritis, dan (16) dari penyampaian pengetahuan menuju pertukaran pengetahuan. Dari ke-16 prinsip tersebut menegaskan bahwa pembelajaran IPA khususnya fisika berpusat pada siswa melalui proses penyelidikan dan berhubungan dengan dunia nyata, yang artinya siswa menerapkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari. Mata pelajaran fisika merupakan cabang dari Ilmu Pengetahuan Alam yakni ilmu yang mempelajari hal yang berkaitan dengan cara mencari tahu tentang fenomena alam secara sistematis. Fisika merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari alam beserta isinya dengan seluruh peristiwa yang terjadi. Peristiwa yang terjadi berupa fakta, konsep atau prinsip yang tersusun secara sistematis. Akan tetapi, fisika bukan hanya sekadar kumpulan pengetahuan yang meliputi fakta, konsep, prinsip dan teori saja, melainkan suatu proses penemuan dan pengembangan. Melalui proses tersebut fisika akan membentuk pola pikir yang ilmiah dari pengalaman belajarnya. Tentu dalam hal ini pembelajaran fisika memang seharusnya lebih menekankan pada penemuan konsep dan pemberian secara langsung kepada siswa. Pembelajaran fisika akan memberi makna pada proses penemuan konsep tersebut menggunakan metode ilmiah. Konsep tersebut lebih mudah dipahami oleh siswa daripada siswa harus menghafal konsep. Selain itu, siswa dapat memahami lingkungan sekitar, sehingga siswa mampu memecahkan permasalahan di lingkungan berdasarkan pengalaman yang diperolehnya. Pendidikan fisika diharapkan dapat menjadi wahana bagi siswa untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan seharihari. Proses pembelajaran menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar siswa menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan fisika diarahkan untuk mencari tahu dan berbuat sehingga dapat membantu siswa untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar. Fisika merupakan salah satu cabang IPA yang mendasari perkembangan teknologi maju dan konsep hidup harmonis dengan alam. Perkembangan pesat di bidang teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini dipicu oleh temuan di bidang fisika material melalui penemuan piranti mikroelektronika yang mampu memuat banyak informasi dengan ukuran sangat kecil. Sebagai ilmu yang mempelajari fenomena alam, fisika juga memberikan pelajaran yang baik kepada manusia untuk hidup selaras berdasarkan hukum alam. Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan serta pengurangan dampak bencana alam tidak akan berjalan secara optimal tanpa pemahaman yang baik tentang fisika. Pada tingkat SMA, menurut KTSP fisika dipandang penting untuk diajarkan sebagai mata pelajaran tersendiri dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut. Pertama, selain memberikan bekal ilmu kepada siswa, mata pelajaran Fisika dimaksudkan sebagai wahana untuk menumbuhkan kemampuan berpikir yang berguna untuk memecahkan masalah di dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, mata pelajaran Fisika perlu diajarkan untuk tujuan yang lebih khusus yaitu membekali siswa pengetahuan, pemahaman dan sejumlah kemampuan yang dipersyaratkan untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi serta mengembangkan ilmu dan teknologi. Pembelajaran Fisika dilaksanakan secara inkuiri ilmiah untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta berkomunikasi sebagai salah satu aspek penting kecakapan hidup. Dalam pengembangan mata pelajaran didalam kurikulum pasti memiliki suatu tujuan yang ingin dicapai. Begitu halnya dengan mata pelajaran fisika pasti memiliki tujuan tertentu yaitu sebagai berikut: 1. Membentuk sikap positif terhadap pelajaran fisika yakni dengan menyadari keteraturan dan keindahan alam serta mengagungkan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa. 2. Memupuk sikap ilmiah yaitu jujur, obyektif, terbuka, ulet, kritis dan dapat bekerjasama dengan orang lain. 3. Mengembangkan pengalaman untuk dapat merumuskan masalah, mengajukan dan menguji hipotesis melalui percobaan, merancang dan merakit instrumen percobaan, mengumpulkan, mengolah, dan menafsirkan data, serta mengkomunikasikan hasil percobaan secara lisan dan tertulis. 4. Mengembangkan kemampuan bernalar dalam berpikir analisis induktif dan deduktif dengan menggunakan konsep dan prinsip fisika untuk menjelaskan berbagai peristiwa alam dan menyelesaian masalah baik secara kualitatif maupun kuantitatif.



5. Menguasai konsep dan prinsip fisika serta mempunyai keterampilan mengembangkan pengetahuan, dan sikap percaya diri sebagai bekal untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berdasarkan tujuan mata pelajaran fisika di atas, terlihat jelas bahwa siswa bukan hanya dituntut untuk menguasai materi pelajaran saja, tetapi juga mengembangkan kemampuan dan pengalamannya serta mampu untuk menganalisis berbagai peristiwa dengan menggunakan konsep dan prinsip fisika sehingga dengan kematangan berfikir akan menjadi manusia yang berilmu dan bertaqwa. Untuk mencapai semua tujuan pasti memerlukan suatu pedoman atau landasan, yakni suatu teori dimana teori teori tersebut digunakan sebagai model atau cara pembelajaran. Dari awal muncul dipermukaan sampai pada abad 21 ini, model atau teori pembelajaran sangat pesat perekembangannya, sehingga para pendidik atau pembuat kebijakan yang berkaitan dengan pembelajaran dimudahkan untuk memilih salah satu teori pembelajaran tersebut, atau bisa saja memadukan teori teori tersebut yakni mengambil kebaikan dari masing-masing teori kemudian memadukannya sehingga timbul sebuah multiteori dalam perumusan kurikulum khususnya pada pembelajaran fisika. Pada kali ini akan dibahas teori belajar menurut tiga orang ahli yakni sebagai berikut : 1. Teori behavioristik menurut Thorndike Aliran behavioristik yang lebih bersifat elementaristik memandang manusia sebagai organisme yang pasif, yang dikuasai oleh stimulus-stimulus yang ada di lingkungannya. Pada dasarnya, manusia dapat dimanipulasi, tingkah lakunya dapat dikontrol dengan jalan mengontrol stimulus-stimulus yang ada dalam lingkungannya. Masalah belajar dalam pandangan behaviorisme, secara umum, memiliki beberapa teori, antara lain: teori Connectionism, Classical Conditioning, Contiguous Conditioning, serta Descriptive Behaviorisme atau yang lebih dikenal dengan nama Operant Conditioning. Teori behaviorisme yang menekankan adanya hubungan antara stimulus (S) dengan respons (R) secara umum dapat dikatakan memiliki arti yang penting bagi siswa untuk meraih keberhasilan belajar. Caranya, guru banyak memberikan stimulus dalam proses pembelajaran, dan dengan cara ini siswa akan merespon secara positif apa lagi jika diikuti dengan adanya reward yang berfungsi sebagai reinforcement (penguatan terhadap respons yang telah ditunjukkan). Teori ini berawal dari adanya percobaan sang tokoh behavioristik terhadap binatang, maka dalam konteks pembelajaran ada beberapa prinsip umum yang harus diperhatikan. Menurut Mukinan, beberapa prinsip tersebut adalah: 1. Teori ini beranggapan bahwa yang dinamakan belajar adalah perubahan tingkah laku. Seseorang dikatakan telah belajar sesuatu jika yang bersangkutan dapat menunjukkan perubahan tingkah laku tertentu. 2. Teori ini beranggapan bahwa yang terpenting dalam belajar adalah adanya stimulus dan respons, sebab inilah yang dapat diamati. Sedangkan apa yang terjadi di antaranya dianggap tidak penting karena tidak dapat diamati. 3. Reinforcement, yakni apa saja yang dapat menguatkan timbulnya respon, merupakan faktor penting dalam belajar. Respon akan semakin kuat apabila reinforcement (baik positif maupun negatif) ditambah. Belajar menurut teori behavioristik pada hakikatnya adalah pembentukan asosiasi antara kesan yang ditangkap pancaindra dengan kecenderungan untuk bertindak atau hubungan antara stimulus dan respons (SR). Oleh karena itu, teori ini juga dinamakan teori Stimulus-Respon. Belajar adalah upaya untuk membentuk hubungan stimulus dan respon sebanyak-banyaknya. Teori yang dikemukakan Thorndike dikenal dengan teori stimulus-respon (S-R). Dalam teori S-R dikatakan bahwa dalam proses belajar, pertama kali organisme (hewan, orang) belajar dengan cara coba salah (trial end error). Apabila suatu organisme berada dalam suatu situasi yang mengandung masalah, maka organisme itu akan mengeluarkan tingkah laku yang serentak dari kumpulan tingkah laku yang ada padanya untuk memecahkan masalah itu. Berdasarkan pengalaman itulah, maka pada saat menghadapi masalah yang serupa, organisme sudah tahu tingkah laku mana yang harus dikeluarkannya untuk memecahkan masalah. Ia mengasosiasikan suatu masalah tertentu dengan suatu tingkah laku tertentu. Sebagai contoh seekor kucing yang dimasukkan dalam kandang yang terkunci akan bergerak, berjalan, meloncat, mencakar, dan sebagainya sampai suatu ketika secara kebetulan ia menginjak suatu pedal dalam kandang itu sehingga kandang itu terbuka dan kucing pun bisa keluar. Sejak saat itulah, kucing akan langsung menginjak pedal kalau ia dimasukkan dalam kandang yang sama. Menurut Thorndike belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Thorndike dalam teori belajarnya



mengungkapkan bahwasanya setiap tingkah laku makhluk hidup itu merupakan hubungan antara stimulus dan respon, adapun teori Thorndike ini disebut teori konesionisme. Belajar adalah pembentukan hubungan stimulus dan respon sebanyak-banyaknya. Dengan artian dengan adanya stimulus itu maka diharapkan timbul respon yang maksimal. Teori ini sering juga disebut dengan teori trial dan error dalam teori ini orang yang bisa menguasai hubungan stimulus dan respon sebanyak-banyaknya maka dapat dikatakan orang ini merupakan orang yang berhasil dalam belajar. Adapun cara untuk membentuk hubungan stimulus dan respon ini dilakukan dengan ulangan-ulangan. Dalam teori trial dan error ini, berlaku bagi semua organisme dan apabila organisme ini dihadapkan dengan keadaan atau situasi yang baru maka secara otomatis organisme ini memberikan respon atau tindakan-tindakan yang bersifat coba-coba atau bisa juga berdasarkan naluri karena pada dasarnya disetiap stimulus itu pasti ditemui respon. Apabila dalam tindakan-tindakan yang dilakukan itu menimbulkan perbuatan atau tindakan yang cocok atau memuaskan maka, tindakan ini akan disimpan dalam benak seseorang atau organisme lainnya karena dirasa diantara tindakan-tindakan yang paling cocok adalah tindakan itu, selama yang telah dilakukan dalam menanggapi stimulus adalah situasi baru. Jadi dalam teori ini pengulangan-pengulangan respon atau tindakan dalam menanggapi stimulus atau stimulus baru itu sangat penting sehingga seseorang atau organisme mampu menemukan tindakan yang tepat dan dilakukan secara terus-menerus agar lebih tajam dan tidak terjadi kemunduran dalam tindakan atau respon terhadap stimulus. Adapun beberapa ciri-ciri belajar menurut Thorndike antara lain a. Ada motif pendorong aktivitas. b. Ada berbagai respon terhadap sesuatu. c. Ada eliminasi respon-respon yang gagal atau salah. d. Ada kemajuan reksi-reaksi mencapai tujuan dari penelitiannya itu. Hukum-hukum yang digunakan Edward Lee Thorndike, menyatakan bahwa belajar pada hewan maupun manusia berlangsung berdasarkan tiga macam hukum pokok belajar, yaitu : a. Hukum Kesiapan (Law of Readiness) Dalam belajar seseorang harus dalam keadaan siap dalam artian seseorang yang belajar harus dalam keadaan yang baik dan siap, jadi seseorang yang hendak belajar agar dalam belajarnya menuai keberhasilan maka seseorang dituntut untuk memiliki kesiapan, baik fisik maupun psikis. Siap fisik seperti seseorang tidak dalam keadaan sakit, yang mana bisa mengganggu kualitas konsentrasi. Adapun contoh dari siap psikis adalah seperti seseorang yang jiwanya tidak lagi terganggu, seperti sakit jiwa dan lain-lain. Disamping seseorang harus siap fisik dan psikis seseorang juga harus siap dalam kematangan dalam penguasaan pengetahuan serta kecalapan-kecakapan yang mendasarinya. Menurut Thorndike ada tiga keadaan yang menunjukkan berlakunya hukum ini, yaitu : a. Bila pada organisme adanya kesiapan untuk bertindak atau berprilaku, dan bila organisme itu dapat melakukan kesiapan tersebut, maka organisme akan mengalami kepuasan. b. Bila pada organisme ada kesiapan organisme untuk bertindak atau berperilaku, dan organisme tersebut tidak dapat melaksanakan kesiapan tersebut, maka organisme akan mengalami kekecewaan. c. Bila pada organisme tidak ada persiapan untuk bertindak dan organisme itu dipaksa untuk melakukannya maka hal tersebut akan menimbulkan keadaan yang tidak memuaskan. Di samping hukum-hukum belajar seperti yang telah dikemukakan di atas, konsep penting dari teori belajar koneksionisme Thorndike adalah yang dinamakan transfer of training. Konsep ini menjelaskan bahwa apa yang pernah dipelajari oleh anak sekarang harus dapat digunakan untuk hal lain di masa yang akan datang. Dalam konteks pembelajaran konsep transfer of training merupakan hal yang sangat penting, sebab seandainya konsep ini tidak ada, maka apa yang akan dipelajari tidak akan bermakna. b. Hukum Latihan (Law of Exercise) Untuk menghasilkan tindakan yang cocok dan memuaskan untuk merespon suatu stimulus maka seseorang harus mengadakan percobaan dan latihan yang berulang-ulang, adapun latihan atau pengulangan perilaku yang cocok yang telah ditemukan dalam belajar, maka ini merupakan bentuk peningkatan existensi dari perilaku yang cocok tersebut semakin kuat (Law of Use). Dalam suatu teknik agar seseorang dapat mentransfer pesan yang telah ia dapat dari sort time memory ke long time memory ini dibutuhkan pengulangan sebanyak-banyaknya dengan harapan pesan yang telah didapat tidak mudah hilang dari benaknya. c. Hukum Akibat (Law of Effect) Hukum akibat Thorndike mengemukakan jika suatu tindakan diikuti oleh suatu perubahan yang memuaskan dalam lingkungan, kemungkinan tindakan itu diulangi dalam situasi yang mirip akan meningkat. Akan



tetapi, bila suatu perilaku diikuti oleh suatu perubahan yang tidak memuaskan dalam lingkungan, kemungkinan perilaku itu diulangi akan menurun. Jadi konsekuensi perilaku seseorang pada suatu waktu memegang peranan penting dalam menentukan perilaku orang itu selanjutnya. Thorndike mengungkapkan bahwa organisme itu sebagai mekanismus yang hanya bertindak jika ada perangsang dan situasi yang mempengaruhinya. Dalam dunia pendidikan Law of Effect ini terjadi pada tindakan seseorang dalam memberikan punishment atau reward. Akan tetapi dalam dunia pendidikan menurut Thorndike yang lebih memegang peranan adalah pemberian reward dan inilah yang lebih dianjurkan. Teori Thorndike ini biasanya juga disebut teori koneksionisme karena dalam hukum belajarnya ada “Law of Effect” yang mana di sini terjadi hubungan antara tingkah laku atau respon yang dipengaruhi oleh stimulus dan situasi dan tingkah laku tersebut mendatangkan hasilnya (effect). Prinsip-prinsip Belajar yang Dikemukakan oleh Thorndike sebagai berikut : a. Pada saat berhadapan dengan situasi yang baru, berbagai respon ia lakukan. Adapun respon-respon tiaptiap individu berbeda-beda tidak sama walaupun menghadapi situasi yang sama hingga akhirnya tiap individu mendapatkan respon atau tindakan yang cocok dan memuaskan. Seperti contoh seseorang yang sedang dihadapkan dengan problema keluarga maka seseorang pasti akan menghadapi dengan respon yang berbeda-beda walaupun jenis situasinya sama, misalnya orang tua dihadapkan dengan perilaku anak yang kurang wajar. b. Dalam diri setiap orang sebenarnya sudah tertanam potensi untuk mengadakan seleksi terhadap unsurunsur yang penting dan kurang penting, hingga akhirnya menemukan respon yang tepat. Seperti orang yang dalam masa perkembangan dan menyongsong masa depan maka sebenarnya dalam diri orang tersebut sudah mengetahui unsur yang penting yang harus dilakukan demi mendapatkan hasil yang sesuai dengan yang diinginkan. c. Apa yang ada pada diri seseorang, baik itu berupa pengalaman, kepercayaan, sikap dan hal-hal lain yang telah ada pada dirinya turut menentukan tercapainya tujuan yang ingin dicapai. d. Orang cenderung memberi respon yang sama terhadap situasi yang sama. Seperti apabila seseorang dalam keadaan stress karena diputus oleh pacarnya dan ia mengalami ini bukan hanya kali ini melainkan ia pernah mengalami kejadian yang sama karena hal yang sama maka tentu ia akan merespon situasi tersebut seperti yang ia lakuan seperti dahulu ia lakukan. e. Orang cenderung menghubungkan respon yang ia kuasai dengan situasi tertentu tatkala menyadari bahwa respon yang ia kuasai dengan situasi tersebut mempunyai hubungan. f. Manakala suatu respon cocok dengan situasinya maka relatif lebih mudah untuk dipelajari. Aplikasi teori behavioristik dalam proses pembelajaran untuk memaksimalkan tercapainya tujuan pembelajaran fisika(siswa menunjukkan tingkah laku / kompetensi sebagaimana telah dirumuskan), guru perlu menyiapkan dua hal, sebagai berikut: a. Menganalisis Kemampuan Awal dan Karakteristik Siswa Siswa sebagai subjek yang akan diharapkan mampu memiliki sejumlah kompetensi sebagaimana yang telah ditetapkan dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar, perlu kiranya dianalisis kemampuan awal dan karakteristiknya. Hal ini dilakukan mengingat siswa yang belajar di sekolah tidak datang tanpa berbekal apapun sama sekali (mereka sangat mungkin telah memiliki sejumlah pengetahuan dan keterampilan yang di dapat di luar proses pembelajaran). Selain itu, setiap siswa juga memiliki karakteristik sendiri-sendiri dalam hal mengakses dan atau merespons sejumlah materi dalam pembelajaran fisika. b. Merencanakan materi pembelajaran yang akan dibelajarkan Idealnya proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru benar-benar sesuai dengan apa yang diharapkan oleh siswa dan juga sesuai dengan kondisi siswa, sehingga di sini guru tidak akan over-estimate dan atau under-estimate terhadap siswa. Namun kenyataan tidak demikian adanya. Sebagian siswa ada yang sudah tahu dan sebagian yang lain belum tahu sama sekali tentang materi yang akan dibelajarkan di dalam kelas. Untuk dapat memberi layanan pembelajaran kepada semua kelompok siswa yang mendekati idealnya (sesuai dengan kemampuan awal dan karakteristik masing-masing kelompok) kita dapat menggunakan dua pendekatan yaitu : a). Siswa menyesuaikan diri dengan materi fisika yang akan dibelajarkan, yaitu dengan cara guru melakukan tes dan pengelompokkan (dalam hal ini tes dilakukan sebelum siswa mengikuti pelajaran), atau b). Materi pembelajaran disesuaikan dengan keadaan siswa. Materi pembelajaran yang akan dibelajarkan, apakah disesuaikan dengan keadaan siswa atau siswa menyesuaikan materi, keduanya dapat didahului dengan mengadakan tes awal atau tes prasyarat (prerequisite test). Hasil dari prerequisite test ini dapat menghasilkan dua keputusan, yaitu : siswa dapat dikelompokkan dalam dua kategori, yakni a) sudah cukup paham dan mengerti, serta b) belum paham dan



mengerti. Jika keputusan yang diambil siswa dikelompokkan menjadi dua di atas, maka konsekuensinya: materi, guru dan ruang belajar harus dipisah. Hal seperti ini tampaknya sangat susah untuk diterapkan, karena berimplikasi pada penyediaan perangkat pembelajaran yang lebih memadai, di samping memerlukan dana (budget) yang lebih besar. Cara lain yang dapat dilakukan adalah atas dasar hasil analisis kemampuan awal siswa dimaksud, guru dapat menganalisis tingkat persentase penguasaan materi pembelajaran. Hasil yang mungkin diketahui adalah bahwa pada pokok materi pembelajaran tertentu sebagian besar siswa sudah banyak yang paham dan mengerti, dan pada sebagian pokok materi pembalajaran yang lain sebagian besar siswa belum atau tidak mengerti dan paham. Rencana strategi pembelajaran yang dapat dilakukan oleh guru terhadap kondisi materi pembelajaran yang sebagian besar siswa sudah mengetahuinya, materi ini bisa dilakukan pembelajaran dalam bentuk kokurikuler (siswa diminta untuk menelaah dan membahas pelajaran fisika di rumah atau dalam kelompok belajar, lalu diminta melaporkan hasil diskusi kelompok dimaksud). Sedangkan terhadap sebagian besar pokok materi pembelajaran yang tidak dan belum diketahui oleh siswa, pada pokok materi inilah yang akan dibelajarkan secara penuh di dalam kelas. Sedangkan langkah umum yang dapat dilakukan guru dalam menerapkan teori behaviorisme dalam proses pembelajaran fisika adalah sebagai berikut : 1. Mengidentifikasi tujuan pembelajaran fisika. 2. Melakukan analisis pembelajaran fisika. 3. Mengidentifikasi karakteristik dan kemampuan awal pembelajar. 4. Menentukan indikator-indikator keberhasilan belajar fisika. 5. Mengembangkan bahan ajar fisika (pokok bahasan, topik, dll). 6. Mengembangkan strategi pembelajaran fisika (kegiatan, metode, media dan waktu). 7. Mengamati stimulus yang mungkin dapat diberikan (latihan, tugas, tes dan sejenisnya). 8. Mengamati dan menganalisis respons pembelajar. 9. Memberikan penguatan (reinfrocement) baik posistif maupun negatif, serta 10. Merevisi kegiatan pembelajaran fisika. Langkah praktis Thorndike sebagai salah satu aliran psikologi tingkah laku dalam pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pembelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Setiap pembelajaran yang berpegang pada teori belajar behavioristik telah terstruktur rapi, dan mengarah pada bertambahnya pengetahuan pada siswa. Penerapan praktis yang sebaiknya dilakukan dalam pembelajaran fisika adalah sebagai berikut: 1. Sebelum memulai proses belajar mengajar pembelajaran fisika, pendidik harus memastikan siswanya siap mengikuti pembelajaran tersebut. Jadi setidaknya ada aktivitas yang dapat menarik perhatian siswa untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar. Seperti memberikan kuis soal soal fisika sebelumnya yang berhadiah pada nilai tambah siswa. 2. Pembelajaran fisika yang diberikan sebaiknya berupa pembelajaran yang kontinu, hal ini dimaksudkan agar materi fisika yang lampau dapat tetap diingat oleh siswa. 3. Dalam proses belajar fisika, pendidik hendaknya menyampaikan materi dengan cara yang menyenangkan, contoh dan soal latihan fisika yang diberikan tingkat kesulitannya bertahap, dari yang mudah sampai yang sulit. Hal ini agar siswa mampu menyerap materi fisika yang diberikan. 4. Pengulangan terhadap penyampaian materi dan latihan fisika, dapat membantu siswa mengingat materi terkait lebih lama. Supaya peserta didik dapat mengikuti proses pembelajaran, proses harus bertahap dari yang sederhana hingga yang kompleks. Peserta didik yang telah belajar dengan baik harus segera diberi hadiah, dan yang belum baik harus segera diperbaiki. Dalam belajar, motivasi tidak begitu penting, karena perilaku peserta didik terutama ditentukan oleh penghargaan eksternal dan bukan oleh intrinsic motivation. Yang lebih penting dari ini ialah adanya respon yang benar terhadap stimulus. Materi fisika yang diberikan kepada peserta didik harus ada manfaatnya untuk kehidupan anak kelak setelah dari sekolah. Thorndike berpendapat, bahwa cara mengajar yang baik bukanlah mengharapkan murid tahu bahwa apa yang telah di ajarkan, tetapi guru harus tahu apa yang hendak diajarkan. Dengan ini guru harus tahu materi apa yang harus diberikan, respon apa yang diharapkan dan kapan harus memberi hadiah atau membetulkan respon yang salah. 2. Teori belajar kognitif menurut Jean Piaget



Berbeda dengan teori perilaku, teori kognitif tidak hanya menitik beratkan pada faktor eksternal yang dapat diamati selama belajar, namun juga apa yang ada di dalam diri (faktor internal) siswa, antara lain bagaimana pengetahuan diperoleh, diorganisasi dan disimpan di dalam ingatan. Sesuai dengan teori kognitif tentang bagimana siswa belajar dan berfikir, kegiatan penyelidikan sains (fisika) tergantung pada pengetahuan yang dimiliki siswa pada proses pembelajaran siswa pada waktu sebelumnya. Menurut para pakar psikologi kognitif, pengetahuan merupakan suatu jaringan informasi dan keterampilan yang kompleks. Pada umumnya pengetahuan digolongkan ke dalam pengetahuan deklaratif (pengetahuan tentang fakta, konsep dan prinsip) dan pengetahuan prosedural (pengetahuan tentang bagaimana melaksanakan pengetahuan deklaratif . Mengajarkan siswa ”besarnya arus listrik yang mengalir dalam suatu rangkaian tertutup (sesuai hukum Ohm) adalah besarnya tegangan yang terpasang dibagi dengan hambatannya” merupakan contoh pengetahuan deklaratif. Sedangkan memperlihatkan cara-cara merangkai rangkaian hukum Ohm itu merupakan contoh pengetahuan prosedural. Jean Peaget adalah ahli psikologi yang pertama menggunakan filsafat kontruktivis dalam proses pembelajaran. Ia menjelaskan bagaimana proses pengetahuan seseorang dalam teori perkembangan intelektual yaitu berfikir dari kongkrit ke abstrak. Menurut Piaget, tahapan-tahapan berfikir itu adalah pasti dan spontan namun umur kronologis yang diberikan adalah fleksibel, terutama masa transisi dari periode yang satu ke periode yang berikutnya. Umur kronologis itu dapat saling tindih tergantung kepada individu. Menurut Piaget menyatakan bahwa skema adalah suatu struktur mental atau kognitif yang dengan seseorang secara intelektual beradaptasi dengan mengkoordinasi lingkungan sekitarnya, adaptasi adalah proses penyesuaian skema dalam merespon lingkungan melalui asimilasi dan akomodasi. Piaget mengembangkan teori perkembangan kognitif yang cukup dominan selama beberapa dekade. Dalam teorinya Piaget membahas pandangannya tentang bagaimana anak belajar. Menurut Jean Piaget, dasar dari belajar adalah aktivitas anak bila ia berinteraksi dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisiknya. Pertumbuhan anak merupakan suatu proses sosial. Anak tidak berinteraksi dengan lingkungan fisiknya sebagai suatu individu terikat, tetapi sebagai bagian dari kelompok sosial. Akibatnya lingkungan sosialnya berada diantara anak dengan lingkungan fisiknya. Interaksi anak dengan orang lain memainkan peranan penting dalam mengembangkan pandangannya terhadap alam. Melalui pertukaran ide-ide dengan orang lain, seorang anak yang tadinya memiliki pandangan subjektif terhadap sesuatu yang diamatinya akan berubah pandangannya menjadi objektif. Aktivitas mental anak terorganisasi dalam suatu struktur kegiatan mental yang disebut ”skema” atau pola tingkah laku. Dalam perkembangan intelektual ada tiga hal penting yang menjadi perhatian Piaget yaitu struktur, isi dan fungsi. 1. Struktur, Piaget memandang ada hubungan fungsional antara tindakan fisik, tindakan mental dan perkembangan logis anak-anak. Tindakan (action) menuju pada operasi-operasi dan operasi-operasi menuju pada perkembangan struktur-struktur. 2. Isi, merupakan pola perilaku anak yang khas yang tercermin pada respon yang diberikannya terhadap berbagai masalah atau situasi yang dihadapinya. 3. Fungsi, adalah cara yang digunakan organisme untuk membuat kemajuan intelektual. Menurut Piaget, perkembangan intelektual didasarkan pada dua fungsi yaitu organisasi dan adaptasi. 1. Organisasi memberikan setiap organisme kemampuan untuk mengestimasikan atau mengorganisasi proses-proses fisik atau psikologis menjadi sistem-sistem yang teratur dan berhubungan. 2) Adaptasi, terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan atau pergantian skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru pengertian orang itu berkembang. Akomodasi. Dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skema yang telah dipunyai. Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi tejadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya maka terjadilah



ketidakseimbangan (disequilibrium). Akibat ketidakseimbangan itu maka terjadilah akomodasi dan struktur kognitif yang ada akan mengalami perubahan atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidakseimbangan dan keadaan setimbang (disequilibrium–equilibrium). Tetapi bila terjadi kesetimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya. Ada beberapa konsep yang perlu dimengerti agar lebih mudah memahami teori perkembangan kognitif atau teori perkembangan Piaget, yaitu: 1) Intelegensi. Piaget mengartikan intelegensi secara lebih luas, juga tidak mendefinisikannya secara ketat. Ia memberikan definisi umum yang lebih mengungkap orientasi biologis. Menurutnya, intelegensi adalah suatu bentuk ekuilibrium ke arah di mana semua struktur yang menghasilkan persepsi, kebiasaan, dan mekanisme sensiomotor diarahkan. 2) Organisasi. Organisasi adalah suatu tendensi yang umum untuk semua bentuk kehidupan guna mengintegrasikan struktur, baik yang psikis ataupun fisiologis dalam suatu sistem yang lebih tinggi. 3) Skema. Skema adalah suatu struktur mental seseorang dimana ia secara intelektual beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Skema akan beradaptasi dan berubah selama perkembangan kognitif seseorang. 4) Asimilasi. Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep atau pengalaman baru kedalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. 5) Akomodasi. Akomodasi adalah pembentukan skema baru atau mengubah skema lama sehingga cocok dengan rangsangan yang baru, atau memodifikasi skema yang ada sehingga cocok dengan rangsangan yang ada. 6) Ekuilibrasi. Ekuilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sedangkan diskuilibrasi adalah keadaan dimana tidak seimbangnya antara proses asimilasi dan akomodasi, ekuilibrasi dapat membuat seseorang menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamnya. Asimilasi merupakan proses kognitif yang dengannya seseorang yang mengintegrasikan persepsi, konsep, ataupun pengalaman baru kedalam skema atau pola yang sudah ada didalam pikirannya. Akomodasi adalah proses pengintegrasian stimulus baru kedalam skema yang telah terbentuk secara tidak langsung, selanjutnya dalam proses perkembangan kognitif seseorang diperlukan keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Pada bagian lain Slavin menegaskan bahwa teori perkembangan Piaget mewakili kontruktifisme, yang memandang perkembangan kognitif sebagai suatu proses dimana anak secara aktif membangun sistem makna dan pemahaman realitas melalui pengalaman-pengalaman dan interaksi-interaksi mereka. Hal ini berarti bahwa anak-anak mengkontruksi pengetahuan secara terus menerus dengan mengasimilasi dan mengakomodasi informasi baru. Sumbangan penting dari teori belajar Piaget dalam pembelajaran bebas adalah pada saat siswa mengkontruk dalam penyelesaian tugas secara individu dan secara kelompok saat siswa bekerja dalam kelompok. Salah satu syarat keanggotaan kelompok belajar adalah mempertimbangkan kemajuan perkembangan anak. Dalam kelompoknya siswa saling berdiskusi tentang masalah-masalah yang menjadi tugas kelompok masing-masing dan guru hanya memberikan bimbingan ketika siswa menemui kesulitan. Implementasi teori belajar dari Jen Piaget khususnya dalam bidang fisika adalah sebagai berikut : Fisika sebagai salah satu cabang IPA yang pada dasarnya bertujuan untuk mempelajari dan menganalisis pemahaman kuantitatif gejala atau proses alam dan sifat zat serta penerapannya. Pendapat tersebut diperkuat oleh pernyataan bahwa fisika merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari bagian-bagian dari alam dan interaksi yang ada di dalamnya. Ilmu fisika dapat membantu untuk menguak dan memahami tabir misteri alam semesta ini. Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tersebut meliputi pengetahuan fisik, pengetahuan logikamatematika dan pengetahuan sosial. Tidak semua pengetahuan dapat diterima dengan mudah oleh siswa. Hal ini dapat diketahui dari contoh yang dikemukakan oleh Piaget yaitu pengetahuan sosial seperti nama hari, tanda atom dan lambang matematika dapat dipelajari secara langsung. Tetapi pengetahuan fisik dan logika matematika tidak dapat ditransfer secara utuh dari pikiran guru ke pikiran siswa tetapi harus dibangun di dalam pikiran siswa sendiri sebagai usaha keras siswa untuk mengorganisasi pengalaman-pengalamannya dalam hubungannya dengan skema atau struktur mental yang telah ada sebelumnya.



Penerapan model belajar dari Piaget menyatakan bahwa siswa yang aktif menciptakan struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan.Dengan bantuan struktur kognitif ini, siswa menyusun pengertiannya mengenai realitasnya. Struktur kognitif senantiasa harus disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungannya. Siswa tidak secara pasif menerima realitas-objektif yang diterimanya. Siswa berpikir aktif serta mengambil tanggung jawab atas proses pembelajaran dirinya. Piaget juga berpendapat pengetahuan diperoleh dari tindakan. Perkembangan kognitif sebagian besar bergantung pada seberapa aktif anak memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungan. Perkembangan kognitif bukan merupakan akumulasi dari kepingan informasi terpisah, namun lebih merupakan pengkonstruksian oleh siswa untuk memahami lingkungan mereka. Dalam pembelajaran fisika, guru hadir sebagai fasilitator bagi siswa dalam mengkonstruksi pemahaman pengetahuannya tentang fisika. Belajar fisika dapat menjadi daya tarik siswa jika penyajiannya melibatkan siswa secara aktif baik dari mental maupun fisik dan bersifat nyata (kontekstual). Siswa diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan objek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya. Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran yaitu siswa hendaknya diberi peluang untuk berbicara dan diskusi dengan teman-temannya yakni membahas suatu persoalan yang berkaitandengan fisika. Sebagai contoh , jika diperhatikan dengan seksama konsep-konsep yang ada dalam materi fisika di SLTP sebagiannya akan ditemukan konsep-konsep yang sifatnya abstrak. Agar siswa dapat memahami materi tersebut dengan lebih bermakna maka diharapkan siswa sudah memiliki penalaran formal. Piaget menyatakan bahwa anak-anak dianggap siap mengembangkan konsep khusus jika memperoleh skemata yang diperlukan. Hal ini berarti anak-anak tidak dapat belajar (tidak dapat mengembangkan skemata) jika tidak memiliki keterampilan kognitif. Artinya proses belajar mengajar menjadi terhambat bila penalaran formal siswa tidak sesuai dengan yang diperlukan. Beberapa penelitian telah dilakukan terkait dengan implementasi model kognitif dalam pembelajaran fisika. Sadia melakukan studi dengan menerapkan model belajar kognitif dalam pembelajaran konsep energi, usaha dan suhu. Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas pengembangan model belajar kognitif. Penelitian ini menggunakan konflik kognitif sebagai strategi pengubahan miskonsepsi siswa menuju konsep ilmiah yang berpijak pada teori konstruktivis Piaget dan menggunakan metode diskusi yang berpijak pada teori konstruktivis Vygotsky. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa model belajar kognitif memiliki keunggulan komparatif terhadap model belajar konvensional dan tidak adanya efek interaksi yang signifikan antara inteligensi dan model belajar. Sebagai calon seorang pendidik fisika ada beberapa cara yang harus di terapkan dari teori kognitif Jen Piaget yakni sebagai berikut : 1. Memberikan kesempatan kepada peserta didik melakukan eksperimen fisika terhadap objek-objek fisis dan fenomena alam. 2. Mengeksplorasi kemampuan penalaran dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan atau pemberian tugastugas pemecahan masalah. Dengan memberikan tugas-tugas , baik yang berkaitan dengan keterampilan berpikir operasional konkret maupun operasional formal (seperti konservasi, multiklasifikasi, separasi atau mengontrol variabel-variabel, penalaran proporsional, dan sebagainya), serta dengan mengobservasi respons siswa terhadap tugas-tugas tersebut, guru akan mendapatkan pengetahuan yang mendalam tentang bagaimana pemikiran dan penalaran para siswa tentang materi fisika yang di ajarkan . Dengan mengetahui pemikiran dan penalaran para siswa, guru akan dapat menyusun kurikulum dan materi-materi pengajaran fisika yang sesuai dengan tingkat kemampuan berpikir mereka. 3. Tahap-tahap perkembangan kognitif Piaget menjadi acuan dalam menginterpretasikan tingkah laku siswa dan mengembangkan rencana pelajaran fisika. Tahap-tahap perkembangan kognitif Piaget memang tidak selalu akurat dalam mendeksripsikan kemampuan berpikir logis para siswa bagaimanapun tahapan pemikiran yang diajukannya dapat memberikan petunjuk tentang pemikiran dan proses penalaran siswa pada berbagai tingkat usia. Guru sekolah dasar misalnya akan memahami bahwa siswanya kemungkinan menghadapi kesulitan dengan proporsi (seperti : pecahan atau desimal) dan dengan konsep-konsep abstrak (seperti: konsep keadilan, kebaikan, dan lain-lain). Sedangkan bagi guru sekolah menengah tentu akan lebih mengharapkan siswanya mendiskusikan ide-ide tentang kemajuan hidup masyarakat meskipun masih berupa pemikiran yang tidak realistis. 4. Tahap-tahap perkembangan kognitif Piaget juga memberikan petunjuk bagi para guru dalam memilih srategi pembelajaran yang lebih efektif pada tingkat kelas yang berbeda. Pada setiap tingkat perkembangan kognitif, siswa secara aktif diberi semangat dalam proses pembelajaran fisika. Guru harus tidak meremehkan



atau terlalu mengunggulkan kemampuan berfikir siswa saat sekarang. Sebaliknya, siswa pada setiap tingkat didorong untuk secara aktif menggabungkan informasi yang ada agar sampai ke dalam skema mereka. Untuk itu, mereka harus melakukan tindakan atas informasi dengan berbagai cara, dan proses pendidikan di sekolah harus memberi siswa kesempatan untuk memiliki pengalaman atas dunia. 5. Merancang aktivitas kelompok dimana siswa berbagi pandangan dan kepercayaan dengan siswa lain. Piaget percaya kalau belajar mestinya menjadi proses penemuan aktif dan disesuaikan dengan tahap perkembangan anak. Dalam hal ini, Piaget melihat adanya nilai pendidikan yang sangat besar didalam interaksi-interaksi sosial dengan teman sebaya. Menurut Piaget interaksi dengan teman sebaya sangat membantu anak memahami bahwa orang lain memiliki pandangan dunia yang berbeda dengan pandangannya sendiri dan ide-ide mereka tidak selalu akurat dan logis. Oleh sebab itu, interaksi dengan teman-teman sekelas, yang secara khusus meliputi konflik atau perbedaan pendapat dan yang memungkinkan terjadinya ketidakseimbangan, tentu akan mendorong anak untuk mengevaluasi kembali pandangan-pandangannya saat ini. Artinya, interaksi dengan teman sebaya akan memungkinkan siswa menguji pemikirannya, merasa tertantang, menerima umpan balik, dan melihat bagaimana orang lain mengatasi persoalan yang berkaitan dengan fisika. 3. Teori konstruktivisme menurut Vygotsky Teori belajar konstruktivis berangkat dari penyadaran tentang betapa pentingnya sebuah pendidikan yang melihat proses kebudayaan dan pendidikan yang tidak bisa dipisahkan. Pendidikan dan kebudayaan memiliki keterkaitan yang sangat erat, di mana pendidikan dan kebudayaan berbicara pada tataran yang sama, yaitu nilai-nilai. Tylor dalam H.A.R Tilaar telah menjalin tiga pengertian manusia, masyarakat dan budaya sebagai tiga dimensi dari hal yang bersamaan. Oleh sebab itu, pendidikan tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan dan hanya dapat terlaksana dalam suatu komunitas masyarakat. Teori belajar konstruktivis yang di pelopori oleh Lev Vygotsky, merupakan teori belajar yang titik tekan utamanya adalah pada bagaimana seseorang belajar dengan bantuan orang lain dalam suatu zona keterbatasan dirinya yaitu Zona Proksimal Development (ZPD) atau Zona Perkembangan Proksimal dan mediasi. Di mana anak dalam perkembangannya membutuhkan orang lain untuk memahami sesuatu dan memecahkan masalah yang dihadapinya. Teori kontruktivis Vygotsky adalah integrasi antara aspek internal dan eksternal yang penekanannya pada lingkungan sosial belajar. Vygotsky lebih menekankan pada sosio kultural dalam pembelajaran, yakni interak sisosial. Vygotsky yakin bahwa pembelajaran terjadi apabila anak belajar menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas itu masih berada dalam jangkauannya atau masih dalam zone of proximal Development mereka. Zone of Proximal Development adalah tingkat perkembangan sedikit di atas tingkat perkembangan seseorang saat itu. Jika siswa-siswa yang baru diajarkan atau dijelaskan hubungan seri dua buah resistor, kemudian oleh gurunya diminta untuk merangkaikan seri delapan buah resistor, maka siswa-siswa tersebut akan mampu melakukannya karena tugas itu berada dalam zone of proximal development mereka. Vygotsky yakin bahwa fungsi mental yang lebih tinggi pada umumnya muncul dalam percakapan atau kerjasama antar individu sebelum fungsi mental yang lebih tinggi itu terserap ke dalam individutersebut. Ide penting lainnya yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah Scaffolding. Scaffolding berarti memberikan sejumlah besar bantuan kepada seorang anak selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia dapat melakukannya. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh atau apapun yang lain memungkinkan siswa tumbuh mandiri. Sebagai contoh : misalkan akan diadakan eksperimen untuk menentukan periode sebuah bandul sederhana dengan menggunakan beban gantung. Pada permulaannya guru membuat panjang bandul itu kira-kira satu meter. Bandul itu disimpangkan guru 10 cm ke samping, lalu dilepaskan agar bandul berayun, guru meminta siswa menentukan periode ayunan tersebut. Selanjutnya guru meminta siswa menentukan periode untuk berbagai panjang bandul dan mencari hubungan antara periode dengan massa (panjang bandul dibuat tetap sama). Dalam pembelajaran, teori Vygotsky memiliki implikasi sebagai berikut : a. Dikehendakinya tatanan kelas berbentuk pembelajaran kooperatif antar siswa, sehingga siswa dapat berinteraksi di sekitar tugas-tugas yang sulit dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah fisika secara efektif di dalam masing masing zone of proximal development mereka. b. Pendekatan Vygotsky dalam pembelajaran menekankan Scaffolding yang berarti siswa semakin lama semakin bertanggung jawab terhadap pembelajarnya sendiri.



Vygotsky mengemukakan ada empat prinsip kunci dalam pembelajaran, yaitu: 1) penekanan pada hakikat sosiokultural pada pembelajaran (the sosiocultural of learning), 2) zona perkembangan terdekat (zona of proximal development), 3) pemagangan kognitif (cognitive apprenticeship), dan perancahan (scaffolding). Keempat prinsip tersebut secara singkat dijelaskan berikut ini. Prinsip pertama, menurut Vygotsky siswa belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu, Vygotsky menekankan pentingya interaksi sosial dengan orang lain dalam proses pembelajaran. Prinsip kedua, menurut Vygotsky dalam proses perkembangan kemampuan kognitif setiap anak memiliki apa yang disebut zona perkembangan proximal (zona of proximal development) yang didefinisikan sebagai jarak atau selisih antara tingkat perkembangan anak yang aktual dengan tingkat perkembangan potensial yang lebih tinggi yang biasanya dicapai sang anak jika ia mendapat bimbingan atau bantuan dari seseorang yang lebih dewasa atau lebih kompeten. Prinsip ketiga, menurut Vigotsky adalah pemagangan kognitif, yaitu suatu proses dimana seorang siswa belajar setahap demi setahap akan memperoleh keahlian dalam interaksinya dengan seorang ahli, seorang ahli biasasanya seorang yang lebih dewasa atau orang yang lebih tua atau teman sebaya yang menguasai permasalahannya. Prinsip keempat, menurut Vigotsky adalah perancahan atau scaffolding, merupakan suatu ide kunci menurut Vygotsky. Perancahan berarti pemberian sejumlah besar bantuan kepada seorang anak selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian secara berlahan bantuan tersebut dikurangi dengan memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggungjawab setelah ia mampu mengerjakan sendiri. Berdasarkan uraian di atas, maka implikasi utama dari teori Vygotsky terhadap pembelajaran fisika adalah kemampuan untuk mewujudkan tatanan pembelajaran fisika berbasis masalah dengan dibentuk kelompok-kelompok belajar supaya siswa mempunyai tanggungjawab terhadap belajar fisikanya. Teori yang juga disebut sebagai teori konstruksi sosial ini menekankan bahwa intelegensi manusia berasal dari masyarakat, lingkungan dan budayanya. Teori ini juga menegaskan bahwa perolehan kognitif individu terjadi pertama kali melalui interpersonal (interaksi dengan lingkungan sosial) intrapersonal (internalisasi yang terjadi dalam diri sendiri). Vygotsky berpendapat bahwa menggunakan alat berfikir akan menyebabkan terjadinya perkembangan kognitif dalam diri seseorang. Secara spesifik dapat disimpulkan bahwa kegunaan alat berfikir menurut Vygotsky adalah : 1. Membantu memecahkan masalah Alat berfikir mampu membuat seseorang untuk memecahkan masalahnya. Kerangka berfikir yang terbentuklah yang mampu menentukan keputusan yang diambil oleh seseorang untuk menyelesaikan permasalahan atau persoalan fisika. 2. Memudahkan dalam melakukan tindakan Vygotsky berpendapat bahwa alat berfikirlah yang mampu membuat seseorang mampu memilih tindakan atau perbuatan yang seefektif dan seefisien mungkin untuk mencapai tujuan. 3. Memperluas kemampuan Melalui alat berfikir setiap individu mampu memperluas wawasan berfikir dengan berbagai aktivitas untuk mencari dan menemukan pengetahuan yang ada di sekitarnya. 4. Melakukan sesuatu sesuai dengan kapasitas alaminya. Semakin banyak stimulus yang diperoleh maka seseorang akan semakin intens menggunakan alat berfikirnya dan dia akan mampu melakukan sesuatu sesuai dengan kapasitasnya. Berdasarkan teori Vygotsky dapat disimpulkan beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan dalam proses pembelajaran fisika, yaitu : 1. Dalam kegiatan pembelajaran fisika hendaknya anak memperoleh kesempatan yang luas untuk mengembangkan zona perkembangan proksimalnya atau potensinya melalui belajar dan berkembang. 2. Pembelajaran fisika materinya perlu dikaitkan dengan tingkat perkembangan potensialnya dari pada perkembangan aktualnya. 3. Pembelajaran fisika lebih diarahkan pada penggunaan strategi untuk mengembangkan kemampuan intermentalnya daripada kemampuan intramentalnya. 4. Anak diberikan kesempatan yang luas untuk mengintegrasikan pengetahuan deklaratif yang telah dipelajarinya dengan pengetahuan prosedural untuk melakukan tugas-tugas dan memecahkan masalah yang berkaitan denga fisika. 5. Proses Belajar dan pembelajaran tidak sekedar bersifat transferal tetapi lebih merupakan ko-konstruksi Dalam teori belajar konstruktivis ini, pengetahuan yang dimiliki seseorang berasal dari sumbersumber sosial yang terdapat di luar dirinya. Untuk mengkonstruksi pengetahuan, diperlukan peranan aktif dari orang tersebut. Karena pengetahuan dan kemampuan tidak datang dengan sendirinya, namun harus



diusahakan dan dipengaruhi oleh orang lain. Prinsip-prinsip utama teori belajar konstruktivis yang banyak digunakan dalam pendidikan menurut Guruvalah sebagai berikut: 1. Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif 2. Tekanan proses belajar mengajar terletak pada siswa 3. Mengajar adalah membantu siswa belajar 4. Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses dan bukan pada hasil belajar 5. Kurikulum menekankan pada partisipasi siswa 6. Guru adalah fasilitator Inti dari teori belajar konstruktivis ini adalah penggunaan alat berfikir seseorang yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan sosial budayanya. Lingkungan sosial budaya akan menyebabkan semakin kompleksnya kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu. Pada penerapan pembelajaran fisika dengan teori belajar konstruktivis, guru berfungsi sebagai motivator yang memberikan rangsangan agar siswa aktif dan memiliki gairah untuk berfikir, fasilitator yang membantu menunjukkan jalan keluar bila siswa menemukan hambatan dalam proses berfikir, menejer yang mengelola sumber belajar fisika, serta sebagai rewarder yang memberikan penghargaan pada prestasi yang dicapai siswa, sehingga mampu meningkatkan motivasi yang lebih tinggi dari dalam diri siswa. Pada intinya, siswalah yang dapat menyelesaikan permasalahannya sendiri untuk membangun ilmu pengetahuan tentang fisikanya. Dalam pelaksanaan teori belajar konstruktivis ada beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran yaitu sebagai berikut : 1. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan pendapatnya dengan bahasa sendiri. 2. Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga lebih kreatif dan imajinatif. 3. Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru. 4. Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa. 5. Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka. 6. Menciptakan lingkungan yang kondusif. Dari berbagai pandangan di atas, bahwa pembelajaran yang mengacu pada pandangan konstruktivis lebih memfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka dengan kata lain siswa lebih berpengalaman untuk mengonstruksikan sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi. Fisika yang awalnya dianggap sebagai pelajaran yang sulit oleh siswa. Dengan inovasi pembelajaran yang dilakukan oleh guru dengan melaksanakan pembelajaran konstruktivist membuat siswa aktif, hal ini dikarenakan media yang digunakan dalam pembelajaran konstruktivis, selain itu membuat siswa terlibat aktif dalam pembelajaran, tetapi juga membuat siswa dapat menemukan konsep sendiri. Selain media yang digunakan, metode pembelajaran yang diterapkan pada mata pelajaran fisika kelas juga bervariasi yaitu dengan metode pembelajaran demonstrasi antara lain metode pembelajaran jigsaw, metode sudut IPA, games yang dapat membuat siswa aktif dalam proses pembelajaran. Hal ini selain didasarkan pada pertimbangan bahwa pembelajaran konstruktivis berangkat dari pengakuan bahwa belajar harus bebas, sehingga siswa dapat mengungkapkan makna yang berbeda dari hasil yang interpretasinya terhadap segala sesuatu yang ada di dunia nyata serta mengantisipasi kebosanan siswa kalau hanya pembelajaran menggunakan LCD. Sehingga dalam pembelajaran konstruktivis guru hanya sebagai fasilitator. Maka dalam pembelajaran konstruktivis guru dituntut untuk kreatif dalam menciptakan media yang akan digunakan. Media yang dapat digunakan dalam pembelajaran antara lain kertas manila, pos-it, slide unik, serta barang- barang sehari- hari serta lingkungan sekitar misalnya penangkal petir yang dapat digunakan untuk menjelaskan tetang materi pelajaran fisika. Sehingga meskipun terdapat hambatan yang terjadi dalam pembelajaran tetapi dengan menggunakan lingkungan sebagai sarana pembelajaran maka siswa terbebas dari rasa bosan bahkan mereka selalu menantikan kejutan yang akan mereka dapatkan dalam pebelajaran fisika pada hari berikutnya. Implementasi pembelajaran fisika melalui teori konstruktivis ini membuat siswa aktif dalam mengkonstruksi pengetahuan. Adapun implementasinya sebagai berikut. a. Pemberian tantangan Setelah mereka diberi tantangan, yaitu menentukan panjang ruang kelas dengan menggunakan mobil Tamiya, mereka kemudian berpikir, besaran fisika apa yang dibutuhkan untuk menentukan panjang ruang kelas. Untuk menentukan besaran tersebut, guru memberi bimbingan pada siswa dengan memperlihatkan mobil Tamiya dan menanyakan besaran fisika apa saja yang dapat diukur dari gerak sebuah mobil Tamiya.



Dari pertanyaan tersebut siswa diminta untuk menuliskan besaran yang dapat diketahui, kemudian mereka diminta untuk merancang suatu tahapan untuk mengukur besaran tersebut. Apabila ada siswa yang bertanya maka pertanyaan itulah yang merupakan sebuah ekspresi bahwa terjadi proses akomodasi pada diri siswa yang berujung pada motivasi atau rasa ingin tahu. Keadaan ini akan memicu pembelajaran yang muncul dari keinginan intrinsik. Ketika belajar dimulai dari diri pelajar, maka hal itu akan menjadi proses generatif di mana pembelajar berusaha untuk menciptakan sesuatu yang baru untuk membawa ide atau strategi menjadi ada. Dengan membiasakan pemberi-an tantangan, secara perlahan siswa diharapkan mampu melihat setiap fakta terkait pelajaran fisika yang mereka temui dalam kehidupan sehari-hari. Setelah mengetahui fakta tersebut, siswa akan belajar menjelaskan kejadian-kejadian yang mereka temui berdasarkan konsep fisika. Hal ini sejalan dengan tujuan pembelajaran fisika, yaitu agar siswa mampu mengembangkan kemampuan bernalar dalam berpikir analisis induktif dan deduktif dengan menggunakan konsep dan prinsip fisika untuk menjelaskan berbagai peristiwa alam dan menyelesaian masalah baik secara kualitatif maupun kuantitatif. b. Siswa sebagai penentu materi Motivasi awal yang telah berhasil menarik minat belajar fisika bukanlah jaminan bahwa siswa akan tetap senang untuk belajar hingga akhir jam pelajaran. Justru langkah yang ditempuh oleh guru setelah fase tantangan akan menjadi penentu apakah motivasi tersebut mampu bertahan hingga akhir jam pelajaran atau tidak. Ini merupakan tantangan yang luar biasa bagi setiap guru, sebab guru adalah penentu apakah waktu 90 menit akan menjadi waktu yang membosankan, atau bahkan masa yang menakutkan bagi siswa ataukah guru akan memfasilitasi siswa dengan suasana kelas yang dapat mereka nikmat hingga akhir pelajaran? Tentu saja jawaban dari pertanyaan itu tercermin dari cara seorang pengajar mendesain pembelajaran di kelas. Upaya melibatkan siswa dalam penentuan materi ajar sangatlah penting, sebab hal ini dapat meyakinkan bahwa mereka benar-benar terlibat dalam pembelajaran, sehingga ingatan mereka akan meningkat. c. Eksplorasi pengetahuan Tahap kedua yang tidak kalah penting dari tahap pertama adalah bagaimana guru mendesain proses eksplorasi yang akan siswa lakukan dalam menemukan jawaban pertanyaan pada LKS. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mengaktifkan siswa dalam pembelajaran adalah dengan membagi siswa ke dalam beberapa kelompok. Aronson dalam penelitian teknik belajar kelompok menemukan bahwa siswa mempelajari materi lebih cepat dan secara signifikan lebih baik pada hasil ujian dibandingkan kondisi kontrol siswa di kelas dengan instruksi secara tradisional. d. Evaluasi pembelajaran Evaluasi hasil pembelajaran dalam kelas dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana pemahaman siswa terhadap pelajaran fisika. Pada tahap pemberian contoh dan soal latihan, tentunya ada siswa mampu menyelesai-kan soal yang berada pada level penerapan, namun untuk soal analisis, mereka masih mengalami kesulitan. Seperti menentukan titik temu dua mobil Tamiya yang saling berkejaran dengan data yang disajikan berupa data perpindahan dan waktu. Implikasin lain dari teori konstruktivis dalam proses pembelajaran adalah pebelajar melakukan proses aktif dalam mengkonstruksi gagasan-gagasannya menuju konsep yang bersifat ilmiah. Pebelajar menyeleksi dan mentransformasi informasi, mengkonstruksi dugaan-dugaan (hipotesis) dan membuat suatu keputusan dalam struktur kognitifnya. Struktur kognitif (skema, model mental) yang dimiliki digunakan sebagai wahana untuk memahami berbagai macam pengertian dan pengalamannya. Ada beberapa aspek utama dalam upaya mengimplementasikan teori konstruktivis ini dalam pembelajaran, yaitu : (a) siswa sebagai pusat dalam pembelajaran, (b) pengetahuan yang akan disajikan disusun secara sistematis dan terstruktur sehingga mudah dipahami oleh siswa, (c) memanfaatkan media yang baik 2. Soal : Pada era globalisasi ini, bangsa Indonesia dituntut kemampuannya untuk dapat bersaing dengan bangsabangsa lain di dunia. Namun dalam kenyataannya mutu pendidikan di Indonesia khususnya pada bidang IPA masih belum menggembirakan, hal ini tercermin dari rata-rata skor pencapaian literasi IPA menurut data the Program for International Student Assesment ( PISA ) tahun 2003 dan 2006 untuk siswa berusia 15 tahun, Indonesia berada pada urutan ke-50 dari 57 negara yang disurvei dengan skor rata-rata 393 (Chiappeta & Koballa, 2010 : 23). Bahkan laporan PISA untuk tahun 2009 dan tahun 2012, skor bidang IPA untuk siswa di Indonesia menurun menjadi 383 dan 382. Perbedaan skor menunjukkan perbedaan



kemampuan siswa dalam literasi IPA. Untuk siswa dengan skor sekitar 400, diperkirakan berada pada taraf hanya mampu mengingat konsep-konsep IPA berdasarkan fakta yang sederhana, mengetahui rumus sederhana dan menggunakannya untuk mengevaluasi atau menarik kesimpulan (Hayat & Yusuf, 2010 : 319). Bagaimana pendapat anda tentang hal tersebut? Uraikan teori belajar terkait dengan proses mengingat dan membangun pengetahuan ! Jawaban : Sebelum menanggapi kondisi peringkat literasi IPA siswa di Indonesia yang semakin hari semakin turun peringkatnya, ada baiknya kita mengetahui apa itu literasi IPA. Hal ini dikarenakan apabila tidak mengetahui definisi dari literasi IPA itu sendiri, maka tidak akan bisa menanggapi kondisi kondisi tersebut. PISAn sendiri mendefinisikan literasi IPA (science) sebagai kapasitas untuk menggunakan pengetahuan dan kemampuan ilmiah, mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan dan menarik kesimpulan berdasarkan buktibukti dan data-data yang ada agar dapat memahami dan membantu peneliti untuk membuat keputusan tentang dunia alami dan interaksi manusia dengan alamnya. Literasi IPA (sains) yaitu suatu ilmu pengetahuan dan pemahaman mengenai konsep dan proses sains yang akan memungkinkan seseorang untuk membuat suatu keputusan dengan pengetahuan yang dimilikinya, serta turut terlibat dalam hal kenegaraan, budaya dan pertumbuhan ekonomi, termasuk di dalamnya kemampuan spesifik yang dimilikinya. Literasi IPA juga dapat diartikan sebagai pemahaman atas sains dan aplikasinya bagi kebutuhan masyarakat . Literasi berati kemampuan membaca dan menulis atau melek aksara. Dalam konteks sekarang, literasi memiliki makna yang luas, yaitu melek teknologi, politik, berfikir kritis dan peka terhadap lingkungan sekitar, sedangkan kata IPA berasal dari kata sains merupakan serapan dari Bahasa Inggris, yaitu science yang diambil dari bahasa latin sciencia dan berarti pengetahuan. Sains dapat berarti ilmu pada umumnya, tetapi juga berarti ilmu pengetahuan alam. Sementara itu, Notional Science Teacher Assosiation mengemukakan bahwa seseorang yang memiliki literasi IPA (science) adalah orang yang menggunakan konsep sains, mempunyai keterampilan proses sains untuk dapat menilai dalam membuat keputusan sehari-hari kalau ia berhubungan dengan orang lain, lingkungannya, serta memahami interaksi antara sains, teknologi dan masyarakat, termasuk perkembangan sosial dan ekonomi. Literasi sains didefinisikan pula sebagai kapasitas untuk menggunkan pengetahuan ilmiah, mengidentifikasi pertanyaan dan menarik kesimpulan berdasarkan fakta dan data untuk memahami alam semesta dan membuat keputusan dari perubahan yang terjadi karena aktivitas manusia. Dengan melihat kondisi literasi IPA di Indonesia yang dari tahun ke tahun semakin menurun peringkatnya tentunya membuat perihatin khususnya bagi saya sendiri. Hal ini dikarenakan saya termasuk kedalam bidang IPA tersebut, sehingga secara langsung kemampuan IPA yang dimiliki baik secara personal maupun kolektif sangat rendah, bahkan laporan PISA untuk tahun 2009 dan tahun 2012, skor bidang IPA untuk siswa di Indonesia menurun menjadi 383 dan 382. Itu artinya siswa-siwa IPA di Indonesia hanya sedikit jumlah nya yang benar benar paham terhadap konsep, aplikasi, maupun paham akan permasalahan yang berkaitan dengan IPA tersebut. Untuk siswa dengan skor sekitar 400 saja, diperkirakan berada pada taraf hanya mampu mengingat konsep-konsep IPA berdasarkan fakta yang sederhana, mengetahui rumus sederhana dan menggunakannya untuk mengevaluasi atau menarik kesimpulan. Apalagi yang skor nya dibawah 400, itu mungkin para siswa hanya sekedar tahu dalam IPA belum secara komprehension atau pemahaman yang mendalam. Secara pemahaman konsep dan perhitungan mungkin Indonesia bisa bersaing dengan negara di luar, faktanya banyak dari siswa Indonesia yang memenangi pertandingan pertandingan science Internasional, ataupun Olimpiade-olimpiade Internasional. Tetapi dibalik itu semua, penerapan atau implikasi dari siswa secara keseluruhan belum mampu bersaing dengan siswa di tingkat internasional, yakni siswa Indonesia belum mampu menerapkan konsep-konsep IPA ke dalam kehidupan mereka. Banyak siswa dalam belajar ipa hanya sekedar tahu, dan mungkin banyak juga siswa yang belajar hanya dengan menggunakan 1 sumber literasi belajar, misalkan seorang kelas 11 IPA hanya belajar IPA menggunakan buku yang ada di sekolah saja, tidak mencari sumber-sumber belajar lainnya, yang mungkin isi pembelajaran lebih luas dari buku yang ada di sediakan sekolah tersebut. Biasanya juga sekolah hanya mampu menyediakan sumber belajar yang hanya dimampukan oleh sekolah, yang mungkin bisa saja buku tersebut tidak mengikuti update-update atau penemuan penemuan terbaru di bidang IPA, hal inilah yang menyebabkan pemikiran atau pemahaman siswa menjadi kerdil apalagi mau menerapkan nya dalam kehidupan mereka. Rendahnya peringkat literasi siswa IPA Indonesia juga dapat disebabkan oleh kebiasaan siswa itu sendiri, yakni siswa yang hanya mendapatkan ilmu ketika berada didalam kelas saja, dan apabila telah



pulang kerumah, mereka masing-masing asyik dengan kegiatannya pribadi seperti main games, ataupun menonton tv, dan tidak mengulangi kembali pembelajaran IPA yang yang telah didapatkan nya didalam kelas ketika disekolah. Hal ini memebuat pemikiran atau pemahaman siswa semakin minim, ini di karenakan tidak semua siswa mampu mencerna pelajaran secara baik ketika berada di dalam kelas, ada siswa yang sifat pencernaan ilmu pengetahuannya rendah, sehingga apabila ia tidak mengulangi pelajaran di rumah, maka ia semakin tidak paham atau mengertia palagi mau menerapkan atau mengaplikasikan ilmu IPA nya. Rendahnya nilai rata-rata literasi siswa IPA di Indonesia juga bisa disebabkan karena metode pembelajaran yang diterapkan guru di sekolah. Pada sekolah sekolah yang kurang maju, khususnya sekolah sekolah yang ada di daerah biasanya masih menggunakan metode konvensional dalam melakukan proses belajar-mengajar di dalam kelas. Para guru di dalam kelas biasanya hanya memberikan ilmu pengetahuan dari otak mereka kemudian memberikannya secara langsung kepada anak muridnya. Hal inilah yang dinamakan dengan tranfer ilmu pengetahuan. Metode yang seperti ini adalah metode yang sangat lama atau jadul sekali. Hal ini dikarenakan ketika siswa datang ke kelas, siswa hanya mendapatkan ilmu saja tanpa melakukan proses berpikir yang kritis apalagi melakukan pembelajaran yang komprehension (mendalam). Apa yang dikatakan guru di telan mentah mentah oleh siswa tanpa berpikir terlebih dahulu bagaimana itu bisa terjadi, penyebab sesuatu bisa terjadi dan sebagainya. Hal inilah yang menjadi penghambat siswa untuk melakukan suatu penemuan atau bahkan melakukan pembelajaran bermakna secara baik dan tepat. Pada kondisi seperti ini siswa hanya di ibaratkan sebagai sebuah gelas kosong, yang kemudian diisi oleh pemiliknya dengan air, dan apabila air yang dituangkan melebihi kapasitas gelas tersebut maka air yang berlebihan tersebut malah akan tumpah dan terbuang percuma. Begitu juga dengan metode pembelajaran yang konvensional dilakukan oleh guru, apabila guru memberikan banyak sekali ilmu kepada siswanya, dan pemikiran siswanya terbatas, maka ilmu yang banyak tersebut tidak mampu di tampung oleh otak siswa dan hanya akan terlintas begitu saja tanpa bisa di pahami oleh siswanya, apalagi mau berpikir kritis ataupun ilmiah. Penyebab lainnya adalah perilaku dari siswa itu sendiri yang malas mencari sumber belajar yang kredibel dan relevan untuk menyelesaikan permasalahan ilmiah saat mereka belajar IPA dikelas . Kebanyakan siswa hanya menggunakan jalan pintas atau instan untuk mendapatkan literatur yang diperlukannya, seperti hanya mengutip lewat internet dimana keabsahan dan kepastian sumbernya sangat diragukan kebenarannya. Bisa saja sumber yang di ambil lewat internet adalah sumber yang fiktif atau rekayasa, hal ini sangat merugikan siswa yakni dapat menghambat perkembangan pemikiran logisnya dan kritisnya. Kebanyakan siswa hanya menjiplak secara langsung, tanpa memfilter lagi mana materi benar atau salah. Penyebab lainnya atas rendahnya peringkat literasi IPA siswa di Indonesia adalah kurang aktifnya siswa dalam menjalankan karya ilmiah. Padahal karya ilmiah itu sendiri sangat membantu kemajuan berpikir kritis, objektif, ilmiah sehingga siswa menjadi lebih termotivasi dalam menerapkan ilmu ilmu ataupun teoriteori yang sudah dipelajari di dalam kelas kedalam sebuah karya ilmiah, baik itu karya berupa jurnal penelitian, karya tulis ilmiah, esai ilmiah dan sebagainya. Untuk mengatasi kondisi yang seperti ini yakni rendah nya skor rata-rata literasi IPA siswa di Indonesia, hendaknya harus ada kerjama antara pengambil kebijakan dan pelaksana kebijakan secara intensif dan komprehensif. Hal ini demi kemajuan literasi di Indonesia. Cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan peringkat literasi Indonesia bisa dengan membuat kurikulum yang dapat memacu berpikir ilmiah, dan kritis, serta bisa saja membuat peraturan bahwa satu orang siswa harus membuat satu buah karya ilmiah. Hal ini dilakukan agar siswa siswa menjadi terbiasa akan suatu pemikiran yang ilmiah dan terbiasa untuk menerapkan ilmu ilmu IPA kedalam kehidupannya sehari-hari, contohnya dalam karya ilmiah siswa. Guru juga sudah seharusnya untuk merubah metode pengajarannya di dalam kelas, seperti dengan memberikan suatu permasalahan yang berkaitan dengan IPA ketika masuk ke dalam kelas kemudian baru meminta siswa untuk memikirkan solusi atau jawaban terhadap permasalahan tersebut. Hendaknya guru ketika di dalam kelas hanya menjadi fasilitator yakni hanya sedikit perannya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, tetapi siswa itu sendiri lah yang berpikir, mencari dan menemukan solusi atas permasalahan yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan tersebut. Guru juga diminta untuk memicu atau memancing supaya siswa itu berpikir kritis dan ilmiah. Dan menurut saya sekarang Indonesia telah mulai menerapkan model pembelajaran yang seperti itu melalui penerapan kurikulum 2013 nya. Badan Nasional Standar Pendidikan (BSNP) juga sudah merumuskan 16 prinsip pembelajaran yang harus dipenuhi dalam proses pendidikan abad ke 21 yaitu (1) dari berpusat pada guru menuju berpusat pada



siswa, (2) dari satu arah menuju interaktif, (3) dari isolasi menuju lingkungan jejaring, (4) dari pasif menuju aktif-menyelidiki, (5) dari maya/abstrak menuju konteks dunia nyata, (6) dari pribadi menuju pembelajaran berbasis tim, (7) dari luas menuju perilaku khas memberdayakan kaidah keterikatan, (8) dari stimulasi rasa tunggal menuju stimulasi ke segala penjuru, (9) dari alat tunggal menuju alat multimedia, (10) dari hubungan satu arah bergeser menuju kooperatif, (11) dari produksi massa menuju kebutuhan pelanggan, (12) dari usaha sadar tunggal menuju jamak, (13) dari satu ilmu dan teknologi bergeser menuju pengetahuan disiplin jamak, (14) dari kontrol terpusat menuju otonomi dan kepercayaan, (15) dari pemikiran faktual menuju kritis, dan (16) dari penyampaian pengetahuan menuju pertukaran pengetahuan (BSNP, 2010: 4850). Dari ke-16 prinsip tersebut menegaskan bahwa pembelajaran IPA berpusat pada siswa melalui proses penyelidikan dan berhubungan dengan dunia nyata, yang artinya siswa menerapkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari. Inti dari maksud saya di atas adalah paradigma pendidikan abad 21 pembelajaran IPA bukan lagi berpusat kepada guru melainkan berpusat pada siswa. Akan tetapi, kenyataannya pembelajaran masih berpusat ke guru. IPA merupakan suatu ilmu yang mempelajari alam beserta isinya dengan seluruh peristiwa yang terjadi. Dalam pembelajaran mengkaji beberapa bidang sehingga perlu memadukan beberapa Kompetensi Dasar (KD) yang sesuai. Akan tetapi, dalam pembelajaran di sekolah belum dilaksanakan secara terpadu untuk beberapa kompetensi dasar (KD). Pembelajaran IPA akan lebih bermakna pada proses penemuan suaru konsep, sehingga konsep mudah dipahami oleh siswa. Kenyataannya siswa hanya diberikan sejumlah materi yang sudah jadi. Pembelajaran IPA dengan mengaitkan materi ke lingkungan akan membantu seseorang memahami lingkungan dengan berbagai masalah yang dihadapi dengan ilmu pengetahuan. Faktanya dalam pembelajaran belum mengaitkan materi dengan lingkungan sekitar. Dalam mengimplementasikan pengetahuannya ke dalam dunia nyata siswa memerlukan suatu kemampuan literasi sains. Akan tetapi, kemampuan tersebut belum dilatih dalam pembelajaran. Teori belajar yang terkait dengan proses mengingat dan membangun pengetahuan adalah teori konstruktivis yang juga cikal bakalnya dari teori ini adalah berasal dari teori kognitif. Teori konstruktivis merupakan percabangan dari teori kognitif. Aliran kognitivisme memahami hakikat belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan cara mencoba memberi makna pada pengetahuan sesuai pengalamannya yang bersifat fiktif atau rekaan dan cenderung stabil. Secara filosofis, belajar menurut teori ini adalah membangun pengetahuan, sedikit demi sedikit yang kemudian hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas. Manusia harus mengonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Esensi dari teori ini adalah ide. Individu yang sedang belajar diharapkan mampu mengonstruksikan (membangun) pengetahuan di benak mereka sendiri. Jadi, tidak melulu guru atau pengajar yang akan memberikan semua pengetahuan pada individu. Individu yang sedang belajar juga dituntut untuk dapat menemukan dan mentranformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain. Dengan dasar itu, maka belajar dan pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi, bukan menerima pengetahuan. Menurut teori konstruktivis, pengetahuan tidak dapat dipindahkan secara langsung dari guru atau pengajar ke individu yang sedang belajar atau siswa. Hal ini berarti bahwa siswa harus aktif secara mental untuk membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, teori ini merupakan kelanjutan dari teori kognitif. Disini ditekankan bagaimana pentingnya keterlibatan individu secara aktif dalam proses pembelajaran yang terdiri dari pengaitan sejumlah gagasan dan pengonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Dalam konteks ini, individu sebagai peserta didik mengonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki. Pembelajaran konstruktivis diharapkan menggeser pembelajaran fisika konvensional yang salah satu cirinya berpusat pada guru (teacher centered) karena pada masa-masa mendatang pembelajaran fisika secara konvensional akan menghadapi beberapa kendala sebagai akibat dari perkembangan IPTEK dengan akselerasi yang tinggi sehingga menimbulkan perubahan yang sangat cepat pada berbagai bidang kehidupan. Perkembangan ini menuntut pergeseran fungsi guru dari mengajar menjadi fungsi membelajarkan (fasilitator) dan dari fungsi mengarahkan menjadi fungsi melayani siswa. Dengan kata lain, pada era yang akan datang dalam mengajar para guru bukan berfokus pada bagaimana mengajar (how to teach) tetapi lebih berorientasi pada bagaimana mendorong siswa belajar (how stimulate learning), dan bagaimana belajar (how to learn).



Pelaksanaan pembelajaran yang demikian diharapkan dapat diimplementasikan pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Teori belajar konstruktivis lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi. Pembelajaran konstruktivist seperti yang telah di kemukakan diatas merupakan suatu konsep inovasi pembelajaran yang diharapkan mampu memberikan suatu kontribusi dalam meningkatkan efektifitas pembelajaran yang membentuk siswa lebih aktif dalam memahami, menganalisis serta mengkonstruksi materi pembelajaran dengan pengalaman mereka sendiri, kritis dan mencari informasi dari berbagai sumber. KTSP yang beberapa waktu yang lalu telah di implementasikan pada sekolah-sekolah memuat unsur belajar siswa aktif serta dituntut dalam penguasaan kompetensi yang bermanfaat bagi kehidupan siswa nantinya, pembelajaran aktif serta penguasaan kompetensi yang ada dalam KTSP. KTSP dikembangkan sesuai dengan relevansi oleh setiap kelompok serta berdasarkan prinsip yang salah satunya berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Jadi inti teori konstruktivis ini adalah siswa di pacu dengan sebuah persoalan oleh gurunya, yakni persoalan yang diberikan oleh guru dapat membuatnya mengingat kembali materi-materi atau file-file pembelajaran dalam skematanya, lalu kemudianuntuk menjawab persoalan dari guru tersebut ia harus memadukan ingatan ingatan yang ada dalam otaknya kemudian secara tidak langsung ia sendirilah yang membangun pengetahuan tersebut, bukan dari gurunya.