Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove Di Eelahaji [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

VALUASI EKONOMI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN BUTON UTARA PROVINSI SULAWESI TENGGARA



FIRMAN SYAH



SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2019



PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove Di Kabupaten Buton Utara Provinsi Sulawesi Tenggara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.



Bogor, Januari 2019 Firman Syah E151150291



RINGKASAN FIRMAN SYAH. Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove Di Kabupaten Buton Utara Provinsi Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh LETI SUNDAWATI dan BAHRUNI. Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir dan lautan yang mempunyai fungsi ekonomi serta sebagai tempat memijah makhluk hidup. Penelitian ini bertujuan menganalisis persepsi masyarakat terhadap ekosistem mangrove, Menganalisis komposisi vegetasi hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji dan melakukan valuasi ekonomi ekosistem mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji Kabupaten Buton Utara. Penelitian ini di lakukan dengan metode survey terhadap 50 responden dari kedua desa yang dipilih secara purposive. Hasil penelitian menunjukan bahwa persepsi masyarakat tentang manfaat hutan mangrove dan persepsi masyarakat tentang perlindungan hutan di Desa Kalibu dan Eelahaji masih tergolong tinggi. Menurut persepsi masyarakat penyebab utama kerusakan hutan mangrove di sebabkan oleh pengambilan kayu bakar yang sangat mendesak dan kepentingan ekonomi rumah tangga. Valuasi ekonomi merupakan suatu upaya untuk memberikan nilai kuantitatif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan berupa nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung dan nilai pilihan. Nilai guna langsung hutan mangrove yang terdiri manfaat kayu bakar, ikan, kepiting dan udang, nilai guna tidak langsung yaitu sebagai penahan abrasi dan penahan intrusi air laut sedangkan nilai pilihan adalah nilai ekowisata. Struktur vegetasi hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji penelitian untuk kategori pohon tidak mempunyai perbedaan yang signifikan, kecuali untuk kategori tiang, sapihan dantetapi untuk kategori tiang, sapihan dan semai yang mana di Desa Kalibu relatif baik di banding dengan Desa Eelahaji. Nilai ekonomi manfaat guna langsung di Desa Kalibu sebesar Rp 8 287 142 400 per tahun di Desa Eelahaji sebesar Rp 5 815 440 000 per tahun, untuk nilai guna tidak langsung di Desa Kalibu sebesar Rp 379 631 342 per tahun, di Desa Eelahaji sebesar Rp 314 399 375 per tahun, sedangkan untuk nilai pilihan di Desa Kalibu Rp 14 000 000 per tahun, di Desa Eelahaji sebesar Rp 14 500 000. Kuantifikasi seluruh nilai ekonomi mangrove di Desa Kalibu sebesar Rp 8 680 773 742 per tahun sedangkan di Desa Eelahaji sebesar Rp 6 144 339 375 per tahun. Kata kunci: Mangrove, Masyarakat, Persepsi Masyarakat, Valuasi Ekonomi



SUMMARY FIRMAN SYAH. Economic Valuation of Mangrove Forest Ecosystem in North Botun District Southeast Sulawesi Province. Supervised by LETI SUNDAWATI and BAHRUNI Mangrove forest is the main life-supporting ecosystem and it is important in coastal and marine areas that has economic function and as spawning ground for living things. This study aims for analyzing the community perception of mangrove ecosystem and economic valuation of mangrove ecosystem in Kalibu Village and Eelahaji Village, North Buton District. This study was made by survey method to 50 respondents from both of villages that had been choosen in purposive way. The result shows that community perception of mangrove forest benefit and forest protection in Kalibu Village and Eelahaji Village is still in high category. According to the community perception, the main reason of mangrove forest was damaged taking of fire wood collection very urgent. Economic valuation is an effort to provide quantitative value of goods and services produced by natural resources andenvironment in the form of direct use value, indirect use value and choice value. The direct value of mangrove forest consists of fire wood, fish, crab, and shrimp benefit. The indirect value of mangrove consists of abrasion retaining value and sea water intrusion while the choice value is the value of ecotourism. The vegetation structure of the mangrove forest in Kalibu and Eelahaji Villages, the research for the tree categories did not have a significant difference, except for the category of pile, weaning and but for the category of pile, weaning and seedling which in Kalibu Village was good relatively compared to Eelahaji Village. The direct economic value of benefit in Kalibu Village at Rp 8 287 142 400 per year in Eelahaji Village is Rp 5 815 440 000 per year, for indirect use values in Kalibu Village at Rp 379 631 342 per year, in Eelahaji Village Rp 314 399 375 per year, while the choice value in Kalibu Village is Rp 14 000 000 per year, in Eelahaji Village Rp 14 500 000. The quantification of all mangrove value for Kalibu Village was Rp 8 680 773 742 per year while in Eelahaji Village was Rp 6 144 339 375 per year. Keywords : Community, Mangrove, Perception, Valuation



© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2019 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB



VALUASI EKONOMI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN BUTON UTARA PROVINSI SULAWESI TENGGARA



FIRMAN SYAH



Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan



SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2019



Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Nining Puspaningsih, MSi



PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahuwata’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini yaitu “Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove di Kabupaten Buton Utara Provinsi Sulawesi Tenggara”. Penelitian ini merupakan salah satu usaha dalam rangka menggali informasi tentang nilai ekonomi mangrove di Desa Eelahaji dan Desa Kalibu Kabupaten Buton Utara Privinsi Sulawesi Tenggara. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Ibu Dr Ir Leti Sundawati, MSc FTrop dan Bapak Dr Ir Bahruni, MS atas kesediaan memberi bimbingan sejak penyusunan rencana penelitian sampai selesai penulisan tesis. Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan Dr Ir Budi Kuncahyo, MS atas kesediaan memberikan motivasi dalam penyelesaian tesis ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua, istri, anak serta adik saya. Tesis ini pasti masih banyak kekurangan, oleh karena itu penulis sangat berharap memperoleh kritik dan saran untuk perbaikan selanjutnya. Bogor, Januari 2019 Firman Syah



DAFTAR ISI DAFTAR TABEL



iii



DAFTAR GAMBAR



iv



DAFTAR LAMPIRAN



v



1



2



3



4



6



PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Pikir METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Pengambilan Sampel Konsep Pengukuran Variabel Analisis Data KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis Keadaan Perikanan Tangkap Jumlah Penduduk Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin



1 3 4 4



7 7 8 9 12 12 14 16 16



HASIL DAN PEMBAHASAN Karateristik Responden Persepsi Masyarakat Terhadap Hutan Mangrove Struktur Vegetasi Hutan Mangrove Nilai Guna Langsung Hutan Mangrove Total Nilai Guna Langsung Hutan Mangrove Nilai Guna Tidak Langsung Hutan Mangrove Nilai Pilihan Hutan Mangrove Nilai Ekonomi Total Manfaat Hutan Mangrove



18 21 24 24 32 34 36 37



SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran



39 39



DAFTAR PUSTAKA



39



LAMPIRAN



44



RIWAYAT HIDUP



53



DAFTAR TABEL 1 Kategori tingkat persepsi masyarakat tentang manfaat dan perlindungan hutan mangrove 2 Batas desa lokasi penelitian di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji Kecamatan Kolisusu 3 Luas wilayah desa lokasi penelitian di Desa kalibu dan Desa Eelahaji 4 Sarana yang di gunakan masyarakat Desa Kalibu dan Desa Eelahaji dalam menangkap biota perairan 5 Jumlah penduduk Desa Kalibu dan Desa Eelahaji Kecamatan Kolisusu 6 Jumlah penduduk di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji menurut mata pencaharian 7 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji 8 Karateristik responden di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji 9 Distribusi responden berdasarkan persepsi terhadap manfaat keberadaan hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji 10 Distribusi responden berdasarkan persepsi tentang pengelolaan dan perlindungan hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji 11 Penyebab kerusakan hutan mangrove berdasarkan persepsi masyarakat di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji 12 Struktur vegetasi mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji 13 Nilai ekonomi pemanfaatan kayu bakar di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji 14 Nilai ekonomi pemanfaatan ikan di Kecamatan Kolisusu Desa Kalibu dan Eelahaji 15 Nilai ekonomi pemanfaatan kepiting di lokasi penelitian Desa Kalibu dan Desa Eelahaji 16 Nilai ekonomi pemanfaatan udang di lokasi penelitisn Desa Kalibu dan Desa Eelahaji 17 Total nilai guna langsung biota perairan (ikan, udang dan kepiting) dan pemanfaatan kayu bakar di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji 18 Nilai ekonomi mangrove sebagai penahan intrusi air laut di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji 19 Nilai ekonomi mangrove sebagai penahan abrasi di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji 20 Kesediaan membayar untuk kelestarian hutan mangrove agar dapat di jadikan wisata di masa yang akan datang di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji 21 Nilai ekonomi total manfaat hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji



12 15 15 15 16 17 17 18 20 21 23 25 27 28 29 31 33 34 35 36



38



DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka penelitian 2 Peta lokasi penelitian



6 7 DAFTAR LAMPIRAN



1 Valuasi ekonomi manfaat hutan mangrove 2 Dokumentasi penelitian



44 51



1



1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan mangrove merupakan tipe hutan yang berada di daerah pesisir pantai dan menjadi bagian dari ekosistem pesisir dan laut. Mangrove merupakan suatu formasi hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, lantai hutannya tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem interface antara ekosistem daratan dengan ekosistem lautan. Oleh karena itu, ekosistem ini mempunyai fungsi yang spesifik yang keberlangsungannya bergantung pada dinamika yang terjadi di ekosistem daratan dan lautan. Hutan mangrove umumnya berkembang biak pada pantai yang terlindung, muara sungai, atau laguna. Hutan mangrove ini memegang peranan penting dalam menjamin keberlanjutan biodiversitas hewan dan tumbuhan yang terdapat didalamnya sebagai penyusun sumber daya pesisir. Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir dan lautan. Mempunyai fungsi ekonomi yang penting seperti penyedia kayu, daundaunan sebagai bahan baku obat-obatan dan lain-lain (Saprudin dan Halidah 2012). Luas hutan mangrove di Indonesia sekitar 3.2 juta hektar mangrove yang tersebar diseluruh pulau besar dan kecil atau hampir 21% dari total mangrove dunia dengan jumlah spesies mangrove tidak kurang 75 spesies. Kondisi ini membuat Indonesia dikenal sebagai negara dengan mangrove terluas dengan tingkat keanekaragaman hayati yang relatif tinggi (Giriet et al. 2014). Luas mangrove untuk wilayah Sulawesi Tenggara sekitar 74 348 820 ha (RLPS-MOF 2007 dalam Hartini et al. 2010). Kabupaten Buton Utara memiliki luas hutan mangrove sekitar 13 393.42 ha yang tersebar disebagian kecamatan dan desa yang ada, diantaranya Desa Eelahaji yang memiliki luas hutan mangrove sekitar 35 ha sedangkan untuk luas hutan mangrove di Desa Kalibu sekitar 27 ha. Hutan mangrove termasuk ekosistem khas wilayah tropika yang unik dalam lingkungan hidup yang memiliki formasi perpaduan antara daratan dan lautan. Adanya pengaruh laut dan daratan sehingga terjadi interaksi kompleks antara sifat fisika dan sifat biologi. Mangrove tergantung pada air laut (pasang) dan air tawar sebagai sumber makanannya serta endapan debu (sedimentasi) dari erosi daerah hulu sebagai bahan pendukung substratnya. Proses dekomposisi serasah mangrove yang terjadi mampu menunjang kehidupan makhluk hidup di dalamnya. Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam khas pesisir tropika, yang mempunyai manfaat ganda dengan pengaruh yang sangat luas apabila ditinjau dari aspek sosial, ekonomi dan ekologi (Sobari et al. 2006) Secara ekologis mangrove berfungsi untuk melindungi pantai dari hempasan gelombang pasang. Selain itu, hutan ini juga berfungsi sebagai tempat untuk memijah (spawning ground), sebagai daerah asuhan (nursery ground) dan sebagai tempat mencari makan (feeding ground) bagi berbagai jenis hewan yang hidup pada badan air maupun hewan yang hidup di atas badan air (Wahidin et al. 2013). Hutan mangrove sangat menunjang perekonomian masyarakat pantai, karena merupakan sumber mata pencaharian masyarakat yang berprofesi sebagai



2



nelayan. Keragaman jenis mangrove dan keunikannya juga memiliki potensi sebagai wahana hutan wisata dan atau penyangga perlindungan wilayah pesisir dan pantai, dari berbagai ancaman sedimentasi, abrasi, pencegahan intrusi air laut, serta sebagai sumber pakan habitat biota laut. Potensi ekonomi mangrove berasal dari tiga sumber yaitu sebagai hasil hutan, perikanan muara sepanjang pantai dan ekoturisme. Hutan mangrove disamping menghasilkan bahan dasar untuk industri, ekosistem mangrove berbagai jenis produk dan jasa yang bisa menunjang kehidupan masyarakat pesisir dan berbagai kegiatan ekonomi. Hal ini mangrove memiliki peran sebagai sumberdaya renewable dan sebagai penyangga sistem kehidupan jika proses ekologi dalam mangrove dapat berlangsung dengan baik. Proses ekologi mangrove tidak akan terganggu jika salah satu komponennya tidak hilang (Khaery 2015). Keberadaan hutan mangrove mempunyai peranan yang sangat penting bagi ekosistem disekitarnya. Besarnya manfaat yang ada pada ekosistem hutan mangrove memberikan konsekuensi bagi ekosistem hutan mangrove itu sendiri, yaitu dengan semakin tingginya tingkat eksploitasi terhadap lingkungan akan berakhir pada degradasi lingkungan. Melihat dari pemanfaatan tersebut maka perlu dilakukan penelitian mengenai pemanfaatan dari nilai yang terdapat dalam ekosistem mangrove melalui valuasi ekonomi (Fadhila et al. 2015). Hutan mangrove memiliki manfaat yang sangat besar, sehingga memberikan konsekuensi bagi ekosistem hutan mangrove itu sendiri, yaitu dengan semakin tingginya tingkat eksploitasi terhadap lingkungan yang tidak jarang berakhir pada degradasi lingkungan yang cukup parah seperti berkurangnya luasan hutan mangrove dari tahun ke tahun. Hal ini tidak terlepas dari ulah manusia yang kurang paham akan pentingnya kelestarian ekosistem hutan mangrove di kemudian hari. Masyarakat hanya menilai hutan mangrove dari segi ekonominya saja, tanpa memperhatikan manfaat-manfaat fisik dan juga biologi yang ditimbulkan. Kelestarian hutan mangrove di Kabupaten Buton Utara semakin menurun seiring dengan perkembangan dan pembangunan kota. Kebutuhan lahan untuk pengembangan infrastruktur dan pembangunan fisik semakin meningkat antara lain; pelabuhan, permukiman, perluasan jalan, perkantoran, dan industri. Selain itu juga pengaruhi oleh kehidupan masyarakat di Desa Eelahaji dan masyarakat Desa Kalibu yang sebagian besar kehidupan masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan dan petani. Kehidupan masyarakat di lokasi penelitian sebagian besar tergantung dari hasil tangkapan ikan, udang, kepiting, serta penjualan kayu bakar yang berasal dari mangrove selain itu tergantung dari hasil pertanian. Keberadaan hutan mangrove di desa ini sedikit terancam hal ini diakibatkan oleh perilaku masyarakat yang merusak lahan hutan, seperti penebangan pohon yang di jadikan kayu bakar untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Manfaat mangrove dijadikan kayu bakar juga di jadikan sebagai bahan bangunan, peralihan lahan mangrove menjadi lahan tambak dan eksploitasi mangrove yang dilakukan masyarakat. Hal ini dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat sehingga kesempatan masyarakat untuk menempati wailayah pesisir sangat tinggi.Apabila kondisi ini terus berlanjut tanpa ada perhatian dan pengawasan khususnya dari pemerintah daerah, maka akan mengancam kelestarian ekosistem mangrove sebagai pelindung pulau dan puncaknya adalah kehilangan daratan.



3



Pernyataan di atas menunjukkan bahwa ekosistem mangrove merupakan aset yang dapat menyediakan barang yang dapat dimanfaatkan secara langsung untuk kebutuhan manusia, dan menghasilkan jasa yang tidak diorganisasikan melalui mekanisme pasar. Ekosisitem mangrove memiliki nilai yang tinggi, baik nilai ekonomis maupun nilai ekologis bagi kelangsungan hidup manusia. Manfaat yang diperoleh, terdapat nilai ekonomi yang secara langsung berdampak pada kehidupan masyarakat setempat. Nilai ekonomi yang terkandung dalam ekosistem hutan mangrove sangat berperan penting dalam penentuan kebijakan pengelolaannya. Valuasi ekonomi merupakan suatu upaya untuk memberikan nilai kuantitatif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Kerangka nilai ekonomi yang digunakan dalam valuasi ekonomi sumberdaya alam termasuk mangrove adalah konsep total economic value/TEV yang secara garis besar terdiri atas dua kelompok yaitu nilai atas dasar penggunaan (use value) dan nilai yang terkandung didalamnya atau nilai intrinsik (non use value). Oleh sebab itu penilaian ekonomi manfaat dan potensi sumberdaya alam merupakan salah satu cara untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenaipentingnya keberadaan ekosistem hutan mangrove. Diharapkan persepsi dan penilaian masyarakat terhadap keberadaan hutan mangrove akan berubah menjadi positif dan konstruktif. Pendekatan yang digunakan dalam melakukan penilaian manfaat ekosistem hutan mangrove adalah menggunakan konsep pendekatan penilaian ekonomi total (NET) dari produk barang dan jasa yang berguna (use value) dan yang tidak berguna secara langsung (non use value) Perumusan Masalah Hutan mangrove merupakan salah satu sumber penghasilan yang sangat bermanfaat bagi masyarakat dan negara, hal ini disebabkan hutan mangrove memiliki nilai ekonomis yang tinggi baik secara langsung maupun tidak langsung serta nilai ekologis yang sangat penting, sehingga keberadaannya perlu dilestarikan. Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan untuk memaksimalkan manfaat ekonomi disebagian besar wilayah pesisir tertentu telah menimbulkan sejumlah dampak negatif terhadap kondisi fisik lingkungan pesisir dan laut. Penurunan luasan mangrove hampir merata terjadi di seluruh kawasan pesisir Indonesia. Penyebab dari penurunan luasan mangrove tersebut karena adanya peningkatan kegiatan yang mengkonversi hutan mangrove menjadi peruntukan perikanan (pembukaan tambak), pengembangan kawasan industri, pertambangan, pemukiman di kawasan pesisir, perluasan areal pertanian serta pengambilan kayu mangrove secara besar-besaran. Perubahan tataguna lahan dan pemanfaatan sumberdaya alam mangrove secara berlebihan diakibatkan karena pertambahan penduduk yang semakin cepat dan luas kawasan yang terbangun. Hutan mangrove dapat dengan cepat menjadi semakin menipis dan berakibat pada menurunnya kualitas lingkungan kawasan tersebut. Permasalahan utama adalah pengaruh dan tekanan habitat mangrove bersumber dari keinginan manusia untuk mengkonversi areal hutan mangrove menjadi areal pengembangan perumahan, industri dan perdagangan, kegiatankegiatan komersial maupun pergudangan. Dalam situasi seperti ini habitat dasar dan fungsinya menjadi hilang dan kehilangan ini disertai dengan hilangnya ruang



4



terbuka hijau yang jauh lebih besar dari nilai penggantinya (Mulyadi dan Fitriani 2010). Kesalahan dalam merencanakan dan melaksanakan sistem pengelolaan sumberdaya alam, memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap menurunnya kualitas lingkungan dan makhluk hidup di dalamnya (termasuk masyarakat lokal) yang memiliki ketergantungan secara langsung terhadap sumberdaya alam tersebut. Apabila kondisi ini dipertahankan, maka laju degradasi sumberdaya alam akan semakin cepat. Degradasi hutan mangrove akan menimbulkan intrusi air laut dan hilangnya biota laut. Oleh karena itu, pada setiap lokasi hutan mangrove perlu memperhatikan faktor-faktor lingkungan seperti salinitas, pasang surut dan topografi. Kerusakan hutan mangrove masih terus terjadi, walaupun ada aturan untuk menjaga kelestariannya. Salah satu tantangan yang dihadapi oleh para pembuat kebijakan adalah bagaimana menilai suatu sumberdaya alam secara komprehensif. Dalam pengelolaannya tidak hanya melihat harga pasar (market price) dari barang dan jasa yang dihasilkan dari suatu sumberdaya alam tetapi juga melihat manfaat langsung dan manfaat tidak langsung yang dihasilkan yang belum memiliki harga pasar (non market price). Ditinjau dari nilai manfaat ekonominya, sepintas nilai manfaat fisik dan biologi dianggap kurang penting karena tidak dirasakan secara langsung. Menurut Sudarisman (1997) dalam Alfian (2004) manfaat fisik dan biologi inilah yang membuat nilai hutan sangat penting, karena manfaat ekonomi misalnya udang, ikan, kerang akan meningkat jika habitatnya baik, sehingga fungsi ekologi dan perlindungan cocok bagi kehidupan dan perkembangan biota perairan tersebut. Fungsi ekologi dapat memberi manfaat tidak langsung bagi masyarakat sedangkan fungsi ekonomi akan memberikan manfaat langsung kepada manusia. Meningkatnya pemanfaatan fungsi ekonomi akan berdampak terhadap menurunya fungsi ekologi, tetapi jika ekosistem mangrove tidak dimanfaatkan maka masyarakat kehilangan kesempatan untuk mendapatkan nilai ekonomi. Terutama pada kondisi sosial masyarakat Desa Eelahaji dan Desa Kalibu yang kehidupannya sebagian besar berprofesi sebagai nelayan dan petani. Oleh karena itu kehidupan mereka tergantung dari hasil tangkapan ikan, udang, kepiting, serta penjualan kayu bakar yang berasal dari mangrove dan hasil pertanian. Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana kondisi sosial, serta persepsi masyarakat terhadap ekosistem mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji? 2. Bagaimana komposisi vegetasi mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji? 3. Berapa besar nilai dan pemanfaatan (use value) dan nilai bukan pemanfaatan (non-use value) ekosistem mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji? Tujuan Penelitian 1. Menganalis kondisi sosial, serta persepsi masyarakat terhadap ekosistem mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji. 2. Menganalisis komposisi vegetasi hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji.



5



3. Menghitung nilai guna (use value) dan nilai bukan guna (non-use value) ekosistem mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai valuasi ekonomi pengelolaan sumberdaya mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji Kerangka Pikir Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan peralihan antara daratan dan lautan yang diketahui memiliki banyak manfaat. Hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji Kabupaten Buton Utara merupakan sumberdaya alam yang tidak hanya memiliki fungsi ekonomi tetapi juga ekologi dan fisik yang tidak secara langsung dapat dinilai dengan uang karena belum dapat dipasarkan, sehingga dilakukan penelitian terkait nilai ekonomi total hutan mangrove. Penelitian ini dengan mengidentifikasi sumberdaya hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji menggunakan analisis deskriptif guna mengetahui kondisi aktual hutan mangrove di daerah tersebut. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang mempunyai produktivitas yang tinggi yang memproduksi sumber makanan untuk sebagian besar berbagai jenis ikan, udang, kepiting dan berbagai biota perairan pantai lainnya. Di samping itu dari segi perikanan, mangrove juga berperan sebagai spawning dan nursery grounds. Kesemua fungsi mangrove tersebut tetap ada selama vegetasi mangrove dapat dipertahankan keberadaannya (Kusmana, 2007). Fungsi dan manfaat hutan mangrove dalam penelitian ini tidak semua dapat dihitung mengingat keterbatasan data yang digunakan. Selain itu nilai manfaat langsung yang dapat dihitung nilai ekonominya adalah pemanfaatan kayu bakar, penangkapan ikan, udang, dan kepiting yang di lakukan disekitar kawasan hutan mangrove. Manfaat tidak langsung yang dapat diukur adalah peredam gelombang, dan penahan intrusi air laut. Identifikasi nilai manfaat total hutan mangrove diperoleh dengan mewawancarai responden melalui panduan kuesioner. Manfaat mangrove yang diperoleh terdiri dari nilai guna dan nilai bukan guna. Nilai guna (use value) dari hutan mangrove ini dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, nilai guna langsung yang diperoleh dari pemanfaatan langsung hutan mangrove yaitu pemanfaatan kayu bakar, penangkapan ikan, penangkapan udang, dan kepiting. Kedua, nilai guna tak langsung yang diperoleh dari jasa lingkungan hutan mangrove yaitu pencegah intrusi air laut ke darat, perluasan lahan kearah laut dan daerah mencari makanan bagi biota laut (feeding ground). Ketiga, nilai pilihan yang diperoleh dari kesdiaan seseorang untuk membayar guna pemanfaatan ekowisata mangrove di masa yang akan datang. Seluruh nilai manfaat hutan mangrove kemudian dikuantifikasi kedalam nilai uang sehingga diperoleh nilai ekonomi totalnya. Nilai ekonomi total telah dari metode valuasi menjadi bahan acuan menjadi alternatif pemanfaatan sumberdaya mangrove secara lestari. Berdasarkan uraian diatas, maka bagan kerangka pemikirannya di sajikan pada Gambar 1:



6



Ekosistem hutan mangrove Di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji Sumberdaya alam hutan mangrove



Sosial ekonomi masyarakat - Karateristik masyarakat - Persepsi masyarakat



Biofisik: -Jenis - Kerapatan tegakan - Indeks nilai penting Identifikasi manfaat hutan mangrove



Use Values



Non use values Nilai tidak langsung



Nilai langsung



- Pemanfaatan kayu bakar - Penangkapan ikan - Penangkapan kepiting - Penangkapan udang



- Peredam gelombang (waterbreak) - Penahan intrusi air laut



Nilai pilihan



Ekowisata mangrove



Nilai keberadaan



Keberadaan mangrove



Nilai ekonomi total ekosistem mangrove Gambar 1 Kerangka Penelitian



2 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ini di laksanakan di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji Kecamatan Kolisusu Kabupaten Buton Utara Provinsi Sulawesi Tenggara. Penelitian dilaksanakan dari bulan Februari 2017 hingga bulan April 2017 yang ditempatkan pada lokasi yang berbeda yaitu di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji. Penentuan titik penelitian berdasarkan keadaan mangrove yang baik dan jarang. Hal ini bertujuan



7



untuk mengetahui berapa besar nilai ekonomi mangrove pada vegetasi yang utuh dan untuk mengetahui berapa berapa nilai ekonomi mangrove yang sudah rusak. Letak geografis Desa Kalibu dan Desa Eelahaji dapat di lihat pada Gambar 2.



Gambar 2 Peta lokasi penelitian Jenis dan Sumber Data Data primer pada penelitian ini diperoleh melalui dua cara yaitu wawancara menggunakan kuisioner, dan observasi langsung dilapangan. Wawancara dilakukan untuk mencari informasi mengenai peranan masyarakat terhadap hutan mangrove. Observasi langsung dilapangan yang akan dilakukan meliputi kondisi komoditi semua jenis pemanfaatan mangrove seperti biodiversitas, luas hutan mangrove, identifikasi manfaat dan potensi mangrove, kerapatan dan jenis individu, identifikasi jenis dan jumlah organisme yang berasosiasi dengan mangrove, produktivitas manfaat dan potensi, harga pasar, salinitas air sumur. Hal ini untuk mengetahui perbedaan nilai ekonomi mangrove yang masih baik di Desa Kalibu dan nilai ekonomi mangrove yang vegetasinya sudah rusak/jarang di Desa Eelahaji. Data sekunder diperoleh dengan cara mengumpulkan data pendukung dari berbagai instansi pemerintah Kabupaten Buton Utara. Data sekunder ini berisi keadaan demografi, geografi, kondisi sosial ekonomi masyarakat serta sarana dan prasarana yang digunakan oleh masyarakat dalam melakukan penangkapan biota perairan di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji.



8



Metode Pengambilan Sampel Pengumpulan data persepsi Metode pengambilan sampel/responden yang digunakan adalah purposive sampling, berdasarkan aktifitas masyarakat sehari-hari yang berhubungan dengan pemanfaatan hutan mangrove. Selain itu dilakukan wawancara dengan beberapa informan dan aparat desa/pemerintah. Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 50 orang yang masing-masing desa terdiri dari 25 responden. Metode pengambilan responden menggunakan porposive sampling terhadap masyarakat yang terlibat langsung dalam pengelolaan hutan mangrove yang di ketetahui berdasarkan informasi dari responden sebelumnya. Metode ini dipergunakan mengkaji persepsi masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove serta untuk menilai nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung dan nilai pilihan di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji Kecamatan Kolisusu Kabupaten Buton Utara Karakteristik masyarakat yang dijadikan responden berdasarkan kriteriakriteria berikut: 1. Umur, yaitu usia responden pada saat penelitian dilakukan dan dinyatakan dalam tahun, dengan ketentuan pembulatan keatas dilakukan bila usianya melebihi enam bulan keatas 2. Tingkat pendidikan, yaitu jenjang formal yang pernah ditempuh responden sampai saat penelitian dilakukan, yakni SD (MI), SMP (MTs), SLTA (MA), dan Akademi/Perguruan Tinggi. 3. Pekerjaan, yaitu kegiatan mencari nafkah yang ditekuni sebagai pekerjaan utama. 4. Pendapatan, yang dimaksud adalah pendapatan keluarga yang didapatkan dari perolehan/upah/gaji yang diterima setiap bulan dari pekerjaan utama maupun pekerjaan sampingan, kepemilikan tambak dan adanya keluarga yang bekerja dari responden yang bersangkutan. 5. Status sosial, yakni tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya sehubungan dengan orang lain. Status social responden dilihat dari kegiatan/organisasi/kelompok sosial yang di ikuti beserta kedudukannya dalam kelompok tersebut, baik sebagai ketua, pengurus maupun anggota, serta lamanya bertempat tinggal di daerah tersebut. Pengumpulan data vegetasi Pengamatan vegetasi dilakukan untuk mengetahui potensi dan kualitas mangrove dengan teknik analisis vegetasi berupa kombinasi antara cara jalur dengan cara garis berpetak. Penempatan garis contoh (jalur) dilakukan dengan proposive sampling yang di letakan tegak lurus garis pantai menuju daratan atau sebaliknya dengan lebar 20 m dan panjangnya 100 m. Pengamatan vegetasi dilakukan di Desa Eelahaji dan Desa Kalibu dengan masing-masing desa terdapat 2 jalur yang di tempatkan pada mangrove yang baik dan jarang yang masingmasing jalur di bagi menjadi 5 petak. Secara rinci ukuran petak-petak contoh tersebut adalah: 1. 20 m x 20 m : Digunakan untuk merisalah tingkat pohon dengan data yang dikumpulkan berupa jumlah individu, diameter dan tinggi pohon.



9



2.



3. 4.



10 m x 10 m : Digunakan untuk merisalah tingkat tiang dengan data yang dikumpulkan berupa jumlah individu, diameter dan tinggi tiang. 5mx5m : Digunakan untuk merisalah tingkat permudaan sapihan dengan data yang dikumpulkan berupa jumlah individu. 2mx2m : Digunakan untuk merisalah tingkat permudaan semai dan tumbuhan bawah. Data yang dikumpulkan berupa jumlah individu.



Pengumpulan data valuasi ekonomi Pengambilan sampel untuk nilai ekonomi produk/potensi mangrove dilakukan di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji yang memiliki vegetasi mangrove yang baik dan jarang. Hal ini dilakukan untuk mengetahui nilai guna langsung berupa nilai kayu bakar, penangkapan ikan, kepiting serta udang), nilai guna tidak langsung berupa penahan abrasi, penahan intrusi air laut, nilai pilihan (nilai harapan ekowisata mangrove). Hal ini dilakukan secara purposive sampling yaitu pada areal mangrove yang memiliki kriteria baik dan rusak. Konsep Pengukuran Variabel Persepsi masyarakat Terdapat beberapa pernyataan yang digunakan untuk mengukur persepsi masyarakat terhadap pengelolaan hutan mangrove dengan metode kuisioner dan wawancara dengan menggunakan skala likert . 1. Persepsi masyarakat tentang manfaat hutan mangrove a. Hutan mangrove dapat dijadikan sebagai tempat rekreasi. b. Hutan mangrove dapat mencegah terjadinya abrasi. c. Hutan mangrove melindungi garis pantai dari gelombang laut, dan angin topan. d. Hutan mangrove dapat menahan intrusi air laut e. Hutan mangrove sebagai tempat keanekaragaman hayati bagi berbagai makhluk hidup. f. Hutan mangrove sebagai tempat mencari makan, pemeliharaan, pemijahan, perlindungan berbagai hewan terutama ikan dan udang. g. Hutan mangrove menghasilkan kayu-kayu bernilai ekonomi. h. Hutan mangrove sebagai tempat pengembangan ilmu pengetahuan seperti untuk tempat penelitian 2. Pengelolaan dan perlindungan ekosistem mangrove a. Pemerintah daerah sudah menjalankan tugas pengelolaan lingkungan dengan baik b. Pengelolaan hutan mangrove merupakan tanggung jawab bersama c. Perlu adanya kerjasama antara pemerintah dan penduduk setempat dalam kegiatan pengelolaan kawasan mangrove d. Setiap kebijakan dalam pengelolaan hutan mangrove sebaiknya di sosialisasikan kepada masyarakat e. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove sebaiknya diwakili saja oleh perwakilan masyarakat



10



f. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di lakukan ketika ada kegiatan atau proyek saja g. Perusahaan lokal berpatisipasi dalam kegiatan pelestarian lingkungan h. Hanya sebagian penduduk setempat atau pemerintah saja yang akan memperoleh manfaat/keuntungan atas adanya pengelolaan hutan mangrove. 3. Persepsi masyarakat tentang penyebab kerusakan hutan mangrove a. Kerusakan wilayah pesisir karena faktor alam (banjir dan gempa) b. Kerusakan hutan mangrove karena kepentingan ekonomi c. Penegakan hukum lingkungan yang belum memadai d. Kebutuhan kayu bakar yang sangat mendesak untuk rumah tangga e. Pembuatan lahan tambak f. Masyarakat pendatang tidak menaati aturan dalam pengelolaan kawasan mangrove g. Kurangnya sosialisasi oleh pemerintah tentang manfaat hutan mangrove. Metode yang digunakan untuk mengukur persepsi masyarakat adalah metode skala Likert. Urutan untuk skala Likert menggunakan 5 angka penilaian(Gumilar 2012), yaitu: 1. Sangat setuju (SS) = Bobot 5 2. Setuju (S) = Bobot 4 3. Netral/abstain (N) = Bobot 3 4. Tidak setuju (TS) = Bobot 2 5. Sangat tidak setuju (STS) = Bobot 1 Analisis vegetasi Pengukuran distribusi mangrove dilakukan dengan menggunakan line transek, yang dilakukan dengan cara membuat garis tegak lurus garis pantai yang ditempatkan pada kondisi mangrove yang baik dan kondisi mangrove yang rusak. Masing-masing transek dibuat plot-plot atau petak-petak yang berukuran 20 x 20 meter untuk merisalah tingkat pohon dengan data yang dikumpulkan berupa jumlah individu, diameter dan tinggi pohon. 10 x 10 meter merisalah tingkat tiang dengan data yang dikumpulkan berupa jumlah individu, diameter dan tinggi tiang. 5 x 5 meter untuk merisalah tingkat permudaan sapihan dengan data yang dikumpulkan berupa jumlah individu. 2 x 2 meter tingkat permudaan semai dan tumbuhan bawah. Data yang dikumpulkan berupa jumlah individu yang kemudian menghitung kerapatan suatu jenis, kerapatan relatif suatu jenis, dominasi suatu jenis, dominasi relatif suatu jenis, frekuensi suatu jenis, frekunsi relatif suatu jenis kemudian dicari indeks nilai penting yang merupakan penjumlahan dari kerapatan relatif, frekuensi relatif dan dominasi relatif Nilai ekonomi mangrove 1. Nilai manfaat langsung yaitu nilai yang dihasilkan dari pemanfaatan secara langsung hutan mangrove: a. Manfaat kayu bakar Pengukuran manfaat kayu bakar dapat dilakukan dengan melihat jumlah pengambilan kayu bakar dan harga kayu bakar per ikat dengan pendekatan harga pasar dengan melakukan wawancara kuisioner secara proposive sampling yaitu pada masyarakat yang mengambil kayu mangrove untuk di jual maupun untuk dipakai kebutuhan rumah tangga.



11



b. Biota air (Ikan, udang dan kepiting) Pengukuran terhadap biota komoditas perairan yang diukur adalah jenis tangkapan oleh nelayan termasuk jenis ikan, udang, kepiting dengan melihat berat komoditas per periode tangkap serta alat tangkap yang mereka gunakan.dengan metode penilaian market price/actual market produktivitas dengan cara pengukuran harga komoditas dengan survey harga pasar dan wawancara terhadap nelayan. 2. Nilai guna tidak langsung yaitu nilai yang dihasilkan dari pemanfaatan secara tidak langsung hutan mangrove: a. Pemecah ombak (break water) = Rp/tahun Hutan mangrove berfungsi sebagai penahan abrasi atau pemecah ombak. Pengukuran manfaat mangrove sebagai penahan abrsi dapat dilakukan dengan melihat besarnya abrasi yang ditimbulkan oleh air laut disekitar mangrove yang akan diukur sepanjang garis pantai yang mangrovenya baik maupun rusak/jarang. Hal tersebut dapat diketahui melalui pengamatan langsung dan melakukan wawancara terhadap masyarakat guna mengetahui garis pantai sebelum mengalami abrasi dan sesudah mengalami abrasi, sehingga bisa di ketahui besarnya abrasi yang diakibatkan oleh ombak air laut dari tahun ketahun. Selain itu juga dilakukan wawancara terhadap instansi pemerintah (Dinas Pekerjaan Umum) guna mengetahui estimasi anggaran yang digunakan untuk mambuat pemecah ombak dengan panjang garis pantai yang terdampak abrasi. Hal ini dilakukan melalui pendekatan dimensi beton (panjang, lebar, tinggi), biaya pembuatan, biaya pemeliharaan dengan metode Replacement cost. b. Penahan intrusi air laut = Rp/tahun Manfaat mangrove sebagai penahan intrusi air laut dilakukan dengan cara yang sederhana yaitu melalui indra pengecap untuk membedakan rasa air sumur yang di jadikan sampel dengan pembanding air sumur yang tidak mendapat pengaruh dari laut (air tawar ), pada jarak sumur yang disesuaikan pada kondisi lokasi penelitian atau pada jarak sumur yang dipengaruhi air laut sampai pada jarak sumur yang tidak dipengaruhi oleh air laut yang diukur dari garis mangrove luar dari bibir pantai, yang ditetapkan pada kondisi mangrove baik dan jarang untuk mengetahui seberapa jauh hutan mangrove dapat menahan intrusi air laut. Hal ini bisa diketahui melalui pengamatan langsung terhadap sumur yang airnya payau dan sumur yang tidak mengalami gangguan air laut dan wawancara terhadap masyarakat untuk mengetahui kebutuhan air/liter/hari, harga air/liter untuk kebutuhan mereka. Metode yang digunakan untuk menghitung nilai penahan intrusi air laut adalah subtitut cost. 3. Nilai manfaat pilihan yaitu nilai yang dihasilkan dari nilai jasa wisata hutan mangrove: Ekowisata = Rp/tahun Nilai pilihan untuk melakukan preservasi bagi penggunaan barang dan jasa sumberdaya dan lingkungan mangrove di masa yang akan datang yang tidak dapat digunakan pada saat sekarang. Dalam penelitian ini, nilai yang akan digunakan adalah manfaat ekowisata hutan mangrove. Hal ini dengan melakukan wawancara terhadap masyarakat guna mengetahui kesediaan membayar untuk kelestarian hutan mangrove yang akan dijadikan sebagai



12



tempat wisata dimasa yang akan datang. Metode yang digunakan untuk menilai ekowisata mangrove dengan tehnik Contigen Valuation Method (CVM). Analisis Data Persepsi masyarakat Secara umum metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif yaitu metode analisis yang berusaha menjelaskan objek kajian menurut kriteria tertentu sehingga memberikan gambaran yang sesungguhnya yang terjadi di tempat penelitian tersebut. Persepsi masyarakat diananlisis menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Metode yang digunakan untuk mengukur persepsi masyarakat adalah metode skala Likert. Urutan untuk skala Likert menggunakan 5 angka penilaian (Gumilar 2012), yaitu: Sangat setuju (SS) = Bobot 5 Setuju (S) = Bobot 4 Netral/abstain (N) = Bobot 3 Tidak setuju (TS) = Bobot 2 Sangat tidak setuju (STS) = Bobot 1 Pengukuran tingkat persepsi masyarakat terhadap pengelolaan hutan mangrovedi Desa Kalibu dan Eelahaji diukur berdasarkan skala Likert dari total skor terhadap 8 pernyataan penduga persepsi seperti tercantum dalam Tabel 1. Tabel 1 Kategori tingkat persepsi masyarakat tentang manfaat dan perlindungan hutan mangrove No Kategori Skor 1. Tinggi 30.00-40.00 2. Sedang 19.00-29.99 3. Rendah 8.00-18.99 Analisis vegetasi Analisis vegetasiNmerupakan cara untuk mempelajari komposisi jenis dan struktur vegetasi dalam suatu ekosistem (Soerianegara dan Indrawan 1999). Data yang diperoleh di lapangan dihitung untuk beberapa variabel, antara lain: 1. Kerapatan (K) suatu jenis dihitung dengan rumus: Jumlah dari individu K= Luas contoh 2. Kerapatan relatif (KR) suatu jenis dihitung dengan rumus: Karapatan dari suatu spesies/jenis KR (%) = x 100 Kerapatan seluruh jenis 3. Dominansi (D) suatu jenis dihitung dengan rumus: Jumlah bidang datar D= Luas petak contoh 4. Dominansi relatif (DR) suatu jenis dihitung dengan rumus: Dominansi suatu jenis DR (%) = x 100 Dominansi seluruh jenis



13



5. Frekuensi (F) suatu jenis dihitung dengan rumus: Jumlah plot ditemukannya suatu jenis F= Jumlah seluruh plot 6. Frekuensi relatif (FR) suatu jenis dihitung dengan rumus: Frekuensi dari suatu jenis FR (%) = x 100 Frekuensi dari seluruh jenis 7. Indeks nilai penting (INP) Indeks nilai penting pada tanaman mangrove diperoleh dari perhitungan (Soerianegara dan Indrawan 1999): INP = FR + DR + KR Keterangan : FR = Frekuensi relatif DR = Dominansi relatif KR = Kerapatan relatif Valuasi ekonomi mangrove Penilaian ekonomi dari manfaat sumberdaya hutan mangrove, yaitu dengan mengidentifikasi manfaat dan fungsi sumberdaya mangrove yang ditetapkan pada hutan mangrove yang baik dan jarang. Komponen nilai ekonomi total meliputi nilai guna langsung (direct use value), nilai guna tidak langsung (indirect use values), nilai pilihan (option value) dan nilai keberadaan (existensi value) (Pearce dan Turner 1990 dalam Bahruni 2008). 1. Manfaat Langsung (Direct-Use Value) dari hutan mangrove, dengan rumus: 4



ML = ∑ MLi i=1



Keterangan: ML = Manfaat langsung ML1 = Penerimaan produksi kayu bakar (Rupiah/tahun) ML2 = Penerimaan produksi ikan (Rupiah/tahun) ML3 = Penerimaan produksi udang (Rupiah/tahun) ML4 = Penerimaan produksi kepiting (Rupiah/tahun) 2. Manfaat Tidak Langsung (Indirect-Use Value) Manfaat tidak langsung dapat diakumulasi dengan penahan abrasi dan penahan intrusi air laut. Perhitungan nilai total manfaat tidak langsung dari hutan mangrove, dengan rumus: 2



MTL = ∑ MTLi i=1



Keterangan: MTL = Manfaat tidak langsung MTL1 = Peredam gelombang (waterbreak) (Rupiah/tahun) MTL2 = Penahan intrusi air laut (Rupiah/tahun) 3. Manfaat Pilihan (Option Value) Nilai manfaat pilihan adalah nilai pilihan untuk melakukan preservasi bagi penggunaan barang dan jasa sumberdaya dan lingkungan mangrove di masa yang akan datang yang tidak dapat digunakan pada saat sekarang.



14



n



MP = ∑ MPi/n i=1



Keterangan: MP = Manfaat pilihan MPi = Manfaat pilihan dari responden ke-i n = Jumlah responden Kuantifikasi seluruh manfaat dan fungsi ke dalam nilai uang. Beberapa teknik kuantifikasi yang digunakan adalah nilai pasar, harga tidak langsung, (Turner 2016), dengan rumus: TEV = DUV + IUV + OV Keterangan: TEV = Total ekonomi valuation DUV = Nilai pemanfaatan langsung (Direct Use Value) IUV = Nilai pemanfaatan tidak langsung (Indirect Use Value) OV = Nilai pilihan (Option Value)



3 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Georafis Kabupaten Buton Utara adalah sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara, ibukotanya adalah Buranga. Kabupaten Buton Utara juga dikenal sebagai Kabupaten Butur ini terletak di Pulau Buton yang merupakan pulau terbesar di luar pulau induk Kepulauan Sulawesi, yang menjadikannya pulau ke130 terbesar di dunia. Kabupaten ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2007 pada tanggal 2 Januari 2007. Kabupaten Buton Utara merupakan dataran rendah dan sebahagian berbukit dengan keadaan tanah yang sangat subur terutama yang terletak pada pesisir pantai sangat cocok untuk pertanian baik tanaman pangan maupun tanaman perkebunan. Kabupaten Buton Utara bagian Utara terdiri dari barisan pegunungan dan sedikit melengkung ke arah Utara dan mendatar ke arah Selatan dengan ketinggian rata-rata antara 300–800 meter di atas permukaan laut, sedangkan bagian Timur sepanjang arah pegunungan merupakan daerah berbukit-bukit dan mendatar ke arah pantai timur dengan luas bervariasi. Dataran rendah yang cukup luas yaitu Cekungan Lambale 29 000 ha sejajar dengan Sungai Lambale dan Sungai Langkumbe. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 1 923.03 km² (belum termasuk wilayah perairan), terletak di jazirah Sulawesi Tenggara meliputi bagian Utara Pulau Buton dan gugusan pulau-pulau di sekitarnya; secara administratif terdiri dari 6 kecamatan salah satunya Kecamatan Kolisusu dan 59 desa/kelurahan/UPT. Ditinjau dari letak geografisnya Kabupaten Buton Utara terletak pada 406’ LS – 5015’ LS serta membujur dari Barat ke Timur antara 122059’ BT – 123015’ BT, dengan batas-batas sebagai berikut: 1. Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Wawonii 2. Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Banda 3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Buton 4. Sebelah Barat berbatasan dengan selat Buton dan Kabupaten Muna



15



Lokasi penelitian terletak di Kecamatan Kolisusu yang secara administratif terdiri dari 16 desa dan 7 kelurahan. Secara umum batasan desa di Kecamatan Kolisusu Kabupaten Buton Utara dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Batas desa lokasi penelitian di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji Kecamatan Kolisusu Batas Desa No Desa Utara Selatan Timur Barat 1. Kalibu Ds. Eelahaji Ds. Laangke Ds. Laangke Tel.Kolisusu 2. E'elajahi Ds. Jampaka Ds. Kalibu Ds Kalibu Ds.Wacula'ea Sumber Data: BPS Kabupaten Buton Utara Tahun 2017 Kecamatan Kolisusu secara andmistratif terdiri dari 16 desa dan 7 kelurahan luas daratan Kecamatan Kolisusu seluas 172.78 km2. Total luas keseluruhan Kabupaten Botun Utara yaitu 1 923.03 km² yang meliputi beberapa kecamatan. Kecamatan Kolisusu memiliki luas 170.78 km2 atau 8.89%. Kecamatan kolisisu terdiri beberapa desa diantaranya Desa Eelajahi dan Desa Kalibu (lokasi penelitian) yang memiliki luasan berbeda. Luas Desa Eelahaji memiliki luas wilayah sekitar 30.50 km2 atau 18% dari luas Kecamatan Kolisusu, sedangkan luas Desa Kalibu sekitar 4.43 km2 atau sekitar 2.3% dari luas Kecamamatan Kolisusu. Luas wilayah dan persentase tiap desa dan kelurahan di Kecamatan Kolisusu Kabupaten Buton Utara dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Luas wilayah di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji Kecamatan Kolisusu No Desa/Kelurahan Luas (km) 1. Kalibu 4.43 2. Eelahaji 30.50 Jumlah 34.93 Sumber Data: BPS Kabupaten Buton Utara Tahun 2017



% 2.56 17.65 20.21



Keadaan Perikanan Tangkap Kondisi daerah Kecamatan Kolisusu khususnya Desa Kalibu dan Desa Eelahaji merupakan daerah pesisir yang mendukung kegiatan/usaha masyarakat baik di bidang perikanan laut maupun perikanan darat. Dalam kegiatan tersebut harus didukung dengan sarana dan prasarana untuk usaha penangkapan ikan, udang dan kepiting serta biota laut lainnya. Kawasan mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji sangat mendukung untuk kegiatan usaha perikanan laut dan pariwisata, sarana yang mendukung kegiatan tersebut adalah tersedianya perahu seperti perahu tanpa motor dan perahu motor tempel. Banyaknya perahu yang di gunakan untuk kegiatan perikanan seperti perahu tanpa motor dan perahu yang menggunakan mesin tempel dapat membantu masyarakat dalam melakukan penangkapan biota laut. Desa Kalibu dan Desa Eelahaji memiliki sarana perikanan hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.



16



Tabel 4 Sarana perikanan yang digunakan masyarakat Desa Kalibu dan Desa Eelahaji No Nama Sarana Desa Kalibu Desa Eelahaji 1 Perahu tanpa motor 23 26 2 Perahu motor tempel 2 17 Jumlah 25 43 Sumber Data: BPS Kabupaten Buton Utara Tahun 2017 Alat tangkap yang di gunakan masyarakat untuk melakukan penangkapan biota perairan (ikan, udang dan kepting) sangat beranekaragam seperti jala, bubu, jaring dan pancing ikan. Hal ini dapat memberikan gambaran bahwa usaha penangkapan ikan,udang dan kepiting di Kecamatan Kolisusu khususnya di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji sebagian besar dilakukan di pesisir pantai. Penangkapan biota perairan (ikan, udan dan kepiting) biasanya dilakukan sendiri-sindiri sedangkan umpan yang mereka gunakan udang, ikan, serta dari kerang laut. Jumlah Penduduk Jumlah penduduk secara keseluruhan Kecamatan Kolisusu berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Buton Utara tahun 2016 jumlah penduduk tercatat sebanyak 23 190 jiwa. Secara lengkap, data jumlah penduduk di lokasi penelitian ditampilkan pada Tabel 5. Tabel 5 Jumlah penduduk Desa Kalibu dan Desa Eelahaji Kecamatan Kolisusu No Desa Jumlah (jiwa) % 1. Kalibu 866 3.8 2. Eelahaji 776 3.3 Jumlah 1 642 7.1 Sumber Data: BPS Kabupaten Buton Utara Tahun 2017 Kecamatan Kolisusu memiliki 23 desa/kelurahan dengan jumlah penduduk keseluruhan sebanyak 23 190 jiwa yang terdiri dari beberapa desa dan kelurahan diantaranya Desa Eelajahi memiliki jumlah penduduk yang berada di urutan ke 7 dengan jumlah sekitar 776 jiwa sedangkan Desa Kalibu berada diurutan ke 9 dengan jumlah 886 jiwa dari total keselurahan jumlah penduduk Kecamatan Kolisusu. Jumlah penduduk di dua desa tersebut 1 642 jiwa atau sekitar 7.1% dari total penduduk Kecamatan Kolisusu. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Jumlah penduduk di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji Kecamatan Kolisusu tahun 2016 menurut jenis mata pencaharian/pekerjaan di dominasi oleh petani, PNS, dan nelayan sedangkan yang lain belum teridentifikasi. Secara keseluruhan, data jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian ditampilkan pada Tabel 6.



17



Tabel 6 Jumlah penduduk di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji menurut mata pencaharian Jumlah Penduduk (jiwa) No Mata pencaharian Desa Kalibu Desa Eelahaji 1 PNS 23 20 2 Nelayan 38 44 3 Petani 154 110 4 Lain-lain* 651 802 Jumlah 866 776 Keterangan; *= Belum teridentifkasi Sumber Data: BPS Kabupaten Buton Utara Tahun 2017



Jumlah penduduk menurut mata pencaharian atau pekerjaannya di Desa Kalibu untuk pegawai negeri sipil sebanyak 23 orang sedangkan di Desa Eelahaji 20 orang. Penduduk yang mata pencahariannya sebagai nelayan di Desa Kalibu 38 sedangkan untuk di Desa Eelahaji 44 orang, hasil yang di peroleh nelayan menurut masyarakat sangat menjajikan buat kehidupan mereka. Masyarakat yang pekerjaanya sebagai petani untuk di Desa Kalibu sebanyak 154 orang dan masyarakat di Desa Eelahaji sebanyak 110 orang hal ini di pengaruhi beberapa faktor yaitu jumlah tersedianya lahan pada kedua desa tersebut sehingga mempengaruhi banyak tidaknya jumlah petani. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Jumlah penduduk Kecamatan Kolisusu pada tahun 2016 sebanyak 23 190 jiwa berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Buton Utara. Berdasarkan jumlah penduduk tersebut di bagi menurut jenis kelamin, jumlah penduduk di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji menurut jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji No Jenis kelamin 1 Laki-Laki 2 Perempuan Jumlah



Desa Kalibu 454 412 866



Desa Eelahaji 384 392 776



Sumber Data: BPS Kabupaten Buton Utara Tahun 2017



Berdasarkan Tabel 7 bahwa jumlah penduduk menurut jenis kelamin tahun 2016, jumlah penduduk laki-laki sebanyak 11 578 jiwa dan jumlah penduduk perempuan 11 612 jiwa dari total desa di Kecamatan Kolisusu. Desa Kalibu memiliki jumlah penduduk laki-laki sebesar 454 jiwa atau 3.9% dan jumlah penduduk perempuan sebesar 412 jiwa atau 3.5%, berbeda dengan jumlah penduduk Desa Eelajahi lebih banyak banyak penduduk perempuan dibandingkan jumlah penduduk laki-laki. Jumlah laki-laki sebesar 384 jiwa atau 3.3% sedangkan jumlah penduduk perempuan sebesar 392 jiwa atau 3.3%.



18



4 HASIL DAN PEMBAHASAN Karateristik Responden Karateristik responden ini berdasarkan hasil wawancara terhadap 25 responden per desa untuk 2 desa berjumlah 50 responden. Usia merupakan identitas responden yang dapat menggambarkan pengalaman dalam diri responden sehingga terdapat keragaman persepsi berdasarkan usia responden. Penelitian ini mengelompokkan usia menjadi tiga, yaitu kelompok belum produktif (0-14), produktif (15-64), dan tidak produktif (≥60). Berdasarkan umur sebagian besar responden berada pada kelas umur 32-50 tahun, pada kondisi umur ini umumnya responden berada pada masa produktif. Tingkat pendidikan responden masyarakat yang berada di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji cukup baik karena reponden di dominasi oleh Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) walaupun masih ada responden yang tamatan Sekolah Dasar (SD). Sebagian besar pekerjaan masyarakat di kedua desa tersebut adalah petani dan nelayan, buruh bangunan selebihnya seperti Pegawai Ngeri Sipil (PNS) dan Wiraswasta. Masyatakat Desa Kalibu dan Desa Eelahaji mempunyai tingkat pendapatan rata-rata yang bervariasi, di Desa Kalibu memiliki rata-rata pendapatan/penghasilan per bulan sebesar Rp 2 000 000/KK/bln sedangkan di Desa Eelahaji sebesar Rp 1 850 000/KK/bln. Karateristik masyarakat yang dijadikan responden dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Karakteristik responden di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji Desa Kalibu Desa Eelahaji No Kateristik responden Jumlah (jiwa) % Jumlah (jiwa) % 1 Umur: 0-14 0 0 0 0 15-64 25 100 25 100 ≥64 0 0 0 0 2 Jenis kelamin Laki-laki 3 Tingkat pendidikan: 4 16 2 8 SD 7 28 7 28 SMP 14 56 16 52 SMA 0 0 0 0 D III 0 0 0 0 S1 4 Jenis pekerjaan: Pekerjaan tetap: 25 100 25 100 Nelayan



5



Pekerjaan sampingan Petani Buruh bangunan Rata-rata penghasilan



19 6 Rp 2 000 000



76 24



21 4 Rp 1 850 000



84 16



19



Persepsi Masyarakat terhadap Hutan Mangrove Sejarah hutan mangrove Hasil wawancara terhadap tokoh masyarakat dan pemerintah Kabupaten Buton Utara mengenai sejarah hutan mangrove bahwa proses tumbuh dan terbentuknya hutan mangrove di lokasi penelitian secara alami. Masyarakat menganggap hutan mangrove sebagai salah satu penopang kehidupan karena menghasilkan ekonomi yang cukup tinggi, sebagai wilayah pesisir sumber kehidupan masyarakat tergantung pada hasil perikanan dan hasil kayu dari hutan mangrove. Hal ini mendorong tingkat degradsi hutan terutama hutan mangrove di Kabupaten Buton Utara yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini juga di pengaruhi oleh kurangnya sosialisasi pemerintah kepada masyarakat pesisir tentang hutan mangrove, karena pada saat itu Kabupaten Buton Utara masih bergabung di Kabupaten Muna. Jarak dari ibukota kabupaten yang terlalu jauh sehingga para petugas Dinas Kehutanan jarang bahkan tidak pernah datang untuk melakukan penyuluhan kepada masyarakat. Sejak berpisahnya dari Kabupaten Muna kebiasaan mangambil kayu mangrove masih terus dilakukan tetapi sudah sangat sedikit. Hal ini karena Dinas Kehutanan Kabupaten Buton Utara sudah ada. Selain itu adanya KPHL (Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung) Peropa’ea Gantara yang merupakan perpanjangan tangan Dinas Kehutanan Provinsi yang terus menekan tingkat degradasi hutan mangrove bahkan mereka mengumumkan hukuman yang di terima pelaku illegal loging/perambah hutan mangrove berupa denda finsial yang banyak serta kurungan penjara. Sehingga kebiasaan masyarakat merambah hutan mulai berkurang. Kawasan hutan mangrove di wilayah Kabupaten Buton Utara merupakan hutan mangrove yang terluas di seluruh Sulawesi Tenggara. Di dalam kawasan tersebut terdapat banyak terdapat makhluk hidup lain yang memiliki keunikkan seperti kepiting bakau, udang atau berbagai jenis ikan. Adanya makhluk hidup lain di kawasan mangrove yang memiliki keunikkan tersebut, menjadikan kawasan bakau Kabupaten Buton Utara menjadi sangat menarik untuk menjadi pusat penelitian ekosistem hutan mangrove di KTI (Karya Tulis Ilmiah), serta sebagai tempat wisata. Menurut kepala KPHL Peropaea Gantara, kawasan hutan mangrove Kabupaten Buton Utara memiliki hutan mangrove terluas yang ada di Sulawesi Tenggara mungkin juga Indonesia timur yang luasnya kurang lebih 2 000 ha, itulah yang akan dikembangkan untuk wisata mangrove dan akan berdampak pada potensi lainnya seperti terumbu karangnya bahkan pemerintah mencanangkan di tempat tersebut akan di jadikan tempat wisata penangkaran buaya. Pemerintah Kabupaten Buton Utara, sudah menerbitkan peraturan daerah untuk melindungi kawasan hutan mangrove dari berbagai ancaman kerusakan. Masyarakat yang selama ini menjadikan kayu bakau sebagai bahan bakar utama dalam rumah tangga, bahkan untuk di jual saat ini tidak dibolehkan lagi menebang bakau di dalam kawasan hutan bakau. Larangan melalui perda tersebut cukup efektif mencegah warga sekaligus menghentikan penebangan kayu bakau di dalam kawasan hutan bakau tetapi masih ada sebagian masyarakat yang melakukan hal tersebut hal ini juga di dorong oleh mahalnya bahan bakar minyak seperti minyak tanah untuk kebutuhan rumah tangga.



20



Persepsi terhadap manfaat hutan mangrove Persepsi merupakan produk atau proses psikologi yang dialami seseorang setelah menerima stimuli yang mendorong tumbuhnya motivasi untuk memberikan respon melakukan atau tidak melakukan suatu kegiatan (Yuwuno 2006 dalam Utami 2017). Persepsi seseorang muncul terhadap suatu objek bersifat spontan sesuai dengan apa yang ada di dalam pikirannya yang didasari keyakinan kuat (Barkah, 2008). Kelestarian hutan bukan saja menjadi tanggung jawab pemerintah, namun kesadaran atau peran partisipasi aktif masyarakat juga penting dalam kelestarian hutan, karena masyarakat sekitar hutan berhubungan langsung dengan keberadaan hutannya (Wibowo, 2013). Persepsi masyarakat terhadap manfaat keberadaan hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji Kecamatan Kolisusu Kabupaten Buton Utara, dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Distribusi responden berdasarkan persepsi terhadap manfaat keberadaan hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji Desa Kalibu Desa Eelahaji No Persepsi Jumlah % Jumlah % 1 Tinggi 23 92 25 100 2 Sedang 2 8 0 0 3 Rendah 0 0 0 0 Jumlah 25 100 25 100 Tabel 9 menunjukkan bahwa persepsi masyarakat di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji Kecamatan Kolisusu mayoritas masyarakatnya memiliki persepsi yang tinggi terhadap manfaat keberadaan hutan mangrove yaitu di Desa Kalibu sebanyak 23 responden memiliki persepsi tinggi sedangkan masyarakat yang memiliki persepsi sedang sebanyak 2 respoden. Persepsi masyarakat di Desa Eelahaji yang memiliki tingkat persepsi tinggi sebanyak 25 responden sedangkan untuk kategori sedang dan rendah tidak ada. Responden yang memiliki tingkat persepsi tinggi mereka telah merasakan manfaat keberadaan hutan mangrove, seperti hutan mangrove sebagai penghasil kayu yang bernilai ekonomi, dapat menambah kelimpahan biota air, dapat menahan intrusi air laut serta sebagai tempat wisata. Responden yang memiliki persepsi sedang ialah responden yang mengetahui keberadaan kawasan hutan mangrove dan merasakan adanya manfaat dari keberadaan kawasan hutan mangrove namun tidak sepenuhnya memahami dan mengetahui tujuan dan fungsi adanya kawasan hutan mangrove tersebut. Hasil wawancara terhadap masyarakat tentang manfaat hutan mangrove untuk pernyataan masyarakat yang abstain/ragu-ragu sangat sedikit, di Desa Eelahaji berjumlah 3 hal ini di pengaruhi belum adanya tempat rekreasi mangrove di Kabupaten Buton Utara pada umumnya dan itu hanya sebatas wacana dari pemerintah untuk membuat tempat rekreasi hutan mangrove seperti hutan mangrove dapat di jadikan sebagai tempat penangkaran buaya. Fungsi mangrove untuk menahan intrusi air laut di Desa Kalibu 1 orang yang memilih abstain selain itu sangat setuju dan setuju, di Desa Elehaji sumur yang di manfataakan oleh masyarakat mulai terkontaminasi dengan air laut (payau) mereka sadar bahwa hal tersebut pengaruh hutan mangrove yang sudah mulai rusak sehingga fungsi



21



tersebut sudah terganggu. Hal ini dipengaruhi oleh banyaknya masyarakat yang melakukan pengambilan kayu mangrove seperti pengambilan kayu untuk membakar batu merah dan kebutuhan rumah tangga yang mendorong pengambilan kayu mangrove yang lebih banyak sehingga fungsi hutan mangrove sudah mulai terganggu salah satunya sebagai penahan intrusi air laut. Persepsi masyarakat tentang manfaat hutan mangrove di dorong oleh banyaknya manfaat yang dirasakan masyarakat secara langsung maupun tidak langsung seperti pemanfaataan kayu bakar, penangkapan biota laut (ikan, udang kepiting) yang dapat menunjang ekonomi rumah tangga mereka. Hasil wawancara tersebut menunjukan tingkat persepsi dan pengetahuan masyarakat tentang manfaat hutan mangrove sangat tinggi karena mereka tidak memilih jawaban tidak setuju dan sangat tidak setuju. Mangrove memiliki beberapa manfaat bagi masyarakat pesisir dari segi sosial maupun ekonomi. Menurut Kusmana (2007) ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang mempunyai produktivitas yang tinggi yang memproduksi sumber makanan untuk sebagian besar berbagai jenis ikan, udang, kepiting dan berbagai biota perairan pantai lainnya. Di samping itu dari segi perikanan, mangrove juga berperan sebagai spawning dan nursery grounds. Kesemua fungsi mangrove tersebut tetap ada selama vegetasi mangrove dapat dipertahankan keberadaannya. Persepsi tentang pengelolaan dan perlindungan hutan mangrove Pada sistem pengelolaan mangrove untuk mempertahankan kelestarian perlu adanya pola pengawasan ekosistem mangrove yang di kembangkan adalah pola partisipatif yang meliputi; komponen yang diawasi, sosialisasi dan pengawasan, serta intersif dan sanksi (Rochana, 2009). Saat ini dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove yang melibatkan masyarakat. Ide ini laksanakan dengan pertimbangan bahwa masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan dalam pengelolaan mangrove. Hasil penelitian yang telah dilakukan di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji Kecamatan Kolisusu Kabupaten Buton Utara, mengenai persepsi masyarakat tentang pengelolaan dan perlindungan hutan mangrove di kawasan hutan lindung dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Distribusi responden berdasarkan persepsi tentang pengelolaan dan perlindungan hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji Desa Kalibu Desa Eelahaji No Persepsi Jumlah % Jumlah % 1 Tinggi 18 72 13 52 2 Sedang 7 28 12 48 3 Rendah 0 0 0 0 Jumlah 25 100 25 100 Tabel 10 menunjukkan bahwa persepsi masyarakat di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji terhadap pengelolaan dan perlindungan hutan mangrove mayoritas masyarakatnya memiliki persepsi tinggi, sedangkan masyarakat yang memiliki persepsi sedang sangat sedikit. Persepsi masyarakat di Desa Eelahaji untuk persepsi sedang di pengaruhi masyarakat menginginkan dilibatkan langsung



22



dalam pengelolaan hutan mangrove bukan hanya pada saat ada kegiatan/proyek saja. Hal ini sejalan dengan pernyataan Wibowo (2013) dalam Zainal (2015) yang menjelaskan bahwa kelestarian hutan bukan saja menjadi tanggung jawab pemerintah, namun kesadaran atau peran partisipasi aktif masyarakat juga penting dalam kelestarian hutan, karena masyarakat sekitar hutan berhubungan langsung dengan keberadaan hutannya. Kuisioner yang diberikan kepada responden ada 8 pernyataan. Berdasarkan hasil wawancara tersebut terhadap masyarakat mengenai pengelolan dan perlindungan hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji yang paling tinggi dalam penelitian ini menurut persepsi masyarakat/responden adalah adanya kesedaran masyarakat mengenai perlindungan hutan mangrove merupakan tanggung jawab bersama. Masria et al. (2015) menyatakan bahwa persepsi masyarakat terhadap hutan yang tergolong baik akan menjamin terjadinya sikap yang positif terhadap pengelolaan hutan. Selain itu juga Perlu adanya kerjasama antara pemerintah dan penduduk setempat dalam kegiatan pengelolaan dan perlindungan kawasan hutan mangrove sehingga masyarakat tidak melakukan perombakan seperti pengambilan kayu bakar dari hutan mangrove di Kabupaten Buton Utara sehingga hutan mangrove tersebut dapat lestari. Pernyataan responden sebagian besar bahwa, pengelolaan sumberdaya hutan mangrove selama ini belum banyak melibatkan masyarakat pesisir, khususnya pada tahap perencanaan mapun sampai tahap pemeliharaan dan mereka menginginkan agar dibentuk kelompok-kelompok tani/nelayan. Di dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya hutan mangrove responden menginginkan agar mereka dilibatkan. Pihak-pihak yang perlu berpartisipasi dalam pengelolaan sumberdaya hutan mangrove yaitu semua pihak yang berkepentingan baik masyarakat pesisir, masyarakat luar pesisir, aparat pemerintah, pengusaha, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) hal ini sejalan dengan pernyataan Umar (2009) bahwa frekuensi interaksi masyarakat dalam beraktivitas terkait dengan hutan merupakan aspek penting di dalam pengelolaan hutan. Persepsi masyarakat tentang penyebab kerusakan hutan mangrove Kusmana (2003) menyatakan bahwa kerusakan ekosistem mangrove terjadi karena pengaruh faktor alam dan faktor manusia. Menurut Dahuri et al. (2001) dalam Baharudin (2016) faktor-faktor yang dapat mengancam kelestarian mangrove, yaitu masalah sosial ekonomi dan kesadaran masyarakat. Hasil wawancara terhadap masyarakat mengenai penyebab kerusakan hutan mangrove di kedua desa tersebut didominasi persepsi yang setuju dan ragu-ragu untuk sangat setuju sangat sedikit. Berdasarkan hasil rangking persepsi masyarakat di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji penyebab kerusakan hutan manfrove yang paling berpengaruh di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 11.



23



Tabel 11 Penyebab kerusakan hutan mangrove berdasarkan persepsi masyarakat di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji



Keterangan:



SS= Sangat setuju, S= Setuju, A= Abstain/netral, TS= Tidak setuju, STS= Sangat tidak setuju



Berdasarkan hasil wawancara terhadap masyarakat di lokasi penelitian dari 7 pernyataan semua merupakan penyebab kerusakan hutan di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji. Tabel 11 menunjukkan bahwa penyebab kerusakan hutan mangrove yang sangat berpengaruh adalah pengambilan kayu bakar yang sangat mendesak untuk di gunakan sebagai kebutuhan rumah tangga, dan kebututan ekonomi yang mendesak serta pembukaan wilayah tambak yang dilakukan masyarakat nelayan. Penurunan luasan mangrove di Indonesia terutama diakibatkan oleh kegiatan konversi mangrove menjadi pertambakan Anonymous (2000) dalam Satria (2011). Menurut masyarakat hal ini disebabkan kurangnya sosialisai dan ketegasan pemerintah setempat terhadap masyarakat yang melalukan perombakan hutan mangrove illegall loging dan peruntukan lain (tambak). Masyarakat yang memilih abstain kebanyakan pada pernyataan masyarakat pendatang tidak menaati aturan dalam menjaga kelestarian mangrove, karena menurut mereka sebagian besar masyarakat pendatang adalah pekerja kantoran bukan sebagai nelayan, ada juga yang memanfaatkan mangrove tetapi sebagian kecil. Pernyatan yang memilih tidak setuju juga terdapat pada kerusakan wilayah pesisir disebabkan karena faktor alam, hampir 50% responden memilih tidak setuju, karena sebagian besar mesyarakat di kedua desa tersebut mengambil kayu untuk kebutuhan ekonomi dan kebutuhan rumah tangga, jadi kerusakan hutan mangrove di kedua desa tersebut di sebabkan oleh manusia. Penyebab kerusakan hutan mangrove lainnya kurangnya penyulahan oleh dinas kehutanan kepada masyarakat dan tidak adanya efek jerah yang dilakukan oleh pemerintah terhadap masyarakat perusak hutan mangrove. Persepsi masyarakat tentang penyebab kerusakan hutan di kedua desa tersebut yang kategori sangat setuju yaitu kebutuhan ekonomi masyarakat sehingga pendorong tingkat degradasi mangrove yang terus meningkat. Pengambilan kayu bakar juga merupakan salah satu faktor penyebab rusaknya hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji pembukaan pemukiman warga dan pembukaan lahan tambak yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Berdasarkan persepsi masyarakat hal yang mendorong rusaknya hutan mangrove yang semakin luas yaitu kurangnya sosialisasi pemerintah terhadap masyarakat



24



dan penegakan hukum yang belum memadai dan kurang tegas diterapkan kepada masyarakat sehingga dapat memberi ruang kepada masyarakat untuk melakukan perombakan hutan mangrove. Menurut Dahuri et al. (2001) dalam Baharudin (2016) faktor-faktor yang dapat mengancam kelestarian mangrove, yaitu masalah sosial ekonomi dan kesadaran masyarakat . Kerusakan bisa saja disebabkan oleh tindakan mekanis secara langsung, seperti memotong, membongkar dan sebagainya (Farawangsyah 2013). Selain itu sebagai akibat tidak langsung seperti perubahan salinitas air, pencemaran air, karena adanya erosi, pencemaran minyak dan sebagainya. Oleh karena itu, hutan mangrove yang bertindak sebagai tempat berlangsungnya proses-proses ekologis dan pendukung kehidupan hendaknya dapat terhindar dari unsur-unsur yang merusak tersebut (Tambunan 2005 dalam Farawangsyah 2013). Untuk mencapai hasil tersebut pemerintah harusnya melibatkan masyarakat dalam setiap pengelolaan hutan sehingga mendorong keterlibatan masyarakat dalam melindungi hutan tersebut. Menurut Desmantoro (2016) kerusakan hutan tidak mungkin dapat dihentikan tanpa dibangunnya kondisi yang memungkinkan tumbuhnya kepedulian masyarakat terhadap kelesatarian hutan. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan merupakan suatu keharusan, sehingga cara alternatif yang dapat dipilih oleh pemerintah menggulirkan kebijakan pengelolaan hutan berbasis masyarakat (Kartodihardji 2007 dalam Desmantoro 2016). Penelitian yang di lakukan oleh Suharti (2016) tentang kelembagaan dan perubahan hak akses masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di Sinjai Timur Sulawesi Selatan, pengelolaan hutan mangrove sangat berhasil dengan adanya ketelibatan masyarakat di dalamnya. Pengembangan hutan bakau terus dilaksanakan oleh masyarakat baik secara swadaya maupun dari pemerintah. Keberhasilan tersebut dapat dilihat dari peningkatan luasan mangrove dari tahun 2003 luas hutan mangrove 786, tahun 2015 menjadi 843 Ha, dan tahun 2013 mencapai 1 157 Ha (Dinas perkebunan dan Kehutanan Sinjai 2013 dalam Suharti 2013) oleh karena itu keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan sangat penting. Vegetasi Hutan Mangrove Struktur Vegetasi Hutan Mangrove Ekosistem hutan payau merupakan suatu ekosistem yang tidak terpengaruh dengan iklim, tetapi yang berpengaruh adalah faktor edafis. Salah satu faktor lingkungan yang dapat menentukan perkembangan hutan payau adalah salinitas dan kadar garam (Kusmana 1997 dalam Indrayanto 2006). Hasil penelitian komposisi jenis vegetasi mangrove di Desa Kalibu dan desa Eelahaji terdiri atas 2 jenis mangrove yaitu Rhizophora apiculata dan Bruguiera gymnorrhiza. Mangrove yang yang paling banyak di temukan yaitu jenis Bruguiera gymnorrhiza. Menurut Setyawan et al. (2005), sedikitnya jumlah spesies mangrove disebabkan besarnya pengaruh antropogenik yang mengubah habitat mangrove untuk kepentingan lain seperti pembukaan lahan untuk pertambakan dan pemukiman. Rendahnya keanekaragaman menandakan ekosistem mengalami tekanan atau kondisi lingkungan telah mengalami penurunan. Untuk melihat hasil struktur vegetasi hutan mangrove yang terdiri dari variabel kerapatan, kerapatan relatif, frekuensi, frekuensi relatif, domonasi, dominasi relatif dan nilai indeks



25



penting vegetasi hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Struktur vegetasi mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji Starata Jenis Mangrove Desa Kalibu



K



KR



F



FR



D



DR



INP



Pohon



Rhizophoraapiculata Bruguiera gymnorrhiza



25 90



20.83 79.17



0.5 1



33 64



0.000215 0.000551



26.98 68.52



80.84 214.49



Tiang



Rhizophora apiculata Bruguiera gymnorrhiza



Sapihan



Rhizophora apiculata Bruguiera gymnorrhiza Rhizophora apiculata Bruguiera gymnorrhiza



29.08 70.92 39.13 60.87 37.73 62.27



0.9 1 1 1 1 1



47 53 50 50 50 50



0.000091 0.000218 0.000059 0.000093 -



28.68 71.32 38.84 61.16



Semai



73 163 178 270 180 298



104.97 195.03 127.96 172.04 -



Rhizophora apiculata



20



18.18



0.7



41



0.000435



33.08



92.24



Bruguieragymnorrhiza



90



81.82



1



59



0.000555



66.92



207.76



45 139



24.03 75.97



0.8 1



44 56



0.000061 0.000196



22.9 77.1



90.68 209.32



Desa Eelahaji Pohon



Tiang



Rhizophora apiculata



Bruguiera gymnorrhiza 100 36.83 1 50 0.000035 38.03 127.96 Sapihan Rhizophora apiculata 1 50 0.000108 60.97 172.04 Bruguiera gymnorrhiza 173 63.17 123 35.33 1 50 Semai Rhizophora apiculata 228 64.67 1 50 Bruguiera gymnorrhiza Keterangan: K= Kerapatan, KR= Kerapatan Relatif, F= Frekuensi, FR= Frekuensi Relatif, D= Dominansi, DR= Dominasi Relatif, INP= Indeks Nilai Penting



Hasil analisis vegetasi pada penelitian ini menurut tingkat kerapatannya pada starata pohon tidak jauh berbeda atau relatif sama untuk kedua desa tersebut, yang paling menonjol perbedaannya pada strata tiang dan sapihan hal ini dapat dilihat pada Tabel 12 di atas. Tingkat kerapatan yang paling tinggi terdapat pada Desa Kalibu bila dibangingkan dengan Desa Eelahaji. Kerapatan untuk strata tiang pada stasiun 1 di Desa Kalibu berkisar 309 (ind/ha) sedangkan untuk Desa Elahaji untuk starata tersebut 184 (ind/ha). Tingkat strata sepihan di Desa kalibu 443 (Ind/ha) sedangkan di Desa Eelahaji 273 dan semai untuk nilai kerapatan yang tinggi terdapat pada Desa Kalibu. Tingkat penyebabaran spesian mangrove dapat dilihat dari tingkat frekuensi mangrove tersebut. Menurut indrayanto (2006) Frekuensi dapat menggambarkan tingkat penyebaran spesies meskipun tidak dapat menggambarkan pola penyebarannya, spesies yang penyebaraannya luas akan memiliki nilai frekuensi yang tinggi. Tingkat penyebaran spesies untuk tingkat semai, sapihan dan tiang tergolong merata karena setiap spesies mangrove dapat di temukan di setiap petak penelitian, sedangkan untuk kategori pohon untuk kedua desa tersebut tidak merata. Jenis mangrove yang paling dominan di lokasi penelitian yaitu Bruguiera gymnorrhizayang dilakukan disemua jenis tingkatan starata hal ini dapat di lihat dari indeks nilai penting masing-masing jenis mangrove pada tabel di atas. Menurut Soegianto (1994) dalam Indrianto (2006) menyatakan bahwa indeks nilai



26



penting (INP) adalah parameter kuantitatif yang digunakan menyatakan tingkat dominansi (tingkat penguasaan) spesies–spesies dalam komunitas tumbuhan. Spesies-spesies yang dominan dalam suatu komunitas tumbuhan akan memiliki indeks nilai penting yang tinggi, sehingga spesies yang paling dominan tentu akan memiliki INP yang paling besar seperti yang tergambarkan pada Tabel 12 diatas. Perbedaan tingkat kerapatan terutama jenis mangrove Rhizophora apiculata miliki tingkat kerapatan sedikit dari berbagai stasiun, hal ini jenis tersebut telah mngalami gangguan luar yaitu manusia seperti pengambilan kayu bakar untuk kebutuhan rumah tangga juga sebagai bahan bakar batu merah. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Suwarno (2008) yang menyatakan jenis mangrove Rhizophora apiculatasangat di gemari oleh masyarakat untuk di jadikan kayu bakar karena mempunyai nilai nyala api yang baik, tahan lama dan mudah untuk di nyalakan. Rhizophora apiculata mempunyai kepadatan yang cukup tinggi dan menjadi lebih berat (rata-rata 0.9 m/s2) sehingga mempunyai tingkat panas yang cukup tinggi dan tahan lama (Suwarno 2008). Berkurangnya tingkat kerapatan mangrove tidak lepas dari tingkat aktifitas masyarakat pesisir, seperti pembukaan wilayah pemukiman, dan pengambilan kayu yang dimanfaatkan untuk kayu bakar dan sebagai bahan bangunan. Kurangnya vegetasi mangrove akan mempengeruhi kualitas air sumur masyarakat dan banyaknya biota air yang terdapat disekitaran mangrove tersebut. Nilai Guna Langsung Hutan Mangrove Mangrove memiliki beberapa manfaat bagi masyarakat pesisir dari segi sosial maupun ekonomi. Menurut Kusmana (2007) Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang mempunyai produktivitas yang tinggi yang memproduksi sumber makanan untuk sebagian besar berbagai jenis ikan, udang, kepiting dan berbagai biota perairan pantai lainnya. Selain dari segi perikanan, mangrove juga berperan sebagai spawning dan nursery grounds. Semua fungsi mangrove tersebut tetap ada selama vegetasi mangrove dapat dipertahankan keberadaannya. Nilai guna langsung merupakan nilai yang bersumber dari penggunaan secara langsung oleh masyarakat terhadap hasil hutan mangrove. Nilai guna langsung di dalam hutan mangrove yang dilakukan Ismail (2017) di Kota Tanjung Pinang terdiri atas pemanfaat kayu bakar, buah mangrove yang dapat di jadikan sebagai sirup, gonggong (penangkapan siput). Nilai guna langsung mangrove yang dilakukan oleh Motoku (2014) di Desa Sausu Peore Kabupen Parigi Moutong adalah ikan, kepiting kerang dan kelelawar. Nilai guna langsung dari hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji Kecamatan Kolisusu yang dirasakan masyarakat saat ini adalah pemanfaatan kayu bakar dan penagkapan biota laut (ikan,udang, dan kepiting) baik yang dikakukan di kawasan mangrove maupun di sekitar kawan mangrove tersebut. Pemanfaatan buah sebagai sirup tidak dilakukan oleh masyarakat setempat karena keterbatasan keterampilan. Pada penelitian Ismail (2017) yang dilakukan di Kota Tanjung Pinang, hasil yang didapatkan untuk produksi buah mangrove sangat tinggi, karena buah mangrove dapat dijadikan sebagai dodo, sirup, kopi, dan keripik/kerupuk mangrove dengan total nilai sebasar Rp 187 746 300 per tahun. Penelitian yang dilakukan Ulfa (2014) nilai guna langsung mangrove sebesar Rp



27



53 131 453 176. Nilai guna langsung yang di identfikasi dan di manfaatkan oleh masyarakat di lokasi penelitian yaitu nilai guna kayu bakar, dan biota perairan (ikan, udang dan kepiting). Nilai guna kayu bakar Hasil wawacara terhadap masyarakat untuk dilokasi penelitian yang masingmasing desa sebanyak 25 responden, jumlah pengambilan kayu bakar pertahun di Desa Kalibu sebesar 16 128 ikat/tahun sedankan di Desa Eelahaji sebesar 15 811.2 ikat/tahun. Jumlah rata-rata kayu bakar yang dipakai sekaligus di jual dalam satu bulan berkisar 1344 ikat per bulannya sedangkan untuk di Desa Eelahaji berkisar 1317.6 ikat per bulannya Pemanfaatan mangrove sebagai kayu bakar oleh masyarakat di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji tidak mengalami perbedaan yang signifikan. Pengambilan kayu bakar di kedua desa tersebut berkirar 13-15 ikat/minggu/orang. Jenis mangrove yang diambil untuk dijadikan kayu bakar yaitu tongke (Bruguera) dan jenis mangrove Lumbe (Rhizopora,sp). Jenis mangrove yang lebih banyak diambil adalah jenis Rhozopra sp, karena jenis mangrove tersebut sangat bagus untuk di jadikan kayu bakar dengan harga jual Rp 5 000 per ikat. Nilai ekonomi pemanfaatan kayu bakar yang dilakukan masyarakat responden dapat dilihat pada Tabel 13. Secara terperinci penghitungan nilai guna kayu bakar disajikan pada Lampiran 1. Tabel 13 Nilai ekonomi pemanfaatan kayu bakar di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji Nilai Ekonomi Kayu Bakar No Desa (Rp/KK/thn) (Rp/thn) 1. Kalibu 3 225 600 870 912 000 3 162 240 790 560 000 2. Eelahaji Jumlah 6 387 240 1 661 472 000 Masyarakat di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji masih memanfaatakan kayu untuk kebutuhan rumah tangganya seperti memasak. Pengambilan kayu bakar yang dilakukan masyarakat 1-2 kali dalam 1 minggu. Pengambilan rata-rata kayu bakar pertahun di Desa Kalibu sebesar 645.12 ikat/kk/tahun sedangkan di Desa Eelahaji sebesar 638.45 ikat/kk/tahun. Nilai mangrove sebagai penghasil kayu bakar untuk di Desa Kalibu sebesar Rp 870 912 000 per tahun dengan rata-rata Rp 3 225 600/KK/thn sedangkan untuk di Desa Eelahaji hasil penjualan kayu bakar sebesar Rp 790 560 000 per tahun dengan rata-rata sebesar Rp 3 162 240/KK/thn. Hasil rata-rata per tahun menunjukkan bahwa jumlah pengambilan kayu bakar yang paling banyak yaitu di Desa Eelahaji. Hal ini berbanding lurus dengan keadaan hutan mangrove di Desa Eelahaji, keadaan mangrove di desa tersebut sudah mulai rusak atau jarang di bandingkan dengan keadaan mangrove di Desa Kalibu. Penyebab perbedaan jumlah pengambilan kayu bakar yaitu intensitas pengambilan dan perbedaan jumlah kebutuhan masyarakat terhadap kayu bakar. Mangrove yang masyarakat gunakan sebagai kayu bakar adalah Rhizophora apiculata, jenis mangrove ini sangat di gemari oleh masyarakat untuk di jadikan kayu bakar karena mempunyai nilai nyala api yang baik, tahan lama dan mudah



28



untuk di nyalakan. Rhizophora apiculata mempunyai kepadatan yang cukup tinggi dan menjadi lebih berat (rata-rata 0.9 m/s2) sehingga mempunyai tingkat panas yang cukup tinggi dan tahan lama (Suwarno 2008). Nilai kayu bakar pada penelitian yang dilakukan Motoku (2014) di Desa Sausu Piore Kabupaten Parigi Moutong sebesar Rp 13 350 753 per tahun. Hal yang sama juga dilakukan oleh Prasetyo (2016) nilai manfaat kayu bakar sebesar Rp 268 551 912 per tahun. Hal yang membedakan besarnya nilai kayu bakar di Desa Eelahaji dan Desa Kalibu serta penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya yaitu perbedaan jumlah pengambilan, intensitas pengambilan kayu bakar serta perbedaan jumlah masyarakat yang memanfaakan kayu bakar sebegai kebutuhan rumah tangga mereka. Pemanfaatan kayu bakar di Desa Kalibu dan Eelahaji salah satu sumber energi yang masih dilakukan oleh masyarakat pesisir. Alat yang digunakan untuk mengambil kayu bakar ini kapak dan parang. Berdasarkan hasil wawancara terhadap masyarakat bahwa di lokasi penelitian masih menggunakan kayu bakar untuk kebutuhan rumah tangga terutama pada warung makan ikan asap. Masyarakat yang mengambil kayu bakar selain untuk di jadikan kebutuhan sendiri juga dijual kepada pengusaha warung makan seperti ikan asap yang banyak di gemari masyarakat di Kabupaten Buton Utara. Penggunaan kayu bakar di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji sangat tinggi hal ini didorong oleh harga bahan bakar minyak (BBM) seperti minyak tanah yang cukup tinggi dan susah untuk di dapatkan serta gas elpiji yang mahal karena berlum adanya subsidi dari pemerintah sehingga penggunaan kayu bakar sangat tinggi. Nilai guna ikan Hasil penangkapan ikan di Desa Kalibu sebesar 6841.71 kg/thn atau ratarata perbulan sebesar 570.14 kg/bulan sedangkan di Desa Eelahaji sebesar 4819.88 kg/thn atau rata-rata per bulan sebesar 401.65 kg/bulan. Jumlah nelayan untuk Desa Kalibu sebanyak 38 orang dan Desa Eelahaji sebanyak 44 orang. Hasil ikan yang banyak di tangkap merupakan ikan yang hidup di daerah mangrove seperti kerapu (Epinephelus fuscoguttatus). Hasil ekonomi mangrove pada penangkapan ikan dapat dilihat pada Tabel 14. Secara terperinci penghitungan nilai guna ikan disajikan pada Lampiran 1 Tabel 14 Nilai ekonomi pemanfaatan ikan di Kecamatan Kolisusu Desa Kalibu dan Eelahaji Nilai Ekonomi Pemanfaatan Ikan No Desa (Rp/KK/thn) (Rp/thn) 1. Kalibu 9 578 400 2 586 168 000 1 686 960 000 2. Eelahaji 6 747 840 Jumlah 16 326 240 4 273 128 000 Nilai ekonomi hasil tangkapan ikan kedua desa tersebut berbeda, hal ini di pengaruhi oleh perbedaan hasil tangkapan. Penghasilan nilai ekonomi ikan mangrove dalam satu tahun yang di hasilkan masyarakat dalam melakukan penangkapan ikan di Desa Kalibu sebesar Rp 2 586 168 000 per tahun dengan rata-rata sebesar Rp 9 578 400/KK/thn sedangkan untuk di Desa Eelahaji sebesar



29



Rp 1 686 960 000 per tahun dengan rata-rata Rp 6 747 840/KK/thn, apabila kedua desa tersebut di gabungkan maka nilai total penangkapan ikan Rp 4 273 128 000 per tahun. Nilai ekonomi ikan mangrove di kedua desa tersebut mengalami perbedaan hal ini oleh kondisi hutan mangrove di kedua desa tersebut. Kondisi hutan mangrove di Desa Kalibu masih tergolong bagus sedangkan di Desa Eelahaji sudah mulai rusak. Alat tangkap biota perairan yang dilakukan masyarakat di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji berdasarkan hasil wawancara adalah jala, pukat, pancing sedangkan alat transportasi yang mereka gunakan sangat sederhana berupa perahu berukuran kecil atau sampan yang dilengkapi dengan mesin kapal berkuatan kecil. Waktu tangkap yang sering dilakukan masyarakat di Lokasi penelitian rata-rata antara bulan Januari-Oktober karena pada bulan itu merupakan bulan yang banyak ikannya. Cara nelayan untuk mendapatkan hasil tangkap yang banyak selain berdasarkan bulan tangkap juga dengan cara memanfaatkan dahan mangrove kemudian di tenggelamkan dilaut dengan menggunakan batu sebagai alat pemberat selama 1-2 minggu, setelah mengalami pelapukan dan mulai berjamur sehingga ikan mencari makan ditempet tersebut barulah mereka turun memancing sehingga ikan yang di dapat dalam jumlah yang banyak. Jenis yang di dapat para nelayan yang di dapat kakap merah, kakap putih, boronang, limbako, kerapu, ikan sumu, ikan bebara dengan harga rata-rata Rp 40 000 per kilogram. Keragaman jenis ikan dan jumlah hasil tangkapan dikawasan hutan mangrove yang masih bagus akan lebih banyak. Lloyod and Ghalardi (1996) dalam Abdul (2006) menyatakan keanekaragaman jenis akan tinggi bila banyak jenis yang mendominasi ekosistem tersebut dan keanekaragaman jenis akan rendah apabila hanya satu jenis yang ada didalamnya. Kelimpahan ikan di daerah mangrove terkait erat dengan kebiasaan makan herbivora dan karnivora epifitik (Sri, 2003). Menurut Abdul (2016) jenis-jenis ikan herbivora dan karnivora epifitik mempunyai kecenderungan migrasi lokal dan bersifat menetap karena pergerakan tersebut lebih banyak di utamakan untuk pemenuhan kebutuhan makanannya. Penelitian yang pernah di lakukan oleh Motoku (2014) di Desa Sausu Peore Kecamatan Sausu Kabupaten Parigi Moutong tentang manfaat langsung hutan mangrove dengan nilai ikan sebesar Rp 208 696 000 per tahun hasil ini tergolong besar di bandingkan dengan di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji sebab ada perbedaan luasan mangrove dan jumlah masyarakat di lokasi penelitian. Hal yang sama juga di lakukan oleh Suzana (2011) di Desa Paleas Kecamatan Lakupang Barat tentang nilai manfaat penangkapan ikan mencapai Rp 146 400 000 per tahun, hasil ini tergolong kecil apabila di bandingkan dengan hasil di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji. Perbedaan nilai antara Desa Eelahaji dan Kalibu disebabkan oleh perbedaan kondisi hutan mangrove. Mangrove di Desa Kalibu masih tergolong baik sedangkan untuk di Desa Eelahaji mangrovenya sudah mulai jarang. Jumlah intensitas penangkapan juga sangat menentukan nilai ikan. Jumlah masyarakat yang melakukan penangkapan di Desa Kalibu sebanyak 19 orang dan Desa Eelahaji 20 orang. Penyebab lain perbedaan hasil di pengaruhi juga oleh sarana dan prasarana terutama perahu yang di gunakan oleh oleh nelayan penangkap ikan. Jumlah perahu yang ada di kedua desa tersebut dapat dilihat pada Tabel 5 serta mulai berkurangnya ikan di daerah sekitar mangrove.



30



Nilai guna kepiting Hasil wawancara bahwa manfaat langsung yang dapat dikosumsi dari ekosistem mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji adalah penangkapan kepiting bakau (Scylla sp). Hasil tangkapan kepiting tidak terlalu banyak untuk setiap kali melakukan penangkapan, tetapi nelayan hampir setiap hari melakukan penangkapan kepiting, karena harga jual kepiting per koligram sangat mahal yaitu sebesar Rp 90 000 per kilogram, sehingga membuat masyarakat terus melakukan penangkapan kepiting bakau. Nilai ekonomi penangkapan kepiting dapat dilihat pada Tabel 15. Secara terperinci penghitungan nilai guna kepiting disajikan pada Lampiran 1. Tabel 15 Nilai ekonomi pemanfaatan kepiting di lokasi penelitian Desa Kalibu dan Desa Eelahaji Nilai Ekonomi Pemanfataan Kepiting No Desa (Rp/KK/thn) (Rp/thn) 1. Kalibu 12 398 400 3 347 568 000 9 950 400 2 487 600 000 2. Eelahaji Jumlah 22 348 800 5 835 168 000 Hasil wawancara dari 25 responden di Desa Kalibu hanya 20 responden yang memanfaatkan kepiting sedangkan Desa Eelahaji 18 responden. Alat yang di gunakan untuk menangkap kepiting bakau adalah bubu dan jaring sedangkan transportasi yang di gunakan adalah perahu. Rata-rata penangkapan kepiting di lakukan 7 kali/bulannya. Tabel 15 menunjukkan bahwa perhitungan manfaat hasil penangkapan kepiting di peroleh nilai manfaat langsung hasil penangkapan kepiting di Desa Kalibu sebesar Rp 3 347 568 000 per tahun dengan rata-rata sebesar Rp 12 398 400/kk/thn dan di Desa Eelahaji sebesar Rp 2 487 600 000 per tahun atau Rp 9 950 400/kk/thn. Nilai ekonomi hasil penangkapan kepiting untuk kedua desa tersebut sebesar Rp 5 835 168 000 per tahun. Jumlah pengeluaran masyarakat yang tinggi karena mereka harus bolak balik untuk melihat bubu sebagai alat tangkap kepiting, sehingga biaya transportasi dua kali lipat dibanding manangkap biota air lainnya. Nilai guna langsung yang di hasilkan kepiting untuk kedua desa tersebut pengalami perbedaan yang cukup besar. Nilai kepiting di Desa Kalibu lebih tinggi di bandingkan dengan di Desa Eelahaji hal ini dapat dilihat pada Tabel 15 diatas. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata penangkapan yang dilakukan di Desa Kalibu pert ahun yaitu 141.2 kg/kk/tahun sedangkan untuk di Desa Eelahaji sebanyak 112.32 kg/kk/tahun, perbedaan hasil ini dipengaruhi oleh perbedaan kondisi mangrove dikedua desa tersebut. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Ulfa (2014) di Pulau Dompak tentang nilai ekonomi kepiting sebesar Rp 5 666 870 128 per tahun, hasil ini cukup besar bila dibandingkan dengan penelitian di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji karena mereka melakukan penangkapan setiap hari sedangkan intensitas penangkapan di kedua desa tersebut 144-180 kali/orang/tahun dengan nilai ekonomi sebesar Rp 5 835 168 000 per tahun Keberadaan serasah mangrove menjadi faktor pendukung ketersediaan makanan bagi kepiting bakau. Mangrove mimiliki akar yang dapat dijadikan tempat berlindungnya kepiting bakau dari hempasan/terpaan gelombang air laut



31



serta menjadi tempat bersembunyi kepiting bakau pada saat melakukan perkawinan. Sehingga mangrove yang bagus dapat memberikan perlindungan dan keberlangsungan kepiting bakau yang baik dibandingkan dengan mangrove yang sudah mulai rusak. Alat yang digunakan untuk menangkap kepiting yang dilakukan oleh masyarakat adalah jaring dan bubu sedangkan umpan yang mereka gunakan dalam melakukan penangkapan kepiting adalah ikan. Umpan yang sudah di siapkan dimasukan kedalam bubu sebagai alat tangkap dan di pasang ditancap di sekitaran hutan mangrove. Banyak atau tidaknya hasil tengkapan ni di pengaruhi oleh keberadaan mangrove karena di mangrove yang bagus banyak terdapat kepiting di bandingkan dengan mangrove yang sudah rusak. Penangkapan kepiting dapat membantu perekonomian masyarakat walaupun tidak terlalu banyak didapat tetapi harga jual kepiting sangat tinggi. Nilai guna udang Udang (Peneus sp) merupakan biota perairan disekitar ekosistim hutan mangrove yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi, sehingga ditemukan banyak masyarakat Desa Kalibu dan Desa Eelahaji di Kecamatan Kolisusu yang melakukan penangkapan udang. Untuk hasil ekonomi yang di dapat pada penangkapan udang dapat dilihat pada Tabel 16. Secara terperinci penghitungan nilai guna udang disajikan pada Lampiran 1. Tabel 16 Nilai ekonomi pemanfaatan udang di lokasi penelitian Desa Kalibu dan Desa Eelahaji Nilai Ekonomi Pemanfaatan Udang No Desa (Rp/KK/thn) (Rp/thn) 5 490 720 1 482 494 400 1. Kalibu 3 401 280 850 320 000 2. Eelahaji 8 892 000 2 332 814 000 Jumlah Hasil wawancara dari 25 responden tidak semua responden memanfaatkan udang, di Desa Kalibu sebanyak 15 responden sedangkan di Desa Eelahaji sebanyak 11 responden. Jumlah penangkapan udang di Desa Kalibu sebesar 2745.36 kg/tahun sedangkan di Desa Eelahaji sebesar 1700.64 kg/tahun. Alat yang digunakan Masyarakat menggunakan jaring untuk menangkap udang di sekitar hutan mangrove Kecamatan kolisusu. Hasil perhitungan nilai manfaat langsung dari hasil penangkapan udang yang dilakukan oleh nelayan di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji disajikan pada Tabel 16. Hasil penangkapan udang yang dilakukan di loksi penelitian mengalami perbedaan yang signifikan, untuk di Desa Kalibu lebih banyak di banding di Desa Eelahaji, hal ini dapat dilihat dari rata-rata penangkapan per bulan di Desa Kalibu sebesar 228.75 kg/bulan sedangkan di Desa Eelahaji 141.72 kg/bulan. Perbedaan hasil tangkapan akan mempengaruhi besarnya nilai ekonomi udang. Nilai ekonomi hasil penangkapan udang di Desa Kalibu sebesar Rp 1 482 494 400 per tahun sedangkan Desa Eelahaji sebesar Rp 850 320 000 per tahun. Hasil ini tentu dipengaruhi oleh perbedaan kondisi manggrove di kedua desa tersebut. Hutan mangrove di Desa Kalibu tergolong baik sedangkan di Desa Eelahaji sudah mulai



32



jarang, sehingga mempengaruhi jumlah hasil tangkap udang yang dilakukan oleh nelayan. Penelitian yang dilakukan oleh Ulfah (2014) yang dilakukan di Pulau Dompak nilai udang sebesar Rp 11 766 076 809 per tahun nilai ini sangat besar karena masyarakat di lokasi penelitian tersebut melakukan penangkapan setiap harinya. Penelitian yang di lakukan oleh Suzana (2011) di Desa Palaes sebesar Rp 16 200 000 per tahun. Udang sebagian besar hidupnya berada di dalam ekosistem mangrove sedangkan untuk perairan lepas hanya digunakan untuk bertelur, setelah larva muda lahir akan berpindah kembali ke ekosistem mangrove (Ismail, 2017). Keragaman jenis udang di ekosistem mangrove rapat akan lebih banyak. Selain itu kelimpahan udang di wilayah sekitar muara sungai akan lebih tinggi di banding dengan perairan pantai. Kondisi ini diduga karena banyaknya pasokan hara dari serasah mangrove dan daratan yang terendap (Umulia and Asbar 2016 dalam Ismail 2017). Luas hutan mangrove juga berpengaruh terhadap produksi udang, semakin luas hutan mangrove maka produksi udangnya semakin tinggi begitu juga sebaliknya (Nuddin 2009). Selain beberapa faktor diatas penyebab perbedaan hasil penangkapan yaitu jumlah udang yang ada pada kedua desa tersebut, selain itu sama halnya untuk penangkapan ikan dan kepiting, tergantung luasan hutan mangrove dan tutapan lahannya serta jumlah melakukan aktifitas penangkapan. Sarana dan prasarana yang memadai juga mendukung aktifitas penangkapan udang, seperti di Desa Kalibu alat yang digunakan di sediakan oleh pemerintah desa sedangkan Desa Eelahaji alat yang digunakan merupakan milik pribadi masing-masing nelayan. Udang yang didapat selain di jual untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka juga di gunakan sebagai umpan untuk memancing ikan dan umpan untuk menangkap kepiting bakau. Total Nilai Guna Langsung Hutan Mangrove Nilai guna langsung merupakan nilai yang langsung dirasakan oleh masyarakat yang tingal sekitar mangrove di Kabupaten Buton Utara. Beberapa tahun terkahir manfaat langsung yang didapatkan oleh masyarakat sudah mulai berkurang terutama penangkapan biota air (ikan, udang dan kepiting) di sekitar mangrove. Hal ini di sebabkan oleh aktifitas masyarakat yang melakukan penebangan mangrove secara terus menerus untuk memenuhi kebutuhan lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat kerapatan mangrove dapat mempengaruhi tingkat kelimpahan biota perairan seperti ikan, udang dan kepiting. Menurut Lloyod and Ghalardi (1996) dalam Abdul (2006) keanekaragaman jenis (biota perairan) akan tinggi bila banyak jenis yang mendominasi ekosistem mangrove tersebut dan keanekaragaman jenis akan rendah apabila hanya satu jenis mangrove yang ada didalamnya Masyarakat yang melakukan penangkapan biota perairan terutama ikan, udang dan kepiting dilakukan sendiri-sendiri begitu juga dengan pengambilan kayu bakar. Lokasi pengambilan boita perairan pada umumnya berada di tepi pulau atau didalam hutan mangrove karena di sekitar mangrove terdapat banyak ikan yang mencari makan. Das (2017) menyatakan bahwa mengrove merupakan penyedia sumber makanan dari biota air yang hidup di ekosistem pesisir melalui



33



guguran serasa mangrove yang sudah mati. Hasil kauntifikasi nilai guna langsung hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji dapat di lihat pada Tabel 17. Tabel 17 Total nilai guna langsung biota perairan (ikan, udang dan kepiting) dan pemanfaatan kayu bakar di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji No



Nilai Guna Langsung



1 Kayu Bakar 2 Ikan 3 Udang 4 Kepiting Jumlah



Desa Kalibu (Rp/thn) 870 912 000 2 586 168 000 1 482 494 400 3 347 568 000 8 287 142 400



Desa Eelahaji (Rp/thn) 790 560 000 1 686 960 000 850 320 000 2 487 600 000 5 815 440 000



Nilai guna langsung yang dihasilkan pemanfaatan kayu bakar dan penangkapan biota perairan, di Desa Eelahaji sebesar Rp 8 287 142 400 per tahun lebih besar dibanding dengan Desa Eelahaji yaitu sebesar Rp 5 815 440 000 per tahun. Hasil kuantifikasi nilai tersebut sangat berbeda, hal ini di pengaruhi oleh perbedaan tutupan hutan mangrove di kedua desa tersebut. Selain itu perbedaan intensitas pengambilan kayu bakar dan perbedaan kebutuhan rumah tanggga dalam memanfaatkan kayu sebagai bahan bakar, demikian dengan penangkapan biota air. Penelitian nilai guna langsung pemanfaatan biota perairan dan kayu bakar mangrove sudah dilakukan oleh peneliti terdahulu di lokasi yang berbeda, hasil yang di dapatkan juga sangat berfariasi. Penelitian yang dilakukan oleh oleh Ulfah (2014) di Pulau Dompak dengan nilai guna biota air ikan, kepiting, udang serta penangkapan siput laut sebesar Rp 53 131 453 176 per tahun. Hal yang sama juga dilakukan oleh Kalitouw (2015) di Desa Tiwoho Kecamatan Wori Kabupaten Minahasa Utara tentang manfaat langsung hutan mangrove dengan rata-rata sebesar Rp 322 465 000 per tahun, hal ini lebih sedikit dibandingkan dengan penelitian Ulfah (2015) yang di lakukan di Pulau Dompak Kota Tanjung Pinang tentang manfaat guna langsung hutan mangrove boita perairan nilai ikan dan kepiting. Apabila dibandingkan dengan penelitian ini di Desa Eelahaji dan Desa Kalibu tidak jauh berbeda dengan apa yang dihasilkan oleh Ulfah (2015). Hal ini di sebabkan oleh perbedaan jumlah penduduk di lokasi penelitian dan intensitas pengambilan kayu bakar serta jumlah penangkapan biota perairan. Besarnya nilai manfaat biota perairan di pengaruhi oleh penutupan hutan mangrove. Hal ini di sebabkan kandungan bahan organik pada daerah dengan tingkat ketebalan mangrove rapat akan lebih besar di bandingkan dengan tingkat kerapatan mangrove sedang atau jarang (Heru, 2013). Pada perairan dengan ketebalan mangrove tinggi memiliki kelimpahan plankton dan mankrobenthos lebih tinggi di bandingkan dengan lokasi yang mangrovenya memiliki ketebalan sedang atau jarang. Hal ini dapat mendorong dan mendukung kehidupan biota pada lokasi tersebut dapat berjalan seimbang karena plakton dapat berperan sebagai produsen dalam rantai makanan.



34



Nilai Guna Tidak Langsung Hutan Mangrove Nilai guna langsung merupakan manfaat yang di peroleh masyarakat melalui suatu penggunaan secara tidak langsung terhadap sumber daya hutan yang memberikan jasa yang mendukung kehidupan mahluk hidup. Menurut Akhmad (2014) dalam Ismail (2017) menyatakan nilai guna tidak langsung adalah keseluruhan nilai produk dan jasa hutan mangrove yang harga dan nilainya di tentukan dengan shadow price. Hal ini dilakukan karena produk dan jasa mangrove tidak diperjual belikan sehingga nilainya tidak dapat di tentukan secara langsung. Nilai guna tidak langsung mangrove terdiri dari penahan abrasi, penahan intrusi air laut. Penelitian nilai guna tidak langsung dari ekosistem mangrove yang dilakukan di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji Kecamatan Kolisusu yaitu manfaat pelindungan penahan intrusi air laut dan penahan abrasi pantai. Penelitian yang dilakukan oleh Kalitouw (2015) yang di lakukan di Desa Tiwoho memiliki jenis nilai guna tidak langsung yang sama yaitu sebagai penahan abrasi pantai dan penahan intrusi air laut. Nilai guna tidak langsung pada penelitian Sofian (2003) yang dilakukan di Kawasan Blanakan di Kabupaten Sumbang terdiri beberapa jenis yaitu perlindungan dan penahan abrasi, penahan intrusi air laut, serta penyedia pakan alami bagi boita perairan. Nilai intrusi air laut Manggrove memiliki banyak manfaat selain secara langsung seperti pemanfaatan kayu bakar dan tempat biotta air. Mangrove juga mempunyai manfaat secara tidak langsung seperti mangrove dapat menahan intrusi air laut pada sumur, sehingga sumur masyarakat tidak terkontaminasi oleh air laut. Menurut Dieng et al. (2017) dalam Ismail (2017) salah satu fungsi hutan mangrove dapat menahan intrusi air laut kesumur agar sumber air tawar tetap terjaga dari pengaruh air laut. Nilai manfaat mangrove sebegai penahan abrasi dapat dilihat pada Tabel 18. Secara terperinci penghitungan nilai intrusi air laut disajikan pada Lampiran 2. Tabel 18 Nilai ekonomi mangrove sebagai penahan intrusi air laut di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji Nilai Ekonomi Intrusi Air Laut No Desa (Rp/KK/thn) (Rp/thn) 1 Kalibu 2 621 760 128 226 792 2 Eelahji 2 369 640 104 895 500 Jumlah 4 991 400 233 122 292 Hasil wawancara terhadap masyarakat di lokasi penelitian untuk kebutuhan air seperti mandi, mencuci, dan memasak berasal dari air sumur dengan manggunakan pompa air. Kebutuhan air minum biasanya mereka membeli galon, ada juga yang menggunakan air masak. Di Desa Kalibu memiliki luas wilayah 4.2 km2 dengan jumlah kepala keluarga 270. Kondisi mangrove masih relatif baik pengaruh intrusi air laut seluas 0.018 km2, rumah rumah tangga yang terdampak sebanyak 1.15 kk sehingga manfaat mangrove mengendalikan intrusi air laut di Desa Kalibu sebesar Rp 128 226 792 per tahun, sedangkan untuk di Desa Eelahaji memiliki luas wilayah 30 km2 dengan jumlah kepala keluarga 250. Luas daerah



35



yang mangalami dampak intrusi air laut sejauh 0,3 km2, dengan jumlah rumah tangga yang terdampak laut sebesar 2.5 kk, sehingga nilai mangrove mengendalikan intrusi air laut di Desa Eelahaji sebesar Rp 104 895 500 per tahun. Untuk melihat keseluruhan nilai ekonomi manfaat hutan mangrove dalam mengendalikan intrusi air laut dapat di lihat pada Lampiran 2. Heru (2013) menyatakan tingkat salinitas sumur paling sedikit terdapat di lokasi dengan tingkat kerapatan hutan mangrove sangat tinggi. Besarnya nilai manfaat intrusi air laut sangat tergantung pada luas areal terdampak, jumlah rumah tangga atau penduduk, serta jumlah pemakaian air dalam suatu rumah tangga. Jumlah rumah tangga di Desa Kalibu sebanyak 270 rumah tangga sedangkan di Desa Eelahaji adalah 250 rumah tangga. Besarnya pengendalian mangrove terhadap intrusi air laut adalah sejauh 600 meter, di Desa Kalibu sumur yang terkontaminasi air laut (payu) dengan luas 0.018 km2 sehingga, mangrove dapat menyelamatkan 268.85 KK yang terkena dampak intrusi air laut. Desa Eelahaji jarak sumur yang terkontaminasi dengan luas 0.3 km2 hanya dapat manahan intrusi air laut sebanyak 247.5 KK. Masyarakat yang sumurnya terkontaminasi dengan air laut untuk kebutuhan air minum lebih memilih membeli tangki, sedangkan air sumur mereka hanya digunakan untuk mencuci dan mandi. Hasil penelitian Sukresno dan Anwar (1999) dalam Burhanudin (2016) terhadap air sumur pada berbagai jarak dari pantai menggambarkan bahwa kondisi air pada jarak 1 km untuk wilayah Pemalang dan Jepara dengan kondisi mangrovenya yang relatif baik, masih tergolong baik, sementara pada wilayah Semarang dan Pekalongan, Jawa Tengah sudah terintrusi pada jarak 1 km. Nilai penahan abrasi Nilai guna tidak langsung yang dihitung dalam penelitian ini hanya berupa manfaat fisik yaitu penahan abrasi dan penahan intrsusi air laut. Nilai mangrove sebagai penahan abrasi pantai di lakukan dengan pendekatan yang digunakan untuk mengestimasi hutan mangrove sebagai penahan abrasi pantai adalah dengan replacement cost atau biaya pengganti. Biaya pengganti yang digunakan adalah biaya pembuatan tanggul penahan gelombang atau break water Biaya pembuatan tanggul dengan ukuran 1m x 1.5 m x 2.5 m (p x l x t) sebesar Rp 249 333 per tahun atau Rp 249 333 000/km (PT Widya Rahmat Karya 2018). Di Desa Eelahaji memiliki panjang pantai 2000 meter sedangkan panjang pantai di Desa Kalibu 1080 meter. Nilai manfaat hutan Mangrove sebagai penahan abrasi dapat dilihat pada Tabel 19. Secara terperinci penghitungan penahan abrasi disajikan pada Lampiran 2. Tabel 19 Nilai ekonomi mangrove sebagai penahan abrasi di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji Nilai Ekonomi Penahan Abrasi No Desa (Rp/km/thn) (Rp/thn) 1 Kalibu 232 781 991 251 404 550 2 Eelahji 209 503 875 419 007 750 Jumlah 442 285 866 670 412 300 Kondisi hutan mangrove di Desa Kalibu baik sehingga yang mengalami abrasi pantai sejauh 0.03 km sehingga nilai kehilangan manfaat hutan mangrove



36



sebagai penahan abrasi atau memerlukan pembuatan tanggul sebagai penahan abrasi sejauh 0.03 km sebesar Rp 7 182 990 per tahun. Hal ini berbeda dengan hutan mangrove di Desa Eelahaji yang kondisi mangrovenya sudah mulai rusak sehingga terjadi abrasi pantai sejauh 0.25 km sehingga nilai kehilangan manfaat hutan mangrove sebagai penahan abrasi atau memerlukan pembuatan tanggul sebagai penahan abrasi sejauh 0.25 km sebesar Rp 59 858 250. Nilai manfaat hutan mangrove sebagai pengendali abrasi di Desa Kalibu sebesar Rp 232 781 991/km/thn, sedangkan nilai mangrove mengendalikan abrasi di Desa Eelahaji sebesar Rp 209 503 875/km/thn. Besarnya biaya pengganti (replecment cost) pembuatan tanggul sebagai penahan abrasi tergantung panjang garis pantai yang mengalami abrasi, semakin sedikit panjang garis pantai yang mengalami abrasi maka semakin sedikit pula kehilangan manfaat dan semakin banyak nilai manfaat mangrove sebagai penahan abrasi. Penelitian yang di lakukan oleh Sofian (2003) di Kawasan Blanakan Kabupaten Subang nilai hutan mangrove sebagai penahan abrasi pantai sebesar Rp 1 165 886 400 per tahun dengan panjang pantai 2800 meter, hasil ini lebih lebih kecil dibandingkan dengan di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji. Penelitian yang dilakukan oleh Kalitouw (2015) yang di lakukan di Desa Tiwoho Kabupaten Minahasa tentang penahan abrasi sebesar Rp 1 506 088 950 per tahun dengan panjang garis pantai sejauh 658 meter. Nilai ini tergolong besar dengan panjang pantai tersebut perbedaan hasil ini di pengaruhi oleh lamanya daya tahan tanggul sebegai penahan abrasi, semakin lama daya tahan tanggul maka semakin banyak bahan yang di gunakan. Nilai Pilihan Hutan Mangrove Nilai pilihan merupakan nilai harapan masa yang akan datang terhadap komoditas yang saat ini digunakan maupun yang belum di manfaatkan. Penelitian ini, nilai yang akan digunakan adalah manfaat ekowisata hutan mangrove. Hal ini dengan melakukan wawancara terhadap masyarakat guna mengetahui kesediaan membayar untuk kelestarian hutan mangrove yang akan dijadikan sebagai tempat wisata dimasa yang akan datang. Besaran kesediaan masyarakat membayar untuk kelestatian hutan yang akan dijadikan sebagai tempat wisata dimasa yang akan datang dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Kesediaan membayar untuk kelestarian hutan mangrove agar dapat di jadikan wisata di masa yang akan datang di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji Nilai Manfaat Pilihan No Desa (Rp/KK/thn) (Rp/thn) 580 000 14 500 000 1. Kalibu 560 000 14 000 000 2. Eelahaji 28 500 000 2 375 000 Jumlah Kesediaan responden untuk membayar merupakan penawaran langsung yang ditetapkan oleh masyarakat tanpan adanya paksaaan beradasarkan pilihan yang diberikan. Nilai range kesediaan membayar yang diberikan kepada



37



masyarakat yaitu berkisar Rp 500 000–Rp 2 000 000 per tahun. Kesediaan masyarakat untuk membayar agar hutan mangerove tetap lestari agar di jadikan tempat wisata, di Desa Eelahaji sebesar Rp 1 000 000 per tahun hanya 3 orang sedangkan yang lainnya memilih Rp 500 000 per tahun yaitu sebanyak 22 orang sehingga total kesediaan membayar di Desa Eelahaji untuk kelestarian mangrove Rp 14 000 000 per tahun. Kesediaan membayar di Desa Kalibu yang memilih Rp 1 000 000 per tahun yaitu sebanyak 4 orang atau sedangkan responden yang lain memilih Rp 500 000 per tahun sehingga hasil yang didapat untuk kesediaan membayar Rp 14 500 000 per tahun. Apabila kedua desa tersebut di gabungkan maka total nilai yang diperoleh untuk membayar kelestarian mangrove agar bisa dijadikan ekowisata dimasa yang akan sebasar Rp 28 500 000 per tahun. Hutang mangrove sebagai tempat rekreasi pada penelitian Ismal (2017) di Kota Tanjungpinang sebesar Rp 343 377 000 per tahun. Penelitian hal ini berbeda dengan hasil yang di dapatkan di Desa Eelahaji dan Desa Kalibu. Perbedaan hasil di pengaruhi oleh perbedaan jumlah responden serta rentang nilai yang di berikan kepada responden untuk menentukan nilai kesediaan membayar. Kesediaan masyarakat di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji untuk membayar di pengaruhi oleh adanya tingkat kepentingan yang berbeda serta tingkat pendidikan serta pekerjaan responden. Masyarakat yang ada di sekitar mangrove memiliki pandangan apabila hutan mangrove di lokasi penelitian dijadikan sebagai tempat ekowisata maka dapat membantu tingkat perekonomian masyarakat lokal seperti masyarakat dapat membuat warung makan, dapat menyewakan jasa perahu kepada wisatawan asing maupun lokal, apabila hutan mangrove tersebut dapat dijadikan tempat wisata dimasa yang akan datang. Nilai Ekonomi Total Manfaat Hutan Mangrove Kuantifikasi ekonomi ekosistem mangrove di lakukan dengan tehnik penilaian terpilih berdasarkan kriteria yang sesuai dengan indikator penilaian. Nilai total ekonomi sumber daya hutan mangrove adalah penjumlahan dari seluruh kompenen nilai seperti, nilai manfaat langsung, nilai manfaat tidak langsung, nilai pilihan dan nilai keberadaan. Hasil penelitian manfaat hutan mangrove yang dilakukan di Desa Kalibu dan Desa Eeleahji Kecamatan Kolisusu berupa manfaat langsung seperti manfaat kayu bakar, ikan, udang dan kepiting), manfaat tidak langsung (penahan intrusi air laut), manfaat pilihan dan manfaat keberadaan. Nilai masing-masing manfaat hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji sangat berbeda antara nilai yang satu dengan yang lain. Manfaat langsung yang selama ini diperoleh masyarakat merupakan sebagian dari keseluruhan manfaat hutan mangrove tetapi masih ada manfaat mangrove yang lain seperti manfaat tidak langsung, manfaat pilihan dan manfaat keberadaan hutan mangrove. Hal ini menunjukkan ekosistem mangrove tidak salamanya memberikan keuntungan ekonomi, tetapi memiliki fungsi ekologis. Kuantifikasi seluruh manfaat yang ada akan di kuantifikasi manfaat hutan mangrove secara keseluruhan yang dilihat pada Tabel 21.



38



Tabel 21 Nilai ekonomi total manfaat hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji No 1 2 3



Kategoi manfaat Nilai guna langsung Nilai guna tidak langsung Nilai pilihan Nilai Ekonomi Total



Desa Kalibu Nilai manfaat (Rp/thn)



8 287 142 400 379 631 342 14 000 000 8 680 773 742



Desa Eelahaji Nilai manfaat (Rp/thn)



5 815 440 000 314 399 375 14 500 000 6 144 339 375



Tabel 21 menunjukkan bahwa nilai guna langsung di Desa Kalibu lebih besar di bandingkan dengan di Desa Eelahaji hal ini dipengaruhi oleh perbedaan kondisi hutan di kedua desa tersebut. Hal yang sama dengan nilai guna tidak langsung hutan mangrove di Desa Kalibu memberi manfaat yang cukup besar di bandingkan dengan Desa Eelahaji. Perbedaan nilai guna tidak langsung di pengaruhi oleh luas wilayah desa, jumlah penduduk, dan luas wilayah terdampak. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai ekonomi hutan mangrove yang paling besar adalah nilai guna tidak langsung. Hal ini sejalan dengan penyataan Kraus at al. (2008) dalam Wardhani (2011) bahwa manfaat hutan mangrove selain meningkatkan hasil tangkapan biota perairan dan perolehan kayu bakau, hutan mangrove dapat menyediakan jasa lingkungan seperti perlindungan pantai dari badai dan erosi. Keberadaan hutan mangrove di lokasi penelitian sudah mulai rusak hal ini di pengaruhi oleh tekanan pembangunan dan aktifitas manusia lainnya yang mengancam keberadaan hutan mangrove. Keberadaan hutan mangrove di lokasi penelitian harus tetap di pertahankan karena merupakan ciri utama di palau ini, olehnya itu mangrove ini penting menjadi suatu kesatuan di lokasi penelitian tersebut. Namun ada beberapa hal yang mempengaruhi kelestarian hutan mangrove tersebut, yang berdampak pada menurunnya kualitas sumberdaya alam dan lingkungan. Oleh karena itu sebagai ciri khas lokasi penelitian ini hutan mangrove perlu dilindungi dan di perhatikan keberadaanya agar tetap terjaga dan lestari. Nilai keberadaan tidak dilakukan di desa Kalibu dan Desa Eelahaji, hal ini disebabkan belum ditemukannya data yang valid dan tingkat pengetahuan masyarakat tentang manfaat keberadaan hutan mangrove masih rendah. Hasil penelitian nilai keberadaan mangrove yang di lakukan oleh Simanjutak (2014) di Kawasan Delka Mahakam sebesar Rp 13 305 625 000 per tahun. Hasil perhitungan kuantifikasi nilai mangrove kontribusi yang besar di hasilkan pada nilai manfaat langsung (nilai biota air). Hasil wawancara yang dilakukan masyarakat di lokasi penelitian hasil yang di peroleh pada manfaat langsung ini sudah mulai menurun di bandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hasil kuantifikasi nilai ekonomi ekosistem hutan mangrove di Desa Kalibu sebesar Rp 8 680 773 742 per tahun sedangkan di Desa Eelahaji sebesar Rp 6 144 339 375 per tahun. Hasil peneltian di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji lebih kecil jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Ahmad (2012) di Kabupaten Kubu Raya, dengan total luas hutan mangrove 102.017 menghasilkan nilai ekonomi sebesar Rp 400 018 397 288 per tahun. Hasil penelitian di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji tergolong lebih besar apabila di bandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Devitha (2015) di Desa Hulu Kabupaten Minahasa dengan total luas hutan mangrove 200 ha dapat memberikan nilai ekonomi sebesar Rp 3



39



121 457 640 per tahun. Penelitian yang di lakukan Suharti (2016) yang dilakukan di Sinjai Timur Selawesi Selatan dengan luas mangrove sebesar 785 ha, nilai total mangrove sebesar Rp 7 535 809 496 per tahun hasil ini tergolong sedikit di bandingkan nilai mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji. Selain beberapa manfaat diatas hutan mangrove juga berfungsi sebagai penyimpan karbon seperti yang dilakukan oleh Gewana (2017) yang dilakukan di Filipina dengan nilai total ekonomi sebesar USD 2 962 per tahun Hasil penelitian yang memberikan nilai yang sangat beranekaragam. Perbedaan hasil penelitian yang dihasilkan dipengaruhi oleh, perbedaan luas kajian dan jumlah variabel yang digunakan. Harga komoditas yang dihasilkan di daerah mangrove seperti biota laut dan kayu bakar memiliki nilai yang berbeda antara lokasi penelitian yang satu dengan tempat yang lain, hal ini di pengaruhi oleh jumlah penduduk di lokasi penelitian sehingga tingkat kebutuhan kayu bakar sangat tinggi, sedangkan besarnya penangkapan biota perairan (ikan, udang dan kepiting) di pengaruhi oleh kondisi hutan mangrove di lokasi penelitian. Menurut De Grot et al (2002) dalam Ismail (2017) bahwa metode perhitungan yang dipakai antar lokasi untuk beberapa nilai manfaat sama tetapi ada juga pendekatan yang berbeda untuk memperoleh nilai tertentu.



5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Mayoritas masyarakat memiliki persepsi yang tinggi terhadap manfaat dan pengelolaan hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji. Penyebab kerusakan hutan mangrove menurut persepsi masyarakat yang paling berpengeruh adalah pengambilan kayu bakar sebagai kebutuhan rumah tangga dan kepentingan ekonomi rumah tangga. Struktur vegetasi hutan mangrove di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji untuk kategori pohon tidak mempunyai perbedaan yang signifikan, kecuali untuk kategori tiang, sapihan dan semai di Desa Kalibu relatif lebih baik di bandingkan dengan di Desa Eelahaji. Nilai ekonomi total hutan mangrove di Desa Kalibu yang kondisi mangrovenya baik memiliki nilai yang lebih besar yaitu Rp 8 680 773 742 per tahun dibandingkan nilai ekonomi total di Desa Eelahaji yang kondisi mangrovenya kurang baik yaitu sebesar Rp 6 144 339 375 per tahun. Saran Dinas Kehutanan atau Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL Peropaea Gantara) perlu mengadakan penyuluhan kepada masyarakat agar masyarakat tidak terus menerus memanfaatkan kayu mangrove sebagai kayu bakar. Oleh karena itu pemerintah harus tegas dalam melakukan pengelolaan dan perlindungan hutan mangrove apalagi mangrove termasuk dalam kawasan hutan lindung.



40



Pemerintah harus melakukan penyuluhan kepada masyarakat agar melakukan penanaman jenis pohon yang mempunyai biomasa tinggi untuk kayu bakar sebagai pengganti kayu mangrove seperti jenis kaliandra.



DAFTAR PUSTAKA Abdul SG. 2006. Keanekaragaman fauna ikan di perairan mangrove Sungai Mahakam Kalimantan Timur. Jurnal Oseanologi dan Limnoligi LIPI. 40:39-53 Ahmad FS. 2012. Valusi ekonomi dan analisis strategi konservasi hutan mangrove di Kabuten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Alfian M. 2004. Valuasi ekonomi konservasi hutan mangrove untuk budidaya tambak di Kecamatan Tinanggea Sulawesi Tenggara [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Baharudin II. 2016. Persepsi dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat di Kecamatan Suppa Kebupaten Pinrang. Jurnal Scientific Pinisi. 2(1):1-7 Bahruni. 2008. Pendekatan sistem dalam pendugaan nilai ekonomi total ekosistem hutan: Studi kasus hutan alam produksi bekas tebangan. [Disertasi]. Bogor. ID: Institut Pertanian Bogor. Burhanudin. 2016. Kajian kondisi, potensi dan pengembangan hutan mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai. Wahana Inovasi 5(2):483-490. Das S. 2017. Ecological restoration and livehilood: contribution of planted mangroves a nursery and habitat for artisanal and comercial fishery. Word Development. 94:492-502 Desmantoro, Wijayanto N, Sundawati L. 2016. Kelayakan program hutan desa di Desa Tanjung Aur II Kecamatan Pino Raya Kabupaten Bengkulu Selatan. Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan. 13(2):85-106 Devitha WK. 2015. Potensi ekonomi ekosistem hutan mangrove di Desa Kulu Kecamatan Wori Kabupaten Minahasa Utara. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Ekawati S, Halawane JE, Iwanudin, Irawan A. 2017. Analisis persepsi dan perilaku masyarakat terhadap keberadaan kawasan KPHP Poigar. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan 14(1): 71-82 Fadhila H, Saputra SW, Wijayanto D. 2015. Nilai manfaat ekosistem mangrove di Desa Kartika Jaya Kecamatan Patebon Kabupaten Kendal Jawa Tengah.Diponegoro Journal Of Maquares[Internet]. [diunduh 2016 Apr 3]; 4(3):180-187. Tersedia pada: http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/maquares. Gevaña DT, Camacho LD, Camacho SC. 2017. Stand density management and blue carbon stock of monospecic mangrove plantation in Bohol, Philippines-Forestry Studies. Metsanduslikud Uurimused. 66:7–83. Giri C, Long J, Abbas S, Murali RM. 2014. Distribution and dynamics of mangrove forests of south asia. Elsevier: Journal of Enviromental Management. 12:1–11



41



Gumilar I. 2012.Partisipasi masyarakat pesisir dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove berkelanjutan di Kabupaten Indramayu.Jurnal Akuatika. III(2):198-211 Handono N, Tanjung RHR, Zebua LI. 2014. Struktur vegetasi dan nilai ekonomi hutan mangrove Teluk Youtefa, Kota Jayapura, Papua.Jurnal Biologi Papua. 6(1):1-11. Harahab N, Riniwati H, Mahmudi M, Sambah AB. 2009. Analisis ekonomiekologi sumberdaya hutan mangrove sebagai dasar perencanaan wilayah pesisir [Internet]. Malang (ID): Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan FPIK UB. hlm. 1-9; [diunduh 2016 Mar 25]. Tersedia pada: http://lppm.ub.ac.id/wp-content/uploads/2012/03/Nuddin-Harahap.pdf. Hartini, S., Guridno Bintar Saputro, M. Yulianto, Suprajaka. 2010. Assessing the used of remotely sensed data for mapping mangroves Indonesia. Selected topics in power systems and remote sensing.In 6th wseas International conference on remote sensing (remote ’10), Iwate Prefectural University, Japan.October 4-6, 2010; pp. 210-215. Heru S. 2013. Status ekologi hutan mangrove pada berbagai tingkat ketebalan. Jurnal penelitian kehutanan Wallaceae. 2.104-120. Hidayatullah M, Pujiono E. 2014. Struktur dan komposisi jenis hutan mangrove di Golo Sepang Kecamatan Boleng Kabupaten Manggarai Barat.Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea. 3(2):151-162. Indriyanto, 2006.Ekologi Hutan. Cetakan Pertama. Penerbit PT Bumi Aksara. Jakarta Ismail A. 2017. Penilaian ekonomi hutan mangrove di Kota Tanjungpinang Privinsi Kepulauan Riau. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Kalituw WD. 2015. Valuasi ekonomi hutan mangrove di Desa Tiwoho Kecamatan Wori Kabuoaten Minahasa Utara. [Skripsi]. Manado. Universitas Sam Ratulangi Khaery A. 2015. Strategi pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Passare Kecamatan Lantari Jaya Kabupaten Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kramer RA, Sharma N, Munasinghe M. 1995. Valuing tropical forests.World Bank Environment.13:1-80. Kusmana C. 2007. Konsep pengelolaan mangrove yang rasional. Di dalam: “Kegiatan sosialisasi bimbingan teknis dan pemantauan pelaksanaan rehabilitasi mangrove, di Makassar, 13 Juni 2007.” [Internet]. Bogor (ID): Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB. hlm. 1-4; [diunduh 2016 Mar 1]. Tersedia pada: http://cecep_kusmana.staff.ipb.ac.id/files/2011/01/2010paper-konsep-pengelolaan-mangrove-yang- rasional.pdf. Kusmana C. 2003. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor: IPB Press. Maedar F. 2008. Analisisekonomi pengelolaan mangrove di Kecamatan Merawang Kabupaten Bangka.[Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Mangkay S, Harahab N, Polii B, Soemarno. 2012. Analisis strategi pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan di Kecamatan Tatapaan, Minahasa Selatan, Indonesia. J-PAL. 3(1):8-18.



42



Masria, Golar, & Ihsan, M. (2015). Persepsi dan sikap masyarakat lokal terhadap hutan di Desa Labuan Toposo Kecamatan Kabuan Kabupaten Donggala. Warta Rimba, 3(2), 57–64. Motoku AB, Umar S,Toknok B. 2014. Nilai manfaat hutan mangrove di Desa Sausu PeoreKecamatan Sausu Kabupaten Parigi Moutong.Warta Rimba.2(2):92-101. Mulyadi E, Fitriani N. 2010. Konservasi hutan mangrove sebagai ekowisata.Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan. 2(1):11-18. Nanholy H, Bambang AN, Ambaryanto, Hatubarat S. 2014.Analisis persepsi masyarakat terhadap pengelolaan kawasan mangrove teluk Katania.Jurnal Wilayah dan Lingkungan. 2(1):89-98 Nuddin H. 2009. Pengaruh ekosistem hutan mangrove terhadap produksi perikanan tangkap (Studi kasus di Kabupaten Pasuruan Jawa Timur). Jurnal perikanan. XI:100-106. Nunes PALD, Bergh JCJM. 2001. Economic valuation of biodiversity: sense or nonsense?Ecological Economics.39(2001):203-222. doi: 10.1016/S09218009(01)00233-6. Picaulima SM, Huliselan NV, Sahetapy D, Abrahamsz D. 2011. Pengelolaan ekosistem mangrove berbasis ekonomi sumberdaya dan lingkungan di Negeri Rutong Kota Ambon.Jurnal Ichthyos.10(1):49-56 Praset iyo DE, Zulfikar F, Shinta, Zulkarnain I. 2016. Valuasi ekonomi hutan mangrove di Pulau Untung Jawa Kepulauan Seribu (Studi Konservasi Berbasis Green Economy). Jurnal Omni-Akuatika 12(1): 48 - 54 Putra AT. 2015. Analisa potensi tegakan hasil inventarisasi hutan di KPHP Model Berau Barat. Jurnal AGRIFOR. XIV (2) Saprudin, Halidah. 2012. Potensi nilai manfaat jasa lingkungan hutan mangrove di Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan. Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 7(3):2013-2014. Satria A, Elhaq IH. Persepsi pesanggem mengenai hutan mangrove dan partisipasi pesanggem dalam pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang parit. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia. 05(01): 97-103 Setyawan, A. D. Winarno K. 2006. Pemanfaatan langsung ekosistem mangrove di Jawa Tengah dan penggunaan lahan di sekitarnya (kerusakan dan upaya restorasinya). Jurnnal Biodiversitas. 7 (3):282-291. Simajuntak SMH, Yuyun W, Putri EIK. 2014. Valuasi total ekonomi hutan mangrove di kawasan Deltamahakam Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea. 3(1):1-12 Sobari MP. Andrianto L. Azis N. 2006. Analisis ekonomi alternatif pengelolaan ekosistem mangrove Kecamatan Barru, Kabupaten Barru. Buletin Ekonomi Perikanan VI(3):1-22 Soerianegara I, Indrawan A. 1988.Ekologi hutan Indonesia.Laboratorium ekologi hutan, Fakultas kehutanan.Institut Pertanian Bogor. Bogor Sofian A. 2003.Valuasi ekonomi pemanfaatan hutan mangrove di kawasan Blanakan Kabupaten Subang, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sri. R. 2003. Kompisisi dan kelimpahan ikan ekosistem mangrove Kadungmalang, Jepara. Jurnal Ilmu Kelautan. 18:54-60



43



Suharti S, Darusman D, Nugroho B, Sundawati L. 2016. Economic valuation as a basis for sustainable mangrove resource management a case in East Sinjai, South Sulawesi. JMHT 22(1): 13-23. doi:10.7226/jtfm.22.1.13 Suharti S, Darusman D. Nugroho B. Sundawati L. 2016. Institution and change on community access right in mangrove forest management in East Sinjai, South Sulawesi. Jurnal Sosiologi Pedesaan. 165:175. Suwarno, Tumisem. 2008. Degradasi hutan bakau akibat pengambilan kayu bakar oleh industri kecil gula kelapa di Cilacap. Forum Geografi 22(2):159-168 Suzana B.O.L, Timban J, Kaunang R, Ahmad F. 2011. Valuasi ekonomi sumberdaya hutan mangrove di Desa Palaes Kecamatan Likupang Barat Kabupaten Minahasa Utara.ASE. 7(2):29-38. Turner RK. 2016. Ecological economics and ecosistem services. In Potschin M, Haines-Young R, Fish R, Turner RK. Routledge handbook of ecosystem services. London and New York. Hal 243-253. Ulfah. F, Zen LW. Valuasi ekonomi ekosistem hutan mangrove di Pulau Dompak Kota Tanjungpinang Provinsi Kepulauan Riau. Dinamika Maritim IV(1):4552 Umar. (2009). Persepsi dan perilaku masyarakat dalam pelestarian fungsi hutan sebagai daerah resapan air (Studi kasus Hutan Penggaron Kabupaten Semarang). [Tesis]. Semarang: Universitas Diponegoro Umar, H. 2005. Riset sumber daya manusia dalam organisasi. Pustaka Utama, Jakarta. PT Gramedia. Utami AR. Persepsi masyarakat dan stekholder terhadap pengelolaan hutan desa di Desa Sadewata Ciamis Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Wahidin LD, Ola OL, Yusuf S. 2013. Valuasi ekonomi tegakan pohon mangrove (Soneratia alba) di Teluk Kendari, Kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara. Jurnal Mina Laut Indonesia.2(6). Wardhani MK. 2011. Kawasan hutan mangrove; suatu potensi ekowisata. Jurnal Kelautan. 4(1):60-76 Wibowo. 2009. Motivasi dan partisipasi masyarakat desa buluh cina dalam upaya melestarikan hutan Adat Buluh Cina Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Jurnal Lingkungan Hidup.1(2). Wulandari, C. (2010). Studi persepsi masyarakat tentang pengelolaan lanskap agroforestri di sekitar Sub DAS Way Besai, Provinsi Lampung. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. 15(3):137–140. Zainal S, Khadapi M, Herdiansyah G. 2015. Persepsi masyarakat Desa Sungai Awan Kanan terhadap keberadaan hutan mangrove di Kawasan Pantai Air Mata Permai Kabupaten Ketapang. Jurnal Hutan Lestari. 3(1):108 – 116



44



Lampiran 1 Penghitungan Nilai Guna Langsung 1. Nilai kayu bakar Tabel 22



Nilai ekonomi pemanfaatan kayu bakar di Desa Kalibu dan Desa Eelahaji Nilai Ekonomi No Desa (Rp/KK/thn) (Rp/thn) 1 Kalibu 3 225 600 870 912 000 3 162 240 790 560 000 2 Eelahaji Jumlah 6 387 240 1 661 472 000



Nilai mangrove pemanfaatan kayu bakar di Desa Kalibu per orang per tahun dapat dapat di hitung: Jumah pengambilan kayu bakar dari 25 responden sebesar 16 128 ikat per tahun Nilai kayu mangrove Nilai kayu bakar (Rp/KK/tahun) = Jumlah responden 80 640 000 Nilai kayu mangrove (Rp/KK/tahun) = 25 = Rp 3 225 600/kk/thn Nilai mangrove (Rp/tahun/desa)



= Rp 3 225 600 x 270 = Rp 870 912 000/thn



Nilai mangrove pemanfaatan kayu bakar di Desa Eelahaji per orang per tahun dapat dapat di hitung: Jumlah pengambilan kayu bakar dari 25 responden sebesar 15 811.2 ikat per tahun Nilai kayu mangrove Nilai kayu bakar (Rp/KK/tahun) = Jumlah responden 79 056 000 Nilai kayu mangrove (Rp/KK/tahun) = 25 = Rp 3 162 240/kk/thn Nilai kayu mangrove (Rp/tahun/Desa)



= Rp 3 162 240 x 250 = Rp 790 560 000/thn



45



2. Nilai Udang Tabel 23 Nilai ekonomi pemanfaatan udang di lokasi penelitisn Desa Kalibu dan Desa Eelahaji Nilai Ekonomi No Desa (Rp/KK/thn) (Rp/thn) 5 490 720 1 482 494 400 1 Kalibu 3 401 280 850 320 000 2 Eelahaji 8 892 000 2 332 814 000 Jumlah Nilai mangrove pemanfaatan udang di Desa Kalibu per orang per tahun dapat dapat di hitung: Jumlah penangkapan udang dari 25 responden sebesar 2745.36 kg/tahun Nilai Udang Nilai pemanfaatan udang (Rp/KK/tahun) = Jumlah responden 137 268 000 Nilai pemanfaatan udang (Rp/KK/tahun) = 25 = Rp 5 490 720/KK/thn Nilai pemanfaatan udang (Rp/tahun/desa)



= Rp 5 490 720 x 270 = Rp 1 482 494 400/thn



Nilai mangrove pemanfaatan udang di Desa Eelahaji per orang per tahun dapat dapat di hitung: Jumlah penangkapan udang dari 25 responden sebesar 1700.64 kg/tahun Nilai Udang Nilai pemanfaatan udang (Rp/KK/tahun) = Jumlah responden 85 032 000 Nilai pemanfaatan udang (Rp/KK/tahun) = 25 = Rp 3 401 280/KK/thn Nilai pemanfaatan udang (Rp/tahun)



= Rp 3 401 280 x 250 = Rp 850 320 000/thn



46



3. Nilai Kepiting Tabel 24 Nilai ekonomi pemanfaatan kepiting di lokasi penelitian Desa Kalibu dan Desa Eelahaji Nilai Ekonomi No Desa (Rp/KK/thn) (Rp/tahun) 1 Kalibu 12 398 400 3 347 568 000 9 950 400 2 487 600 000 2 Eelahaji Jumlah 22 348 800 5 835 168 000 Nilai mangrove pemanfaatan kepiting di Desa Kalibu per orang per tahun dapat dapat di hitung: Jumlah penangkapan kepiting dari 25 responden sebesar 3441 kg/tahun Nilai kepiting Nilai pemanfaatan kepiting (Rp/KK/tahun) = Jumlah responden 309 960 000 Nilai pemanfaatan kepiting (Rp/KK/tahun) = 25 = Rp 12 398 400/KK/thn Nilai pemanfaatan kepiting (Rp/tahun)



= Rp 12 398 400 x 270 = Rp 3 347 568 000/thn



Nilai mangrove pemanfaatan kepiting di Desa Eelahaji per orang per tahun dapat dapat di hitung: Jumlah penangkapan kepiting dari 25 responden sebesar 2764 kg/tahun Nilai kepiting Nilai pemanfaatan kepiting (Rp/KK/tahun) = Jumlah responden 248 760 000 25 = Rp 9 950 400/KK/thn



Nilai pemanfaatan kepiting (Rp/KK/tahun)



=



Nilai pemanfaatan kepiting (Rp/tahun)



= Rp 9 950 400 x 250 = Rp 2 487 600 000/thn



47



4. Nilai Ikan Tabel 25 Nilai ekonomi pemanfaatan ikan di Kecamatan Kolisusu Desa Kalibu dan Desa Eelahaji Nilai Ekonomi No Desa Rp/KK/tahun Rp/thn 1 Kalibu 9578 400 2 586 168 000 1 686 960 000 2 Eelahaji 6 747 840 Jumlah 16 326 240 4 273 128 000 Nilai mangrove pemanfaatan ikan di Desa Kalibu per orang per tahun dapat dapat di hitung: Jumlah penangkapan ikan dari 25 responden sebesar 6841.71 kg/tahun Nilai Ikan Nilai pemanfaatan ikan (Rp/KK/tahun) = Jumlah responden 239 460 000 Nilai pemanfaatan ikan (Rp/KK/tahun) = 25 = Rp 9 578 400/KK/thn Nilai pemanfaatan ikan (Rp/tahun/desa)



= Rp 9 578 400 x 270 = Rp 2 586 168 000/thn



Nilai mangrove pemanfaatan ikan di Desa Eelahaji per orang per tahun dapat dapat di hitung: Jumlah penangkapan ikan dari 25 responden sebesar 4819.88 kg/tahun Nilai ikan Nilai pemanfaatan ikan (Rp/KK/tahun) = Jumlah responden 168 696 000 Nilai pemanfaatan ikan (Rp/KK/tahun) = 25 = Rp 6 747 840/KK/thn Nilai pemanfaatan ikan (Rp/tahun)



= Rp 6 747 840 x 250 = Rp 1686 960 000/thn



48



Lampiran 2 Penghitungan Nilai Guna Tidak Langsung 1.



Nilai mangrove penahan abrasi



Desa Kalibu Nilai Penahan Abrasi Nilai Tanggul (m/thn) 239 433



Niai Tanggul (Rp/km) 239 433 000



DM (TA) Panjang Pantai (km) 1.08



Mangrove (TA) (Rp/km) 239 433 000



Nilai DM (TA) 258 587 640



TM (DA) Panjang Abrasi (m) 30



Biaya Tanggul (m) 239 433



Nilai TM (DA) 7 182 990



Nilai Mangrove Pengendali Abrasi Nilai DM (TA) Nilai TM (DA) 258 587 640 7 182 990



Nilai Total Mangrove 251 404 641



Keterangan: DM = Dengan Mangrove TA= Tanpa Abrasi, TM = Tanpa Mangrove DA= Dengan Abrasi



Biaya pembuatan tanggul dengan daya tahan 10 tahun = Rp 2 394 330 Jadi manfaat pembuatan tanggul per tahun = Rp 239 433/thn Nilai DM (TA) per km = Biaya tanggul/tahun x 1000 m = Rp 239 433/thn x 1000 m = Rp 239 433 000/km/thn Nilai DM (TA) = Mangrove TA/km x Panjang garis pantai = Rp 239 433 000 x 1.08 km = Rp 258 587 640/km Nilai TM (DA) per km = Mangrove TA x Panjang Abrasi = Rp 239 433 000 x 0.03 km = Rp 7 182 990/km Nilai total penahan abrasi = Nilai DM (TA) – Nilai TM (DA) = Rp 258 587 640/km – Rp 7 182 990/km Nilai penahan abrasi 1.08 km = Rp 251 404 550 Nilai penahan abrasi per km = Rp 232 781 991/km Desa Eelahaji Nilai Penahan Abrasi Nilai Tanggul (Rp/m) 239 433



Niai Tanggul (Rp/km) 239 433 000



49



DM (TA) Panjang Pantai (km) 2 TM (DA) Panjang Abrasi (m) 250



Mangrove (TA) (Rp) 239 433 000



Nilai DM (TA) (Rp) 478 866 000



Biaya Tanggul (m) 239 433



Nilai TM (DA) 5 985 825



Nilai Mangrove Pengendali Abrasi Nilai DM (TA) Nilai TM (DA) 4 788 660 000 598 582 500



Nilai Total Mangrove 4 190 077 500



Keterangan: DM = Dengan Mangrove TA= Tanpa Abrasi, TM = Tanpa Mangrove DA= Dengan Abrasi



Nilai DM (TA) per km



= Biaya Tanggul/m x 1000 m = Rp 239 433 x 1000 = Rp 239 433 000/km Nilai DM (TA) 2 km = Mangrove TA/km x Panjang garis pantai = Rp 239 433 000 x 2 = Rp 478 866 000 Nilai TM (DA) = Mangrove TA/km x Panjang Abrasi = Rp. 239 433 000 x 0.25 km = Rp 59 858 250 Jadi nilai TM (DA) dengan panjang panjang pantai 2 km = Rp 59 858 250 Nilai total penahan abrasi 2 km = Nilai DM (TA) – Nilai TM (DA) = Rp 478 866 000 – Rp 59 858 250 = Rp 419 007 750 Nilai total penahan abrasi per km = Rp 419 007 750/2 = Rp 209 503 875/km 2.



Nilai mangrove penahan intrusi air laut



Desa Kalibu Luas Desa Luas Daerah terdampak Jumlah rumah terdampak Nilai DM (TI) Nilai TM (DI)



Nilai TM (DI) per tahun Nilai TM (DI) (kk/thn) Nilai Total Intrusi



= 4.2 km2 = 0.18 km2 = (0.018 km2/4.2 km2) x 270 = 1.15 = Rp 12 204 000/thn = Rp 488 160/kk/thn = Jumlah pemakaian air x harga/tangki = 117.80 tangki/bln x 55 000 = Rp 6 479 000/bln = Rp 77 748 000/thn = Rp 3 109 920/kk/thn = Rp 77 748 000/thn – Rp 12 204 000/thn = Rp 65 544 000/thn



50



Nilai total peng.intrusi/kk/thn Nilai penahan intrusi air laut



Desa Eelahaji Luas Desa Jumlah RT Desa Lebar Daerah terdampak Panjang Daerah Dampak Luas daerah dampak Jumlah RT Dampak Nilai DM (TI) Nilai TM (DI) per bulan



Nilai TM (DI) per tahun Nilai TM (DI) (kk/thn) Nilai Total Intrusi Nilai total peng.intrusi/kk/thn Nilai penahan intrusi air laut



= Rp 2 621 760/kk/thn = (488 160 x 270) – (3 109.920 x 1.15) = Rp 131 803 200 – 3 576 408 = Rp 128 226 792/thn = 30 km2 = 250 = 1.2 km = 0.25 km = 0.3 km2 = (0.3 km2/30 km2) x 250 = 2.5 RT = Rp 12 204 000/thn = Rp 488 160/kk/thn = Jumlah pemakaian air x harga/tangki = 108.25 tangki/bln x 55 000 = Rp 5 953 750/bln = Rp 71 45 000/thn = Rp 2 857 800/kk/thn = Rp 71.445.000/thn – Rp 12.204.000/thn = Rp 59 241 000/thn = Rp 2 369 640/kk/thn = (Rp 488 160 x 250) – (Rp2 857 800 x 2.5) = Rp 112 040 000 – Rp 7 144 500 = Rp 104 895 500/thn



51



Dokumentasi Penelitian



Pengukuran vegetasi mangrove di Desa Eelahaji



Pengukuran vegetasi mangrove di Desa Eelahaji



Pengukuran vegetasi mangrove di Desa Kalibu



52



Pengukuran vegetasi mangrove di Desa Kalibu



Wawancara terhadap masyarakat tentang hasil tangkapan biota air



Wawancara terhadap toko masyarakat



Wawancana Kepala Desa Eelahaji



Wawancara Kepala Desa Kalibu



53



RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Wamelai Kabupaten Muna Barat pada tanggal 17 Oktober 1988 dan merupakan anak pertama dari 5 bersaudara dari pasangan La Ndimaka dan Ibu Wa Ndolawa. Pendidikan Sekolah Dasar (SD) ditempuh di SDN 9 Kabawo. Pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) ditempuh di SMPN 1 Kabawo. Pendidikan Sekolah Menengah Atas ditempuh di SMAN 1 Kabawo. Pada tahun 2007 melanjutkan pendidikan di Universitas Halu Oleo Kendari dan lulus tahun 2013. Pada tahun 2013 penulis diterima sebagai karyawan honorer di Kementerian Pekerjaan Umum di Sulawesi Tenggara. Pada tahun 2014 Penulis bekerja di KPHP Dolago Tanggunung Sulawesi Tengah sebagai tenaga Bakti Rimbawan Kementerian Lingkungan Hudip dan Kehutanan Republik Indonesia. Pada tahun 2015 penulis diterima di Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan pada Pascasarjana IPB dan lulus pada tahun 2018.