14 0 279 KB
WALI PITU BALI, FAKTA DAN REKAYASA IMPERIALISME PARIWISATA BERJUBAH RELIGI (Buletin ASOSIASI MAHASISWA KRAMA MUSLIM BALI‐ Malang 2013) Dalam segala hal dan bentuk, apapun yang ada di Bali dikemas sebagai daya tarik wisata. Kebudayaan, adat, kondisi alam tropis, pantai dengan pasir putihnya, bahkan Agama pun dijual demi pariwisata. Semuanya dijual, demi uang, tanpa menghiraukan dampaknya. Wisatawan sudah terbiasa menyaksikan atraksi tarian‐tarian, yang mudah sekali ditemukan di berbagai tempat. Atau juga biasa dengan tawaran berbagai perjalanan menuju berbagai Pura, terutama dengan tujuan Pura Besakih, tempat suci Umat Hindu terbesar di Bali. Dan mungkin, tak terbiasa bagi wisatawan untuk mengunjungi wisata religi umat Muslim Bali bernama Ziarah Wali Pitu (7).
Buku mengenai wali pitu yang pertama terbit. Karya Drs. Husnu Mufidi, M.Pi.
Pada umumnya, Bali selalu tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan yang bercirikan Hindu. Seolah bicara Bali, ya bicara agama Hindu. Tak jamak orang tahu bahwa di Bali juga ada umat muslim yang tersebar di seluruh pulau Bali. Bukti telah berkembangnya Islam sejak lama di Bali, dengan adanya berbagai makam Islam, yang kemudian di keramatkan. Ziarah Wali Pitu diperkenalkan ke publik pada awal abad ke XXI, diatas tahun 2000. Banyak para peziarah dari Jawa. Tak tanggung‐tanggung, di berbagai kota di Jawa, terutama Jawa Timur, Ziarah Wali Pitu ke Bali dijadikan promosi andalan utama oleh berbagai Biro perjalanan wisata. Sehinnga di Jawa, keberadaan Wali Pitu di Bali sudah tidak asing lagi. Anehnya, keberadaan Wali Pitu sangat asing bagi umat Muslim Bali. Umat Muslim di Bali baru mengetahui ada Wali Pitu setelah banyaknya gelombang peziarah dari Jawa, yang selalu memadati makam‐makam keramat yang masuk daftar Wali Pitu tersebut. Muncul berbagai pertanyaan, kenapa umat Muslim sendiri yang berada di Bali tidak mengetahui Wali Pitu? Kapan sebenarnya istilah Wali Pitu muncul? Apakah hanya 7 makam keramat yang ada di Bali? Berikut ini beberapa analisa sederhana Penulis; Pertama, Wali Pitu di Bali tidak kemudian bisa disamakan dengan keberadaan Wali Sangha di Jawa. Wali Sangha di Jawa keberadaannya sangat terasa bagi umat Muslim di seluruh Jawa, bahkan
umat Islam Nusantara. Genealogi penyebaran Islam di Jawa, pastinya berawal dari para Wali Sangha. Sedangkan di Bali, keberadaan Wali Pitu justru tidak terasa. Ini artinya, Wali Pitu belum tentu menyebarkan Agama Islam layaknya Wali Sangha di tanah Jawa. Kedua, pengertian Wali Sanga bukan hanya jumlah Wali yang berjumlah Sembilan. Tapi Wali Sangha merupakan Dewan para Ulama kala itu, yang mempunyai otoritas dalam penyebaran Agama Islam. Wali=Kumpulan, Sangha=Orang Suci/Mulia. Wali Sangha semacam lembaga tertinggi umat Islam di tanah Jawa. Sedangkan Wali Pitu bukanlah suatu lembaga atau Dewan kumpulan para Wali/orang suci umat Muslim di Bali. Seandainya dilacak sejarah penyebaran Islam di Bali, tak akan pernah satupun menemukan istilah Wali Pitu. Ketiga, para Wali Pitu yang dimaksud, tidak memiliki latar sejarah yang jelas, apalagi keterlibatan dalam proses penyebaran Islam di Bali. Makam Wali tersebut dikunjungi bukan karena apa yang telah dilakukan di Bali, justru karena adanya cerita‐cerita mistis di makam, yang kemudian dianggap sebagai makam atau tempat keramat. (kecuali Habib Ali Bin Umar Bin Abu Bakar Bafaqih, mempunyai pengaruh besar terhadap umat Islam di Jembrana, memiliki Pondok Pesantren yang sampai sekarang masih aktif, dan dibeberapa buku, Beliau merupakan murid terakhir Kyai Kholil Bangkalan). Keempat, Wali Pitu sengaja dimunculkan demi kepentingan Pariwisata. Selama ini, para Agen wisata di Jawa, selalu mengandalkan anak‐anak siswa sekolah untuk berlibur ke Bali. Sedangkan masa perjalanan hanya ada pada saat liburan sekolah. Nah, untuk mencari segmen lain selain para siswa, para agen memunculkan paket Ziarah ke makam. Kemudian, entah dari mana, muncullah istilah Ziarah Wali Pitu ke Bali dengan segmentasi para orang‐orang yang mayoritas sudah berkeluarga dan kalangan tua. Mengingat juga, masyarakat Jawa, sangat menggemari Ziarah ke para makam Wali di Jawa. Kelima, sebenarnya masih ada beberapa makan lain selain daftar nama‐nama Wali Pitu. Bisa jadi makam‐makam yang masuk daftar Wali Pitu, karena kemudahan akses, juga dekat dengan berbagai tempat wisata, sekaligus rute untuk jalan pulang ke Jawa. Analisis ini, bukan bermaksud untuk meremehkan keberadaan para pendahulu (makam)Muslim di Bali. Ini hanya sebuah kritik terhadap mereka yang mengeksploitasi Bali dengan menggunakan alasan Agama. Berikut ini nama‐nama para Wali Pitu : Habib Ali Bin Umar Bin Abu Bakar Bafaqih (Jembrana wafat abad ke 20), Pangeran Mas Sepuh (Badung), Habib Ali Bin Abu Bakar Bin Umar Bin Abu Bakar Al Khamid (Klungkung), Chabib Ali Bin Zainul Abidin Al Idrus (Karangasem), Syeh Maulana Yusuf Al Baghdi Al Maghribi (Karangasem), Chabib Umar Bin Maulana Yusuf Al Maghribi (Bedugul‐Tabanan), dan The Kwan Lie atau Syeh Abdul Qodir Muhammad (Buleleng). Ketuju wali tersebut tidak saling terikat dan mungkin juga tidak saling mengenal dan berkomunikasi, layaknya wali songo di jawa. Mengingat kurangnya sumber atau keterangan yang menyebutkan ke tujuh wali tersebut merupakan anggota dewan agama layaknya walisongo di jawa. Hal yang benar adanya bahwa mereka adalah para ulama yang mengajarkan agama di pulau Bali.