Yusuf Daeng Sosiologi Hukum 2018 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

SOSIOLOGI HUKUM



SOSIOLOGI HUKUM



1



Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 (satu), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)



2



SOSIOLOGI HUKUM



Dr. Mohd. Yusuf Daeng M, SH., MH., Ph.D



SOSIOLOGI HUKUM



Penerbit Alaf Riau Pekanbaru 2018 SOSIOLOGI HUKUM



3



SOSIOLOGI HUKUM Penulis: Dr. Mohd. Yusuf Daeng M, SH., MH., Ph.D Editor: Zulkarnaini, S.Sos, M.Si Sampul: Syamsul Witra Layout: Arnain'99 Cetakan II: September 2018 Penerbit ALAF RIAU Jl. Pattimura No. 9 Pekanbaru, Telp. (0761) 7724831 E-mail: [email protected]



ISBN 978-979-3497-43-0 4



SOSIOLOGI HUKUM



Persembahan: Kedua orang tuaku H. DAENG MALINTAK dan Hj. MONDENG Istri tercinta Dra. Hj. IRIYANTI, MM, dan anak-anakku tersayang, M. FADLY YUSUF DAENG, SH., MH (FADLY), SITI YULIA MAKINNINAWA YUSUF DAENG, SH.,MH (SITI), SITI SAHNIA MAMMENASA YUSUF DAENG, SITI MONALISA MARUDDANI YUSUF DAENG. SOSIOLOGI HUKUM



5



6



SOSIOLOGI HUKUM



PRAKATA PENULIS



Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan buku ini di tengah keterbatasan waktu dan kesempatan. Shalawat beserta salam tidak lupa dihantarkan kepada junjungan alam, yakni Nabi Besar Muhammad SAW, seorang motivator perubah peradaban, sehingga kita bisa merasakan kemajuan ilmu pengetahuan yang mempengaruhi peradaban dunia. Buku Sosiologi Hukum ini diterbitkan dalam rangka memberikan pemahaman mengenai ilmu hukum yang bersifat empiris, di samping ilmu hukum yang normatif. Sosiologi hukum pada dasarnya membahas mengenai hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya, terutama dengan struktur sosial dan dinamika sosial. Selain itu membahas pula mengenai fungsi hukum dalam masyarakat serta mengenai bekerjanya hukum dalam masyarakat. Kehadiran buku ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada pembaca bahwa hukum tidak dapat dilepaskan dengan masyarakat, baik dalam proses pembentukannya maupun dalam pelaksanaannya. Tujuannya adalah untuk memberikan wawasan yang utuh SOSIOLOGI HUKUM



7



kepada pembaca mengenai keberadaan hukum tersebut di dalam masyarakat, bahwa di samping hukum memiliki sifat normatif hukum juga memiliki dimensi empiris, karena hukum ada di dalam masyarakat dan merupakan bagian riil dari kehidupan masyarakat. Sosiologi hukum dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang hukum dan kemasyarakatan, baik itu proses sosial, interaksi sosial, lembaga sosial, perubahan gaya hidup, struktur sosial, mobilitas sosial, gender, perubahan sosial, perlawanan sosial, konflik, integrasi sosial, keluarga dan lain sebagainya. Lebih lanjut keilmuan ini diarahkan untuk menjelaskan hukum positif yang berlaku, di mana isi dan bentuknya berubah-ubah menurut waktu dan tempat, dengan bantuan faktor kemasyarakatan. Penerbitan buku ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, mulai dari pengumpulan data sampai pada penyusunan naskah yang siap terbit. Tanpa mengurangi rasa hormat untuk tidak tersebutkan nama-namanya, kami mengucapkan ribuan terima kasih. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada penerbit yang bersedia menerbitkan buku ini. Harapannya adalah semoga amal kebaikan dan keikhlasannya selama membantu dalam menyelesaikan buku ini mendapatkan balasan yang mulia dari Allah SWT. Mohon maaf yang sebesar-besarnya atas segala hal yang kurang berkenan. Amin. Pekanbaru, September 2018



Penulis



8



SOSIOLOGI HUKUM



DAFTAR ISI



PRAKATA PENULIS .............................................................. DAFTAR ISI ............................................................................. BAB



7 9



I Pendahuluan ............................................................. 13



BAB II Hukum, Masyarakat, dan Perubahan Sosial ....... 19 A. Masyarakat dan Hukum ............................................ 20 B. Fungsi Hukum dalam Masyarakat ............................. 23 C. Hukum dan Perubahan Sosial ................................... 28 BAB III Keberadaan Hukum sebagai Sistem Nilai Sosial 35 A.Hukum sebagai Fenomena dan Kaedah Sosial .......... 36 B.Hukum dan Stratifikasi Sosial ..................................... 40 C.Pembentukan Norma Hukum dalam Masyarakat ...... 42 BAB IV Ruang Lingkup Sosiologi Hukum ........................ 49 A.Roh dan Jiwa Sosiologi Hukum .................................. 51 B.Karakteristik Sosiologi Hukum ................................... 55 C.Kegunaan dan Efektivitas Sosiologi Hukum .............. 61 BAB V Metode Pendekatan Sosiologi Hukum ................ 69 A. Pendekatan Teoritis ................................................... 70 SOSIOLOGI HUKUM



9



B. Pendekatan Normatif ................................................ C. Pendekatan Sosiologis ............................................... BAB VI Penegakan dan Pelaksanaan Hukum yang Berkeadilan A.Penegakan Hukum dalam Masyarakat ...................... B.Pelaksanaan Hukum yang Berkeadilan ...................... C.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan dan Pelaksanaan Hukum ............................................



73 78 87 88 93 97



BAB VII Hukum Responsif dan Hukum Progresif ........... 103 A.Perdebatan Hukum Responsif .................................... 104 B.Pemahaman Hukum Progresif ................................... 110 Daftar Pustaka .......................................................................... 119 Biodata Penulis ........................................................................ 123



10



SOSIOLOGI HUKUM



Bab I



Pendahuluan



SOSIOLOGI HUKUM



11



12



SOSIOLOGI HUKUM



Bab I



PENDAHULUAN



Seseorang yang pertama kali mempelajari Sosiologi, sesungguhnya secara tidak sadar telah mengetahui sedikit tentang sosiologi. Karena selama hidupnya, dia telah menjadi anggota masyarakat dan sudah mempunyai pengalaman dalam hubungan sosial atau hubungan antar manusia. Secara sederhananya, Sosiologi ialah ilmu yang mempelajari tentang hubungan manusia dan lingkungannya. Ilmu Sosiologi biasanya digunakan untuk memahami latar belakang, susunan, dan pola kehidupan sosial dari pelbagai golongan dan kelompok dalam masyarakat. Juga dapat diketahui sampai di mana susunan dan stratifikasi sosial mempengaruhi atau dipengaruhi oleh perubahan-perubahan sosial yang terjadi di suatu lingkungan masyarakat. Istilah Sosiologi pertama kali dicetuskan oleh seorang filsuf asal Perancis bernama Auguste Comte dalam bukunya Cours de la Philosovie Positive. Orang yang dikenal dengan "Bapak Sosiologi" tersebut, menyebut bahwa Sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang masyarakat. Kata Sosiologi sebenarnya berasal dari bahasa Latin, yaitu ‘socius’ yang berarti teman atau kawan dan ‘logos’ yang berarti ilmu pengetahuan. Comte mengemukankan bahwa pengetahuan dikatakan



SOSIOLOGI HUKUM



13



sebagai ilmu apabila mengembangkan suatu kerangka pengetahuan yang tersusun dan teruji yang didasarkan pada penelitian yang ilmiah. Sosiologi dapat dikatakan sebagai ilmu, sejauh mendasarkan penelaahannya pada bukti-bukti ilmiah dan metode-metode ilmiah. Sorokim mengatakan, bahwa Sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial (gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral, dan hukum dengan ekonomi) dengan gejala lainnya (non-sosial). Pendapat di atas berbeda dengan Rouceke dan Warren yang mengatakan bahwa Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan manusia dengan kelompok-kelompok. Berdasarkan uraian di atas, maka Sosiologi jelas merupakan ilmu sosial yang objeknya adalah masyarakat sebagai ilmu. Ia berdiri sendiri karena telah memiliki unsur ilmu pengetahuan. Dalam Ilmu Sosiologi, dipelajari juga mengenai peran masyarakat terhadap hukum yang hidup di dalamnya, sumber hukum material dan beberapa fungsi hukum dalam masyarakat. Dewasa ini, peranan hukum mempunyai kedudukan yang miris dan kurang berfungsi adanya. Hal ini terbukti dengan sudah tidak banyak diindahkannya perturan-peraturan hukum dalam masyarakat sendiri. Selain itu fungsi hukum sebagai suatu kekuatan atau power juga sudah tidak seberapa digubris. Contohnya banyak sekali aparataparat atau pejabat pemerintahan yang mempermainkan kedudukan hukum sehingga sudah tidak kuat lagi atau dengan kata lain fungsi power-nya sudah hilang. Saat ini pengembangan dan konsolidasi tatanan hukum nasional mengalami banyak perubahan. Hukum cenderung diterapkan meliputi bidang-bidang kehidupan yang sangat luas, mencakup berbagai etnik, asal keturunan, dan golongan, meliputi berbagai macam daerah yang mempunyai ciri fisik dan kebudayaan masing-masing. Hukum per-



14



SOSIOLOGI HUKUM



seorangan diganti dengan hukum teritorial, hukum spesial diganti hukum umum, dan hukum kebiasaan diganti hukum tertulis. Di dalam masyarakat Indonesia, politik hukum di antaranya termaktub dalam GBHN dan menjadi salah satu sumber hukum dalam tatanan hukum nasional. Politik hukum itu, antara lain berupa peningkatan pembaharuan kodifikasi dan unifikasi bidang-bidang hukum tertentu, penyusunan peraturan perundang- undangan baru yang sangat dibutuhkan untuk menunjang pembangunan nasional sejalan dengan tingkat kesadaran hukum dan dinamika yang berkembang di tengah masyarakat. Upaya kearah kodifikasi dan unifikasi hukum di Indonesia, terutama hukum keperdataan merupakan hal yang amat rumit. Usaha di bidang ini dihadapkan pada kemajemukan masyarakat Indonesia yang memiliki keanekaragaman agama dan etnik. Ia juga dihadapkan pada perubahan masyarakat dalam berbagai kehidupan yang dikehendaki dan direncanakan secara nasional. Oleh karena itu, kodifikasi dan unifikasi hukum dituntut untuk memperhatikan dan menampung keanekaragaman budaya dan kesadaran hukum masyarakat yang mengacu pada keyakinan dan nilai-nilai yang mereka anut. Upaya dalam hal ini dilakukan dalam berbagai bidang, di antaranya bidang hukum ketatanegaraan, bidang hukum pidana, dan bidang hukum perdata. Program penyusunan kodifikasi hukum ternyata tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Kodifikasi selamanya mengandung berbagai kelemahan bawaan. Di satu sisi, ia membutuhkan waktu lama karena harus lengkap dan menyeluruh, namun di sisi yang lain kebutuhan hukum tidak mungkin menunggu. Akibatnya timbul terobosan yang sering bersifat fighting the problem, bukan solving the problem. Dari asumsi ini, maka diperlukan terobosan-terobosan dalam pembentukan hukum yang dapat mengikuti dinamika kehidupan masyarakat yang terus berubah dalam setiap tatanan hukum nasional, sehingga harapan menjadikan hukum sebagai regulasi dan rel dalam perjalanan



SOSIOLOGI HUKUM



15



kehidupan dapat secara dinamis dapat mengikuti setiap perkembangan dalam dinamika kehidupan masyarakat. Dari uraian singkat di atas, dapat diartikan bahwa Sosiologi Hukum sendiri adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya secara empiris an analitis. Dari sudut sejarah, Sosiologi Hukum untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh seorang Italia yang bernama Anzilotti pada tahun 1882 M. Dikatakannya bahwa Sosiologi Hukum pada hakekatnya lahir dari hasil-hasil pemikiran para ahli baik di bidang filsafat hukum, ilmu hukum maupun sosiologi. Saat ini Sosiologi Hukum sedang berkembang pesat. Hal itu tidak lain karena ilmu ini diarahkan untuk menjelaskan hukum positif yang berlaku, di mana isi dan bentuknya berubah-ubah menurut waktu dan tempat, dengan bantuan faktor kemasyarakatan. Umumnya juga dalam setiap masyarakat, hukum lebih berfungsi untuk menjamin keamanan dalam masyarakat dan jaminan pencapaian struktur sosial yang diharapkan oleh masyarakat.



16



SOSIOLOGI HUKUM



Bab II



Hukum, Masyarakat, dan Perubahan Sosial



SOSIOLOGI HUKUM



17



18



SOSIOLOGI HUKUM



Bab II



HUKUM, MASYARAKAT, DAN PERUBAHAN SOSIAL



Manusia adalah makhluk yang mempunyai hasrat hidup bersama. Hidup bersama yang sekurang-kurangnya terdiri dari dua orang. Tidak ada manusia yang dapat hidup sendiri, Aristoteles pernah mengatakan bahwa manusia itu adalah zoon politicon, yang artinya bahwa manusia itu sebagai makhluk yang selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainya. Dan karena sifatnya itu manusia disebut sebagai makhluk sosial. Setiap manusia mempunyai sifat, watak, dan kehendak yang berbeda-beda. Dan dalam hubungan dengan sesama manusia dibutuhkan adanya kerjasama, tolong menolong dan saling menbantu untuk memperoleh keperluan kehidupannya. Kalau kepentingan tersebut selaras maka keperluan masing-masing akan mudah tercapai. Tetapi kalau tidak malah akan menimbulkan masalah yang menganggu keserasian. Dan bila kepentingan tersebut berbeda yang kuatlah yang akan berkuasa dan menekan golongan yang lemah untuk memenuhi kehendaknya. Karena itu diperlukan suatu aturan yang mengatur setiap anggota dalam masyarakat. Maka dibuatlah aturan yang disebut dengan norma. Dengan norma tersebut setiap anggota masyarakat dengan sadar atau SOSIOLOGI HUKUM



19



tidak sadar akan terpengaruh dan menekan kehendak pribadinya. Adanya aturan tersebut berguna agar tercapainya tujuan bersama dalam masyarakat, memberi petunjuk mana yang boleh dilakukan mana yang tidak, memberi petunjuk bagaiman cara berperilaku dalam masyarakat. Itulah dasar pembentukan hukum dari kebutuhan masyarakat akan adanya aturan yang mengatur tata cara kehidupan agar setiap individu masyarakat dapat hidup selaras. A. Masyarakat dan Hukum “Di mana ada masyarakat di situ ada hukum”, merupakan adegium yang sering kali diungkapkan oleh para ahli hukum. Maksud dari ungkapan tersebut adalah karena dalam kehidupannya manusia senantiasa selalu mempunyai hasrat untuk hidup bersama. Tidak ada manusia yang dapat hidup sendiri, Aristoteles pernah mengatakan bahwa manusia itu adalah zoon politicon, yang artinya bahwa manusia itu sebagai makhluk yang selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainya. Oleh karena sifatnya itu manusia disebut sebagai makhluk sosial. Berbeda dengan Aristotoles, seorang ahli filsafat Inggris bernama Thomas Hobbes berusaha melahirkan sebuah tesis bahwa manusia terlahir dengan sifat yang biadab, yakni hidup liar bagaikan serigala. Kehidupan liar ini terlihat di dalam gambaran Hobbes, bahwa siapa yang kuat maka dialah yang menang. Dengan adegium ”Homo Homini Lupus” yang berarti, “manusia yang satu adalah serigala bagi manusia yang lain”. Hobbes kemudian mengajukan teorinya bahwa meskipun manusia hidup bagaikan serigala bagi manusia lain, tetapi pada suatu ketika mereka juga berusaha untuk menyatukan kekuatan untuk menghadapi serangan dari manusia lain. Kehidupan kelompok ini merupaka embrio kelahiran suatu bentuk masyarakat meskipun berkembang dalam suasana saling menyerang. Menyambung dari pendapat kedua filsuf di atas dapat disimpulkan



20



SOSIOLOGI HUKUM



bahwa setiap manusia mempunyai sifat, watak, dan kehendak yang berbeda-beda. Di dalam hubungan dengan sesama manusia dibutuhkan adanya kerjasama, tolong menolong dan saling menbantu untuk memperoleh keperluan kehidupannya. Kalau kepentingan tersebut selaras maka keperluan masing-masing akan mudah tercapai. Tetapi kalau tidak malah akan menimbulkan masalah yang menganggu keserasian. Apabila kepentingan tersebut berbeda, maka yang kuatlah yang akan berkuasa dan menekan golongan yang lemah untuk memenuhi kehendaknya. Oleh karena itu, untuk menciptakan keteraturan maka dibuatlah hukum sebagai alat pengatur, dan agar hukum tersebut dapat memiliki kekuatan untuk mengatur maka perlu suatu entitas lembaga kekuasaan yang dapat memaksakan keberlakuan hukum tersebut sehingga dapat bersifat imperatif. Sebaliknya, adanya entitas kekuasaan ini perlu diatur pula dengan hukum untuk menghindari terjadinya penindasan melalui kesewenang-wenangan ataupun penyalahgunaan wewenang oleh yang berkuasa. Mengenai hubungan hukum dan kekuasaan ini, terdapat adagium yang populer: “Hukum tanpa kekuasaan hanyalah anganangan, dan kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman.”  Dalam hubungan antara kekuasaan dan hukum, secara mendalam dijelaskan oleh Wofgang Friedman dan kemudian dikutip oleh Wasis. S.P. dalam karyanya Pengantar Ilmu Hukum, telah membagi menjadi tiga komponen. Komponen hukum yang pertama adalah substansi atau isi hukum yang bersangkutan. Suatu hukum agar benar-benar mampu menciptakan keadilan bagi masyarakat, maka isi dari hukum itu sendiri harus benar-benar berfungsi sebagai manifestasi nilai-nilai dan rasa keadilan serta nilai-nilai normatif yang diidealkan masyarakat. Disamping itu, agar hukum tersebut dapat berjalan, substansi hukum tersebut juga tidak boleh bertentangan dengan substansi hukum lain yang telah ada. Sehingga suatu hukum agar dapat bekerja, maka ia harus bersifat koheren dengan keseluruhan sistem norma sosial yang ada dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan. SOSIOLOGI HUKUM



21



Komponen yang kedua adalah struktur, yaitu lembaga yang memiliki kewenangan untuk menegakkan hukum. Sebuah hukum, sebaik apapun substansi yang dikandungnya tidak akan mampu berjalan jika tidak ada lembaga yang memiliki kekuasaan untuk menjalankan hukum tersebut. Lembaga yang memiliki kekuasaan untuk menjalankan hukum ini terdiri dari setiap subyek yang memiliki kewenangan untuk itu, mulai dari instansi penyidik seperti aparat kepolisian, instansi penuntut umum seperti kejaksaan, dan pengadilan. Komponen yang ketiga sekaligus yang terakhir adalah komponen kultur atau budaya dari masyarakat hukum yang bersangkutan. Suatu hukum yang ideal adalah hukum yang merupakan produk langsung dari budaya masyarakat yang bersangkutan, sehingga sistem nilai yang diusung oleh produk hukum tersebut akan sesuai (karena merupakan manifestasi) dengan kesadaran nilai (value consciousness) yang dimiliki masyarakat. Dari tiga komponen hukum sebagaimana disebutkan di atas, Sajipto Rahardjo kemudian berpendapat, bahwa apabila proses hubungan komponen sosial tersebut telah terhubung. Maka dengan hubungannya akan tampak bahwa pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh hukum itu tidak sama sekali otonom. Melainkan sangat berkaitan dengan proses-proses lain yang berlangsung dalam masyarakat, berkaitan dalam arti, baik hukum itu mengontrol maupun dikontrol oleh berbagai proses dalam masyarakat itu serta bekerjanya hukum itu dikondisikan pula oleh proses-proses yang memuat energi lebih yang besar. Suatu hal yang mustahil bahwa hukum itu dapat terlepas dan otonom dari unsur-unsur lain. Oleh karena itu, Sabian Ustman berpendapat, hukum sebagai fakta sosial tidaklah dikonsepsikan sebagai suatu gejala normatif yang otonom. Akan tetapi sebagai suatu institusi sosial yang selalu membumi secara nyata dengan pola-pola atau variabel sosial yang hidup dan berkembang serta berakar di masyarakat. Pada akhirnya, bagaimana hukum itu dibuat dan untuk apa hukum itu ditujukan berpulang sepenuhnya pada kesadaran manusia yang 22



SOSIOLOGI HUKUM



bersangkutan itu sendiri. Hukum dapat bersifat membebaskan umat manusia dari ketertindasan, namun sebaliknya hukum juga dapat juga digunakan sebagai sarana penindasan. Karena hukum hanyalah berfungsi sebagai alat (tool), yaitu alat manusia untuk menciptakan keteraturan dengan pewujudan keadilan atas interaksi antar manusia tersebut, dan di atas dunia ini tidak ada satu alat pun yang tidak dapat disalahgunakan, begitu pula dengan hukum. B. Fungsi Hukum dalam Masyarakat Sebuah perbincangan yang hingga kini tak juga kunjung putus adalah soal fungsi hukum dalam masyarakat. Di satu pihak orang meyakini kebenaran premis bahwa hukum itu tak lain hanyalah refleksi normatif saja dari pola-pola perilaku yang telah terwujud sebagai realitas sosial. Sedangkan di pihak lain orang masih banyak juga yang suka menteorikan bahwa hukum itu sesungguhnya adalah suatu variabel bebas yang manakala dioperasionalkan sebagai kekuatan yang bertujuan politik akan mampu mengubah tatanan struktural dalam masyarakat. Pandangan yang disebutkan pertama adalah pandangan yang melihat hukum sebagai ekspresi kolektif suatu masyarakat, dan karena itu hasil penggambarannya secara konseptual akan melahirkan konsep hukum sebagai bagian dari elemen kultur ideal. Pandangan yang kedua adalah pandangan yang melihat hukum benar-benar sebagai instrumen, dan karena itu hasil penggambarannya secara konseptual akan banyak menghasilkan persepsi bahwa hukum adalah bagian dari teknologi yang lugas; atau meminjam kata-kata Rouscoe Poend, hukum itu adalah “tool of social engineering”. Menurut Lawrence sebagaimana dikutip oleh Soetandyo, menyatakan bahwa Hukum sebagai alat social engineering adalah ciri utama negara modern. Jeremy Bentham (dalam Soetandyo) bahkan sudah mengajukan gagasan ini di tahun 1800-an, tetapi baru mendapat



SOSIOLOGI HUKUM



23



perhatian serius setelah Roscoe Pound memperkenalkannya sebagai suatu perspektif khusus dalam disiplin sosiologi hukum. Roscoe Pound minta agar para ahli lebih memusatkan perhatian pada hukum dalam praktik (law in actions), dan jangan hanya sebagai ketentuan-ketentuan yang ada dalam buku (law in books). Hal itu bisa dilakukan tidak hanya melalui undang-undang, peraturan pemerintah, keppres, dll tetapi juga melalui keputusan-keputusan pengadilan 1. Pembangunan Hukum Dewasa ini jumlah eksponen pendukung ide “law as a tool of socialengineering” kian bertambah. Perkembangan yang disebut Geertz (dalam Soetandyo) sebagai perkembangan “from old society to new state” memang telah menyuburkan tekad-tekad untuk menggerakkan segala bentuk kemandeg-an dan untuk mengubah segala bentuk kebekuan, baik lewat cara-cara revolusioner yang ekstra legal maupun lewat cara-cara yang bijak untuk menggunakan hukum sebagai sarana perubahan sosial. Menurut Soetandyo, hal ini berimplikasi para banyaknya praktisi yang berminat untuk memikirkan strategi-strategi perubahan yang paling layak untuk ditempuh dan untuk merekayasa ius constituendum apa yang sebaiknya segera dirancangkan dan diundangkan sebagai langkah implementasinya. Sedangkan para teoritisnya banyak berminat untuk mendalami studi-studi tentang keefektifan hukum guna menemukan determinan-determinan (paling) penting yang perlu diketahui untuk mengfungsionalkan hukum sebagai sarana pembangunan. Menurut sejumlah pakar, pembangunan hukum mengandung dua arti. Pertama, sebagai upaya untuk memperbarui hukum positif (modernisasi hukum). Kedua, sebagai usaha untuk memfungsionalkan hukum yakni dengan cara turut mengadakan perubahan sosial sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang sedang membangun. Jadi, pembangunan hukum tidak terbatas pada kegiatan-kegiatan legislasi saja, melainkan pada upaya menjadikan hukum sebagai alat rekayasa sosial (social engineering). Dengan kata lain kita dapat simpulkan, definisi 24



SOSIOLOGI HUKUM



pembangunan hukum adalah “mewujudkan fungsi dan peran hukum di tengah-tengah masyarakat”. Untuk itu ada tiga fungsi hukum: sebagai kontrol sosial, sebagai penyelesai sengketa (dispute settlement), dan sebagai alat rekayasa sosial (social engineering). 2. Manifestasi Rekayasa Sosial Perundang-undangan ialah suatu gejala yang relatif kompleks yang proses pembentukannya melibatkan berbagai faktor kemasyarakatan lainnya. Pembentukan peraturan perundang-undangan adalah upaya merealisasikan tujuan tertentu, dalam arti mengarahkan, mempengaruhi, pengaturan perilaku dalam konteks kemasyarakatan yang dilakukan melalui dan dengan bersaranakan kaidah-kaidah hukum yang diarahkan kepada perilaku warga masyarakat atau badan pemerintahan, sedangkan tujuan tertentu yang ingin direalisasikan pada umumnya mengacu pada idea atau tujuan hukum secara umum, yaitu perwujudan keadilan, ketertiban dan kepastian hukum. Membentuk undang-undang juga berarti menciptakan satu sumber hukum yang akan mengatur hak-hak dan kewajiban dari semua pihak yang terkait dengan pelaksanaan undangundang tersebut. Mazhab fungsional atau biasa disebut mazhab sosiologik hukum (sociology of law) melalui tokohnya Roscoe Pound (dalam Satjipto) berpendapat bahwa hukum itu lebih dari sekadar himpunan normanorma yang abstrak atau ordo-hukum. Namun, hukum merupakan satu proses untuk menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang berlawanan dan memberikan jaminan, kepastian kepuasan kepada keinginan golongan terbanyak dengan gesekan yang sekecil mungkin. Analogi dari pemahaman hukum yang demikian itulah yang oleh Pound disebutkan sebagai rekayasa sosial (social engineering). Perlu diperhatikan juga sebelumnya bahwa suatu peraturan atau hukum baru dapat dikatakan baik apabila memenuhi tiga syarat menurut teori Radbruch, yaitu secara filosofis dapat menciptakan keadilan,



SOSIOLOGI HUKUM



25



secara sosiologis bermanfaat dan secara yuridis dapat menciptakan kepastian. Sedangkan menurut Pound suatu undang-undang harus berfungsi sebagai “tool of social control “ dan ”tool of social engineering”. Sejalan dengan Pound, Prof. Max Radin sebagaiama dikutip oleh Mahendra, menyatakan bahwa hukum adalah teknik untuk mengemudikan suatu mekanisme sosial yang ruwet. Di lain pihak hukum tidak efektif kecuali bila mendapatkan pengakuan dan diberi sanksi oleh kekuasaan politik. Karena itu Maurice Duverger (dalam Mahendra) menyatakan: “hukum didefinisikan oleh kekuasaan; dia terdiri dari tubuh undang-undang dan prosedur yang dibuat atau diakui oleh kekuasaan politik. Hukum memberikan kompetensi untuk para pemegang kekuasaan politik berupa jabatan-jabatan dan wewenang sah untuk melakukan tindakan-tindakan politik bilamana perlu dengan menggunakan sarana pemaksa. Hukum merupakan pedoman yang mapan bagi kekuasan politik untuk mengambil keputusan dan tindakantindakan sebagai kerangka untuk rekayasa sosial secara tertib. 3. Kritik terhadap Hukum sebagai Alat Rekayasa Sosial Walaupun para eksponen yang menyokong gagasan “law as a tool of social engineering” kini tercatat cukup mendominasi percaturan dan posisi kunci pembinaan hukum nasional, itu tidaklah berarti bahwa gagasan dan langkah-langkah operasional mereka dapat berkembang dan berjalan dengan tanpa kritik. Kritik-kritik yang terlontar berdasarkan alasan ideologi dan atau paradigma moral yang sifatnya mutlak dan memihak—dalam kerangka penetapan kebijakan politik—memang sudah tak sekuat dulu lagi. Akan tetapi polemik dan diskusi tentang kedudukan dan fungsi hukum dalam tata kehidupan masyarakat yang makro ini bukannya telah tiada. Menurut Soetandyo pembicaraan dan perbincangan tetap saja 26



SOSIOLOGI HUKUM



ramai untuk mempersoalkan apakah hukum dalam kenyataanya in concreto memang akan dapat merekayasa masyarakat dengan efektif manakala ia hanya terbit sebagai manifestasi—meminjam adagium kaum positivitis—”the command of the sovereign” (perintah yang berdaulat), dan tidak pernah mempertimbangkan dua soal berikut ini: Pertama, apakah sesungguhnya nilai-nilai moral dan kaidah-kaidah social yang dianut rakyat dalam kehidupan sehari-harinya; Kedua, sejauh manakah rakyat awam itu bersedia berbagi kesetiaan dan ketaatan, tidak hanya kepada nilai-nilai dan kaidah-kaidahnya sendiri yang informal tetapi juga kepada “the command of the sovereign” yang bergaya formal itu. Soetandyo menambahkan mereka yang berpendapat bahwa hukum adalah sarana yang efektif untuk merekayasa masyarakat tentunya lebih condong untuk bersikap antisipatif pada perubahan-perubahan yang selalu terjadi. Mereka tanpa ayal akan bergerak merancang perubahan masa depan, dan akan menggunakan hukum sebagai model gambaran hubungan-hubungan antar subjek di masa depan yang harus direa lisasikan dengan tindakan-tindakan yang bersanksi. Maka di tangan mereka hukum akan berfungsi sebagai sarana untuk mendinamisasi perubahan, dan tidak (sekedar) sebagai sarana untuk mengontrol status-quo yang serba statik di dalam struktur. Para pengritik ide “law as a tool of social engineering” umumnya menambahkan bahwa orang masih harus mempertanyakan, adakah cara yang dapat dianjurkan untuk mengubah referensi normatif rakyat, dari kecondongannya pada nilai-nilai dan kaidah-kaidah setempat yang parokial dan berwawasan ke masa lampau ke nilai-nilai dan kaidahkaidah baru yang nasional dan berwawasan ke masa depan. Bertolak dari semua itu terdapat satu hal penting yang perlu (harus) disadari sebagai suatu persoalan tersendiri atas asumsi dasar mengenai dalil “law is a tool of social enginereeng”, bahwa menurut von Savigny (dalam Soetandyo), sesungguhnya hukum itu tidak pernah bisa dibuat berdasarkan rasionalitas pikiran manusia yang disengaja. Hukum SOSIOLOGI HUKUM



27



sesungguhnya selalu berproses dan terwujud di dalam dan bersamaan dengan perkembangan masyarakat dan sejarah suatu bangsa. Oleh karena itu penyikapan selanjutnya adalah bagaimana sesungguhnya “law is a tool of social engineering” harus kita tempatkan bukan pada posisi rule by law, tetapi pada paradigmarule of law C. Hukum dan Perubahan Sosial Pada dasarnya setiap masyarakat yang ada di muka bumi dapat dipastikan akan mengalami apa yang dinamakan dengan perubahan. Adanya perubahan tersebut akan dapat diketahui bila kita melakukan suatu perbandingan dengan menelaah suatu masyarakat pada masa tertentu dan kemudian kita bandingkan dengan keadaan masyarakat pada waktu yang lampau. Perubahan yang terjadi di dalam masyarakat, pada dasarnya merupakan suatu proses yang terjadi terus menerus. Dalam artian bahwa bahwa setiap masyarakat pada kenyataannya akan mengalami perubahan. Tetapi perubahan yang terjadi antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain tidak selalu sama. Hal ini dikarenakan adanya suatu masyarakat yang mengalami perubahan yang lebih cepat bila dibandingkan dengan masyarakat lainnya. Perubahan tersebut dapat berupa perubahan-perubahan yang tidak menonjol atau tidak menampakkan adanya suatu perubahan. Juga terdapat adanya perubahanperubahan yang memiliki pengaruh luas maupun terbatas. Di samping itu ada juga perubahan-perubahan yang prosesnya lambat, dan perubahan yang berlangsung dengan cepat. Menurut Soerjono Soekanto, perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga kemasyarakatan di dalam masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai, sikap, dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok masyarakat. Pada umumnya suatu perubahan di bidang tertentu akan mempengaruhi bidang lainnya. Maka dari itu jika diterapkan terhadap hukum, sejauh manakah perubahan 28



SOSIOLOGI HUKUM



hukum mengakibatkan perubahan pada bidang lainnya. Adapun Kingsley Davis, berpendapat bahwa perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat. Menurut Rahardjo, apabila membahas sosiologi hukum di Indonesia tentu akan membahas mengenai krisis sosial dalam kehidupan hukum di Indonesia itu sendiri.Apabila membahas tentang permasalahan hukum di Indonesia tentu juga akan membahas mengenai ketidakadilan hukum. Karena ketidakadilan hukum yang terjadi di Indonesia telah menciptakan lemahnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum Indonesia. Masih banyak kasus-kasus ketidakadilan hukum yang terjadi di negara kita. Berikut adalah kasus-kasus hukum yang mengguncangkan Indonesia sepanjang empat tahun terakhir menurut data dari detikNews.com: 1. Kasus Nenek Minah Pada 19 November 2009, nenek Minah yang berumur 55 Tahun dihukum oleh Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto selama 1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan. Dia dinyatakan bersalah karena memetik 3 buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA), Ajibarang, Banyumas. Selama persidangan dengan agenda putusan berlangsung penuh keharuan. Bahkan ketua majelis hakim yang mempimpin persidangan pada saat itu, Muslih Bambang Luqmono SH, terlihat menangis saat membacakan vonis. 2. Kasus Susu Formula Berbakteri Kasus bermula pada 15 Februari 2008 Institut Pertanian Bogor (IPB) memuat di website mereka tentang adanya susu yang tercemar bakteri itu Enterobacter Sakazakii. Namun, pemerintah tidak membuka nama-nama merek susu tersebut. Lantas, salah seorang masyarakat, David Tobing, menggugat pemerintah atas sikap diam tersebut. Pada 26 April 2010, Mahkamah Agung (MA) memerintahkan Menteri Kesehatan untuk mengumumkan SOSIOLOGI HUKUM



29



ke publik nama-nama merek susu formula berbakteri tersebut. Bukannya mematuhi perintah MA, Kementerian Kesehatan selalu berkelit dan bahkan seakan-akan menutup-nutupi kasus tersebut. Meski kasus ini juga telah masuk ke meja Legislatif, namun hingga saat ini Kementerian Kesehatan tetap bungkam. 3. Kasus Mantri Desa Misran Mantri desa, Misran, dipidana penjara 3 (tiga) bulan oleh PN Tenggarong pada tahun 2009. Dia dihukum karena menolong orang tetapi dianggap salah karena bukan dokter. Putusan ini lalu dikuatkan oleh PT Samarinda, beberapa waktu setelah itu. Akibat putusan pengadilan ini, 8 mantri memohon keadilan ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena merasa dikriminalisasikan oleh UU Kesehatan. Lantas, MK mengabulkan permohonan Misran pada 27 Juni 2011. Akibat dikabulkannya permohonan ini, maka mantri desa di seluruh Indonesia boleh melayani masyarakat layaknya dokter atau apoteker dalam kondisi darurat. MK menilai pasal 108 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 bertentamgan dengan UUD 1945. Pasal yang tidak mempunyai kekuatan hukum yaitu sepanjang frase “ … harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai peraturan perundangan,”. 4. Kasus Prita Mulyasari Drama hukum Prita menjadi magnet semua pihak. Bahkan, seluruh calon presiden 2009 harus menyambangi Prita guna pencitraan kampanye. Pada 29 Desember 2009 silam, Majelis hakim PN Tangerang memutus bebas Prita Mulyasari dari tuntutan jaksa 6 bulan penjara. Alasan utama membebaskan Prita karena unsur dakwaan pencemaran nama baik tidak terbukti. Namun, MA membalikan semuanya. MA mengabulkan kasasi jaksa dan menyatakan Prita Mulyasari bersalah dalam kasus 30



SOSIOLOGI HUKUM



pencemaran nama baik RS Omni Alam Sutera, Tangerang. Prita divonis 6 bulan, tapi dengan masa percobaan selama 1 tahun. Kasus ini lalu dimintakan upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali (PK). 5. Kasus Kriminalisasi Pemulung PN Jakpus pada 3 Mei 2010 memvonis bebas Chairul Saleh seorang pemulung yang dituduh memiliki ganja seberat 1,6 gram. Pria 38 tahun ini dipaksa mengakui memiliki ganja oleh sejumlah oknum polisi ini. Orang nomor 1 di tubuh Polri waktu itu, Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri pun turun tangan untuk menindaklanjuti kasus dugaan rekayasa ini. Dia langsung menelpon Kapolda Metro Jaya Irjen Wahyono untuk meminta kepastian adanya rekayasa tersebut. Dalam sidang disiplin Propam Polres Jakpus menjatuhkan hukuman kepada 4 polisi yang terlibat dalam rekayasa kasus kepemilikan ganja terhadap pemulung Chairul Saleh ini. Kanit Narkoba Polsek Kemayoran Aiptu Suyanto didemosi sedangkan penyidik Brigadir Rusli ditunda kenaikan pangkatnya selama 1 tahun. Kemudian Aiptu Ahmad Riyanto ditunda kenaikan pangkat selama satu tahun, serta dimutasi secara demosi. Dan untuk Brigadir Dicky ditempatkan ke tempat khusus selama 7 hari. 6. Kasus iPad Dua terdakwa kasus penjualan iPad Randy Lester Samusamu dan Dian Yudha Negara, divonis bebas PN Jakpus, 25 Oktober 2011 lalu. Keduanya didakwa jaksa menjual iPad tidak berbuku manual bahasa Indonesia dan tidak bersertifikat. Namun dakwaan jaksa ini ditolak majelis hakim. Namun, jaksa ngotot dan mengajukan kasasi ke MA. Kasus serupa masih bergulir di PN Jaksel dengan terdakwa Charlie Sianipar.



SOSIOLOGI HUKUM



31



Ketidakadilan hukum seperti sudah dikemukakan di atas adalah ironi, sesuatu yang seharusnya tidak terjadi pada hukum. Hukum memuat suatu konsep ideal yang hakiki, yaitu keadilan, tetapi dari paparan di atas bahwa pada ide penciptaan dan pelaksanaan hukum adalah berpotensi melahirkan keadilan. Potensi ketidakadilan hukum tercipta apabila ada penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan dalam menggunakan hukum.



32



SOSIOLOGI HUKUM



Bab III



Keberadaan Hukum sebagai Sistem Nilai Sosial



SOSIOLOGI HUKUM



33



34



SOSIOLOGI HUKUM



Bab III



KEBERADAAN HUKUM SEBAGAI SISTEM NILAI SOSIAL



Masyarakat modern maupun sederhana selalu membutuhkan keadilan dan kepastian hukum, dan oleh karena itu masyarakat menciptakan aturan-aturan yang diakui secara kolektif yang menjadi pedoman dan rujukan dalam menentukan batas-batas hak dan kewajiban yang disebut dengan kaedah. Penyimpangan terhadap kaedah ini akan mendapatkan sanksi atau balasan yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Semuanya ini menunjukkan bahwasanya dalam setiap masyarakat ada suatu sarana yang mengatur disebut hukum, yang harus dipatuhi oleh masyarakat untuk terciptanya ketenteraman. Keberadaan hukum merupakan jaringan sosial yang seolah-olah mengatur segenap sudut kebudayaan tanpa batas yang nyata. Hukum sebenarnya tidak dapat dibedakan secara tajam dari bentuk prilaku sosial, hukum juga adalah karya manusia yang berupa norma-norma yang berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku yang merupakan pencerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat itu dibina dan ke mana harus diarahkan. Hukum merupakan fenomena ataupun gejala sosial yang berasal dari masyarakat, digunakan untuk mengatur hubungan-hubungan dalam SOSIOLOGI HUKUM



35



masyarakat itu sendiri. Eksistensi hukum dalam masyarakat merupakan kebutuhan disebabkan adanya keinginan-keinginan untuk mencapai kedamaian dan ketertiban dalam masyarakat. A. Hukum sebagai Fenomena dan Kaedah Sosial 1. Hukum sebagai Fenomena Sosial Hukum merupakan fenomena sosial yang berasal dari masyarakat dan digunakan untuk mengatur bentuk-bentuk hubungan dalam masyaraakat itu sendiri. Hukum dapat mempengaruhi pola tingkah laku individu-individu maupun kelompok dalam masyarakat itu. Berkenaan dengan ini Timasheff mengatakan: umumnya norma-norma hukum secara nyata akan menentukan prilaku manusia di dalam masyarakat. Berdasarkan undang-undang atau aturan-aturan hukum ada asumsi bahwa adanya hubungan antara berbagai pola prilaku yang menjelma ke dalam bentuk hukum dengan prilaku nyata dari individu, asumsi tersebut menunjukkan bahwasanya hukum mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi tingkah laku manusia. Kita lihat misalnya peraturan wajib helm: Semua orang yang mengendarai kendaraan roda dua harus atau diwajibkan memakai helm. Ternyata setelah peraturan itu dikeluarkan maka sebagian masyarakat mematuhinya. Ada mekanisme hukum dalam mempengaruhi prilaku manusia. Akhirnya dalam masyarakat hukum bukan lagi merupakan suatu keharusan atau kewajiabn tetapi telah menjadi suatu kebutuhan. Cara kerja hukum yang demikian menunjukkan bahwa semakin kompleks hubungan yang dijumpai dalam masyarakat maka semakin banyak pula hukum yang diperlukan untuk mengatur hubungan tersebut, dan keberadaan hukum di tengah-tengah masyarakat merupakan sesuatu yang timbul akibat adanya proses sosial yang selanjutnya tumbuh menjadi fenoma sosial dalam masyarakat. Hubungan antara fenomena sosial dengan proses sosial adalah sangat rapat dan tidak dapat dipisahkan, di mana proses sosial diartikan sebagai cara-cara 36



SOSIOLOGI HUKUM



berhubungan yang dapat dilihat apabila orang perorangan dan kelompokkelompok manusia saling bertemu dan menentukan sistem serta hubungan-hubungan tersebut. Rangkaian hukum sebagai sebuah fenomena sosial yang tumbuh berdasarkan proses sosial dalam masyarakat adalah fakta yang wajar dengan mengingat kebutuhan-kebutuhan dari masyarakat itu akan pentingnya kelanggengan dan ketertiban dalam kehidupan sosial. Oleh karena itu, munculnya lembaga dalam masyarakat seperti perkawinan, kewarisan, pemilikan, jual beli dan sebagainya bukan disebabkan adanya hukum melainkan sudah ada sebagai ciptaan dan proses sosial yang berjalan di dalam masyarakat itu. Vinogradoff mengatakan bahwa yang menyebabkan timbulnya hukum adalah karena adanya praktek-praktek yang dijalankan seharihari yang dibentuk oleh fikiran selanjutnya memberi dan menerima suatu hubungan yang wajar dalam suatu kerjasama sosial. Untuk memberi pemahaman tentang hukum sebagai fenomena sosial yang timbul dari proses-proses sosial, maka akan dikemukakan faktor-faktor yang harus digunakan oleh hukum, yaitu: 1. Ia harus terdiri dari kenyataan-kenyataan fisik dan psikologis, seperti fakta-fakta tentang kelamin, iklim, dan sebagainya. 2. Ia harus meliputi semua fakta, tradisi, keadaan lingkungan yang mengolah fakta-fakta tersebut menurut suatu cara tertentu. 3. Ia terdiri dari azas-azas yang dilahirkan dari pertimbangan berdasarkan kewajiban tentang hubungan-hubungan antara manusia, seperti keadilan, penghormatan dan lain-lain. 4. Ia memasukkan unsur dinamis, oleh karena itu ia mencakup aspirasiaspirasi moral dari suatu kurun masa dan peradaban tertentu. Melalui ahli hukum faktor-faktor tersebut diolah melalui tehnik hukum sehingga hasilnya akan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Karena itu lembaga perkawinan misalnya tidak akan ada jika tidak ada pria dan wanita. Hukum hanya menerima faktor tersebut dan SOSIOLOGI HUKUM



37



kemudian mengorganisasikannya menurut lembaga yang dibutuhkan sehubungan dengan adanya lembaga tersebut. Manusia dalam hidupnya mempunyai hasrat untuk bergaul dengan sesamanya. Di samping hasrat untuk bergaul manusia juga punya hasrat agar pergaulan hidup berlangsung dengan teratur. Akan tetapi apa yang dianggap teratur oleh seseorang belumlah sesuai dengan keinginan yang lainnya. Padahal dengan adanya keteraturan tersebut manusia hendak hidup secara pantas. Masing-masing prinsip tentang keteraturan tersebut apabila dibiarkan maka sangat besar kemungkinan pergaulan hidup akan berlangsung tidak sesuai dengan yang diharapkan. Dengan kondisi tersebut maka diperlukan suatu pedoman tertentu agar tidak terjadi pertentangan-pertentangan yang merugikan hidup. Pedoman tersebut dinamakan kaedah. Kaedah merupakan pedoman atau patokan tentang bagaimana berprikelakuan secara pantas. Pada hakekatnya suatu kaedah merupakan pandangan menilai (waarderingsoordel) terhadap prikelakuan tertentu dari sudut sifat hakekatnya yang disebut norma. 2. Hukum sebagai Kaedah Sosial Hukum sebagai kaedah yaitu bahwa hukum merupakan patokan prilaku (pedoman) bagi masyarakat dalam pergaulan dan kehidupan. Dalam pergaulan hidup dikenal macam-macam kaedah atau norma yang menjadi pedoman yakni: 1. Kaedah atau norma agama yaitu peraturan-peraturan hidup yang diterima sebagai perintah-perintah, larangan-larangan dan aturanaturan yang berasal dari Tuhan. 2. Kaedah atau norma kesusilaan, yaitu peraturan hidup yang datangnya dari hati sanubari manusia. 3. Kaedah atau norma kesopanan yaitu peraturan hidup yang timbul dari pergaulan, interaksi sekelompok manusia dalam masyarakat dan mengatur tingkah laku manusia terhadap manusia lainnya.



38



SOSIOLOGI HUKUM



4. Kaedah atau norma hukum, yaitu peraturan yang dibuat oleh penguasa yang isinya mengikat kepada setiap orang dan pelaksanaannya dapat dipertahankan dengan segala paksaan oleh alatalat negara. Tiga kaedah atau norma, yaitu kaedah agama, kesusilaan dan kesopanan tidak cukup untuk menjamin terpeliharanya kepentingankepentingan individu dalam bergaul. Hal ini disebabkan karena tiga kaedah tersebut tidak mempunyai sanksi tegas, karena itulah diperlukan kaedah yang mempunyai sanksi tegas, bersifat memaksa dalam kehidupan, yaitu kaedah hukum yang berisi: suruhan, larangan, dan kebolehan. Kaedah hukum yang berisikan suruhan dan larangan bersifat imperatif artinya ialah kaedah tersebut secara apriori harus ditaaati, sedangkan kaedah hukum yang berisikan kebolehan bersifat fakultatif artinya ialah kaedah hukum tersebut secara apriori tidak terlalu mengikat. Kaedah hukum bertujuan agar tercapainya kedamaian di dalam kehidupan bersama di mana kedamaian berarti suatu keserasian antara keterikatan dengan kebebasan.



Tugas hukum tidak lain dari pada mencapai keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum secara bersamaan. Apabila kaedah atau norma telah dipahami dan ditaati oleh masyarakat maka dapat dikatakan bahwa kaedah-kaedah tersebut telah melembaga. Himpunan kaedah yang oleh masyarakat dianggap mengatur kebutuhan-kebutuhan pokok lazimnya disebut lembaga sosial atau pranata sosial. 3. Hukum sebagai Teknologi Sosial Membahas hukum sebagai teknologi sosial haruslah melibatkan peranan-peranan orang-orang yang berada di dalamnya. Hal ini berarti bahwa pekerjaan-pekerjaan hukum itu tidak berbeda dengan teknologi lainnya yang dilakukan oleh insinyur, dokter dan sarjana lain. Mereka ini mempunyai keahlian di bidangnya masing-masing untuk memainkan



SOSIOLOGI HUKUM



39



peranan dalam menghasilkan produk-produk yang baru yang pada akhirnya dapat bermanfaat bagi manusia. Demikian juga dengan ilmu hukum, seorang ahli hukum menggunakan undang-undang, yaitu dengan menerapkannya di dalam masyarakat sehingga ilmu hukum ini di satu sisi menjadi ilmu terapan dan di sisi lain berfungsi sebagai ilmu murni. Sehubungan dengan ini Huntington Cairne menyebutkan bahwa Law as a social Science. Sebagai teknologi sosial, maka ilmu pengetahuan hukum harus mampu menciptakan dan menerapkan peraturan-peraturan hukum yang diperlukan guna mencapai tujuan-tujuan sosial yang diharapkan. Para ahli hukum selalu dituntut untuk memberikan jawaban dengan membuat peraturan-peraturan hukum sebagai akibat daripada perubahan-perubahan besar dalam masyarakat, akibat teknologi maupun tekanan (pressures) yang disebabkan oleh pertambahan masyarakat dan hokum, dalam kondisi ini diharapkan mampu memberikan respon terhadap perubahan-perubahan tersebut. Di Indonesia fungsi hukum di dalam pembangunan adalah sebagai sarana pembangunan masyarakat. Hal didasarkan pada anggapan bahwa adanya ketertiban dalam pembangunan merupakan suatu hal yang dianggap sangat penting dan sangat diperlukan. Di samping itu hukum sebagai tata kaedah dapat berfungsi untuk menyalurkan araharah kegiatan warga masyarakat tersebut ke arah tujuan yang hendak dicapai perubahan tersebut. Sudah tentu bahwa fungsi hukum di atas seyogyanya dilakukan di samping fungsi hukum sebagai sistem pengendalian sosial. B. Hukum dan Stratifikasi Sosial Stratifikasi (lapisan) tidak dapat dihilangkan dalam setiap masyarakat bagaimanapun bentuk susunan masyarakat tersebut. Karl Marx yang terkenal dengan ajaran sosialisnya pernah keliru dalam menganalisa persoalan stratifikasi sosial. Marx menyimpulkan bahwa, kelas40



SOSIOLOGI HUKUM



kelas dalam masyarakat (stratifikasi sosial) dapat dihapuskan abila alat produksi dikuasai oleh kelompok (golongan) proletar. Kenyataannya tidaklah demikian. Ide yang dimajukan oleh Karl Marx tersebut tetap tidak pernah terwujud, sebab dalam kenyataannya tetap ada masyarakat atau kelompok yang disebut sebagai kaum Borjuis dan kaum proletar. Meskipun penekanan Karl Marx dalam menganalisa masalah ini melalui pendekatan ekonomi, tetapi penghapusan kelas-kelas berdasarkan status ekonomi tersebut tetap tidak pernah ada. Hal ini disebabkan karena, jika satu kali alat-alat produksi dikuasai oleh kaum proletar maka akan tiba saatnya pergeseran status di mana kaum proletar itu akan menempati posisi Borjuis. Tetapnya sistem berlapis-lapis dalam masyarakat tersebut dikarenakan adanya sesuatu yang dihargai dalam masyarakat tersebut, dan setiap masyarakat pasti mempunyai sesuatu yang dihargainya, maka sesuatu tersebut dapat menjadi bibit yang menumbuhkan adanya sistem berlapis-lapis dalam masyarakat. Meskipun pada umumnya manusia bercita-cita agar tidak ada perbedaan kedudukan dan peranan di dalam masyarakat. Akan tetapi cita-cita tersebut selalu ada pada kenyataan yang berlainan. Setiap masyarakat harus menempatkan margamarganya pada tempat-tempat tertentu di dalam struktur sosial dan mendorong mereka untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai akibat dari penempatan tersebut. Suatu hipotesa dari ahli-ahli sosiologi yang mengatakan bahwa semakin kompleks stratifikasi sosial suatu masyarakat semakin banyak hukumnya. Hal ini terutama disebabkan oleh karena semakin kompleks stratifikasi sosial, semakin banyak pula kepentingan yang hanya dapat diatur oleh hukum. Semakin komplek stratifikasi sosial diartikan sebagai keadaan di mana banyak sekali ukuran-ukuran yang dipergunakan sebagai indikator untuk mendudukkan seseorang di dalam posisi sosial tertentu.



SOSIOLOGI HUKUM



41



Hipotesa tersebut di atas selanjutnya mempunyai akibat bahwa semakin rendah status seseorang di dalam masyarakat, semakin banyak hukum yang mengaturnya. Dengan kata lain semakin banyak kekuasaan, kekayaan, kehormatan, semakin sedikit hukum yang mengaturnya. Hal ini sebenarnya sangat bertentangan dengan tujuan hukum , yang tidak membedakan keadaan-keadaan semacam itu. Para ahli tersebut melihat bahwa dengan terjadinya pelapisan sosial, maka hukumpun sulit mempertahankan netralitasnya atau kedudukannya yang tidak memihak. Pelapisan sosial ini merupakan kunci bagi penjelasan mengapa hukum itu bersifat diskriminatif, baik pada peraturan-peraturannya sendiri maupun penegakannya. C. Pembentukan Norma Hukum dalam Masyarakat Studi hukum dalam masyarakat kiranya akan berkepentingan terhadap konsepsi mengenai fungsi hukum. Menurut para pakar hukum, fungsi-fungsi hukum itu antara lain meliputi: 1. Memberikan pedoman/pengarahan pada warga masyarakat untuk berperilaku 2. Pengawasan/pengendalian (social control) 3. Penyelesaian sengketa (dispute settlement) 4. Rekayasa sosial (social engineering) Di sini akan dilihat hukum sebagai sarana penyelesaian konflik (dispute settlement). Persengketaan/perselisihan dapat terjadi dalam masyarakat, antara keluarga, yang dapat meretakkan hubungan keluarga antara mereka dalam suatu urusan bersama, yang dapat membubarkan kerjasama.



Masyarakat menyediakan mekanisme untuk menyelesaikan sengketa serta pemecahan perselisihan. Lembaga yang melakukan pekerjaan itu, cukup banyak bentuk dan gayanya. Dalam penyelesaian sengketa/perselisihan salah satu lembaga formalnya adalah pengadilan,



42



SOSIOLOGI HUKUM



namun tidak semua perselisihan selalu diselesaikan melalui lembaga formal ini. Karena di dalam masyarakat sebenarnya banyak sengketa yang diselesaikan sendiri oleh orang-orang yang bersangkutan dengan bantuan orang-orang yang ada disekitarnya. Hukum mempunyai tujuan melindungi kepentingan-kepentingan hidup masyarakat. Akan tetapi karena kepentingan-kepentingan itu saling bertentangan, maka tidaklah mungkin hukum itu dapat memberikan perlindungan penuh terhadap yang satu, serta mengabaikan kepentingan-kepentingan orang lain. Penjagaan kepentingan ini harus mencari jalan tengah untuk mencapai kompromi. Hukum mencari jalan untuk menyelesaikan persoalan ini dengan jalan mempertimbangkan seteliti-telitinya kedua jenis kepentingan yang bertentangan itu, sehingga terdapat keseimbangan. Agar kelangsungan keselarasan interaksi seluruh anggota masyarakat dapat terwujud dan terpelihara, maka diperlukan hukum yang dibentuk atas keinginan dan kesadaraan yang sungguh-sungguh dari tiap-tiap individu dalam masyarakat. Peraturan-peraturan hukum tersebut dapat berupa hukum yang mengatur atau hukum yang memaksa. Bagi setiap penentang hukum akan dikenakan sanksi yang berupa hukuman atau pidana. Keadaan ini memberi indikasi bahwa hukum atau peraturan nilai-nilai keadilan masyarakat. Sebagaimana pandangan Durkheim, hukum adalah konkretisasi dan obyektivikasi dari norma dan nilai-nilai. Jadi penyelesaian sengketa dalam masyarakat pun menggunakan hukum dari sumber kebiasaan, maka dapat dinyatakan bahwa hukum menjadi manajemen bagi penyelesaian sengketa. Kehidupan bermasyarakat mengharuskan para anggotanya berhubungan satu sama lain di dalam berbagai hal. Mereka itu pada hakekatnya adalah pendukung-pendukung suatu kepentingan dan kebutuhan yang dapat diklasifikasikan dalam: 1. Kebutuhan fisiologis, seperti makanan, minuman, pakaian, perumahan dan sebagainya



SOSIOLOGI HUKUM



43



2. Kebutuhan keamanan, ketertiban dan ketentraman dari gangguan, ancaman atau serangan pihak lain 3. Kebutuhan akan kerja sama yang saling menguntungkan atau kerjasama untuk tujuan-tujuan kolektif 4. Kebutuhan akan kehormatan dirinya, akan penghargaan sebagai manusia yang bermartabat dan berkebudayaan. 5. Kebutuhan akan eksistensi dirinya dengan jiwa mereka, yang memiliki daya logika, etika dan estetika atau nalar dan kreatifitas guna membudayakan dirinya. Kepentingan-kepentingan dalam masyarakat sering sekali bertentangan. Masing-masing anggota berusaha melindungi kepentingannya terhadap bahaya yang mengancam, selain itu mereka saling menggantungkan diri apabila kepentingan mereka perlu dipertahankan bersama. Untuk keperluan itu, maka secara bersama-sama mereka mengadakan berbagai peraturan untuk menjaga kepentingan tersebut. Peraturan-peraturan tersebut umumnya disebut norma.



Tingkah laku dan perbuatan seseorang harus bisa disesuaikan dengan aturan ataupun hukum serta norma-norma yang berlaku di dalam lingkungan kelompok atau masyarakatnya. Hal ini disebut normalisasi. Normalisasi tergantung daripada norma-norma yang melindungi hidup bermasyarakat. Di mana saja orang bertempat tinggal akan dikuasai oleh norma-norma di mana tempat dia tinggal, dan ia harus pula menormalisasikan dirinya pada lingkungan norma-norma itu, sebab jika tidak ia akan terisolir dari masyarakat. Pada umumnya norma-norma itu dapat dirinci dalam empat macam, yaitu: 1. Norma kesusilaan Norma kesusilaan bersumber dari hati sanubari (insan kamil) manusia, agar manusia menjadi makhluk sempurna maka salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah mematuhi dan mentaati peraturan-peraturan yang bersumber dari sanubari. Akan tetapi tidak 44



SOSIOLOGI HUKUM



setiap yang keluar dari hati nurani dapat diakui sebagai norma kesusilaan, sebab hanya norma-norma kehidupan yang serupa bisikan hati sanubari (insane kamil) yang diakui dan diinsyafi oleh semua orang sebagai pedoman sikap perbuatan sehari-hari. Norma-norma kesusilaan itu dapat juga menetapkan buruk baiknya perbuatan manusia dan turut pula memelihara ketertiban manusia dalam masyarakat. Norma kesusilaan ini bersifat umum dan universal, dapat diterima oleh seluruh umat manusia. 2. Norma Kesopanan Norma kesopanan dikenal sebagai tata aturan yang hidup di dalam pergaulan sekelompok manusia, demikain pula timbulnya tata aturan tersebut adalah dengan pergaulan sekelompok manusia pula. Tempat berlakunya norma kesopanan ini sangat terbatas, ia tidak mempunyai lingkungan norma agama dan kesusilaan. Norma kesopanan tidak berlaku bagi seluruh masyarakat dunia, ia bersifat khusus dan setempat dan berlaku bagi segolongan masyarakat tertentu saja. 3. Norma Hukum Pengaturan yang dibentuk oleh penguasa negara menimbulkan kaedah berupa peraturan-peraturan dalam segala bentuk dan jenisnya. Di dalam kehidupan sehari-hari terbukti bahwa norma hukum mengikat setiap orang. Pelaksanaan norma hukum dapat dipaksakan dan dipertahankan oleh negara. Penataan dan sanksi terhadap pelanggaran peraturan-peraturan hukum adalah bersifat heteronom artinya dapat dipaksakan oleh kekuasaan dari luar diri manusia yaitu kekuasaan negara. Keistimewaan norma hukum itu justru terletak dalam sifatnya yang memaksa, dengan sanksinya yang berupa ancaman hukuman. Alatalat kekuasaan negara berupaya agar peraturan-peraturan hukum itu ditaati dan dilaksanakan. Paksaan tidak berarti sewenangwenang melainkan harus bersifat sebagai alat yang dapat memberi suatu tekanan agar norma-norma hukum itu dihormati dan ditaati. SOSIOLOGI HUKUM



45



4. Norma agama Norma agama bersumber dari Tuhan, merupakan peraturanperaturan hidup yang diterima sebagai perintah, maupun laranganlarangan. Peraturan-peraturan yang bersifat perintah harus dipatuhi oleh manusia, tetapi pelanggaran terhadap perintah tersebut tidak mempunyai sanksi yang tegas, hanya mengharapkan kesadaran dari masing-masing individu.



Hukum merupakan fenomena sosial yang berasal dari masyarakat, hukum itu dibentuk untuk mengikat masyarakat dan digunakan untuk mengatur bentuk-bentuk hubungan dalam masyarakat itu sendiri. Hukum berisi aturan-aturan, perintah dan larangan-larangan yang menjadi pedoman bagi masyarakat untuk bertindak yang selanjutnya disebut dengan norma. Hukum dapat berfungsi sebagai kaedah dalam masyarakat hukum juga dapat berfungsi sebagai teknologi sosial yang bersifat praktis yaitu bahwa ilmu hukum diharapkan dapat menerapkan peraturan-peraturan hukum yang diperlukan bagi pembangunan masyarakat. Kehidupan bermasyarakat juga menimbulkan adanya stratifikasi sosial yang disebabkan oleh hukum, kekayaan, kehormatan dan sebagainya. Dengan terjadinya stratifikasi sosial akan menimbulkan konflik di tengah-tengah masyarakat karena tidak akan didapatkan hukum yang adil sebab kebiasaannya penegakan hukum dalam stratifikasi sosial akan bersifat memihak.



46



SOSIOLOGI HUKUM



Bab IV



Ruang Lingkup Sosiologi Hukum



SOSIOLOGI HUKUM



47



48



SOSIOLOGI HUKUM



Bab IV



RUANG LINGKUP SOSIOLOGI HUKUM



Hukum ada dalam sebuah tatanan yang paling tidak dapat dibagi ke dalam tiga, yaitu tatanan transedental, tatanan sosial dan tatanan politik yang utuh (holistik) selalu bergerak, baik secara evolutif maupun revolusioner. Sifat pergerakan itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihilangkan atau ditiadakan, tetapi sebagai sesuatu yang eksis dan prinsipil. Dari kenyataan ini, melihat dari banyaknya hukum-hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Indonesia, dan karena hukum tersebut diberlakukan untuk masyarakat Indonesia setidaknya hukum yang dibuat tersebut haruslah berdasarkan jiwa bangsa Indonesia. Perwujudan keadilan sosial sebagai tujuan utama hukum nasional nampaknya hingga saat ini belum juga terwujud, bahkan berbagai rencana nasional telah dibuat untuk mengembangkan hukum di Indonesia demi terwujudnya keadilan, tetapi tidak memberikan hasil yang memuaskan. Orang tidak berbicara tentang kehidupan hukum yang makin bersinar, melainkan sebaliknya kehidupan hukum yang makin suram. Kenyataan tentang kesuraman hukum di Indonesia, telah mendorong Prof. Satjipto Rahardjo, ahli sosiologi hukum Indonesia untuk SOSIOLOGI HUKUM



49



menawarkan suatu konsep pemikiran hukum yang disebut hukum progresif. Hukum progresif di mulai dari asumsi dasar bahwa hukum adalah institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia atau dengan perkataan lain hukum progresif merupakan hukum yang ingin melakukan pembebasan baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan. Penerapan hukum terhadap suatu pola tindak atau peristiwa yang terjadi dalam kehidupan manusia bertujuan untuk menciptakan keamanan dan ketertiban serta mewujudkan keadilan bagi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Akan tetapi untuk mewujudkan keadilan dalam kehidupan masyarakat tidak dapat terlepas dari pemikiran hukum yang diterapkan dan institusi yang diberikan kewenangan untuk melakukan penegakan hukum. Filsafat hukum mengenal berbagai teori hukum yang melandasi pemikiran-pemikiran hukum dalam kehidupan masyarakat termasuk pemikiran hukum di Indonesia seperti teori hukum alam, teori hukum positivisme dan utilitarianisme, teori hukum murni dan groundnorm, teori sosiologi perkembangan hukum dan lain-lain. Salah satu perkembangan terpenting dari teori sosiologi perkembangan hukum adalah pemikiran hukum progresif, ajaran Rahardjo yang dirasakan dapat menjawab kebutuhan masyarakat Indonesia. Namun pemikiran hukum progresif ajaran Rahardjo tersebut, belum sepenuhnya melandasi pemikiran para pembentuk hukum di Indonesia, sehingga hukum yang diberlakukan di Indonesia sebagian masih merupakan produk hukum Belanda, bahkan hukum yang diciptakan oleh Indonesia sendiripun masih banyak yang tidak dilandasi oleh pemikiran hukum progresif, melainkan kebanyakan masih dilandasi oleh pemikiran positivistik-legalistik.



50



SOSIOLOGI HUKUM



Sebaliknya institusi penegak hukum di Indonesia terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengacara dan hakim. Namun dari institusi penegak hukum tersebut, hakim memiliki peranan yang sangat sentral, sebab hakimlah yang memiliki kewenangan untuk memutus perkara, siapa yang benar dan siapa yang salah. Bahkan hakim dapat dipandang sebagai personafikasi atas hukum, sehingga memiliki kewajiban untuk memberikan jaminan rasa keadilan bagi setiap pencari keadilan melalui proses hukum di pengadilan. A. Roh dan Jiwa Sosiologi Hukum Keadilan merupakan salah satu tujuan utama dari hukum, disamping kemanfaatan dan kepastian hukum. Namun kadangkala keadilan hanya menjadi bahan perdebatan di antara kaum intelektual yang tiada akhir, yakni tentang apa itu keadilan, bagaimana wujud keadilan, dimana keadilan itu, kapan seseorang memperoleh keadilan dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan rumit tentang keadilan. Padahal terlepas dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, keadilan harus diwujudkan agar tegaknya supremasi hukum sebab keadilan merupakan roh dari hukum, sehingga jika keadilan tidak diwujudkan maka hukum dianggap telah mati. Jadi antara hukum dan keadilan dapat diibaratkan sebagai manusia tanpa roh dan jiwa, dan manusia yang tanpa roh dan jiwa adalah mayat. Persoalan tentang apa dan bagaimana wujud keadilan itu telah dikemukakan oleh para ahli, sekalipun tetap diakui bahwa keadilan itu subyektif sifatnya yakni apa yang dianggap adil oleh seseorang belum tentu dianggap adil oleh orang lain. Menurut Sudikno Mertokusumo, pertanyaan mengenai apa keadilan itu meliputi dua hal, yaitu hakekat keadilan dan isi atau norma untuk berbuat secara kongkrit dalam keadaan tertentu. Hakekat keadilan adalah penilaian terhadap suatu perlakuan atau tindakan dengan mengkajinya melalui suatu norma yang menurut pandangan subyektif melebihi norma-norma lain, sedangkan tentang isi keadilan, Aristoteles membedakannya menjadi dua macam, yaitu: SOSIOLOGI HUKUM



51



1. Justitia distributif, yaitu keadilan yang menuntut setiap orang mendapat apa yang menjadi hak atau jatahnya (suum cuique tribuere). Jatah ini tidak sama untuk setiap orang, tergantung pada kekayaan, kelahiran, pendidikan, kemampuan dan sebagainya. Jadi dinilai adil disini adalah apabila setiap orang mendapatkan hak atau jatahnya secara proporsional mengingat akan pendidikan, kedudukan, kemampuan dan sebagainya. Justitia distributive ini merupakan kewajiban pembentuk undang-undang untuk diperhatikan dalam menyusun undang-undang. 2. Justitia comutativa, yaitu keadilan yang memberi kepada setiap orang sama banyaknya. Hal ini berarti justitia comutativa menuntut adanya kesamaan, yakni yang adil ialah apabila setiap orang diperlakukan sama tanpa memandang kedudukan dan sebagainya. Justitia comutativa ini tergolong dalam tugas hakim yaitu hakim dalam mengadili perkara yang diajukan kepadanya tanpa membedakan orang (equality before the law). Mengenai isi keadilan juga dikemukakan oleh Thomas Aquinas, dengan membedakan keadilan menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu keadilan umum (justitia generalis) dan keadilan khusus. Keadilan umum adalah keadilan menurut kehendak undang-undang, yang harus ditunaikan demi kepentingan umum, sedangkan keadilan khusus adalah keadilan atas dasar kesamaan atau proporsionalitas. Keadilan khusus dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu: 1. Keadilan distributif justitia ( distributiva) yaitu keadilan yang secara proporsional diterapkan dalam lapangan hukum publik secara umum. Sebagai contoh, negara hanya akan mengangkat seseorang menjadi hakim, apabila orang itu memiliki kecakapan untuk menjadi hakim; 2. Keadilan komutatif adalah keadilan yang mempersamakan antara prestasi dan kontraprestasi; 3. Keadilan vindikatif adalah keadilan dalam hal menjatuhkan hukuman 52



SOSIOLOGI HUKUM



atau ganti kerugian dalam tindak pidana. Seorang dianggap adil apabila ia dipidana badan atau denda sesuai dengan besarnya hukuman yang telah ditentukan atas tindak pidana yang dilakukannya. Selain itu terdapat pula jenis keadilan lain yang dikemukakan oleh Notohamidjojo, yaitu keadilan kreatif (justitia creativa) dan keadilan protektif (justitia protectiva). Keadilan kreatif adalah keadilan yang memberikan kepada setiap orang untuk bebas menciptakan sesuatu sesuai dengan daya kreatifitasnya, sedangkan keadilan protektif adalah keadilan yang memberikan pengayoman kepada setiap orang, yaitu perlindungan yang diperlukan dalam masyarakat. Selanjutnya Roscoe Pound, salah seorang penganutSociological Jurisprudence memberikan pandangan bahwa keadilan dapat dilaksanakan dengan hukum atau tanpa hukum. Keadilan tanpa hukum dilaksanakan sesuai dengan keinginan atau intuisi seseorang yang di dalam mengambil keputusan mempunyai ruang lingkup diskresi yang luas serta tidak ada keterikatan pada perangkat aturan tertentu.



Berdasarkan berbagai paham tentang keadilan sebagaimana diuraikan di atas, maka persoalan selanjutnya yang patut dibahas adalah paham keadilan seperti apa yang dianut oleh Indonesia? Jawaban terhadap pertanyaan ini sangat jelas bahwa paham keadilan yang dianut oleh bangsa Indonesia adalah keadilan menurut Pancasila karena Pancasila adalah falsafah bangsa Indonesia. Kata “adil” dalam Pancasila termuat dalam dua sila, yaitu sila kedua “kemanusiaan yang adil dan beradab” dan sila kelima “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Kata “adil” pada sila kedua, mengandung arti memperlakukan dan memberikan sebagai rasa wajib sesuatu hal yang telah menjadi haknya, baik terhadap diri sendiri, sesama manusia maupun terhadap Tuhan. Adil terhadap diri sendiri berarti memenuhi tuntutan diri pribadi secara manusiawi, sedangkan adil terhadap sesama manusia berarti memberikan sesuatu yang menjadi hak orang lain sebagaimana mestinya. Sebaliknya adil terhadap Tuhan artinya memenuhi tuntutan atau perintah Tuhan dengan taat. SOSIOLOGI HUKUM



53



Lebih lanjut kata “adil” pada sila kelima adalah khusus dalam artian adil terhadap sesama manusia yang didasarkan dan dijiwai oleh adil terhadap diri sendiri serta adil terhadap Tuhan. Perbuatan adil menyebabkan seseorang memperoleh apa yang menjadi haknya dan dasar dari hak ini ialah pengakuan sesama sebagaimana mestinya. Jadi, pelaksanaan keadilan selalu bertalian dengan kehidupan bersama yang berhubungan dengan pihak lain dalam hidup bermasyarakat. Paham keadilan dalam sila kedua dan sila kelima Pancasila tersebut, adalah paham keadilan sosial, yang disebutkan oleh Soekarno pada tanggal 01 Juni 1945 saat sidang BPUPKI dengan sebutan “sociale rechtvaardigheid”, sedangkan Moh. Yamin mengistilahkan keadilan sosial dengan kesejahteraan rakyat, dengan mengatakan “kesejahteraan rakyat yang menjadi dasar Indonesia merdeka ialah dengan gagasan negara integralistik yang menginginkan negara menyelenggarakan keinsyafan keadilan rakyat seluruhnya. Keadilan sosial yang dianut oleh Indonesia berdasarkan paham Pancasila, selanjutnya ditetapkan dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD, 1945 dan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Alinea keempat UUD 1945 memuat tujuan nasional Indonesia adalah untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kemudian dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor: 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menetapkan “Peradilan dilakukan Demi Kedilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dan Pasal 5 ayat (1) undang-undang yanag sama menetapkan “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”



54



SOSIOLOGI HUKUM



B. Karakteristik Sosiologi Hukum Upaya untuk memberikan jaminan rasa keadilan kepada masyarakat pencari keadilan sangat dibutuhkan hakim yang memiliki kemampuan analisis hukum yang baik, integritas, moral dan etika. Hakim tidak boleh memihak kepada salah satu pihak yang berperkara di pengadilan, seperti jaksa yang harus berpihak kepada kepentingan negara dan berusaha membuktikan adanya kesalahan terdakwa dengan alasan demi tegaknya hukum dan keadilan, sedangkan pengacara yang berpihak pada kepentingan klien sehingga berusaha untuk mencari kelemahan dan keringanan atas pembuktian jaksa, juga dengan alasan yang sama yaitu demi tegaknya hukum dan keadilan. Hubungan antara hukum dan hakim sebagai sentral dalam penegakan hukum sebagaimana diuraikan di atas, sangat berpengaruh terhadap pencapaian keadilan subtantif sesuai dengan nilai-nilai yang dituangkan dalam Pancasila. Dengan perkataan lain, hubungan antara hukum, hakim dan keadilan adalah perwujudan keadilan substantif sesuai nilai-nilai dalam Pancasila sangat bergantung kepada pemikiran hukum yang diterapkan oleh hakim di pengadilan. Fakta yang terjadi di Indonesia adalah kebanyakan penegak hukum termasuk hakim dalam proses penegakan hukum belum dilandasi oleh pemikiran hukum progresif melainkan dilandasi oleh pemikiran hukum positivistiklegalistik dengan memandang hukum hanyalah berupa undang-undang dan semata-mata untuk mengejar kepastian hukum, dengan mengorbankan keadilan sosial masyarakat. Disinilah pentingnya untuk kembali memaknai konsep sosiologi hukum. Secara sederhana sosiologi hukum adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya secara empiris analitis. Untuk memudahkan fungsi hukumnya, pelaksanaan fungsi hukum dengan dibantu oleh pengetahuan atau ilmu sosial pada alat-alat hukumnya. Berbeda dengan ilmu hukum, sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum. Perilaku yang



SOSIOLOGI HUKUM



55



mentaati hukum dan yang menyimpang dari hukum sama sama merupakan objek pengamatan yang setaraf. Sosiologi hukum tidak menilai yang satu lebih dari yang lain. Perhatian yang utama hanyalah pada memberikan penjelasan terhadap penjelasan terhadap objek yang dipelajari. Sosiologi hukum tidak memberikan penilaian, melainkan mendekati hukum dari segi objektivitas semata dan bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap fenomena hukum yang nyata. Sosiologi hukum merupakan cabang ilmu yang termuda dari cabang ilmu hukum yang lain. Hal itu tampak pada hasil karya tentang sosiologi hukum yang hingga kini masih sangat sedikit. Hal itu dikarenakan eksistensi sosiologi hukum sebagai ilmu yang baru yang Berdiri sendiri, banyak di tentang oleh para ahli,baik ahli hukum ataupun ahli sosiologi. Sosiologi hukum merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang antara lain meneliti mengapa manusia patuh pada hukum dan mengapa dia gagal. Untuk menaati hukum tersebut serta faktorfaktor sosial lain yang mempengaruhinya. Sosiologi hukum merupakan suatu cabang dari sosiologi umum. Sosiologi hukum menganalisa bagaimana jalannya suatu hukum dalam masyarakat, yang merupakan hal utama bagi para pengguna hukum agar tahu betapa berpengaruhnya Hukum dalam suatu masyarakat. Hal inilah yang membuat betapa harus kita belajar mengenai sosiologi hukum. Adapula ciri dari sosiologi hukum yang berupa empiris atau berupa gejala masyarakat yang bersifat kenyataan dan tidak bersifat spekulatif. Analisa dari sosiologi hukum ini diresap secara tidak sadar oleh masyarakat, baik secara internal maupun eksternal dalam melakukan suatu interaksi. Kita dapat menarik contoh bagaimana masyarakat meresap analisa sosiologi hukum secara tidak sadar dalam hal kesadaran akan undang-undang. Karakteristik dari studi hukum secara sosiologis memberikan penjelasan mengenai praktik-praktik hukum baik oleh para penegak hukum maupun masyarakat. Apabila praktik praktik tersebut dibedakan ke dalam pembuatan peraturan perundang undangan, penerapan 56



SOSIOLOGI HUKUM



dan pengadilan, maka sosiologi hukum juga mempelajari, bagaimana praktik yang terjadi pada masing masing kegiatan hukum tersebut. Selain itu, sosiologi hukum senantiasa menguji keabsahan empiris dari suatu peraturan atau pernyataan hukum, apabila hal itu dirumuskan dalam suatu pertanyaan, pertanyaan itu adalah : bagaimanakah dalam kenyataannya peraturan tersebut?, apakah kenyataan memang seperti tertera pada bunyi peraturan? Terdapat suatu perbedaan yang bvesar antara pendekatan tradisional yang normative dan pendekatan sosiologis, yaitu bahwa yang pertama menerima saja apa yang tertera pada aturan hukum, sedang yang kedua senantiasa menguji dengan data empiris. Dalam dunia hukum, terdapat fakta lain yang tidak diselidiki oleh ilmu hukum, yaitu pola-pola kelakuan (hukum) warga masyarakat. Ruang lingkup sosiologi hukum mencakup 2 (dua) hal, yaitu: 1. Dasar-dasar sosial dari hukum, contoh: hukum nasional Indonesia, dasar sosialnya adalah Pancasila, dengan ciri-cirinya : gotong-royong, musyawarah-kekeluargaan. 2. Efek-efek hukum terhadap gejala-gejala sosial lainnya, contoh: UU PMA terhadap gejala ekonomi, UU Pemilu dan Partai Politik terhadap gejala politik, UU Hak Cipta tahun 1982 terhadap gejala budaza, UU Perguruan Tinggi terhadap gejala pendidikan.



Tahap tersebut akan tercapai apabila para sosiolog tidak lagi berperan sebagai teknisi, akan tetapi lebih banyak menaruh perhatian pada ruang lingkup yang lebih luas. Pada tahap ini, seorang sosilog harus siap untuk menelaah pengertian legalitas agar dapat menentukan wibawa moral dan untuk menjelaskan peran ilmu sosial dalam menciptakan masyarakat yang didasarkan pada keseimbangan hak dan kewajiban yang berorientasi pada keadilan. Pada pendekatan intrumental adalah merupakan disiplin Ilmu teoritis yang umumnya mempelajari ketentraman dari berfungsinya hukum, dengan tujuan disiplin ilmu adalah untuk mendapatkan prinsip-prinsip SOSIOLOGI HUKUM



57



hukum dan ketertiban yang didasari secara rasional dan didasarkan pada dogmatis yang mempunyai dasar yang akurat dan tidak terlepas dari pendekatan hukum alam. Sosiologi hukum senantiasa menguji kesahihan empiris dari suatu peraturan atau pernyataan hukum, sehingga mampu memprediksi suatu hukum yang sesuai dan/atau tidak sesuai dengan masyarakat tertentu. Sosilogi hukum bersifat khas ini adalah apakah kenyataan seperti yang tertera pada peraturan dan harus menguji dengan data empiris. Sosiologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara empiris dan analitis mempelajari hubungan timbal-balik antara hukum sebagai gejala sosial, dengan gejala gejala sosial lain. Studi yang demikian memiliki beberapa karakteristik, yaitu: 1. Sosiologi hukum bertujuan untukmemberian penjelasan terhadap praktek prektek hukum. Apabila praktek itu dibedakan kedalam pembuatan undang undang, penerapanya, dan pengadilanya,maka ia juga mempelajari bagaimana praktek yang terjadi dari kegiatan hukum tersebut. Dengan demikian makin jelas sudah tugas dari sosiologi hukum, yaitu mempelajari tingkah laku manusia dalam bidang hukum. Menurut Weber, tingkah laku ini memiliki dua segi, yaitu “luar” dan “dalam”. Dengan demikian sosiologi hukum tidak hanya menerima tingkah laku yang tampak dari luar saja, tetapi juga meperoleh penjelasan yang bersifat internal, yaitu meliputi motif-motif tingkah laku seseorang. Apabila di sini di sebut tingkah laku hukum maka sosiologi hukum tidak membedakan antara tingkah laku yang sesuai denagn hukum atau yang menyimpang dari kaidah hukum, keduanya merupakan obyek pengamatan dari ilmu ini. Contohnya : Lampu kuning di perempatan harusnya pelanpelan, siap-siap berhenti, tapi dalam kenyataannya malah ngebut. Kemudian, lampu merah di perempatan, kalau tidak ada polisi, pengemudi terus jalan. 2. Sosiologi hukum senantiasa menguji kekuatan empiris (empirical validity) dari suatu peraturan atau pernyataan hukum. Pernyataan 58



SOSIOLOGI HUKUM



yang bersifat khas di sini adalah “Bagaimanakah dalam kenyataannya peraturan tersebut?”, “Apakah kenyataan seperti yang tertera dalam bunyi perturan tersebut?” Perbedaan yang besar antara pendekatan tradisional yang normatif dan pendekatan sosiologis adalah bahwa yang pertama menerima saja apa yang tertera pada peraturan hukum, sementara yang kedua menguji dengan data (empiris). Misalnya terhadap putusan pengadilan, pernyataan notaris dan seterusnya apakah sesuai dengan realitas empirisnya?



Sosiologi hukum tidak melakukan penilain terhadap hukum. Tingkah laku yang Mentaati hukum atau yang menyimpang dari hukum sama-sama menjadi obyek dari bahasan ilmu ini. Pendekatan yang demikian itu kadang-kadang menimbulkan salah paham, seolah-olah sosiologi hukum ingin membenarkan praktek-praktek yang melanggar hukum. Sekali lagi bahwa sosiologi hukum tidak memberikan penilaian, melainkan mendekati hukum sebagai obyektifitas semata dan bertujuan untuk menjelaskan terhadap fenomena hukum yang nyata. Semua perilaku hukum dikaji dalam nilai yang sama tanpa melihat apakah itu benar, karena sosiologi hukum sesungguhnya adalahseinwissenschaaft (ilmu tentang kenyataan). Jadi orang-orang sosiologi hukum tidak boleh apriori. Contohnya, pelaku pidana tidak bisa dimaknai orang yang selalu jahat. Sebagai cabang sosiologi yang terpenting, sosiologi hukum masih dicari perumusannya. Kendati selama puluhan terakhir semakin mendapat perhatian dan aktual, sosiologi hukum belum memiliki batasbatas tertentu yang jelas. Ahli-ahlinya belum menemukan kesepakatan mengenai pokok persoalannya, atau masalah yang dipecahkannya, serta hubungannya dengan cabang ilmu hukum lainnya. Terdapat pertentangan antara ahli sosiologi dan ahli hukum mengenai keabsahan sosiologi hukum. Ahli hukum memerhatikan masalah quid juris, sementara ahli sosiologi bertugas menguraikan quid facti: mengembalikan fakta-fakta sosial kepada kekuatan hubungan-hubungan. Sosiologi hukum dipandang oleh ahli hukum dapat menghancurkan SOSIOLOGI HUKUM



59



semua hukum sebagai norma, asas yang mengatur fakta-fakta, sebagai suatu penilaian. Para ahli khawatir, kehadiran sosiologi hukum dapat menghidupkan kembali penilaian baik-buruk (value judgement) dalam penyelidikan fakta sosial. Terdapat perbedaan antara sosiologi hukum yang dikenal di Eropa dan ilmu hukum sosiologis yang dikenal di Amerika Serikat. Sosiologi hukum memusatkan penyelidikan di lapangan sosiologi dengan membahas hubungan antargejala kehidupan kelompok dengan “hukum”. Sementara itu, ilmu hukum sosiologis menyelidiki ilmu hukum serta hubungannya dengan cara menyesuaikan hubungan dan tertib tingkahlaku dalam kehidupan kelompok. Memang, sebagaimana dikatakan Soerjono Soekanto, untuk mengetahui hukum yang berlaku, sebaiknya seseorang menganalisis gejala-gejala hukum dalam masyarakat secara langsung: meneliti proses-proses peradilan, konsepsi-konsepsi hukum yang berlaku dalam masyarakat (semisal tentang keadilan), efektivitas hukum sebagai sarana pengendalian sosial, serta hubungan antara hukum dan perubahan-perubahan sosial. Perkembangan masyarakat yang susunannya sudah semakin kompleks serta pembidangan kehidupan yang semakin maju dan berkembang menghendaki pengaturan hukum juga harus mengikuti perkembangan yang demikian itu. Sosiologi hukum berkembang atas suatu anggapan dasar bahwa proses hukum berlangsung di dalam suatu jaringan atau sistem sosial yang dinamakan masyarakat. O.W. Holmes, seorang hakim di Amerika Serikat, mengatakan bahwa kehidupan hukum tidak berdasarkan logika, melainkan pengalaman. Menurut Soerjono Soekanto, karakteristik sosiologi hukum meliputi: 1. Pola-pola perilaku (hukum) warga masyarakat, 2. Hukum dan pola-pola perilaku sebagai ciptaan dan wujud dari kelompokkelompok sosial, dan 3. Hubungan timbal-balik antara perubahan-perubahan dalam hukum dan perubahan-perubahan sosial dan budaya. 60



SOSIOLOGI HUKUM



C. Kegunaan Sosiologi Hukum Kata “moral” secara etimologis berasal dari bahasa Latin (Yunani) yaitu moralis, mos, moris yang artinya adat istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku dan kelakuan atau dapat pula diartikan “mores” yang merupakan gambaran adat istiadat, kelakuan tabiat, watak, akhlak dan cara hidup. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, moral artinya ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai akhlak dan budi pekerti atau kondisi mental yang mempengaruhi seseorang menjadi tetap bersemangat, berani, disiplin dan sebagainya. Jadi, moral artinya segala penilaian, ukuran, karakter, prilaku, kesadaran yang berhubungan dengan apa yang baik dan apa yang buruk atau mana yang benar dan mana yang salah, berdasarkan kepada prinsip-prinsip umum yang diberlakukan berdasarkan atas kesadaran manusia, yang berasal dari perasaan dan perhitungan probabilitas, bukan berdasarkan atas kategori pembuktian ilmiah. Paham yang sangat kuat tentang moral adalah paham yang menyatakan bahwa moralitas sosial memiliki karakteristik berupa “nilai” suci, yang merupakan kebajikan yang abadi dan bersumber dari akal pikiran manusia (human reason). Namun ketika unsur moral yang tidak lain adalah sesuatu yang baik dan suci itu dioperasionalkan, maka akan berfungsi dengan baik jika dijalankan secara efisien dan berguna bagi masyarakat. Sehubungan dengan tugas dan kewenangan dari pembentuk dan penegak hukum adalah apabila pembentuk dan penegak hukum dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya, dilaksanakan dengan baik dan efisien dan hasilnya memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat, maka dapat dikatakan pembentuk dan penegak hukum itu memiliki moral yang baik. Sebaliknya apabila pembentuk dan penegak hukum dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, dijalankan dengan cara yang menyimpang dari tugas dan kewenangan yang sebenarnya, maka dapat dikatakan pembentuk dan penegak hukum dimaksud tidak memiliki moral atau setidak-tidaknya memiliki moral SOSIOLOGI HUKUM



61



yang rendah dan jika memang tidak ada atau rendahnya moral yang dimiliki oleh pembentuk dan penegak hukum, maka sudah sangat jelas pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia tidaklah dilandasi oleh moral. Fakta yang terjadi di Indonesia pada zaman reformasi ini, sebagian besar pembentuk dan penegak hukum dalam menjalankan tugas dan kewenangannya tidak secara efisien dan sering mengakibatkan kerugian bagi negara dan masyarakat karena selalu menyimpang dari tugas dan kewenangan yang diberikan oleh negara. Fakta-fakta tersebut dapat dibuktikan melalui pemberitaan-pemberitaan di media masa dan hasil survey Transparency International Indonesia (TII) yang menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dari lima negara terkorup di dunia. Kasus-kasus korupsi yang sempat mengagetkan Indonesia antara lain tragedi korupsi di Komisi Pemilihan Umum yang melibatkan mantan aktivis LSM dan HAM serta beberapa guru besar yang pada awal reformasi selalu menerikan tentang pemberantasan korupsi. Indonesia tersentak pula ketika Menteri Agama beserta salah seorang dirjennya dijatuhi penjara karena terbukti melakukan korupsi terhadap Dana Abadi Umat. Kasus lainnya adalah beberapa anggota DPR yang ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi karena diduga melakukan korupsi. Metode penemuan hukum terdiri dari dua macam, yaitu interpretasi atau penafsiran dan argumentum atau argumentasi. Interpretasi atau penafsiran adalah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu, sedangkan argumentum atau argumentasi adalah metode penemuan hukum yang digunakan oleh hakim apabila hakim tidak menemukan hukumnya tetapi terdapat ketentuan hukum yang serupa dengan kasus yang sedang diadili. Dengan demikian, meskipun antara interpretasi dengan argumentum sama-sama merupakan metode penemuan 62



SOSIOLOGI HUKUM



hukum, namun keduanya memiliki perbedaan yang prinsipil yaitu pertama, interpretasi dapat digunakan oleh hakim apabila ketentuan hukumnya ada tetapi kabur atau tidak jelas, sedangkan argumentum dapat digunakan oleh hakim, jika dalam suatu peristiwa kongkrit hakim tidak menemukan hukumnya dan kedua, metode interpretasi atau penafsiran dapat digunakan dalam semua bidang ilmu hukum, sedangkan metode argumentum tidak dapat digunakan dalam hukum pidana karena hukum pidana mendasarkan pada azas legalitas.



Dari pemikiran di atas, maka sosiologi hukum oleh para ahli disebutkan memiliki kegunaan yang bermacam-macam. Pertama, sosiologi hukum mampu memberi penjelasan tentang satu dasar terbaik untuk lebih mengerti Undang-undang ahli hukum ketimbang hukum alam, yang kini tak lagi diberi tempat, tetapi tempat kosong yang ditinggalkannya perlu diisi kembali. Kedua, sosiologi hukum mampu menjawab mengapa manusia patuh pada hukum dan mengapa dia gagal untuk menaati hukum tersebut serta faktor-faktor sosial lain yang memengaruhinya. Ketiga, sosiologi hukum memberikan kemampuan-kemampuan bagi pemahaman terhadap hukum di dalam konteks sosial. Keempat, sosiologi hukum memberikan kemampuankemampuan untuk mengadakan analisis terhadap efektivitas hukum dalam masyarakat, baik sebagai sarana pengendalian sosial, sarana untuk mengubah masyarakat, maupun sarana untuk mengatur interaksi sosial, agar mencapai keadaan-keadaan sosial tertentu. Kelima, sosiologi hukum memberikan kemungkinan dan kemampuan-kemampuan untuk mengadakan evaluasi terhadap efektivitas hukum di dalam masyarakat. Bila para ahli hukum dalam melakukan analisanya berpegang pada indikator-indikator dalam aturan-aturan hukum seperti pengetahuan, keputusan resmi, pengadilan, maka lain halnya dengan ahli sosiologi dimana mereka dalam melakukan analisa tentang hukum meninjaunya dari segi-segi aturan sosial, peranan hukum, dan perubahan-perubahan sosial. Hukum adalah suatu seni atau juga dianggap SOSIOLOGI HUKUM



63



sebagai suatu ketrampilan yang ditransmisikan dari seorang ahli kepada seseorang yang masih magang, walaupun dalam beberapa hal diduga bersifat destruktif sehingga diharapkan bahwa pendidikan hukum memiliki daya tahan yang terus menerus terhadap perubahan yang terjadi. Adanya suatu kesalahan konsepsi tentang hukum yang kini tumbuh di kalangan masyarakat, yaitu suatu pandangan bahwa hukum itu adalah sesuatu yang bersifat normative, bahwa hukum adalah suatu keharusana atau perintah dan bahwa metodologi kebanyakan sosiologi tradisional dianggap tidak sesuai bagi suatu penelitian terhadap ilmuilmu yang bersifat normative dan terhadap ilmu -ilmu yang merupakan institusional. Karakter hukum yang membedakan dari aturan-aturan yang bersifat normative ialah adanya mekanisme kontrol yang disebut sebagai sanksi. Hukum berfungsi untuk menciptakan aturan-aturan sosial dan sanksi digunakan sebagai alat untuk mengontrol mereka yang menyimpang dan juga digunakan untuk menakut-nakuti agar orang tetap patuh kepada aturan-aturan sosial yang sudah ditentukan. Konsep sosiologi yang berkaitan dengan masalah hukum tidak mungkin untuk bisa kita pahami secara matematis. Karena itu setiap orang yang mencoba menciptakan konsep sosiologi hukum berarti dia melibatkan diri dengan fenomena sosial, suatu fenomena yang sangat kompleks sehingga untuk memahaminya tidak bisa hanya dengan menggunakan jasa pikiran satu arah saja. Hukum secara sosiologis penting dan merupakan suatu lembaga kemasyarakatan yang merupakan himpunan nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola-pola perikelakuan yang berkisar pada kebutuhan-kebutuhan pokok manusia. Hukum sebagai suatu lembaga kemasyarakatan hidup berdampingan dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya dan saling pengaruh mempengaruhi dengan lembaga kemasyarakatan tadi. Jadi sosiologi hukum berkembang atas dasar suatu anggapan dasar, bahwa proses hukum berlangsung didalam suatu jaringan atau sistem sosial yang dinamakan masyarakat. Artinya bahwa hukum hanya dimengerti 64



SOSIOLOGI HUKUM



dengan jalan memahami sistem sosial terleih dahulu dan bahwa hukum merupakan suatu proses. Perihal perspektif dari pada sosiologi hukum, maka secara umum ada dua pendapat utama, yakni: 1. Pendapat-pendapat yang menyatakan bahwa kepada sosiologi hukum harus diberikan suatu fungsi global. Artinya sosiologi hukum haus menghasilkan suatu sintesa antara hukum sebagai saranan organisasi sosial dan seagai saranan dari keadilan. Didalam fungsinya itu maka hukum dapat memperoleh bantuan yang tidak kecil dari sosiologi hukum, didalam mengidentifikasi konteks sosial dimanan hukum tadi diharapkan berfungsi. 2. Pendapat- pendapat lain menyatakan bahwa kegunaan sosiologi hukum adalah justru dalam bidang penerangan dan pengkadaran. Dari batasan ruang lingkup maupun perspektif sosiologi hukum, maka dapat dikatakan bahwa kegunaan sosilogi hukum di dalam kenyataannya adalah sebagai berikut : 1. Sosiologi berguna untuk memberikan kemampuan bagi pemahaman terhadap hukum di dalam konteks sosial. 2. Penguasaan konsep-konsep sosiologi hukum dapat memberikan kemampuan untuk mengadakan analisa terhadap efektivitas hukum dalam masyarakat. 3. Sosiologi hukum memberikan kemungkinan serta kemampuan untuk mengadakan evaluasi terhadap efektivitas hukum di dalam masyarakat. Sanksi memberi peranan dalam proses efektivikasi sosiologi hukum. Efektivikasi ini merupakan proses yang bertujuan agar supaya sosiologi hukum berlaku efektif. Keadaan tersebut dapat ditinjau atas dasar beberapa tolok ukur efektivitas. Menurut Suryono, efektifitas dari sosiologi hukum diantaranya: 1. Hukum itu harus baik, yakni: a. Secara sosiologis (dapat diterima oleh masyarakat) b. Secara yuridis (keseluruhan hukum tertulis yang mengatur bidang-bidang hukum tertentu harus sinkron) SOSIOLOGI HUKUM



65



c. Secara filosofis 2. Penegak hukumnya harus baik, dalam artian betul-betul telah melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana digariskan oleh hukum yang berlaku. 3. Fasilitas tersedia yang mendukung dalam proses penegakan hukum 4. Kesadaran hukum masyarakat



66



SOSIOLOGI HUKUM



Bab V



Metode Pendekatan Sosiologi Hukum



SOSIOLOGI HUKUM



67



68



SOSIOLOGI HUKUM



Bab V



METODE PENDEKATAN SOSIOLOGI HUKUM



Ilmu hukum sebagai salah satu ilmu pengetahuan yang meneliti gejala hukum dalam masyarakat telah berlangsung selama berabadabad. Di dalam penelitiannya terhadap bidang kehidupan hukum selama berabad-abad tersebut, ilmu hukum telah berkembang menjadi suatu jaringan dari berbagai spesialisasi yang dinamakan hukum pidana, hukum perdata, hukum tata negara, hukum internasional, dan seterusnya. Dalam keadaan seperti demikian, ternyata masih diperlukannya ilmu pengetahuan yang meneliti bidang hukum disamping ilmu hukum, yakni yang disebut dengan sosiologi hukum. Akan tetapi di dalam kenyataannya, sering terdengar adanya kekecewaan dari sebagian orang, tentang kegagalan dari ahli-ahli hukum dan hukum untuk memainkan peran yang lebih aktif dan memberikan arti lebih positif bagi proses pembangunan. Dalam kalimat yang lebih vulgar, Rahardjo mengungkapkan bahwa, telah terjadi kemandulan dari hukum dan ilmu hukum yang ada di Indonesia. Terjadinya keadaan yang demikian, dikarenakan hukum yang berkembang di Indonesia sampai dengan dasawarsa 1980-an dinilai tidak mendukung arah perubahan masyarakat dan



SOSIOLOGI HUKUM



69



dengan demikian juga tidak membantu berhasilnya usaha-usaha produktif yang sedang dijalankan masyarakat. Sedangkan ilmu hukumnya pun hanya mendasarkan pada konsep-konsep mengenai dan metode pendekatan terhadap hukum yang tidak peka terhadap perkembangan, perubahan dan proses sosial yang sedang berlangsung di dalam masyarakat. Pada saat itu para ahli hukumnya lebih banyak dipandang sebagai tukang-tukang dan montir-montir dari mesin hukum, yang terasing dari masyarakat dan problem-problemnya dan tidak mempunyai daya kreatif untuk menempatkan sistem hukumnya dalam lingkungan masyarakat masing-masing. A. Pendekatan Teoritis Pendekatan ini menekankan pada sebuah instrumen yang ada pada kajian sosiologi hukum melalui berbagai macam penalaran dan logika yang itu hanya bisa diterima dengan akal saja. Podgorecki pernah menyatakan seperti yang dikutip Soerjono, bahwa sosiologi hukum merupakan suatu disiplin ilmu teoritis yang umumnya mempelajari keteraturan dari berfungsinya hukum. Tujuan disiplin ilmu itu adalah untuk mendapatkan prinsip-prinsip hukum dan ketertiban yang disadari secara rasional dan didasarkan pada dogmatisme yang mempunyai dasar yang akurat. Oleh karena itu, tujuan dari sosiologi hukum adalah untuk menyajikan sebanyak-banyaknya kondisi yang diperlukan agar hukum dapat berlaku secara efisien. Thomas S. Khun menyebut sebagai paradigma dominan dengan kata lain bahwa dapat disebut juga dengan pendekatan teoritis, mencakup unsur-unsur kepercayaan, nilai-nilai, aturan-aturan, cara-cara dan dugaan-dugaan yang dipunyai warga masyarakat tertentu. Oleh karena itu, pokok-pokok pendekatan paradigmatik adalah: 1. Sosiologi hukum bertugas untuk mempelajari dan mengkritik paradigma-paradigma yang ada yang menjadi pedoman kalangan 70



SOSIOLOGI HUKUM



profesi hukum dan norma-norma hukum yang menjadi dasar sistem hukum masyarakat. 2. Mempelajari kenyataan hukum, mengidentifikasikan perbedaan antara kenyataan dengan paradigma yang berlaku dan mengajukan rekomendasi untuk mengadakan perubahan pada perilaku atau norma. 3. Mengajukan paradigma-paradigma yang baru. Sosiologi hukum merupakan ilmu yang menganggap hukum bukan hanya sisi normatif semata tapi merupakan sekumpulan fakta empiris, sesuatu yang nyata dalam masyarakat, yang ditinjau dari berbagai sisi sampai terdapat keseimbangan informasi terhadap fenomena sosial tentang hukum.



Dengan alur pemikiran seperti ini, maka dalam menghadapi kasus hukum sebagai suatu fenomena membawa perubahan pada cara pandang kita dalam melihat hukum. Tidak hanya pada dunia pasal-pasal yang terdapat dalam perundang-undangan, dunia abstrak, dunia yang dicita-citakan semata, dunia yang seharusnya tetapi dunia yang utuh, yaitu dunia yang mengisahkan pergulatan hukum dalam dunia rimba raya, dunia yang tidak ada ujung pangkalnya. Jika kita melakukan konstruksi hukum dan membuat kebijakankebijakan untuk merealiasasi tujuan-tujuannya, maka merupakan hal yang esensial untuk mempunyai pengetahuan empiris tentang akibat yang ditimbulkan. Dengan berlakunya suatu Undang-undang atau kebijakan tertentu terhadap perilaku warga masyarakat, sesuai dengan pendekatan teoritis, kita harus mempelajari Undang-undang dan hukum tidak hanya yang berkaitan dengan maksud dan tujuan moral etikanya dan juga tidak hanya yang berkaitan dengan substansi dari Undangundang itu, tetapi yang harus kita pelajari adalah yang berkaitan dengan bagaimana Undang-undang itu diterapkan dalam praktek. Para ilmuwan yang menetapkan fondasi bagi sosiologi modern, seperti Emile Durkheim dan Max Weber, lebih memusatkan karya SOSIOLOGI HUKUM



71



mereka di sekitar pertanyaan tentang hubungan sosial dari hukum. Dari arah lain kita mengenal para pakar hukum yang mencoba untuk mengungkapkan bagaimana pengaruh nyata hukum terhadap masyarakat. Dan yang sangat terkenal dalam pengalaman Amerika Serikat, Oliver Wendell Holmes dan Rescoe Pound telah membahas tentang bagaimana pengaruh hukum dalam kenyataanya terhadap pranatapranata sosial dan terhadap individu. Karya-karya mereka menjadi fondasi bagi realisme hukum. Sebagaimana diketahui bahwa realisme hukum merupakan suatu pendekatan yang didirikan pada awalnya di dalam ilmu hukum, yang menggunakan bukan sekedar dokumendokumen hukum, penalaran hukum, dan teori formal tentang hukum, melainkan juga menerima pengunaan analisis ilmu sosial terhadap hukum agar dapat mengetahui bagaimana Undang-undang dan putusan hukum secara nyata bekerja di dunia, dan bagaimana Undang-undang dan putusan hukum berpengaruh terhadap problem-problem masyarakat. Sebenarnya semua sosiolog yang mempelajari hukum memerhatikan perkembangan faktial pengetahuan tentang hubungan antara hukum dan masyarakat. Para sosiolog berusaha menetapkan suatu statements tentang hukum dan masyarakat yang are subject to change based on diciplined observation. Para sosiolog hukum sebagai contoh, akan mempelajari pidana mati dalam kaitannya dengan efeknya terhadap crime rates, efeknya terhadap tatanan sosial dan masyarakat, dan efeknya terhadap kondisi-kondisi dimana ia ditumbuhkan. Bagaimana pun adalah penting untuk mengakui bahwa para sosiolog hukum sering mempunyai cara yang berbeda untuk membatasi dan mempelajari masalah-masalah. Terdapat tradisi dan cara yang berbeda-beda untuk melakukan konstruksi terhadap berbagai masalah hukum dan masyarakat yang menimbulkan berbagai jenis pertanyaan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, pertanyaan apakah pidana mati menghalangi kejahatan atau tidak? Berbeda dengan pertanyaan apakah pidana mati telah memuaskan atau tidak bagi kebutuhan emosional untuk balas dendam bagi keluarga korban (Achmad Ali, 2012). 72



SOSIOLOGI HUKUM



B. Pendekatan Normatif Sebuah pendekatan yang dilakukan oleh para pakar sosiologi hukum dalam menelaah suatu peristiwa yang terjadi di masyarakat dengan kata lain bahwa pendekatan normatif juga mempunyai sisi lain, yaitu tampak kenyataannya, yang dimaksud dengan tampak kenyataannya disini adalah bukan kenyataan dalam bentuk pasal undangundang, melainkan sebagaimana hukum itu dijalankan sehari-harinya. Apabila kita mencoba untuk mengamati dan mempelajari hukum dalam tampaknya yang demikian itu, maka kita harus keluar dari batasbatas peraturan hukum dan mengamati praktek hukum atau hukum sebagaimana dijalankan oleh orang-orang dalam masyarakat. Pendekatan normatif juga dapat disebut dengan pendekatan atau pandangan positivistik karena merupakan sebuah model pemikiran yang mendominasi pengkajian-pengkajian terhadap hukum di abad pertengahan. Di mana pada abad-abad ini, ilmu hukum banyak memusatkan perhatiannya pada penelaahan mengenai tertib logis dari tatanan peraturan yang berlaku. Ia juga banyak menaruh minat pada pemahaman dan pendefinisian istilah-istilah yang dipakai dalam tatanan tersebut. Adanya pandangan positivistik tentang hukum ini, mencari sandarannya pada teori pragmatik tentang kebenaran, yang menyatakan suatu teori adalah benar, jika teori itu berfungsi secara memuaskan. Hal ini akan ditentukan berdasarkan persetujuan dari kelompok orangorang terhadap siapa teori itu ditujukan. Jika teori itu di kalangan orangorang itu memperoleh cukup persetujuan, maka teori itu akan dianggap benar. Inti di dalam ilmu menurut pandangan ini adalah hubungan antara subyek dengan subyek. Teori yang berhasil memperoleh persetujuan yang cukup, menghasilkan sebagai akibatnya pengetahuan intersubjektif. Ilmuannya bekerja dari suatu perspektif internal, artinya bahwa ia mendekati gejala-gejala yang hendak dipelajarinya sebagai soerang



SOSIOLOGI HUKUM



73



partisipan, yang langsung terkait pada gejala yang dipelajari, yang kedalamnya ia sesungguhnya terlibat. Fakta tidak akan diketahui dengan jelas apabila kita hanya mengamati ajaran-ajaran atau rumusan-rumusan yang resmi atau formal. Untuk itu pembahasan yang dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan analisis budaya. Maksudnya bahwa upaya untuk masuk ke dalam dunia konseptual kelompok manusia tertentu. Ia berusaha untuk memahami nilai-nilai, konsep-konsep dan gagasan-gagasan melalui mana dan dengan apa sekelompok manusia itu hidup, serta memahami, baik pengalaman-pengalamannya sendiri maupun dunia dimana mereka hidup. Dengan menggunakan analisis budaya, bukan saja sekalian persoalan dapat terekam baik, tapi juga dapat menguak ‘logika’ dibalik persoalan itu. Jelaslah pendekatan ini berusaha memahami suatu objek, tidak melalui kacamata “orang luar”, tapi “dari dalam” tidak secara “gebyah uyah” memahami secara umum saja, tapi menghormati kekhususan dan kunikannya. Seringkali dikatakan orang, bahwa penelitian hukum bukanlah penelitian ilmiah, karena hukum merupakan suatu gejala yang bersifat normatif. Artinya, hukum telah menjadi kaidah-kaidah yang mengatur tingkah laku manusia di dalam pergaulan hidup, sehingga sebelumnya ada hipotesis bahwa hukum itu benar. Padahal penelitian bertujuan untuk menggali kebenaran, sedangkan hukum sudah merupakan kaidah-kaidah tentang tingkah laku yang benar. Ada pula yang menyatakan pendapat bahwa penelitian hukum merupakan usaha yang telah diawali dengan suatu penilaian, oleh karena hukum pada hakikatnya berisikan penilaian-penilaian terhadap tingkah laku manusia. Pertama-tama dapat dikemukakan, bahwa penelitian dengan masalah pertama sebagaimana disebutkan oleh Karl Llewellyn dan E. Adamson Hoebel bertujuan untuk menyoroti kaidah-kaidah ideal yang dianggap merupakan pencerminan dari hukum. Tujuannya adalah untuk mengadakan sistematik atau semacam kompilasi dari kaidah-kaidah yang tergali dari penelitian tersebut. Yang dicari adalah kaidah-kaidah 74



SOSIOLOGI HUKUM



yang telah mantap, tanpa meneliti apakah mungkin terjadi penyimpangan terhadap kaidah-kaidah tersebut. Pendekatan ideologis ini menghasilkan abstraksi-abstraksi dengan akibat kemungkinan besar yang dijumpai adalah kaidah-kaidah yang ideal yang di dalam kenyataan kehidupan sehari-hari tidak begitu berperan, kecuali apabila terjadi pelanggaran yang sangat serius. Pandangan normatif ini mendapat dasar pembenarnya pada model ilmu ideal menurut Hermeneutik. Penafsiran hermeunetik merupakan metode penafsiran yang berupaya memperoleh pengertian suatu makna teks dalam konteks historis dan linguistik. Tidak ada pengertian atas suatu teks yang diperoleh di luar konteks sejarah dan bahasa suatu masyarakat. Sejarah berarti pula akumulasi tradisi yang pengertiannya dapat diperoleh melalui bahasa sebagai mediasi antara masa lalu dengan masa kini. Dengan demikian, hermeneutik menghubungkan pemahaman sejarah dengan tradisi yang berkembang dari dalam suatu teks peraturan perundang-undangan. Menurut Hermeneutikus yang dipelopori oleh Wihelm Dilthey, ilmuan membangun teori-teori ilmiahnya sebagai partisipan pada gejalagejala. Pendekatan eksternal tidaklah mungkin, karena gejala-gejala yang dipelajari tidak dapat dibawa kembali kepada fakta-fakta yang harus diuji secara empiris. Relasi inti dalam ilmu-ilmu, menurut Hermeneutikus adalah relasi subyek-subyek. Dalam ilmu ini berkenaan dengan konfrontasi pandangan-pandangan dari subyek-subyek yang tentang masalah-masalah yang sama memiliki sesuatu untuk dikatakan (mempunyai pandangan/ pendapat untuk diajukan). Dalam diskusi itu para peserta, masingmasing berdasarkan latar belakangnya sendiri, berusaha mencapai suatu titik berdiri yang sama (terjadi perbauran cakrawala). Demikianlah dalam jangka waktu yang panjang, dalam ilmu-ilmu itu terbentuk tradisi yang di dalamnya diskusi tentang berbagai tematik selalu ditampung dan diolah.



SOSIOLOGI HUKUM



75



Di Indonesia pemikiran tentang hukum berdasarkan pendekatan normatif ini banyak menyita perhatian. Hal ini dapat dilihat dalam susunan kurikulum fakultas hukum yang untuk sebagi besarnya diarahkan kepada penempaan keahlian untuk memahami dan memakaikan peraturan-peraturan yang berlaku. Hal ini bukanlah suatu keadaan yang terjadi dengan sendirinya, akan tetapi merupakan suatu tradisi pemikiran yang diwarisi oleh sejarah. Sebagaimana diungkapkan oleh Kartodirdjo, dibukanya sekolahsekolah bagi penduduk pribumi, pada masa pemerintahan Hindia Belanda, didasarkan pada adanya kebutuhan akan tenaga, baik dalam bidang administrasi maupun dalam berbagai bidang teknik dan kejuruan. Demikian pula dalam bidang hukum, dibentuknya pendidkan tinggi hukum sebagai suatu lembaga pendidikan yang lahir di bawah semanagt politik etik pada masa pemerintahan Hinda Belanda dahulu (yang bermula dengan didirikannya Opleidingsschool/rechtsschool (pendidikan keahlian hukum) pada tahun 1909, untuk kemudian dirubah menjadi rechthoogeschool (pendidikan hukum setingkat universitas) pada tahun 1924, menurut Soetandyo, dimaksudkan untuk menyiapkan tenaga-tenaga terdidik guna mengisi jabatan-jabatan dalam lingkungan kekuasaan kehakiman landaard. Oleh karena itulah, ilmu hukum yang diberikan pada pendidikan tinggi hukum waktu itu pada hakekatnya merupakan ilmu peradilan. Dalam mempelajari hukum para pelajar menempatkan diri sebagai hakim dan menggunakan kacamata hakim. Ini menunjukan cara kerja peradilan yang mempunyai ciri-ciri menghadapi peristiwa-peristiwa individual (kasus), mencari hukumnya dengan penemuan hukum dan kemudian menerapkannya untuk menyelesaikan suatu konflik. Hal ini hanya bisa dilakukan apabila mereka mempergunakan optik preskriptif. Ilmu hukum yang demikian diperlukan, karena bagi para pekerja hukum dituntut adanya kemampuan untuk memberikan penyelesaian persoalan-persoalan dengan menggunakan dasar peraturan hukum. 76



SOSIOLOGI HUKUM



Para pekerja hukum ini adalah orang-orang yang sehari-harinya harus melakukan problem solution sertadecision making. Untuk dapat melakukan tugas itu dengan baik, tentunya mereka harus memihak dengan hukum positif, yaitu menerima bahwa hukum positif itu adalah peraturan yang harus dijalankan, yang harus ditaati. Ini merupakan suatu attached-concern terhadap hukum positif. Hal ini dilengkapi dengan suatu pandangan yang memandang hukum sebagai suatu sistem yang otonom-logis-konsisten. Hal ini diperlukan agar mereka terampil dalam menafsirkan dan menerapkan peraturan-peraturan hukum. Adanya tujuan pendidikan tinggi seperti terungkap di atas tidak dapat dilepaskan dari masalah-masalah yang dihadapi oleh pemerintah Hindia Belanda, hal mana sedikit banyak menyangkut politik pemerintahan. Pada saat itu sebagaimana yang diungkapkan oleh Kusumaatmadja, timbul adanya kebutuhan masyarakat kolonial akan adanya ahli-ahli yang hanya dapat mempertahankan tertib hukum yang ada, sehingga kepada para sarjana hukum tidak dituntut untuk mengetahui seluk beluk hukum lebih daripada arti dari peraturan-peraturan hukum itu. Hal ini sejalan dengan tugas ilmu hukum yang hanya mempertahankan keadaan status quo. Pengajaran hukum yang demikian, menurut Schyut lebih mempersiapkan orang untuk memenuhi peranan juridisnya, bukan mengarahkan mereka agar dapat memenuhi peranan sosialnya. Disamping itu dengan pengajaran yang menekankan pada studi teknis dalam penggarapan hukum positif, akan mendorong para mahasiswa semakin jauh kedalam dunia yang menyendiri yang bersifat mendetail. Dengan demikian, akan terjadi proses keterasingan dari masyarakat dan problem-problemnya, sehingga yang dihasilkan bukan hanya tukangtukang dan montir-montir dari mesin hukum, melainkan sarjana yang tidak mampu secara kreatif menempatkan sistem hukumnya dalam lingkungan masyarakat.



SOSIOLOGI HUKUM



77



C. Pendekatan Sosiologis Tahap selanjutnya adalah tahap mengenai pendekatan sosiologis yang itu akan tercapai apabila para sosiolog tidak lagi berperan sebagai teknisi, akan tetapi lebih banyak menaruh perhatian pada ruang lingkup yang yang lebih luas. Pada tahap itu, seorang sosiolog harus siap untuk menelaah pengertian legalitas agar dapat menentukan wibawa moralnya dan untuk menjelaskan peran ilmu sosial dalam menciptakan masyarakat yang didasarkan pada keseimbangan hak dan kewajiban yang berorientasi pada keadilan. Menurut Philip Seznick, legalitas merupakan sinonim dari rule of law. Rule of law adalah pembatasan dari kekuasaan resmi oleh prinsip-prinsip rasional dari ketertiban sipil (civil order). Apabila hal demikian ada, maka tidak ada sesuatu kekuasaan yang kebal terhadap kritik dan pembatasan kewenangan. Legalitas menimbulkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai suatu tujuan. Masyarakat Indonesia pada dewasa ini sedang berada dalam arus perubahan yang terjadi secara cepat dan cukup mendasar. Terjadinya perubahan dari masyarakat yang semula berbasis agraris menuju masyarakat industri, tentunya akan selalu diikuti oleh penyesuain pada segi kehidupan hukumnya, baik itu berupa hukum positifnya maupun penyesuaian di bidang paradigmatif, landasan filosofis, teori dan konsepsi serta pengertian-pengertian. Dalam abad 20 ini susunan masyarakat menjadi semakin kompleks, spesialisasi dan pemencaran bidang-bidang dalam masyarakat semakin intensif berkembang dan maju. Dengan demikian pengaturan yang dilakukan oleh hukum juga harus mengikuti perkembangan keadaan yang demikian. Pendekatan sosiologis yangfocal concernnya hukum dan tindakan sosial, dimana validitas hukumnya adalah konsekuensi-konsekuensi hukum bagi masyarakat. Pada sisi lainnya pendekatan sosiologis juga dapat dikatakan dengan teori strukturalisme yang lebih banyak membahas tentang “struktur linguistik”. Meskipun begitu pengertian struktur dalam teori fungsional 78



SOSIOLOGI HUKUM



struktural dengan yang ada dalam teori strukturalisme sering dipertukarkan, karena dalam perkembangannya, paham strukturalisme juga mengembangkan analisis struktur bahasa ke analisis struktur masyarakat. Sehingga sampai ada yang memberikan pengertian kepada paham strukturalisme sebagai “any approach which regards social structure (apparent or otherwise) as having priority over social actions” (Jhon Scott, al., 2009). Strukturalisme sebagai pendekatan yang memandang struktur sosial (yang nyata atau yang tersembunyi) lebih memilih prioritas dari aksi sosial. Sejalan dengan itu mulai muncullah tuntutan-tuntutan agar hukum dapat dipakai sebagai alat untuk melakukan perubahan-perubahan atau pengarahan-pengarahan sesuai dengan politik pembangunan negara. Dengan demikian persoalan hukum sekarang ini bukannya lagi persoalan tentang legalitas formal, tentang penafsirannya serta penerapan pasal-pasal undang-undang secara semestinya, melainkan bergerak kearah penggunaan hukum secara sadar sebagai sarana untuk turut menyusun tata kehidupan baru. Ia tidak dapat lagi memandang hukum hanya sebagai suatu sistem logik dan konsisten, yang terpisah dari lingkungan sosialnya, akan tetapi harus melihat hukum sebagai suatu lembaga yang selalu terkait kepada tatanan masyarakatnya, ia selalu dituntut untuk lebih memberi perhatian perkaitan antara hukum dengan kenyataan-kenyataan sosial yang hidup. Sebagai konsekuensinya maka para sarjana hukum pun dituntut untuk memahirkan diri dalam segala segi kehidupan sosial serta temponya, yang berarti pula, bahwa ia hendaknya memahirkan diri dalam ilmu-ilmu yang menggarap masalah-masalah itu, satu diantaranya ilmu sosial. Pada titik inilah mulai mengedepan pandangan-pandangan sosiologis terhadap hukum. Pendekatan sosiologis ini mendasarkan pada pandangan positivistik yang berpegang teguh pada teori korespondensi tentang kebenaran. Menurut teori ini, kebenaran itu adalah kesamaan antara teori dan dunia kenyataan. Itu berarti bahwa hubungan sentral di dalam SOSIOLOGI HUKUM



79



ilmu adalah hubungan antara subyek (ilmuan) dan objek (dunia kenyataan). Teori yang berhasil berkorespondensi dengan dunia kenyataan menghasilkan pengetahuan objektif sebagai produknya. Ilmuannya bekerja dari suatu perspektif eksternal, artinya ia mendekati dunia kenyataan sebagai seorang pengamat yang meregistrasi apa yang dilihatnya. Yang tidak memenuhi kriteria tersebut tidak dapat dikatakan sebagai ilmu hukum, melainkan hanya sebagai keahlian hukum terdidik, atau kemahiran hukum terdidik. Pemahaman hukum, baik di kalangan mahasiswa ataupun masyarakat akan lebih komprehensif dan objektif, jika memperhatikan latar belakang kelahiran sosio-historis hukum itu sendiri. Masyarakat memiliki ekspresi dan karakteristik hukum sendiri sesuai dengan tingkat perkembangan masyarakatnya. Dengan kata lain, dinamika dan perkembangan dalam masyarakat akan sangat mempengaruhi bagaimana karakteristik dan sifat hukum lahir dan diberlakukan. Pandangan positivistik sebagaimana terungkap diatas mendapatkan sandaran pembenarnya pada model ilmu ideal menurut Atomisme Logikal dan Positivisme Logikal. Menurut ajaran ilmu atomisme logikal yang dikembangkan oleh Bertrand Russell dan Ludwig Wittgenstein ini, pengetahuan dapat dikatakan ilmiah, jika pengetahuan itu memberikan gambaran yang persis dari kenyataan yang dapat diamati. Hal itu hanya dapat terjadi jika pengetahuan itu secara langsung dapat dikembalikan pada unsur-unsur yang tertangkap dalam pengamatan yang pasti tidak diragukan lagi. Untuk itu orang harus mengembalikan kenyataan sampai pada unsur-unsur dasar (yang disebut fakta-fakta atomair) yang menjadi objek dari penyadaran langsung. Dengan demikian pengetahuan sangan bersifat empiris. Apa yang tidak dapat diamati (secara indrawi) seperti misalnya kaidah hukum dan semua yang bersifat normatif tidak dapat diketahui. Semua putusan yang dibuat demikian adalah subjektif dan tidak dapat disebut sebagai kebenaran; mereka lebih bertumpu pada spekulasi.



80



SOSIOLOGI HUKUM



Dua syarat terpenting yang harus dipenuhi oleh suatu putusan ilmiah adalah : 1. Putusan tersebut harus bertumpu pada penyadaran langsung terhadap fakta-fakta atomair dalam kenyataan; 2. Keseluruhan putusan-putusan ilmiah itu harus cocok yang satu dengan yang lainnya secara konsisten logikal. Ini merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh suatu teori ilmiah yang ideal.



Sedangkan ajaran positivisme logikal yang dikembangkan oleh Rudolf Carnap dan Moritz Schlick, berpegang teguh pada sifat empiris dari pengatahuan ilmiah. Menurut mereka, pengetahuan yang lain adalah tidak obyektif. Untuk menguji kebenaran mereka mendasarkan pada kriterium asas verifikasi, yang menyatakan bahwa hanya putusan-putusan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris saja yang dapat dianggap benar, artinya yang dapat diuji dengan kenyataan yang dapat diamaati secara indrawi. Jika orang menguji suatu putusan ilmiah dan hasilnya putusan tersebut sesuai dengan kenyataan, maka putusan itu sudah diverifikasi, artinya kebenarannya sudah dikuatkan. Metode induksi sesuai dengan kedua pandangan tersebut, karena mereka mengajukan bahwa penggambaran fakta-fakta atomair atau yang dapat diamati pada tataran yang lebih umum dengan menggunakan suatu bahasa yang konsisten logikal dikonstruksikan menjadi teori ilmiah. Metode empiris mereka, adalah satu-satunya metode yang dapat menghasilkan pengetahuan ilmiah. Sedangkan metode-metode lainnya menghasilkan pengetahuan subjektif dan spekulatif, sebab hanya metode empirislah yang memungkinkan orang lain dengan cara objektif dan sangat persis menguji hasil-hasil ilmiah yang ditemukan. Pendekatan sosiologis terhadap hukum ini mulai muncul ke permukaan seiring dengan adanya tuntutan agar ilmu hukum dapat lebih difungsikan untuk memberikan sumbangannya di dalam masyarakat Indonesia yang sedang mengalami perubahan. Pendekatan ini mulai SOSIOLOGI HUKUM



81



diperlukan apabila kita telah mulai melihat hukum bukan semata-mata sebagai suatu lembaga yang otonom di dalam masyarakat, melainkan sebagai suatu lembaga yang bekerja untuk dan dalam masyarakat. Dalam hal ini menurut Rahardjo, minat kita terutama tertarik kepada dua hal, yaitu : 1. Proses-proses hukum tidak dilihat sebagai suatu peristiwa yang mengalami suatu insulasi, melainkan, ia kita lihat sebagai proses terwujudnya tujuan-tujuan sosial yang lebih besar. Dengan demikian yang tengah berlangsung di situ adalah juga suatu proses interchange dari kekuatan-kekuatan serta sektor-sektor kehidupan dalam masyarakat; 2. Tempat hukum di dalam masyarakat, yaitu fungsi apakah yang dijalankan oleh hukum.



Hal ini tentu memerlukan adanya peralihan dan perubahan pandangan kearah sudut yang lebih mendekati ilmu-ilmu sosial. Hukum yang semula hanya berorientasi kepada hal-hal yang praktis dan penyelesaian-penyelesaian sengketa atas dasar norma-norma yang diasumsikan mempunyai keabsahan mutlak untuk berbuat demikan itu, sekarang harus memalingkan diri pada dasar-dasar pemikiran yang lebih luas kepada penyusunan teori-teori atas dasar kenyataankenyataan sosial yang dihadapi. Di dalam kerangka akademis, penyajian sosiologi hukum dimaksudkan sebagi usaha untuk memungkinkan pembentukan teoriteori hukum yang sosiologis sifatnya. Artinya, suatu usaha untuk merelatifkan dogmatik hukum, menurut jalan pikiran yang yuridistradisional, yang lebih-lebih melihat serta menelaah hukum sebagai kedaan daripada hukum sebagai suatu proses. Sosiologi hukum merupakan ilmu nomogratifs yang tugasnya adalah melakukan pencatatan dan penilaian mengenai hal-hal yang terjadi dalam dunia empirik serta kemudian berusaha memberikan penjelasannya. Hal ini sangat berarti bagi dunia praksis, khususnya untuk



82



SOSIOLOGI HUKUM



membantu pengambilan keputusan yang berkualitas, baik dalam pembuatan undang-undang maupun dalam penegakan hukum Hal ini dimungkinkan karena sosiologi hukum mempergunakan optik deskriptif. Pandangan yang demikian tidak dimasudkan untuk memberikan suatu pedoman atau petunjuk tingkah laku konkrit kepada anggota masyarakat, melainkan hanyalah untuk memberikan penjelasan, mengenai seluk beluk kedudukan dan bekerjanya hukum didalam masyarakat. Untuk itu pertama-tama ia tidak bersikap memihak terhadap hukum positif, ia menggunakan detached-concern. Bila ia berhadapan dengan hukum positif, maka itu diterimanya sebagai suatu kenyataan, diantara berbagai macam kenyataan yang terdapat di dalam masyarakat. Dengan digunakannya pendekatan yang demikian maka diharapkan akan tercipta sarjana-sarjana hukum yang mampu secara kreatif menempatkan sistem hukumnya dalam lingkungan masyarakat masing-masing. Pada dasarnya pendekatan teoritis, pendekatan normatif dan pendekatan sosiologi terhadap hukum, mempunyai perbedaanperbedaan yang tidak bersumber pada suatu pertentangan, akan tetapi oleh karena kadar referensinya yang berbeda. Hal tersebut terutama disebabkan, oleh karena referensi soerang yuris adalah kaidah, sedangkan seorang sosiolog bertujuan untuk membuat pernyataan umum atau membentuk teori tentang kenyataan dengan maksud untuk memperjelas kenyataan tersebut. Referensi seorang sosiolog memberikan petunjuk bagaimana meninjau gejala yang sama dengan cara yang berbeda dan untuk kemudian menggambarkannya dengan suatu perumusan yang berbeda pula. Pemisahan yang tegas antara pendekatan teoritis, normatif, dan sosiologis terhadap hukum, tidaklah perlu terjadi, apabila disadari bahwa ke dua segi tersebut merupakan bagian dari kesatuan dan masing- masing mempunyai perannya sendiri dalam pengkajian hukum. Dengan demikian yang perlu ditelaah lebih lanjut adalah adakah ke-



SOSIOLOGI HUKUM



83



mungkinan penyerasian ketiga pendekatan tersebut demi terciptanya ilmu hukum yang lebih baik di masa mendatang.



84



SOSIOLOGI HUKUM



Bab VI



Penegakan dan Pelaksanaan Hukum yang Berkeadilan



SOSIOLOGI HUKUM



85



86



SOSIOLOGI HUKUM



Bab VI



PENEGAKAN DAN PELAKSANAAN HUKUM YANG BERKEADILAN



Kehidupan manusia tidak pernah terlepas dari hukum, bahkan sejak manusia masih dalam kandungan ibunya sampai dengan meninggal dunia selalu diatur oleh hukum. Hukum mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan sebagai Pencipta, hubungan manusia dengan manusia lainnya, serta hubungan antara manusia dengan alam semesta dan lainnya. Jelasnya bahwa segala aspek kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum. Oleh karena itu, Van Apeldorn (1986) mengatakan manusia dapat disebut sebagai manusia hukum “homo yuridicus,” yaitu manusia yang dalam hidupnya tidak terpisahkan dari peranan hukum. Hukum diciptakan untuk dilaksanakan. Hukum tidak bisa lagi disebut sebagai hukum, apabila tidak pernah dilaksanakan. Pelaksanaan hukum selalu melibatkan manusia dan tingkah lakunya. Lembaga kepolisian diberi tugas untuk menangani pelanggaran hukum, kejaksaan disusun dengan tujuan untuk mempersiapkan pemeriksaan perkara di depan sidang pengadilan. Hukum mempunyai fungsi untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan manusia tanpa terkecuali. Oleh karena itu, maka



SOSIOLOGI HUKUM



87



hukum harus dilaksanakan agar kepentingan manusia tersebut dapat terlindungi. Dalam pelaksanaannya, hukum dapat berlangsung secara normal dan damai, akan tetapi dapat juga terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum dalam prakteknya. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. A. Penegakan Hukum dalam Masyarakat Dalam bahasa Indonesia dikenal beberapa istilah di luar penegakan hukum tersebut, seperti “penerapan hukum”. Tetapi tampaknya istilah penegakan hukum adalah yang paling sering digunakan dan dengan demikian pada waktu mendatang istilah tersebut akan semakin mapan atau merupakan istilah yang dijadikan. Hukum berfungsi sesuai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi hukum harus dilaksanakan. Pelaksanakan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum itu menjadi kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu: kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa yang kongkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku; pada dasarnya tidak boleh menyimpang: (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang, diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum karena dengan adanya kepastian hukum, masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk ketertiban masyarakat.



88



SOSIOLOGI HUKUM



Sebaliknya, masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan dan penegakan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan di dalam masyarakat.[ Unsur yang ketiga dalam penegakan hukum adalah keadilan. Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum keadilan diperhatikan. Dalam pelaksanaan atau penegakan harus adil. Hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Barang siapa mencuri harus dihukum: setiap orang yang mencuri harus dihukum, tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri. Sebaliknya keadilan bersifat subjektif, individualistis dan tidak menyamaratakan: adil bagi si A belum tentu dirasakan adil bagi si B. Kalau dalam menegakkan hukum hanya diperhatikan kepastian hukum saja, maka unsur-unsur lainnya dikorbankan. Demikian pula kalau yang diperhatikan hanyalah kemanfaatan, maka kepastian hukum dan keadilan dikorbankan dan begitu selanjutnya. Dalam menegakkan hukum harus ada kompromi antara ketiga unsur tersebut. Ketiga unsur itu harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang. Tetapi dalam praktik tidak selalu mudah mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang antara ketiga unsur tersebut. Kalau kita bicara tentang hukum pada umumnya kita hanya melihat kepada peraturan hukum yang dalam arti kaidah atau peraturan perundang-undangan, terutama bagi praktisi. Penegakan hukum akan terwujud karena didasari oleh kesadaran hukum. Sementara kesadaran hukum dapat tercipta apabila ada indikator pengetahuan hukum, sikap hukum, dan perilaku hukum yang patuh terhadap hukum. Secara teori ketiga indikator inilah yang dapat dijadikan tolak ukur dari kesadaran hukum, karena jika pengetahuan hukum, sikap hukum, dan perilaku hukumnyarendah maka kesadaran hukumnya rendah atau sebaliknya. SOSIOLOGI HUKUM



89



Upaya untuk mewujudkan penegakan hukum diawali dari kondisi seimbang di dalam masyarakat, yang bertujuan terciptanya suatu keadaan yang serasi antara stabilitas dan perubahan di dalam masyarakat. Maksudnya adalah menjadikan hukum sebagai alat memelihara ketertiban dan pencapaian keadilan. Kesimbangan yang dimaksud mencakup semua kekuatan-kekuatan yang menciptakan serta memelihara ikatan sosial. Hal ini karena hukum merupakan sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari perbuatan dan ancaman yang membahayakan dirinya dan harta bendanya. Sistem hukum yang modern haruslah merupakan hukum yang baik, dalam arti hukum tersebut harus mencerminkan rasa keadilan bagi para pihak yang terlibat/diatur oleh hukum tersebut. Hukum tersebut harus sesuai dengan kondisi masyarakat yang diaturnya dan harus dibuat sesuai dengan prosedur yang ditentukan. Dan yang terpenting hukum yang baik harus dapat dimengerti atau dipahami oleh para pihak yang diaturnya. Ketika berbicara tentang sistem hukum modern, paling tidak memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Terdiri dari peraturan yang isi dan pelaksanaannya seragam 2. Sistem hukum yang transaksional dimana hak dan kewajiban dalam perjanjian tidak memandang usia, kelas, agama dan jenis kelamin 3. Bersifat universal dan dilaksanakan secara umum 4. Adanya hirarkis yang tegas 5. Melaksanakan hukum sesuai dengan prosedur 6. Rasional 7. Dilaksanakan oleh orang yang berpengalaman 8. Spesialisasi dan diadakan penghubung diantara bagian bagian 9. Hukum mudah berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat



Indonesia adalah negara hukum, demikian penegasan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945. Terlepas dari kesederhaan rumusan pasal di90



SOSIOLOGI HUKUM



maksud terkandung suatu pertanyaan yang berkaitan dengan penegakan hukum dalam konteks negara hukum, dan mengingat Republik Indonesia adalah Negara demokratis, berarti hukum yang ditegakkan adalah dalam lingkup masyarakat demokratis. Tegasnya hukum dan keadilan yang menjadi pedoman dalam masyarakat Negara Republik Indonesia tidak lepas dari konteks Negara hukum dan masyarakat demokratis yang dianut dalam UUD 1945. Berkenaan dengan hal tersebut, setidak-tidaknya di dalam UUD 1945 terdapat lima hal yang berkaitan dengan penegakan hukum dan keadilan, yaitu: 1) mengenai subtansi, 2) batasan penegakan, 3) kewenangan penegakan, 4) mekanisme penegakan hukum dan keadilan, dan 5) bentuk pengaturan hukum dan keadilan. Secara subtansial, UUD 1945 menegaskan kebebasan dan hak atas kebebasan sebagai intisari hukum dan keadilan yang diatur dalam suatu bentuk peraturan perundang-undangan sesuai dengan pasal-pasal terkait dengan hal dimaksud. Di dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 terkandung landasan subtansi dari hukum dan keadilan yaitu hukum dan keadilan yang mencerminkan adanya kedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Mengenai batasan penegakan hukum dan keadilan, UUD 1945 menegaskan hukum dan keadilan yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan yang diadakan untuk itu, serta batasan yang berkaitan dengan pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis seperti ditegaskan pada Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 Mengenai kewenangan penegakan hukum, UUD 1945 meSOSIOLOGI HUKUM



91



nempatkan lembaga lembaga pelaku kekuasaan kehakiman dan lembaga kepolisian sebagai lembaga penegak hukum. Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tatausaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Kemudian Pasal 30 Ayat (4) UUD 1945: “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum”. Sementara itu terait dengan hakim sebagai penegak hukum, Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa: “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”. Mengenai mekanisme penegakan hukum dan keadilan, UUD 1945 menegaskan dalam suatu peradilan seperti ditegaskan pada Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945, bahwa: “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Hal ini menempatkan peradilan sebagai penyelenggaraan penegakan hukum dan keadilan. Mengenai bentuk pengaturan hukum dan keadilan, UUD 1945 menegaskan undang-undang sebagai bentuk peraturan perundangundangan yang dipergunakan sebagai wadah hukum dan keadilan, termasuk di dalam atas keberadaan kesatuan masyarakat hukum adapt, seperti ditegaskan pada Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945, bahwa: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Mengacu kepada penegakan hukum dan keadilan sebagai hal yang lebih bersifat praksis dari keberadaan undang-undang sebagai 92



SOSIOLOGI HUKUM



wadah pengaturan hukum dan keadilan, maka hal yang bersifat “demokratis” menjadi warna utama dari prinsip Negara hukum, seperti dalam hal penegakkan dan perlindungan hak asasi manusia pada Pasal 28I Ayat (5) UUD 1945: “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan”. Hal ini kemudian dipertegas dengan adanya parameter keadilan dalam hal menjalankan hak dan kebebasan, seperti ditegaskan pada Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis." B. Pelaksanaan Hukum yang Berkeadilan Secara substansi, dalam tubuh hukum terjadi semacam perkembangan, sehingga sampai pada hukum yang maju, atau diasumsi maju seperti yang dipraktekan saat ini oleh berbagai negara. Perkembangan hukum itu sendiri umumnya terjadi sangat lamban meskipun sekali terjadi agak cepat. Namun perkembangan dari hukum kuno pada hukum modern merupakan perjuagan manusia tiada akhir satu dan lain hal disebabkan masyarakat , dimana hukum berlaku berubah terus menerus dalam perkembangan hukum itu sendiri terkadang dilakukan dengan revisi atau amandemen terhadap undang-undang yang sudah ada tetapi sering pula dilakukan dengan menganti undang-undang lama dengan undang-undang baru. Bahkan hukum modern telah menetukan prinsip dan asas hukum yang baru dan meninggalkan prinsip dan asas hukum yang lama dan sudah cenderung ketinggalan zaman. Dalam hubungannya dengan perkembangan masyarakat, hukum mengatur tentang masalah struktur sosial nilai-nilai dan larangan-larangan atau hal- hal yang menjadi tabu dalam masyarakat. SOSIOLOGI HUKUM



93



Pada abad ke-21 ini terjadi perkembangan di berbagai bidang hukum dimana sebagian hukum di berbagai negara sudah menyelesaikan pengaturannya secara tuntas. Tetapi sebagian hukum di negara lain masih dalam proses pengaturannya yang berarti hukum dalam bidang bidang tersebut masih dalam proses perubahannya. Telah ditegaskan bahwa hukum merupakan kaidah untuk mengatur masyarakat, karena itu hukum harus dapat mengikuti irama perkembangan masyarakat, bahkan hukum harus dapat mengarahkan dan mendorong berkembangnya masyarakat secara lebih tepat dan terkendali. Kerena terdapatnya ketertiban sebagai salah satu tujuan hukum, dengan begitu terdapat interklasi dan interaksi antara hukum dan perkembangan masyarakat. Namun tidak dapat diabaikan salah satu faktor yang mengikuti perkembangan hukum dalam masyarakat adalah Kesadaran hukum masyarakat itu sendiri. Faktor kesadaran hukum ini sangat memainkan peran penting dalam perkembangan hukum artinya semakin lemah tingkat kesadaran masyarakat, semakin lemah pula kepatuhan hukumnya sebaliknya semakin kuat kesadaran hukumnya semakin kuat pula faktor kepatuhan hukum. Sehingga proses perkembangan dan efektifitas hukum dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Kesadaran hukum yang rendah atau tinggi pada masyarakat mempengaruhi pelaksanaan hukum. Kesadaran hukum yang rendah akan menjadi kendala dalam pelaksanaan hukum, baik berupa tingginya tingkat pelanggaran hukum maupun kurang berpartisipasinya masyarakat dalam pelaksanaan hukum. Hal tersebut berkaitan dengan berfungsinya hukum dalam masyarakat atau efektifitas dari ketentuan hukum di dalam pelaksanaannya Seseorang yang mempunyai kesadaran hukum., akan memiliki penilaian terhadap hukum yang dinilainya dari segi tujuan dan tugasnya. Penilaian semacam ini ada pada setiap warga masyarakat, oleh karena itu manusia pada umumnya mempunyai hasrat untuk senantiasa hidup teratur Kesadaran hukum merupakan suatu proses psikis yang terdapat 94



SOSIOLOGI HUKUM



dalam diri manusia, yang mungkin timbul dan mungkin juga tidak timbul. Jadi, kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Keserasian jalinan nilai-nilai merupakan keserasian anatara dua nilai yang berpasangan, tetapi juga bertentangan, seperti dalam masalah lalu lintas terdapat nilai kecepatan dengan nilai keselamatan. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana menyampaikan hukum agar dapat menjadi patokan perikelakuan dan juga mencerminkan keserasian nilainilai yang dianut oleh suatu khalayak tertentu. Hukum dapat dilihat bentuknya melalaui kaedah yang dirumuskan secara ekplisit. Di dalam kaedah atau peraturan hukum itulah terkandung tindakan yang harus dilaksanakan, yang tidak lain berupa penegakan hukum itu. Hukum diciptakan untuk dilaksanakan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika dikatakan bahwa hukum itu tidak bisa lagi disebut sebagai hukum, apabila tidak lagi dilaksanakan. Pelaksanaan hukum selalu melibatkan manusia dan tingkah lakunya. Hukum tidak bisa terlaksana dengan sendirinya, artinya hukum tidak mampu untuk mewujudkan sendiri janji serta kehendak yang tercantum dalam peraturan hukum itu. Dalam rangka pelaksanaan penerapan hukum, disusun organisasi penerapan hukum, seperti kepolisian, kejaksanaan, pengadilan. Tanpa adanya organisai itu, hukum tidak bisa dijalankan dalam masyarakat. Setiap organisasi bekerja di dalam konteks sosial tertentu. Setiap orang atau organisasi dimaksud menjalankan kebijakan atau kegiatan tertentu yang dirasakan lebih menguntungkan. Dengan perkataan lain, pada organisasi tersebut selalu terdapat kecenderungan untuk menggantikan tujuan resmi sebagaimana ditetapkan dalam peraturan hukum dengan kebijakan atau tindakan sehari-hari. Kebijakan yang dirasakanan dapat meningkatkan secara maksimal keuntungan yang ingin dicapai, dengan menekan sampai minimum hambatan terhadap bekerjanya organisasi itu. SOSIOLOGI HUKUM



95



Lembaga kepolisian diberi tugas untuk menangani pelanggaran hukum, kejaksaan disusun dengan tujuan untuk mempersiapkan pemeriksaan perkara di depan sidang pengadilan, dan demikian seterusnya dengan setiap penyusunan organisasi di dalam rangka penyelenggaraan hukum. Melemahnya wibawa hukum diantaranya karena hukum tidak memperoleh dukungan yang semestinya dari norma-norma sosial bukan hukum. Norma-norma hukum belum sesuai dengan norma-norma sosial yang bukan hukum. Tidak ada kesadaran hukum dan kesadaran norma yang semestinya. Pejabat-pejabat hukum yang tidak sadar akan kewajibannya untuk memelihara hukum Negara. Adanya kekuasaan dan wewenang. Ada paradigma hubungan timbal balik antara gejala sosial lainnya dengan hukum. Secara rinci hal di atas dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Hukum tidak memperoleh dukungan yang semestinya dari normanorma sosial bukan hukum, melemahnya value sistem dalam masyarakat pada umumnya sebagai akibat dari modernisasi. 2. Norma-norma hukum tidak atau belum sesuai dengan norma norma sosial yang bukan hukum. Hukum yang dibentuk terlalu progresif sehingga dirasakan sebagai norma-norma asing bagi rakyat. 3. Tidak adanya kesadaran hukum dan kesadaran norma yang semestinya. 4. Pejabat-pejabat hukum tidak sadar akan kewajibannya yang mulia untuk memelihara hukum negara, lalu mengkorupsikannya, dan merusak hukum negara itu sendiri. 5. Pemerintah pusat dan daerah berusaha membongkar hukum yang berlaku untuk maksud-maksud tertentu. Hal ini dapat terjadi bahwa pemerintah yang seharusnya mendukung hukum sebagai kewajibannya, malah menghianati hukum yang berlaku.



96



SOSIOLOGI HUKUM



C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan dan Pelaksanaan Hukum Dalam proses penegakan dan pelaksanaan hukum, ada faktorfaktor yang mempengaruhinya. Faktor tersebut cukup mempunyai arti sehingga dampak positif dan negatifnya terletak pada isi faktor tersebut. Faktor tersebut menjadi barometer di dalam penegakan hukum oleh aparat hukum dalam pelaksanaan tugasnya. Menurut Soekanto, faktor yang dimaksud ada lima, yaitu Hukumnya sendiri, Penegak hukum, Sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, Masyarakat, dan Kebudayaan. Berikut diuraikan penjelasannya masing-masing: 1. Faktor Hukum Dalam praktik penyelenggaraan penegakan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini disebabkan oleh konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Justru itu, suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasar hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. Tidak berarti setiap permasalahan sosial hanya dapat diselesaikan oleh hukum yang tertulis, karena tidak mungkin ada peraturan perundang-undangan yang dapat mengatur seluruh tingkah laku manusia, yang isinya jelas bagi setiap warga masyarakat yang diaturnya dan serasi antara kebutuhan untuk menerapkan peraturan dengan fasilitas yang mendukungnya. 2. Faktor Penegakan Hukum Dalam berfungsinya hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum memainkan peranan penting. Kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan dan pelaksanaan hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum. SOSIOLOGI HUKUM



97



Di dalam konteks di atas yang menyangkut kepribadian dan mentalitas penegak hukum, bahwa selama ini ada kecenderungan yang kuat di kalangan masyarakat untuk mengartikan hukum sebagai petugas atau penegak hukum, artinya hukum diidentikkan dengan tingkah laku nyata petugas atau penegak hukum. Sayangnya dalam melaksanakan wewenangnya sering kali timbul persoalan karena sikap dan perlakuan yang dipandang melampaui wewenang atau perbuatan lainnya yang dianggap melunturkan citra dan wibawa penegak hukum, hal ini disebabkan oleh kualitas yang rendah dari aparat penegak hukum tersebut. 3. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung Faktor sarana dan fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat keras. Salah satu contoh perangkat lunak adalah pendidikan. Pendidikan yang diterima oleh polisi dewasa ini cenderung pada hal-hal yang praktis konvensional, sehingga dalam banyak hal polisi mengalami hambatan di dalam tugasnya, diantaranya adalah pengetahuan tentang kejahatan komputer, dalam tindak pidana khusus yang selama ini masih diberikan wewenang kepada jaksa. Hal tersebut karena secara teknis yuridis polisi dianggap belum mampu dan belum siap. Walaupun disadari pula bahwa tugas yang harus diemban oleh polisi begitu luas dan banyak. Oleh karena itu, sarana dan fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana dan fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual. 4. Faktor Masyarakat Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok sedikitnya banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan



98



SOSIOLOGI HUKUM



hukum masyarakat terhadap hukumm, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan.. Sikap masyarakat yang kurang menyadari tugas polisi, tidak mendukung, dan malahan kebanyakan bersikap apatis serta menganggap tugas penegakan hukum semata-mata urusan polisi, serta kengganan terlibat sebagai saksi dan sebagainya. Hal ini menjadi salah satu faktor penghambat dalam penegakan hukum. 5. Faktor Kebudayaan Dalam kehidupan sehari-hari, orang begitu sering membicarakan soal kebudayaan. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang. Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, karena menjadi hal pokok dalam penegakan hukum. Dari lima faktor penegakan hukum tersebut faktor penegakan hukumnya sendiri merupakan titik sentralnya. Hal ini disebabkan oleh baik undang-undangnya disusun oleh penegak hukum, penerapannya pun dilaksanakan oleh penegak hukum dan penegakan hukumnya sendiri juga merupakan panutan oleh masyarakat luas. Penegakan hukum dan pelaksanaan hukum merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Para penegak hukum harus sadar hukum dan melaksanakan hukum dengan baik. Faktor penegakan hukumnya sendiri merupakan titik sentralnya. Hal ini di sebabkan oleh baik undang-undangnya disusun oleh penegak hukum, penerapannya pun dilaksanakan oleh penegak hukum dan penegak hukumnya sendiri juga merupakan panutan oleh masyarakat luas. Aparatur penegak hukum dapat diartikan sebagai seluruh institusi dan aparat penegak hukum yang terlibat dalam proses penegakan hukum. Setidaknya ada tiga elemen penting yang mempengaruhi kinerja penegakan aturan hukum, antara lain: institusi penegak hukum termasuk SOSIOLOGI HUKUM



99



sarana dan prasarana yang mendukung dan mekanisme atau tata kerja yang berlaku di lembaga tersebut. Selanjutnya adalah budaya kerja aparat penegak hukum termasuk kesejahteraannya. Kemudian yang ketiga adalah peraturan yang mendukung kinerja lembaga penegak hukum, baik hukum materil maupun hukum acara. Jimly Asshiddiqie, berpendapat bahwa persoalan yang dihadapi oleh Indonesia saat ini bukan hanya terletak pada persoalan penegakan hukum. Oleh karena penegakan aturan hukum iu sendiri hanya dapat terwujud apabila hukum yang hendak ditegakkan mencerminkan nilainilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan kata lain, dalam rangka penegakan aturan hukum diperlukan pula pembaharuan atau pembentukan peraturan hukum yang baru. Oleh karena itu, terdapat empat hal penting yang perlu mendapat perhatian, yakni: perlunya pembentukan peraturan baru, perlunya sosialisasi hukum kepada masyarakat, perlunya penegakan aturan hukum, dan yang tidak kalah pentingnya untuk mendukung seluruh kegiatan tersebut adalah perlunya administrasi hukum yang efektif dan efisien serta akuntabel.



100



SOSIOLOGI HUKUM



Bab VII



Hukum Responsif dan Hukum Progresif



SOSIOLOGI HUKUM



101



102



SOSIOLOGI HUKUM



Bab VII



HUKUM RESPONSIF DAN HUKUM PROGRESIF



Penerapan hukum terhadap suatu pola tindak atau peristiwa yang terjadi dalam kehidupan manusia bertujuan untuk menciptakan keamanan dan ketertiban serta mewujudkan keadilan bagi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Akan tetapi untuk mewujudkan keadilan dalam kehidupan masyarakat tidak terlepas dari pemikiran hukum yang diterapkan dan institusi yang diberikan kewenangan untuk melakukan penegakan hukum. Filsafat hukum mengenal berbagai teori hukum yang melandasi pemikiran-pemikiran hukum dalam kehidupan masyarakat termasuk pemikiran hukum di Indonesia seperti teori hukum alam, teori hukum positivisme dan utilitarianisme, teori hukum murni dan groundnorm, teori sosiologi perkembangan hukum dan lain-lain. Salah satu perkembangan terpenting dari teori sosiologi perkembangan hukum adalah pemikiran Hukum Responsif atas prakarsa Philipe Nonet dan Philip Selznick dan Hukum Progresif ajaran Satjipto Rahardjo. Kedua teori hukum ini dirasakan dapat menjawab kebutuhan masyarakat akan pentingnya makna dari keadilan. Namun pemikiran hukum responsif dan progresif tersebut, belum sepenuhnya melandasi SOSIOLOGI HUKUM



103



pemikiran para pembentuk hukum di Indonesia, sehingga hukum yang diberlakukan di Indonesia sebagian masih merupakan produk hukum Belanda, bahkan hukum yang diciptakan oleh Indonesia sendiripun masih banyak yang tidak dilandasi oleh pemikiran hukum progresif, melainkan kebanyakan masih dilandasi oleh pemikiran positivistiklegalistik. A. Perdebatan Hukum Responsif Sejarah lahirnya hukum responsif dilatarbelakangi dengan munculnya masalah-masalah sosial seperti protes massal, kemiskinan, kejahatan, pencemaran lingkungan, kerusuhan kaum urban, dan penyalahgunaan kekuasaan yang melanda Amerika Serikat pada tahun 1950-an. Hukum yang ada pada saat itu ternyata tidak cukup mengatasi keadaan tersebut. Padahal, hukum dituntut untuk bisa memecahkan solusi atas persoalan-persoalan tersebut. Nonet dan Selznick berupaya untuk menemukan jalan menuju perubahan supaya hukum bisa mengatasi persoalan-persoalan itu. Selama ini, hukum hanya dipahami sebagai aturan-aturan yang bersifat kaku dan terlalu menekankan pada aspek legal system tanpa melihat kaitan antara ilmu hukum tersebut dengan persoalan-persoalan lain seperti dalam hal masalah-masalah sosial. Hukum identik dengan ketertiban sebagai cermin pengaturan dari penguasa, di sisi lain ada juga pemahaman mengenai hukum yang menekankan aspek legitimasi dari peraturan-peraturan itu sendiri. Padahal semestinya teori hukum hendaknya tidakmenutup diri terhadap factor-faktor social yang mempengaruhi perkembangan masyarakat. Memahami kenyataan itu, mereka kemudian mencoba memasukkan unsur-unsur dan pengaruh ilmu sosial ke dalam ilmu hukum dengan menggunakan strategi ilmu sosial. Ada perspektif ilmu sosial yang harus diperhatikan untuk bekerjanya hukum secara keseluruhan sehingga hukum tidak hanya mengandung unsur pemaksaan dan penindasan. 104



SOSIOLOGI HUKUM



Pendekatan ilmu sosial memperlakukan pengalaman hukum sebagai sesuatu yang berubah-ubah dan kontekstual. Sebelum melangkah ke pemikiran hukum responsif, Nonet dan Selznick membedakan tiga klasifikasi dasar dari hukum dalam masyarakat, yaitu: (1) hukum sebagai pelayanan kekuasaan refresif, (hukum represif), (2) hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan refresi dan melindungi integritas dirinya (hukum otonom), dan (3) hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif). Nonet dan Selznick beranggapan, bahwa hukum represif, otonom, dan responsif bukan saja merupakan tipe-tipe hukum yang berbeda tetapi dalam beberapa hal juga merupakan tahapan-tahapan evolusi dalam hubungan hukum dengan tertib sosial dan tertib politik. Keduanya selanjutnya menyebut tahapantahapan evolusi tersebut sebagai model perkembangan (developmental model). Di antara ketiga tipe hukum tersebut, Nonet dan Selznick berargumen bahwa hanya hukum responsif yang menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil. Model perkembangan dapat disusun ulang dengan fokus pada hukum otonom, dengan menunjuk pada konflik-konflik pada tahapan tersebut yang menimbulkan tidak hanya risiko kembalinya pola-pola represif namun juga kemungkinan terjadinya responsivitas yang lebih besar. Hukum responsif pada intinya berorientasi pada hasil, pada tujuantujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Dalam model hukum responsif ini, mereka menyatakan ketidaksetujuan terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai interpretasi yang baku dan tidak fleksibel. Hukum tidak hanya rules (logic & rules), tetapi juga ada logikalogika yang lain. Bahwa memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup, tetapi penegakan hukum harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial. Ini merupakan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam SOSIOLOGI HUKUM



105



proses penegakan hukum, mulai dari polisi, jaksa, hakim, dan advokat untuk bisa membebaskan diri dari kungkungan hukum murni yang kaku dan analitis. Produk hukum yang berkarakter responsif proses pembuatannya bersifat partisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari segi individu, ataupun kelompok masyarakat dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat. Artinnya produk hukum tersebut bukan kehendak dari penguasa untuk melegitimasikan kekuasaannya. Sifat responsif dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan, tidak oleh pejabat melainkan oleh rakyat. Sifat responsif mengandung arti suatu komitmen kepada “hukum di dalam perspektif konsumen” Nonet dan Selznick menunjuk kepada dilema yang pelik di dalam institusi-institusi antara integritas dan keterbukaan. Integritas berarti bahwa suatu institusi dalam melayani kebutuhan-kebutuhan sosial tetap terikat kepada prosedur-prosedur dan cara-cara bekerja yang membedakannya dari institusi-institusi lain. Keterbukaan yang sempurna akan berarti bahwa bahasa institusional menjadi sama dengan bahasa yang dipakai dalam masyarakat pada umumnya, akan tetapi akan tidak lagi mengandung arti khusus, dan aksi-aksi institusional akan disesuaikan sepenuhnya dengan kekuatan-kekuatan di dalam lingkungan sosial, namun akan tidak lagi merupakan satu sumbangan yang khusus kepada masalah-masalah sosial. Konsep hukum responsif melihat suatu pemecahan untuk dilema ini yang mencoba untuk mengkombinasikan keterbukaan dengan integritas. Hukum responsif membedakan dirinya dari hukum otonom di dalam penekanan pada peranan tujuan di dalam hukum. Nonet dan Selznick bicara tentang kedaulatan tujuan. Pembuatan hukum dan penerapan hukum tidak lagi merupakan tujuan sendiri melainkan arti pentingnya merupakan akibat dari tujuan-tujuan sosial yang lebih besar yang dilayaninya. Hukum yang purposif adalah berorientasi kepada 106



SOSIOLOGI HUKUM



hasil dan dengan demikian membelok dengan tajam dari gambaran tentang keadilan yang terikat kepada konsekwensi. Menurut Nonet dan Selznick, penerimaan maksud memerlukan penyatuan otoritas hukum dan kemauan politik. Jika maksud menunjuk kepada fungsi dari pemerintah, maka kerakyatan menunjuk kepada peranan yang sangat menentukan dari partisipasi rakyat dalam hukum dan pemerintahan serta nilai terakhir yang dipertaruhkan, yaitu tercapainya suatu komunitas politik yang berbudaya yang tidak menolak masalah-masalah kemanusiaan dan dalam mana ada tempat bagi semua. Norma kerakyatan dapat diartikan sebagai pernyataan hukum dari suatu etika yang menghormati manusia sebagai nilai yang paling tinggi bagi kehidupan politik dalam dunia modern. Adapun gagasan atau pandangan yang beliau sampaikan tentang perlunya perubahan secara radikal dalam pemikiran hukum yang selama ini berkembang, menuju ke arah pemikiran yang berorientasi kepada konsep Negara Berdasar Hukum yang berbasis sosial bukan hanya berbasis yuridis. Beliau mencoba menggunakan sudut pandang sosiologis dalam mengkontruksi hukum, suatu hal yang selama ini belum banyak digunakan oleh pemikir-pemikir hukum di Indonesia. Gagasan lain yang disampaikan antara lain perlunya Indonesia beralih dari cara penegakan hukum sebagaimana yang selama ini dijalankan, yaitu model penegakan hukum yang bersifat formal-positivis yang dianggap hanya mampu untuk menjelaskan keadaan serta prosesproses normal seperti di antisipasi oleh hukum positif, sedangkan untuk menjelaskan suasana kemelut dan keguncangan yang terjadi di Indonesia hukum positif masih memiliki keterbatasan. Hal ini bisa dilihat pada kemampuan hukum untuk menangani misalnya masalah korupsi, sampai saat ini belum ada hasil yang memuaskan. Dari konsepsi hukum yang disampaikan kedua pemikir hukum ini dapatlah dilihat bahwa konsepsi hukum responsif dikontruksi ole h dua mazhab hukum yang belakangan cukup dikenal perkembangannya. SOSIOLOGI HUKUM



107



Pemikiran Rahardjo dengan konsep hukum progresifnya yang menyatakan bahwa hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan dengan segala dasar didalamnya, serta mampu melayani masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri. Keyakinan beliau terhadap sosiologi hukum sebagai alat bantu dalam mendekontruksi pemikiran hukum semakin mengkristalkan pemikiran bahwa konsepsi hukum responsif yang digagas Nonet dan Selznick memang didukung oleh madzhab sociological jurisprudence yang memberi kemampuan bagi institusi hukum untuk secara lebih menyeluruh dan cerdas mempertimbangkan fakta-fakta sosial dimana hukum itu berproses dan diaplikasikan. Hukum responsif, hukum otonom, dan hukum represif dapat dipahami sebagai respon terhadap dilemma yang ada antara integritas dan keterbukaan. Tanda-tanda dari hukum yang represif adalah adaptasi pasif dan oportunistik dari institusi-institusi hukum terhadap sosial dan politik. Hukum otonom merupakan reaksi yang menentang terhadap keterbukaan yang serampangan. Kegiatan atau perhatian utamanya adalah bagaimana untuk mencapai tujuan tersebut. Tipe hukum yang ketiga berusaha untuk mengatasi ketegangan tersebut. Ini disebut responsive, bukan terbuka atau adaptif, untuk menunjukkan suatu kapasitas beradaptasi yang bertanggungjawab, dan dengan demikian adaptasi yang selektif. Suatu institusi yang responsif mempertahanan secara kuat hal-hal yang esensial bagi integritasnya sembari tetap memperhatikan keberadaan, kekuatan-kekuatan baru di dalam ling=kungannya. Untuk melakukan hal itu, hukum responsif memperkuat caracara bagaimana keterbukaan dan integritas dapat saling menopang walaupun terdapat pertentangan di antara keduanya. Lembaga yang responsif menganggap tekanan-tekanan sosial sebagai sumber pengetahuan dan kesempatan untuk melakukan koreksi-diri. Agar mendapatkan sosok seperti itu, sebuah institusi memerlukan panduan ke rah 108



SOSIOLOGI HUKUM



tujuan.Tujuan menetapkan standar untuk membuka jalan melakukan perubahan. Pada saat yang bersamaan, jika benar-benar digunakan, tujuan dapat mengontrol diskresi administrative, dan dengan demikian dapat mengurangi risiko terjadinya pelepasan institusional. Sebaliknya, ketiadaan tujuan berakar pada kelakukan serta opportuninisme. Dalam kenyataannya kondisi-kondisi yang buruh ini terkait satu sama lain dan hidup berdampingan. Suatu institusi yang formalis, yang terikat pada peraturan, merupakan institusi yang tidak memiliki kelengkapan yang memadai untuk hal-hal yang benar-benar dipertaruhkan dalam konfliknya dengan lingkungan sekitar. Institusi ini sering beradaptasi secara opportuniskarena ia tidak mempunyai criteria untuk secara rasioanal merekonstruksi kebijakan-kebijakan yang sudah ketinggalan zaman atau yang tidak layak lagi. Hanya ketika sebuah lembaga benar-benar mempunyai tujuan barulah ada dapat panduan antara integritas dan Keterbukaan, peraturan dan diskresi. Jadi hukum responsif berangkapan bahwa tujuan dapat dibuat cukup objektif dan cukup otoritatif untuk mengontrol perbuatan peraturan yang adaptif. Dalam berbagai kasus berkaitan suatu produk hukum, baik yang keluar dari lembaga yudikatif maupun eksekutif, sepanjang menyangkut kepentingan orang banyak, biasanya sering menjadi polemik masyarakat luas, mulai dari para pakar hukum hingga masyarakat awam. Fenomena ini terjadi bisa dipahami sebagai suatu bentuk makin tingginya pemahaman masyarakat terhadap hukum, atau boleh jadi telah terjadi something wrong dengan produk hukum itu sendiri, seiring dengan perkembangan dan tuntutan demokratisasi dan transparansi dalam penyelenggaraan negara. Disamping itu, hal tersebut dapat pula dipahami sebagai adanya sesuatu yang salah pada lembaga hukumnya, dalam menerapkan hukum. Pergulatan mengenai tujuan merupakan upaya yang beresiko bagi sebuah institusi hukum. Misalnya dalam suatu perusahaan yang besar, warisan dari masa lalu dengan mudah dianggap sebagai rintangan bagi rasionalitas. Pada prinsipnya, organisasi ini bebas untuk tidak mengemSOSIOLOGI HUKUM



109



balikan aturan-aturan yang dimilikinya dan mengubah Prosedur kerjanya. Namun sebagian institusi lain, diantaranya lembaga keagamaan dan hukum sangat tergantung pada ritual dan preseden untuk memelihara identitas atau mempertahankan legitimasi. Bagi institusi-institusi ini, jalan menuju responsivitas sangatlah membahayakan. Perbedaan antara hukum otonom dan hukum responsif sebagian merupakan hasil dari penafsiran yang berbeda terhadap risiko tersebut. Hukum otonom menganut perspektif “resiko rendah”. Ia bersikap waspada terhadap apa saja yang dapat memicu gugatan terhadap otoritas yang sudah diterima. Dalam menemukan suatu tertib hukum yang terbuka dan purposive, pada pendukung hukum yang terbuka dan purposif, para pendukung hukum responsif lebih memiliki alternatif “risiko tinggi”.  Dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia, teori hukum responsif ini telah banyak diterapkan dalam klausul berbagai Undang-undang, bahkan hampir semua UU, khususnya yang berkaiatan dengan pelayanan publik memberikan kewenangan kepada masyarakat untuk memberikan masukan, baik langsung atau tidak langsung dalam proses perumusan suatu UU. Hal ini diterapkan sejak era reformasi berjalan hingga kini. B. Pemahaman Hukum Progresif Kondisi hukum di Indonesia sebelum reformasi tidak mampu memberikan kepastian sebagaimana yang diharapkan, apalagi keadilan sebagaiaman yang diharapkan oleh masyarakat. Namun rezim orde baru beranggapan telah melaksanakan pemerintahan atas dasar pemerintahan yang adil, serta berusaha merealisasikannya melalui berbagai program yang disebut dengan istilah “pemerataan” mulai dari pemerataan untuk memperoleh pendidikan sampai pada pemerataan untuk memperoleh kesekatan. Sebagaimana dikatakan Rahardjo, bahwa ilmu adalah untuk kenyataan, bukan sebaliknya. Apabila kenyataan adalah untuk ilmu, maka



110



SOSIOLOGI HUKUM



kenyataan itu akan dimanipulasi sehingga cocok dengan ilmu dan teori yang ada. Sebagai contoh teori Newton yang melihat segalanya sebagai keteraturan, yang berhubungan secara mekanistik. Dengan kata lain teori Newton bersifat linear, matematis, dan deterministik. Teori Newton mengabaikan kenyataan dalam alam yang menyimpang dari teorinya. Ia menganggap bahwa fenomena yang ada di alam ini tidak dapat dimasukkan dalam tubuh grandtehori-nya dianggap sebagai penyimpangan yang harus diabaikan. Ketika teori Newton gagal menjelaskan fenomena tersebut, akhirnya digantikan oleh teori lain yaitu teori kuantum yang mampu menjelaskan fenomena tersebut. Demikian juga halnya dengan hukum yang ada di Indonesia, rasanya sudah tidak mampu lagi menyelesaikan permasalahan hukum yang ada, untuk itu diperlukan sesuatu yang bisa membawa kearah yang lebih baik, sesuatu yang mempu menyelesaikan permasalahan hukum yang belum terselesaikan. Hal-hal seperi inilah yang dirasalkan Rahardjo, sebagai suatu PR dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Merupakan sesuatun yang harus dipikirkan bersama oleh pakar hukum sehingga menemukan teori yang dapat diaplikasikan ke dalam masyarakat dan memberikan hasil yang baik bagi masyarakat. Di Indonesia, muncul yang dinamakan hukum progresif yang muncul pada sekitar tahun 2002. Hukum progresif lahir karena selama ini ajaran ilmu hukum positif (analytical jurisprudence) yang dipraktikkan pada realitas empirik di Indonesia tidak memuaskan. Gagasan Hukum Progresif muncul karena prihatin terhadap kualitas penegakan hukum di Indonesia terutama sejak terjadinya reformasi pada pertengah tahun 1997. Jika fungsi hukum dimaksudkan untuk turut serta memecahkan persoalan kemasyarakatan secara ideal, maka yang dialami dan terjadi Indonesia sekarang ini adalah sangat bertolak belakang dengan cita-cita ideal tersebut. Untuk mencari solusi dari kegagalan penerapan analytical jurisprudence, hukum progresif memiliki asumsi dasar hubungan antara hukum dengan manusia. Progresivisme bertolak dari pandangan kemaSOSIOLOGI HUKUM



111



nusiaan, bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, memiliki sifatsifat kasih sayang serta kepedulian terhadap sesama. Dengan demikian, asumsi dasar hukum progresif dimulai dari hakikat dasar hukum adalah untuk manusia. Hukum tidak hadir untuk dirinya – sendiri sebagaimana yang digagas oleh ilmu hukum positif–tetapi untuk manusia dalam rangka mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Posisi yang demikian mengantarkan satu predisposisi bahwa hukum itu selalu berada pada status ‘law in the making’ (hukum yang selalu berproses untuk menjadi). Karena orientasinya lebih condong pada sosiologi hukum, Raharjo mencetuskan satu teori hukum yang dikenal dengan teori hukum progresif. Teori ini lahir tidak lepas dari gagasannya atau kegalauan dengan keadaan cara penyelengaraan hukum di Indonesia, dimana hampir sama sekali tidak ada terobosan yang cerdas menghadapi masa transisi Orde Baru dan yang lebih memprihatinkan lagi hukum tidak saja dijalankan sebagi rutinnitas belaka, tetapi tetapi juga dipermainkan seperti barang dagangan bagi oknum-oknum tertentu. Hukum progresif yang digagas Rahardjo merupakan pergulatan pemikirannya yang panjang dan galau terhadap penerapan sistem hukum di Indonesia yang selalu statis, koruptif, dan tidak mempunyai keberpihakan struktural terhadap hukum yang hidup di masyarakat. Hukum di Indonesia telah kehilangan basis sosialnya, basis multikulturalnya dan ditegakkan secara sentralistik dalam bangunan sistem hukum. Hukum kemudian dipaksakan, didesakkan dan diterapkan dengan kekerasan struktural oleh aparat penegak hukum. Bangunan sistem hukum dan kondisi penegakan hukum yang penuh dengan problematik tersebut di Indonesia akhirnya dideklasikan pentingnya persatuan kekuatan hukum progresif untuk melawan kekuatan status quo madzhab hukum yang telah sekian lama diterapkan dalam sistem hukum di Indonesia. Menurutnya, kekalahan kekuatan madzhab hukum progresif disebabkan kekuatan hukum progresif masih tercerai-berai dan belum memiliki platform yang akan membangun 112



SOSIOLOGI HUKUM



sinergi dan kekuatan. Oleh karena itu mendesak kekuatan hukum progresif untuk saling bergandeng tangan dalam ide, aksi, dukungan dan lainnya untuk memperbesar kekuatan madzhab hukum progresif. Kekuatan hukum progresif merupakan kekuatan yang menolak dan ingin mematahkan keadaan status quo. Mempertahankan status quo berarti menerima normatifitas dan sistem yang ada tanpa ada usaha untuk melihat aneka kelemahan di dalamnya yang kemudian mendorong bertindak mengatasinya. Hampir tidak ada usaha untuk melakukan perbaikan, yang ada hanya menjalankan hukum seperti apa adanya dan secara biasa-biasa saja. Mempertahankan status quo dalam kondisi tersebut akan makin bersifat jahat sekaligus bertahan dalam situasi korup dan dekaden dalam sistem yang nyata-nyata memiliki kelemahan. Status quo juga bertahan salah satu alasannya karena doktrin otonomi hukum, padahal dalam diri hukum sesungguhnya juga benteng perlindungan bagi orang-orang mapan sehingga pendekatan tujuan keadilan hanya bisa dicapai dengan menggunakan pendekatan sistem peraturan dan prosedur obyektif. Pandangan dan pendekatan yang dipaktekkan dalam sistem rule of law demikian tidak akan pernah mencapai keadilan sosial. Kekuatan hukum progresifnya merupakan provokasi ilmiah atas hegemoni posistivisme dan sentralisme hukum yang kemudian berdampak terhadap kekerasan struktural, marjinalisasi masyarakat dan hukumnya serta menjauhkan hukum dari kehidupan sosial masyarakat yang multikultural. Kemunculan ide ini telah menciptakan polemik dan debat konfrontatif dengan paradigma hukum yang hingga saat ini masih diterapkan di Indonesia. Setidaknya, salah satu teoritikus yang dilawannya ialah Hans Kalsen yang mengatakan bahwa norma hukum bukan semata diterapkan oleh organ atau dipatuhi oleh subyek, tetapi juga menjadi dasar pertimbangan nilai spesifik yang mengkualifikasikan satu perbuatan dinilai berdasar hukum ataukah tidak diluar hukum. Validitas penerapan hukum tergantung pada norma-normanya, primer atau sekunder. Term sein (ada/fakta) dan sollen (harus/ideal) meruSOSIOLOGI HUKUM



113



pakan terma yang berbeda. Validitas hukum normatif dan primer ialah sesuatu yang sollen bukan sesuatu yang sein. Pemikiran hukum perlu kembali pada filosofis dasarnya, yaitu hukum untuk manusia. Dengan filosofis tersebut, maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia. Mutu hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia. Ini menyebabkan hukum progresif menganut “ideologi”: Hukum yang pro-keadilan dan Hukum yang Pro-rakyat. Dalam logika itulah revitalisasi hukum dilakukan setiap kali. Bagi hukum progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan, tetapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasikan hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Para pelaku hukum progresif dapat melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada, tanpa harus menunggu perubahanperaturan (changing the law). Peraturan buruk tidak harus menjadi penghalang bagi para pelaku hukum progresif untuk menghadikarkan keadilan untuk rakyat dan pencari keadilan, karena mereka dapat melakukan interprestasi secara baru setiap kali terhadap suatu peraturan. Untuk itu agar hukum dirasakan manfaatnya, maka dibutuhkan jasa pelaku hukum yang kreatif menterjemahkan hukum itu untuk kepentingan-kepentingan sosial yang memang harus dilayaninya. Berdasarkan teori ini keadilan tidak bisa secara langsung ditemukan lewat proses logis – formal. Keadilan justru diperoleh lewat institusi, karenanya, argument-argumen logis formal dicari sesudah keadilan ditemukan untuk membingkai secara yuridis – formal keputusan yang diyakini adil tersebut. Oleh karena itu konsep hukum progresif, hukum tidak mengabdi bagi dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di luar dirinya. Butiran pemikiran demikian itu akan dijumpai dalam banyak 114



SOSIOLOGI HUKUM



gagasan tentang hukum yang dicetuskan oleh Rahardjo. Baginya, hukum bukanlah sekedar logika semata, lebih daripada itu hukum merupakan ilmu sebenarnya (genuine science). Selama ini ia melihat hukum sebagai objek ilmu daripada profesi, dengan selalu berusaha untuk memahami atau melihat kaitan dengan hal-hal dibelakang hukum, keinginan untuk melihat logika sosial dari hukum lebih besar daripada logika hukum atau perundang-undangan), yang seharusnya selalu dimaknai sehingga selalu up to date. Pemikiran konvensional yang selama ini menguasai/mendominasi karakteriktik berpikir ilmuwan hukum. Salah satu ajaran atau pemikiran dari hukum progresif adalah hukum progresif menempatkan faktor manusia lebih penting dan berada di atas peraturan. Oleh karena itu, hukum progresif sepakat dengan ungkapan yang menyatakan “berikan saya jaksa dan hakim yang baik sehingga dengan peraturan yang burukpun saya bisa membuat putusan yang baik”. Pandangan dari hukum progresif yang menempatkan faktor manusia lebih penting dan berada di atas peraturan, bersesuaian dengan pandangan Roscoe Pound tentang keadilan yang memandang keadilan dapat dilaksanakan dengan hukum atau tanpa hukum. Keadilan tanpa hukum dilaksanakan sesuai dengan keinginan atau intuisi seseorang yang di dalam mengambil keputusan mempunyai ruang lingkup diskresi yang luas serta tidak ada keterikatan pada perangkat aturan tertentu. Pemikiran hukum progresif dalam hubungan dengan perwujudan keadilan, pernah pula dikemukakan oleh salah seorang mantan Hakim Agung, Bismar Seregar, dengan menyatakan “bila untuk menegakan keadilan saya korbankan kepastian hukum, akan saya korbankan hukum itu. Hukum hanya sarana sedangkan tujuannya adalah keadilan, mengapa tujuan dikorbankan karena sarana? Dengan demikian hakim dalam menerapkan hukum progresif untuk mewujudkan keadilan sosial sebagai keadilan substantif Pancasila harus berani untuk mengesampingkan substansi hukum yang dinilai buruk dan menghambat pencapaian keadilan sosial masyarakat. SOSIOLOGI HUKUM



115



Rahardjo merupakan salah satu pemikir hukum Indonesia yang cukup produktif. Pemikirannya akan banyak dijumpai dalam berbagai bentuk, baik lisan maupun tulisan, buku teks atau tercerai berai di berbagai surat kabar dalam bentuk artikel dan makalah seminar/diskusi. Substansinya sangat beragam bahkan sangat luas, mulai dari hal yang bersifat filosofis, sosiologis bahkan anthropologis dan religius. Ciri pemikirannya sesuai dengan perkembangan saat ini dapat dimasukan ke dalam pemikir kontemporer dalam ilmu hukum postmodernis sekaligus kritis. Bagi Raharjo, berpikir teoretis bagi para ilmuwan hukum adalah mutlak dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Oleh karena itu gagasan beliau lebih kepada bagaimana para ilmuwan hendaknya mengembangkan semangat untuk tetap menjaga cara berpikir yang demikian itu, karena melalui jalur tersebut akan membawa kita semua sampai kepada apa yang disebutnya dengan “The Formation of Theory” (membangun teori). Teori menurutnya adalah, Giving name-explanation, given new meaning. Para llmuwan hukum seharusnya mencoba berpikir ke arah sana. Dan semua ilmuwan sangat terbuka/diundang untuk memasuki wilayah ini. Hukum akan dirasakan adil apabila hukum tersebut sesuai dengan hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang bersangkutan. Hal ini dapat dikuatkan dengan hukum-hukum adat yang ada di daerah-daerah di Indonesia akan sangat dihormati/ditaati (bukan ditakuti) oleh masyarakat yang bersangkutan karena memang masyarakat merasa harus mentaati hukum itu, karena telah memberikan rasa adil. Untuk memahami teori hukum progresif tidaklah semudah namanya, karena akan memerlukan bacaan yang lebih dalam mengenai latar belakang pemikiran munculnya teori tersebut. Bertitik tolak dari kenyataan yang pahit mengenai kehidupan dan peranan hukum yang ia konstatir maka muncullah keinginan untuk kembali kepada fundamental hukum di negeri ini. Bahkan beliau memikirkan tentang kemungkinan 116



SOSIOLOGI HUKUM



adanya kekeliruan atau kekurang tepatan dalam mema-hami fundamental hukum tersebut, sehingga beliau menegaskan adanya perkembangan hukum tidak dapat diarahkan kepada yang benar. Menurut Raharjo karakteristik dan fungsi serta peranan hukum dalam pembangunan dibedakan dalam dua hal, yaitu: 1. Hukum selalu ditempatkan untuk mencari landasan pengesahan atas suatu tindakan yang memegang teguh ciri prosedural dari dasar hukum dan peraturan; dan 2. Hukum dalam pembangunan dipandang telah mengalami pertukaran dengan kekuatan-kekuatan di luar hukum sehingga hukum menjadi saluran untuk menjallankan keputusan politik, atau hukum dijadikan sebagai perekayasa sosial. Pandangan teori hukum progresif menurut Raharjo merupakan suatu penjelajahan suatu gagasan yang berintikan 9 (sembilan) pokok pikiran. Adapun pokok-pokok pikiran dimaksud adalah: 1. Hukum menolak tradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek dan berbagi faham dengan aliran seperti legal realism, freirechtslehre, sosiological jurisprudence, interressenjurisprudenz, di Jerman, teori hukum alam, dan critical legal studies. 2. Hukum menolak bahwa ketertiban (order) hanya bekerja melalui istitusi-istitusi kenegaraan. 3. Hukum progresif ditunjukkan untuk melindungi rakyat menuju kepada ideal hukum. 4. Hukum menolak status quo serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral. 5. Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera, serta membuat manusia bahagia. 6. Hukum progresif adalah, hukum yang pro rakyat, dan hukum yang pro keadilan.



SOSIOLOGI HUKUM



117



7. Asumsi dasar hukum progresif adalah bahwa, hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka hukum tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan lebih besar. Maka setiap kali ada masalah dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksakan untuk dimasukkan kedalam sistem hukum. 8. Hukum bukan merupakan suatu institusi yang absolut dan final melainkan sangat bergantung pada bagaimana manusia melihat dan menggunakannya. Manusialah yang merupakan penentu. 9. Hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making). Hampir setiap hari kita menyaksikan baik melalui media koran maupun media elektronik tentang pelanggaran terhadap hukum dan Hak Asasi Manusia terus terjadi di berbagai negara di dunia dan khususnya di Indonesia, bahkan sudah menjadi berita dan tontonan yang ditunggu-tunggu. Walaupun berbagai peraturan perundang-undangan, etika (profesi) dan konversi internasional telah diterbitkan.



Sudah selayaknya di Indonesia terjadi reformasi di bidang hukum, bukan hanya hukumnya saja akan tetapi sistem hukum yang selama ini berpatokan kepada erofa kontinental sudah urgen dipertanyakan lagi, apakah masih perlu dipertahankan, ataukah sudah perlu perombakan secara besar-besaran, mengingat banyaknya hukum yang ada di Indonesia yang tidak berdasarkan pada jiwa bangsa Indonesia.



118



SOSIOLOGI HUKUM



DAFTAR PUSTAKA



Aburaera, Sukarno, dkk, 2013. Filsafat Hukum: Teori dan Praktek, Jakarta: Kencana Prenada Media Group Ali, Achmad, 2008. Menguak Realitas Hukum, Rampai Kolom & Artikel Pilihan Dalam Bidang Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group —————, 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence). Jakarta: Kencana. —————, 2001. Keterpurukan Hukum di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia —————, 2002. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofisdan Sosiologis), Jakarta: PT. Toko Gunung Agung Ali, Zainuddin, 2012.Sosiologi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. Anwar, Yesmil Adang, 2008.Pengantar Sosilogi Hukum, Jakarta: PT. Grasindo Apeldorn, Van, 1986. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT. Pradnya Paramita Atmasasmita, Romli 2012, Tiga Paradigma Hukum dalam Pembangunan Nasional: Dimuat dalam Jurnal Hukum Prioris, Vol. 3 No. 1 Tahun 2012 SOSIOLOGI HUKUM



119



Chairuddin, O.K., 1991. Sosiologi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika Darmodihardjo, Dardji & Sidharta, 1995. Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Erwin, Muhamad, 2011. Filsafat Hukum, Refleksi Kritis terhadap Hukum, Jakarta: PT. Radja Grafindo Persada Fajlurrahman Jurdi, 2007. Komisi Yudisial: Dari Lelegitimasi hingga Revitalisasi Moral Hakim, Yogyakarta: Kreasi Wacana Friedman, W, 1993. Teori dan Filsafat Hukum, Telaah Atas TeoriTeori Hukum, Jakarta: PT. Rajagrafindo Fuady, Munir, 2011.Teori-Teori dalam Sosiologi Hukum. Jakarta: Kencana. —————, 2012. Teori-Teori Besar (Grand Theory) dalam Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group Hendrojono, 2005. Sosiologi Hukum: Pengaruh Perubahan Masyarakat dan Hukum. Surabaya: Srikandi Johnson, Alvin S. 2004.Sosiologi Hukum. Jakarta: Rineka Cipta. Kamil, Ahmad, 2012, Filsafat Kebebasan Hakim, Jakarta: Kencana Prenada Media Group Mahfud MD, Moh, 2001. Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES Malsem, Van. Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita. 1992. Jakarta: Gramedia. Mertokusumo, Sudikno, 1988, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty Muliadi, A, 2011, Peran Politik Hukum Dalam Penegakan Hukum Yang Berkeadilan, Jurnal Hukum Adil Vol. 2, No. 2: Jakarta Podgorechi, Adam dan Chirsthoper J Whelan, 1987. Sosiological Approaches to Law, Jakarta: Bina Aksara Purbacaraka, Purnadi, 1988. Disiplin Hukum adalah Disiplin Sosial, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada



120



SOSIOLOGI HUKUM



Rahardjo, Satjipto, 2006. Ilmu Hukum. Bandung: PT Citra Aditya ———————, 2007. Biarkan Hukum Mengalir, Jakarta: Kompas Media Nusantara ———————,  2010. Sosiologi Hukum: Esai-esai Terpilih , Yogyakarta: Genta Publishing Saifullah, 2007.Refleksi Sosiologi Hukum. Bandung: Refika Aditama Sholehudin, Umar, 2011. Hukum dan Keadilan Masyarakat Persepektif Sosiologi Hukum. Malang: Setara Press Soekanto, Soerjono, 1976. Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum. Bandung: Alumni. ———————, 1984. Antropologi Hukum: Materi Pengantar Ilmu Hukum Adat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada ———————, 1991. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada ———————, 1992. Memperkenalkan Sosiologi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada ———————, 1983. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada ———————, 2004. Sosiologi, Suatu Pengantar, Jakarta: RajaGrafindo Persada ———————, 2014. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Rajawali Pers Sudarsono, 1991. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Rineka Cipta Sudjito, 2012. Hukum dalam Pelangi Kehidupan, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada University Press Taneko, Soleman B., 1993. Pokok-pokok Studi Hukum dalam Masyarakat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada Tanya, Bernard L, 2006.Hukum dalam Ruang Sosial. Surabaya: Srikandi



SOSIOLOGI HUKUM



121



Usman, Sabian,, 2009. Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Warassih, Esmi Pranata Hukum: Sebuah Telaah Sosiologis. Semarang: Suryandaru Utama, 2005 Wasis S.P, Pengantar Ilmu Hukum, UMM Pres, Malang, 2002



122



SOSIOLOGI HUKUM



BIODATA PENULIS



Dr. Mohd, Yusuf Daeng, SH., MH., Ph.D, lahir di Benteng, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau , 15 Juni 1963. Memperoleh gelar Sarjana (S1) pada Fakultas Hukum Jurusan Pidana Universitas Lancang Kuning (1998) dan Master (S2) pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta spesialis Hukum Bisnis. Berhasil meraih gelar Doktor (S3) dari Universitas Trisakti Jakarta dan Ph.D dari Universiti Teknikal Malaysia (UTeM) Melaka. Selain berprofesi sebagai Advokat dan Law Consultan terkemuka di Riau, dosen tetap Fakultal Hukum Universitas Lancang Kuning ini, juga banyak terlibat dalam kegiatan sosial-politik dan kemasyarakatan. Di kampus ia pernah menjabat sebagai Direktur LBH dan Kepala Laboratorium Hukum (2000-2004), Pembantu Rektor III bidang Kemahasiswaan (2000-2004), dan Pembantu Rektor IV bidang Kerjasama dan Promosi (2004-2008). Di bidang kemasyarakatan pernah dipercaya sebagai Tim Pembina Penanggulangan Narkoba BNP Provinsi Riau, Sekjen Forum Silaturrahmi Kantibmas (FSK) Provinsi Riau, Sekjen Forum Peduli Keadilan Masyarakat (FPKM) Provinsi Riau, Ketua LSM Sandrego, dan Ketua Yayasan Al-Muhajirin. SOSIOLOGI HUKUM



123



Di tengah kesibukan yang padat, ia tidak lupa untuk menulis dan membukukan hasil pemikirannya. Buku yang pernah diterbitkan Pengaturan Hukum Species Langka di Indonesia (2004), Perlindungan Hak Cipta di Indonesia (2004), Pendidikan Kewarganegaraan (2006), Pengantar Kriminologi (2006), dan HAM & Keadilan (2007). Baru-baru ini menerbitkan buku hasil disertasinya yang berjudul Problematika Hukum Hak Cipta (2016).



124



SOSIOLOGI HUKUM