Zoonosis. Leptospirosis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH ZOONOSIS PENYAKIT LEPTOSPIROSIS



OLEH



NAMA : ENDANG D. LAURE NIM : 1807010137 SEMESTER : V



PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS NUSA CENDANA KUPANG 2020



KATA PENGANTAR Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas tuntunan-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini berisi materi tentang penyakit leptospirosis dan bagaimana cara mencegah atau menanggulanginya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan juga bagi para pembaca dalam menambah wawasan mengenai penyakit leptospirosis. Saya menyadari bahwa makalah ini masih memiliki kekurangan, maka dari itu kritik serta saran dari para pembaca sabgat diperlukan untuk makalah ini. Atas perhatiannya penulis haturkan limpah terima kasih.



Kupang, September 2020



penulis



1



DAFTAR ISI Kata pengantar……………………………………………………1 Daftar isi…………………………………………………………..2 Pendahuluan Latar belakang…………………………………………………….3 Rumusan masalah…………………………………………………4 Tujuan ………………………………………………….. ………..4 Pengertian dan Penyebab Leptospirosis………………………..…6 Gejala dan Masa Inkubasi……………………………………..….8 Pathofisiologi…………………………………………………….10 Diagnosa dan Pemeriksaan penyakit …………………………….11 Sumber dan Cara Penularan………………………………………13 pengobatan pada manusia…………………………………….…..15 Pencegahan Penyakit dan Program Pemberantasan…………..….15 Kesimpulan………………………………………………….…....17 Saran …………………………………………………………….17 Daftar pustaka ………………………………………….……..…18



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Leptospirosis merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Insidensi pada negara beriklim hangat lebih tinggi dari negara yang beriklim sedang, kondisi ini disebabkan masa hidup leptospira yang lebih panjang dalam lingkungan yang hangat dan kondisi lembab. Kebanyakan negara-negara tropis merupakan negara berkembang, dimana terdapat kesempatan lebih besar pada manusia untuk terpapar dengan hewan yang terinfeksi. Penyakit ini bersifat musiman, di daerah yang beriklim sedang masa puncak insidens dijumpai pada musim panas dan musim gugur karena temperatur adalah faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup leptospira, sedangkan di daerah tropis insidens tertinggi terjadi selama musim hujan (Depkes, 2008). Penyakit secara epidemologi dipengaruhi oleh 3 faktor pokok yaitu faktor agent penyakit yang berkaitan dengan penyebab termasuk jumlah virulensi, patogenitas bakteri leptospira, faktor kedua yang berkaitan dengan faktor host (pejamu/tuan rumah/penderita) termasuk didalamnya keadaan kebersihan perorangan, keadaan gizi, usia, taraf pendidikan, faktor ketiga yaitu environment, yang termasuk lingkungan fisik, biologik, sosial-ekonomi, budaya. Pada kejadian leptospirosis ini faktor lingkungan sangat berpengaruh seperti adanya genangan air dan sanitasi lingkungan yang buruk (Notoatmodjo, 2007). Leptospirosis menjadi masalah di dunia karena angka kejadian yang dilaporkan rendah disebagian besar negara, oleh karena kesulitan didalam diagnosis klinis dan tidak tersedianya alat diagnosis, sehingga kejadian tidak dapat diketahui, walaupun demikian di daerah tropik yang basah diperkirakan terdapat kasus leptospirosis sebesar >10 kasus per 100.000 penduduk pertahun. Insiden penyakit leptospirosis tertinggi di wilayah Afrika (95,5 per 100.000 penduduk) diikuti oleh Pasifik Barat (66,4), Amerika (12,5), Asia Tenggara (4,8) dan Eropa (0,5). Sebagian besar kasus yang dilaporkan memiliki manifestasi parah, yang angka kematian lebih besar dari 10% (WHO, 2010). Menurut International Leptospirosis Society (ILS) Indonesia merupakan negara insiden leptospirosis peringkat 3 di bawah Cina dan India untuk mortalitas. CFR mencapai 2,5%-16,45 % atau rata-rata 7,1%. Angka ini dapat mencapai 56 % pada



penderita berusia 50 tahun ke atas. Penderita leptospirosis yang disertai selaput mata berwarna kuning (kerusakan jaringan hati), risiko kematian akan lebih tinggi. Cina dan India merupakan daerah dengan angka kematian antara 3% - 54% tergantung dari sistem organ yang terinfeksi. Menurut laporan yang tersedia, insiden penyakit leptospirosis berkisar 0,1-1 per 100.000 penduduk per tahun beriklim sedang, untuk 10- 100 per 100.000 penduduk di daerah tropis lembab. Selama Kejadian Luar Biasa (KLB) insiden penyakit leptospirosis mencapai lebih dari 100 per 100.000 penduduk pertahun (WHO, 2003). Daerah persebaran di Indonesia yaitu di daerah dataran rendah dan perkotaan seperti pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Kementrian Kesehatan RI tahun 2013 melaporkan pada tahun 2012 terdapat kasus leptospirosis di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Tengah, Yogyakarta dan Provinsi Jawa Timur yaitu sebesar 0,09 per 100.000 penduduk pertahun dengan korban meninggal sebanyak CFR 12,61. Tingginya angka kematian dikarenakan kesulitan dalam diagnosis penyakit leptospirosis sehingga menyebabkan sulitnya upaya dalam pemberantasanya (Kementrian Kesehatan RI, 2013). Penyakit leptospirosis merupakan penyakit yang banyak terjadi di daerah rawan banjir karena kejadian ini paling tinggi setelah banjir tersebut surut.Keadaan lingkungan yang diindikasi ada kaitannya dengan penularan leptospirosis adalah sebagai berikut: persentase rumah penduduk yang memenuhi syarat kesehatan sebanyak 79,79%, persentase rumah penduduk yang memiliki akses air bersih dengan Perusahaan Daerah Air minum (PDAM) dan sumur yaitu 95,49%, persentase keluarga yang memiliki Sarana Pengolahan Air Limbah (SPAL) sebanyak 80,46% (DinKes Klaten, 2013)



1.2 Rumusan Masalah 1. apa itu leptospirosis serta apa penyebabnya? 2. apa saja gejala leptospirosis serta berapa lama masa inkubasinya? 3. bagaimana pathofisiologi leptospirosis pada manusia serta hewan yang terkena penyakit ini ? 4. bagaimana diagnosa dan pemeriksaan penyakit leptospirosis? 5. darimana sumber penularan penyakit ini serta bagaimana cara penularannya? 6. pengobatan seperti apa yang dapat diberikan kepada manusia yang menderita penyakit ini? 7. bagaimana pencegahan dan pemberantasan penyakit ini pada manusia dan hewan? 1.3 Tujuan Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah zoonosis serta mengetahui tentang apa itu penyakit leptospirosis serta bagaimana pencegahan dan pemberantasan penyakit ini.



BAB II ISI 2.1 Pengertian dan Penyebab Leptospirosis 2.1.1 pengertian leptospirosis Leptospirosis adalah infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri leptospira. Penyakit ini juga disebut Weil disease, Canicola fever, Hemorrhagic jaundice, Mud fever, atau Swineherd disease (Widoyono, 2008). Penyakit ini paling sering ditularkan dari hewan ke manusia ketika orang dengan luka terbuka di kulit melakukan kontak dengan air atau tanah yang telah terkontaminasi air kencing hewan. Bakteri juga dapat memasuki tubuh melalui mata atau selaput lendir. Hewan yang umum menularkan infeksi kepada manusia adalah tikus, musang, opossum, rubah, musang kerbau, sapi atau binatang lainnya. Di Indonesia Penyakit ini disebut penyakit kencing tikus. Menurut Widoyono (2008) manusia dapat terinfeksi melalui beberapa cara berikut ini: a. Kontak dengan air, tanah dan lumpur yang terancam bakteri. b. Kontak dengan organ, darah, dan urin hewan terinfeksi. c. Mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi. Masa inkubasi leptospirosis adalah dua hingga 26 hari. Sekali berada di aliran darah, bakteri ini bisa menyebar ke seluruh tubuh dan mengakibatkan gangguan khususnya hati dan ginjal. Penularan tidak langsung terjadi melalui genangan air, sungai, danau, selokan saluran air dan lumpur yang tercemar urin hewan seperti tikus, umumnya terjadi saat banjir. Wabah leptospirosis dapat juga terjadi pada musim kemarau karena sumber air yang sama dipakai oleh manusia dan hewan. Sedangkan untuk penularan secara langsung dapat terjadi pada seorang yang senantiasa kontak dengan hewan (peternak, dokter hewan). Penularan juga dapat terjadi melalui air susu, plasenta, hubungan seksual, percikan darah manusia penderita leptospira meski kejadian ini jarang ditemukan. Manusia jarang menginfeksi manusia lain, tetapi mungkin melakukannya selama hubungan seksual atau menyusui.



2.1.2 penyebab leptospirosis Bakteri Leptospira sebagai penyebab Leptospirosis berbentuk benang panjang 6-12 μm termasuk ke dalam Ordo Spirochaeta dalam family Trepanometaceae. Lebih dari 180 serotipe dan 18 serogrup leptospira yang patogen telah diidentifikasi dan hampir setengahnya terdapat di Indonesia (Widoyono, 2008). Bentuk benang spiral dengan pilinan yang rapat dan ujung-ujungnya yang bengkok, seperti kait dari bakteri Leptospira menyebabkan gerakan leptospira sangat aktif, baik gerakan berputar sepanjang sumbunya, maju mundur, maupun melengkung, karena ukurannya yang sangat kecil. Leptospira menyukai tinggal dipermukaan air dalam waktu lama dan siap menginfeksi calon korbanya apabila kontak dengannya. Maka dari itu Leptospirosis sering pula disebut sebagai penyakit yang timbul dari air (water born diseases). Bakteri ini berbentuk spiral yang ujungnya seperti kait, berukuran panjang 5-15 mikrometer dan lebar 0,1-0,2 mikrometer, lentur, tipis fleksibel (Rusmini, 2011). Leptospira peka terhadap asam dan dapat hidup di dalam air tawar selama kurang lebih satu bulan, tetapi dalam air laut, air selokan dan air kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati. Leptospira dapat disimpan di dalam freezer pada suhu -70o C dan tahan sampai beberapa tahun tanpa berkurang virulensinyz, tetapi leptospira dapat mengalami kematian hanya dalam waktu 2 hari pada suhu 32oC, sedangkan pada suhu 60oC leptospira akan mati hanya dalam waktu 10 menit (Rusmini, 2011). Menurut Rusmini (2011) ketahanan hidup bakteri Leptospira sp. di luar hospes dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: a. Makanan b. Kompetisi dengan mikroba lainnya c. pH d. Temperatur e. Kelembaban tanah dan infeksi campuran pada hewan carrier.



2.2 Gejala dan Masa Inkubasi Gejala dan tanda yang timbul tergantung kepada berat ringannya infeksi, maka gejala dan tanda klinik dapat berat, agak berat atau ringan saja. Penderita mampu segera mambentuk antibodi (zat kekebalan). Sehingga mampu menghadapi bakteri Leptospira, bahkan penderita dapat menjadi sembuh (Dharmojono, 2002). Gejala klinis dari Leptospirosis pada manusia menurut Widoyono (2008) bisa dibedakan menjadi tiga stadium, yaitu: a. Stadium Pertama (leptospiremia) 1) Demam, menggigil 2) Sakit kepala 3) Bercak merah pada kulit 4) Malaise dan muntah 5) Konjungtivis serta kemerahan pada mata 6) Rasa



nyeri



pada



otot



terutama



otot



betis



dan



punggung.



Gejala-gejala tersebut akan tampak antara 4-9 hari. b. Stadium Kedua 1) Pada stadium ini biasanya telah terbentuk antibodi di dalam tubuh penderita 2) Gejala-gejala yang tampak pada stadium ini lebih bervariasi dibanding pada stadium pertama antara lain ikterus (kekuningan) 3) Apabila demam dan gejala-gejala lain timbul lagi, besar kemungkinan akan terjadi meningitis 4) Biasanya fase ini berlangsung selama 4-30 hari. c. Stadium Ketiga Menurut beberapa klinikus, penyakit ini juga dapat menunjukkan gejala klinis pada stadium ketiga (konvalesen phase). Komplikasi Leptospirosis dapat menimbulkan gejala-gejala berikut: 1) Pada ginjal, renal failure yang dapat menyebabkan kematian 2) Pada mata, konjungtiva yang tertutup menggambarkan fase septisemi yang erat hubungannya dengan keadaan fotobia dan konjungtiva



hemorrhagic 3) Pada hati, jaundice (kekuningan) yang terjadi pada hari keempat dan keenam dengan adanya pembesaran hati dan konsistensi lunak 4) Pada jantung, aritmia, dilatasi jantung dan kegagalan jantung yang dapat menyebabkan kematian mendadak 5) Pada paru-paru, hemorhagic pneumonitis dengan batuk darah, nyeri dada, respiratory distress dan cyanosis 6) Perdarahan karena adanya kerusakan pembuluh darah (vascular damage) dari saluran pernapasan, saluran pencernaan, ginjal dan saluran genitalia 7) Infeksi pada kehamilan menyebabkan abortus, lahir mati, premature dan kecacatan pada bayi.



Menurut dr. Faisal Yatim (2007) penderita leptospirosis pada manusia bisa tanpa keluhan. Akan tetapi ditemukan memperlihatkan gejala antara lain: Demam biasanya dengan menggigil, sakit kepala yang berat, nyeri otot, muntah-muntah,,Kuning kulit dan putih mata, mata merah, nyeri perut, diare dan bercak merah pada kulit. Bila tidak segera diobati, penyakit bisa berlanjut dengan gejala : Gangguan ginjal, radang selaput pembungkus otak dan sumsum tulang belakang, gangguan pernafasan, kematian. Sedangkan pada hewan ternak ruminansia dan babi yang hamil, gejala abortus, pedet lahir mati atau lemah sering muncul pada kasus leptospirosis. Pada sapi muncul demam dan penurunan produksi susu sedangkan pada babi, sering muncul gangguan reproduksi. Gejala klinis leptospirosis pada sapi dapat bervariasi mulai dari yang ringan, infeksi yang tidak tampak, sampai infeksi akut yang dapat mengakibatkan kematian. Infeksi akut paling sering terjadi pada pedet/sapi muda. Leptospirosis tidak menular langsung dari pasien ke pasien. Masa inkubasi leptospirosis adalah dua hingga 26 hari. Sekali berada di aliran



darah, bakteri ini bisa menyebar ke seluruh tubuh dan mengakibatkan gangguan khususnya hati dan ginjal. 2.3 Pathofisiologi Transmisi infeksi dari hewan ke manusia biasanya terjadi melalui kontak dengan air atau tanah lembap yang terkontaminasi. Leptospira masuk ke sirkulasi manusia melalui penetrasi kulit terabrasi atau membran mukosa intak (mata, mulut, nasofaring, atau esofagus). Patogenesis terutama pada kasus berat, masih kurang dimengerti. Temuan mikroskopik utamanya adalah vaskulitis sistemik dengan cedera endotel, sel endotel rusak dengan berbagai derajat pembengkakan dan nekrosis. Leptospira ditemukan di pembuluh darah berukuran medium dan besar serta kapiler berbagai organ. Organ utama yang terkena adalah: a) ginjal, dengan inflamasi tubulointerstisial difus dan nekrosis tubular, „ b) paru, biasanya kongesti, dengan perdarahan intraalveolar fokal atau masif, deposisi linear imunoglobulin dan komplemen pada permukaan alveolar, „ c) hati, yang menunjukkan kolestasis terkait perubahan degeneratif ringan pada hepatosit Pada pasien yang bertahan hidup, fungsi hati dan ginjal akan sembuh sempurna sesuai dengan ringannya kerusakan struktural pada organ tersebut. Sistem lain juga dapat terkena, pada kasus berat dapat berupa miokarditis, meningoensefalitis, dan uveitis. Cedera vaskuler dapat disebabkan oleh efek toksik Leptospira secara langsung atau oleh respons imun. Protein membran sisi luar Leptospira (outer membrane protein / OMPs) dan lipopolisakarida dapat menimbulkan inflamasi melalui jalur yang bergantung Toll like receptor 2. Trombositopenia dan aktivasi kaskade koagulasi juga sering ditemukan. Pada masa penyembuhan, Leptospira terus diekskresikan di urin selama beberapa hari. Beberapa penemuan menegaskan bahwa leptospira yang lisis dapat mengeluarkan enzim, toksin, atau metabolit lain yang dapat menimbulkan gejalagejala klinis. Hemolisis pada leptospira dapat terjadi karena hemolisin yang tersirkulasi diserap oleh eritrosit, sehingga eritrosit tersebut lisis, walaupun didalam darah sudah ada antibodi. Diastesis hemoragik pada umumnya terbatas pada kulit dan mukosa,pada keadaan tertentu dapat terjadi perdarahan



gastrointestinal atau organ vital dan dapat menyebabkan kematian. Beberapa penelitian mencoba menjelaskan bahwa proses hemoragik tersebut disebabkan rendahnya protrombin serum dan trombositopenia. Namun terbukti, walaupun aktivitas protrombin dapat dikoreksi dengan pemberian vitamin K, beratnya diastesis hemoragik tidak terpengaruh. Juga trombositopenia tidak selalu ditemukan pada pasien dengan perdarahan. Jadi, diastesis hemoragik ini merupakan refleksi dari kerusakan endothelium kapiler yang meluas. Penyebab kerusakan endotel ini belum jelas, tapi diduga disebabkan oleh toksin. 2.4 Diagnosa dan Pemeriksaan penyakit 2.4.1 Diagnosa Klinis Setiap pasien demam akut mempunyai riwayat, setidaknya 2 hari, tinggal di daerah banjir atau memiliki risiko tinggi terpapar (berjalan kaki di banjir atau air yang terkontaminasi, kontak dengan cairan dari hewan, berenang di air banjir atau menelan air yang terkontaminasi dengan atau tanpa luka) dan menunjukkan setidaknya dua dari gejala berikut: mialgia, nyeri tekan betis, injeksi konjungtiva, menggigil, nyeri perut, sakit kepala, ikterus, atau oliguria. Pasien dengan gejala tersebut hendaknya dipertimbangkan sebagai tersangka kasus leptospirosis. Setiap kasus tersangka leptospirosis dengan tanda vital stabil, sklera anikterik, keluaran urin yang baik, tidak ada meningismus/ iritasi meningen; sepsis/syok sepsis; sulit bernapas; atau ikterus, dan bisa mengonsumsi obat per oral dianggap leptospirosis ringan dan dapat ditatalaksana dengan rawat jalan. Kasus tersangka leptospirosis dengan tanda vital tidak stabil, ikterus atau sklera ikterik, nyeri perut, mual, muntah dan diare, oliguria/ anuria, meningismus/ iritasi meninges, sepsis/ syok sepsis, perubahan status mental atau sulit bernapas dan hemoptisis dianggap leptospirosis sedang – berat dan perlu dirawat inap. urin yang baik, tidak ada meningismus/ iritasi meningen; sepsis/syok sepsis; sulit bernapas; atau ikterus, dan bisa mengonsumsi obat per oral dianggap leptospirosis ringan dan dapat ditatalaksana dengan rawat jalan. Kasus tersangka leptospirosis dengan tanda vital tidak stabil, ikterus atau sklera ikterik, nyeri perut, mual, muntah dan diare, oliguria/ anuria, meningismus/ iritasi meninges, sepsis/ syok sepsis, perubahan



status mental atau sulit bernapas dan hemoptisis dianggap leptospirosis sedang – berat dan perlu dirawat inap. 2.4.2 Pemeriksaan Penyakit Leptospira dapat diisolasi dari sampel darah dan cairan serebrospinal pada hari ketujuh hingga kesepuluh sakit, dan dari urin selama minggu kedua dan ketiga. Kultur dan isolasi masih menjadi baku emas, dapat mengidentifikasi serovar, tetapi membutuhkan media khusus dengan waktu inkubasi beberapa minggu, dan membutuhkan mikroskop lapangan gelap, sehingga tidak sesuai untuk perawatan individual. Sejumlah metode deteksi DNA leptospira dengan reaksi rantai polimerase lebih sensitif daripada kultur, dan dapat memberikan konfirmasi diagnosis lebih awal pada fase akut, namun belum menjadi standar rutin. Respons antibodi IgM yang kuat, muncul sekitar 5-7 hari setelah awitan gejala, dapat dideteksi menggunakan beberapa uji komersial berbasis ELISA, aglutinasi latex dan teknologi uji cepat imunokromatografik. Uji serologi ini mendeteksi antibodi IgM yang spesifik terhadap genus Leptospira. Tetapi uji ini sensitivitasnya rendah (63-72%) pada sampel fase akut (penyakit kurang dari 7 hari). Jika sampel serum diambil setelah hari ketujuh, sensitivitas meningkat menjadi >90%. Oleh karena itu, sampel kedua hendaknya diambil pada kasus tersangka leptospirosis dengan hasil awal negatif atau meragukan.1,3,5,8 Antibiotik yang diberikan sejak awal penyakit mungkin menyebabkan respons imun dan antibodi tertunda. IgM positif menunjukkan leptospirosis saat ini atau baru terjadi, namun antibodi IgM dapat tetap terdeteksi selama beberapa tahun. Pada uji aglutinasi mikroskopik, peningkatan titer empat kali lipat dari serum akut ke konvalesens merupakan konfirmasi diagnosis. Akan tetapi metode ini kompleks, deteksi antibodi terhadap suspensi antigen hidup dengan cara serum pasien diencerkan lalu diletakkan pada panel leptospira patogenik hidup. Hasilnya dilihat pada mikroskop lapangan gelap dan diekspresikan sebagai persentase organisme yang dibersihkan dari lapang pandang melalui aglutinasi. Uji hanya dilakukan di laboratorium rujukan, dapat memberikan informasi mengenai serovar yang diduga menginfeksi, sehingga memiliki nilai epidemiologis. Di daerah



endemis, titer yang meningkat hanya sekali harus diinterpretasikan secara hati-hati karena antibodi bertahan selama bertahun-tahun setelah infeksi akut. Reaksi silang juga dapat terjadi pada sifilis, hepatitis virus, HIV, relapsing fever, penyakit Lyme, legionellosis, dan penyakit autoimun Pemeriksaan mikroskopik langsung dari sampel klinis bernilai diagnostik kecil, pewarnaan imunohistokimia dari spesimen otopsi sangat berguna. 2.5 Sumber dan Cara Penularan Leptospirosis



adalah



zoonosis



bakterial



berdasarkan



penyebabnya,



berdasarkan cara penularan merupakan direct zoonosis karena tidak memerlukan vektor, dan dapat juga digolongkan sebagai amfiksenose karena jalur penularan dapat dari hewan ke manusia dan sebaliknya. Penularan leptospirosis pada manusia ditularkan oleh hewan yang terinfeksi kuman leptospira. Hewan pejamu kuman leptospira adalah hewan peliharaan seperti babi, lembu, kambing, kucing, anjing sedangkan kelompok unggas serta beberapa hewan liar seperti tikus, bajing, ular, dan lain-lain. Pejamu resevoar utama adalah roden. Kuman leptospira hidup didalam ginjal pejamu reservoar dan dikeluarkan melalui urin saat berkemih. Manusia merupakan hospes insidentil. Menurut Saroso (2003) penularan leptospirosis dapat secara langsung dan tidak langsung yaitu : a. Penularan secara langsung dapat terjadi : 1) Melalui darah, urin atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman leptospira masuk kedalam tubuh pejamu. 2) Dari hewan ke manusia merupakan peyakit akibat pekerjaan, terjadi pada orang yang merawat hewan atau menangani organ tubuh hewan misalnya pekerja potong hewan, atau seseorang yang tertular dari hewan peliharaan. 3) Dari manusia ke manusia meskipun jarang, dapat terjadi melalui hubungan seksual pada masa konvalesen atau dari ibu penderita leptospirosis ke janin melalui sawar plasenta dan air susu ibu. b. Penularan tidak langsung dapat terjadi melalui 1) Genangan air. 2) Sungai atau badan air.



3) Danau. 4) Selokan saluran air dan lumpur yang tercemar urin hewan. 5) Jarak rumah dengan tempat pengumpulan sampah. c. Faktor resiko Faktor-faktor resiko terinfeksi kuman leptospira, bila kontak langsung atau terpajan air atau rawa yang terkontaminasi yaitu : 1) Kontak dengan air yang terkonaminasi kuman leptospira atau urin tikus saat banjir. 2) Pekerjaan tukang perahu, rakit bambu, pemulung. 3) Mencuci atau mandi disungai atau danau. 4) Tukang kebun atau pekerjaan di perkebunan. 5) Petani tanpa alas kaki di sawah. 6) Pembersih selokan. 7) Pekerja potong hewan, ukang daging yang terpajan saat memotong hewan. 8) Peternak, pemeliharaan hewan dan dorter hewan yang terpajan karena menangani ternak atau hewan, terutama saat memerah susu, menyentuh hewan mati, menolong hewan melahirkan, atau kontak dengan bahan lain seperti plasenta, cairan amnion dan bila kontak dengan percikan infeksius saat hewan berkemih. 9) Pekerja tambang. 10) Pemancing ikan, pekerja tambak udang atau ikan tawar. 11) Anak-anak yang bermain di taman, genangan air hujan atau kubangan. 12) Tempat rekreasi di air tawar : berenang, arum jeram dan olah raga air lain, trilomba juang (triathlon), memasuki gua, mendaki gunung. Infeksi leptospirosis di Indonesia umumnya dengan perantara tikus jenis Rattus norvegicus (tikus selokan), Rattus diardii (tikus ladang), dan Rattus exulans Suncu murinus (cecurt)



2.6 pengobatan pada manusia



Menurut Widoyono (2008) Leptospira adalah penyakit yang self-limited. Secara umum pronogsisnya adalah baik. Antibiotic yang dapat diberikan antara lain : a. Penyakit sedang atau berat : penisilin 4 x 15 IU atau amoksilin 4 x 1 gr selama 7 hari. b. Penyakit ringan : ampisilin 4 x 500 mg, amoksilin 4 x 500 mg, atau eritromisin 4 x 500 mg. 2.7 Pencegahan Penyakit dan Program Pemberantasan Menurut Rusmini (2011) pada umumnya pencegahan leptospirosis yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Membiasakan diri dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) 2. Mencuci tangan dengan sabun sebelum makan dan minum. 3. Menggunakan air bersih untuk mandi dan mencuci. 4. Sayur dan buah harus dicuci dengan air bersih. 5. Menyimpan makanan dengan baik dan benar agar terhindar dari jangkauan tikus (ditutup rapat, dimasukkan dalam almari). 6. Menggunakan alas kaki, terutama saat beraktifitas di luar rumah. 7. Menghindari kontak dengan air selokan maupun air genangan, baik di lingkungan rumah maupun di tempat kerja. 8. Menghindari kontak dengan air luapan banjir. 9. Mandi dan mencuci tangan, kaki serta bagian tubuh dengan sabun setelah bekerja, terutama saat disawah/kebun/tempat sampah/tanah/ selokan dan tempat tercemar lainnya. 10. Melindungi bagian tubuh dengan alat pelindung diri (APD) saat bekerja pada tempaat berisiko pencemaran. 11. Menutup luka pada kulit dengan penutup luka kedap air. 12. Menghindari adanya tikus di rumah maupun tempat kerja. 13. Menghindari pencemaran dan meningkatkan pengendalian tikus. 14. Memasang perangkap tikus. 15. Mengubur atau membakar bangkai tikus di tempat yang aman.



16. Segera periksa ke fasilitas kesehatan yang tersedia jika mengalami gejala sakit. Di dalam pengendalian tikus juga diperlukan beberapa pengetahuan dasar seperti : 1. Identifikasi tikus. 2. Biologi dan perilaku tikus. 3. Tanda keberadaan tikus. a. Adanya feses atau kotoran tikus. b. Kerusakan karena gigitan tikus. c. Ada tanda keberadaan tikus (jejak tikus). d. Sarang tikus. e. Bau. f. Terdengar suara keberadaan tikus. g. Terlihat ada tikus hidup atau mati 4. Metode pengendalian tikus a. Pengendalian secara kultur teknis b. Pengendalian secara sanitasi c. Pengendalian secara fisik-mekanis d. Pengendalian secara biologi atau hayati e. Pengendalian secara kimiawi



BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Leptospirosis adalah infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri leptospira. Penyakit ini juga disebut Weil disease, Canicola fever, Hemorrhagic jaundice, Mud fever, atau Swineherd disease (Widoyono, 2008). Penyakit ini paling sering ditularkan dari hewan ke manusia ketika orang dengan luka terbuka di kulit melakukan kontak dengan air atau tanah yang telah terkontaminasi air kencing hewan. Bakteri Leptospira sebagai penyebab Leptospirosis berbentuk benang panjang 6-12 μm termasuk ke dalam Ordo Spirochaeta dalam family Trepanometaceae. Lebih dari 180 serotipe dan 18 serogrup leptospira yang patogen telah diidentifikasi dan hampir setengahnya terdapat di Indonesia Gejala dan tanda yang timbul tergantung kepada berat ringannya infeksi, maka gejala dan tanda klinik dapat berat, agak berat atau ringan saja. Penderita mampu segera mambentuk antibodi (zat kekebalan). Transmisi infeksi dari hewan ke manusia biasanya terjadi melalui kontak dengan air atau tanah lembap yang terkontaminasi. Leptospira masuk ke sirkulasi manusia melalui penetrasi kulit terabrasi atau membran mukosa intak (mata, mulut, nasofaring, atau esofagus). Pencegahan leptospirosis dapat dilakukan dengan menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat. 3.2 Saran Masyarakat harus mampu menerapkan polaa hidup bersih dan sehat agar terhindar dari kuman, bakteri, maupun virus yang dapat menyerang tubuh dan menimbulkan penyakit.



DAFTAR PUSTAKA Amin, 2016, Leptospirosi Cermin Dunia Kedokteran, CDKjurnal-243, vol. 43 Rahastri



A.



2018,



Leptospirosis,



http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/, 1 september 2020 Andani L. 2014Tinjauan pustaka leptospirosi, http : //eprints.undip.id>BAB II, 1 september 2020