ADPU4534 Manajemen Logistik Organisasi Publik [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH TUGAS 1



Nama Mahasiswa



: HENNY SUGANDA HUTABARAT



Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 030713551



Kode/Nama Mata Kuliah



: FHISIP/Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik



Kode/Nama UPBJJ



: 16/ PEKANBARU



Masa Ujian



: 2021/22.1 (2021.2)



KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS TERBUKA



1. Pertanyaan: Mengapa organisasi pemerintahan desa dapat disebut sebagai organisasi pelayanan? Dan jelaskan mengapa kedudukan perencanaan pembangunan desa tidak masuk ke dalam sistem perencanaan nasional? Petunjuk:  Saudara diharapkan dapat mengemukakan terlebih dahulu definisi organisasi pelayanan, lalu buatkan keterkaitannya dengan pemerintahan desa  Selanjutnya kemukakan analisa saudara terkait kedudukan desa dalam pembangunan nasional, saudara dapat berpedoman pada UU No 25 Tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional Jawab : Organisasi pelayanan manusia (Human Service Organization) merupakan organisasi yang bergerak di bidang penyediaan layanan bagi kebutuhan manusia.[butuh rujukan] Definisi Organisasi pelayanan manusiaadalah organisasi yang memiliki fungsi utama mempertahankan atau meningkatkan kesejahteraan individu dengan membentuk atau mengubah atribut pribadi mereka. Tujuan Dalam bukunya, Organisasi Pelayanan Manusia:Kategori Berguna atau Jargon Tidak Berguna?, Martin menyatakan bahwa organisasi pelayanan manusia bertujuan memenuhi secara sosial kebutuhan manusia. Klasifikasi Hasenfeld Menurut Hasenfeld, organisasi pelayanan manusia dapat diklasifikasikan berdasarkan dua hal:  Tipe klien yang dibantu a. Berfungsi Normal Seorang klien dikatakan berfungsi normal apabila tidak terdapat masalah atau gangguan pada dirinya yang menghambatnya dalam menjalankan peran. b. Fungsi Terganggu Seorang klien dikatakan terganggu fungsinya apabila terdapat masalah atau gangguan pada dirinya yang menghambatnya dalam menjalankan peran.  Teknologi Transformasi yang diterapkan a. Memproses Orang (People-Processing) Bertujuan mentransformasikan klien dengan tidak mengubah atribut personalnya, tetapi memberi label pada status yang akan menimbulkan respon dari unit sosial lain. b. Mempertahankan Orang Bertujuan mencegah, mempertahankan, atau memperlambat kemunduran kondisi sejahtera klien. c. Mengubah Orang Bertujuan mengubah secara langsung atribut personal klien untuk meningkatkan kondisi sejahtera mereka.



Klasifikasi Dunham Menurut Arthur Dunham, oranisasi pelayanan manusia dapat diklasifikasikan berdasarkan tiga hal:  Berdasarkan naungan a. Organisasi Pemerintah (Government Organization/GO) b. Organisasi Non-Pemerintah (Non-Government Organization/NGO)  Berdasarkan bidang kegiatan a. Kesejahteraan Anak b. Kesejahteraan Wanita c. Kesehatan Mental d. Disabilitas e. Lain-lain  Berdasarkan letak Geografis a. Lokal b. Regional c. Nasional d. Internasional Karakteristik Ada beberapa karakteristik, diantaranya: 1. Material dasarnya adalah manusia 2. Tujuannya bersifat problematik dan tidak jelas 3. Teknologi yang digunakan bersifat tidak pasti 4. Kegiatan inti adalah relasi antara staf dan klien 5. Kurang memiliki ukuran-ukuran efektivitas yang handal



2. Pertanyaan: Bagaimanakah penerapan desentralisasi fiskal oleh pemerintah pusat terhadap pemerintah desa dan apa pengaruh dari kebijakan tersebut bagi pemerintah desa? Petunjuk:  Saudara diharapkan dapat mengemukakan terlebih dahulu desentralisasi fiskal  Kemukakan tentang desentralisasi fiskal lalu kaitkan dengan penyelenggaraan kewenangan desa Jawab : Kebijakan Fiskal Berdasarkan pidato Presiden dalam pengantar Nota Keuangan dan Rancangan APBN (RAPBN) 2016, pemerintah untuk pertama kalinya mengalokasikan belanja Transfer ke Daerah lebih besar dibandingkan belanja Kementerian/Lembaga (K/L). Hal ini didasarkan atas pertimbangan semakin banyaknya kewenangan yang sudah diserahkan kepada daerah di era desentralisasi fiskal dan otonomi daerah. Menteri Keuangan (Menkeu) juga dimaknai hal ini



sebagai pelaksanaan desentralisasi fiskal seutuhnya, meskipun sejatinya Indonesia sudah memiliki sejarah panjang dari mulai era Orde Lama hingga era Orde Reformasi.      Pelaksanaan desentralisasi fiskal di era Reformasi secara resmi dimulai sejak 1 Januari 2001. Proses tersebut diawali dengan pengesahan Undang-undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (PKPD). Hingga kini, kedua regulasi tersebut sudah mengalami beberapa kali revisi hingga yang terakhir UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah serta UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Awalnya, pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia ditujukan untuk menciptakan aspek kemandirian di daerah. Sebagai konsekuensinya, daerah kemudian menerima pelimpahan kewenangan di segala bidang, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal serta keagamaan. Pelimpahan kewenangan tersebut juga diikuti dengan penyerahan sumber-sumber pendanaan berupa penyerahan basisbasis perpajakan maupun bantuan pendanaan melalui mekanisme Transfer ke Daerah sesuai asas money follows function. Masih adanya mekanisme Transfer ke Daerah didasarkan kepada pertimbangan mengurangi ketimpangan yang mungkin terjadi baik antar daerah (horisontal imbalances) maupun antara pemerintah pusat dan daerah (vertical imbalances).   Meskipun dianggap terlalu terburu-buru, banyak pihak kemudian mengapresiasi pelaksanaan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah di Indonesia tersebut. Menurut mereka, dengan segala keterbatasan dan kendala yang ada, pelaksanaan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah di Indonesia dapat dijadikan salah satu best practice terbaik di dunia, mengingat luasnya wilayah serta besarnya jumlah penduduk dengan berbagai ragam karakteristiknya. Satu hal yang perlu diingat bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia adalah desentralisasi dari sisi belanja (expenditure) bukan dari sisi pendapatan (revenue). Desentralisasi seutuhnya



Desentralisasi fiskal dari sisi belanja (expenditure) didefinisikan sebagai kewenangan untuk mengalokasikan belanja sesuai dengan diskresi seutuhnya masing-masing daerah. Fungsi dari Pemerintah Pusat hanyalah memberikan advice serta monitoring pelaksanaan. Sayangnya, justru dari pola inilah yang menjadikan pelaksanaan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah di Indonesia terasa semakin jauh dari apa yang dicita-citakan sebelumnya. Daerah justru semakin bergantung kepada Pemerintah Pusat, munculnya praktek dinasti penguasa di daerah serta maraknya perilaku korupsi para pejabat publik. Idiom yang muncul kemudian desentralisasi fiskal dan otonomi daerah tak lain hanya memindahkan eksternalitas negatif dari Pemerintah Pusat di era Orde Baru menuju Pemerintah Daerah (Pemda) di era reformasi ini. Menanggapi hal tersebut, pemerintah tidak tinggal diam begitu saja. Berbagai kebijakan yang sifatnya antisipasif dan reaktif terus dijalankan dengan tetap mengutamakan aspek penguatan kapasitas Pemda dalam menjalankan proses desentralisasi fiskal dan otonomi daerah tersebut. Melalui revisi UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah misalnya, pemerintah telah melakukan penguatan pembagian kewenangan antara Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Dari aspek penyempurnaan mekanisme pembiayaan, pemerintah juga memberikan perhatian yang tak kalah seriusnya. Pengalokasian Dana Desa sebagai pemenuhan amanat UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, juga menjadi bukti



teranyar komitmen tersebut. Begitupula konsistensi pemerintah untuk menggunakan formula dalam perhitungan DAU serta keberanian menghilangkan aspek hold harmless yang akan memberikan jaminan alokasi DAU di suatu daerah dipastikan tidak akan mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya, meskipun sesungguhnya memberikan tekanan fiskal yang besar terhadap APBN. Dilihat dari sisi besaran alokasi anggaran dalam APBN, alokasi Transfer ke Daerah senantiasa meningkat setiap tahunnya. Jika dilihat dari historis data, dalam tahun 2008 saja, besaran Transfer ke Daerah sudah mencapai Rp292,4 triliun atau sekitar 29,6% total Belanja Negara. Sementara dalam APBN-P 2011, alokasi tersebut sudah mencapai Rp412,5 triliun dengan rincian alokasi Dana Perimbangan (Daper) sebesar Rp347,5 triliun sementara alokasi Dana Otonomi Khusus (Otsus) dan Penyesuaian sekitar Rp64,9 triliun. Terakhir dalam APBN-P 2015, pemerintah dan DPR sepakat mengalokasikan Transfer ke Daerah sebesar Rp643,8 triliun, sementara alokasi Dana Desa 20,7 triliun. Dari keseluruhan alokasi Transfer ke Daerah 2015, besaran Dana Alokasi Umum (DAU) tetap mendominasi sebesar Rp352,8 triliun, disusul Dana Bagi Hasil (DBH) sebesar Rp110,0 triliun dan Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar 58,8 triliun. Untuk besaran alokasi Dana Otsus meningkat menjadi Rp17,1 triliun, Dana Keistimewaan DIY menjadi Rp547,5 miliar dan Dana Transfer Lainnya sebesar Rp104,4 triliun. Sebagai sebuah konsekuensi politik, pelaksanaan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah di Indonesia saat ini sudah berada pada kondisi point no return, sehingga aspek-aspek yang dikedepankan lebih bersifat penguatan kapasitas serta quality improvement. Dengan demikian, ke depannya, desentralisasi fiskal dan otonomi daerah diharapkan mampu membawa Indonesia menuju kemakmuran yang inklusif dan berkelanjutan. Segala upaya dan kerja pemerintah tersebut tentu wajib mendapatkan dukungan sepenuhnya dari segala pihak yang terkait dan berkepentingan dalam mendukung suksesnya pelaksanaan desentralisasi fiskal dan otonomi di Indonesia seutuhnya. Tanpa dukungan seluruh pihak, niscaya pemerintah sendiri tidak akan mampu melaksanakan secara optimum dan pendulum otonomi justru akan lebih sering bergerak ke arah dampak yang sifatnya negatif dan merusak. Koordinasi dan kerelaan untuk saling mendukung dari segala pihak kemudian menjadi kata kunci yang utama baik di internal Pemerintahan Pusat maupun antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah. 3. Pertanyaan: Sebutkan 6 (enam) komponen yang tergabung untuk membentuk sistem logistik dan apa yang menjadi kekurangan desa dalam hal manajemen logistik lalu bagaimana penyelesaiannya? Petunjuk:  Sebutkan komponen yang dapat membentuk sistem logistik  Berikan analisa saudara terkait kekurangan desa dalam pengelolaan kekayaan milik desa dan berikan solusinya Jawab : Ada 5 komponen yang bergabung untuk membentuk sistem logistik, yaitu: - Struktur lokasi fasilitas. - Transportasi. - Persediaan (Inventory) - Komunikasi. - Penanganan (Handling) dan penyimpanan (storage)



4. Pertanyaan: Sebutkan konsep pengawasan menurut Koontz (1996:209) lalu bagaimana keterkaitannya dengan pelayanan yang diberikan pemerintah desa kepada masyarakat? berikan pula pandangan saudara mengenai pertanggung jawaban Kepala Desa terkait pelayanan yang diberikan kepada masyarakat Petunjuk: 1. ingatlah komponen-komponen dalam konsep pengawasan yang dikemukakan oleh Koontz(1996:209) dan ingatlah bentuk - bentuk pelayanan pemerintah desa terhadap masyarakat. Lalu buatkan keterkaitannya 2. peran kepala desa dalam memberikan tanggung jawabnya gunakan UU No 6 Tahun 2014 tentang desa sebagai pedoman Jawab : Pengertian Pengawasan  Menurut George R. Terry dalam buku Asas-asas Manajemen (1999:110) : “Pengawasan adalah proses untuk mendeterminasi apa yang akan dilakukan, mengevaluasi pelaksanaan dan bilamana perlu menerapkan tindakan-tindakan koreksi hingga pelaksanaan sesuai dengan rencana”.  Menurut Drs. Zulkifli Amsyah, MLS dalam buku Manajemen Sistem Informasi (2005:65) Pengawasan adalah kegiatan manajemen yang berkaitan dengan pemeriksaan untuk menentukan apakah pelaksanaannya sudah dikerjakan sesuai dengan perencanaan, sudah sejauh mana kemajuan yang dicapai dan perencanaan yang belum mencapai kemajuan serta melakukan koreksi bagi pelaksananan yang belum terselesaikan sesuai rencana.   



 



  



Menurut Sujamto dalam buku Asas-asas Manajemen (1999:110) : “Pengawasan adalah sebagai usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas atau kegiatan”. Menurut Earl P. Strong dalam buku Dasar-dasar Manajemen (2009:189) : “Pengawasan adalah proses pengaturan berbagai faktor dalam suatu perusahaan, agar pelaksanaan sesuai dengan ketetapan-ketetapan dalam rencana”. Menurut Harold Koontz dalam buku Dasar-dasar Manajemen (2009:189) : “Pengawasan adalah pengukuran dan perbaikan terhadap pelaksanaan kerja bawahan, agar rencana-rencana yang telah dibuat untuk mencapai tujuan-tujuan perusahaan dapat terselenggara”. Menurut H. Ibrahim Lubis dalam buku Asas-asas Manajemen (1999:111) : “Pengawasan adalah kegiatan manajer yang mengusahakan agar pekerjaan-pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan atau hasil yang dikehendaki”. Menurut Drs. Chabi Soleh, MM dalam buku Asas-Asas Manajemen (1999:109) : “Pengawasan adalah suatu pengamatan yang pada umumnya dilakukan secara menyeluruh yang dilakukan secara sadar dengan membandingkan antara yang seharusnya dan yang dilaksanakan”. Menurut Ranupandojo (1990:90) : “Pengawasan adalah aktifitas yang mengusahakan agar pekerjaan-pakerjaan terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan dan atau hasil yang dikehendaki”. Menurut Sondang P. Siagian (1992:175) : “Pengawasan yaitu proses pengamatan dari pada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan”. Menurut Maman Ukas dalam buku Manajemen (2006:343)



Pengawasan merupakan suatu proses kegiatan yang dilakukan untuk memantau, mengukur dan bila perlu melakukan perbaikan atas pelaksanaan kerja sehingga apa yang telah direncanakan dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang diinginkan.



Otonomi desa adalah hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri yang terbentuk bersamaan dengan terbentuknya masyarakat hukum, berupa hak dan kewenangan yang belum diatur oleh tatanan hukum masyarakat yang lebih luas dan tingkatannya dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat hukum yang bersangkutan. Desa otonom memberikan ruang gerak yang luas pada perencanaan pembangunan yang merupakan kebutuhan nyata masyarakat dan tidak banyak dibebani oleh program-program kerja dari berbagai instansi dan pemerintah. Untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya, desa yang dipimpin oleh seorang Kepala Desa yang memiliki tugas melaksanakan pembangunan desa, pembinaan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa, menetapkan anggaran pendapatan dan belanja desa, membina dan meningkatkan perekonomian desa dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan demi tercapainya kesejahteraan masyarakat. Judul penelitian “Peran dan Tanggung jawab Kepala Desa dalam Pengelolaan Keuangan Desa” memiliki rumusan masalah bagaimana kedudukan desa dalam pemerintahan di Indonesia, sistem pengelolaan keuangan desa serta peran dan tanggung jawab kepala desa dalam pengelolaan keuangan desa. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder dan wawancara (wawancara). Berdasarkan hasil penelitian, kedudukan pemerintahan dalam tata pemerintahan di Indonesia telah diatur atau diakui kewenangan kewenangannya dalam Pasal 18 B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pengelolaan keuangan desa di Desa Baru Kecamatan Pancur Batu meliputi tahap perencanaan, pengaanggaran, pelaksanaan, dan penatausahaan. Kepala desa menyampaikan laporan pertanggung jawaban kepada Bupati/Walikota melalui Camat, lalu menyampaikan informasi kepada masyarakat melalui papan pengumuman.