Analisis Penanggulangan Bencana Kekeringan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I ANALISIS PENANGGULANGAN BENCANA KEKERINGAN Dalam menghadapi bencana yang diakibatkan oleh kekeringan maka perlu diadakan rencana untuk menghadapinya. Rencana ini merupakan tindakan yang diambil oleh warga atau perorangan, industri, pemerintah, dan pihak lainnya sebelum terjadi kekeringan untuk mengurangi dampak dan konflik yang timbul dari kekeringan. Pada dasarnya perencanaan ini sama halnya seperti perencanaan menghadapi bencana yang lainnya, akan tetapi pada kasus kekeringan ini ditekankan pada dua aspek yang krusial, yakni aspek manajemen risiko dan krisis seperti gambar dibawah ini.



I.1 Pilihan Tindakan Penanggulangan Bencana I.1.1 Pencegahan dan Mitigasi Mitigasi



bencana



Undang-Undang



Nomor



24



Tahun



2007



tentang



Penanggulangan Bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko



bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Analisis yang digunakan untuk menentukan bentuk mitigasi bencana kekeringan yang dapat dilakukan pada lokais kajian adalah deskriptif kualitatif yang mendeskripsikan kondisi atau keadaan yang terjadi dilapangan yang mengacu pada hasil analisis ancaman, kerentanan, kapasitas dan risiko bencana kekeringan yang berasal dari laporan kajian sebelumnya serta kegiatan lapangan. Berdasarkan hasil tingkat risiko bencana dapat dilakukan mitigasi sesuai skala prioritas. Wilayah dengan tingkat resiko bencana tertinggi memeiliki prioritas utama dalam menentukan bentuk mitigasi bencana. Adapun bentuk mitigasi yang dapat dilakukan pada di kawasan Kabupaten Kulon Progo dan Gunungkidul adalah berupa mitigasi struktural dan non struktural. a. Mitigasi Struktural Bentuk mitigasi struktural yang dapat dilakukan pada zona risiko kekeringan tinggi adalah berupa pembuatan embung, pembuatan teras saluran, teras guludan, teras kredit, teras bangku, teras bawah, pembuatan bangunan terjunan pada wilayah dataran tinggi kemudian pembuatan rorak atau catch pit pada dataran yang memiliki penggunaan lahan pertanian. Rorak adalah lubang-lubang buntu dengan ukuran tertentu yang dibuat pada bidang olah dan sejajar dengan garis kontur. Fungsi rorak adalah untuk menjebak dan meresapkan air ke dalam tanah serta menampung sedimen-sedimen dari bidang olah. Pembuatan rorak dapat dikombinasikan dengan mulsa vertikal untuk memperoleh kompos. Mulsa sendiri adalah material penutup tanaman budidaya yang dimaksudkan untuk menjaga kelembaban tanah serta menekan pertumbuhan gulma dan penyakit sehingga membuat tanaman tumbuh dengan baik. Mulsa dapat bersifat permanen seperti serpihan kayu, atau sementara seperti mulsa plastik. Selain pola mitigasi tersebut, pada rumah-rumah permukiman dapat disediakan bak khusus penampungan air hujan. Adapun contoh mitigasi struktural lainnya, yaitu:



a. Konservasi tanah dan pengurangan tingkat erosi dengan pembuatan check dam, reboisasi. b. Pembangunan check dam, waduk, sumur serta penampungan air, penghijauan secara swadaya. b. Mitigasi Non-struktural Bentuk mitigasi non-struktural yang dapat dilakukan adalah menyusun neraca air secara cermat, menentukan urutan prioritas alokasi air, menentukan pola tanam dengan mempertimbangkan ketersediaan air, menyiapkan pola operasi sarana pengairan, memasyarakatkan gerakan hemat air, serta memantau dan mengevaluasi pelaksanaan upaya penanganan kekeringan. Secara lebih rinci upaya pengurangan bencananya antara lain: a. Perlu melakukan pengelolaan air secara bijaksana, yaitu dengan mengganti penggunaan air tanah dengan penggunaan air permukaan dengan cara pembuatan waduk, pembuatan saluran distribusi yang efisien. b. Pengalihan bahan bakar kayu bakar menjadi bahan bakar minyak untuk menghindari penebangan hutan/tanaman. c. Pengenalan pola tanam dan penanaman jenis tanaman yang bervariasi. d. Pendidikan dan pelatihan e. Meningkatkan/memperbaiki daerah yang tandus dengan melaksanakan pengelolaan Iahan, pengelolaan hutan, waduk peresapan dan irigasi. f. Mengurangi pemanfaatan kayu bakar. g. Pembuatan dan sosialisasi kebijakan konservasi air. h. Pengelolaan peternakan disesuaikan dengan kondisi ketersediaan air diwilayahnya. i.



Mengembangkan industri alternatif non pertanian.



Laju pendangkalan telaga yang tinggi yang disebabkan oleh erosi dan sedimentasi material lempung dari sekitar telaga yang memiliki topografi lebih tinggi. Proses erosi dan sedimentasi yang tinggi ini disebabkan karena sifat lahan yang memang kritis secara alami dan didorong oleh aktifitas manusia misalnya berupa penebangan hutan tanpa reboisasi, pembukaaan lahan untuk peladangan atau permukiman dan kegiatan penambangan. Disamping itu, penguapan air telaga pada musim kemarau dapat dikurangi dengan penanaman vegetasi di sekitar telaga, sehingga lingkungan telaga menjadi lebih teduh.



I.1.2 Kesiapsiagaan Kesiapsiagaan dilaksanakan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda dan berubahnya tata kehidupan masyarakat. Upaya kesiapsiagaan dilakukan pada saat bencana mulai teridentifikasi akan terjadi, kegiatan yang dilakukan antara lain: 1. Pengaktifan pos-pos siaga bencana dengan segenap unsur pendukungnya. 2. Pelatihan siaga/simulasi/gladi/teknis bagi setiap sektor Penanggulangan bencana (SAR, sosial, kesehatan, prasarana dan pekerjaan umum). 3. Inventarisasi sumber daya pendukung kedaruratan 4. Penyiapan dukungan dan mobilisasi sumberdaya/logistik. 5. Penyiapan sistem informasi dan komunikasi yang cepat dan terpadu guna mendukung tugas kebencanaan. 6. Penyiapan dan pemasangan instrumen sistem peringatan dini (early warning) 7. Penyusunan rencana kontinjensi (contingency plan) 8. Mobilisasi sumber daya (personil dan prasarana/sarana peralatan) Menetapkan kebijakan dan rencana dan kegiatan yang ditentukan sebelum musim kering untuk mempersiapkan orang dan meningkatkan kapasitas



Commented [Y1]: Perlu diadaptasikan dengn kondisi lapangan



kelembagaan dan penanganan, untuk meramalkan atau memperingatkan bahaya yang akan datang, dan untuk memastikan tanggapan yang terkoordinasi dan efektif dalam situasi kekeringan (perencanaan darurat).



I.1.3 Tanggap Darurat Tahap Tanggap Darurat merupakan tahap penindakan atau pengerahan pertolongan untuk membantu masyarakat yang tertimpa bencana, guna menghindari bertambahnya korban jiwa. Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat meliputi: 1. pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, kerugian, dan sumber daya; 2. penentuan status keadaan darurat bencana; 3. penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana; 4. pemenuhan kebutuhan dasar; 5. perlindungan terhadap kelompok rentan; dan 6. pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.



I.1.4 Pemulihan Tahap pemulihan meliputi tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Upaya yang dilakukan pada tahap rehabilitasi adalah untuk mengembalikan kondisi daerah yang terkena bencana yang serba tidak menentu ke kondisi normal yang lebih baik, agar kehidupan dan penghidupan masyarakat dapat berjalan kembali. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan meliputi: 1. perbaikan lingkungan daerah bencana; 2. perbaikan prasarana dan sarana umum; 3. pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat; 4. pemulihan sosial psikologis; 5. pelayanan kesehatan;



6. rekonsiliasi dan resolusi konflik; 7. pemulihan sosial, ekonomi, dan budaya; 8. pemulihan keamanan dan ketertiban; 9. pemulihan fungsi pemerintahan; dan 10. pemulihan fungsi pelayanan publik Sedangkan tahap rekonstruksi merupakan tahap untuk membangun kembali sarana dan prasarana yang rusak akibat bencana secara lebih baik dan sempurna. Oleh sebab itu pembangunannya harus dilakukan melalui suatu perencanaan yang didahului oleh pengkajian dari berbagai ahli dan sektor terkait. 1. pembangunan kembali prasarana dan sarana; 2. pembangunan kembali sarana sosial masyarakat; 3. pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat 4. penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang lebih baik dan tahan bencana; 5. partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan, dunia usaha dan masyarakat; 6. peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya; 7. peningkatan fungsi pelayanan publik; atau 8. peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat.



I.2 Mekanisme Kesiapan Dan Penanggulangan Dampak Bencana Dalam



melaksanakan



penanggulangan



penanggulangan bencana meliputi : • tahap prabencana, • saat tanggap darurat, dan • pascabencana.



bencana,



maka



penyelenggaraan



I.2.1 Pada Pra Bencana Pada tahap pra bencana ini meliputi dua keadaan yaitu : • Dalam situasi tidak terjadi bencana • Dalam situasi terdapat potensi bencana 1. Situasi Tidak Terjadi Bencana Situasi tidak ada potensi bencana yaitu kondisi suatu wilayah yang berdasarkan analisis kerawanan bencana pada periode waktu tertentu tidak menghadapi ancaman bencana yang nyata. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana meliputi : a. perencanaan penanggulangan bencana; b. pengurangan risiko bencana; c. pencegahan; d. pemaduan dalam perencanaan pembangunan; e. persyaratan analisis risiko bencana; f. pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang; g. pendidikan dan pelatihan; dan h. persyaratan standar teknis penanggulangan bencana. 2. Situasi Terdapat Potensi Bencana Pada situasi ini perlu adanya kegiatan-kegiatan kesiap siagaan, peringatan dini dan mitigasi bencana dalam penanggulangan bencana. a. Kesiapsiagaan b. Peringatan Dini c. Mitigasi Bencana Kegiatan-kegiatan pra-bencana ini dilakukan secara lintas sector dan multi stakeholder,oleh karena itu fungsi BNPB/BPBD adalah fungsi koordinasi. Pra Bencana Kekeringan



1. Risk Management Commite Risk Management commite ini merupakan kelompok sosial yang dibentuk untuk secara khusus menjadi wadah masyarakat agar mempersiapkan terjamdinya bencana kekeringan pada khsusunya. Kelompok ini dibentuk perdusun dan



Commented [Y2]: Disesuaikan dengan kondiis lapangan



dikepalai oleh kepala dusun. Kelompok ini diharapkan dapat menjadi kelompok yang aktif untuk mengelola management bencana ditingkat dusun. 2. pembentukan saluran informasi berdasarkan data BMKG (dapat melalui SMS) Kisah hebat bencana tak lepas dari kisah hebat pekerja media kepada dunia terhadap bencana yang terjadi. Gempa bumi dan tsunami 26 Desember 2004, sebagai contoh, masih menyisakan ilustrasi hidup kejadian demi kejadian yang terekam dan kemudian disebarkan media. Keterlibatan media juga meluas dalam posisinya sebagai pelapor peristiwa dengan penggalangan bantuan, penyaluran bantuan baik langsung maupun tidak langsung serta memonitor. Selain kabar tentang bencana yang terjadi, terdapat banyak informasi berisi petuah yang memungkinkan orang untuk mengambil sikap paling tepat dalam menyongsong, menghadapi dan menyikapi bencana. Sebagai contoh, American Bar Association – State and Local Government Law Section (2003: 416) menyediakan suatu checklist sebagai acuan bagi petugas dalam menghadapi suatu bencana yang berpeluang terjadi. Cheklist ini dilengkapi dengan berbagai pertimbangan tentang isu, kebijakan, peraturan, aktor-aktor yang bisa dirujuk dan koordinasi antarlembaga. Institusi lain menyajikan informasi tentang nasihat dan langkah-langkah yang bisa dilakukan bila bencana terjadi serta sesaat setelah bencana terjadi, termasuk perlunya mengembangkan media relations (National Emergency Management Association, 2003). Semua informasi ini pada dasarnya memerhatikan masalah keselamatan, kesehatan dan keamanan masyarakat. Pada proses penanggulangan bencana alam, kebutuhan tidak hanya pada aspek logistik, akomodasi dan transportasi, kesehatan atau pakaian. Akan tetapi kebutuhan terhadap sistem informasi pada pada proses penanggulangan bencana berbasis manajemen, sangat dibutuhkan untuk memudahkan melakukan kerja operasional yang sistematis dan terkontrol dengan baik. Untuk itu manajemen sistem informasi kebencanaan menjadi mutlak diterapkan. Manajemen informasi sistem merupakan penerapan sistem informasi di dalam organisasi untuk mendukung informasi- informasi yan dibutuhkan oleh semua tingkatan



manajemen. Kumpulan dari interaksi sistem-sistem informasi yang bertanggung jawab mengumpulkan dan mengolah data untuk menyediakan informasi yang berguna untuk semua tingkatan manajemen di dalam kegiatan pelaksanaan dan pengendalian. SIM selalu berhubungan dengan pengolahan informasi yang didasarkan pada komputer computer-based information processing (Jogiyanto, 1990). Pada sistem yang digunakan untuk tahap mitigasi bencana kekeringan di Gunungkidul dan kulon progo yakni menggunakan social media yang mana saat ini banyak yang sudah menggunakan social media ini sebagai ruang untuk beraktualisasi diri. Peran ini lah yang akan dikembangkan oleh peneliti dalam meningkatkan efektifitas social media untuk mitigasi bencana. Social media ini dapat berupa social media yang paling banyak diguanakan oleh masyarakat, bias BBM, Whatsapp, ataupun SMS serta social media yang lain. 3. Peningkatan Kapasitas SDM Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan beradaptasi dan mensiasati datangnya risiko bencana yang datang. Pada kontek bencana kekeringan maka adapun rekomendasi program peningkatan kapasitas SDM meliputi: 1. pelatihan peningkatan sosial ekonomi, yakni dengan pelatihan kewirausahaan bagi masyarakat. 2. Melakukan pelatihan untuk diversifikasi pemanfaatan lahan. Program ini mempunyai visi untuk mengembangkan pengelolaan lahan yang disesuaikan dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Lahan milik warga di tanami pohon yang sifat pemanfaatannya harian, jangka pendek dan jangka panjang. Metode diversifikasi ini ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan sehati hari berupa tanaman yang untuk konsumsi dan pelengkap konsumsi. Sedangkan metode diversifikasi jangka pendek yakni berupa tanaman yang diguanakan untuk pemenuhan kebutuhan inventasi, contohnya untuk jangka pendek yaitu tanaman yang masa panennya 3 bulanan. Sedangkan metode diversifikasi jangka panjang yakni untuk memenuhi kebutuhan invenstasi jangka panjang,



contohnya pohon akar tunggal yang kuat seperti jati, mahoni, atau sengon dan lain sebagainya.



I.2.2 Saat Tanggap Tanggap Darurat Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat meliputi: 1. pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber daya; 2. penentuan status keadaan darurat bencana; 3. penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana; 4. pemenuhan kebutuhan dasar; 5. perlindungan terhadap kelompok rentan; dan 6. pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.



a. rapid assasment (penilaian cepat korban bencana)



Assessment setelah kejadian, pada fase tanggap darurat, ditujukan untuk menggambarkan kerusakan yang terjadi, perubahan fungsi sosial masyarakat dan kebutuhan masyarakat terdampak. Pada bagian ini dilakukan penghitungan kesenjangan antara yang diperlukan dan yang tersedia). Kemudian muncul istilah rapid assasment, dimana merupakan tindakan cepat tanggap untuk mengakumulasi jumlah kerusakan dan kerugian yang diakibatkan oleh bencana khususnya kekeringan. Tindakan ini mempunyai sumber informasi yang dibagi menjadi 2 yaitu; 1) sumber sekunder misalnya data yang bersumber dari laporan instansi, media massa atau masyarakat atau internet. 2) Sedangkan sumber primer merupakan data yang bersumber dari pengambilan data secara langsung dilapangan Assament ini merujuk pada 5 aspek kerentanan yaitu dibidang.



a. sosial dan budaya b. Fisik c. Ekonomi d. Lingkungan



a. Penyiapan suplai air (bantuan air)



Ancaman kekeringan dan krisis air bersih mulai terjadi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Diperkirakan sekitar 384 dusun di DIY terancam krisis air bersih. Dari ratusan dusun tersebut paling banyak yang mengalami krisis air bersih berada di Kabupaten Gunung Kidul. Urutan kedua adalah Kabupaten Kulonprogo. Urutan ketiga dan keempat kabupaten Sleman dan Bantul. Kelima adalah Kota Yogyakarta. Untuk Daerah Kabupaten Kulon Progo pada tahun 2016 droping air bantuan air sebanyak 299 tangki. Hal ini menunjukan tingginya dampak kekeringan pada tahun 2016. Untuk pada tahun 2017 jumlah kecamatan yang memerlukan droping air sebagai berikut;



C. mengadakan program bak penampungan air komunal dengan pengelola dusun masing-masing yang disebut juga dengan risk management commite. Lokasi dari bak penampungan komunal ini ditentukan oleh musyawarah dari kelompok risk management commite.



I.2.3 Pasca Bencana Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pasca bencana meliputi: 1. rehabilitasi; dan 2. rekonstruksi. Secara lebih rinci antara lain dapat dilihat pada Bab VI (Bab Pilihan Tindakan Penanggulangan Bencana). Rehabititasi ( perbaikan dan pemulihan semua aspek layanan publik) dan Rekonstruksi (pembangunan kembali semua sarana dan prasarana serta kelembagaan). 1. sektor perumahan dan permukiman 2. sektor insfrastruktur publik 3. sektor ekonomi produktif 4. sektor sosial 5. lintas sektor (pertanian dan sosial)



a. Jangka pendek 1). Normalisasi aluran air 2). Pengadaan bak penampungan air disetiap rumah 3). Perbaikan ekosistem 3). Perbaikan fungsi telaga/perbaikan pengelolaan telaga alam 4). Pembuatan embung



a. jangka panjang



1. Pembuatan daerah tangkapan air 2. penyesuaikan peraturan daerah terkait dengan program pengangkatan air tanah (penambahan program dalam perda)



3. Peningkatan kapasitas masyarakat (pemberdayaan masyarakat) (sosial, ekonomi, pertanian)



I.2.4 Mekanisme Penanggulangan Bencana Mekanisme penanggulangan bencana yang akan dianut dalam hal ini adalah mengacu pada UU No 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana dan Peraturan



Pemerintah



No



21



Tahun



2008



tentang



Penyelenggaraan



Penanggulangan Bencana. Dari peraturan perundangundangan tersebut di atas, dinyatakan bahwa mekanisme tersebut dibagi ke dalam tiga tahapan yaitu : 1. Pada pra bencana maka fungsi BPBD bersifat koordinasi dan pelaksana, 2. Pada saat Darurat bersifat koordinasi, komando dan pelaksana 3. Pada pasca bencana bersifat koordinasi dan pelaksana.



I.3 Alokasi Dan Peran Pelaku Kegiatan Penanggulangan Bencana I.3.1 Peran dan Fungsi Instansi Pemerintahan Terkait Dalam melaksanakan penanggulangan becana di daerah akan memerlukan koordinasi dengan sektor. Secara garis besar dapat diuraikan peran lintas sektor sebagai berikut : 1. Sektor Pemerintahan, mengendalikan kegiatan pembinaan pembangunan daerah 2. Sektor Kesehatan, merencanakan pelayanan kesehatan dan medik termasuk obat-obatan dan para medis 3. Sektor Sosial, merencanakan kebutuhan pangan, sandang, dan kebutuhan dasar lainnya untuk para pengungsi 4. Sektor Pekerjaan Umum, merencanakan tata ruang daerah, penyiapan lokasi dan jalur evakuasi, dan kebutuhan pemulihan sarana dan prasarana. 5.



Sektor



Perhubungan,



melakukan



deteksi



dini



dan



informasi



cuaca/meteorologi dan merencanakan kebutuhan transportasi dan komunikasi 6. Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral, merencanakan dan mengendalikan upaya mitigatif di bidang bencana geologi dan bencana akibat ulah manusia yang terkait dengan bencana geologi sebelumnya



7. Sektor Tenaga Kerja dan Transmigrasi, merencanakan pengerahan dan pemindahan korban bencana ke daerah yang aman bencana. 8. Sektor Keuangan, penyiapan anggaran biaya kegiatan penyelenggaraan penanggulangan bencana pada masa pra bencana 9. Sektor Kehutanan, merencanakan dan mengendalikan upaya mitigatif khususnya kebakaran hutan/lahan 10. Sektor Lingkungan Hidup, merencanakan dan mengendalikanupaya yang bersifat preventif, advokasi, dan deteksi dini dalam pencegahan bencana. 11. Sektor Kelautan merencanakan dan mengendalikan upaya mitigatif di bidang bencana tsunami dan abrasi pantai. 12. Sektor Lembaga Penelitian dan Peendidikan Tinggi, melakukan kajian dan penelitian



sebagai



bahan



untuk



merencanakan



penyelenggaraan



penanggulangan bencana pada masa pra bencana, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi. 13. TNI/POLRI membantu dalam kegiatan SAR, dan pengamanan saat darurat termasuk



mengamankan



lokasi



yang



ditinggalkan



karena



penghuninya



mengungsi. I.3.2 Peran dan Potensi Masyarakat 1. Masyarakat Masyarakat sebagai pelaku awal penanggulangan bencana sekaligus korban bencana harus mampu dalam batasan tertentu menangani bencana sehingga diharapkan bencana tidak berkembang ke skala yang lebih besar. 2. Swasta Peran swasta belum secara optimal diberdayakan. Peran swasta cukup menonjol pada saat kejadian bencana yaitu saat pemberian bantuan darurat. Partisipasi yang lebih luas dari sektor swasta ini akan sangat berguna bagi peningkatan ketahanan nasional dalam menghadapi bencana. 3. Lembaga Non-Pemerintah Lembaga-lembaga Non Pemerintah pada dasarnya memiliki fleksibilitas dan kemampuan yang memadai dalam upaya penanggulangan bencana. Dengan



koordinasi yang baik lembaga Non Pemerintah ini akan dapat memberikan kontribusi dalam upaya penanggulangan bencana mulai dari tahap sebelum, pada saat dan pasca bencana. 4. Perguruan Tinggi / Lembaga Penelitian Penanggulangan bencana dapat efektif dan efisien jika dilakukan berdasarkan penerapan ilmupengetahuan dan teknologi yang tepat. Untuk itu diperlukan kontribusi pemikiran dari para ahli dari lembaga-lembaga pendidikan dan penelitian. 5. Media Media memiliki kemampuan besar untuk membentuk opini publik. Untuk itu peran media sangat penting dalam hal membangun ketahanan masyarakat menghadapi bencana melalui kecepatan dan ketepatan dalam memberikan informasi kebencanaan berupa peringatan dini, kejadian bencana serta upaya penanggulangannya, serta pendidikan kebencanaan kepada masyarakat. 6. Lembaga Internasional Pada



dasarnya



Pemerintah



dapat



menerima



bantuan



dari



lembaga



internasional, baik pada saat pra bencana, saat tanggap darurat maupun pasca bencana. Namun demikian harus mengikuti peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Sebagai gambaran lebih rinci, dapat diperiksa pada tabel contoh berikut :



I.3.3 Pendanaan Sebagian besar pembiayaan untuk kegiatan-kegiatan Penanggulangan bencana terintegrasikan dalam kegiatan-kegiatan pemerintahan dan pembangunan yang dibiayai dari anggaran pendapatan dan belanja nasional, propinsi atau kabupaten/kota. Kegiatan sektoral dibiayai dari anggaran masing-masing sektor yang bersangkutan. Kegiatan-kegiatan khusus seperti pelatihan, kesiapan, penyediaan peralatan khusus dibiayai dari pos-pos khusus dari anggaran pendapatan dan belanja nasional, propinsi atau kabupaten/kota. Pemerintah dapat menganggarkan dana kontinjensi untuk mengantisipasi diperlukannya dana tambahan untuk menanggulangi kedaruratan. Besarnya dan tatacara akses serta penggunaannya diatur bersama dengan DPR yang bersangkutan.



Bantuan dari masyarakat dan sektor non-pemerintah, termasuk badan-badan PBB dan masyarakat internasional, dikelola secara transparan oleh unit-unit koordinasi. Contoh rekapitulasi (matriks) Rencana Penanggulangan Bencana: