Anindya [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

4. Ibnu Thufail



BIOGRAFI Nama lengkap Ibnu Thufail ialah Abu Bakar ibnu Abd Al-Malik ibn Muhammad ibnu Thufail ‫أبو‬ ‫األندلسي القيسي طفيل بن محمد بن الملك عبد بن بكر‬. Ia dilahirkan di Guadix (Arab : Wadi Asy), provinsi Granada, Spanyol pada tahun 506 H/1110 M. dalam bahasa latin Ibnu Thufail populer dengan sebutan Abubacer. Pada masa khalifah Abu Yaquf Yusuf, Ibnu Thufail mempunyai pengaruh yang besar dalam pemerintahan. Pada pihak lain, khalifah sendiri mencintai ilmu pengetahuan dan secara khusus adalah peminat filsafat serta memberi kebebasan berfilsafat. Sikapnya itu menjadikan pemerintahannya sebagai pemuka pemikiran filosofis dan membuat Spanyol, seperti dikatakan R. Briffault sebagai “tempat kelahiran kembali negeri Eropa”. Kemudian ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai dokter pemerintah pada tahun 578 H / 1182 M, dikarenakan usianya yang sudah uzur. Kedudukannya itu digantikan oleh Ibnu Rusd atas permintaan dari Ibnu Thufail. Tapi dia tetap mendapatkan penghargaan dari Abu Yaqub dan setelah dia meninggal pada tahun 581 H / 1185 M) di Marakesh (Maroko) dan dimakamkan disana, Al-Mansur sendiri hadir dalam upacara pemakamannya. Namun bukan semua itu yang menjadikan nama Ibnu Tufail dikenang dalam sejarah Islam bahkan sejarah dunia. Sebuah master-piece Ibn Tofail berjudul “‫ ”يقظان بن حي‬Hayy ibnu Yagzan (“kehidupan anak kesadaran”), di Barat dikenal sebagai: Philosophus Autodidactus) telah menorehkan tinta emas di atas lembaran sejarah sebagai salah satu karya paling berharga yang pernah ada di bidang filsafat. Dalam mengarang buku ini Ibnu Tufail banyak terpengaruh filsafat Plato. Pemikhranpemikiran filosofis Ibn Tofail ketika menulis buku ini telah mencapai taraf yang paling matang. Ditulisnya pemikiran-pemikirannya dalam bentuk novel alegori sembari menawarkan sebuah korelasi filsafat antara akal dan agama dalam pencarian kebenaran hakiki.



Ajaran Filsafat Ibnu Tufail 1. Tentang Dunia Salah satu masalah filsafat adalah apakah dunia itu kekal, atau diciptakan oleh tuhan dari ketiadaan atas kehendak-Nya? Dalam filsafat Islam, Ibnu Tufail, sejalan dengan kemahiran dialektisnya, menghadapi masalah itu dengan tepat. Tidak seperti pendahulunya, dia tidak menganut salah satu doktrin saingannya, dan tidak berusaha mendamaikan mereka. Di lain pihak, dia mengecam dengan pedas para pengikut Aristoteles dan sikap-sikap teologis. Kekekalan dunia melibatkan konsep eksistensi tak terbatas yang tak kurang mustahilnya dibandingkan gagasan tentang rentangan tak terbatas. Eksistensi seperti itu tidak lepas dari kejadian-kejadian yang diciptakan dan karena itu tidak dapat mendahului mereka dalam hal waktu, dan yang tidak dapat sebelum kejadian-kejadian yang tercipta itu pasti tercipta secara lambat laun. Begitu pula konsep Creatio Ex Nihilo tidak dapat mempertahankan penelitiannya yang seksama. Sebagaimana Al-Ghazali, dia mengemukakan bahwa gagasan mengenai kemaujudan sebelum ketidakmaujudan tidak dapat dipahami tanpa anggapan bahwa waktu itu telah ada sebelum dunia ada, tapi waktu itu sendiri merupakan suatu kejadian tak terpisahkan dari dunia, dan karena itu kemaujudan dunia di kesampingkan lagi, segala yang tercipta pasti membutuhkan pencipta. Kalau begitu mengapa sang pencipta menciptakan dunia saat itu bukan sebelumnya? Apakah hal itu dikarenakan oleh suatu yang terjadi atas-Nya? Tentu saja tidak, sebab tiada sesuatupun sebelum dia untuk membuat sesuatu terjadi atas-Nya. Apakah hal itu mesti bersumber dari suatu perubahan yang terjadi atas sifat-Nya? Tapi adakah yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut? Karena itu Ibnu Tufail tidak menerima baik pandangan mengenai kekekalan maupun penciptaan sementara dunia ini.



2. Tentang Tuhan Penciptaan dunia yang berlangsung lambat laun itu mensyaratkan adanya satu pencipta, sebab dunia tak bisa maujud dengan sendirinya. Juga, sang Pencipta bersifat immaterial, sebab materi yang merupakan suatu kejadian dunia diciptakan oleh satu pencipta. Dipihak lain anggapan bahwa Tuhan bersifat material akan membawa suatu kemunduran yang tiada akhir yang adalah musykil. Oleh karena itu dunia ini pasti mempunyai penciptanya yang tidak berwujud benda. Dan karena Dia bersifat immaterial, maka kita tidak dapat mengenalNya lewat indera kita ataupun lewat imajinasi, sebab imajinasi hanya menggambarkan hal-hal yang dapat ditangkap oleh indera.[8] Tuhan dan dunia yang keduanya kekal, bagaimana bisa yang pertama dianggap sebagai penyebab adanya yang kedua? Dengan mengikuti pandangan Ibnu Sina, Ibnu Thufail membuat perbedaan antara kekekalan dalam esensi dan kekekalan dalam waktu, Dan percaya Tuhan ada sebelum adanya dunia dalam hal esensi tapi tidak dalam hal waktu. Ambillah satu contoh, jika kau pegang sebuah benda dengan tanganmu dan kau gerakkan tanganmu, maka benda itu tak gerak lagi, akan bergerak dikarenakan gerak tangan itu, jadi gerak itu bergantung kepada gerak tangan. Gerak tangan mendahului gerak benda dalam esensinya, dan gerak benda diambil dari gerak tangan tersebut, meskipun dalam soal waktu keduanya tak saling mendahului. Mengenai pandangan bahwa dunia dan Tuhan sama-sama kekal, Ibnu Tufail mempertahankan pendapat mistisnya bahwa dunia ini bukanlah suatu yang lain dari Tuhan. Dan mengenai esensi Tuhan yang ditafsirkan sebagai cahaya yang sifat esensialnya merupakan penerangan dan pengejawantahan, sebagaimana dipercaya oleh Al Ghazali, Ibnu Tufail memandang dunia ini sebagai pengejawantahan



dari esensi Tuhan sendiri dan bayangan cahaya-Nya sendiri yang tidak berawal atau berakhir. Dunia tidak akan hancur sebagaimana yang ada pada kepercayaan akan Hari penentuan. Kehancurannya berupa keberalihannya menjadi bentuk lain dan bukannya merupakan suatu kehancuran sepenuhnya. Dunia mesti terus berlangsung dalam satu atau bentuk lain sebab kehancurannya tidak sesuai dengan kebenaran mistis yang tinggi, yaitu bahwa sifat esensi Tuhan merupakan penerangan dan pengejawantahan kekal. Di dalam roman filsafatnya yang menarik itu Ibnu Thufail menggambarkan kepada manusia bahwa kepercayaan kepada Allah adalah satu bagian dari fitrah manusia yang tidak dapat disangkal dan bahwa akal yang sehat dengan memperhatikan dan merenungkan alam sekitarnya tentu akan sampai kepada Tuhan.



3. Tentang Kosmologi Cahaya Ibnu Tufail menerima prinsip bahwa dari satu tidak ada lagi apa-apa kecuali satu itu. Manivestasi kemajemukan, kemaujudan dari yang satu dijelaskannya dalam gaya new platonik yang monoton, sebagai tahap-tahap berurutan pemancaran yang berasal dari cahaya Tuhan. Proses situ pada prinsipnya, sama dengan refleksi terus menerus cahaya matahari kepada cermin. Cahaya matahari yang jatuh pada cermin yang dari sana menuju ke yang lain dan seterusnya, menunjukkkan kemajemukan . semua itu merupakan pantulan matahari dan bukan matahari itu sendiri, juga bukan cermin itu sendiri, bukan pula suatu yang lain dari matahari dan cermin itu. Kemajemukan cahaya yang dipantulkan itu hilang menyatu dengan matahari kalau kita pandang sumber cahaya itu, tapi timbul lagi bila kita lihat dicermin, yang disitu cahaya tersebut dipantulkan. Hal yang sama juga berlaku pada cahaya pertama serta perwujudannya di dalam kosmos.



4. Epistemologi Pengetahuan Tahap pertama jiwa bukanlah suatu tabularasa atau papan tulis kosong, imaji tuhan telah tersirat di dalamnya sejak awal, tapi untuk menjadikannya tampak nyata, kita perlu memulai dengan pikiran yang jernih tanpa prasangka keterlepasan dari prasangka dan kecenderungan sosial sebagai kondisi awal semua pengetahuan, merupakan gagasan sesungguhnya dibalik kelahiran tiba-tiba Hay di pulau kosong. Setelah hal ini tercapai pengalaman, inteleksi dan exstasi memainkan dengan bebas peranan mereka secara berurutan dalam memberikan visi yang jernih tentang kebenaran yang melekat pada jiwa. Bukan hanya disiplin jiwa, tapi pendidikan indra dan akal yang diperlukan untuk mendapatkan visi semacam itu. Kesesuaian antara pengalaman dan nalar, disatu pihak, dan kesesuaian antara nalar dan intuisi, dipihak lain membentuk esensi epistimologi Ibnu Tufail. Pengalaman akan menjadi suatu proses mengenal lingkungan lewat indera. Organ-organ indera ini berfungsi berkat jiwa hewan yang ada di dalam hati, dari sana berbagai data indera yang kacau mencapai otak menyebarkanya ke seluruh tubuh lewat jalur syaraf. Kemudian dikirimkan ke otak lewat jalur yang sama, di situ diproses menjadi satu kesatuan perspektif. Pengamatan memberi kita pengetahuan mengenai benda-benda yang oleh akal induktif, dengan akat-alat pembanding dan pembedaannya, dikelompokkan menjadi mineral, tanaman dan hewan. Setiap kelompok benda ini memperlihatkan fungsi-fungsi tertentu, yang membuat kita menerima bentuk-bentuk atau jiwa-jiwa (seperti Aristoteles) sebagai penyebab fungsi-fungsi tertentu berbagai benda. Tapi hipotesis semacam iti tidaklah dapat dipertahankan atas dasar induktif, sebab bentuk atau jiwa yang dimaksud itu tidak dapat diamati secara langsung. Tak pelak lagi tindakan-



tindakan tampak muncul dari suatu tubuh tertentu; tapi kenyataannya, mereka tidak ditimbulkan bukan oleh tubuh itu atau ruh tubuh itu, melainkan oleh sebab tertentu yang ada di luarnya dan sebab itu ialah Tuhan. Mengikuti pendapat Al Ghazali dan mendahului pendapat Hume, Ibnu Thufail tidak melihat adanya kekuatan pada sebab yang bias mendatangkan pengaruh sebagaimana biasanya. Empirisme Hume berakhir dalam skeptisisme, tapi ketasawufan Ibnu Thufail membuatnya melihat bahwa ikatan sebab akibat merupakan suatu tindak perpaduan yang berasal dari Tuhan, tapi oleh Kant hal itu dianggap berasal dari bentuk apriori pemahaman. Ibnu Thufail sekaligus berada di depan Bacon, Hume dan Kant. Dia telah mengemukakan terlebih dahulu metoda induktif ilmu modern; melihat ketidakmampuan nalar teoritis untuk menjawab teka-teki mengenai kekekalan dan penciptaan sementara dunia ini, juga ketidakmampuan akal induktif untuk menetapkan suatu hubungan yang tegas antara sebab dan akibat, dan akhirnya menjernihkan awan skeptisisme dengan membuat pernyataan bersama Al Ghazali bahwa rangkaian sebab akibat itu merupakan tindakan terpadu Tuhan. Setelah mendidik akal dan indra serta memperhatikan keterbatasan keduanya, Ibnu Tufail akhirnya berpaling kepada disiplin jiwa yang membawa kepada ekstasi, sumber tertinggi pengetahuan. Dalam taraf ini, kebenaran tidak lagi dicapai lewat proses deduksi atau induksi, tapi dapat dilihat secara langsung dan intiutif lewat cahaya yang ada didalamnya. Jiwa menjadi sadar diri dan mengalami apa yang tak pernah dilihat mata atau didengar telinga atau dirasa hati orang manapun. Tarap ekstasi tak terkatakan atau terlukiskan sebab lingkup kata-kata terbatas pada apa yang dapat dilihat, didengar atau dirasa. Esensi tuhan yang merupakan cahaya suci hanya bisa dilihat lewat cahaya didalam esensi itu sendiri yang masuk dalam esensi itu lewat pendidikan yang tepat atas indra, akal serta jiwa. Karena itu pengetahuan esensi merupakan esensi itu sendiri. Esensi dan visinya adalah sama.



5. Etika/Akhlak Manusia merupakan suatu perpaduan tubuh, jiwa hewani dan esensi non-bendawi, dan demikian menggambarkan binatang, benda angkasa dan Tuhan. Karena itu pendakian jiwanya terletak pada pemuasan ketiga aspek sifatnya,Dengan cara meniru tindakan-tindakan hewan, benda-benda angkasa dan Tuhan. Mengenai peniruannya pertama, ia terikat untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya dan kebutuhan-kebutuhan pokok serta menjaganya dari cuaca buruk dan binatang buas, dengan satu tujuan yaitu mempertahankan jiwa hewani. Peniruan yang kedua menuntut darinya kebersihan pakaian dan tubuh, kebaikan terhadap obyek-obyek hidup dan tak hidup, perenungan atas esensi Tuhan dan perputaran esensi orang dalam ekstase. Ibnu Tufail tampaknya percaya bahwa benda-benda angkasa memiliki jiwa hewani dan tenggelam dalam perenungan yang tak habis-habisnya tentang Tuhan. Terakhir, dia harus melengkapi dirinya dengan sifat-sifat Tuhan baik yang positif maupun yang negative, yaitu pengetahuan, kekuasaan, kebijaksanaan, kebebasan dari keinginan jasmaniah, dan sebagainya. Melaksanakan kewajiban diri sendiri, demi yang lain-lainnya dan demi Tuhan, secara ringkas merupakan salah satu disiplin jiwa yang esensial. Kewajiban yang terakhir adalah suatu akhir diri, dua yang disebut sebelumnya membawa kepada perwujudannya dalam visi akan rahmat Tuhan, dan visi sekaligus menjadi identik dengan esensi Tuhan.



7. Ibnu Rusyd



BIOGRAFI Nama lengkapnya, Abu Walid Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd dilahirkan di Cordova sebuah kota di Andalus. Ia terlahir pada tahun 510 H/126 M, Ia lebih populer dengan sebutan Ibnu Rusyd. Orang barat menyebutnya dengan sebuah nama Averrois. Sebutan ini sebenarnya di ambil dari nama kakeknya. Keturunannya berasal dari keluarga yang alim dan terhormat, bahkan terkenal dengan keluarga yang memiliki banyak keilmuan. Kakek dan ayahnya mantan hakim di Andalus dan ia sendiri pada tahun 565 H/1169 M diangkat pula menjadi hakim di Seville dan Cordova. Karena prestasinya yang luar biasa dalam ilmu hukum, pada tahun 1173 M ia dipromosikan menjadi ketua Mahkamah Agung, Qadhi al-Qudhat di Cordova. Dalam buku karangan Nurcholis Madjid, dijelaskan tentang penamaan Ibnu Rusyd, bahwa penyebutan Averrios untuk Ibnu Rusyd adalah akibat dari terjadinya metamorfose Yahudi-SpanyolLatin. Oleh orang Yahudi, kata Arab Ibnu diucapkan seperti kata Ibrani 9 bahasa Yahudi dengan Aben. Sedangkan dalam standar Latin Rusyd menjadi Rochd. Dengan demikian nama Ibnu Rusyd menjadi Aben Rochd. Akan tetapi, dalam bahasa Spanyol huruf konsonan ”b” diubah menjadi ”v”, maka Aben menjadi Aven Rochd. Melalui asimilasi huruf-huruf konsonan dalam bahasa Arab disebut Idgham kemudian berubah menjadi Averrochd, karena dalam bahasa Latin tidak ada huruf ”sy”, huruf ”sy” dan d dianggap dengan ”s” sehingga menjadi Averriosd. Kemudian, rentetan ”s” dan ”d” dianggap sulit dalam bahasa Latin, maka huruf ”d” dihilangkan sehingga menjadi Averros. Agar tidak terjadi kekacauan antara huruf ”s” dengan ”s” posesif maka antara ”o” dan ”s” diberi sisipan ”e” sehingga Averroes, dan ”e” sering mendapat tekanan sehingga menjadi Averrois. Ibnu rusyd tumbuh dan hidup dalam keluarga yang besar sekali ghairahnya pada ilmu pengetahuan. Hal itu terbukti, Ibnu Rusyd bersama-sama merivisi buku Imam Malik, Al-Muwaththa, yang dipelajarinya bersama ayahnya Abu Al-Qasim dan ia menghapalnya. Ia juga juga mempelajari matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat, dan ilmu pengobatan. Guru-gurunya dalam ilmu-ilmu tersebut tidak terkenal, tetapi secara keseluruhan Cordova terkenal sebagai pusat studi filsafat. Adapun seville terkenal karena aktivitas-aktivitas artistiknya. Cordova pada saat itu menjadi saingan bagi Damaskus, Baghdad, Kairo, dan kota-kota besar lainnya di negeri-negeri Islam Timur. Sebagai seorang yang berasal dari keturunan terhormat, dan keluarga ilmuan terutama fiqih, maka ketika dewasa ia diberikan jabatan untuk pertama kalinya yakni sebagai hakim pada tahun 565 H/1169 M, di Seville. Kemudian iapun kembali ke Cordova, sepuluh tahun di sana, iapun diangkat menjadi qhadi, selanjutnya ia juga pernah menjadi dokter Istana di Cordova, dan sebagai seorang filosof dan ahli dalam hukum ia mempunyai pengaruh besar di kalangan Istana, terutama di zaman



Sultan Abu Yusuf Ya’qub al-Mansur (1184-99 M). Sebagai seorang fiolosof, pengaruhnya di kalangan Istana tidak disenangi oleh kaum ulama dan kaum fuqaha. Sewaktu timbul peperangan antara Sultan Abu Yusuf dan kaum Kristen, sultan berhajat pada kat-kata kaum ulama dan kaum fuqaha. Maka kedaan menjadi berubah, Ibnu Rusyd disingkirkan oleh kaum ulama dan kaum fuqaha. Ia dituduh membawa aliran filsafat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, akhirnya Ibnu Rusyd ditangkap dan diasingkan ke suatu tempat yang bernama Lucena di daerah Cordova. Oleh sebab itu, kaum filosof tidak disenangi lagi, maka timbullah pengaruh kaum ulama dan kaum fuqaha. Ibnu Rusyd sendiri kemudian dipindahkan ke Maroko dan meninggal di sana dalam usia 72 tahun pada tahun 1198 M.



Ibnu Rusyd merupakan seorang filsuf Islam yang mementingkan akal daripada perasaan. Menurutnya semua persoalan agama harus dipecahkan dengan kekuatan akal. Dalam hal ini termasuk ayat-ayat berkaitan erat dengan akal. Menurut Ibnu Rusyd, logika harus dipergunakan sebagai dasar semua penilaian terhadap kebenaran. Dalam mempelajari agama, orang harus belajar memikirkannya secara logika. Mengenai tujuan agama sendiri, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa pokok tujuan syariat Islam yang sebenarnya ialah pengetahuan yang benar dan amal perbuatan yang benar. Mengenai pengetahuan, menurut Ibnu Rusyd maksudnya untuk mengetahui dan mengerti adanya Allah Ta’ala serta segala alam yang tercipta ini pada hakikatnya yang sebenarnya apa maksud syari’at itu, dan mengerti apa pula sebenarnya yang dikehendaki dengan pengertian kebahagiaan di akhirat (surga) dan kecelakaan di akhirat (neraka). Maksud amal yang benar ialah mengerjakan dan menjauhkan pekerjaan-pekerjaan yang akan mengakibatkan penderitaan. Mengetahui tentang amal perbuatan seperti inilah yang dinamakan ilmu yang praktis.



Permasalahan Filsafat Ibnu Rusyd Di dalam filsafat Ibnu Rusyd terdapat lima permasalahan yang sangat mendasar, yaitu : pengetahuan Tuhan terhadap soal-soal juziyat; terjadinya alam maujudat dan perbuatannya; keazalian dan keabadian alam; gerak dan keazaliannya; serta akal yang universal dan satu. 1) Pengetahuan Tuhan Berhubungan dengan pengetahuan Tuhan, Ibnu Rusyd mengikuti pandangan para filsuf bahwa Tuhan hanya mengetahui keberadaannya sendiri. Bagi filsuf, pandangan ini merupakan keniscayaan agar Tuhan tetap terjaga keesaan-Nya, karena apabila Tuhan mengetahui keberagaman segala sesuatu, berarti Tuhan juga mempunyai keberagaman dalam diri-Nya. Jalan pikiran ini akhirnya meletakkan Tuhan untuk semata-mata berada dalam zat-Nya sendiri dan tidak ada yang lain.[13] Di dalam filsafat Ibn Rusyd, dinyatakan bahwa Tuhan tidaklah mengetahui soal-soal juziyat sebagaimana yang diungkapkan oleh Aristoteles. Pemikiran ini didasarkan atas argumen sebagai berikut : yang menggerakkan itu, yakni Tuhan, merupakan akal yang murni bahkan merupakan akal yang setinggi-tingginya. Oleh karena itu, pengetahuan dari akal yang tertinggi itu haruslah merupakan pengetahuan yang tertinggi pula agar ada persesuaian antara yang mengetahui dan yang diketahui. Oleh karena itu pula, tidak mungkin Tuhan mengetahui selain zat-Nya sendiri. Sebab tidak ada suatu zat lain yang sama luhurnya dengan zat Tuhan. Sesuatu yang diketahui Tuhan menjadi sebab untuk adanya pengetahuan Tuhan. Jadi, kalau Tuhan mengetahui hal-hal yang kecil, artinya bahwa pengetahuan Tuhan itu disebabkan oleh hal-hal yang kurang sempurna, dan ini tidak wajar. Oleh karena itu, sudah seharusnya Tuhan tidak mengetahui selain zat-Nya sendiri.



Argumen Aristoteles tersebut disetujui pula oleh Ibnu Sina, namun dibantah keras oleh Al-Ghazali. Menurut Ibnu Rusyd, bahwa mereka yang mendakwa ahli-ahli filsafat itu ialah memungkiri pengetahuan Tuhan kepada juziyat sebagaimana pengetahuan yang dicapai oleh orang-orang biasa. 2) Amal Perbuatan Dalam masalah amal perbuatan timbul masalah mendasar yaitu: Bagaimanakah terjadinya alam ini dan amal perbuatannya? Bagi golongan agama jawabannya sudah cukup jelas. Mereka mengatakan bahwa semua itu adalah ciptaan Tuhan. Semua benda atau peritiwa,baik besar ataupun kecil, Tuhanlah yang menciptakannya dan memeliharanya. Sebaliknya bagi golongan filsafat menjawab persoalan itu harus ditinjau dengan akal pikiran. Di antara mereka ada yang menyimpulkan bahwa materi itu azali, tanpa permulaan terjadinya. Perubahan materi itu menjadi benda-benda lain yang beraneka macam terdapat di dalam kekuatan yang ada di dalam maksud itu sendiri secara otomatis. Artinya tidak langsung dari Tuhan. Di antara ahli filsafat ada yang berpendapat bahwa materi itu abadi. Ia terdiri atas bermacammacam jauhar. Tiap-tiap jauhar mengadakan jauhar yang baru. Materi itu terjadinya bukan dari tidak ada, melainkan dari keadaan yang potensial (bil-quwwah). Aristoteles sendiri berpendapat bahwa jauhar (subtansi) pertama dari materi itu menyebabkan adanya jauhar yang kedua tanpa berhajat bantuan zat lain di luar dirinya. Ini berarti bahwa sebab dan akibat penciptaan dan amal materi itu seterusnya terletak pada diri materi itu sendiri. Ibnu Rusyd dapat menerima pendapat Aristoteles ini dengan menjelaskan pula argumennya sebagai berikut : Seandainya Tuhan itu menjadikan segala sesuatu dan peristiwa yang ada ini, maka akibatnya ide tentang sebab tidak akan ada artinya lagi. Padahal seperti yang kita lihat sehari-hari, apapun yang terjadi dalam ini senantiasa diliputi oleh hukum sebab dan akibat (musabab). Misalnya api yang menyebabkan terbakar, dan air yang menyebabkan basah. 3) Keazalian Alam Dalam ini Ibnu Rusyd mengemukakan bahwa alam ini azali tanpa ada permulaan. Dengan demikian berarti bahwa bagi Ibnu Rusyd ada dua hal yang azali, yaitu Tuhan dan alam ini. Hanya saja bagi Ibnu Rusyd keazalian Tuhan itu berbeda dari keazalian alam, sebab keazalian Tuhan lebih utama dari keazalian alam. Untuk membela pendapatnya, Ibnu Rusyd mengeluarkan argumen sebagai berikut : Seandainya alam ini tidak azali, ada permulaannya maka ia hadits (baru), mesti ada yang menjadikannya, dan yang menjadikannya itu harus ada pula yang menjadikannya lagi, demikianlah seterusnya tanpa ada habis-habisnya. Padahal keadaan berantai demikian (tasalsul) dengan tidak ada putusnya, tidak akan dapat diterima oleh akal pikiran. Jadi mustahil kalau alam itu hadits (baru). Oleh karena di antara Tuhan dengan alam ini ada hubungan meskipun tidak sampai pada soalsoal rincian, padahal Tuhan azali dan Tuhan yang azali itu tidak akan berhubungan kecuali dengan yang azali pula, maka seharusnya alam ini azali meskipun keazaliannya kurang utama dari keazalian Tuhan. 4) Gerakan yang Azali Gerakan adalah suatu akibat karena setiap gerakan selalu memiliki sebab yang mendahuluinya. Apabila kita cari sebab itu, maka tidak akan kita temui sebab penggeraknya pula, dan begitulah seterusnya tidak mungkin berhenti. Dengan demikian, kewajiban kita menganggap bahwa sebab yang paling terdahulu atau sebab yang pertama adalah sesuatu yang tidak bergerak. Gerakan



itu dianggap tidak berawal dan tidak berakhir, azali dan abadi. Adapun sebab pertama (prima causa) atau penggerak utama itulah yang disebut dengan Tuhan. Kemudian Ibnu Rusyd berpendapat bahwa walaupun Tuhan adalah sebab atau penggerak yang pertama, Dia hanyalah menciptakan gerakan pada akal pertama saja, sedangkan gerakangerakan selanjutnya (kejadian-kejadian di dunia ini) disebabkan oleh akal-akal selanjutnya. Oleh karena itu, menurut Ibnu Rusyd,tidak dapat dikatakan adanya pimpinan langsung dari Tuhan terhadap peristiwa-peristiwa di dunia. 5) Akal yang Universal Menurut Ibnu Rusyd akal itu (seperti yang dimaksud oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina) adalah suatu satu universal. Maksudnya bukan saja ”akal yang aktif” (active intellect) adalah esa dan universal, tetapi juga ’’akal kemungkinan’’, yakni akal reseptif adalah esa dan universal, sama dan satu bagi semua orang. Hal ini berarti bahwa segala akal dianggap sebagai monopsikisme. Menurut Ibnu Rusyd ’’akal kemungkinan’’ barulah merupakan individu tertentu ketika dia berkaitan dengan dengan suatu bentuk materi atau tubuh orang per seorangan. Dengan kata lain, akal kepunyaan orang perseorangan tidak memiliki keabadian, tetapi yang kekal dan abadi itu adalah akal universal, yakni asal sumber dan tempat kembalinya akal kemungkinan manusia individual. Perlu dijelaskan, bahwa pengakuan Ibnu Rusyd tentang akal yang bersatu, sebab akal adalah mahkota terpenting dari wujud roh (jiwa) manusia. Dengan kata lain, akal itu di sini hanyalah sebagai wujud rohani yang membedakan jiwa manusia atau mengutamakannya lebih dari jiwa hewan dan tumbuh-tumbuhan. Itulah yang dimaksud dengan monopsikisme. Maksud Ibnu Rusyd, roh universal itu adalah satu dan abadi. Ibnu Rusyd sudah membahas tentang wujud Tuhan, sifat-sifat-Nya dan hubungan Tuhan dengan alam. Ketiga hal tersebut menjadi pokok pembahasan metafisika Ibnu Rusyd. Di samping itu, Ibnu Rusyd meneliti berbagai golongan Islam dalam mencari Tuhan. Golongan tersebut terdiri dari Asy’ariah, Mutazilah, Batiniah, dan Hasywiah. Masing-masing golongan tersebut memiliki pandangan tersendiri tentang Tuhan. Di samping itu, Ibnu Rusyd juga meninjau pemikiran Al-Ghazali. Menurut Ibnu Rusyd, AlGhazali telah mengisi bukunya Tahafut al-Falasifah dengan pikiran-pikiran sofistis, dan kata-katanya tidak sampai kepada tingkat keyakinan serta tidak mencerminkan hasil pemahamannya terhadap filsafat itu sendiri. Pembicaraan Al-Ghazali terhadap pikiran-pikiran filsuf-filsuf dengan cara demikian, tidak pantas baginya, sebab tidak lepas dari satu dan dua hal. Pertama, ia sebenarnya memahami pikiran-pikiran tersebut, tetapi tidak disebutkan di sini secara benar-benar dan ini adalah perbuatan orang-orang buruk. Kedua, ia memang tidak memahami benar-benar, dan dengan demikian maka ia membicarakan sesuatu yang tidak dikuasainya, dan ini adalah perbuatan orang-orang bodoh. Menurut Ibnu Rusyd, kedua kemungkinan tersebut sebenarnya tidak terdapat pada AlGhazali. Akan tetapi ada pepatah mengatakan “kuda balap kadang-kadang tersandung”, dan bagi AlGhazali tersandungnya itu ialah akibat ia menulis buku Tahafut al-Falasifah tersebut. Boleh jadi penulisannya itu dilaksanakan karena melayani selera masa dan lingkungannya.



PEMBELAAN IBNU RUSYD PADA FILSAFAT Di dalam bidang akidah, Ibnu Rusyd mempunyai peran penting dalam melaksanakan upaya penyelamatan filsafat dari pengasingan umat Islam sendiri ketika munculnya fatwa haram Al-Ghazali di bidang tersebut. Dua kitab yang mencoba melakukan penetrasi gencarnya serangan-serangan badai yang telah dikemukakan Al-Ghazali. Tahafut at-Tahafut dan Fashl al-Maqal fi ma Bain al-Hikmah wa asy-Syariah min al-Ittishal. Kedua kitab inilah yang selanjutnya menjadi pilar utama pemikiran Ibnu Rusyd guna menyelamatkan filsafat. Walaupun upaya ini baru nampak membuahkan hasil baru-baru ini saja, di era modern ini. Jadi, lama sekali pemikiran Ibnu Rusyd ini keluar dari sarangnya dan menampakkan kupu-kupu indahnya. Selama tujuh abad pasca wafatnya, pemikiran al-Ghazali terus berkibar, yang cenderung menjauhi dunia pemikiran seperti filsafat dan memunculkan kajian fiqh dan ushul, khususnya di Sunni. Kejumudan melanda, peta pemikiran filsafat masih ada namun nampak redup, di belahan bumi Persia filsafat itu terus berkembang, sedangkan di belan bumi Islam lainnya, semuanya mengalami ketidakberubahan. Pembelaan Ibnu Rusyd yang sejak dulu dilakoninya terhadap filsafat yang sering kita dengar adalah upayanya untuk meredam kesesatan para Filsuf, Tahafut al-Falasifah karya al-Ghazali. Bagaimana ia melindungi tiga pendapat utama yang difatwakan al-Ghazali pada para filsuf yang dianggapnya sesat. Perdebatan antara keduanya menjadi debat dua orang dari dua generasi berbeda yang seakan-akan mewakili perdebatan sengit masa lampau antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Mu’tazilah dengan kebebasan berfikirnya dan Asyariyah dengan ortodoksinya. Namun dalam kaitannya dengan Al-Ghazali, Dr. Mulyadi Kertanegara mengatakan bahwa pada dasarnya apa yang diserang al-Ghazali adalah dunia filsafat tidak secara keseluruhan. Hanya pengikut aliran filsafat Neo Platonis saja yang seharusnya mendapatkan serangan itu. Adapun alasan al-Ghazali melakukan ini karena kebebasan berfikir yang dipraktikkan orang-orang muslim Neo Platonis seperti Al-Farabi (w.950) dan Ibn Sina (w.1038), terlalu diumbar sebebas-bebasnya dan terkadang menganggap ritual-ritual agama menjadi tidak penting. Berangkat dari sinilah al-Ghazali mengembangkan gagasannya untuk menyerang para filsuf Neo Platonis ini, sayangnya oleh mayoritas umat Islam itu dipahami sebagai fatwa haram bagi semua aliran filsafat tanpa mengingat bahwa alGhazali pun seorang filsuf juga.[18] Rasionalitas Ibnu Rusyd pada dasarnya tidak lepas dari aliran peripatetik yang menyatakan bahwa semua yang ada di dunia ini memiliki materi dan bentuk. Satu gagasan Aristoteles yang begitu dijiwai oleh Ibnu Rusyd. Hylomorfis inilah yang dijadikan pijakan oleh aliran filsafat peripatetik. Yang kemudian memunculkan grant naration of causality principal. Di mana prinsip-prinsip kausalitas ini berangkat dari potensialitas materi yang baru bisa terbentuk ketika ada satu wujud non-potensial yang mengaktualkannya. Rasionalitas mencoba membuktikan keberadaan Tuhan sebagai wahdat al-wujud. 5 hal yang harus dimiliki seseorang yang ingin mendalami filsafat menurut Ibnu Rusyd adalah sebagai berikut :  Pertama, bakat alam. Menurut Ibnu Rusyd seseorang yang ingin mendalami harus memiliki bekal awal yaitu nalar. Tidak semua orang memiliki kemampuan dan minat yang sama dalam mendalami filsafat. Jadi ini penting untuk diperhatikan. Bekal otak yang cerdas.  Kedua, tertib. Seorang yang ingin berhasil menjadi filsuf harus mempelajari filsafat secara sistematis dan berurutan, agar tidak ada kerancuan-kerancuan.  Ketiga, objektivitas. Kejujuran untuk mengatakan benar dan tidak pada sebuah pemikiran adalah hal penting lain yang harus dimiliki seorang calon filsuf. Ketika mendapatkan satu



kebenaran dalam suatu pemikiran katakanlah itu kebenaran, tanpa mengurangi atau melebihkan.  Keempat, keteguhan pendapat. Ketika seorang filsuf mendapatkan kepastian dalam pemikirannya, maka sikap yang patut adalah mempertahankan pemikirannya itu dengan sungguh. Dalam kamus seorang filsuf tidak ada yang namanya kemunafikan pemikiran. Ketika ia menyatakan kebenaran satu hal maka ia harus mempertahankannya mati-matian.  Kelima, keutamaan akhlak. Seseorang yang ingin mendalami filsafat harus benar-benar meniatkan dirinya untuk fokus hanya pada pengetahuan dan kebaikan.