ARIYAH [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

'ARIYAH



‘ARIYAH A. Pendahuluan Sebagaimana yang kita ketahui, Islam adalah agama yang paling sempurna, agama keselamatan, yang dari padanya telah sempurna segala ketentuan yang menjadi rambu-rambu dalam menjalani kehidupan. Bagi yang ingin selamat dunia akhirat maka ia harus taat pada semua rambu dan tunduk pada segala ketentuan. Oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari, praktek berislam harus kita kita laksanakan dalam berbagai aspek, termasuk dalam urusan pinjam meminjam (‘Ariyah). Sebagaimana yang kita lihat kondisi zaman semakin lama semakin tidak teratur, antara yang boleh dan yang dilarang sudah semakin samar, yang halal dan yang haram semakin tipis. Ditambah lagi dengan manusianya yang menyepelekan hal-hal yang sudah ada aturannya dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan, seperti meminjam tanpa izin pemiliknya, dst. Maka dari itu kita sebagai muslim yang taat terhadap ketentuan agama Islam harus memperhatikan hal-hal yang sudah ditetapkan oleh agama kita dan tidak menyepelekan peraturan-peraturan agama. Seperti kita ketahui, dalam ketentuan ‘Ariyah ada beberapa hal yang harus diperhatikan diantaranya Al-Mu’ir dan Al-Musta’ir adalah orang yang berakal dan dapat bertindak atas nama hukum, tidak diperkenankan orang yang hilang akal melakukan akad ‘Ariyah, barang yang dipinjam bukan jenis barang yang apabila dimanfaatkan akan habis atau musnah, seperti makanan, minuman. Jadi hanya diperbolehkan meminjam barang yang utuh dan



tidak



musnah



contohnya



dimanfaatkan oleh peminjam.



buku



atau



barang



lain



yang



dapat



Untuk itu dalam makalah ini kami membahas mengenai ‘Ariyah (pinjam meminjam) dan segala ruang lingkupnya, sehingga kita bisa memahami dan menjadikannya sebagai pedoman yang benar untuk melakukan transaksi dalam proses pinjam meminjam.



B. Susbtansi kajian 1. DEFINISI ‘ARIYAH Berkata Syaikh Abu Syujak : ‫ا‬.‫اثارر‬. ‫ا كانت منافعه‬.‫النتفاع به مع بقاء عينه جازت إعارته إذ‬. ‫ وكلل ما أمكن‬: ‫العا ية‬. ‫فصل في‬. Artinya : Setiap yang boleh dipergunakan manfaatnya dengan kekal zatnya, boleh pula dipinjamkan (kepada orang), apabila manfaatnya kekal (tidak menjejas zatnya). Berkata Ibnu Rif’ah: Hakikat Ariyah (pinjaman) yaitu memperbolehkan mengambil



manfaat



terhadap



apa



yang



dibolehkan.



Syarak



memanfaatkannya dengan syarat kekal zatnya untuk dikembalikan kepada yang



punya.



Al-Mawardi



menamakannya



mendermakan



manfaat



dari



sesuatu benda.1[1] Pinjaman adalah mengambil manfaat dari barang orang lain dalam waktu yang ditentukan dan untuk maksud tertentu pula, dengan syarat bahwa barang itu barang kemas dan tidak akan rusak ‘ainnya (keasliannya).2[2] Lafadz ‘Ariyah dengan ditasydid huruf yak-nya menurut pendapat yang lebih shahih adalah diambil dari lafadz “Aara”. Artinya “ketika sesuatu telah pergi”, sedangkan hakekatnya menurut pengertian syara’ “Ariyah” adalah memenangkan dalam mengambil manfaat dari orang yang ahli karena Allah dengan



barang



yang



halal



untuk



mengambil



manfaatnya



beserta



1[1] Imam taqiyyuddin, Abu Bakar, Kifayatul Akhyar (Surabaya: Bina Iman), hal 654 2[2] Drs. H. ibnu Mas’ud, Fiqih Madzhab Syafi’i (Bandung : CV Pustaka Media), hlm 109



kelangsungan keadaannya, agar orang yang meminjam mengembalikan kepada orang yang karena Allah itu.3[3] Secara etimologi, ‘ariyah diambil dari kata ‘Aara yang berarti datang dan pergi. Menurut sebagian pendapat ‘ariyah berasal dari kata ‘At-Ta’aawuru yang sama artinya dengan At-Tanaawulu au At-Tanaasubu yang berarti saling menukar dan mengganti dalam konteks tradisi pinjam meminjam.4[4] Al Ariyah di ambil dari kata Al Uryu yaitu terlepas dari pinjaman barang ini tidak memerlukan kompensasi Secara terminologi Al Ariyah ialah adalah kebolehan memanfaatkan barang yang masih utuh yang masih di gunakan, untuk kemudian dikembalikan pada pemiliknya. Peminjaman barang sah dengan ungkapan atau



perbuatan



apapun



yang



menunjukkan



kepadanya



peminjaman



dilakukan berdasarkan alquran, sunnah, dan ijma ulama.5[5] As-Sarkhasi dan para ulama’ Madzhab Maliki mendefinisikan i’aarah sebagai pemberian kepemilikan terhadap manfaat tanpa imbalan. Dinamakan I’aarah karena ia tanpa imbalan.6[6] Adapun



para



ulama’



Madzhab



Syafi’i



dan



Hambali 7[7],



mereka



mendefinisikan I’aarah sebagai pemberian izin kepada orang lain untuk mengambil manfaat dari suatu benda yang dimiliki tanpa adanya imbalan. Ia berbeda dengan hibah karena kad pinjam meminjam ini berlaku pada 3[3] Drs. H. Imron Abu Amar, Terjemah Fathul Qarib (Kudus : Menara Kudus,tt), hlm. 279 4[4] Abdul Rahman Ghazaly Dkk, Fiqih Muamalah, (Jakarta : Kencana, 2010), cet I, hlm 247 5[5] Abdullah bin aburrahman abasam, syarah bulughul maram, hlm 606 6[6] Wahbah Az Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta : Gema Insani, 2011), hlm 573 7[7] Ibid, hlm 573



manfaat saja. Adapun akad hibah maka ia berlaku pada sosok benda itu secara langsung. Perbedaan antara kedua definisi ‘Aariyah di atas adalah bahwa definisi pertama menunjukkan pemberian kepemilikan manfaat, sehingga peminjam boleh meminjamkan kembali apa yang dia pinjam kepada orang lain, sedangkan definisi kedua hanya menunjukkan adanya kebolehan mengambil manfaat, sehingga peminjam tidak boleh meminjamkan apa yang dia pinjam atau menyewakannya kepada orang lain.



Secara terminologi syara’, ulama fiqh berbeda pendapat dalam mendefinisikan ‘ariyah, antara lain : 1) Ibnu Rif’ah berpendapat, bahwa yang dimaksud ‘ariyah adalah kebolehan mengambil manfaat suatu barang dengan halal serta tetap zatnya, supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.8[8] 2) Menurut pendapat al-Malikiyah sebagaimana yang ditulis oleh Wahbah alJuhaili, ‘ariyah adalah pemilikan atas manfaat suatu barang tanpa adanya imbalan,. Adapun menurut al-Syafi’iyah dan al-Hanabah ‘ariyah adalah pembolehan



untuk



mengambil



manfaat



suatu



barang



tanpa



adanya



imabalan.9[9] 3) Amir Syarifuddin berpendapat, bahwa ‘ariyah adalah transaksi atas manfaat suatu



barang



tanpa



imbalan,



dalam



arti



sederhana



‘ariyah



adalah



menyerahkan suatu wujud barang untuk dimanfaatkan orang lain tanpa adanya imbalan.10[10]



8[8] Abi Bakr Muhammad Taqiyudin, Kifayat al-Akhyar, (Bandung:Al-Ma’arif, tt), hlm. 291. 9[9] Wahbah al-Juhaili, Op, cit, hlm. 4036. 10[10] Amir Syarifudin, Garis-garis besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), cet. II, hlm, 219.



Ariyah pada asal hukumnya adalah sunnah karena sangat dirasa keperluannya. Tapi kadang-kadang hokum sunnah tersebut bisa berubah menjadi Wajib, seperti contoh: meminjamkan pakaian yang menjadikan sahnya suatu shalat atau meminjamkan alat penyelamat pada orang yang akan tenggelam atau juga meminjamkan alat penyembelih binatang yang dimulyakan syara’. Para ulama’ Fiqh membedakan pengertian ‘Ariyah dan hibah, kendatipun keduanya



mengandung



pengertian



kebebasan



memanfaatkan



barang.



Menurut mereka dalam ‘ariyah unsur yang dipinjam hanya manfaatnya, serta dalam jangka waktu yang terbatas. Sedangkan hibah terkait dengan materi barang yang disedekahkan dan tidak memiliki batas waktu. Sebagai salah satu bentuk akad atau transaksi ‘ariyah dapat berlaku pada seluruh jenis tingkatan masyarakat. Ia dapat berlaku pada masyarakat tradisional



maupun



masyarakat



modern,



dan



oleh



sebab



itu



dapat



diperkirakan bahwa jenis akad atau transaksi ini sudah sangat tua, yaitu sejak manusia yang satu berhubungan dengan yang lainnya. Mengenai definisi ‘Ariyah, para ulama’ mengemukakan pendapat mereka. Ulama’ Malikiyah ,dan Imam as-Syarakhsi (tokoh fikih Hanafi), mengemukakan definisinya: ‫المنفعة بغير عوض‬. ‫تمليك‬ “Pemilikan manfaat tanpa ganti rugi.” Ulama’ Syafi’iyah dan Hanbali mengemukakan definisinya : ‫ض‬ ‫المنفعة بل عو ض‬. ‫إ باحة‬ “Kebolehan memanfaatkan barang (orang lain) tanpa ganti rugi.”11[11] ‘Ariyah termasuk salah satu bentuk transaksi tolong menolong yang murni yang terlepas dari unsur komersial. Contoh : “Si A telah meminjamkan kepada si B dan menyebutkan bahwa si B berhak memanfaatkan barang pinjamannya, yaitu sebuah rumah dengan ketentuan bahwa si B berhak menempati rumah tersebut hingga waktu 11[11] M. Ali Hasan, Berbagai macam transaksi dalam Islam, (Jakarta : Darul Falah, 2000) hlm 239-240



tertentu sebagai sebuah pinjaman yang benar, diperbolehkan, wajib diganti jika rumah mengalami kerusakan, dan dikembalikan pada waktu yang telah disepakati. Mu’ir (orang yang meminjamkan) menyerahkan rumah tersebut di atas kepada musta’ir (orang yang meminjam) dan musta’ir menerimanya dengan penerimaan yang syar’I kemudian rumah tersebut berada dalam pemanfaatannya. Dan masing-masing dari kedua belah pihak menerima kesepakatan ini dari pihak satunya dengan penerimaan yang syar’i dan ini terjadi pada tanggal sekian (disebutkan tanggalnya).12[12] ‘Ariyah dinyatakan berlangsung dengan ucapan dan perbuatan apa saja yang menunjukkan hal itu.



2. HUKUM DAN DASAR ‘ARIYAH ‘Ariyah hukumnya sunnah yang didasarkan dari Al-Qur’an, Hadits, dan ijma’. Dasar dari Al-Qur’an adalah firman Allah : tûïÏ%©!$# öNèd `tã öNÍkÍEŸx|¹ tbqèd$y™ ÇÎÈ tûïÏ%©!$# öNèd šcrâä!#tãƒ ÇÏÈ tbqãèuZôJtƒur tbqãã$yJø9$# ÇÐÈ 5. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, 6. Orang-orang yang berbuat riya. 7. Dan enggan (menolong dengan) barang berguna. Dalam Surat Al-Ma’idah, Allah berfirman : pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#q=ÏtéB uŽÈµ¯»yèx© «!$# Ÿwur $ tök¤¶9$# tP#tptø:$# Ÿwur y“ô‰olù;$# Ÿwur y‰Í´¯»n=s)ø9$# Iwur tûüÏiB!#uä |MøŠt7ø9$# tP#tptø:$# tbqäótGö6tƒ WxôÒsù `ÏiB öNÍkÍh5§‘ $ZRºuqôÊÍ‘ur



4



#sŒÎ)ur



÷Läêù=n=ym



(#rߊ$sÜô¹$$sù



4



Ÿwur



öNä3¨ZtB̍øgs† ãb$t«oYx© BQöqs% br& öNà2r‘‰|¹ Ç`tã ωÉfó¡yJø9$# ÏQ#tptø:$# br& (#r߉tG÷ès? ¢ (#qçRur$yès?ur ’n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3“uqø)12[12] Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Ensiklopedia Muslim, Bab 5 : Muamalah, (Jakarta : Rajagrafindo persada, 2004) hlm 551



G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? ’n?tã ÉOøOM}$# Èbºurô‰ãèø9$#ur 4 (#qà)¨? $#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߉ƒÏ‰x© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ Artinya : Dan saling tolong menolonglah kamu dalam kebajikan dan ketaqwaan, serta janganlah tolong menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan. (Q.S. Al-Ma’idah : 2)13[13] Rasulullah SAW bersabda : ‫العبد في عون أخيه‬. ‫العبد ما كا ن‬. ‫ال فىي عون‬.‫و‬ “Dan Allah selalu menolong hamba-Nya, selama ia menolong saudaranya” (shahih: Shahibul Jami’us Shaghir no: 6577)14[14] Dasar



dari



hadits



adalah



bahwa



Abu



Dawud



dan



at-Turmudzi



meriwayatkan hadits yang bersumber dari Abu Umamah bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda dalam khutbah haji wada’: ‫اة‬.‫العا رية مؤد‬.‫و‬ “Ariyah (barang pinjaman) adalah barang yang wajib dikembalikan.” (Riwayat Abu Dawud dan at-Turmudzi)15[15] Shafwan Ibnu Umayyah meriwayatkan : ‫ بل عارية مضمو نةة‬: ‫ أغصربا يا محمدد ؟ قال‬:‫اعا يوم حنين فقال‬.‫استعار منه أدر‬. ‫ال عميه وسلل م‬. ‫اللنبلي صلى‬. ‫ألن‬ “Bahwasanya Rasulullah SAW pada hari Khaibar pernah meminjam perisai daripada Shafwan bin Umaiyah, lalu berkata Shafwan kepada beliau: Apakah perisai ini diambil terus dari padaku, wahai Muhammad!, Beliau menjawab:



13[13] Drs. Helmi Karim, Fiqh Muamalah, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1997), cet II, hlm 38



14[14] ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil ‘Aziz, (Jakarta : Pustaka as-Sunnah, 2008), cet V, hlm 707 15[15] Drs. Helmi Karim, Fiqh Muamalah, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1997), cet II, hlm 41



Tidak, tetapi hanya pinjaman yang dijamin.” (Riwayat Abu Dawud dan Ahmad)16[16]. ‫ال‬. ‫اتلفه‬. ‫اخذ ير يد إتلفها‬. ‫ال عنه ومن‬. ‫الدى‬. ‫اءها‬.‫اد‬. ‫اللناس يريد‬. ‫ال‬.‫امو‬. ‫من أخذ‬ (‫البخاري‬. ‫اه‬.‫)رو‬ “Siapa yang meminjam harta seseorang dengan kemauan membayarnya, maka Allah akan membayarnya, dan barang siapa yang meminjam dengan kemauan melenyapkannya maka Allah akan melenyapkan hartanya”. (Hadits riwayat Al-Bukhari). Dasar dari ijma’ adalah bahwa Fuqaha’ sepakat di syariatkannya ‘ariyah. ‘Ariyah disunahkan berdasarkan ijma’ kaum muslimin. Ibnu Hubairah berkata, “Ulama’ sepakat bahwa ‘ariyah hukumnya boleh sebagai ibadah yang disunahkan sehingga orang yang meminjamkan mendapatkan pahala.17[17] Ada pendapat yang menyatakan bahwa ‘ariyah hukumnya wajib. Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa ‘ariyah wajib bagi orang kaya yang memiliki barang



yang



dapat



dipinjamkan,



kepada



seseorang



yang



amat



membutuhkan yang bila orang itu tidak diberi pinjaman menyebabkan ia teraniaya atau akan berbuat sesuatu yang dilarang agama, seperti ia akan mencuri karena ketiadaan biaya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, Akan tetapi, bila seseorang memberikan pinjaman yang dengan meminjamkan itu ia bermaksud menganiaya peminjam atau peminjam itu akan memanfaatkan harta yang dipinjamnya itu untuk berbuat maksiat, maka hukum ‘ariyah menjadi haram. Dengan demikian, didasarkan pada kondisi-kondisi yang amat bervariasi, hukum pinkam-meminjam pun bisa amat bervariasi pula, seperti wajib, haram, makruh, ataupun mubah. Madzhab Maliki dan Hanafi mengatakan bahwa ‘ariyah merupakan akad yang menyebabkan peminjam “memiliki manfaat” barang yang 16[16] Abdullah bin Muhammad Ath-Thayar Dkk, Ensiklopedia Fiqh Muamalah dalam pandangan 4 Madzhab, (Yogyakarta : Maktabah Al-Hanif, 2009) cet 1, hlm 342-343 17[17] Ibid, hlm 343



dipinjam. Peminjaman itu dilakukan secara suka rela, tanpa ada imbalan dari pihak peminjam. Oleh sebab itu pihak peminjam berhak meminjamkan barang itu kepada orang lain untuk dimanfaatkan, karena manfaat barang tersebut



telah



menjadi



miliknya,



kecuali



pemilik



barang



membatasi



pemanfaatannya bagi peminjam saja atau melarangnya meminjamkannya kepada orang lain. Madzhab Syafi’i, Hanafi , Abu Hasan Ubaidillah bin Hasan al Karkhi berpendapat, bahwa akad ‘ariyah hanya bersifat memanfaatkan benda tersebut karena itu pemanfaatannya terbatas kepada pihak kedua saja (peminjam) dan tidak boleh dipinjamkan kepada pihak lain, namun, semua ulama’ sepakat, bahwa benda tersebut tidak boleh disewakan kepada orang lain. Ulama’



juga



berbeda



pendapat



dalam



menentukan



hukum,



berdasarkan sifat peminjam. Jumhur



ulama’



berpendapat,



bahwa



pemanfaatan



barang



oleh



peminjam terbatas pada izin pemanfaatan yang diberikan oleh pemiliknya. Ulama’ Madzhab Hanafi membedakan antara ‘ariyah yang bersifat mutlak dan terbatas. Bila benda itu dipinjamkan kepada pihak lain (pihak ketiga), maka peminjam (pihak kedua), berkewajiban mengganti kerugian, sekiranya terjadi kerusakan dan mengganti sepenuhnya sekiranya benda itu hilang. Ulama’ Madzhab Hanafi, Syafi’i dan Hanbali berpendapat, bahwa akad ‘ariyah sifatnya tidak mengikat kedua belah pihak. Pihak pertama (pemilik barang) boleh membatalkan pinjaman tersebut kapan saja dia kehendaki dan peminjam pun (pihak kedua) boleh mengembalikan benda tersebut, bila dia kehendaki, apakah pinjaman mutlak atau terbatas. Ulama’ Madzhab Maliki mengatakan, bahwa pihak yang meminjamkan barang (pihak pertama), tidak dapat mengambil barang ‘ariyah sebelum dimanfaatkan oleh peminjam (pihak kedua). Demikian juga halnya, apabila dalam akad ‘ariyah itu ada disebutkan tenggang waktu. Sebelum jatuh tempo, barang itu tidak boleh dibatalkan.



Diantaranya hukum-hukum al-ariyah adalah sebagai berikut : a.



Sesuatu yang dipinjamkan harus sesuatu yang mubah. Contoh : seseorang tidak boleh meminjamkan orang Muslim untuk melayani



orang kafir. b. Jika Mu’ir (pihak yang meminjamkan) mensyaratkan bahwa musta’ir (peminjam)



berkewajiban



mengganti



barang



yang



dipinjam



jika



ia



merusaknya, maka musta’ir wajib menggantinya. c. Musta’ir (peminjam) harus menanggung biaya pengangkutan barang pinjaman ketika ia mengembalikanya kepada mu’ir jika barang pinjaman tersebut tidak bisa diangkut kecuali oleh kuli pengangkut atau dengan taksi. d. Musta’ir (peminjam) tidak boleh menyewakan barang yang dipinjamkannya. Adapun meminjamkannya kepada orang lain, maka tidak apa-apa dengan syarat mu’ir merelakannya. e. Jika seseorang meminjamkan kebun untuk dibuat tembok, ia tidak boleh meminta pengembalian kebun tersebut hingga tembok tersebut roboh. Begitu juga orang yang meminjamkan sawah untuk ditanami, ia tidak boleh meminta pengembalian sawah tersebut hingga tanaman yang diatasnya di f.



panen. Barang siapa meminjamkan sesuatu hingga waktu tertentu, ia disunahkan tidak meminta pengembaliannya kecuali setelah habisnya batas waktu peminjaman.18[18]



3. RUKUN-RUKUN ARIYAH ‘Ariyah sebagai sebuah akad atau transaksi, sudah tentu perlu adanya unsur-unsur yang mesti ada, yang menjadikan perbuatan itu dapat terwujud sebagai suatu hukum. Dalam hal ini sudah pasti ada beberapa rukun yang harus dipenuhi. Adapun rukun ‘Ariyah menurut Jumhur Ulama’ ada empat, yaitu : a) Al Mu’ir (orang yang meminjamkan), disyaratkan ahli mengendalikan harta (tasarruf) dan berhak penuh atas hartanya itu.



18[18] Abu Bakar al-Jazairi, Ensiklopedia Muslim, Bab 5 : Muamalah, (Jakarta : Rajagrafindo, 2004) hlm 549- 551



b) c)



Al-Musta’ir



(Orang



yang



meminjam),



disyaratkan



jelas



dan



ahli



mengendalikan harta. Al-Mu’ar (barang yang dipinjam), disyaratkan mengandung manfaat yang dibolehkan kekal ‘ainnya. Tidaklah sah meminjamkan makanan, uang, dll,



d)



yang berubah atau habis ‘ainnya. Shighah, yaitu perkataan atau perbuatan yang menunjukkan arti pinjam meminjam.19[19] Seperti, “Aku pinjamkan barang ini kepadamu selama sebulan”.



4. SYARAT-SYARAT ‘ARIYAH a) Al-Mu’ir (orang yang meminjamkan) adalah orang yang harus berakal dan dapat (cakap) bertindak atas nama hukum, karena orang yang tidak berakal tidak dapat dipercayai memegang amanah. Padahal barang ‘ariyah ini pada dasarnya amanah yang harus dipelihara oleh orang yang memanfaatkannya. Oleh sebab itu, anak kecil, orang gila, dan orang bodoh tidak boleh melakukan akad atau transaksi ‘ariyah. Menurut para ulama’ Madzhab Hanafi, tidak disyaratkan baligh dalam akad ini. b) Barang yang dipinjam dapat dimanfaatkan dengan kondisi tetap utuh, dan bukan barang yang musnah atau habis seperti makanan. Jenis-jenis barang yang tidak habis atau musnah yang apabila dimanfaatkan seperti rumah, pakaian, dan kendaraan. c) Barang yang dipinjamkan harus secara langsung dapat dikuasai oleh peminjam. Artinya, dalam akad atau transaksi ‘ariyah pihak peminjam harus menerima langsung barang itu dan dapat dimanfaatkan secara langsung pula.20[20] 19[19] Drs. H. Ibnu Mas’ud, Fiqih Madzhab Syai’i, (Bandung : Pustaka Media, 2000) hlm 110 20[20] Abdul Rahman Ghazaly Dkk, Fiqih Muamalah, (Jakarta : Kencana, 2010), cet I, hlm 249-250



d) Manfaat yang diambil adalah mubah. Misalnya apabila meminjam kendaraan orang



lain



hendaknya



kendaraan



itu



digunakan



untuk



hal-hal



yang



bermanfaat dalam pandangan syara’, seperti digunakan untuk silaturahmi, berziarah ke berbagai masjid dan sebagainya. Apabila kendaraan itu digunakan untuk pergi ke tempat maksiat maka peminjam dicela oleh syara’, sekalipun akad atau transaksi ‘ariyah pada dasarnya sah. Ia dicela karena pemanfaatannya tidak sesuai dengan syara’ yaitu tolong menolong dalam kebaikan.21[21] Dalam Fathul Qorib juga disebutkan syarat-syarat tentang ‘ariyah: a) ‘Ariyah tidak sah tanpa adanya izin dari Mu’ir (orang yang meminjamkan). b) Barang yang dipinjamkan bermanfaat bagi si peminjam. c)



Barang yang dipinjam boleh tanpa adanya batasan waktu. Jika Mu’ir tidak memberikan batasan waktu.



d) Barang yang dipinjam oleh Musta’ir rusak, maka Musta;ir harus bertanggung jawab terhadap barang tersebut meskipun barang tersebut belum dipakai sama sekali.22[22] Para ulama’ telah menetapkan bahwa pinjam-meminjam sah pada semua benda yang dapat dimanfaatkan dengan tetap utuhnya sosok benda itu dan manfaatnya boleh untuk diambil, seperti rumah, tanah, pakaian, hewan, tunggangan dan semua yang dikenali dengan sosoknya, tetapi, tidak boleh meminjamkan



para



budak



wanita



untuk



digauli.



Juga



dimakruhkan



meminjamkan budak wanita untuk membantu, kecuali jika untuk kerabat dzawil arham yang merupakan mahramnya, karena bisa jadi orang yang dipinjami itu akan berkhalwat dengan si budak lalu menggaulinya. 23[23] Dan 21[21] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004) cet II, hlm 243 22[22] Syaikh Muhammad bin Qasim Al-Ghazi, Fathul Qorib , hlm 36. 23[23] Wahbah Az Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, ( Jakarta : Gema Insani, 2011) hlm 575



diharamkan meminjamkan senjata dan kuda untuk orang kafir harbi (yang memerangi umat Islam)., juga mushaf Al-Qur’an dan sejenisnya kepada orang kafir serta binatang buruan kepada orang yang sedang berihram.24[24] 5. HUKUM TRANSAKSI ‘ARIYAH 1)



Mayoritas fuqaha’ dari kalangan Hanafiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa ‘ariyah adalah transaksi jaiz (boleh/tidak mengikat). Oleh karena itu, orang yang meminjamkan boleh menarik barangnya yang dipinjam kapan pun.



2)



Malikiyyah berpendapat bahwa pemilik barang tidak boleh menariknya kembali sebelum dimanfaatkan oleh peminjam, ia wajib membiarkannya selama masa itu. Jika tidak disyaratkan masa peminjaman, waktunya disesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku.



3) Hanafilah berpendapat bahwa pemilik barang boleh menarik barangnya jika tidak merugikan peminjam, seperti jika seseorang meminjamkan tanah kepada orang lain agar ia menanaminya. Dalam kasus ini, pemilik tanah boleh menarik tanahnya sebelum ditanami. Jika telah ditanami, ia tidak boleh menarik tanahnya kecuali setelah peminjam mendapatkan hasil dari tanaman itu.25[25] Pendapat yang rajah (valid) adalah bahwa pemilik barang boleh menarik barangnya jika tidak merugikan peminjam. Namun, jika dapat merugikannya,



ia



harus



memberikan



tenggang



waktu



agar



tujuan



peminjaman tersebut dapat tercapai dan penarikan tersebut pada waktu yang tidak akan merugikan peminjam. Dengan demikian, tujuan pinjammeminjam telah tercapai. 24[24] Ibid, hlm 576 25[25] Abdullah bin Muhammad Ath-Thayar Dkk, Ensiklopedia Fiqh Muamalah dalam pandangan 4 Madzhab, (Yogyakarta : Maktabah Al-Hanif, 2009) cet 1, hlm 345



6. KEWAJIBAN MENGEMBALIKANNYA Si peminjam wajib mengembalikan barang pinjaman yang ia pinjam, setelah ia mendapatkan manfaat yang ia perlukan. Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa’ ayat 58 : bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#r–Šxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #’n