Bab IV Tekanan Formasi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB IV TEKANAN FORMASI Pori-pori formasi yang di bor memiliki tekanan yang disebut dengan tekanan formasi (Formation Pressure). Pada perencanaan dan pelaksanaan operasi pemboran, tekanan formasi akan mempengaruhi desain casing, berat lumpur pemboran (mud weight) dan berpengaruhi terhadap kemungkinan pipa kejepit (stuck pipe), hole instability dan masalah well control. Penting juga untuk mendeteksi zona-zona bertekanan tinggi yang beresiko menyebabkan terjadinya blow-out. Selain tekanan formasi, diperlukan juga data tentang tekanan rekah (fracture) formasi atau batuan. Karena fracture dapat menyebabkan terjadinya loss atau masuk dan hilangnya lumpur pemboran kedalam formasi atau batuan. Dan juga fracture mendatangkan resiko terhadap masuknya influx dari formasi yang bisa menyebabkan blowout. Tekanan formasi dan tekanan rekah merupakan dua data penting dalam mendisain sumur dan pelaksanaan operasi pemboran. Tekanan didalam lubang sumur harus lebih besar dari tekanan formasi, namun tekanan dalam lubang tersebut tidak boleh lebih besar dari tekanan rekah. Tekanan di dalam lubang sumur itu didapat dari kolom lumpur pemboran yang dikenal dengan tekanan hidrostatik.



Petroskill



Jika tekanan hidrostatik lebih kecil dari tekanan formasi maka fluida dari formasi akan masuk ke lubang sumur dan bisa menyebabkan kick dan blowout, sedangkan jika tekanan formasi lebih besar dari tekanan rekah formasi atau batuan tersebut, maka bisa menyebabkan loss atau hilangnya lumpur pemboran kedalam formasi.



Gambar 4.1 Tekanan Formasi dan Tekanan Rekah pada Casing Setting Depth Selection



Tekanan Formasi



Pada saat pengeboran, kolom lumpur pemboran akan memberikan tekanan hidrostatik. Jika tekanan hidrostatik lebih besar dari tekanan formasi maka disebut dengan kondisi overbalance. Sedangkan jika tekanan hidrostatik lebih kecil dari tekanan formasi maka disebut dengan kondisi underbalance. Strategi pengeboran overbalance atau underbalance akan berbeda dalam pemakaian berat lumpur, peralatan dan teknik pengeborannya.



I. Tekanan Formasi Normal Tekanan formasi (Formation Pressure atau Formation Pore Pressure) adalah besarnya tekanan yang diberikan cairan yang mengisi rongga formasi, secara hidrostatis untuk keadaan normal sama dengan tekanan kolom cairan yang ada dalam dasar formasi sampai ke permukaan. Bila isi dari kolom yang terisi berbeda fluida nya, maka besarnya tekanan hidrostatiknya pun berbeda. Gradien tekanan formasi sebesar 0.433 psi/ft untuk air tawar dengan berat jenis 8.33 ppg (lb/gal), dan 0.465 psi/ft untuk air asin (80,000 ppm salt content) dengan berat jenis 9 ppg (lb/gal), yang merupakan gradien tekanan normal karena biasanya fluida pada pori formasi berisi garam atau dikenal sebagai brine. Untuk tekanan formasi yang nilai nya diatas atau dibawah gradien tersebut (0.465 ft/gal) disebut sebagai tekanan abnormal dan subnormal (abnormal and subnormal pressure). Tekanan overburden terjadi akibat berat dari matriks batuan dan fluida yang yang mengisi rongga batuan tersebut yang berada diatas suatu batuan. Secara umum, gradien tekanan overburden diasumsikan sebesar 1 psi/ft dengan berat jenis 19.23 lb/gal.



Heriot Watt/ Drilling Engineering



Penentuan tekanan formasi bisa dilakukan dari analisa Wireline Formation Test log atau dari data pengujian formasi Drill Stem Test (DST).



Gambar 4.2 Berat Lumpur dan Gradien Tekanan Pori



Teknik Pemboran I - STT Migas Balikpapan



44



Tekanan Formasi



II. Tekanan Formasi Abnormal Tekanan abnormal terjadi karena tidak adanya komunikasi tekanan secara bebas akibat sealing atau perangkap, sehingga tekanan tidak cepat terdistribusi untuk kembali menuju kondisi tekanan normalnya. Mekanisme terjadinya sealing telah ada sebelum tekanan abnormal terbentuk dan menetap. Asal Mula Pembentukan Tekanan Formasi Abnormal



Neal Adams/ Drilling Engineering



1. Proses Kompaksi Sedimen



Gambar 4.3 Tekanan Abnormal Akibat Proses Kompaksi



Neal Adams/ Drilling Engineering



Pada Gambar 4.3, proses kompaksi terjadi jika sedimentasi lapisan berikutnya diendapkan di atas lapisan yang pertama. Pertambahan berat batuan di atasnya dapat menyebabkan berkurangnya volume pori batuan. Setiap batuan akan mengalami proses kompaksi yang berbeda dengan bertambahnya kedalaman, ada yang mengalami proses kompaksi normal ada pula yang abnormal. Tekanan abnormal berkaitan dengan sekat (seal) yang mungkin terbentuk dalam periode sedimentasi, kompaksi, atau tersekatnya fluida di dalam suatu lapisan yang dibatasi oleh lapisan yang permeabilitasnya sangat rendah.



Gambar 4.4 Pengaruh Tekanan Overburden pada Kompaksi Normal terhadap Besarnya Porositas



Teknik Pemboran I - STT Migas Balikpapan



45



Tekanan Formasi



Pada Gambar 4.4 dapat dilihat kompaksi normal. Volume pori mengecil akibat dari pertambahan berat beban di atasnya yang mengakibatkan fluida yang ada di dalam ruang pori terdorong keluar dan mengalir ke segala arah menuju formasi disekitarnya. Sehingga berat batuan diatasnya akan ditahan oleh partikel-partikel sedimen. Kompaksi normal umumnya menghasilkan suatu gradien tekanan formasi yang normal. Kompaksi abnormal akan terjadi jika pertambahan berat beban di atasnya tidak menyebabkan berkurangnya ruang pori. Ruang pori tidak mengecil karena air yang berada di dalamnya tidak bisa terdorong keluar. Tersumbatnya air di dalam ruang pori disebabkan karena formasi itu terperangkap di dalam formasi yang mempunyai permeabilitas sangat kecil (struktur lensa).



Neal Adams/ Drilling Engineering



Gambar 4.5 Pengaruh Kompaksi terhadap Besarnya Tekanan Fluida Formasi



Proses kompaksi abnormal umumnya terjadi pada formasi shale, terutama jika terdapat lapisan pasir yang terperangkap di dalamnya. Pertambahan berat beban di atasnya tidak hanya ditahan oleh partikel-partikel sedimen, tetapi ditahan juga oleh air formasi yang terperangkap dalam ruang pori. Hal ini menyebabkan tekanan pori formasi menjadi tinggi dan gradien tekanannya melebihi gradien tekanan formasi normal. Ruang pori yang tidak mengecil pada daerah transisi yang berupa lapisan shale menyebabkan perubahan massa jenis shale tersebut. Pada kompaksi normal makin dalam suatu sedimen shale terendapkan, makin kecil volume keseluruhan dan makin kompak, sehingga massa jenisnya membesar sesuai kedalaman. Pada kompaksi abnormal porositas tidak mengecil, karena adanya air formasi yang terjebak di dalamnya, sehingga bulk volume tidak mengecil. Hal ini menyebabkan massa jenis shale mengecil, dan sewaktu dilakukan pemboran massa jenis shale ditentukan berdasarkan dari serpih pemboran (cutting), dan hasil ini diplot untuk setiap interval kedalaman tertentu.



Teknik Pemboran I - STT Migas Balikpapan



46



Neal Adams/ Drilling Engineering



Tekanan Formasi



Gambar 4.6 Penyimpangan Harga Densitas Shale terhadap Kedalaman



Penyimpangan dari arah normal yang merupakan arah kompaksi normal menandakan bahwa formasi yang ditembus mempunyai tekanan tinggi atau abnormal,



2. Sistem Sumur Artesis Formasi water-bearing yang menerus akan mengantarkan tekanan hidrostastatik ke dasar struktur. Seperti pada gambar dibawah, ketika pada kedalaman 1000 ft dibawah rig ditemui tekanan 13.5 ppg EMW (702 psi) akibat pengaruh dari sistem artesis formasi water bearing. Kondisi sangat berbeda ketika memakai asumsi tekanan normal dibawah rig yang didapat 9 ppg, dengan : 0.052 x 9 lb/gal x 1000 ft = 468 psi. P = 0.052 x Berat Fluida lb/ft x kedalaman ft



Neal Adams/ Drilling Engineering



Note : Rumus tekanan hidrostatik harus dihapal



Gambar 4.7 Tekanan Abnormal Akibat Sistem Air Artesis



Teknik Pemboran I - STT Migas Balikpapan



47



Tekanan Formasi



3. Uplift (Erosi dan Pengangkatan)



Neal Adams/ Drilling Engineering



Tekanan normal pada kedalaman tertentu bisa berubah menjadi abnormal ketika ada tektonik yang mengangkat sebagian formasi yang sealing. Karena adanya sealing maka tekanan formasi yang abnormal tersebut tidak bisa menjadi normal dengan melepas tekanan nya ke formasi lain selama masa geologi nya.



Gambar 4.8 Tekanan Abnormal Akibat Adanya Erosi dan Pengangkatan



4. Lapisan Garam



Neal Adams/ Drilling Engineering



Lapaisan garam merupakan penyebab tekanan formasi mendekati overburden. Jika dibandingkan, shale lebih semipermeable sedangkan lapisan garam impermeable,dan bersifat plastik, meneruskan beban overburden ke formasi dibawahnya.



Gambar 4.9 Pengaruh Adanya Lapisan Garam Terhadap Overburden Stress



Teknik Pemboran I - STT Migas Balikpapan



48



Tekanan Formasi



5. Salt Dome atau Kubah Garam



Neal Adams/ Drilling Engineering



Sifat plastik garam yang bisa bergerak ke atas akan mengakibatkan formasi dangkal diatas menjadi terdesak dan terkompaksi, sehingga bias menyebabkan tekanan yang tingi pada formasi yang dangkal tersebut.



Gambar 4.10 Pengaruh Salt Dome terhadap Besarnya Tekanan Abnormal



6. Perbedaan Densitas Fluida Formasi



Neal Adams/ Drilling Engineering



Perbedaan densitas fluida formasi antara zona permeability nya berhubungan dapat menyebabkan tekanan abnormal. Seperti pada contoh dibawah pada zona yang memiliki sealing diatas dan saling terkoneksi permeability nya.



Gambar 4.11 Pengaruh Perbedaan Densitas Fluida Formasi Terhadap Abnormal Pressure



Teknik Pemboran I - STT Migas Balikpapan



49



Tekanan Formasi



7. Fluid Migration Effect



Bourgoyne/ Applied Drilling Engineering



Aliran fluida dari reservoir yang lebih dalam ke formasi yang dangkal dapat menyebabkan tekanan abnormal pada formasi dangkal tersebut. Kondisi formasi dangkal yang tekanannya menjadi abnormal ini dikenal dengan charging. Aliran tersebut bisa terjadi secara natural atau melalui kondisi buatan seperti pada gambar 4.2. Blowout saat pengeboran beresiko terjadi ketika tidak ada antisipasi terhadap kemungkinan formasi yang mengalami charging, terutama pada lapangan-lapangan tua.



Gambar 4.12 Upward Fluid Migration yang Menyebabkan Abnormal Pressure pada Shallow Formations



Teknik Pemboran I - STT Migas Balikpapan



50



Tekanan Formasi



III. Tekanan Formasi Subnormal Asal Mula Pembentukan Tekanan Formasi subnormal 1. Depletion Formasi yang hidrokarbon dan air nya sudah lama diproduksikan akan mengalami penurunan tekanan secara natural. Biasa nya pengeboran sumur pengembangan pada reservoir yang sudah lama diproduksikan akan menghadapi tantangan ketika tekanan sumur yang di bor sangat rendah sehingga bereresiko kendala operasi loss. 2. Thermal Expansion Jika fluida pada pori bisa ekspansi pada temperature tinggi maka density akan menurun, dan tekanan juga akan menurun. 3. Formation Foreshortening Selama proses kompresi, ada lapisan formasi yang melengkung ke atas dan ada yang kebawah. Lapisan yang ditengah harus mengisi rongga,yang ada sehingga menyebabkan tekanan lapisan yang subnormal. Sedangkan bagian atas dan bawah bisa menyebabkan overpressure.



Heriot Watt/ Drilling Engineering



Gambar 4.13 Formation Foreshortening



4. Precipitation Pada daerah yang kering atau gersang (seperti di timur tengah) permukaan air tanah bisa jadi berada ratusan feet dibawah permukaan, sehingga akan mengurangi tekanan hidrostatik. 5. Potentiometric Surface Mekanisme ini tergantung relief structural formasi dan bisa menghasilkan zona subnormal dan juga zona overpressure. Potentiometric surface merupakan permukaan imajiner ketinggian air dari tempat yang terkurung, yang muncul pada sumur yang di bor. Potentiometric surface bisa ribuan feet di atas dan dibawah permukaan tanah.



Heriot Watt/ Drilling Engineering



Gambar 4.14 Efek Potentiometric Surface terhadap Permukaan Tanah menyebabkan Over dan Subnormal Pressure



Teknik Pemboran I - STT Migas Balikpapan



51



Tekanan Formasi



6. Epeirogenic Movements Perubahan elevasi bisa menyebabkan tekanan abnormal pada formasi secara lateral namun sealing. Jika singkapan tersebut naik maka akan menyebabkan overpressure, namun jika singkapannya turun maka akan menyebabkan pressure subnormal.



Heriot Watt/ Drilling Engineering



Gambar 4.15 Dua potentiometric surface pada dua reservoir A dan B



Heriot Watt/ Drilling Engineering



Antara zona tekanan normal dan zona overpressure disebut dengan zona transisi.



Gambar 4.16 Zona Transisi dari Tekanan Normal ke Overpressure (Abnormal)



Teknik Pemboran I - STT Migas Balikpapan



52



Tekanan Formasi



IV. Prediksi dan Deteksi Tekanan Abnormal Prediksi tekanan dapat dilakukan sebelum pengeboran, selama pengeboran, dan juga setelah pengeboran, dengan teknik dan cara yang berbeda.



1. Before Drilling 1. Seismic Data 2. Geology Studies 3. Off-Set Well Data a. IADC Report b. Mud Logger Report c. Drilling Fluid Report 2. While Drilling • Shale Density • Gas Reading • Drill Cutting • Flow Line Temperature • D – Exponential 3. After Drilling 1. Shale Resistivity Log 2. Sonic Log 3. Repeat Formation Test - RFT 4. Formation Test – DST



Teknik Pemboran I - STT Migas Balikpapan



53



Heriot Watt/ Drilling Engineering



Tekanan Formasi



Gambar 4.17 Parameter Dalam Prediksi dan Deteksi Tekanan Formasi



Setelah sumur selesai, wireline logging dapat digunakan untuk mengukur tekanan abnormal, seperti : a. Resistivity, conductivity log b. Sonic log c. Density log d. Neutron porosity log e. Gamma ray, spectrometer f. Velocity survey or checkshot g. Vertical seismic profile Penyimpangan trend line dari beberapa logging ditunjukan pada gambar berikut :



Teknik Pemboran I - STT Migas Balikpapan



54



Heriot Watt/ Drilling Engineering



Tekanan Formasi



Gambar 4.18 Metoda Skematik Respons Wireline Logging



Neal Adams/ Drilling Engineering



1. Penentuan Tekanan Formasi Dengan Metoda Hottman dan Johnson Berdasarkan Data Resistivity Log Prosedur Penentuan adalah : 1. Kecenderungan atau trend normal didapat dari hasil ploting resistivity shale versus kedalaman pada kertas semilog. 2. Tentukan pada kedalaman berapa harga resistivity shale menyimpang dari trend normal. 3. Tentukan rasio shale normal dengan resistivity shale yang mengalami penyimpangan (observasi). 4. Dengan menggunakan Gambar 4.20 dan hasil langkah ketiga dapat ditentukan besarnya gradien tekanan formasi (FPG). 5. Tentukan besarnya tekanan formasi dengan mengalikan hasil langkah ke empat terhadap kedalaman.



Gambar 4.19 Hubungan Observed Shale Resistivity Terhadap Kedalaman



Teknik Pemboran I - STT Migas Balikpapan



55



Tekanan Formasi



Neal Adams/ Drilling Engineering



Gambar 4.20 Hubungan Antara Ratio Shale Resistivity (Normal dan Observasi) dengan FPG



2. Perkiraan Tekanan Formasi Dengan Metoda Hottman dan Johnson Berdasarkan DataData Acoustic Log



Neal Adams/ Drilling Engineering



1. Ploting data acoustic log shale versus kedalaman pada kertas grafik semilog. 2. Hubungan titik-titik langkah pertama sehingga didapat kurva linier (normal trend). 3. Puncak dari daerah formasi yang bertekanan abnormal ditandai dengan dimulainya penyimpangan arah garis lurus tersebut (abnormal trend). 4. Tentukan penyimpangan waktu interval trasit, yaitu dengan mengurangi trend kurva abnormal dengan normalnya.



Gambar 4.21 Hubungan Antara Travel Time Versus Kedalaman



5. Tentukan besarnya gradien tekanan formasi berdasarkan data langkah ke empat dengan Gambar 4.22 6. Tentukan tekanan formasi dengan perkalian FPG dengan kedalaman.



Teknik Pemboran I - STT Migas Balikpapan



56



Tekanan Formasi



Neal Adams/ Drilling Engineering



Gambar 4.22 Hubungan Antara Differensial Travel Time Versus FPG



3. Pengukuran Langsung Tekanan Formasi - Data Repeat Formation Tester (RFT) RFT merupakan alat wireline untuk mengukur tekanan formasi dan mengambil sample fluida formasi. - Data Drill Stem Test (DST) DST merupakan salah metoda pengetesan tekanan dan fluida formasi.



4. D Exponent Deteksi tekanan formasi yang lebih besar dari pada gradien hidrostatik formasi normal (0,465 psi/ft atau 9 ppg berat lumpur) salah satu nya dengan metoda D eksponent dengan menggunakan parameter-parameter saat pengeboran.



 ROP   log   60 . RPM  d  12 .WOB  log   6  10 xB 



(4-1)



dimana: d ROP WOB RPM B



= d-exponent = laju pemboran (ft/hr) = weight on bit (lbs) = kecepatan putar (rpm) = diameter bit (inch)



Teknik Pemboran I - STT Migas Balikpapan



57



Tekanan Formasi



Persamaan (4-1) kemudian dimodifikasikan, dengan memasukkan pengaruh densitas lumpur, menjadi:



 NPP  d corr  d    ECD 



(4-2)



dimana: dcorr = d-exponent terkoreksi NPP = gradien tekanan formasi normal (» 9 ppg) ECD = berat lumpur pada saat sirkulasi, ppg Jika harga dcorr diplot terhadap kedalaman, akan menunjukkan peningkatan secara linier jika tekanan pori formasi normal, akan tetapi akan berkurang secara tajam jika laju pemboran meningkat akibat peningkatan tekanan pori formasi. Sebagai contoh, dapat digunakan data-data yang terdapat pada tabel 4-1 berikut. Tabel 4-1 Data Tekanan Formasi dan d-exponent



Plot antara laju pemboran terhadap kedalaman dapat dilihat pada Gambar 4.23, dimana terdapat penurunan laju pemboran dari 100 ft/hr pada kedalaman 6000 ft menjadi kurang dari 20 ft/hr pada kedalaman 12800 ft.



Teknik Pemboran I - STT Migas Balikpapan



58



Tekanan Formasi



Neal Adams/ Drilling Engineering



Gambar 4.23 Laju Pemboran vs Kedalaman



Dari data laju pemboran, RPM, WOB, diameter bit, dapat dihitung besarnya d-exponent pada tiap kedalaman dengan menggunakan persamaan (4-1). Dengan memasukkan data densitas lumpur yang digunakan, diasumsikan bahwa densitas lumpur normal (NPP) adalah 9 ppg, dilakukan perhitungan d-exponent terkoreksi menggunakan persamaan 4-2. Hasil perhitungan dexponent terkoreksi kemudian diplot terhadap kedalaman, seperti yang terlihat pada Gambar 4.24. Pada Gambar 4.24 tersebut terlihat harga dcorr meningkat secara linier hingga kedalaman 10500 ft dan kemudian menurun secara tajam. Dari kenyataan tersebut, dapat ditarik suatu garis lurus yang melewati titik-titik dcorr sebelum kedalaman 10500 ft dan garis tersebut dinamakan garis d-exponent normal (dnormal) dengan kemiringan garis adalah 0,000038, sehingga garis tersebut mempunyai persamaan garis sebagai berikut: dnormal = 0.000038 x depth + 1.23 Untuk menentukan besarnya tekanan pori formasi dapat digunakan persamaan berikut:



d  P  Gn  normal   d corr 



(4-3)



dimana: P = tekanan pori formasi ekivalen, ppg EMW Gn = gradien hidrostatik normal, 9 ppg Plot antara tekanan pori formasi terhadap kedalaman dapat dilihat pada Gambar 4.25.



Teknik Pemboran I - STT Migas Balikpapan



59



Tekanan Formasi



Neal Adams/ Drilling Engineering



Gambar 4.24 D-Exponent Terkoreksi vs Kedalaman



Neal Adams/ Drilling Engineering



Gambar 4.25. Tekanan Pori vs Kedalaman



Teknik Pemboran I - STT Migas Balikpapan



60



Tekanan Formasi



V. Tekanan Rekah Tekanan rekah adalah tekanan hidrostatik maksimum yang dapat ditahan formasi tanpa menyebabkan terjadinya pecah pada formasi tersebut. Besarnya gradien tekanan rekah dipengaruhi oleh besarnya tekanan overburden, tekanan formasi dan kondisi kekuatan batuan. Mengetahui gradien tekanan rekah sangat berguna ketika meneliti kekuatan dasar casing, sedangkan bila gradien tekanan rekah tidak diketahui maka akan mendapat kesukaran dalam pekerjaan penyemenan dan penyelubungan sumur. Prediksi gradient rekah sangat penting dalam disain sumur. Pada perencanaan pengeboran, gradient rekah dihitung dari data offset well. Jika data offset well tidak tersedia maka gradient rekah di prediksi dengan berbagai metoda yang diajukan beberapa ahli. Metoda yang banyak digunakan adalah Hubbert and Willis method. Metoda yang umum digunakan untuk mendapatkan gradient tekanan rekah adalah LeakOff Test. Selain LOT, dikenal juga Formation Integrity Test (FIT), yang pada prinsipnya sama, dengan memberikan tekanan dengan memompa lumpur secara bertahap sampai terlihat tandatanda mulai pecah, yaitu ditunjukkan dengan kenaikan tekanan terus menerus kemudian tiba-tiba turun. LOT dilakukan sampai formasi mulai pecah, biasanya dilakukan pada sumur- sumur eksplorasi, sedangkan FIT biasanya dilakukan pada sumur development namun tidak sampai pecah (karena nilai tekanan rekah nya sudah diperkirakan dari data sumur offset yang pernah dilakukan LOT).



Hussen Rabia/ Well Engineering and Construction



LOT dan FIT dilakukan dibawah setiap casing shoe. Tekanan yang didapat lalu di konversi ke EMW (Equivalent Mud Weight) untuk menentukan nilai maksimal MW sebagai primary well control untuk pengeboran section berikutnya.



Gambar 4.26 Grafik Leak-Off Test



Maksimum MW = = Atau dengan formula EM = MW +



(4.4)



biasanya dipakai safety factor 0.5 ppg dengan pengurangan pada maksimum MW. Teknik Pemboran I - STT Migas Balikpapan



61



Tekanan Formasi



Contoh : Saat LOT, di permukaan didapatkan tekanan sebesar 940 psi ketika formasi mulai rekah. Casing shoe pada kedalaman 5010 ft TVD dengan berat lumpur (MW) untuk pengujian LOT 10.2 ppg. Berapa berat lumpur maksimum yang sanggup di tahan formasi untuk pengeboran selanjutnya? Jawab : Maksimum Tekanan pada shoe saat LOT = Tekanan hidrostatik lumpur + Tekanan LOT di permukaan = (0.052 x 10.2 ppg x 5010 ft) + 940 psi = 3597 psi Maksimum MW yang sanggup ditahan pada kedalamaman ini = P



= 0.052 x MW x TVD



MW



= = = 13.8 ppg



Dikurangi safety factor 0.5 ppg, maka maksimum MW = 13.3 ppg.



DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5.



Neal Adams, "Drilling Engineering", Penn Well Publishing Company, Tulsa-Oklahoma, 1985 Wolfgang F. Prassl, “Drilling Engineering”, Curtin University of Technology Rudi Rubiandini RS, Bahan Kuliah Teknik Pemboran, 2009 Heriot Watt, Drilling Engineering Hussen Rabia, Well Engineering and Construction



Teknik Pemboran I - STT Migas Balikpapan



62