Banjir Bandang Dari Utara [PDF]

  • Author / Uploaded
  • anung
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Banjir Bandang dari Utara 1 March 25, 2014 at 7:13am



MAJAPAHIT Episode Banjir Bandang dari Utara



1 Suara yang melengking keras itu semula tidak diketahui darimana arahnya, karena langit tepat di atas kepala sedang pekat gulita. Namunketika sekali lagi burung bersayap lebar dan berparuh kuat dan tajam ituberteriak, Guru Grahita mampu menandai arahnya. Kesempatan untuk menemukan arahburung itu ia peroleh ketika mendung menyibak dan bulan yang sudah doyong kebarat membantu meneranginya. Ada lima ekor paksicataka di sana sedang terbang berputar-putar seperti tanpa tujuan, sepertilagak burung elang yang penuh rasa ingin tahu pada umumnya. Semula Guru Grahitaatau yang juga disebut Rudra Narantaka itu menganggap perbuatan burung itubiasa-biasa saja, seolah sebuah keadaan lumrahbelaka. Namun tiba-tiba ada kilat yang muncrat, bagai membantunyamenerangi keberadaan burung-burung itu. Di keheningan mata hati yang melintassekilas, paksi itu bagai memiliki cahayanya sendiri, atau seolah para burungitu dengan sengaja mewartakan keberadaan dan kehadirannya, seolah ia denganlantang berkata, di sini saya berada. Warna kebiruan yang muncul sekilas itubisa ditangkap mata dengan cukup jelas. “Burung itu lagi,” gumam Guru Grahita itu. Kembali burung itu melengking dengan nada tinggi. Getar suara aneh yang dilontarkan oleh burung itulah yangmenyebabkan Rudra Narantaka menjengatkanalis. Beberapa saat, pesonanya bagai meremas jantungnya, mengkili-kili sarafrasa ingin tahunya. “Burung itu lagi,” gumamnya dengan kulit tangan bagaidirambati ribuan ekor semut. Maka rasa curiga itu kembali muncul. Bagaimana pun jugaburung rajawali terbang malam baru pertama kali ini ia memergokinya, sementarasuara yang dilontarkannya bagai bermuatan sesuatu. Sebagai orang yang terbiasamenggunakan olah batin, Guru Grahita menangkap getar aneh itu seperti ketikaketajaman simpul syarafnya menangkap kehadiran getar ilmu sirep yangmeninabobokkan. Ketika bagi orang lain, kekuatan sirep akan menenggelamkan parakorbannya ke dalam kubangan mimpi, sebaliknya bagi Rudra Narantaka, kekuatansirep justru sebaliknya, getar yang mengalir di udara itu akan membangunkan danlangsung mengundang kecurigaan. Namun demikian Rudra Narantaka tidak dengan segera menemukanjawabnya, ia tidak tahu apa yang membuatnya risih, sesuatu yang mencurigakannamun tak jelas bentuknya itu. “Kau dengar suara burung itu lagi?” letup Rangga Bentar. Rudra Narantaka mengangguk dan menoleh padanya, Rangga Bentaryang buta ternyata juga menyimak suara menjerit dari langit itu. Kembali RudraNarantaka Guru Grahita menengadah dan mencoba menandai. “Ya,” jawab Rudra Narantaka, “anak panahmu rupanya tidakmengenainya.” Guru Grahita Rudra Narantaka menengadah, lelaki bertutupwajah itu tidak kuasa mencegah rasa takjubnya. Rangga Bentar, sesungguhnya bagaimana ia bisa melihat dengancacat mata yang ia alami. Namun meski demikian, Rangga Bentar sepertiberkeadaan sebaliknya. Ketika orang lain bisa memandang secara kasat matasebaliknya ia justru harus menggunakan ketajaman mata hati dan batinnya. Ketikaorang lain melihat hal-hal yang bersifat wadag, sebaliknya ia justru melihathal-hal yang bersifat batiniah. Yang ia tidak melihat orang lain melihat,sebaliknya yang orang lain tidak melihat, ia melihatnya dengan amat jelas serasajari tangan di depan mata. “Mereka berada di belakangnya, begitu rupanya,” gumam RanggaBentar. Rudra Narantaka terusik. “Begitu rupanya bagaimana? Ada apa?” tanya Rudra Narantakaheran. Rangga Bentar diam tidak segera menjawab, sebaliknya justrusetelah merasa ada sesuatu yang aneh, ia memperhatikan keadaan dengan lebihseksama. Ia mencoba mengenali perubahan yang terjadi, terutama mengapatiba-tiba ia merasa dihadang oleh gelap gulita. Semula bukanlah pekerjaan yang sulit baginya untuk menandaidi mana Raden Wijaya itu berada, ia bisa tetap membayangi ke mana pun anak DyahLembu Tal itu bergerak, bahkan meski bersembunyi di lubang semut sekalipun. Sesungguhnyabukan Raden Wijayanya yang selalu tertangkap jejak dan gerak-geriknya, namunkeris Empu Gandring yang sedang bersama pemuda itulah yang menunjukkan di manaia berada. Di mata batin Rangga Bentar yang bermata aneh, keberadaan keris EmpuGandring bagai cahaya benderang yang menuntunnya ke mana pun ia pergi. Dengandemikian, yang ia lakukan tidak sekadar mengejar namun bahkan menghadang.



Namun kini, cahaya itu padam, yang ia rasakan gelap gulita. Pamorkeris bermuatan kutukan buatan Empu Gandring yang semula tampak begitu jelas, kinitidak terlihat. Cahaya berpendar dari keris buatan Empu Gandring itu kinilenyap. Burung-burung di langit itu bagai saling sapa denganserentak. Seekor di antaranya terbang lebih rendah, sangat mungkin yang ialakukan untuk bisa melihat pemandangan yang lebih jelas, ia lakukan itu ketikaada mendung terbang rendah. “Mereka sedang mengawasi kita, dia kepanjangan mata mereka,”kata Rangga Bentar setelah menilai keadaan. “Mereka siapa?” “Burung-burung itu berada di bawah kendali Raden Wijaya, iatahu saya mengawasinya, kini ia memiliki kemampuan menutupi jejaknya, ia bahkanmengawasi gerak-gerik kita,” lanjutnya. Rudra Narantaka agak terhenyak. Rudra Narantaka berjalan mondar-mandir seraya mengedarkanpandang matanya ke segenap prajurit Kediri yang mengiringi perjalanannya. Paraprajurit itu, sesungguhnya mereka kelelahan setelah pertempuran yang terjadi.Namun mereka sadar, pekerjaan memang harus dituntaskan. Dendam harus ditagihlengkap dengan bunganya. Pepatah mengatakan, kriwikan dadi grojokan, persoalan yang kecil bila dibiarkan akanmembesar dan menyulitkan. Itulah yang akan terjadi jika Raden Wijaya dibiarkanmasih hidup. Garis keturunan Ken Arok harus dihapus sampai ke akar-akarnya agardi kemudian hari tidak menjadi sumber masalah bagi Kediri yang kini dengangemilang menghapus peta Singasari dari panggung sejarah tanah Nusantara. Namun di antara para prajurit itu juga ada yang tidak terlalubersemangat memburu Raden Wijaya, tidur lelap jauh lebih nyaman daripadaberkuda sepanjang malam yang kini bahkan telah kehilangan jejak itu. Iaberpendapat, Singasari toh telah berhasil dihancurkan, rajanya pun telah dibunuh,persoalan boleh dianggap selesai. Ia berpendapat, untuk apa mengejarngejarRaden Wijaya. Ada juga yang bersikap berbeda lagi, sebagian yang lain bingungkarena merasa tidak tahu duduk persoalannya. Namun sesungguhnya, setelah perangyang berlangsung seharian, para prajurit itu mengalami kelelahan luar biasa. “Apa yang sekarang kita lakukan?” tanya Rudra Narantaka yangbernama lain Guru Grahita. Rangga Bentar tidak menjawab. Lelaki bermata aneh itu merasa lebih penting melenguh melepasbeban di dadanya daripada harus menjawab pertanyaan itu. Rangga Bentar turun dari punggung kudanya, “Saya mengantuk,beri kesempatan pada saya untuk tidur.” Rudra Narantaka paham, ia tidak keberatan terhadap permintaanitu. Ia hanya memandang namun tidak ikut-ikutan tidur. Justru Rudra Narantaka kemudian berteriak, “Jangan ada yangikut tidur, semua tetap siaga di atas kuda masing-masing.” Perintah itu dirasa sebagai perintah yang aneh. Para prajurityang butuh kesempatan untuk istirahat hanya bisa mengumpat dalam hati. Merekamengalami kesulitan memahami, mengapa ketika orang bermata aneh itu tidur,kesempatan yang sama tidak diberikan kepada yang lain. Bukankah kalau sudahwaktunya berangkat tinggal membangunkan. “Awas, semua jangan ada yang berani tidur, semua tetap diatas punggung kuda, dan jangan ada yang bersuara,” ulang Rudra Narantakamenegaskan keputusannya. Dengan perasaan sangat tidak suka, para prajurit berkuda itu terpaksatetap duduk di atas punggung kuda masing-masing. Mereka tetap tak memahami, mengapatidak diberi kesempatan untuk beristirahat. Namun tak seorang pun di antaramereka yang berani mempersoalkan. Meski demikian, ada di antara para prajurityang mengakali keadaan itu dengan menelungkup di atas punggung kudanya. Rupanya, tidur yang dilakukan Rangga Bentar bukanlah tiduryang sewajarnya. Ia lakukan itu hanyalah sebuah cara untuk melacak jejak yanghilang, yang ketika tidak berhasil ditemukan melalui cara sewajarnya makadilakukanlah melalui mimpi. Meski demikian, bukan pekerjaan yang mudah bagiRangga Bentar untuk membenamkan diri di wilayah mimpi itu. Lalu terdengarlah suara batuk. Rangga Bentar amat terganggu, meski demikian ia mencobamengabaikan. Celakanya, batuk itu terdengar lagi. “Setan alas, siapa yang batuk itu?” teriak Rangga Bentar, “kalaubatuk pergi yang jauh ke Madura sana, berisik.” Prajurit yang terganggu tenggorokannya itu terkejut, ia samasekali tidak menyangka suara batuk yang keluar dari mulutnya itu bisa menjadimasalah. Prajurit itu berusaha meredam batuk yang mengkili-kili tenggorokannya.Tidak ingin timbul masalah, prajurit bertubuh kekar itu pun membawa kudatunggangannya menjauh dan semakin jauh. Di tempat yang agak jauh itu batuk yangmengganggunya tidak bisa ditahan lagi. Suasana menjadi sangat hening. Rangga Bentar benar-benarmengalami kesulitan untuk bisa menerobos wilayah mimpi karena kantuk sedangberada sangat jauh. Namun meski jauh, dengan pemusatan pikiran sepenuhnya,pikirannya pun bergoyang, dan semakin bergoyang kian lama kian tak berbentuk. Di keheningan tidurnya, cahaya yang hilang di kejauhan itumuncul kembali. 2



Kini sepenuhnya Raden Wijaya tidak berani meremehkan lagi. Iatidak berkuda di paling depan namun menempatkan diri di belakang Sorandaka yangmemacu kudanya dengan tenang. Hari semakin pagi, dan langit timur pun kemudianterbakar. Udara dingin terasa menggigit tulang, keadaan itu sangat mengganggupara istri Raden Wijaya yang tertandai dari perubahan kulitnya. Dalam keadaanyang demikian Tribuaneswari membutuhkan selimut, namun tidak ada selimut yangdibutuhkan itu, yang ada hanyalah pakaian yang sejak semula telah melekat ditubuhnya. Keadaan Narendraduhita dan Pradnya Paramita tidak lebih baik, PradnyaParamita mulai diganggu oleh demam, bibirnya yang tipis mulai pecah-pecah. Dengan terkantuk-kantuk, Pradnya Paramita berkuda. RadenWijaya cemas kalau istrinya yang cantik itu sampai tertidur karena bisaterjatuh dari punggung kudanya. Itu sebabnya Raden Wijaya kemudian menempatkandiri di belakang Pradnya Paramita. “Bertahanlah, Kangnbok Pradnya, usahakan jangan sampaitertidur.” Semua orang menoleh kepada Pradnya Paramita yang keadaannyasangat parah. Caranya berkuda sangat parah, tubuhnya tidak tegak dan sedikittertekuk. Melihat keadaan adiknya yang demikian, Tribuaneswari tak kalah cemas. “Pradnya Paramita, jangan tidur.” Tersendat sekali perjalanan itu, yang mengarah ke timur lalumembelok ke utara, mengikuti jalan setapak dan adakalanya bertemu dengan jalanyang lebih bagus. Sorandaka yang berkuda di paling depan sesekali meliriklangit, namun karena kemudian mendung muncul lagi, maka jejak para elang yangmenjadi penyambung matanya tidak kelihatan. Jangankan para elang itu, bintang-bintang pun tidak tampak. Perlahan tetapi pasti, malam yang terasa berkepanjangan ituakhirnya tergeser oleh datangnya pagi. Fajar yang juga disebut gagat rahina itu mulai membayangmenyibak warna hitam. Pendar sinar di langit timur itu dengan arah pastibergerak menuju terang. Dengan mata tidak berkedip Sorandaka yang berkudapaling depan memandang arah bagaskara yang tidak berapa lama lagi akanmenyembul di langit timur. Sorandaka barulah mengalihkan perhatiannya ketikadari langit terdengar suara melengking menyayat. Berubah dari sikap sebelumnya,yang telah mendaki puncak kemarahan karena paksi cataka itu telah melukaiwajahnya, kini Bala Sanggrama Andaka Sora merasa memiliki hubungan yang amatdekat para burung itu. “Apakah kau memiliki arah yang baru, Sorandaka?” tanya RadenWijaya. “Hamba Raden,” jawab Sorandaka tegas. Semilir angin dingin itu sungguh menyiksa, Raden Wijayaakhirnya harus melihat kenyataan tinggal dalam waktu sejengkal ke depan paraistrinya itu tidak akan kuat. “Berhenti,” kata Raden Wijaya meminta perhatian. Rombongan itu pun kemudian berhenti. Raden Wijaya mendekatkan kudanya ke arah Pradnya Paramitayang tidak mampu duduk dengan tegak. Pandang matanya penuh keprihatinan. “Bagaimana keadaanmu, Kangmbok Pradnya Paramita?” tanya RadenWijaya. Sekar Kedaton Pradnya Paramita tidak mampu menjawabpertanyaan itu. “Kita istirahat dulu,” kata Raden Wijaya. Namun Sorandaka segera membantahnya, “Tidak bisa Raden, kitaharus terus melanjutkan perjalanan. Sebaiknya, Raden berkuda berdua dengan TuanPutri Paramita.” Raden Wijaya tidak sependapat, ia menggeleng. Ucapnya, “Kita harus beristirahat.” Meski demikian, Sorandaka kukuh pada pendapatnya, “Raden,kita tidak boleh berhenti.” Sorandaka atau Lembu Sora atau yang juga dipanggil dengansebutan Andakasora itu bahkan memberi tekanan dengan nada suaranya yang tegas.Raden Wijaya terpaksa menghela napas. “Baiklah,” kata Raden Wijaya, “Kangmbok Tribuaneswari,silahkan Kangmbok berkuda dengan Sorandaka, dan kangmbok Narendraduhita,silahkan berkuda dengan Pamandana.” Tribuaneswari dan adiknya saling pandang. Tanpa bicara kakakberadik itu langsung turun dari punggung kudanya, dengan hati yang bersihTribuaneswari dan Narendraduhita siap untuk melaksanakan perintah suaminya,sebaliknya betapa bingung dan jengah Pamandana ketika harus berkuda berduadengan sekar kedaton itu. Berbeda dengan Pamandana, Sorandaka justru melihatcara itu sangat tepat untuk memperlancar perjalanan. Sorandaka merasa tidakmasalah dan harus risih. “Pamandana, gunakan kuda yang lebih kekar, sementara dua kudayang lain, pada saat yang tepat kita gunakan untuk umpan penyesatan.” Perjalanan yang sempat terhenti itu kemudian dilanjutkankembali. Paling depan Sorandaka memacu kudanya sedikit lebih kencang dan takperlu merasa khawatir dengan kemampuannya, yang meskipun bukan miliknya namunmemiliki tubuh yang kekar dengan otot-otot yang kuat. Di belakangnya RadenWijaya berusaha mengimbangi derap laju Sorandaka dengan segenap rasa khawatir.Melalui rabaan ke kening istrinya, Raden Sesuruh itu tahu Pradnya Paramitaterkena demam, tubuhnya panas dan bibirnya tampak pecah-pecah. Paling belakangPamandana berkuda dengan Pradnya Paramita, namun Pamandana juga harusbertanggungjawab pada dua ekor kuda yang tanpa penunggang, keduanya diikatdengan tali panjang.



Keprihatinan Raden Wijaya kembali terusik oleh rasa sedih yangmengental. Ingatannya pada nasib buruk yang menimpa Singasari, menimpapamannya, menimpa bibinya, dan menimpa adik iparnya menyebabkan isi dadanya kembalisesak. Namun dengan sepenuh hati dan sekuat tenaga ia harus menerima kenyataanitu. Kesedihannya atas hancurnya negeri yang dengan susah payah telah dibangunoleh para leluhurnya telah menjilma menjadi pendorong semangatnya, pada suatuketika kelak ia akan membangun sebuah negara baru, negara yang bahkan jauhlebih megah dari Singasari. Ingatannya Raden Wijaya sejenak tertuju pada cahaya berpendaryang pernah ia lihat di arah barat daya Gunung Penanggungan. Raden Wijaya telahbulat pada pilihannya, kelak negara baru yang akan dibangun itu berada ditempat itu, hutan belantara yang oleh banyak orang disebut sebagai tanah Tarikatau tanah Trik. Ketika lamunan mengayun, ingatan pemuda itu kemudian tertujuke kejadian-kejadian aneh yang selama ini dialaminya. Raden Wijaya kemudianbahkan dengan sengaja mengenang semua kejadian aneh itu satu demi satu. Sulituntuk dimengerti dan memahaminya, akan tetapi Raden Wijaya harus menerimanyasebagai sebuah kenyataan. Di belantara Dander tempat di mana dulu perang pernahberkecamuk, untuk pertama kali ia melihat barisan obor yang bergerakberloncat-loncatan. Mendiang mantan Mahapatih Raganata menyebutnya sebagaibarisan lampor. Hantu lampor itu selalu muncul di kejauhan sekali, jarang adaorang yang memergoki barisan lampor itu pada jarak dekat. Masih di belantara Ganter bekas tempat terjadinya perang yangsangat berdarah dan meminta banyak nyawa, Raden Wijaya melihat hantu berkuda.Adalah jiwa dari masa silam yang konon Adalah jiwa dari mantan mahapatih Kediriyang tersesat di alam pangrantunan,tidak tahu jalan yang harus ditempuh untuk kembali menghadap penciptanya,sebagai hantu ia menunggang kuda yang sama-sama hantu, lalu di belakangnya adapuluhan ekor kuda yang mengikutinya ke mana pun ia pergi. Gerak gerik hantuberkuda itu selalu menimbulkan suasana menakutkan karena kabut yang munculbagai diabul-abul. Di saat itu pula, untuk pertama kali ia melihat sebuah gejalaalam yang aneh, berupa bintang yang memiliki ekor, yang disebut lintangkemukus. Kemunculan bintang berekor itu, demikian kata mantan MahapatihRaganata adalah merupakan pertanda bakal terjadinya sebuah peristiwa besar,peristiwa yang terbukti ditandai dengan hancurnya sebuah negara karena serbuannegara lain, yang masih ditambah dengan nasib menyedihkan yang menimpa keduamertuanya dan saudara iparnya. Kertanegara dan Bajrawati mati dan istana dibakar hangus. Yang tak kalah menarik dan aneh adalah pertemuannya denganorang yang mampu memutar angin. Beberapa kali ia bertemu dengan orang itu,beberapa kali pula ia menolongnya. Marutalesus itu pula yang menjebol dinding istana menolong memberinya jalan untukmelarikan jasad kedua mertuanya dan adik ipar sekaligus menyelamatkan ibunya. Pikiran raden Wijaya bergerak, masih di wilayah kenangan. Ingatannyabergeser menuju peristiwa sangat aneh, namun ia berkeyakinan, di tempat anehyang muncul di tengah malam itulah ia harus memusatkan segenap perhatian.Tempat itu masih berupa belantara gunglewang lewung, yang untuk bisa menembusnya harus melalui perjuangan yangsangat berat karena dipenuhi dengan pohon pohon raksasa yang tidak tertembusdan penuh dengan binatang buas, dijejali berbagai macam hantu. Kehadirannya ketempat itu, adalah juga atas petunjuk orang yang selalu menyelubungi diridengan caping lebar itu. “Hutan Tarik,” gumam Raden Wijaya menyebut nama itu. Kenangan itu kemudian bergeser menuju ke lamunan, biladibiarkan bisa bergeser ke mimpi. Lamunan masih memiliki bentuk, mimpilah yang tidak lagimemiliki bentuk yang mampu bergeser dari satu kejadian ke kejadian yang lain, tidakberurutan atau bahkan bisa berubah dan berubah seenaknya. Lamunan Raden Wijayakarena ia sedang berkuda dan tidak sedang tidur, adalah bagaimana nantinya ia akanmembangun sebuah negara baru, sebuah negara yang megah dan besar, yang makmurmemberikan ketenangan dan kedamaian bagi segenap rakyatnya, yang memilikikekuatan prajurit yang besar dan bisa digunakan sebagai alat untuk menyatukanseluruh wilayah Nusantara. Dengan kekuatan yang sangat besar itu, iaberangan-angan akan membalas perbuatan Kediri, menggilas rajanya yang tak tahudiri, menghukum Jayakatwang atas sikapnya yang kurang ajar. Menghukum KeboMundarang dan semua pihak yang bertanggung jawab atas kematian Sri Kertanegaradan keluarganya. Dengan kekuatan diangankannya, Raden Wijaya yang bernama lainRaden Sesuruh itu akan membalas perbuatan negara kurang ajar yangberani-beraninya mengirim ancaman meminta Singasari menyatakan tunduk. Dengankekuatan berkekuatan berlipatkali lebih besar dari sekadar segelar sepapan, iabahkan akan meminta negeri Mongol itulah yang menyatakan tunduk kepada negarabaru yang diangankannya. “Berhenti,” Raden Wijaya berkata setengah berteriak. Sorandaka yang berkuda paling depan segera menarik kendalikudanya. Sorandaka terkejut melihat keadaan Sekar Kedaton Pradnya Paramita yangkeadaannya semakin menyedihkan. “Bagaimana Raden?” tanya Sorandaka sambil mendekat. Dengan perasaan cemas pula, Tribuaneswari dan Narendraduhitamemerhatikan keadaan saudara kandungnya yang pucat pasi dengan bibir yangpecah-pecah dan tarikan napas yang sangat mengombak. Tribuaneswari yangmengulurkan tangan menyentuh tangan adiknya sangat terkejut mendapati lenganitu panas sekali. “Kita membutuhkan juruusada, Raden?” tanya Andakasora. Raden Wijaya memandangi wajah sahabatnya itu dengan mulutterbungkam.



Tribuaneswari yang menjawab, “Ya, bisa mati kalau Paramitatidak segera ditolong.” Narendraduhita sama cemasnya, meskipun ia merasa keadaannyasangat tidak baik, namun ia melihat keadaan saudara kandungnya itu jauh lebihburuk. “Kakang Andakasora, kita harus mencari bantuan.” Raden Wijaya mengedarkan pandang matanya ke segala penjuru,telah berapa lama ia dan rombongannya itu menempuh perjalanan dan sudah cukuplama tak menemukan perkampungan, ia tahu, perjalanan ke depan beberapa waktunantinya tidak akan menemukan perkampungan, karena sekian tahun yang lalu,menemani mantan Mahapatih Raganata ia pernah lewat jalan itu. “Ada gubuk,” tiba-tiba Pamandana nyeletuk. Sorandaka menoleh. “Mana?” balasnya. “Itu di sana,” balas Pamandana. Raden Wijaya segera mengambil keputusan, “Ayo kita ke sana.” Menyusuri ladang yang tak terawat sedikit miring, RadenWijaya dan rombongannya segera menuju ke gubuk yang terletak di tengah ladang ganyong. Dengan penuh perhatianSorandaka memerhatikan ladang ganyong yang cukup luas yang ditanam tumpangsari dengan beberapa jenistanaman lain, terutama cabe dan kacang panjang meski ada juga jenis tanamanyang lain seperti kacang panjang dan juga kecipir, laos dan beberapa tanamanbahan jamu. Dengan cermat Sorandaka turun dari kudanya dan membantuTribuaneswari untuk turun pula. Sorandaka segera memeriksa keadaan danmenemukan kenyataan, tidak ada seorang pun di tempat itu. Meski demikian,setidaknya baru sehari yang lalu atau setidak-tidaknya kemarin sore ladang ituditengok, terlihat dari jejak perapian yang masih ada arang dan abunya. Dengan hati-hati, Raden Wijaya yang telah lebih dulu melompatturun membopong istrinya dan dengan hati-hati pula ia meletakkannya di atasbalai-balai bambu. Selebihnya, Raden Wijaya bingung tak tahu atas apa yangharus dilakukan. “Apa yang kau lakukan?” tanya Sorandaka. Pertanyaan itu ditujukan pada Pamandana. Pamandana tidak menjawab, namun ia melihat ada beberapa jenistumbuhan jamu yang bisa dimanfaatkan. Pamandana tak membuka mulut, namun dengancekatan ia bertindak. Beberapa jenis tumbuhan dikunyah-kunyahnya. “Mohon ijin, Raden,” ucap Pamandana. Raden Wijaya mengangguk. Setelah mendapat ijin, Pamandana segera bertindak, beberapajenis daun yang telah dikunyah itu kemudian dilulurkan ke kening dan leher.Tidak cukup dengan tindakannya itu, Pamandana kembali memerika beberapa jenisdedaunan. “Apakah saya bisa membantu?” tanya Sorandaka. “Buatkan perapian,” jawab Pamandana. Sorandaka bertindak cekatan, ia segera mengambil tumpukankayu kering yang sudah ada dan rupanya telah dikumpulkan oleh pemilik gubuk.Menggunakan batu titikan, perapianpun kemudian telah menyala. Beruntung sekali rombongan pelarian dari Singasariitu karena semua yang dibutuhkan ternyata telah tersedia di gubuk itu.Tribuaneswari menemukan beras, juga ada kemaronuntuk menanak nasi, bahkan bumbung bambu berisi air. “Saya harus merebus air?” tanya Narendraduhita. “Ya, Tuan Putri, jangan terlalu banyak,” jawab Pamandana. Pamandana senang karena jenis daun yang dicarinya berhasilditemukan. Beberapa helai daun itu kemudian dipetik dan dicuci di parit kecilyang mengalirkan air sangat jernih. Raden Wijaya tidak berbicara apa pun ketikaPamandana bertindak. Pemuda dari Kediri yang telah menduda itu rupanya sangatmenguasai dan memahami manfaat dedaunan dan khasiatnya. Daun-daun itu kemudiandirebus dan setelah menghangat sedikit demi sedikit diminumkan pada sekarkedaton Pradnya Paramita. Dengan penuh perhatian, Raden Wijaya memerhatikan keadaanistrinya, itulah istri yang ia bahkan belum memiliki kesempatan untuk menjamahnya.Tribuaneswari merasa takjub melihat khasiat jamu yang dibuat Pamandana itu,menilik Pradnya Paramita mulai berkeringat dan kulitnya kembali cerah. “Apakah keadaan kita aman?” tanya Raden Wijaya. Sorandaka yang ditanya berbalik. Sesungguhnya Sorandaka agakkebingungan. Ada sesuatu yang ia sudah berusaha menemukan jawabnya namun tidakkunjung ia peroleh. Melalui mata hatinya, ia bisa membayangi pergerakan musuhyang mengejarnya, justru karena itu ia melihat kenyataan yang sulit dipahami. “Mereka telah kembali bergerak dan mengarah tempat ini,mereka memotong arah,” jawab Sorandaka. Sorandaka menengadah memerhatikan lima ekor burung catakayang terbang tinggi yang secara aneh telah menjadi kepanjangan matanya. Kalaukita tidak bergeser, menjelang tengah hari nanti mereka akan tiba di sini.Raden Wijaya ikut menengadah memandang langit, yang ditiru oleh Pamandana yangjuga mengarahkan pandang matanya ke arah lima ekor paksi cataka atau rajawaliyang terbang di sana.



“Jadi mereka tahu kita telah mengubah arah?” Sorandaka berpikir keras, namun ia tidak menemukan jawabnya. “Itu yang membuat hamba bingung Raden, kita telah mengubaharah perjalanan, akan tetapi entah mengapa mereka bisa tahu dan memperbaikiarah.” Raden Wijaya berjalan mondar-mandir seraya memperhatikankeadaan di sekitarnya. “Tidakkah kau memiliki gambaran, bagaimana cara mengecohmereka?” Sorandaka terdiam, beberapa saat ia berpikir namun tidakberhasil memperoleh jawaban. Tribuaneswari datang mendekat, “Paramita membaik, obat yang diberikanpadanya ternyata sangat berkhasiat,” ucapnya. Raden Wijaya menoleh dan memerhatikan istrinya yang sedangsakit dari kejauhan. Rasa kagumnya tidak tercegah, ia merasa berhutang budipada Pamandana yang ternyata memiliki kemampuan tidak terduga. Raden Wijayamengernyit sedikit kurang paham dengan apa yang dilakukan Pamandana yangmelangkah menjauh. Namun jawabannya segera diperoleh ketika melihat Pamandanaitu kemudian memanjat pohon kelapa dengan gesit. “Kangmbok mau kelapa muda?” tanya Raden Wijaya. Narendraduhita mengangguk, “Mana?” tanyanya. “Itu lihat,” balasnya. Di arah pandang mereka, Pamandana memanjat kelapa dengangesit dan cekatan sangat mirip kera. Sudah menjadi pekerjaannya sehari-hariketika ia masih tinggal di Kediri untuk memanen kelapa yang kemudian dijadikanminyak, dengan jenis pekerjaan macam itulah ia menghidupi keluarganya. Meskihanya dengan membuat dan menjual minyak kelapa, Pamandana mampu hidup layak dantidak merasa kekurangan. Hanya dengan meraba dan sedikit mengguncangnya,Pamandana bisa membedakan mana kelapa yang masih muda dan mana yang sudah berminyak.Pekerjaan memanjat kelapa itu selanjutnya pernah ia berikan pada seekor beruk. Pamandana telah menurunkan beberapa butir, namun saat iaberada di atas itu, ia sempatkan memerhatikan keadaan di segala penjuru. “Apa yang tadi kau lihat ketika berada di atas?” tanyaSorandaka. Pamandana tidak menjawab, sebaliknya ia justru bertanya,“Sebaliknya apa yang bisa kau lihat?” “Ada kebakaran di sana?” tanya Sorandaka. Pamandana mengangguk membenarkan. Raden Wijaya menghela napas amat dalam, ia semakin melihat kebenarankemampuan aneh yang telah dimiliki anak buahnya itu. Bahwa Sorandaka bisamelihat kebakaran yang dibenarkan Pamandana, maka apa yang disampaikansebelumnya berarti benar juga. “Kalau mereka bisa mengetahui ke mana pun kita pergi, laluuntuk apa kita harus mengubah-ubah arah? Bukankah gerakan mereka kian lama akankian dekat dan jarak yang membentang dengan kita akan semakin dekat pula?” Sorandaka tidak bisa memberikan jawaban. Raden Wijaya berpikir keras. “Kita ke Tarik,” tiba-tiba letupnya. Sorandaka agak terkejut. “Ke Tarik?” “Ya, kita ke Tarik. Baru kita lanjutkan perjalanan keLulumbang.” “Ke Tarik, itu berarti kita akan kembali ke barat dan malah akanmemperpendek jarak?” Raden Wijaya tidak bisa menutupi keresahannya, ia bangkit. “Kita manfaatkan untuk beristirahat dan memberi kesempatanpada kuda-kuda kita untuk mengumpulkan tenaga. Kemudian segera kita tinggalkantempat ini.” Lalu tidak ada pembicaraan lagi. Tribuaneswari danNarendraduhita sadar benar, bahwa perjalanan selanjutnya adalah perjalananantara hidup dan mati. Kini mereka tahu , bahwa musuh memiliki kemampuanmelacak jejaknya ke mana pun mereka bergerak. Untuk perjalanan ke depan itunantinya dibutuhkan tenaga, itulah sebabnya mereka harus makan. Meski dengankelapa muda yang diserut, mereka harus mengisi perut, demikian juga PradnyaParamita harus makan meski jenis makanan yang aneh, apalagi kelapa muda itudimakan pagi hari, sungguh amat tidak lazim. Setelah sejengkal waktu, “Bagaimana keadaanmu, Kangmbok?” tanya Raden Wijaya. “Baik, kakang Raden,” jawab Pradnya Paramita. “Kuat untuk melanjutkan perjalanan lagi?” tanya suaminyalagi. Pradnya Paramita mengangguk. Tak perlu ditunda lagi, perjalanan yang dibayang-bayangi olehbahaya besar itu kemudian dilanjutkan lagi. Sorandaka sebagai yang palinggelisah karena bisa melihat langsung pergerakan musuh yang mengejar harusmemutar otak dalam menentukan arah yang dituju. Di paling depan Sorandakaberkuda bersama Tribuaneswari yang tidak merasa risih



berpegangan pinggangnya,di belakangnya Pamandana terus mengimbangi laju temannya itu dengan kecepatanyang sama, di paling belakang Raden Wijaya berkuda tanpa bicara. Lalu tibalah ketika Sorandaka mengambil arah yangmengagetkan. “Kenapa belok kanan?” tanya Raden Wijaya. “Hamba harus merasa yakin apakah mereka benar mengetahuipergerakan kita atau hanya sebuah kebetulan belaka. Kita belok kanan, lalumembelok kekiri lagi di punggung bukit dan kita akan menemukan jalan yang lebihbaik yang akan membawa kita ke Pasuruan, meski perjalanan kita akan sedikitlebih jauh. Dari Pasuruan kita akan membelok ke barat, saya tahu sebuah jalansetapak yang bisa kita lewati. ” Raden Wijaya mengangguk, ia melirik ke belakang atas, di sanaburung cataka kepanjangan mata Sorandaka sedang terbang berputar. “Terserah kamu,” ucapnya. “Pamandana, sekarang lakukan penyesatan, lepaskan dua ekorkuda itu ke arah kiri,” lanjut Sorandaka. Pamandana tak perlu menjawab, perintah itu pun segeradilaksanakan. Dua ekor kuda yang terikat tali tanpa penumpang di belakangnyadiarahkan ke kiri. Lecutan cambuk yang meledak menyebabkan dua ekor kuda tanpapenunggang itu lari tunggang langgang menuju ke arah yang dikehendaki. Sorandakakemudian membawa kudanya turun ke parit kecil dan berpacu ke arah hulu. “Kenapa kita berkuda di air?” tanya Tribuaneswari. “Untuk menghapus jejak kuda Tuan Putri,” jawab Sorandaka. Raden Wijaya dan Pamandana mengikuti contoh yang diberikanSorandaka. Beberapa saat mereka berkuda di parit yang memanjang ke selatan.Berkuda di parit itu juga membingungkan Narendraduhita dan Pradnya Paramita. Adabagian yang lebih rata di sebelahnya, mengapa justru pilih melintas di parit. “Kenapa kita menyusur parit, Kakang Raden?” tanya PradnyaParamita. “Untuk menghapus jejak, Kangmbok. Kita berharap orang-orangKediri itu terkecoh, mereka akan mengejar umpan yang baru saja kita lepaskan,sementara kita justru mengarah ke arah lain.” Jawaban itu agak mengagetkan Pradnya Paramita, ia tidakmenyangka berkuda menyusur parit yang dilakukan itu ternyata bukannya tanpamaksud. “Kakang Raden, kenapa Kakang Raden masih memanggil sayaKangmbok. Saya sekarang sudah menjadi istri Kakang Raden, demikian pula dengan MbakyuTribuaneswari dan Mbakyu Narendraduhita. Sebaiknya jangan memanggil Kangmboklagi.” Raden Wijaya tersenyum, ia merasa tidak perlu menjawabpertanyaan itu. Adalah sementara itu. Sepeninggal Raden Wijaya dan rombongannya, ada seoranglaki-laki yang kebingungan. Ia bernama Durma dan berusia lima puluhan tahun.Bingung dan marah yang datang mendadak itu langsung memuncak, ketika mendapatigubuknya acak-acakan. Tak hanya gubuknya, akan tetapi tanamannya porak poranda,ditandai oleh jejak-jejak kuda pula. Durma juga melihat peralatan di dapurtelah digunakan, bekasnya tidak dicuci. “Setan alas,” umpatnya. Durma segera melakukan pemeriksaan, ia mendapati tanamancabenya bosah-baseh padahal beberapapekan ke depan tanaman itu akan dipanen dan hasilnya akan dibawa menggunakankereta kuda menuju pasar di kotaraja Singasari. Kemarahan Durma semakinmendidih melihat ada jejak-jejak kelapa muda yang dibelah dan air di tempayanyang habis. “Perbuatan siapakah ini?” tanya Durma yang sangat jengkel. Rasa ingin tahu Durma mendorong untuk melakukan pemeriksaanlebih jauh. Durma segera berlarian untuk mencari tahu jejak jejak yangtertinggal di ladangnya. Durma mendapati ada banyak sekali jejak yang segeramenyadarkannya pada sebuah kecurigaan. “Para prajuritkah?” tanya lelaki itu. Menyadari jejak kuda itu mungkin berasal dari para prajurit,dengan seketika kemarahannya lenyap dan berubah menjadi rasa takut. Bulukuduknya bangkit. Ia sadar, lebih baik menghindari dari berurusan denganprajurit yang tak segan-tak segan mengayunkan kepalan tangannya.



Banjir Bandang dari utara 2 March 25, 2014 at 7:15am



Durma kembali ke gubuknya. “Hanya prajurit yang berkuda berombongan, beruntung sayakarena tidak bersirobok dengan mereka, bisa mati saya kalau marah-marah dantidak terima ladang saya diacak-acak seperti ini.” Berdebar-debar jantung lelaki paro baya itu menyadari keadaanyang sedang dihadapinya. Ia melihat, kerusakan yang ditimbulkan oleh entahsiapa itu tidak terlampau parah. Bahkan terlihat jelas, jejak kuda-kuda itumelewati antara pematang yang tidak ada tanamannya. Jika ada yang membuatnyabingung adalah sisa daun-daun dan sesuatu yang tak dikenal di tempayan. Denganhidung peseknya ia membaui. “Apa itu?” lelaki itu tertegun, ia melihat sesuatu. Ada sesuatu yang menarik amat perhatiannya. Sebuah kampil berukuran kecil digantungkan disalah satu tiang. Dengan penuh rasa ingin tahu Durma meraihnya dan membukanya. MakaTerbelalak Durma melihat apa yang ada di dalam kampil kecil itu. Dengan penuh perhatian, Durma memerhatikannya. “Emas,” gumamnya, “ini emas?” Durma menjambak kepalanya sendiri, mencubit lengannyasendiri, ia melakukan itu karena takut untaian emas itu hilang, ia takut semuayang dialaminya itu hanya sekadar sebuah mimpi. Terbelalak yang ia lakukanmenyebabkan matanya nyaris lepas dari kelopaknya. “Terimakasih, terimakasih,” Durma menjerit panjang dan kerassekali. Dengan sangat takjub ia menimang emas yang berada dalamgenggamannya, lelaki itu pun kemudian berjingkrakan meniru lagak orang yangtidak waras. “Silahkan Tuan-tuan, silahkan kalau mau mengaduk-aduk ladangsaya, saya sama sekali tak keberatan. O, terimakasih banyak, matur sembah nuwun.” 3 Beberapa saat setelah semua kejadian itu. Betapa terkejut Sorandaka menemukan kenyataan yang samasekali tidak terduga. “Ada apa?” tanya Pamandana yang berkuda tepat di belakangnyadan nyaris menabraknya. Sorandaka tidak bisa menutupi rasa kagetnya. Setelahmemejamkan mata pemuda itu segera menengadah memandang langit, pandang matanyatertuju pada lima ekor rajawali yang terbang tinggi. Seolah kepada para rajawaliitulah rasa herannya dialamatkan, seolah pada mereka ia harus mendapatkanjawabnya, mengapa. Namun pancarajawali itu tidak memberinya jawaban. Tugas mereka hanyalah merupakankepanjangan matanya, sebaliknya kenapa rombongan para pengejar itu bisa terusmengikuti gerak geriknya, sama sekali bukan urusan mereka. “Ada apa?” tanya Raden Wijaya. “Mereka tahu,” jawab Sorandaka. “Mereka tahu apa?“ “Mereka memotong arah mengambil jarak terdekat, mereka samasekali tidak terpengaruh oleh jejak penyesatan yang kita tinggalkan. Namunseperti halnya hamba bisa melihat mereka, mereka juga bisa melihat kita.” Raden Wijaya terdiam, Pamandana juga terdiam. Gelisah segeramemancar dari wajah para sekar kedaton. Tribuaneswari cemas membayangkan entahapa yang akan terjadi di sejengkal waktu ke depan, pun demikian pula denganPradnya Paramita dan Narendraduhita. Para sekar kedaton itu tidak mampumenutupi rasa cemas dan gelisahnya. “Duh, bagaimana ini?” letup Pradnya Paramita. Sorandaka berpikir keras, ia melompat turun dari kudanya danmembiarkan Tribuaneswari di atas punggung kudanya. Lalu tiba-tiba wajahSorandaka berubah. Ia memandang Raden Wijaya dengan tajam. “Kenapa?” tanya Raden Wijaya heran. Sorandaka mengarahkan pandang matanya kepada Tribhuaneswari. Tribuaneswari sama heran dengan suaminya, dari raut wajahnyamemancar rasa penasaran. “Ada apa Kakang Sorandaka?” tanya perempuan itu. Sorandaka mengunyah sesuatu yang sesungguhnya tidak ada dimulutnya. Demikianlah lagak pemuda itu ketika ia mkerasa curiga. “Tuan Putri membawa apa?” tanya pemuda itu. “Saya tak membawa apa pun,” jawab Tribuaneswari, “hanyapakaian yang melekat di tubuh saya ini.” Sorandaka menoleh, kali ini pandang matanya yang tajam penuhselidik itu diarahkan kepada Narendraduhita. “Tuan Putri membawa apa?” tanya Andoka Sora, mengulangpertanyaan yang sama.



Narendraduhita menggeleng. “Sebenarnya apa yang kau cari?” tanya Raden Wijaya. Sorandaka menengadah, ia merasa mempunyai sebuah dugaan, yangia bahkan merasa yakin curiga yang mengganggu benaknya itu benar adanya. Dengantak berkedip, Sorandaka menatap wajah anak menantu raja yang baru saja pralaya itu. “Raden, apakah saat ini Raden membawa keris Empu Gandring?” Sorandaka memandang tak berkedip. Pertanyaan itu menyebabkan suasana menjadi sangat hening,pertanyaan itu menyebabkan Raden Wijaya seperti kehilangan mulut. Beberapa saatlamanya, Raden Wijaya memilih diam, sementara ketiga istrinya semua mengarahkanpandang mata kepadanya. Raden Wijaya akhirnya mengangguk. “Karena keris yang saya bawakah, yang menyebabkan mereka bisatahu di mana pun kita berada?” Sorandaka mengangguk. “Hamba menduga demikian, Raden,” jawabnya. Raden Wijaya melompat turun dari kudanya dan memberikankendali kuda kepada istrinya. Pradnya Paramita sepenuhnya mengendalikan kudaitu, dengan lembut ia mengelus punggung dan perutnya. Diperlakukan denganlembut dan penuh kasih sayang, kuda itu manggut-manggut. “Baiklah,” kata Raden Wijaya, “kau buktikan kecurigaanmu.Ambillah jalan berbeda untuk membuktikan dugaanmu benar adanya. Saya akanmengambil arah melambung sebagaimana yang kau kehendaki, saya akan meninggalkanpesan pada Ki Buyut Pasuruan.” Raden Wijaya mengakhiri ucapannya seraya memejamkan mata. Namun mengheningkan cipta yang dilakukan anak menantu RajaSingasari itu bukan tanpa maksud. Ketika pemuda itu mengangkat kedua tangannyadi atas kepala, sejatinya ia berusaha mengeluarkan sebilah keris yang ia simpandi benaknya, itulah keris yang bukan jenis senjata sembarangan, keris ituadalah buatan Empu Gandring yang namanya banyak disebut sejak awal pemerintahanSingasari bahkan hingga berakhirnya negara Singasari. Keris buatan Empu dariLulumbang bernama Gandring itu bermuatan kutukan dan mengerikan. Keris itu jugamemiliki pengaruh buruk pada siapa yang memegangnya. Sri Kertanegara yangsempat memegang pusaka itu bahkan pernah kehilangan kendali. Dengan jantung bagai berhenti berdegup, Sorandaka danPamandana menunggu apa yang akan terjadi. Tribuaneswari dan kedua adiknyabingung karena memang tidak tahu persoalan yang sedang dihadapinya. Betapa kaget ketiga perempuan itu saat dengan tiba-tibamelihat sesuatu yang aneh. Tangan Raden Wijaya yang mengepal di atas kepala itumendadak berasap, yang meski tipis akan tetapi terlihat jelas dan mengombak.Lebih terhenyak lagi, segenap sekar kedaton itu melihat di tangan Raden Wijayatelah tergenggam sebilah keris. “Jagad Dewa Batara,” gumam Tribuaneswari yang kaget bukankepalang. Raden Wijaya menurunkan tangannya dan memandangi keris itu. Berdegupjantung Bala Sanggrama Pamandana menatap. Sudah lama sekali ia mendengar ceritatentang keris bermuatan kutukan, keris buatan Empu Gandring dari Lulumbang,itulah keris yang telah memangsa banyak nyawa, dari nyawa pembuatnya sendiridan nyawa raja-raja Singasari yang harus membayar perbuatan Ken Arok karenamembunuh penciptanya, “Kau sadar sepenuhnya apa yang akan berubah padamu karenamenggenggam pusaka ini?” tanya Raden Wijaya. Sorandaka mengangguk, “Hamba Raden,” jawabnya. “Baik, ambillah jalan berbeda. Kelak kau harus mengembalikanpusaka ini pada saya,” lanjut Raden Wijaya. Sorandaka menerima keris itu dan mengangkatnya tinggi-tinggidi atas kepala. Tanpa pamit, Sorandaka tiba-tiba melesat larisekencang-kencangnya memisahkan diri dari rombongannya. Raden Wijaya mengikutigerak lincah yang dilakukan sahabatnya itu hingga akhirnya hilang di balikrimbun pepohonan. “Kenapa Kakang Sorandaka tidak membawa kuda?” tanyaTribuaneswari. “Karena Kangmbok yang lebih membutuhkan,” jawab Raden Wijaya. Mendengar jawaban itu Pradnya Paramita tersenyum. “Kenapa Kakang Raden masih memanggil kami bertiga Kangmbok?Bukankah kami telah menjadi istri Kakang Raden?” Raden Wijaya termangu, apa yang diucapkannya merupakan halyang berbeda, “Ayo segera kita lanjutkan perjalanan ini, kita usahakan berkudasecepatnya karena mereka yang mengejar kita sedang membalapkan kudanya dengankecepatan tinggi. Jarak di antara kita semakin lama akan semakin dekat.” Raden Wijaya kembali melompat ke atas punggung kudanya, iamenempatkan diri di paling depan, memberi contoh pada rombongannya. Di belakangRaden Wijaya yang berkuda dengan Pradnya Paramita, diikuti Tribuaneswari yangkini berkuda sendiri. Paling belakang, Pamandana berusaha mengimbangi laju yanglain.



Sebenarnyalah apa yang diperhitungkan Sorandaka benar adanya.Di pandangan mata batin Rangga Bentar yang berada nun jauh di belakang terlihatjelas bilah keris yang menjadi penuntun arahnya itu kembali bergerak. Iatersenyum karena bisa melihat perubahan arah itu dengan jelas, ke mana punperginya mudah untuk mengikutinya. Guru Grahita menerjemahkan petunjuk yang ia terima daritemannya itu dengan berteriak keras, “Ayo kita percepat laju kuda kita, merekamembelok ke kanan. Kita adang mereka di Srambatan.” Adalah Bala Sanggrama Sorandaka yang kali ini bergerak tanpakuda, merasa takjub pada keris Empu Gandring yang kini berada dalamgenggamannya. 4 Mundur ke waktu sebelumnya, ketika malam masih berbulan,meski doyong ke barat dan sang waktu mendekati gagat rahina. “Apa yang kau lihat?” tanya Nambi. Pawagal yang baru saja melakukan tugas sandi merasa perlumenata napasnya supaya tidak terengah. Pakaian yang dikenakannya kotor sekalikarena untuk tugasnya ia harus merayap di tanah, merangkak seperti perbuatankadal. “Sangat jelas, tempat ini akan disergap. Saya mendengar suaraKebo Mundarang, meski tidak melihatnya secara langsung, namun saya tentu tidakakan lupa pada suaranya.” “Mereka di mana?” tanya Nambi lagi. “Mereka masih di perkampungan itu.” Nambi memerhatikan suasana jauh di depannya, berupaperkampungan yang terlihat remang dan kabur, yang seperti memiliki pelataranberupa sebuah padang luas sebagian gundul dan yang lain lebat oleh tumbuhanperdu. Apabila sekadar melihat dengan mata telanjang tidaklah tampak sesuatuyang mencurigakan, akan tetapi di balik bongkahan batu sebesar sapi, di baliksemak dan perdu pasukan yang melakukan pengejaran itu mulai merayap di tanah. “Bukan main,” gumam Nambi. “Apa yang bukan main?” Kebo Kapetengan bertanya. “Apa yang disampaikan Sorandaka ternyata benar,” jawab Nambi. “Seberapa besar kekuatan mereka?” tanya Gajah Pagon. “Mungkin lebih dari dua ratus orang,” jawab Pawagal, “ataubahkan bisa lebih banyak lagi. Di halaman sebuah rumah saya melihat ada banyaksekali orang yang sedang mendengarkan apa yang disampaikan Kebo Mundarang.” “Lebih dari dua ratus orang?” ulang Nambi. “Pokoknya banyak,” jawab Pawagal. Kemudian hening, semua berpikir keras. Segenap Bala Sanggrama itu sadar bahwa tidak ada gunanyamenghadapi musuh dengan jumlah yang jauh lebih besar. Dalam siasat perang,apabila menghadapi jumlah musuh yang jauh lebih besar, maka yang harusdilakukan adalah melakukan perang gerilya. Musuh lengah musuh diserang, lalulari. Diserang lagi ketika lengah, lalu lari lagi. Demikian seterusnya hinggatiba saatnya kesempatan besar terbuka, apabila kesempatan ada, dilakukanserangan dadakan dengan kekuatan penuh. Meski musuh jauh lebih besar, seranganmendadak biasanya mampu membuat lawan yang jauh lebih besar itu kocarkacir,contohnya adalah Tumapel yang menghancurkan Kediri saat itu. Menjelang pagi,ketika segenap prajurit Kediri sedang tidur, Tumapel melakukan seranganmendadak dan mematikan yang menyebabkan pasukan Kediri hancur. Contoh yang lainadalah apa yang baru saja dilakukan Kediri terhadap Singasari, serangan yangmereka lakukan di pagi juga bersikap dadakan. Namun kehancuran Singasari bukankarena serangan dadakan itu, akan tetapi lebih karena Singasari dalam keadaankosong, segenap prajuritnya sedang dikirim ke Sumatera. “Kita harus menghindar,” kata Nambi. “Ya,” jawab Ranggalawe tegas, “dan saya memiliki arah yangakan menumpulkan gerakan mereka. Kita menuju Kali Pasir Jenar, kitamenyeberangi Kali Pasir Jenar, setelah berhasil menyeberang kita hancurkanjembatannya, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau mereka akan memaksamengejar harus melalui jalan melingkar, yang itu akan jauh sekali.” Kebo Kapetengan mengernyit. “Jembatan?” “Ya, jembatan,” jawab Ranggalawe. “Apakah ada jembatan yang melintas Kali Pasir Jenar?” tanyaKebo Kapetengan heran. “Ada, saya pernah melintas kali itu, saya tahu di manaletaknya.” “Bisa dilewati kuda?” “Bisa,” jawab Ranggalawe, “saya pernah melompati jembatanitu.” Nambi menengadah memerhatikan letak lintang panjer esuk yang kehadiran dan letaknya menandakan pagihari akan segera tiba. “Kalau begitu, menunggu apa lagi?” letup Medang Dangdi.



“Tunggu, kita pancing mereka supaya mengikuti jejak kita,”kata Nambi. Tak seorang pun yang tidak sependapat dengan apa yangdisampaikan Nambi, karena jejak palsu yang diumpankan itu akan semakinmenjauhkan Raden Wijaya dan para istrinya dari mara bahaya. “Besarkan perapian,” kata Nambi. Nambi tidak sekadar memberi usulan, namun ia sendiribertindak. Kayu kering banyak dan berlimpah di tempat itu, juga sebuah pohonambruk karena mati, batang kayunya melapuk. Para kayu kering itu kemudiandilemparkan ke dalam api yang semula disamarkan hingga akhirnya api itu punmembesar. Umpan yang dilemparkan disambar ikan. Api itu segera menjadi pusat perhatian dari ratusan orangyang bergerak mendekat dengan cara merayap. Kebo Mundarang bahkan melihatsecara langsung arah api itu. “Orang-orang bodoh,” gumamnya, “mereka malah menunjukkandengan jelas di manakah mereka berada.” Siasat penyergapan yang diperintahkan Kebo Mundarangbenar-benar dilaksanakan dengan kesigapan tertinggi. Lebih dari tiga ratusprajurit itu bergerak merayap dengan ancaman, jika ada yang menyembulkankepalanya atau memperdengarkan suara batuk akan dihukum mati. Bahkan para BalaSanggrama sama sekali tidak berhasil menandai pergerakan musuh itu meski merekatelah menandai kehadirannya. Kebo Mundarang yang tidak ingin sergapan yangdiinginkan kali ini gagal mengatur siasat dengan cermat. Pasukan berkuda yangada ditugaskan untuk bergerak melambung yang nantinya akan melakukan sergapan daribelakang musuh, dengan demikian, rombongan Raden Wijaya itu tak mungkinmeloloskan diri. Apabila rombongan Raden Wijaya itu berhasil disergap, makapesta pora yang sesungguhnya akan dimulai. Siapa pun kelak boleh menjarah parasekar kedaton, akan tetapi orang pertama yang boleh mencicipi adalah KeboMundarang, yang lain boleh menonton apa yang akan ia lakukan. Langit timur merona. Membara. Langit yang berubah warna itu menjadi perhatiannya, sebentarlagi warna langit akan terus bergerak dan berubah warna, menjadi merah dansemakin terang, hingga kemudian bakal masuk ke terang benderang, diawali olehmunculnya matahari dari balik lekuk lereng Gunung Semeru di arah timur,matahari yang juga disebut bagaskaraatau sang surya itu akan memanjatnaik dan muncul dari balik arga yangmenjulang dan selalu berasap itu. “Kenapa mereka belum melakukan apa-apa?” tanya Nambi memecahkeheningan. Keadaan yang demikian itu memang sangat memancing kecurigaan,karena sejauh pandang mata diarahkan tidak terlihat jejak apa pun. “Jika kau seorang ahli siasat perang, untuk menyergap kitadan memberikan jaminan supaya tidak lolos, apa yang akan kau lakukan?” tanyaNambi ditujukan pada Ranggalawe. Ranggalawe naik ke atas punggung kudanya, ia tidak duduknamun berdiri. “Mereka harus merayap mendekat,” jawab Ranggalawe. “Hah?” letup Pawagal, “sebelah mana?” Ranggalawe kembali melompat turun. “Jika saya Kebo Mundarang,” Ranggalawe berkata, “maka sayaakan perintahkan pada para prajurit bawahan saya untuk mendekati tempat inijangan sampai terlihat. Satu-satunya cara hanya dengan meniru ular, atau menirubuaya.” “Merayap,” ulang Nambi. “Ya, merayap,” Ranggalawe memberikan tekanan. “Bagaimana dengan prajurit berkuda? Bukankah Kebo Mundarangpasti menggerakkan para prajurit berkudanya?” Gajah Pagon ikut bertanya. “Tentu,” kata Ranggalawe, “jika saya Kebo Mundarang, makasaya akan menggerakkan para prajurit berkuda untuk bergerak melambung menyusurbayangan padukuhan di utara itu, pasukan berkuda itu selanjutnya akanmenempatkan diri di belakang kita. Kita terkepung dari segala arah dan tidakmemiliki jalan keluar.” Hening melintas, hening mengunci semua mulut. “Gila,” letup Nambi. “Kenapa?” tanya Ranggalawe. “Perhitunganmu benar.” “Lalu kenapa mereka tidak segera menyerang?” Kebo Kapetengannyeletuk. Ranggalawe tiba-tiba meletakkan jari tangan di mulutnya,isyarat agar semua orang diam. Anak Banyak Wide atau Arya Wiraraja itu kembalimelompat ke atas punggung kudanya dan memerhatikan segala arah. “Mereka sudah dekat, lihat perdu yang di sana itu?” “Ya,” jawab Nambi. “Mereka sudah menempatkan diri di sana.” Nambi mempersiapkan anak panahnya, ia merasa sudah tibasaatnya mempersiapkan diri.



Ranggalawe menoleh ke arah utara, ia berusaha menemukan jejakyang dicarinya. Pemuda dari Madura itu berhasil menemukan apa yang ia cari. Pundemikian juga saat ia melihat arah selatan, ia merasa yakin dengan temuannya,pasukan musuh yang bergerak merayap itu semakin mendekat dan sangat mungkinmereka sedang menunggu aba-aba. Sebuah isyarat yang dilepas akan menggerakkanmereka sambil bersorak sorai. “Saya melihat gerakan di selatan kita,” kata Gajah Pagon. “Ya, saya juga,” tambah Kebo Kapetengan, “tetapi merekamenunggu apa?” Ranggalawe merentang gendewa. “Itu karena mereka menunggu pasukan berkuda siap mencegat dibelakang kita.” Hening menyelinap, Nambi menimbang. “Kalau begitu sudah waktunya kita bergerak, kita ikuti arahyang akan diambil Ranggalawe. Siapkan anak panah,“ kata Nambi. Perintah itu segera dilaksanakan, segenap bala sanggramatanpa Sorandaka, Pamandana dan Wirota Wiragati itu segera merentang busur danmemasang anak panah. Sorandaka boleh jadi pemanah terbaik dan tanpa tanding,akan tetapi Bala Sanggrama pada umumnya pemanah yang pilih tanding. Nambimemasang anak panah tak hanya sehelai, akan tetapi tiga sekaligus, dengansekali lepas tiga helai warastra akanlangsung melayang. Tidak hanya Nambi, Ranggalawe pun juga melakukan, demikianpula dengan Medang Dangdi, Banyak Kapuk, Gajah Pagon, Pawagal dan KeboKapetengan, masingmasing menyiapkan tiga helai anak panah. “Tembak!” Nambi memberi isyarat. Perintah telah diberikan, maka anak panah yang diarahkan keatas itu pun kemudian dilepas. Anak panah itu melesat cepat membubung memanjatlangit. Tanpa sadar, Nambi melepas anak panah sanderan, suara melengking tinggiitu menjerit ke segala penjuru. “Tembak lagi,” kali ini Ranggalawe yang memberi isyarat. Warastra panah yang telah dipasang digendewa kembaliditerbangkan menyusul anak panah sebelumnya. Adalah para prajurit Kediri yang sama sekali tidak mendugaakan mendapatkan serangan yang demikian telak. Prajurit Kediri yang bernasibsial terhajar anak panah terkejut dan menjerit keras, kesakitan yang merekaalami tidak terukur. Serangan anak panah yang tidak diduga oleh pasukan Kediri itusekaligus merupakan isyarat bagi mereka untuk bergerak. “Serbuuu!” terdengar teriakan keras sekali. Teriakan itu menjadi isyarat bagi seluruh pasukan yangtersebar di semua arah. Bagai mayat-mayat yang bangkit dari kubur, tiba-tibahamparan tanah luas itu dijejali oleh tubuh-tubuh yang berlarian dari segalaarah kecuali dari timur. Dari barat para prajurit berjumlah seratusan itubergerak sambil berteriak-teriak dan mengacungkan senjatanya, dari arah utaramenyambung ke pasukan yang datang dari barat, seratusan prajurit juga berusahabergerak secepat-cepatnya, juga demikian pula dengan pasukan yang datang dariselatan menyambung pasukan dari barat tidak kalah bernafsu, mereka bergerak sambilberteriakteriak. Segala macam senjata mereka siapkan untuk meringkus buronanmereka. Pasukan dari Kediri itu amat bernafsu karena membayangkan pesta macamapa yang akan bisa mereka lakukan bila bisa mendapatkan para sekar kedaton. “Ayo kita pergi,” kata Nambi. Nambi langsung memberi contoh dengan melompat ke ataspunggung kudanya. Contoh itu segera disusul dan diikuti olah bala sanggramayang lain. Akan tetapi Ranggalawe sangat tergoda oleh barisan pasukan musuhyang seperti muncul dari tanah yang merekah itu. Dengan terukur setiap lembaranak panah yang ia lepaskan menjadi jaminan terpisahnya nyawa dari tubuh yangmenjadi sarangnya. Selembar anak panah melesat dari gendewanya, maka selembarnyawa akan melayang. Ranggalawe semakin bernafsu dan kembali melepas anakpanahnya. “Lawe, cepat tinggalkan tempat itu,” teriak Nambi. Namun Ranggalawe merasa keadaan masih aman, ia tidak maukehilangan kesempatan untuk membalas perbuatan musuh. “Cepat Lawe,” teriak Medang Dangdi yang merasa cemas. Ranggalawe masih menebar kematian melalui panah danpisau-pisau terbangnya, terjungkal dan kembali terjungkal prajurit Kediri olehperbuatan Ranggalawe. Ranggalawe merasa masih punya waktu untuk menyelamatkandiri. Tangannya mengayun dan terus mengayun melepas pisau pisau terbangnya. Yang tidak diduga Ranggalawe adalah perbuatan kudanya yangketakutan melihat gerakan ratusan orang yang mengacungkan senjata sambilberteriak-teriak itu. Kuda itu berderap pergi meninggalkannya. “He, jangan, teriak Ranggalawe.” Namun terlambat, kuda tunggangannya itu telah terlanjurberderap kencang. Kuda itu bukan jenis kuda bodoh, ia bisa membedakan manabahaya dan mana yang bukan bahaya. Ranggalawe pun berlari lintang pukang berusaha menyelamatkandiri dari hujan anak panah balasan yang ditujukan kepadanya. “Sial,” umpat Ranggalawe. Nambi merasa cemas melihat perkembangan yang tidak terdugaakibat kecerobohan yang dilakukan oleh temannya itu.



Ia berteriak, “Kita kembali.” Ranggalawe benar-benar berada dalam bahaya karena kepungan setengahlingkaran itu kian mendekatinya, terutama dari sayap kanan dan kiri. Nambitidak mau berjual mahal dengan sisa senjatanya, anak panah yang berada diendongnya dihamburkan untuk memberikan ruang. Apa yang ia lakukan itu sangatmembantu, paling tidak karena gerakan setengah lingkaran dari sayap kanan ituagak terhambat. Melihat ruang ada di sebelah kanan, Ranggalawe bergerak kekanan. Medang Dangdi berderap memacu kudanya dengan kencang, sambilmengayunkan senjata pedang panjangnya berusaha menerabas ujung setengahlingkaran sebelah kanan. Ketika saatnya dirasa tepat, ia membelok mengarahtemannya. Dengan tangkas, Ranggalawe melompat. “Setan alas,” umpat Ranggalawe. Medang Dangdi tertawa bergelak. “Kejar kuda saya itu, kuda sialan,” kata Ranggalawe. Medang Dangdi memenuhi permintaan itu, dengan kecepatantinggi ia mengejar kuda milik Ranggalawe yang terbukti tidak setia padaTuannya. Dari punggung kuda ke punggung kuda anak Banyak Wide atau Arya Adikaraitu melompat. “Kuda nakal,” kata Ranggalawe. Membalap bagai kesetanan, Ranggalawe mengarahkan kudanyasearah Nambi dan teman-temannya yang telah berpacu lebih dulu. Apa yangdilakukan Bala Sanggrama itu benar-benar di saat yang tepat karena bila tidak,nasib mereka akan berakhir. Dari arah timur, tiba-tiba riuh oleh suarateriakan-teriakan pasukan berkuda yang muncul mendadak dari balik pepohonan.Medang Dangdi yang nyaris tersambar anak panah, segera membalas dengan melepasanak panah. Salah seorang prajurit Kediri terjungkal dengan kudanya, menyebabkandua prajurit yang berkuda di belakang prajurit itu ikut terjungkal. “Setan alas,” umpat Kebo Mundarang. Agak terhenyak Ranggalawe mendengar suara yang sangatdikenalinya itu. “Kebo Mundarang, kaukah itu?” teriak Ranggalawe, “ayokejarlah kami. Kalian ingin tahu bagaimana rasanya mencicipi tubuh sekarkedaton Singasari? Ayo kejarlah kami.” Kebo Mundarang merasa jantungnya mau pecah dan darahnyamendidih melihat buronan yang dikejarnya lolos dari sergapan. Apalagi suaratertawa Ranggalawe yang sangat dikenalinya itu sangat melecehkan hatinya. KeboMundarang memacu kudanya lebih kencang. “Ayo tangkap dia, tangkap para sekar kedaton dan kita jadikanpesta pora.” Dijanjikan akan berpestapora dengan sajian para sekar kedatonmacam itu menyebabkan para prajurit dari Kediri itu berkuda sejadi-jadinya.Demikian semangatnya mereka berkuda, ada yang kurang cermat, menyebabkanterjungkal dari kudanya dan terinjak-injak oleh yang lain. Di depan, Bala Sanggrama Sorandaka membalap dengan amatkencang mengikuti Nambi dan teman-temannya yang lain yang berpacu lebih dulu.Kuda Sorandaka dan kuda yang ditunggangi adalah kuda-kuda yang kekar yang telahmakan rumput dan istirahat cukup, itu sebabnya mereka bisa memperlebar jarak. “Iblis,” umpat Lebo Mundarang yang cemas bakal gagal lagi. Napas atas nama amarahnya mengombak, sangat tersengal. Di tempat lain, semisal di Ujung Galuh, Gresik pesisirPasuruan dan Madura, matahari sudah tampak bentuknya, namun tidak demikian diwilayah Pasir Jenar di arah barat Gunung Semeru itu. Matahari belum tampakujutnya karena terhalang oleh punggung Gunung yang tinggi. Pagi cerah denganlangit bersih, sungguh berbeda dengan sehari sebelumnya. Dengan cahaya yangamat berlimpah seperti itu, Nambi dan teman-temannya mampu berkuda dengan lancardan tidak perlu merasa ragu untuk membalap. “Ke arah mana kita?” Nambi yang berada di paling depanberteriak keras saat melihat sebuah tikungan. “Ke kiri,” balas Ranggalawe. Nambi membelok diikuti oleh teman-temannya, sementaraRanggalawe dan Medang Dangdi berusaha memperpendek jarak terhadap para temannyasekaligus memperlebar jarak dari para musuh di belakangnya. Di arah belakangnyaitu, Kebo Mundarang benar-benar murka karena melihat apa yang telahdirancangnya sangat mungkin mengalami kegagalan. Sangat mungkin orang-orangyang sangat diinginkan itu akan lolos. Ranggalawe membalap lebih kencang lagi, berusaha mendahuluiteman-temannya. “Mana jembatan Pasir Jenar yang kau maksud itu?” tanya Nambi. Ranggalawe balas berteriak, “Ikuti saya. Ikuti contoh saya.” Nambi memperlambat laju kudanya, untuk memberi kesempatanRanggalawe mendahului. Dengan berteriak-teriak Sambil tertawa, Ranggalaweberkuda paling depan. Bukannya melambat sebaliknya kuda yang ditungganginyasemakin cepat. “Awas, di depan ada sungai,” teriak Ranggalawe.



Nambi mengernyit melihat Sorandaka membalap kian kencangseolah sedang mengambil ancang-ancang untuk sebuah lompatan yang panjang.Berdesir tajam Nambi ketika ia merasa curiga. Seingatnya di depan sana tidakada jembatan, meski sungai yang berdinding tebing itu menyempit. “Apakah di sana ada jembatan?” teriak Nambi. “Ada, jembatan melayang,” jawab Ranggalawe sambil tertawa. Semakin mendekati sungai, Ranggalawe semakin berpacu cepat.Terbelalak Nambi dan para temannya melihat jembatan yang dikatakan Ranggalaweitu tidak ada. Nambi melotot melihat dengan tidak merasa ragu Ranggalawemelayang melintasi sungai. Berhasil. “Demit keparat,” umpat Nambi. Ranggalawe tertawa, “Ayo,” teriaknya. Nambi bukan pengecut, dan ia merasa yakin kudanyaberkemampuan sama seperti kuda milik Ranggalawe. Ia berputar untukberancang-ancang, contoh yang diikuti teman-temannya yang juga berputar kembaliuntuk membuat ancang-ancang. Bagai terbang Nambi membalap dan kemudianmenyentakkan kendali kudanya, isyarat agar kudanya melompat tinggi. Berhasil. Di belakangnya, Gajah Pagon merasa tidak ragu sama sekali.Dari jauh ia sudah mengukur lebar sungai itu dan merasa tidak masalah. Pundemikian pula dengan Pawagal dan Kapetengan, yang mampu melintasi sungai itudengan mulus. Ketika semua berhasil, tiba giliran Gajah Pagon muncul masalah. Bukan Gajah Pagonnya yang takut, namun kudanya yang takut. Dari jauh Gajah Pagon sudah berancang-ancang, namun kudatunggangannya yang tidak mau melompat. Hanya dua jengkal kaki sebelum terbangm,kudanya berhenti. “Sial,” umpat Gajah Pagon. “Ayo ulangi,” teriak Nambi. Gajah Pagon berputar mundur, kalau sekali ini tidak berhasil,maka tak ada kesempatan lagi untuk berancang-ancang, karena di belakang KeboMundarang semakin dekat. “Ayo,” teriak Gajah Pagon. Kuda tunggangannya ternyata merasa mustahil melompati lebarsungai itu, ia pilih mogok. Gajah Pagon menghitung waktu, ia sadar bahwa tidakmungkin memaksa kuda tunggangannya. Dengan cepat ia melolos pedangnya dan dengansekali ayun ia menebang batang bambu yang ada di depannya. Dengan penuhperhitungan ia berlari kencang, menjelang tepi sungai, Gajah Pagon menggunakan ujungbilah bambunya sebagai tumpuan, maka melayanglah tubuhnya yang kurus melintasisungai untuk kemudian mendarat dengan mulus di depan. “Setan alas,” umpat Gajah Pagon. Sorandaka tertawa bergelak. “Mana jembatannya?” tanya Gajah Pagon. Ranggalawe menjawab pertanyaan itu dengan tawa bergelak.Disusul Nambi dan teman-temannya juga tertawa bergelak. “Saya harus kehilangan kuda,” keluh Gajah Pagon. Gajah Pagon memandangi kudanya. Meski kuda itu kuda yangkekar, akan tetapi terbukti tidak memiliki nyali yang besar. Kuda itutertinggal di seberang sana. Sejenak kemudian, rombongan pengejar itu tiba dan harusmenghadapi kenyataan terhadang oleh sungai. Kebo Mundarang merasa aneh melihatmusuh berada di seberang sungai sementara tidak ada jembatan di situ. KeboMundarang bingung, lebih bingung dan merasa aneh lagi karena tidak melihat RadenWijaya dan para sekar kedaton. ”He Kebo Mundarang,” teriak Ranggalawe meminta perhatian. Kebo Mundarang menggerakkan kudanya ke bibir sungai yangternyata sangat dalam. Rasa heran itu tidak tercegah. “Bagaimana cara kalian menyeberang?” tanya Kebo Mundarang. “Melompat, Ki Patih,” jawab Nambi. “Melompat?” tanya Kebo Mundarang. Nambi tertawa bergelak. “Ya, melompatlah.” “Kenapa ada kuda tertinggal?” “Itu kuda saya yang tidak berani melompat,” jawab Gajah Pagon. Kebo Mundarang memperhatikan musuh satu persatu. Ia mengenalimereka dan tahu siapa yang tidak ada. “Mana Sorandaka yang lebar mulutnya itu?” tanya KeboMundarang dengan nada rendah dan agak bersahabat. Pertanyaan itu sontak merangsang sarap tawa Nambi danteman-temannya yang merasa geli melihat musuhnya itu terkecoh. Sesungguhnyapara prajurit berkuda dari Kediri itu bingung dan merasa heran, kenapa RadenWijaya tidak tampak dalam



rombongan itu. Jika para sekar kedaton berada dalamrombongan itu, pasti tak mungkin diajak melompati sungai. Hanya dengan ancang-ancangyang cukup dan bernyali, barulah sungai itu bisa dilompati.



Banjir Bandang dari Utara 3 March 25, 2014 at 7:18am



“Bala Sanggrama Sorandaka sedang mengawal segenap sekarkedaton dan Raden Wijaya,” jawab Nambi sambil tertawa terkekeh. Kebo Mundarang memandang satu demi satu teman-teman RadenWijaya. Pertanyaan soal di manakah Raden Wijaya dan para anak raja pralayaberada, sungguh sangat menggangu hatinya, selebihnya kegagalan menyergap musuhitu, benar-benar membuatnya kecewa. Menghancurkan Singasari ternyata pekerjaanyang jauh lebih mudah dari meringkus Raden Wijaya dan teman-temannya,seolah-olah ada kekuatan kasat mata yang selalu melindungi mereka. BahkanGayatri pun seperti ada yang melindungi. Ke depan, ia tidak akan beraniberurusan lagi dengan anak Sri Kertanegara itu. “Lalu ke mana, Raden Wijaya pergi?” tanya Kebo Mundarang. Pertanyaan itu terasa sebagai pertanyaan bodoh, pertanyaanitu dijawab dengan tertawa keras dan bergelak. Gajah Pagon yang kehilangan kudatertawa sambil menekuk-nekuk perutnya, atas nama rasa gelinya yang tidaktertahan. “Ke mana Raden Wijaya pergi, jika kau mampu berpikir cerdas,pasti bisa menebak,” jawab Gajah Pagon. Kebo Mundarang memenuhi saran itu, ia mencoba menebak,mencoba berpikir sebagaimana Raden Wijaya berpikir, akan tetapi Kebo Mundarangtidak mampu menemukan jawabnya. “Berbaik hatilah, katakan ke mana Raden Wijaya pergi ataubersembunyi?” Medang Dangdi mengangkat busurnya, tindakan yang ia perbuatsungguh tidak terduga sama sekali. Secepat kilat Medang Dangdi memasangsebatang anak panah di gagang gendewanya dan dengan sangat terukur mengarahkananak panah itu ke jantung Kebo Mundarang. Melihat bahaya akan mendatanginya KeboMundarang segera berlarian dan menyelinap di antara anak buahnya yang denganserentak berlindung di balik tameng. Melihat betapa kelabakan Kebo Mundarang itu, Medang Dangditertawa terkekeh. “Diamput,” umpat Kebo Mundarang, “hujani anak panah.” Gajah Pagon segera melompat sekuda dengan Ranggalawe. Ia berteriak, “Ayo teman-teman, mumpung Kediri sedang kosong,kita bakar istananya.” Tak menunggu hujan anak panah datang, Bala Sanggrama Nambidan teman-temannya pun membalapkan kudanya dengan kencang sambilmemperdengarkan suara tertawa yang menghina sekali. Meninggalkan Kebo Mundarangyang kesal bukan kepalang. Kebo Mundarang bergegas mendekati tepian, ia melihatsungai yang dalam dan jarak yang cukup lebar. Kebo Mundarang merasa heranmelihat kenyataan aneh itu, sulit ia mengerti, bagaimana cara para buronannyadalam melintasi jembatan itu. Atas nama rasa kesalnya, Kebo Mundarang membutuhkansasaran pelampiasan. “Bunuh kuda itu,” teriaknya. Hujan anak panah segera mengakhiri kuda yang malang nasibnya.Namun kemalangan yang menimpa dirinya itu tak berlangsung lama karena dua diantara anak panah dengan telak tembus ke jantungnya. “Siapa yang bisa menebak, ke manakah Raden Wijaya dan parasekar kedaton?” tanya Kebo Mundarang dengan suara lantang. Para prajurit bawahannya saling pandang. Seorang di antaranya tiba-tiba mengacungkan jari tangannya. “Ke mana?” tanya Kebo Mundarang. “Bersembunyi, Mahapatih,” jawab prajurit itu. Jawaban jenis itu sontak menyebabkan Kebo Mundarang meradang. “Semua orang tahu,” teriak Kebo Mundarang, “Raden Wijayabersembunyi di mana?” Prajurit yang baru saja menjawab itu menyeringai danmelangkah mundur, ia cemas, Kebo Mundarang akan mengayunkan tanganmenggamparnya. Kebo Mundarang melangkah mondar-mandir. Ke depan ia melihat,tidak ada gunanya mengejar anak buah Raden Wijaya karena bukan mereka sasaranyang diinginkan. “Kembali,” teriak Kebo Mundarang. Kebo Mundarang melompat ke atas kudanya. Dengan rasa kecewa yang nyaris memecahkan ubun-ubun, KeboMundarang membawa anak buahnya balik arah. 5



Sorandaka berlari dan terus berlari, ia tidak memilih tempatterbuka namun memilih melintas kebun dan ladang yang banyak pepohonan. Dengankelebihan yang dipunyainya, Sorandaka bisa memantau pergerakan musuh yangmembayanginya. Di langit yang terang benderang, lima ekor paksi cataka yangmenjadi kepanjangan matanya terus terbang berputar-putar tanpa mengayuhsayapnya. Air yang berlimpah di atas sana, sudah cukup menjadi tenaga untukmengambangkan tubuhnya. Sebuah keberuntungan bagi Sorandaka, dengan kelebihannya itupula ia juga bisa tahu pada apa yang terjadi pada temantemannya yang lain. Itusebabnya, Sorandaka berlari dan berlari ke arah mereka. Akan tetapi secepat apapun Sorandaka berlari, jarak antara pihak yang mengejar dan yang dikejar itusemakin dekat. Sorandaka gelisah, akan tetapi setidaknya ada satu hal yangmembuat hatinya tenang, ia telah berhasil menjauhkan para pemburu itu dariRaden Wijaya dan para sekar kedaton,. Sorandaka merasa, tidak masalah baginyabila harus kehilangan nyawa demi keselamatan keluarga raja itu. Semakin dekat di belakangnya, seratusan pasukan berkuda dibawah kendali Guru Grahita terus mengejarnya. Rangga Bentar yang memiliki mataaneh itu mampu melacak ke mana pun keris Empu Gandring itu dibawa bergerak. “Ayo, jarak semakin dekat,” teriak Rangga Bentar memberisemangat. Derap kuda itu menimbulkan suara yang bergaung, juga menimbulkankerusakan besar bila melewati ladang tanaman milik pertani. Sebuah ladang luasdengan tanaman bawang merah dan bawang putih juga cabe rusak bosah-basehsetelah dilintasi kuda-kuda itu. Di depan, Sorandaka berdebar-debar manakala menyadari jarakyang kian dekat. Juga kaget Sorandaka menghadapi kenyataan, jika terusmengambil arah ke timur, ia terhadang oleh sebuah sungai yang agak sulitmenyeberanginya, itulah Kali Pasir Jenar yang terkenal banyak buayanya,Sorandaka mencoba mengenali keadaan dengan seksama. “Jika saya bisa menyeberang, sesungguhnya untuk sementarasaya aman dari kejaran orang-orang itu.” Sorandaka sadar bahwa ia tidak boleh berhenti, ia harus terusbergerak karena bila ia sampai berhenti, musuh yang bergerak lebih cepat karenaberkuda itu akan membantainya. Lembaran nyawanya akan melayang tak ada artinya.Di langit, kegelisahan Sorandaka rupanya menjadi kegelisahan salah satu darilima burung cataka yang terbangnya berubah. Empat yang lain tetap terbangtinggi sementara seekor di antara terbang merendah. “Di arah mana dia?” tanya Rudra Narantaka. “Dia sudah dekat,” jawab Rangga Bentar, “arah kita sudahbenar. Sebaiknya kau perintahkan sebagian prajuritmu untuk menghadang,” Rudra Narantaka terus berpacu sambil tiba-tiba memperdengarkansuara siulan melengking dari mulutnya. “Separo ke kanan, hadang buronan kita di bukit paling tinggiitu.” Tidak perlu diulang lagi, perintah itu langsung dilaksanakan.Pasukan berkuda itu kemudian membelah jumlahnya, separuh berjalan lurus,separuh yang lain memisahkan diri sebagaimana dikehendaki pimpinannya. “Ayo cepat,” teriak mereka. Sorandaka menyadari bahaya kian dekat segera berlari lintangpulang sambil memeras otak berusaha menemukan gagasan yang paling sesuai. Namungagasan jitu yang paling masuk akal itu tidak kunjung ditemukannya. Sempatterpikir melompat ke dalam sungai, akan tetapi ia sadar, musuh tahu benardengan gerak-geriknya. Di atas, burung cataka yang terus membayangi ulahnya ituterbang kian rendah, burung itu bahkan terbang menerobos sela pepohonan,membayangi apa pun dan kemana pun Sorandaka pergi. Burung yang diberi namaJatayu itu bagai ikut merasakan kegelisahan Sorandaka yang kini menjadimajikannya. Sorandaka melihatnya. “Lakukan sesuatu,” teriak Sorandaka amat lantang. Burung aneh yang semula membayanginya dengan terbangmenerobos pepohonan itu tiba-tiba melesat memanjat naik dan membubung tinggi. Pergerakan para prajurit berkuda di bawah kendali Rudra Narantakaitu demikian cepat dan rapat. Sorandaka yang memegang keris Empu Gandringberdebar-debar, pemuda dari Tuban itu sangat sadar bahaya besar sedang bergerakmenghampirinya. Akhirnya Sorandaka sadar, bahwa tidak ada gunanya ia bergerakmendekati teman-temannya karena terlihat jelas dari mata hatinya, Nambi danteman-temannya justru bergerak ke arah lain. “Sial,” Sorandaka mengeluh. Akhirnya, derap kuda yang banyak sekali itu mulai terdengar.Tak hanya melalui mata hati, dari ketinggian di tepi sungai yang curam itu mulaiterlihat gerakan pasukan berkuda yang telah menyebar membentuk kepungansetengah lingkaran. Sorandaka berlari sekencang-kencangnya, menyusur tebingtepi sungai, akan tetapi kuda-kuda yang membalap di arah kanan bergerak jauhlebih cepat. Merasa tidak ada gunanya, Sorandaka akhirnya memilih berhenti.Ia melirik ke belakang, di belakangnya Gunung Semeru tampak menjulang tinggidan berwibawa. Sorandaka pun melirik ke atas, terlihat burung cataka yang telahmelukai wajahnya itu terbang berputar, bergerak sangat cepat seolah sedanggelisah mewakili kegelisahannya. Namun rupanya burung rajawali yang terbang berputar itusedang merencanakan sesuatu. Ia bergerak cepat bukannya tanpa maksud. Diketinggian langit mata paksi cataka itu bisa melihat dengan jelas sasaran yangsedang dibidiknya. Dari



ketinggiannya burung itu memerhatikan anak-anak ayam dihalaman sebuah rumah sederhana nun jauh di selatan dengan jelas, namunanak-anak ayam itu sama sekali tak menarik perhatiannya. Sebaliknya,gerak-gerik salah seorang dari para penunggang kuda itu sungguh amat mencuriperhatian. Satu lagi yang menarik perhatiannya adalah sebilah keris yang kiniberada dalam genggaman Sorandaka. Burung cataka itu tak hanya memiliki mata wadag yang tajam, namun juga mata hatiyang tajam. Ia melihat ada sesuatu yang tidak sewajarnya pada bilah keris ditangan Sorandaka itu. Sorandaka, tidak bisa maju dan tidak bisa mundur. Di tepibukit itu, ia dihadang jurang yang dalam dengan sungai yang bawah sana yangapabila ia terjatuh, tentu akan berakibat mengerikan sekali. Di sana ada banyakbuaya, mrinding Sorandaka yang melihat dengan jelas, di sebuah arah tampakseekor buaya sedang merangkak. Terkejut Rudra Narantaka ketika tidak melihat buronsebagaimana yang diharapkannya. “Mana Raden Wijaya?” tanya Rudra Narantaka. Sorandaka memandang orang yang bertanya itu dengan rasa herandan penasaran. Tentu oleh sebuah alasan tidak ingin diketahui siapa jatidirinya yang menyebabkan ia harus menutupi raut mukanya di balik secarik kain. Sebagaimana Rudra Narantaka atau Guru Grahita, demikian juga dengansegenap prajurit berkuda yang mengiringinya, pun demikian pula dengan RanggaBentar, para orang itu bingung karena tidak melihat Raden Wijaya dan para sekarkedaton. “Mana Raden Wijaya dan para sekar kedaton, Sorandaka?” ulangRudra Narantaka. Sorandaka terkejut, ia merasa tidak mengenali suara orangitu, sebaliknya ternyata orang itu bisa mengenali dirinya dengan baik. Sorandakamencoba mengenali perawakannya, akan tetapi banyak sekali orang yangdikenalinya yang bertubuh kurus dengan tinggi seperti tinggi orang itu. “Kau tahu siapa saya?” Sorandaka balik bertanya. “Kamu Sorandaka, pemanah tanpa tanding, sahabat erat RadenWijaya,” jawab orang itu. Jawaban itu menyebabkan Sorandaka termangu. Apabila orangberpenutup wajah itu melepas kainnya, sangat mungkin ia mengenalinya karenasebaliknya orang itu juga bisa mengenalinya. Sorandaka kemudian mengedarkanpandang matanya, menjelajahi semua wajah, akan tetapi ia merasa tak satupunwajah para prajurit berkuda itu yang dikenalinya. Sejenak ia singgah di salah satu wajah, mrinding Sorandakamenyaksikan wajah orang itu yang aneh, terutama matanya. Sorandaka kembali melanjutkan menjelajahi semua wajah, hinggakemudian ia merasa yakin tidak satu wajah pun yang dikenalinya. Tidak satuorang pun pengkhianat Singasari berada di antara orang-orang itu. Kalaupengkhianat itu ada, barangkali orang yang menyelubungi diri di balik secarikkain itulah pengkhianatnya, karena kalau tidak, untuk apa ia harus bersembunyidi balik topeng macam itu. “Kau Guru Grahita?” tanya Sorandaka, “kaukah orang yangmenggunakan nama sandi Rudra Narantaka?” Guru Grahita terkejut. Namun ia menjawab, “Ya.” Mrinding Sorandaka memperoleh jawaban itu. Bila ada pilihanuntuknya, Sorandaka sangat ingin membongkar siapa sesungguhnya jati diri orangitu, yang diyakini sebagai dalang dari para makar yang telah menjarahSingasari. Akan tetapi pilihan yang tersedia untuknya tidak sedang berada diatas, justru Sorandaka sedang berada di bawah, ia yang sedang terkepung, tidaksedang dalam keadaan mengancam. “Di mana Raden Wijaya?” terdengar sebuah pertanyaan. Sorandaka menoleh dan mencari-cari dari mana suara ituberasal. Kaget Sorandaka melihat kenyataan, pertanyaan itu datang dari orangyang penampilannya sangat aneh dan mengerikan. Terutama karena keadaan matanya.Sorandaka berpikir keras dan mencoba menebak siapa sesungguhnya orang itu, ataupaling tidak apakah perannya. “Kaukah orangnya?” tanya Sorandaka. Pertanyaan itu membingungkan yang ditanya. Rangga Bentar balas bertanya, “Orangnya apa maksudmu?” Sorandaka menatap tajam, keris Empu Gandring di genggamantangannya bergetar. Kini Sorandaka merasa yakin, bahwa orang bermata anehitulah yang memiliki kemampuan melihat menggunakan ketajaman mata hati,menandai di mana ia berada, tepatnya menandai di mana keris Empu Gandringberada, bukan di manakah Raden Wijaya berada. Terbukti, ketika ia yang membawakeris itu, Rangga Bentar terkejut. “Kau rupanya yang memiliki kemampuan melacak keris ini,” kataSorandaka. Sorandaka melanjutkan dengan tertawa terkekeh. Orang yang bermata aneh itu membelalakkan matanya, semakinterbelalak maka terlihatlah betapa keadaannya memang mengerikan. Jangankanbocah-bocah, bahkan orang yang sudah tua pun bisa ketakutan. Amat dalam orangitu menarik napas dan amat kasar ia menghembuskannya. Mrinding Sorandakamembayangkan, ketika orang itu membeliak, yang tersisa adalah mata yangterbalik, tidak tampak bulatan hitamnya. “Katakan di mana Raden Wijaya berada,” tanya Rangga Bentardengan suara rendah namun penuh tekanan. Sorandaka tidak segera menjawab pertanyaan itu. Sebaliknya ia yang bertanya, “Siapa namamu?”



Rangga Bentar merasa jengkel, “Jawab pertanyaan saya, di manaRaden Wijaya berada.” Sorandaka tertawa bergelak sambil melihat keadaan disekelingnya. Sorandaka menghitung, kali ini tidak ada lagi peluang yang bisadigunakan untuk melarikan diri. Ia sudah melekat di tepi jurang sementara paraprajurit berkuda telah mengepungnya sangat rapat membentuk setengah lingkaran. Jikaia melompat ke jurang, maka buaya-buaya di bawah sana pasti akan berpesta poramenikmati tubuhnya. “Saya bukan anak buahmu, saya bukan gedibalmu, mengapa kamu berpikir bisa dan boleh memperlakukan sayaseenakmu.” Rangga Bentar terbungkam, suara batuk yang diperdengarkannyamenggambarkan kesulitan yang dialaminya untuk menenangkan diri. Semua prajurityang menyertainya, tidak seorang pun yang tidak takut kepadanya. Para prajuritKediri yang oleh Jayakatwang diperbantukan kepada Rudra Narantaka semuanyatahu, orang bernama Rangga Bentar itu sungguh mengerikan. Jika marah padaseseorang ia meludahinya, dan ludahnya bukan sembarang ludah, yang terkenaludah itu akan mlonyoh. Selebihnyaorang bermata aneh itu bagai memiliki kemampuan sihir, kutukan yang dilepasnyabisa berakibat perut. Jika seseorang dikutuk sakit perut maka akan sakitperutlah dia. “Jadi kamu tidak berminat mengatakan, di mana Raden Wijaya?”tanya Rudra Narantaka. “Bodoh sekali jika saya akan dengan sukarela mengatakan dimana Raden Wijaya, sebagai pengikut setianya, saya rela mati untukmelindunginya. Sebaliknya, barangkali kau berminat menjawab pertanyaan saya.” Udara bagai mengombak di tepi sungai yang curam itu, terbuktibukan Rudra Narantaka dan Rangga Bentar yang menguasai keadaan namun justruSorandaka yang mempermainkan keadaan dan mengelolanya. Seolah tak peduli padakematian yang mungkin menghampirinya, Sorandaka berjalan mondar-mandir sesekalisambil memutar pedangnya. “Apa yang akan kau tanyakan?” tanya Rudra Narantaka yangterpancing. Sorandaka tersenyum,tangan kanannya yang memegang keris Empu Gandring masih terarah ke belakang.Tangan kirinya, amat kuat memegang pedang panjangnya yang melengkung denganbilahnya terlihat tajam. Sorandaka prajurit yang pilih tanding, ia memilikitangan kiri dan kanan yang kemampuannya sama baiknya. Pun demikian dengankemampuannya membidik melepas anak panah, tidak ada bedanya ia memegang gendewadengan tangan kanan atau tangan kirinya. “Apakah kau tidak merasa risih dengan penutup wajah yang kaukenakan itu?” Rudra Narantaka agak kaget, ia tidak menyangka akanmemperoleh pertanyaan macam itu. “Risih,” jawabnya, “sesungguhnya saya merasa risih.” Sorandaka tertawa pendek. “Kalau tidak merasa risih, kenapa tidak kau buka saja? Kenapakau merasa takut?” Rudra Narantaka mengernyit. “Siapa yang takut?” bantah Rudra Narantaka. Sorandaka tertawa terkekeh. Dengan langkah ringan nyaristanpa beban ia berjalan ke kanan, semua prajurit Kediri yang berada di kananbergerak mundur. “Kalau kau tidak takut, untuk apa kau tutupi wajahmu? Kaukenakan topeng itu pertanda kau takut pada orang-orang yang akan mengenaliwajahmu, hanya pengecut yang akan berbuat itu.” Sorandaka terkejut ketika melihat Rudra Narantaka tertawa. “Saya tak keberatan siapa pun menuduh saya pengecut. Tuduhsaja saya pengecut, silahkan.” Sorandaka memandang orang yang mengenakan penutup wajahsecarik kain itu. Ia mencoba sekuat tenaga untuk mencoba menebak siapa pemilikmata macam itu. Namun Sorandaka tidak bisa mengenalinya. Sorandaka tertawa. “Bisa dimaklumi bila kau tidak peduli. Bahkan andaikata ibumumelahirkan lagi tentu kau tidak peduli.” Rudra Narantaka terkejut, kedua matanya terbelalak. “Kenapa dengan ibu saya? Kenapa kau membawa-bawa nama ibusaya?” Sorandaka semakin terkekeh, isi pembicaraan itu dengan segeramenyita perhatian segenap prajurit berkuda yang melakukan pengepungan. Takseorang pun yang tak merasa heran melihat Sorandaka memiliki nyali yang besar,sama sekali tidak merasa ketakutan meskipun ia sedang berhadapan dengan bahaya. “Kau adalah jenis orang yang tidak peduli bahkan seandainyabumi ini meledak, kau adalah jenis orang yang tidak peduli meski ada orang yangmemperkosa nenekmu, kau juga tidak akan peduli meski ibumu berselingkuh denganseekor kuda yang menyebabkan kau akan mempunyai seorang adik yang dari leher keatas bertubuh manusia akan tetapi tubuh dan kakinya keturunan kuda. Dan kautidak peduli pada anakmu sendiri, yang barangkali kau akan menggaulinya. Kautidak peduli karena kau sedang mengenakan topeng, yang itu berarti kau sedangmenutup mata pada kejadianmu apa pun, kamu tidak menggunakan nilai apa pun,apakah pantas dilakukan atau tidak patut dilakukan.” Ucapan beruntun itu mengagetkan sekali, para prajurit berkudayang melakukan kepungan sama sekali tidak menyangka prajurit Singasari yangterkepung itu benar-benar bermulut tidak sekedar lebar tetapi sangat lebar. Paraprajurit Kediri itu kemudian menempatkan diri menunggu perintah apa yang akandijatuhkan Rudra Narantaka. Di luar dugaan, Guru Grahita Rudra Narantaka itu ternyatajustru tertawa.



Segenap prajurit berkuda Kediri terkejut, mereka kebingungan.Melihat itu, Bala Sanggrama Sorandaka mengernyit, ia melirik seraya tangankanannya menggetarkan keris Empu Gandring dalam genggamannya. “Saya sama sekali tidak peduli, saya tidak keberatan ibu sayaditunggangi kuda atau sapi dan sama sekali tak masalah bila saya akan mempunyaiadik berkepala kuda. Saya sama sekali tidak keberatan, ibu saya seperti yangkau katakan itu,” lanjut Rudra Narantaka, seraya tertawa renyah di balik kainyang ia kenakan menutupi wajahnya. Sorandaka terkejut, ia sama sekali tidak menduga RudraNarantaka yang bermama lain Guru Grahita itu mampu bersikap aneh seperti itu. “Bagaimana kalau ditunggangi harimau?” tanya Sorandaka. Pertanyaan itu menyebabkan Guru Grahita tertawa terbahak,suaranya dibuat aneh agar tidak dikenali bukan hanya oleh Sorandaka, akantetapi juga oleh semua orang. “Tidak masalah,“ kata Guru Grahita itu, “selebihnya simbok sayasudah lama mati.” Jawaban itu menyebabkan Sorandaka termangu. “Sebaliknya, berbaik hatilah Sorandaka,” lanjut Guru Grahita,“katakan saja di manakah para sekar kedaton dan Raden Wijaya itu pergibersembunyi? Kalau kau mau berbaik hati dengan cara mempermudah kami menemukandan membasminya, mungkin kami akan berbaik hati memberi kamu sebuah gelar terhormatyang akan kaubanggakan sampai kapan pun di alam kematian sana. Para Dewa dilangit barangkali akan memberimu surga yang dibangun khusus hanya untukmu. Segenapbidadari tercantik seperti Batari Supraba atau Batari Tara dan Dewi Tari,bahkan tujuh orang bidadari yang tercipta dari cahaya, yaitu Batari Tilotama, Batari Warsiki, Batari Surendra, Batari Gagarmayang, BatariTunjungbiru, dan Batari Lenglengmulat.” Ucapan Guru Grahita itu dengan telak memancing rasapenasarannya. Sorandaka mengernyit, ia sama sekali tidak menyangka Guru Grahitayang berselubung teka-teki itu ternyata pintar juga bersilat lidah bermainkata-kata. Pengetahuannya atas nama-nama batari amat luas. Konon batari Suprabaadalah bidadari tercantik, anak bungsu dari Dewa Indra, yang tercipta daricahaya yang pecah menjadi tujuh bidadari yang lain, yaitu Batari Tilotama, Batari Warsiki, Batari Surendra, Batari Gagarmayang, BatariTunjungbiru, dan Batari Lenglengmulat. “Gelar apakah yang akan kau berikan itu?” tanya “Anumerta,” jawab Guru Grahita sambil tertawa bergelak. Sejenak kemudian, tawanya disambut para prajurit, semuamenganggap ucapan itu amat lucu. Demikian terkialnya Guru Grahita karena iamerasa geli. Sorandaka semakin terbungkam. Pedang yang berada dalam genggaman tangannya bergetar danamat mencuri perhatian. Guru Grahita yang tertawa itu tibatiba terdiam kemudianterbungkam. Namun bukan pedang panjang miliknya yang menjadi ciri khas darikelompok pasukan khusus Bala Sanggrama yang menyita dan mengunci perhatian, akantetapi keris Empu Gandring yang berada dalam genggaman tangan kirinya yangmenggelisahkan hatinya. Keris itu benar-benar berwibawa, mata hati Guru Grahitamampu menangkap keadaan yang aneh itu. Di tangan mendiang Raja Ken Arok yangpamor dan jiwanya telah menyatu, keris itu mampu mendidihkan air di sebuahbelumbang. Ikan-ikan yang menjadi penghuni belumbang itu seketika menggeliatdan terkapar mati. Di tangan Ken Arok yang sedang, keris itu mampu menggerahkanudara di balairung, yang menyebabkan para raja di negara bawahan yang hadirdalam pasewakan merasa ketakutan. Apalagi Sorandaka kemudian memindahkan keris yang semula ditangan kirinya, ke tangan kanan. Apabila Sorandaka mengguratkannya ke tanah,akan hangus tanah itu berubah menjadi bongkahan bata merah. Di lain pihak, sesungguhnya Rangga Bentar tak kalah berdebar.Ia merasa, sasaran yang telah lama ia kejar adalah keris itu. Ia merasamemiliki hak untuk menguasai keris itu, nafsunya lebih karena keris itu, bukankarena Raden Wijaya. Rangga Bentar memiliki alasannya, dari ayahnya, iamewarisi dendam, sementara ayahnya mewarisi kesumat itu dari kakeknya,sementara kakek yang tidak pernah ia lihat wajahnya itu mewarisi dendam itudari ayahnya. Empu Gandring adalah leluhurnya. Rangga Bentar tahu dan sadar, betapa rumit perjalanan untukterciptanya sebilah keris yang luar biasa itu. Keris yang dinamai menggunakannama pembuatnya itu diraut dari bahan yang tak sembarangan. Sekian puluh tahunyang lalu, ketika Singasari masih belum sebuah negeri, bahkan Singasari masihbernama Tumapel dan berderajad Pakuwon, sebuah benda langit jatuh di TanahBlambangan. Benda dari angkasa itu rupanya meninggalkan jejak mengerikan.Sejak benda langit itu jatuh di suatu tempat yang kini bernama Blambangan, bencanayang sangat mengerikan pun kemudian terjadi. Dari bongkah batu itu jika sianghari keluar asap berwarna kuning yang bukan sembarang asap, namun itulah asapyang bernyawa. Asap kekuningan itu bergerak atas dasar kehendak, tak bergerakkarena pengaruh angin. Asap kekuningan itu kemudian melakukan pembantaian,semua makhluk hidup dilibas, harimau disergap dan hanya meninggalkan kerangka. Porak Poranda wilayah Teluk Pangpang, di SemenanjungSembulungan itu.



Batu bintang yang jatuh dari langit itu juga memilikipengaruh jahat dan mengerikan sekali. Ia mempengaruhi pepohonan di sekitarnyayang berjarak amat dekat dengannya, pepohonan tiba-tiba berperilaku tidakubahnya binatang yang ganas dan memangsa apa pun. Pepohonan menjaga bongkahanbatu itu sekuat tenaga agar tidak ada pihak mana pun yang berusaha mengusiknya.Pohon-pohon bergerak menggunakan akar-akarnya, meringkus siapa pun yang beranimendekat dan membahayakannya. Dalam keadaan yang demikian, dua orang pemuda mampumeredamnya. Mereka adalah Ken Arok dan sahabat sekaligus pesaingnya,Parameswara yang berkemampuan memutar angin. Oleh kemampuannya itulah, asapkekuningan yang sangat berbahaya itu diredam, Ken Arok yang bertugasmelumpuhkan pengaruh batu berkekuatan jahat itu. Dari benda yang jatuh dari langit itulah Keris Empu Gandringdibuat. Menurut kisahnya, bukan pekerjaan mudah untuk meredam kekuatanyang mengeram dalam bongkahan batu bintang itu. Ken Arok dan Parameswara harusbekerja sama dan bahu membahu menempanya, yang membutuhkan perjuangan sangatkeras untuk melumpuhkan kekuatan yang tidak tampak di dalam bongkahan batubintang itu. Manakala bahan batu bintang berasal dari langit itu berhasildilumpuhkan, maka pembuatan keris itu pun kemudian dimulai. Tidak sepertipembuatan dhuwung sebagaimanabiasanya, meraut batu bintang itu membutuhkan waktu yang jauh lebih lama daribiasanya. Empu Gandring membutuhkan waktu yang jauh lebih lama untuk membuatkeris itu. Guru Grahita melangkah mundur saat Sorandaka kembalimenggetarkan keris di genggaman tangannya. “Serahkan keris itu,” kata Rangga Bentar. Sorandaka menoleh padanya. “Apa?” ia balas bertanya. “Berikan keris itu,” ulang Rangga Bentar. Sorandaka memandang Rangga Bentar dengan tajam dan lama takberkedip. Sangat kuat ia memegang keris di tangannya. Saat menoleh ke bawah, iamelihat buaya-buaya di sungai tampak gelisah. Mereka rupanya mengetahuikegaduhan yang terjadi di atas dan berharap akan ada orang yang terpelesetjatuh. Sorandaka mengukur, bila dirinya yang jatuh, maka serpih tubuhnya akan hilangjejak, selanjutnya akan menjadi tahi yang keluar dari tubuh para buaya itu. “Kenapa matamu?” tanya Sorandaka. Pertanyaan yang dilontarkan dengan tiba-tiba seperti tanpaancang-ancang itu sungguh amat mengagetkan. Selama ini tidak ada yang beranimempersoalkan keadaan mata aneh yang melekat di tubuh Rangga Bentar itu, namunenteng saja Sorandaka atau Andaka Sora melontarkannya. “Dengan bentuk mata yang seperti itu, sesungguhnya kau bisamelihat atau tidak?” lanjutnya amat ringan tak berbeban. Tiba-tiba saja Rangga Bentar merasa dadanya sangat sesak.Pertanyaan itu ia rasakan sebagai pelecehan, penghinaan yang tidak termaafkan. Amat susah payah ia mendamaikan diri. “Berikan keris itu,” bentak Rangga Bentar. Namun Sorandaka juga bisa membentak. “Tutup mulutmu,” ia berteriak keras sekali, “punya hak apakamu berani membentak saya? Saya bukan andahanmu,saya bukan kaki tanganmu. Sembarangan saja mulutmu njeplak.” Ucapan Sorandaka yang lantang dan keras itu ternyata memilikipesona sihir yang demikian kuat, menyebabkan semua orang bagai kehilangankesadaran tak mampu berbuat apa pun. Kini giliran Bala Sanggrama yangmenggenggam kekuatan sihir yang menyebabkan siapa pun tersita perhatiannya. Seolahtak takut mati dan tak khawatir semua anak panah akan dilepas menyambartubuhnya, Sorandaka berjalan mondar-mandir bahkan sempat memelintir kumisnya. “Saya tidak suka dibentak dan jangan pernah sekalipunmembentak saya,” Sorandaka berkata masih dengan suara yang lantang, “jikamenginginkan keris ini, ajukan dengan ucapan yang baik, yang sopan dan dengansuara yang sejuk lembut.” Orang-orang yang mengepungnya saling pandang. Guru Grahitabenar-benar dililit pesona sihir yang tidak terlawan. Guru Grahita sama sekalitidak menyangka akan ada orang yang telah tersudut sedemikian rupa namun masihpunya keberanian membuka mulut sangat lebar. Berdebar-debar Guru Grahita melihat apa yang kemudiandilakukan Sorandaka. Namun bukan Guru Grahita, Rangga Bentar yang justrubertanya, “He, apa yang kau lakukan itu?” Sorandaka mendengar pertanyaan itu namun tidak merasaperlu menjawab. Sorandaka mengangkat keris Empu Gandring di ataskepalanya menuding langit, tidak dengan satu tangannya namun dengan keduatangannya. Kedua kakinya ditekuk dengan sedikit merendah membentuk pertahananyang kukuh, laksana batu karang yang siap menghadapi apa pun yang bakalterjadi, siap menghadapi ombak uang akan menggempurnya susul menyusul. Di atassana, Sorandaka memerhatikan para elang yang terbang berputar. Menghayati apa pun yang akan terjadi, Sorandaka mulaimemejamkan mata. Genggaman tangan itu sangat kuat mencengkeram gagangkeris Empu Gandring yang terbuat dari kayu cangkring, dilambari dengan hatinyayang sedang sangat bergejolak. Gemetar tangan anak buah Raden Wijaya itu,menjadi awal dari gemetar



seluruh tubuhnya. Sorandaka dengan penuh kesadaranmempersiapkan diri mewadahi pengaruh jahat dan buruk dalam keris itu, akantetapi Sorandaka amat sadar, kekuatan buruk itu akan ia pergunakan untukmelawan musuh-musuhnya yang telah memberikan kepungan rapat, kinepung wakul binaya mangap. Para alis dan kening segera mencuat, tak peduli alis itumilik Rangga Bentar pemilik mata aneh, maupun milik Rudra Narantaka yang tidakterlihat karena tertutup kain. Segenap anak buahnya menoleh ke kiri dan kanan,mencari sumber suara yang tiba-tiba mencuri perhatian. Dengan bingungorang-orang Kediri itu memerhatikan pepohonan yang tiba-tiba bergerak danmenyumbangkan suara gemeresak dari daun-daun yang bergerak liar. “Tidak ada angin,” gumam seseorang. Sorandaka tidak merasakan, atau barangkali Sorandakamerasakan, namun tidak peduli. Ia sadar penuh dengan pengaruh yang bakalmembelitnya. Ia berubah. Setidaknya mulai tidak menjadi dirinya sendiri. “Ayo, majulah kalian semua,” teriak pemuda dari bumi Tubanitu masih dengan mata yang terpejam. Suasana kemudian terasa sangat aneh. Setidaknya demikianlah yang dirasakan oleh orang-orangKediri di bawah kendali Rudra Narantaka dan Rangga Bentar itu. Mereka jelalatanmemerhatikan suasana di kiri dan kanannya, terarah pada pepohonan yang bagaidiremas udara yang mampat. Daun-daun bergoyang kasar dan merasa kesakitan,daun-daun yang menguning segera runtuh berjatuhan. Namun ketika perhatian anak buahnya tertuju pada ulahangin yang datang tiba-tiba dan deras, ada hal yang luput dari pandangan paraprajurit Kediri itu, bahkan Rudra Narantaka termasuk yang tidak terlihat. Keris Empu Gandring memiliki kisah di masa silam yangmengerikan. Hampir seratus tahun yang lalu, Empu Gandring bermataawas telah mengamati perjalanan batu bintang yang melayanglayang di langit.Empu Gandring yang awas dan boleh dibilang sidikpaningal. Dengan mata batinnya yang sangat tajam, Empu Gandring bahkan bisamenerka di mana benda dari angkasa raya itu akan jatuh. Demikianlah yang kemudian terjadi, Empu Gandring yangtinggal di Lulumbang tak jauh dari Ywangga menempuh perjalanan jauhnya ke tanahBlambangan. Dari ketinggian lereng Gunung Ijen, Empu Gandring melihat bendayang melesat di langit itu jatuh dan membakar apa pun yang ditimpanya. Musimsedang kemarau, dedaunan sedang sangat kering, itu sebabnya bintang jatuh itumenyebabkan terjadinya kebakaran di wilayah yang dilintasinya. SemenanjungSembulungan di Banyuwangi berkobar. Pepohonan yang sedang kerontang pun hangus. Namun ternyata, bencana itu bukanlah bencana yangsesungguhnya. Malam hari bongkahan batu dari langit itu tidur, namun cahayamatahari yang menyentuhnya, bagai membangunkan kekuatan dahsyat yang mengeramdalam bongkahan batu itu. Matahari yang memanjat naik dan menyiramkan cahaya kepermukaannya, menyebabkan batu bintang itu meronta. Asap kental berwarna kuningmenggeliat keluar. Asap berwarna kuning itu bukanlah jenis asap yanggeraknya menggantungkan diri pada apa kehendak angin yang berhembus. Asapkekuningan itu sungguh asap bernyawa dan pemburu tanpa tanding. Raja hutanbukan lagi harimau, namun binatang berkaki empat itu hanya makanan empukbaginya. Ketika asap itu muncul, harimau yang pertama kali memergokinya, atauhewan penghuni hitan yang lain, memandangnya dengan heran dan takjub. Barulahbinatang itu terkejut bukan kepalang ketika asap aneh itu tiba-tibameringkusnya, menghisap tubuhnya, melumerkan daging dan meminum darahnya. Harimau dan para hewan yang lain itu tentu terlonjakkaget dan berusaha meloloskan diri, akan tetapi perbuatan itu sungguh tidak adagunanya. Seekor kuda yang terjebak, berusaha lari kencang, namun tidak adagunanya. Tubuhnya bersimbah darah, yang ketika asap berwarna kuning itu meringkusnya,maka sejenak kemudian menyajikan suasana hening yang amat telak. Ketika asap kuning itu pergi, yang tersisa hanya tinggaltulang belulang. Hari demi hari, bergerak ke bulan, SemenanjungSembulungan yang semula hutan belantara itu kemudian sepi mamring, para binatangnya habis dijarah pemangsa dari langit itu.Ketika akhirnya kehabisan binatang buruan, gerak asap pembunuh itu kemudianmelebar menyebabkan penduduk di perkampungan-perkampungan menyelamatkan diri,dengan bergerak ke barat hingga ke daerah Jember dan bahkan Lumajang.



Majapahit 3 keempat Nambi tidak dengan segera menjawab pertanyaan itu. Di langit, paksi cataka terbang lebih tegak, pertanda perjalanan Raden Wijaya dan rombongannya kian dekat. Nambi sedikit agak mengernyit ketika dari arah dapur tertangkap bau yang menggoda hidungnya. Namun Nambi segera membuang kesan itu dari wajahnya. Nambi tersenyum ketika selembar suara bergetar menyapa gendang telinganya. Di antara teman-temannya, yang punya kebiasaan mendengkur keras adalah Ranggalawe dan Banyak Kapuk. Sesekali apabila sedang kelelahan luar biasa, Kebo Kapetengan juga mendengkur. Nambi menengadah, Danapati ikut-ikutan menengadah. 11 Raden Wijaya segera mengurangi kecepatan laju kudanya saat melihat dari depan seseorang sedang memacu kudanya berlawanan arah dengannya. Meskipun masih jauh, Raden Wijaya dan Pamandana bisa mengenali orang itu. Bahwa justru karena Sorandaka muncul dari arah depan itulah, Raden Wijaya terkejut dan bingung. Menurut perhitungannya, Sorandaka tertinggal di belakang cukup jauh. “Kami semua mencemaskanmu, Sorandaka,” kata Raden Wijaya menyapa. Sejak dari jauh Sorandaka telah memberikan penghormatan dan itu ia ulangi lagi ketika telah berada dalam jarak dekat. Sorandaka melihat keadaan para sekar kedaton cukup baik, meskipun tampak jelas kelelahan lahir dan batin di wajah mereka. Ada banyak hal yang akan ia sampaikan dalam pertemuan itu, namun yang paling penting adalah soal keris Empu Gandring. “Raden, hamba harus menyampaikan soal keris Empu Gandring yang lepas dari tangan hamba, hamba mohon maaf atas ketidakmampuan hamba.” Raden Wijaya memandang Sorandaka dengan tatapan mata tajam, beberapa kejab anak Dyah Lembu Tal itu tidak berkedip. Raden Wijaya menyempatkan menoleh pada Pamandana, yang ia lihat wajahnya tersenyum sekilas. Raden Wijaya kemudian memejamkan mata dan mengangkat kedua tangannya di atas kepala. Terkejut Sorandaka melihat keris Empu Gandring itu muncul, ia berada dalam genggaman tangan pemuda yang beristeri empat itu. Raden Wijaya mengusap gagang keris itu, keris buatan Empu Gandring itu kemudian lenyap tidak ada jejaknya, tersimpan kembali di dalam benak pemuda beristeri empat itu. Raden Wijaya menengadah memandang langit. Diperhatikannya paksi cataka yang terbang berputar dengan membentangkan sayapnya. “Rupanya, saya tidak perlu mencemaskan keris itu,” gumam Sorandaka seperti berbicara pada diri sendiri. Tribhuaneswari membawa kudanya mendekat. “Di mana teman-teman yang lain?” tanya Tribhuaneswari. Sorandaka mendekati kuda Tribhuaneswari dan mengambil alih kendalinya. “Mari Raden dan semua, teman-teman Bala Sanggrama sedang menunggu di depan, tempat ini cukup aman untuk beristirahat dan bersembunyi sementara waktu.” Sorandaka yang telah mengambil alih tali kendali kuda itu kemudian menuntunnya sambil berlari, melihat perbuatan itu Raden Wijaya tersenyum, akan tetapi ia tidak berkata apa pun. Di jalanan yang agak terjal itu Raden Wijaya menyempatkan mencatat, melalui wilayah mana saja ia menyelamatkan diri berusaha menjauh dari pengejaran para prajurit Kediri. Kelak, manakala ia berhasil mengambil alih kekuasaan, ia akan napak tilas perjalanan yang amat melelahkan itu. Sisa perjalanan ke tempat yang disebutkan Sorandaka tidak terlalu jauh. Raden Wijaya tidak bisa menahan senyumnya melihat keadaan anak buahnya yang bergelimpangan. Kantuk yang sangat hebat menyebabkan mereka sama sekali tidak mendengar kedatangan Raden Wijaya. “Selamat datang di gubuk hamba, Raden,” ucap sang pemilik rumah sambil kedua tangannya menyembah. Cekatan Nambi menolong para sekar kedaton turun dari kuda, yang masing-masing langsung terhuyung-huyung nyaris terjatuh ketika telah berdiri di atas tanah. Tumurah dan Samangkin yang ikut menyambut bergegas ikut menolong. Tumurah menyempatkan menyembah sebelum ia sigap memeluk Tribhuaneswari dan menuntunnya masuk ke dalam rumah melalui pintu samping, pun Samangkin dengan cekatan menuntun tangan Pradnya Paramita sementara Nyai Danamati dengan gugup menggandeng lengan Narendraduhita. Semua harus melintas pintu samping karena ruang tengah berbau anyir darah. “Apa yang terjadi, Raden?” tanya Danapati. Raden Wijaya tersenyum kecut. “Nama Paman siapa?” Danapati menjawab, “Hamba Danapati Raden, hamba sekeluarga sungguh berterimakasih pada para prajurit anak buah Raden yang pada saat amat tepat muncul dan menolong kami. Kami nyaris dijarah oleh tetangga kami sendiri yang ternyata menyimpan niat buruk pada hamba, yang terutama kepada kedua anak gadis hamba.” Menyimak itu, Raden Wijaya mengangguk. “Sebelum menjawab pertanyaan itu, bolehkah saya numpang mandi?” Danapati terkejut, “O silahkan Raden.” Danapati bergegas mengantar Raden Wijaya ke pakiwan (Jawa, kamar mandi yang terpisah letaknya dari rumah induk) yang berada terpisah di belakang, ia tidak hanya menyilahkan Raden Wijaya mandi akan tetapi juga menyiapkan pakaian. Sebagai penjual batik, Ki Danapati memiliki banyak persediaan pakaian



batik yang sangat bagus, dan ia tidak perlu merasa sayang untuk menghadiahkan kain-kain batik gringsing yang sangat bagus itu pada para tamunya. Ki Danapati bergegas mengeluarkan beberapa lembar kain batik itu dari salah satu kamar rumahnya yang dijadikan tempat penyimpanan. Tanpa menghitung angka atau nilai, pedagang kaya itu mengeluarkan lima belas lembar yang terbaik, apalagi mengingat, ia berhutang nyawa pada para tamunya itu. Ia berharap Raden Wijaya berkenan menerima pemberian hadiah itu, ia juga berharap para Bala Sanggrama merasa senang menerimanya. Salah satu dari antara kain batik itu mempunyai corak yang tak lazim, di tengah-tengah kain bergambar bulatan yang menggambarkan buah maja yang dikelilingi oleh sulur-sulur seperti akar dan daun-daun. Corak kain itu disebut gringsing lobheng lewih laka. Di halaman, Nambi berbicara bertiga dengan Sorandaka dan Pamandana. “Apakah menurutmu tempat ini cukup aman?” tanya Nambi. Sorandaka mengangguk. “Orang yang memiliki kemampuan melacak perjalanan kita sekarang sedang terhalang mata hatinya. Ia punya kemampuan melacak mengikuti jejak perjalanan kita, ternyata kemampuan itu bukanlah keadaan yang sesungguhnya, karena yang ia lihat hanya jejak keberadaan keris Empu Gandring. Bukan jejak kita, bukan jejak Raden Wijaya, tetapi keberadaan keris itu.” Nambi terheran-heran. “Begitu?” “Ya,” jawab Sorandaka. “Aneh,” desis Nambi, “apakah itu berarti, yang diinginkan orang itu adalah keris Empu Gandring, bukan yang lain?” Pertanyaan itu menyita waktu Sorandaka untuk merenungkannya. “Siapa pun orang itu,” Sorandaka melanjutkan, “ia tidak berkemampuan melacak jejak kita keseluruhan maupun orang demi orang, yang ia lihat adalah bayangan keris Empu Gandring. Oleh karena keris itu berada di benak Raden Wijaya, maka jejak Raden Wijaya berhasil mereka ikuti. Orang itu, ia memiliki tatapan mata yang aneh, bentuk matanya seperti mata kucing yang warna hitamnya tidak bulat. Orang itu barangkali dalang sesungguhnya dari semua kekacauan yang terjadi yang sekarang menimpa Singasari. Orang bernama sandi Rudra Narantaka atau Guru Grahita itu selama ini kita sebut sebagai dalang, namun di belakangnya masih ada orang lain yang lebih kuat lagi. Yaitu orang bermata aneh itu.” Nambi manggut-manggut. Dengan jelas Sorandaka menceritakan pengalamannya dan hal apa saja yang ia ketahui yang disimak dengan penuh minat oleh Nambi dan Pamandana. Selanjutnya terlihat dengan jelas dan cukup gamblang kesulitan dan hambatan macam apa yang akan mereka hadapi di sepanjang waktu ke depan. Namun baik Nambi maupun Pamandana berkeyakinan, perbuatan Jayakatwang dan Kebo Mundarang itu harus mendapatkan hukumannya. Sorandaka melirik endong yang tergeletak di tanah. Dalam diam Sorandaka sedang berpikir sebuah hal, bahwa dengan kembalinya keris itu ke tangan Raden Wijaya, maka kedepannya jejak Raden Wijaya itu akan terlihat lagi. “Kita butuh anak panah lebih banyak lagi?” tanya Sorandaka. “Ya,” jawab Nambi, “kita minta ijin Paman Danapati untuk menebang bambu.” Nambi, Sorandaka dan Pamandana akan beranjak, namun kemunculan dua orang gadis anak tuan rumah yang membawa nampan berisi buah-buah memaksa Nambi dan dua temannya untuk menunda, buah yang disajikan itu, nangka dan jambu basah sungguh sangat menggoda. Tidak hanya buah, dari senik (Jawa, bakul, biasanya digunakan sebagai tempat menyajikan nasi) yang diturunkan Samangkin meletakkan buah sawo yang menggiurkan. “Silahkan dinikmati para Kakang semua,” kata Tumurah dengan kepala menunduk. “Buah sawonya sudah matang?” tanya Nambi. Samangkin menahan tawa. “Mana mungkin sawo mentah disuguhkan,” kata Samangkin sambil siap beranjak kembali masuk ke dalam rumah. Ada banyak buah buahan berlimpah. Nambi dan Sorandaka bergegas menikmati seolah takut teman-temannya yang sedang tidur akan menghabiskan. Akan tetapi betapa lahap Nambi dan Sorandaka, sebaliknya Pamandana justru seperti kebingungan. Buah-buahan itu tidak mencuri perhatiannya. “Kamu kenapa?” tanya Sorandaka. Pamandana tidak bergegas menjawab pertanyaan itu, namun terlihat jelas raut wajahnya yang aneh, setengah pucat dengan napas yang agak mengombak. Namun Pamandana bisa menghapus jejak wajah aneh itu dari raut mukanya. Kenangan Pamandana melayang jauh ke belakang, wajah istrinya yang amat sulit dilupakan, ia hadir kembali. 12 Matahari juga terik di menjelang Kediri. Kekuatan berasal dari perut bumi itu berusaha mendesak keluar, kekuatan itu telah berjuang sekuat tenaga cukup lama namun ada kekuatan lain yang berusaha menghalangi, kepundan di puncak Gunung Kampud itu berusaha menahannya dengan sekuat tenaga, ia tidak membiarkan sebuah ledakan yang sangat dahsyat bakal terjadi, karena jika gunung itu meledak, akan terjadi pengulangan dari kejadian sebelumnya, sekitar tiga puluh tahun yang lalu, ledakan itulah yang memporakporandakan alam, menabur debu sepanjang tanah Jawa, debu yang terbang tinggi di langit terbawa menyeberang hingga Pulau Sumatera, yang tersapu ke timur terbang tinggi sampai Lombok, yang menyebabkan langit kotor sekali bahkan cenderung gelap enam bulan lamanya. Sesungguhnya, apa yang tampak di langit merupakan pertanda aneh, akan



tetapi rombongan prajurit yang pulang dengan mabuk kemenangan itu sama sekali tidak sempat memperhatikan. Di atas sana, ada banyak sekali burung beterbangan, dampyak-dampyak (Jawa, bergerak bersamaan) meninggalkan Gunung Kampud. Ribuan burung kuntul, ribuan burung betet dan burung yang lain beradu cepat pergi menjauh sejauh-jauhnya menyelamatkan diri. Mereka rupanya tahu, bahwa tak berapa lama lagi akan terjadi sebuah ledakan besar, ledakan yang sangat berbahaya, yang apabila tidak dihindari, akan membetot nyawa mereka, memaksa keluar dari tubuhnya. Sebenarnyalah, di lereng-lereng mendekati puncak gunung, para binatang merasakan benar betapa di perut bumi sedang terjadi pergolakan yang sangat dashyat. Para kera, para ular, para harimau menandai keadaan yang tidak sewajarnya itu. Mereka berlarian turun menyelamatkan diri. Tak hanya yang berada di lereng-lereng, bahkan juga yang berjarak jauh. Di perkampungan para ayam berteriak-teriak serentak. Orang-orang yang mencari penghidupan di hutan, mereka yang berburu atau menanam berbagai tanaman, merasakan sekali betapa udara amat gerah. Udara yang panas itu sejatinya berasal dari perut bumi. Namun meski para binatang telah minggat terbang maupun minggat dengan cara berlarian, ada sekelompok binatang yang rupanya justru menunggu bencana itu datang. Bagi sekelompok hewan itu, bencana yang akan terjadi itu justru merupakan saat yang sedang ditunggu. Segenap hewan itu adalah dari golongan angsa, yang tidak perlu merasa gaduh seperti yang lain. Para angsa itu menempati salah satu lereng yang sebelumnya terdapat air terjun yang mengalirkan airnya terus menerus, air yang keluar dari perut bumi. Namun sejak sebulan terakhir, air terjun itu tidak lagi mengalir, tidak lagi menggemuruh sebagaimana biasanya. Padahal air itulah, dan suara menggemuruh dari air terjun itulah yang dirindukan oleh para angsa, tanpa air terjun itu, tanpa suara gemuruhnya, maka tempat di salah satu lereng gunung itu bukan lagi tempat yang menyenangkan. Seorang penduduk berusia tua memperhatikan keadaan itu. “Aneh, ada apa ya?“ pertanyaan itu ia lontarkan dalam hati. Kebetulan lelaki tua itu sedang berjalan menuju rumah anaknya dan harus melintasi beberapa rumah. Ia merasa heran, para binatang serentak dan dengan tiba-tiba seperti meminta perhatian, para ayam bukan berteriak namun sejatinya sedang menjerit memamerkan kegelisahannya. Dan kegelisahan itu menjalar, tak hanya milik para ayam akan tetapi juga para sapi yang tiba-tiba melenguh. Lelaki tua itu merasa semakin heran ketika tiba di rumah anaknya, seekor kuda yang tersisa di kandang tampak gelisah. Kuda itu tampak jelas merasa tak nyaman berada di kandang kuda itu dan ingin segera melarikan diri. Kuda itu adalah kuda yang tersisa di Kediri karena semua kuda tidak peduli milik siapa pun disita oleh negara digunakan untuk berperang. Kuda itu tampak sakit-sakitan, kurus, memang tak layak digunakan untuk berperang. Di kandang milik tetangga, segenap sapi dengan sangat jelas menunjukkan kecemasannya, seekor melenguh disambung oleh sapi yang lain yang ikut-ikutan melenguh. Kemudian, seperti ada yang memberitahu, lelaki tua itu berbalik dan memperhatikan puncak gunung di kejauhan. “Ada apa ayah?” tanya anak perempuannya yang keluar membuka pintu. “Perhatikan gunung itu,” jawab ayahnya. Dua orang ayah dan itu memperhatikan gunung yang menjulang tinggi seolah menunggu sesuatu akan terjadi. Mereka menduga, beberapa waktu ke depan, bakal terjadi sesuatu yang luar biasa. “Apakah gunung itu akan meledak, ayah?” tanya anaknya. Ayahnya menggeleng, “Saya tidak tahu,” jawabnya. Di dalam salah satu kereta, sebagai seorang bebandan Gayatri tiba-tiba berubah menjadi seorang yang sidik paningal, pandangan matanya seperti melihat kejadian sejengkal lebih dulu, namun yang sejengkal lebih dulu itu adalah penglihatannya atas gunung yang meledak. Gayatri terkejut seperti terbangun dari tidur, atau tersadar dari lamunan. “Berhenti,” Gayatri tiba-tiba meminta perhatian. Sais yang mengendalikan gerak kereta kudanya segera memenuhi permintaan itu, yang ditiru oleh barisan di belakangnya. Demikian juga dengan rombongan yang di depan ikut-ikutan, Prabu Jayakatwang yang penasaran bergegas turun dari kereta kudanya. “Ada apa itu?” “Tidak tahu Sang Prabu,” jawab prajurit yang merangkap sais kereta. Melihat ada yang aneh, Prabu Jayakatwang segera mengayunkan langkah kakinya. Gayatri tidak tertarik pada Jayakatwang yang melangkah mendekatinya, akan tetapi pandangan matanya lurus ke arah gunung Kampud. Gunung itu tampak tenang, akan tetapi para binatang tahu, sosok yang menjulang tinggi itu sedang bergetar, sedang meronta-ronta. Ke depan, sebuah bencana yang mengerikan boleh jadi akan terjadi. “Ada apa?” tanya Jayakatwang. Gayatri tidak segera menjawab, pandang matanya tak berpindah, tidak beralih ke arah lain. “Ada apa Gayatri?” ulang Raja Gelang Gelang Kediri itu. Gayatri menghela napas pendek, dan diulang lagi dengan tarikan napasnya yang panjang, ia memutar pandangan matanya ke segala penjuru. Lalu berhenti tatapan mata istri termuda Raden Wijaya itu ke wajah Prabu Jayakatwang. Senyum yang mengembang di sudut bibir Gayatri adalah senyum yang sulit ditebak apa maknanya. “Para Dewa di langit sedang murka, sebaiknya



Paman dan segenap rombongan ini segera menyelamatkan diri.” Jayakatwang menyimak ucapan sekar kedaton yang sangat cantik itu dengan penuh perhatian tanpa satu kalimat pun yang tercecer. Beberapa saat ucapan itu ia kunyah sampai lembut namun tetap saja ia tidak menemukan jawaban. Jayakatwang kemudian tersenyum. Sebagian dari para prajurit datang mendekat dan ingin menyimak pembicaraan yang berlangsung. Mereka pun ikut tertawa ketika tiba-tiba Jayakatwang tertawa, tawa yang aneh karena tak seorang pun yang tahu alasan apa yang harus digunakan untuk tertawa itu. “Para Dewa akan murka?” ulang Jayakatwang, “kalian dengar semua? Gayatri mengatakan, para Dewa akan murka?” Jayakatwang kemudian tertawa terkekeh. Barulah para prajurit itu merasa punya alasan untuk tertawa terbahak-bahak. Tawa berderai itu sambung menyambung, sampai ke ujung depan dan ke ujung belakang barisan, mereka yang belum tahu duduk persoalannya. “Lihatlah, gunung itu, Paman,” kata Gayatri. Jayakatwang menoleh mengarahkan perhatiannya ke Gunung Kampud. “Kenapa?” tanya Jayakatwang. Gayatri tidak menjawab. “Mari kita perhatikan bersama-sama, Paman, kita saksikan apa yang akan terjadi.” Jayakatwang masih mengalirkan suara tawanya. “He kalian semua,” Jayakatwang berteriak, “lihatlah gunung itu. Ada apa dengan gunung itu?” Para prajurit mengarahkan pandang matanya ke arah yang sama. Ke Gunung Kampud yang dilatari langit sangat bersih, warna biru itu tak ternoda oleh segumpal awan sekalipun. Tidak ada yang luar biasa di sana, tidak ada yang aneh karena lagak gunung itu bagaikan benda mati. Lalu terjadilah peristiwa itu. Ledakan yang demikian dahsyat, beribu kali dari kata dahsyat dan luar biasa terjadi, ledakan yang amat keras menyobek gendang telinga, yang hanya dalam hitungan kejab, disusul dengan awan tebal bergulung-gulung berupaya menggapai atap langit, tak hanya menyebar, akan tetapi juga menuruni lereng dan terus turun merusak apa pun, membakar apa pun, meluluhlantakkan apa pun. Ledakan gemuruh itu, rupanya sangat menyentak dan mengagetkan. Prabu Jayakatwang yang sama sekali tidak mempunyai persiapan untuk menghadapi keadaan yang tak terduga itu seketika terjengkang, seolah terhantam oleh ayunan palu yang menggedor dadanya. Demikian pula para prajurit yang mengawalnya yang sama sekali tidak menduga, mereka terjengkang berjatuhan, para kuda tunggangan mereka mendadak liar tidak terkendali. Hanya kepada Gayatri ledakan gemuruh itu sama sekali tidak berpengaruh. Mula-mula, kekuatan yang bergejolak di perut bumi itu seperti udara yang bergejolak di perut manusia. Udara yang sangat mampat itu butuh celah untuk membebaskan diri, akan tetapi udara mampat itu benar-benar tertahan. Meronta mencari celah macam apa pun, pihak kepundan dengan sekuat tenaga menghalanginya. Kekuatan perut bumi itu sebenarnya bisa terurai lembut bila memperoleh jalan keluar yang bersifat terus menerus, itu seperti kentut yang memperoleh celah untuk keluar, tidak terdengar ledakan atau gejolaknya, tenaga yang dimiliki kentut terurai tanpa suara. Mestinya gunung pun demikian, ketika tenaganya memperoleh celah dan terurai, sesungguhnya ia tidak perlu meledak. Yang terjadi, udara yang terbentuk di perut bumi itu benar-benar terhalang tidak bisa keluar, kepundan dengan sekuat tenaga berusaha menghalanghalanginya, yang ia lakukan itu sepanjang tahun sepanjang waktu. Sayang sekali, tenaga yang meronta itu semakin lama semakin kuat, kian kuat dan tibalah pada suatu masa kepundan tak lagi mampu menahan. Maka ledakan yang sangat dahsyat pun terjadi. Kepundan terlempar ke segala penjuru menyebabkan isi perut bumi yang ternyata berupa cairan api itu bergolak keluar. Cairan api itu adalah bencana yang tak bisa ditahan oleh berbagai pepohonan dan kehidupan apa pun bentuknya. Sungai api itu mengalir sesuai sifat benda cair yang selalu mencari tempat yang lebih rendah. Pepohonan yang dilintasi pun hangus, tanah yang dilintasi berubah membatu sebagaimana tanah yang dibakar. Demikianlah aliran sungai api itu terus bergerak ke bawah dan ke bawah, keluar bagai banjir bandang dari perut Gunung Kampud seolah gunung itu berjanji akan memberikan berapa pun jumlah lahar dibutuhkan. Puncak gunung dan lerengnya hangus seketika, termasuk sebuah tempat di salah satu lereng yang dihuni oleh ratusan ekor angsa. Tak seekor pun dari ratusan dan mendekati angka seribu itu yang mencoba menghindar dan menyelamatkan diri untuk menyambung umur. Para angsa yang usianya sangat tua itu dengan sepenuh hati menyongsong kobaran lahar api yang turun mengalir ke arah mereka, hangus pepohonan tempat mereka tinggal, sehangus itu pula mereka. Sementara itu, langit seketika menjadi gelap. Debu gunung membubung tinggi, debu terbang menjilat langit menyebar laksana cendawan yang sedang mekar, jauh tinggi mereka terbang, jauh sangat tinggi menyebabkan rombongan burung betet yang sudah terbang jauh terkejar pula. Asap dan debu yang menjulang naik itu ternyata beracun mematikan, juga berupa gumpalan awan yang melibas para burung itu tanpa bisa menghindar. Sungguh layak dan bisa dimengerti kenapa para burung itu berusaha minggat sejauh-jauhnya, yang meskipun sudah berusaha menjauh pun ternyata masih terkejar



pula. Berjatuhan burung-burung itu dari langit yang tinggi. Yang terjadi perut bumi seolah hanya berisi debu, setelah berhasil membobol kepundan, debu itu bergerak cepat karena dengan tibatiba angin berhembus cepat. Angin bergerak ke segala arah dan penjuru sebagaimana sifatnya yang tanpa bentuk. Dari langit batu-batu berjatuhan. Sulit membayangkan, seberapa besar kekuatan yang dimiliki gunung itu ketika ia melempar batu sebesar sapi, sebesar anak gajah, sebesar gajah itu sendiri. Batu-batu mengerikan itu melesat seperti krupuk, padahal para prajurit pengawal Raja Kediri itu membayangkan dengan seksama, ambyar kepalanya bila bongkahan batu itu sampai menimpa kepalanya. “Hebat benar peristiwa alam yang menandai kehancuran Singasari,” kata Gayatri seperti pada diri sendiri, namun betapa lantang suara itu. Gayatri mencatat, tak hanya kemunculan bintang kemukus, tetapi juga meledaknya gunung. Kediri, Balitar adalah dua kota besar yang berada tak jauh dari Gunung Kampud. Anehnya, gunung itu meledak seperti sedang melampiaskan kemarahan yang ditujukan lebih pada Kediri, bencana mengerikan tidak menjatuhkan bebatuan ke arah Blitar yang membutuhkan jarak waktu setengah hari berkuda. Berjumpalitan Prabu Jayakatwang menghadapi bencana mengerikan itu. Akhirnya penguasa Gelang-gelang itu memperoleh tempat berlindung di bawah pohon beringin besar yang memiliki daun yang lebat dan ranting-ranting yang rapat, sementara para prajurit bawahannya yang tidak menduga bakal memperoleh hujan batu bergegas berlindungi di balik benda apa pun. Kejaiban sebaliknya tertuju pada Gayatri, hujan batu itu sama sekali tidak berniat menyentuhnya. Demikian hebat akibat ledakan gunung itu, maka semua wajah berubah berpupur debu tebal. Dalam hal itu, Gayatri juga. Gayatri yang semula berdiri tegak semakin lama semakin kabur dan semakin kabur bayangan tubuhnya. Demikian tebal debu yang turun dari langit itu, menyebabkan bahkan Jayakatwang tidak lagi melihatnya. Gayatri bagai lenyap dan berjalan entah ke mana. 13. Bencana mengerikan itu menimpa Kediri, jarak terdekat dari keberadaan Gunung Kampud. Ketika ledakan itu telah mereda setelah tidak kali ledakan susulan yang beruntun, maka Kediri benar-benar menjadi wilayah yang paling menderita karena jaraknya yang paling dekat dari arga (Arga, Jawa, gunung) yang sedang murka itu. Keadaan yang sama gelap gulitanya juga dialami Balitar, Nganjuk di arah barat dan Kertosono di utara. Tak jelas bagaimana duduk persoalannya, akan tetapi petir meledak di mana-mana, terdengar sambar menyambar dan susul menyusul. Petir biasanya selalu akrab dan berhubungan dengan mendung, namun rupanya debu tebal juga merangsang kehadiran kilat yang muncrat di segala penjuru itu. Hujan batu menyebabkan atap-atap rumah berantakan. Atap rumah juga mudah ambruk oleh tebalnya debu yang berubah menjadi beban melebihi kemampuan atap dalam menyangga. Meski batu-batu sebesar anak gajah tidak jatuh sampai di Kediri akan tetapi hujan batu sebesar kepalan telur terus berjatuhan di tempat itu, hal itu berlangsung tidak ada hentihentinya, menyebabkan keadaan menjadi kacau balau, sangat kacau balau. Guncangan yang berasal dari perut bumi itu nantinya menyebabkan bencana susulan, kebutuhan atas air bersih, berimbas kebutuhan makan karena semua masakan membutuhkan air bersih, berlanjut ke kesehatan penduduk. Dalam waktu sejengkel ke depan, bisa dipastikan akan banyak orang meninggal. Hujan batu di bencana yang berlangsung tengah hari itu benar-benar meluluhlantakkan apa pun, tidak terkecuali istana Gelang-gelang. Batu-batu sekepalan tangan itu membunuh banyak orang, mereka yang selamat adalah mereka yang mempunyai kesempatan untuk berlindung, di rumah-rumah, meja adalah benda yang sangat berjasa menyelamatkan lembaran nyewa. Tidak hanya bersembunyi di bawah meja, namun mereka yang juga bersembunyi di kolong amben. Bencana itu bagai tak mau berlalu, atau orang akan bertanya, sampai kapankah bencana itu akan berakhir. Ledakan gumuruh itu tidak lagi terdengar gemanya, namun kilat muncratlah penggantinya yang selalu disusul ledakan ledakan, yang itu terjadi di sana-sini. Dari arah Gunung Lawu di barat terlihat jelas keadaan yang jarang-jarang terjadi itu. Kabut yang membubung tinggi bagai cendawan raksasa yang kemudian hanyut tergantung angin membawanya ke mana. Siang di langit Kediri, berubah menjadi hitam yang tak layak disebut malam. Istana Kediri gelap gulita. Angin yang berhembus mengaduk debu yang melayang membatasi jarak pandang mata, para prajurit mati langkah, kebingungan dan tidak mampu melakukan apa pun. Debu yang tebal menutupi mata menyebabkan mereka buta dan lumpuh. Hujan batu yang turun dari langit merusak apa pun, membunuh apa pun, karena apalah yang bisa dilakukan kepala dalam menghadapi batu yang melesat dari langit dengan kecepatan kilat. Ketika itu, kedatangan hujan batu lebih dulu dari debu. Segenap prajurit Kediri yang sedang melaksanakan tugas jaga mengikuti rangkaian peristiwa yang berlangsung sejak dari awal. Ledakan gemuruh menyebabkan mereka menoleh mencari dari mana sumber suara berasal, pada saat itu terlihatlah oleh mereka cendawan raksasa muncul dari puncak gunung



Kampud, bentuknya seperti mendung bergumpal yang bergerak dengan amat kasar. Belum bergeser perhatian para prajurit Kediri itu dari gumpalan awan panas, dari angkasa tiba-tiba berjatuhan bebatuan sekepalan tangan, yang sebagian di antaranya masih membara. Berlarian para prajurit itu menyelamatkan diri, tak hanya para prajurit, akan tetapi juga para abdi istana, para tandha (Jawa, pegawai istana), para emban, para pekatik (Jawa, pengurus kuda) kuda menyelamatkan diri. Mereka berlindung dengan cara apa pun, termasuk menceburkan diri di kolam, dikiranya dengan berada di kolam akan selamat lembaran nyawa mereka. Setelah hujan batu tiba dan mendarat di kota Kediri, terdengarlah ledakan berikutnya, itulah ledakan yang lebih keras dan lebih kuat, ledakan yang menyemburatkan apa pun. Hanya dalam hitungan kejab, hujan abu menyebar ke segala penjuru, sebagian membubung terbawa angin dan sebagian yang lain memilih mendarat di bumi. Dalam keadaan yang demikian, tak lagi ada orang berwajah cantik atau tampan, semua orang tidak kelihatan wajahnya. Debu menjadi pupur. Keadaan yang demikianlah yang dihadapi Gayatri, yang menyebabkan jiwa kemanusiaannya tersentuh, menyebabkan ia harus turun tangan menyentuh. 14. Ledakan yang terjadi dan berasal dari dan tak jauh dari Kediri itu gemuruh dan hentakannya sampai pula Singasari dan sekitarnya, dentumannya memekakkan telinga, menggetarkan daun-daun. Dentuman itu terus bergerak ke timur, melintasi Selat Bali dan mengagetkan orang-orang di Bali. Ke arah barat, dentuman susul menyusul itu mengagetkan siapa pun yang sedang asyik dengan kegiatan masing-masing. Suara menggelegar itu melintas hutan Mentaok dan bahkan terdengar hingga ke Ciamis, ke tatar Pasundan atau Pajajaran, orang-orang yang sedang memuja semadi di Kandangkamulyan terkejut, maka bubarlah semadi yang mereka lakukan. Para biksu, yang kaget berhamburan keluar untuk melihat apa yang terjadi. Di Padukuhan Windung, Raden Wijaya tak kalah kaget mendengar suara dentuman itu, suara yang sungguh amat keras, yang menyebabkan segenap Bala Sanggrama yang sedang tidur lelap bergelimpangan di rerumputan mencelat bangun. Tatapan mereka jelas menampakkan rasa ingin tahunya. “Suara apa itu?” Ranggalawe meletup dengan mata yang terbelalak. Tak ada yang bisa menjawab pertanyaan itu. Sebagian dari Bala Sanggrama bahkan tidak menyadari apa yang terjadi, sulit membedakan apakah itu terjadi di alam nyata ataukah mimpi. “Suara apa tadi, keras sekali?” tambah Banyak Kapuk. Banyak Kapuk memutar tubuhnya ke semua arah. Rasa keget itu berulang lagi ketika sejenak kemudian, terdengar suara dentuman yang lebih dahsyat, suara yang lebih keras. Terbelalak Ranggalawe mendengar suara yang demikian dahsyat menggetarkan ada, itulah suara yang seumur-umur ia belum pernah mendengarnya. Menurutnya, tidak sebelumnya belum pernah ada suara demikian berwibawa itu, suara yang mudah dipercaya bila ada yang mengatakan itulah Batara Siwa ketika sedang batuk. “Gelap ngampar, (Jawa, petir meledak)” desis Pawagal. Nambi menoleh. Nambi bergegas mencerna apa yang baru saja diucapkan sahabatnya itu. Ia pun mengangguk, sangat masuk akal bila suara itu sejatinya pelepasan aji Gelap Ngampar. Dewa Siwa yang murka mengelurkan aji Gelap Ngampar, amat masuk akal. Dalam ilmu kanuragan ada banyak macam ajian pamungkas, kemampuan puncak yang digunakan ketika segala macam cara tidak bisa digunakan. Ada Aji Sasra Birawa, ada aji Lebur Sakethi, ada aji Panglimunan, ada aji Cleret Tahun, dan ada pula aji Gelap Ngampar. “Seseorang telah melepas aji Gelap Ngampar, itulah tadi suara yang amat menggelegar, yang berasal dari kekuatan ilmu kanuragan bernama Gelap Ngampar. Daun-daun rontok dan bergetar oleh kekuatan aji itu. Gendang telinga yang sehebat apa pun pasti jebol oleh kekuatan aji Gelap Ngampar. Permukaan laut mengombak karena tersentuh aji gelap ngampar, yang bisa berlanjut pada terciptanya ombak raksasa yang bergulung-gulung. Bahkan gumpalan tanah langsung semburat ketika gelap ngampar diledakkan di tengah-tengahnya.” Semua menyimak apa kata Pawagal, dan tak seorang pun yang menolak, bahwa seperti itulah kekuatan dahsyat dari Aji Gelap Ngampar. Ngampar adalah petir, dan suara apakah yang punya kekuatan demikian dahsyat kecuali petir atau geluduk. Raden Wijaya dan Ki Danapati menyimak pendapat itu yang rupanya paling benar. Seingat Raden Wijaya, memang tidak ada suara yang lebih dahsyat dan lebih kuat dari petir. Kenyataan itulah yang melatari seseorang menciptakan sebuah ajian bernama Gelap Ngampar, sebegaimana entah latar belakang apa yang mendorong seseorang berasal dari masa lalu bernama Beliung dari Timur menciptakan aji angin lesus yang demikian menakutkan itu. Sebuah kampung bisa porak poranda ketika angin berputar itu lewat, pun tercatat dua pasukan segelar sepapan yang berhadap-hadapan siap bertempur, bubar mawut diterjang pusaran angin yang sanggup membengkak seukuran rumah paling besar. Namun Sorandaka tiba-tiba terbatuk. Raden Wijaya menoleh memberikan perhatiannya, “Menurutmu, suara apakah tadi itu, Sorandaka? Benarkah itu suara seseorang melepas ajian Gelap Ngampar?” tanya Raden Wijaya. Sejak menjadi orang



yang sidik paningal, Sorandaka adalah orang yang paling bisa dipercaya apa yang menjadi ucapannya. Ternyata Sorandaka menggeleng. Maka wajah Raden Wijaya agak berubah. “Itu tadi suara ledakan gunung,” jawab Sorandaka. Jawaban itu menyebabkan para bala sanggrama terkejut, dan mereka pun sontak menerima jawaban itu. Ledakan gununglah yang paling bisa diterima akal, ledakan yang sangat dahsyat macam itu tidak mungkin dari pertir. Petir atau geluduk memang memiliki suara yang dahsyat, akan tetapi suara yang belum lama meledak itu memiliki wibawa yang sangat besar, suara itu sangat menggelegar dan tidak cukup diwakili oleh suara petir. Pendapat itu tidak bisa ditolak karena yang melontarkan adalah Sorandaka, salah satu dari teman mereka yang kini memiliki kemampuan melihat wilayah lain yang orang lain tidak melihat. “Gunung Kampud yang meledak?” tanya Ranggalawe. Sorandaka yang memejam sejenak itu mengangguk tegas. Lalu secara bersama-sama, para Bala Sanggrama itu menengadah mencari-cari, akan tetapi paksi cataka yang mereka cari tidak kelihatan bayangannya. Burung itu melesat jauh entah ke mana. Namun Sorandaka masih bisa melihat jejaknya sebelum burung itu tenggelam di balik awan, bersembunyi di belakang mega. “Kemudian apa yang terjadi di Kediri?” pertanyaan itu datang dari mulut Raden Wijaya. Sorandaka memejamkan mata, melalui keheningan mata hatinya, ia mencoba menerobos ke batas sekat antara ruang dan waktu. Namun Sorandaka tidak melihat sesuatu yang jelas, yang ada hanyalah warna hitam kelam. Sebenarnyalah hal yang sama sedang dihadapi oleh paksi cataka yang kini secara aneh memiliki hubungan dengan mata batinnya. Ledakan menggelegar itu, jauh sebelumnya burung itu sudah tahu bakal kedatangannya, itulah sebabnya ia membubung tinggi, lebih tinggi dari kebiasaannya, di mana di ketinggian sana udara terasa amat dingin. Di langit yang sangat cerah dan berwarna kebiruan itu, ia menatap tajam ke arah barat sedikit serong ke selatan, dari tempatnya ia membubung, keberadaan gunung Kampud itu terlihat sangat jelas, namun sejenak kemudian berubah menjadi hitam legam, itulah warna yang dilihat Sorandaka. Lalu terjadilah ledakan berikutnya itu. Suaranya yang demikian keras menyebabkan paksi cataka yang kini tinggal satusatunya itu tersentak kaget. Suara seolah memiliki daya hantam, menyebabkan burung itu menggeliat, ia pun meliuk mengayuh udara secepat-cepatnya. Burung itu cemas, kobaran api dan udara mampat yang berkobar di pusat ledakan itu akan mengejarnya. Dengan kecepatan yang tinggi burung itu memacu kecepatannya ke arah timur melesat sejauh-jauhnya. Bagi burung itu, menyelamatkan lembaran nyawanya jauh lebih penting daripada memuasi rasa ingin tahu. Burung itu cukup cermat, beberapa waktu ke depan, gumpalan debu yang sangat pekat akan menyulitkannya. Tak mungkin bagi burung itu untuk terbang dalam gumpalan debu. “Kampud, yang meledak,” ucap Sorandaka setelah ia merasa yakin. Pawagal terbelalak. “Kediri luluh lantak?” tanya pemuda itu. Sorandaka tidak menjawab pertanyaan itu. Pawagal tertawa terbahak-bahak. “Rasakan,” letup Pawagal sambil tangannya mengepal. Berbeda dengan apa yang bergolak di benak Pawagal, Raden Wijaya memiliki cara pandang yang berbeda. Bencana yang terjadi di Kediri itu, tidak pada tempatnya untuk disyukuri dengan rasa gembira. Dalam bencana selalu saja ada orang yang menderita yang harus dikasihani. Prabu Jayakatwang memang telah melukai hatinya, melukai keberadaan Singasari, akan tetapi Gunung Kampud yang kini tiba-tiba meletus dan sangat mungkin meluluhlantakkan Kediri, bukanlah hal yang harus disambut dengan rasa gembira dan suka cita. Namun Raden Wijaya tidak mengucapkan apa pun. Sang waktu terus bergerak, kini waktu yang tersaji cukup lapang itu bisa digunakan untuk beristirahat sepuasnya. Para Bala Sanggrama menikmati sekali suguhan tuan rumah yang benar-benar berhasil meredam gejolak perut mereka, rasa kantuk yang terpuasi menyebabkan mereka merasa lebih segar. Demikian juga dengan para sekar kedaton yang masing-masing telah mandi di pakiwan, mereka tidur pulas bagai membalas dendam atas kekurangan istirahat yang mereka alami di sepanjang perjalanan. Namun tidur mereka adalah tidur yang tidak nyenyak. Tidur mereka dihiasi mimpi buruk. Raden Wijaya berusaha untuk beristirahat, akan tetapi meski telah berusaha memejamkan mata dengan bersandar dinding, kantuk yang ia alami tidak menjelma menjadi tidur nyenyak. Jika ada sikap yang berubah luar biasa, itu adalah sikap Pamandana yang mendadak menjadi pendiam. Pamandana yang cemas, tidak mampu menutupi kegelisahannya. Kenangan pemuda berasal dari Kediri itu terlempar jauh ke masa lalu, ke saat di mana ia hidup amat bahagia dengan Dewayani. Kenangan itu amat larut sehingga tanpa sadar, matanya membasah. Bergegas lelaki tampan itu membasuh wajahnya. Setelah Raden Wijaya, boleh dikata, Pamandana adalah orang kedua bila dilihat ketampanannya. Gugup Pamandana bergegas menghapus jejak perasaannya, namun Raden Wijaya terlanjur memergoki. Raden Wijaya mendekat, menyebabkan Pamandana merasa tidak nyaman, ia gugup. “Ada apa?” tanya Raden Wijaya. Pamandana menggeleng. “Ada yang kau cemaskan nasibnya di Kediri? Ada



keluarga di sana?” Pamandana termangu sejenak, “Saya sudah tidak punya siapa-siapa Raden.” Raden Wijaya duduk menyebelahinya. “Gunung meletus itu mencemaskanmu?” Pamandana menggeleng, “Ya, dan tidak,” jawabnya. “Teringat pada istri?” Raden Wijaya menebak. Berubah raut muka Pamandana, namun Raden Wijaya terlanjur menangkap perubahan wajah itu. Maka Raden Wijaya berhasil memastikan, masalah macam apa yang sedang dihadapi oleh Bala Sanggrama Pamandana. Meski sedikit, Raden Wijaya sudah mendengar kisah prajurit Pamandana yang kini menjadi salah seorang pengawal utamanya. “Bila keadaan sudah membaik dan memungkinkan, sebaiknya kamu segera kawin lagi,” kata Raden Wijaya. Pamandana terbungkam. Pamandana menyempatkan menoleh, kemudian menengadah lagi. Dengan lunglai ia memberi jawaban yang amat pendek, sebuah gelengan kepala. Pamandana telah berketatapan hati untuk tidak akan pernah beristri lagi, apa pun yang akan terjadi. Cintanya kepada Dewayani yang berkorban sangat besar padanya tidak boleh dinodai dengan kehadiran perempuan lain, meski perempuan itu adalah Dewi Supraba yang diturunkan dari langit. Kenangan atas istri yang dicintainya, istri yang tidak mampu melanjutkan hidupnya di saat akan melahirkan bayinya dan pilih membawa anaknya ke alam langgeng, kenangan itu sungguh sangat mengganggu. Cinta itu demikian besar, sehingga ke depan, Pamandana telah berjanji pada diri sendiri untuk tidak akan memikirkan perempuan lagi, tidak akan kawin dengan siapa pun. Tidak akan pernah ada perempuan mana pun yang akan menggoyang hatinya. “Apakah salah satu anak gadis Ki Danapati itu ada yang menarik perhatianmu?” tanya Raden Wijaya. Pertanyaan itu menyebabkan Pamandana bingung, karena justru di bagian itulah letak dari permasalahan yang kini sedang ia hadapi. Ia terkejut luar biasa seperti melihat hantu, melihat Samangkin ia seperti melihat hantu, ia bagaikan melihat istrinya hidup kembali. Separuh lebih raut wajah Samangkin yang mirip mendiang istrinya. Pamandana memejamkan mata, tiba-tiba bayangan istrinya muncul kembali, dan itu sangat mengoyak isi dadanya. “Maaf, Raden,” kata Pamandana sambil menyembah. Pamandana kemudian menjauh, pemuda itu menuju sungai dan duduk di hamparan rumput. Akan tetapi Pamandana tidak melakukan apa pun. Raden Wijaya mengernyit, ia berpikir sangat keras dan merasa menemukan jawabnya. Raden Wijaya menyusul dan kembali menempatkan diri duduk di sebelah pemuda itu, menyebabkan Pamandana merasa jengah. “Berceritalah sesuatu,” kata Raden Wijaya. Pamandana menoleh, namun tidak sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. “Saya hormati apa pun yang sedang bergolak dalam persoalanmu. Kalau kau punya masalah berat, berbagilah.” Pamandana tersenyum. “Masalah saya tidak berat Raden, tidak ada seujung kuku dari kekacauan yang sedang Raden hadapi saat ini. Hancurnya istana, gugurnya mertua Raden, semua itu beban yang tak tertandingi oleh beban siapa pun.” Raden Wijaya memandang jauh ke barat, langit masih terlihat bersih, namun ia meramal dan meyakini, sejengkal waktu ke depan, langit akan penuh debu. Dibawa oleh angin yang bergerak ke segala penjuru, debu itu akan tiba pula di Singasari. Raden Wijaya masih ingat saat beberapa tahun sebelumnya ia menempuh perjalanan laut bersama mendiang Raganata menuju sebuah tempat bernama Cirbon, di perjalanan terjadi hujan abu. Gunung Merapi yang berada di barat setelah Gunung Lawu meledak dahsyat. Maka kini, sebentar lagi, keadaan di Singasari tak akan jauh berbeda dari Merapi saat itu, pasti akan segera disergap hujan abu. “Kakang Nambi dan Ranggalawe pernah bercerita, kau kehilangan istri?” Raden Wijaya bertanya dan langsung mengusik. Pamandana mengangguk perlahan. “Siapa nama mendiang istrimu?” tanya Raden Wijaya lagi. Datar sekali raut wajah Pamandana. “Dewayani. Raden. Ia meninggal di saat melahirkan, tidak ada juru usada yang menolong, ia pergi untuk selamanya membawa serta anaknya.” Raden Wijaya memegang pundak Pamandana sambil menepuk-nepuknya. Persoalan yang sedang dihadapi Bala Sanggrama Pamandana itu juga merupakan beban yang sangat berat. Istri yang dicintai pergi untuk selamanya, apalagi dengan membawa pula anak dalam kandungannya, pasti meninggalkan jejak yang sangat berat bagi suaminya, meski ada pula suami yang dengan tanpa beban kawin lagi, untuk istri kedua, ketiga, bahkan ke empat. “Siapakah di antara kedua anak gadis Ki Danapati itu yang memiliki wajah mirip mendiang istrimu?” Suasana menjadi sangat hening. Ketika Pamandana terdiam beberapa saat, Raden Wijaya juga mengimbangi dengan diam beberapa saat. Suara yang kemudian terdengar adalah suara dari kuda-kuda mereka yang tiba-tiba gaduh. Namun Raden Wijaya yang menyempatkan menoleh tidak melihat penyebab apa pun yang membuat para kuda itu gaduh. Beberapa saat menunggu, Pamandana ternyata tidak berkata apa pun. “Kakaknya?” tanya Raden Wijaya. Pamandana menarik napas panjang. Ia tidak menjawab. “Atau adiknya?” pancing anak mentu Sri Kertanegara itu. Pamandana menggeleng. “Ayolah, siapa di antara mereka yang kau tertarik?” Pamandana yang semula menyelonjorkan kedua kakinya di rumput itu tiba-tiba duduk bersila



dan memandang Raden Wijaya dengan tajam. “Hamba memang kaget Raden, namun Hamba tak boleh kehilangan kesetiaan hamba pada mendiang istri hamba. Kaget bukanlah tertarik, kaget karena mirip ya, namun tertarik? Tidak Raden.” Raden Wijaya tersenyum dan mengangguk. “Bukan itu yang saya tanyakan, saya bertanya, siapa di antara kedua anak Ki Danapati itu yang wajahnya mirip wajah mendiang istrimu. Kakaknya?” Pamandana tersenyum. “Atau adiknya?” Pamandana kembali menggeleng, “Saya tidak boleh tertarik padanya, Raden.” Namun Raden Wijaya tidak patah semangat untuk mengorek. “Mengangguklah kalau tebakan saya benar, istrimu mirip yang muda bukan?” Pamandana terpaksa mengangguk. Ia tidak punya pilihan lain, sangat tidak sopan untuk tidak menjawab pertanyaan Raden Wijaya. Raden Wijaya tertawa dan tiba-tiba berdiri. Sikap Raden Wijaya yang demikian itu sangat mangagetkan Pamandana. “Raden, apa yang akan Raden lakukan?” Raden Wijaya berdiri, “Saya akan meminangnya untukmu.” Pamandana terlonjak dan dengan bergegas ia berdiri dan menempatkan menghadang Raden Wijaya. “Mohon Raden tidak melakukannya,” kata Pamandana, “hamba tidak akan kawin lagi.” Raden Wijaya diam beberapa saat, ia melihat kesungguhan di wajah Pamandana saat sedang berbicara itu. Dari jauh Nambi dan Ranggalawe terkejut melihat sikap Pamandana yang seperti sedang marah pada Raden Wijaya. Namun Nambi dan Ranggalawe segera melihat Pamandana menyembah. Raden Wijaya menepuk-nepuk pundak Pamandana dan melangkah meninggalkannya. Sang waktu bergeser sedikit ke agak sore, para sekar kedaton sudah merasa cukup beritirahat, setelah penampilan mereka yang menyedihkan, kini semua menggunakan kain gringsing yang masing-masing coraknya mirip. Atas permintaan Ki Danapati, para Bala Sanggrama yang sudah membersihkan diri juga telah mengenakan kain gringsing, hadiah dari Ki Danapati yang sedang sangat berkenan hatinya, demikian pula dengan Raden Wijaya juga mengenakan kain gringsing donopaten yang paling bagus dan harganya termahal, namun dengan corak khusus, gringsing lobheng lewih laka. Di halaman berumput tebal itu, Ki Danapati duduk bersebelahan dengan istrinya, sementara Tumurah dan Samangkin berada bersebelahan dengan para sekar kedaton. Kecantikan kedua anak gadis pemilik rumah itu membetot perhatian segenap Bala Sanggrama, akan tetapi tidak seorang pun yang melontarkan dalam ucapan. Duduk melingkar di halaman itu, para Bala Sanggrama menunggu Raden siap berpamitan. “Kiai Danapati,” Raden Wijaya meminta perhatian. Disebut namanya, Ki Danapati bergegas menyembah dengan merapatkan kedua telapak tangannya. “Hamba Raden,” jawabnya. “Apabila perhitungan saya tidak salah,” kata Raden Wijaya, “tidak berapa lama lagi, hujan abu akan datang ke tempat ini, atau bisa jadi tidak tergantung gerak dan arah angin. Sementara kami, kami harus selalu bergerak dan terus bergerak, tak boleh berhenti. Kami akan melanjutkan perjalanan yang harus semakin jauh meninggalkan Singasari.” Kiai Danapati manggut-manggut. “Kemana Raden akan pergi?” Raden Wijaya tersenyum. “Ke mana kami akan pergi, sayang sekali kami tidak bisa menyebut, Ki Danapati, akan tetapi tolong bagi doa untuk kami, semoga selamat dari bencana terkejar oleh para para prajurit Kediri yang demikian bernafsu ingin menangkap kami. Kelak, ketika keadaan sudah membaik, kami akan kembali dan membalas perbuatan orang-orang Kediri itu.” Ki Danapati dan istrinya bergegas menyembah. “Tentu Raden,” jawab Ki Danapati dengan tangkas, “sepeninggal Raden, kami akan semua selalu mendoakan, semoga Raden dan rombongan akan selamat dari bencana.” Raden Wijaya terdiam. Pamandana merasa tak nyaman ketika Raden Wijaya dengan tiba-tiba menjatuhkan pandang matanya ke wajahnya. Pamandana yang gelisah bergegas menjawab dengan gelengan kepalanya. Nambi yang melihat itu, penasaran, akan tetapi Nambi tidak segera menemukan jawabnya. “Sebelum saya dan rombongan melanjutkan perjalanan, ijinkanlah saya mengajukan sebuah pertanyaan penting.” Semua wajah mengarah ke wajah Raden Wijaya, Ki Danapati dan istrinya yang paling tersita perhatiannya. Yang tiba-tiba merasa gelisah adalah Pamandana, yang oleh karenanya, keringat tiba-tiba muncul sebesar jagung. Keadaan Pamandana yang demikian, tidak luput dari perhatian Bala Sanggrama Nambi. “Kenapa Pamandana itu?” tanya Nambi dalam hati. Ki Danapati merapikan duduk bersilanya. “Pertanyaan apa, Raden?” tanya Ki Danapati. Raden Wijaya kembali mengarahkan pandang matanya kepada Pamandana, yang mendadak basah kuyup bagai baru saja mandi. Namun basah kuyup karena mandi dan karena keringat jelas berbeda. “Apakah kedua anakmu sudah bersuami?” Pertanyaan itu menyebabkan semua orang kaget. Para Bala Sanggrama tersentak kaget dan dengan segera memusatkan perhatiannya, demikian pula dengan para isteri Raden Wijaya, para sekar kedaton yang terusir dari istananya itu sama sekali tidak mengira suaminya melontarkan pertanyaan macam itu pada tuan rumah. Namun yang paling kaget, tentu saja anak Ki Danapati. Mata Tumurah dan Samangkin itu mendadak terbelalak. Mereka sungguh terkejut. Pertanyaan itu jelas pertanyaan mengagetkan bagi Ki Danapati dan



istrinya, akan tetapi itulah pertanyaan yang sangat menyenangkan hati mereka. Ki Danapati dan istrinya segera menebak, ke manakah arah pertanyaan Raden Wijaya itu. “Belum Raden,” jawab Ki Danapati. Raden Wijaya tersenyum dan kembali mengarahkan pandang matanya kepada Pamandana yang semakin salah tingkah. Nambi tiba-tiba terkejut. “Ooo!” letupnya. Raden Wijaya menoleh. “Kenapa, Kakang Nambi?” tanya Raden Wijaya. Nambi manggut-manggut. “Maaf Raden, saya amat terkejut setelah mencermati, anak Ki Danapati yang muda, rupanya ia amat mirip dengan mendiang istri Pamandana.” Raden Wijaya tersenyum mendengar ucapan Nambi itu. Raden Wijaya memandang tajam Bala Sanggrama Pamandana yang semakin gelisah. Pamandana sibuk menggelengkan kepala. Ki Danapati termangu dalam upayanya menyimpulkan keadaan. Tidak hanya Nambi, Ranggalawe juga mencermati wajah Samangkin dengan cermat. “Benar!” letup Ranggalawe, “wajah anak Kiai Danapati yang muda, sangat mirip dengan mendiang istri Pamandana. He, Pamandana, bukankah begitu?” Pamandana tidak menjawab, ia menunduk amat dalam. Samangkin yang terpancing rasa ingin tahunya memperhatikan wajah Pamandana, hingga sejauh itu ia belum bisa menebak apa yang terjadi. Raden Wijaya menjelaskan, “Kalau Ki Danapati berkenan, saya melamar anak Ki Danapati untuk Bala Sanggrama Pamandana, supaya ia segera terbebas dari kesedihannya. Kebetulan anak Ki Danapati memiliki wajah yang mirip dengan mendiang istrinya, yang meninggal belum lama ini, saat mestinya melahirkan anaknya. Boleh jadi, anak Ki Pamandana adalah titisan mendiang istrinya.” Pamandana menunduk sangat dalam, tak sepatah kata pun terucap di mulutnya. Ranggalawe yang juga mengenal Pamandana ikut manggut-manggut, setelah memerhatikan, ia membenarkan apa yang disampaikan Nambi. “Saya mendukung,” tiba-tiba Ranggalawe meletup, ucapannya agak keras. Kini semua perhatian segera terarah pada Pamandana yang masih menunduk. Arah kenangan pemuda itu amat deras tertuju pada mendiang istrinya, istri yang sangat dicintainya, istri terkasih yang telah memporakporandakan hatinya karena kepergian yang demikian mendadak dan tidak akan pernah dijumpai lagi untuk selamanya. Pamandana yang menunduk itu kemudian merapatkan ke dua telapak tangannya, diarahkan sikap menyembah itu pada Raden Wijaya. “Hamba Raden, mohon maaf, hamba telah berketetapan hati untuk tidak akan memikirkan hal itu.” Amat hening suasana. Tribuaneswari memandang Pamandana dengan tatapan tak berkedip dan tajam. Hal yang sama dilakukan kedua adiknya, Pradnya Paramita dan Narendraduhita yang juga ikut menatap wajah duda tampan yang sesungguhnya berasal dari Kediri itu. Tiba-tiba saja munculnya rasa ingin tahu itu, tentang kisah macam apa di balik wajah tampan Bala Sanggrama Pamandana. Rasa penasaran juga tumpah ruah di wajah Samangkin, dengan tak berkedip ia memandang Pamandana yang menunduk. Ranggalawe batuk-batuk, ia meminta perhatian. “Pamandana bergabung menjadi bagian dari prajurit Bala Sanggrama belum lama. Ia berasal dari Kediri memiliki istri yang cantik bernama Dewayani. Akan tetapi sayang, hidup Dewayani tidak panjang, ia gagal melaksanakan tugasnya sebagai ibu untuk melahirkan anaknya dan bahkan pilih menyelamatkan dan membawa anak yang dikandungnya supaya terhindar dari kejamnya kehidupan di dunia. Saya harus membenarkan apa kata kakang Nambi, mendiang istri Pamandana rupanya telah menitis kembali.” Suasana yang hening itu bergerak menjadi amat hening. Pontang panting Pamandana berusaha mengusai diri, akan tetapi prajurit yang demikian ulet, lincah trengginas trampil di palagan itu tak mampu menahan diri, ia yang kembali menunduk itu kian menunduk, air mata yang menetes dan jatuh ke pangkuannya itu menyebabkan semua orang yang melihat tersentak. Terbelalak Semangkin melihat itu. “Saya telah memutuskan untuk tidak akan kawin lagi, Raden,” kata Pamandana dengan suara yang bergetar, “lebih dari itu, kiranya saat ini kita sedang berhadapan dengan masalah yang amat berat. Perhatian dan pikiran kita harus terpusat pada masalah itu.” Ucapan itu mengagetkan dan serasa mengguncang pendapa rumah Ki Danapati. Dan hati semua orang pun kemudian teraduk. Para istri Raden Wijaya perlahan, satu demi satu manggut-manggut pertanda memahami dan ikut iba. Tribhuaneswari meraih tangan adiknya, dan meremas jemari tangan itu. Pradnya Paramita tidak perlu menoleh, akan tetapi ia membalas remasan jari tangan kakaknya, sementara Narendraduhita sungguh sangat tertarik pada persoalan yang tiba-tiba mengemuka itu. Narendraduhita menyempatkan memerhatikan wajah kedua kakak dan adik anak Ki Danapati, yang harus ia akui, keduanya memiliki wajah yang cantik. Jika kakak beradik itu mendapat kesempatan untuk berdandan, sebagaimana para anak raja, maka tampilan kedua gadis itu bisa memancing decak kagum. Yang sedang terguncang jiwanya dengan hebat justru Samangkin. Gadis yang semula berani memandang tajam itu kini tiba-tiba menunduk. Sungguh sebuah guncangan yang luar biasa yang mengaduk dadanya, ketika mendengar kisah yang amat menyentuh, iba yang berubah menjadi jatuh cinta itu



datangnya dengan tiba-tiba, namun rasa bingung melihat sikap Pamandana itu juga datang dengan tiba-tiba. “Kakang Pamandana,” tiba-tiba Narendraduhita meminta perhatian. Tidak berani menengadah, Pamandana menyembah. “Hamba Tuan Putri,” jawabnya. “Sangat bagus kalau Kakang Pamandana segera mengakhiri masa berkabung itu.” Pamandana kembali menyembah, namun tak sepatah kata pun yang terlontar dari mulutnya. “Lihatlah Kakang Pamandana, bukalah mata kakang, dan lihatlah, betapa salah seorang anak Ki Danapati itu memiliki wajah sangat mirip dengan mendiang istri kakang? Yang itu artinya, mbakyu Dewayani istri kakang telah menitis kembali, untuk menjaga agar kakang tidak terlalu lama bersedih,” kata Narendraduhita. Pamandana ternyata tetap bergeming. “Tidak Tuan Putri,” jawab tegas Pamandana, “akan terasa menyedihkan sekali apabila hamba sampai kehilangan kesetiaan pada mendiang istri saya, yang pasti akan tersenyum sedih melihat perbuatan hamba.” Jawaban itu menyebabkan mulut Narendraduhita terbungkam. “Bagaimana kalau sebaliknya?” pertanyaan itu datang dari mulut Tribhuaneswari. Semua orang menoleh, kecuali Pamandana. “Bagaimana kalau yang terjadi sebaliknya, mendiang istri Kakang justru tidak ingin melihat hidup kakang sedih berkepanjangan. Lihatlah anak bungsu Ki Danapati Kakang Pamandana, apa kau tidak melihat ia adalah titisan dari istrimu? Titisan, bukan sekadar wajah yang mirip.” Pamandana semakin salah tingkah. Namun ia bergeming, ia tidak mengucapkan kata apa pun. Akhirnya Raden Wijaya melihat, Pamandana memang telah bulat dengan keputusannya. Anak Dyah Lembu Tal itu mengarahkan pandang matanya ke arah barat, meski masih jauh namun segera terlihat, warna langit belahan barat memang tampak berbeda, terlihat kemerahan dan sebagian tampak gelap, warna yang berubah macam itu, semua bisa menerka, hal itu terjadi karena debu dari gunung yang terbawa angin. Suasana berubah agak kurang menyenangkan, menempatkan Ki Danapati dan istrinya merasa sedikit agak kecewa. Kekecewaan yang amat mendalam sebaliknya justru bergolak di hati anak gadis Ki Danapati, Samangkin menunduk, tertunduk seperti duduk di atas bara api. Adalah Banyak Kapuk yang tiba-tiba ucapannya amat mengagetkan. “Saya boleh berbicara, Raden?” ucap Banyak Kapuk. Raden Wijaya memberinya sebuah anggukan. “Mohon Raden berkenan mewakili hamba,” ucap Banyak Kapuk tegas. Sontak semua orang terbelalak. Para Sekar Kedaton memandang takjub, sementara para Bala Sanggrama yang lain langsung heboh, mereka sangat paham ke mana arah pembicaraan Banyak Kapuk itu. “Apa yang kau inginkan?” Banyak Kapuk mengarahkan pandangan matanya sangat tajam dan tanpa keraguan, ditujukan itu kepada Tumurah, anak pertama Ki Danapati. Melihat sikap Banyak Kapuk yang demikian, Raden Wijaya sekuat tenaga menahan senyumnya. “Coba kau sampaikan sendiri,” kata Raden Wijaya. Jawaban Raden Wijaya menyebabkan Banyak Kapuk bingung, namun Banyak Kapuk adalah orang yang pintar berbicara dan bukan jenis orang yang penakut. Setelah menarik napas panjang, ia beringut maju mendekat ke arah Ki Danapati. Pemilik rumah itu saling pandang dengan istri yang tampak lebih tua darinya. Tumurah yang bernama asli Retna Anjari tiba-tiba merasa amat gelisah. “Kiai,” kata Banyak Kapuk. Ki Danapati mengangguk dan menjawab, “Bagaimana anakmas?” Banyak Kapuk orang yang blak-blakan dan langsung berbicara lugas. “Apabila diperkenakan, saya ingin meminang anak Ki Danapati yang pertama untuk menjadi pendamping hidup saya.” Nambi terbelalak. Meski telah menduga, Ranggalawe juga terbelalak. Pamandana yang sibuk menyembunyikan wajah menengadah dan menyimak. Para sekar kedaton juga langsung tersita semua perhatiannya. Di kala hati sedang kalut, peristiwa itu agak menghibur hati mereka. Bagi Ki Danapati, lamaran yang disampaikan itu sungguh sebuah kehormatan yang luar biasa. Hal yang tidak lazim pun terjadi, Ki Danapati tidak menyempatkan menanyai anak perempuannya lebih dulu. “O, saya restui anakmas, saya menerima lamaran anakmas untuk anak saya.” Hingar bingar pun segera terjadi meski hanya di dalam hati. Di suasana yang sedang kacau balau, lamaran yang bak gayung bersambut itu menjadi sebuah hiburan yang untuk beberapa jenak menjadi sebuah hiburan. Lamaran itu menyebabkan Tumurah sangat tersipu. Namun Raden Wijaya segera mengingatkan. “Maaf sebelumnya, Ki Danapati, seharusnya Ki Danapati menanyai anak Ki Danapati lebih dulu, apakah ia bersedia menerima lamaran itu?” Ki Danapati agak kaget oleh pemberitahuan itu. Menurut sepengetahuannya, untuk menerima lamaran macam itu ia tak perlu harus menanyai anaknya. Dengan siapa Tumurah dan Samangkin boleh menikah, adalah sepenuhnya menjadi haknya. Meskipun demikian, karena menghurmati Raden Wijaya, ia sempatkan bertanya pada anak gadisnya. “Bagaimana Tumurah, anakmas prajurit Banyak Kapuk ingin mengajakmu hidup berumah-tangga, apakah kau bersedia?” Tumurah memandang ayahnya dan semakin tersipu, gadis itu menunduk kian dalam. Akan tetapi sejenak kemudian, Tumurah mengangguk pertanda ia bersedia menerima tawaran itu. Ki Danapati terlihat bahagia sekali yang terlihat dari tarikan



napasnya yang panjang dan dalam. Ia telah menunggu lama dan berangan-angan, anaknya akan segera dilamar orang, hati kecilnya ingin anaknya kelak akan bersuamikan seorang prajurit. Siapa sangka angan-angan itu menjelma melebihi yang diinginkan. Akan tetapi, yang tiba-tiba merasa membutuhkan istri tidak hanya Banyak Kapuk. Pawagal tiba-tiba juga bergairah. Gagasan itu munculnya sangat mendadak, tidak berkedip ia menatap wajah anak bungsu Ki Danapati. Wajah itu demikian sejuk dan teduh, menjadi jaminan, sosok seperti Samangkin itu akan menenteramkan hatinya yang selalu bergejolak. “Saya juga,” tiba-tiba Pawagal nyeletuk. Ucapan Pawagal itu mengagetkan sekali. Semua wajah serentak menoleh pada pemuda yang bertubuh agak pendek namun kekar itu. Melihat perkembangan yang tidak terduga itu, para sekar kedaton terbelalak. Untuk beberapa saat mereka bagaikan lupa pada kemelut sangat berat yang sedang mereka alami. Apa yang diinginkan Pawagal itu menyebabkan Raden Wijaya terbelalak. Yang agak terguncang hatinya adalah Samangkin. Dalam waktu yang amat singkat perhatian gadis itu tersita oleh Pamandana yang memiliki kisah menyedihkan, keadaan itu menyebabkan perhatian yang sangat besar, tiba-tiba saja Samangkin ingin menjadi pengganti. Dalam hitungan kejab ia merasa sangat tertarik, atau adakah itu yang disebut sebagai jatuh cinta. Celakanya apa yang ia inginkan berhadapan dengan keadaan yang tidak sesuai harapannya, Pamandana itu tidak menginginkannya. “Anakmas menghendaki Samangkin?” tanya Ki Danapati. Pawagal mengangguk. “Benar Ki Danapati,” jawabnya, ”jika direstui, saya akan mengajak diajeng Samangkin untuk mengarungi bahtera rumah tangga.” Setelah ucapannya itu, bagai ada setan yang lewat dan mencuri perhatian, suasana berubah menjadi sangat hening. Raden Wijaya menjatuhkan arah pandangan matanya ke raut wajah Bala Sanggrama Pamandana. Raden Wijaya sangat sulit memahami, pergolakan macam apakah yang sedang terpancar dari raut mukanya. Pamandana memandang Pawagal dengan takjub, dan ia pun membagi pandangan matanya ke wajah Samangkin juga dengan mata berbinar. Meskipun wajah gadis itu mengingatkannya pada mendiang istrinya, akan tetapi Pamandana sama sekali tidak menyimpan keinginan untuk memilikinya. Tak hanya Raden Wijaya yang mencoba menebak isi benak Pamandana, para sekar kedaton juga memperhatikan wajahnya. Semua orang kemudian melihat, sama sekali tidak ada masalah atau keberatan yang terpancar dari wajahnya. Maka kemudian tahulah semua orang, Pamandana sama sekali tidak tergoda untuk mengkhianati kesetian istrinya, meski Dewayani telah tiada, “Samangkin,” ucap Ki Danapati. “Ya, ayah,” jawab anak gadisnya masih dengan tetap menunduk. “Kamu telah mendengar sendiri tawaran dan ajakan anakmas Prajurit Pawagal yang ingin mengajakmu hidup berumah tangga.” Samangkin menunduk. “Bagaimana jawabmu Samangkin?” tanya ayahnya. Samangkin benar-benar merasa kebingungan dan tak tahu harus menjawab apa. Dalam waktu yang singkat, amat singkat, isi hatinya telah digenangi perasaan aneh, sebuah keinginan untuk bisa menempati hati pemuda yang kelihatannya dibelit duka di sepanjang hidupnya. Akan tetapi pemuda yang tiba-tiba menyita perasaannya itu sama sekali tidak tertarik padanya. “Kenapa bukan dia yang menginginkan aku,” kata hati Samangkin. Pamandana tersenyum, dengan melihat secara langsung seperti itu, Pamandana melihat jelas betapa anak gadis Ki Danapati itu memang memiliki wajah amat mirip dengan mendiang istrinya yang dahulu kala adalah kembang desa yang menjadi rebutan banyak pemuda. Bentuk alisnya, bentuk matanya dan raut senyumnya, sangat mirip. Namun Pamandana melihat hanya sampai itu, ia tidak melihat Samangkin adalah titisan istrinya. Samangkin merasa sangat tidak nyaman. “Samangkin, bagaimana jawabmu?” tanya ibunya. Samangkin merapatkan kedua telapak tangannya dalam sikap menyembah. “Kamu bersedia?” Gadis itu belum bergegas menurunkan kedua telapak tangannya. Pawagal memandanginya dengan tidak berkedip. Akhirnya gadis itu mengangguk. 15 Debu itu benarbenar menyemburat melayang ke segala penjuru. Berbagai macam binatang mulai merasa menderita. Para burung tak lagi beterbangan, mereka pilih bersembunyi di sarang atau dahandahan. Namun demikian Ki Danapati sama sekali tidak merasa perlu mempedulikannya. Meskipun dilakukan dengan amat sederhana, akan tetapi upacara perkawinan tetap dilaksanakan dengan disaksikan Raden Wijaya dan segenap rombongannya dan beberapa tetangga yang diundang untuk menjadi saksi. Dalam keadaan yang serba sederhana dan darurat itu, Ki Danapati merasa bahagia karena telah melaksanakan tugasnya sebagai orang tua yang harus mengawal anaknya memasuki pintu gerbang rumah tangganya. Sungguh kejadian beruntun yang aneh dan sulit dimengerti, berlangsung dalam sekejab demi sekejab. Mula-mula Ki Danapati mengalami peristiwa yang sungguh mengerikan, nyawanya nyaris lepas dari raganya oleh ulah orang-orang yang gelap mata dan sedang memanfaatkan keadaan kacau. Di saat yang demikian, terjadilah sebuah keajaiban yang sangat luar biasa. Tepat pada saat nyawanya nyaris



lepas, datanglah pertolongan yang bagaikan turun dari langit yang dikirim langsung oleh para dewa sekaligus andum kabagyan (Jawa, membagi kebahagiaan). Anugerah macam apa yang bisa menandingi kebahagiaannya manakala Raden Wijaya mengajaknya berbesanan, meminang kedua anak gadisnya untuk para prajurit Bala Sanggrama. Dari tepi sungai, di depan rumah Ki Danapati, langit mulai nampak menggelap, bukan hanya oleh tebalnya debu yang turun, akan tetapi juga oleh tibanya senja yang pasti akan bergeser ke malam. Nambi, Sorandaka dan Pamandana yang menyendiri di tepi sungai seraya memperhatikan debu yang semakin banyak melayang di udara, bagaikan ampak-ampak yang turun dari robekan langit, debu-debu yang melayang itu memberikan warna putih di permukaan benda apa pun, dedaunan menjadi putih. Demikian juga dengan atap atap rumah. Berlindung di bawah pohon saman yang daunnya sangat rimbun, ketiga bala sanggrama itu membicarakan perjalanan yang akan ditempuh selanjutnya, sambil dengan menggunakan pisau masing-masing mereka membuat anak panah. Untuk perbekalan ke depan, persediaan anak panah dalam jumlah banyak harus disiapkan. “Bagaimana dengan hujan abu ini?” tanya Nambi ditujukan pada Sorandaka, “apakah kita akan melanjutkan perjalanan?” Sorandaka memutar pandangannya, jarak pandang ke depan semakin pendek. Debu yang amat tebal itu bahkan menyebabkan batuk. Nambi merasa tenggorokannya gatal. Pamandana juga mulai terganggu batuk. “Menurut saya,” kata Sorandaka, “hujan yang sangat tebal ini justru menguntungkan kita. Mumpung keadaan macam ini, sebaiknya kita harus bergerak semakin menjauh.” Pamandana memandang Sorandaka. “Apakah mereka masih memiliki kemampuan melacak jejak kita?” “Selama keris Empu Gandring itu berada di tangan Raden Wijaya, saya mengira mereka masih bisa mengetahui jejak rombongan kita. Orang bermata aneh itu pasti bisa menemukan jejak kita di mana pun kita berada.” Tak tercegah kenangan Sorandaka tertuju pada Rangga Bentar, keadaan orang itu memang mengerikan, bentuk bola matanya yang mirip mata kucing serta kemampuan aneh yang ia miliki memang mengerikan. “Sebaliknya, apakah kau masih bisa mengawasi keberadaan mereka?” Nambi menambah. Sorandaka terdiam sejenak, kemudian ia menggeleng. “Saat ini gelap gulita,” jawabnya. Nambi berpikir keras. “Apakah itu karena burung piaraanmu yang menjadi penyambung pandangan matamu itu tertutup pandangan matanya oleh hujan abu yang sangat tebal ini?” Sorandaka kembali memejamkan mata. “Ya,” jawabnya. Waktu bergeser sejengkal, langit benar-benar gelap gulita, ledakan Gunung Kampud itu telah melemparkan abu ke jauh di tingginya langit dan nun di sana, angin yang berhembus amat deras menyebar gumpalan abu ke segala penjuru, tergantung ke mana angin bergerak. Ke arah barat, angin menebar debu menempuh jarak yang demikian jauh, bahkan hingga ke wilayah Pajajaran. Ke timur tebalnya abu terus bergerak ke segala penjuru. “Kamu benar-benar ikhlas?” Sorandaka bertanya. Itulah pertanyaan yang membelok dengan tiba-tiba.



Majapahit 3, ke lima “Ikhlas apa?” tanya Pamandana. “Anak bungsu Ki Danapati itu sangat mirip istrimu.” Pamandana tertawa. “Saya berdoa semoga Kakang Mahisa Pawagal dan Banyak Kapuk hidup bahagia. Kelak mereka akang dikaruniai anak-anak yang berguna bagi nusa dan bangsanya.” Jawaban itu menyebabkan Sorandaka dan Nambi saling pandang. Di awal Nambi melihat, Pamandana amat terkejut melihat ada gadis yang sangat mirip mendiang istrinya, Raden Wijaya bahkan telah melamarkan untuknya. Akan tetapi Pamandana ternyata bersikap berbeda, ia tidak terpengaruh untuk tetap setia pada istrinya. “Kamu luar biasa,” kata Nambi. Pamandana menoleh padanya. “Kenapa?” balas Pamandana. Tajam Nambi menatap mata sahabatnya itu. Ia tidak melanjutkan ucapannya, namun tangan Nambi menyentuh lengan Pamandana. Kedua prajurit peng-pengan (Jawa, luar biasa, hebat) itu kemudian sama sama diam, mengumbar anganangan. Nambi yang menebarkan pandangan matanya ke segala penjuru harus melihat pemandangan yang menyesakkan dadanya. Hujan air bukanlah hal yang aneh baginya, akan tetapi menyaksikan hujan abu, seumur-umur baru kali itu ia menyaksikan dengan mata dan kepala sendiri. Memandang turunnya hujan abu yang entah akan berakhir itu seperti menempatkan meraka ke pintu gerbang akhir zaman yang tak jelas ke mana ujungnya. Adalah Kiai Danapati yang tidak mau membuang waktu. Atas ijin Raden Wijaya ia merasa tidak perlu menunda waktu, meski di luar hari sedang gelap, Kiai Danapati berniat menggelar perkawinan



kedua anaknya saat itu juga meski keadaan sangat tidak bersahabat. Berbeda dengan susasana di luar, sebaliknya di dalam rumah cukup lega untuk bernapas. Nyai Danapati memiliki cara untuk menyiasati keadaan yang luar biasa itu. Ia mengambil beberapa lembar kain yang dibasahi yang digantungkan di beberapa tempat termasuk di pintu, dengan cara sederhana itulah Nyai Danapati berusaha membersihkan udara, debu yang beterbangan akan melekat di kain basah yang digantung di beberapa tempat itu. Namun, tak hanya hujan abu yang berperan, hujan air pun menyela pula mengambil haknya, hujan deras mungkin tersinggung oleh turunnya abu gunung yang deras, ia menunjukkan taring-taringnya. Diawali petir yang meledak di beberapa tempat yang saling sapa antara satu dengan lainnya, tak berapa lama kemudian air bagai ditumpahkan dari langit yang robek. Gemuruh para petir atau geluduk saling sapa di antara mereka. Dari beberapa arah para petir saling menyalak bagaikan puluhan ekor anjing yang riuh kisruh kasena melihat hantu numpang lewat. Melihat hujan itu Raden Wijaya tersenyum. Sebab bagaimanapun hujan air itu nantinya akan membantu membersihkan udara yang kotor sangat tak bersahabat dengan paru-paru. Udara yang dingin di ketinggian langit berubah bentuk menjadi butiran-butiran air dan akhirnya turun dengan tumpah ruah. Di ketinggian langit ternyata tidak seperti diduga orang, yang menyangka semakin dekat dengan matahari maka udara kian panas, ternyata tidak. Semakin ke atas, paksi cataka merasakan udara yang kian dingin, yang saat telah melampaui puncaknya, berubah menjadi butiran-butiran beku, bahkan ukurannya ada yang cukup besar. Karena ukurannya itulah air yang membeku itu kemudian berjatuhan ke bumi. Hujan yang turun itu dengan amat telak dengan tingkat kelebatan yang luar biasa menyebabkan segenap debu yang melayang di udara ikut larut luruh ke bumi. Raden Wijaya yang mengamati keadaan melihat udara yang semula kotor kembali bersih, namun ia meyakini, hal itu hanyalah sementara karena di langit ketersediaan debu yang tumpah ruah dari perut bumi melalui pintu gerbangnya bagai tak akan ada habisnya, sementara hujan yang turun hanya bersifat sementara. Kesibukan terjadi di rumah Kiai Danapati. Meski keadaan sangat menyedihkan karena berbagai hal, namun lelaki tua itu terlihat amat bahagia. Ia telah mengambil banyak langkah dan tindakan dengan memanggil para kerabat dan tetangga untuk menjadi saksi. Tiga orang perempuan, terdiri dari seorang tetangga yang baik dan dua sepupu Nyai Danapati ikut menyibukkan diri di dapur. Beberapa ekor ayam telah disembelih untuk persiapan sebuah upacara yang akan diselenggarakan, itulah upacara perkawinan yang tidak perlu menunda waktu yang diselenggarakan pada keadaan serba terbatas. Raden Wijaya yang diberitahu tak merasa keberatan, ia mendukung niat Kiai Danapati, akan tetapi Raden Wijaya juga harus menghitung waktu. Rombongan yang melarikan diri dari bekas ibu kota Singasari itu tak mungkin berlama-lama di tempat itu. Gelap! Itulah yang dirasakan Sorandaka yang sedang memejamkan mata dan berbaring di balai-balai bambu. Beberapa kali pemuda dari Tuban itu memejamkan mata, ia mencoba mengintip keadaan di luar melalui hening mata hatinya, akan tetapi upayanya itu gagal dan gagal. Sorandaka yang kini di wajahnya tersisa bekas luka itu tampak gelisah. Ia merasa berubah menjadi laki-laki buta yang tidak punya mata. “Keris Empu Gandring itu, mereka pasti bisa melihatnya kembali,” gumamnya. Adalah sesungguhnya, keadaan yang gulita menyebabkan paksi cataka kepanjangan matanya mati langkah. Di tebalnya debu yang melayang di udara menuju segala penjuru menyebabkan burung rajawali atau elang itu menjadi buta. Ia tidak mampu melihat apa pun. Burung yang kini sebatang kara karena semua temannya tumpas itu hanya bisa menunggu waktu. Burung itu bertengger di atas dahan sambil sesekali mengibaskan sayapnya. Namun burung itu harus melihat kenyataan betapa debu gunung Kampud itu mempunyai daya lekat di bulu-bulunya. Untuk membersihkan debu-debu itu, ia punya cara yang mudah yaitu apabila hujan turun dengan lebat, ia tinggal berhujanhujanan. Atau dengan menyelam di air telaga, dengan sambil menyelam minum air, ketika muncul ke permukaan dan terbang cepat, kakinya sudah mencengkeram ikan. Lalu, kesempatan itu tiba-tiba datang. Hujan turun dengan amat deras membersihkan debu di udara. Ketika kesempatan itu datang, paksai cataka yang orang juga menyebutnya sebagai burung rajawali itu segera mengepakkan sayapnya. Ia melesat tinggi mengayuh udara sekuatnya dan kemudian membentangkan sayapnya, sisanya hujanlah yang menyelesaikan tugasnya. Demikianlah cara burung itu mandi membersihkan diri. Di rumah Kiai Danapati. Perkawinan yang dilaksanakan dengan mendadak itu kemudian berlangsung dengan khidmat dan penuh makna. Dipimpin langsung oleh ayahnya dan seorang tokoh agama yang didatangkan, kedua anak gadis Kiai Danapati mengakhiri masa lajangnya. Jantung Pamandana tidak lagi riuh mengombak, ia menjadi saksi dan menyaksikan serta ikut mendoakan kedua mempelai yang telah memutuskan untuk menyatu berumah tangga. Senyum Pamandana adalah senyum yang tulus, doanya adalah



juga doa yang tulus. Tak secuil pun penyesalan muncul di hatinya meski salah satu temanten memiliki wajah amat mirip dengan mendiang istrinya. Demikianlah upacara perkawinan itu berlangsung yang meski sangat sederhana akan tetapi berjalan dengan rangkaian upacara yang lengkap. Dalam keadaan yang demikian, bukan Nyai Danapati yang menitikkan air mata, namun justru suaminya. Kiai Danapati merasa dadanya agak sesak karena apa yang pernah ia citacitakan tidak menjadi kenyataan, yaitu menggelar upacara pesta perkawinan yang megah. Namun keadaan yang menyebabkan keinginan itu terpangkas, bencana meledaknya Gunung Kampud tertuduhnya. Meski demikian, meskipun Kiai Danapati menitikkan air mata, namun paru-parunya penuh udara yang meluap, gambaran rasa bahagianya karena kedua anak gadisnya telah menemukan jodohnya, lebih-lebih ia berbesanan dengan Raden Wijaya. Seluruh rangkaian upacara kemudian rampung. Semua tamu tanpa kecuali menikmati apa pun yang dihidangkan. Sorandaka mendekat Raden Wijaya, ia lakukan itu ketika melihat isyarat untuk mendekat. “Bagaimana Raden?” tanya Sorandaka. Raden Wijaya mengedarkan pandangan matanya ke seluruh wajah, ke raut muka para tamu, ke wajah sepasang temanten, lalu bergeser lagi dan kemudian jatuh di wajah Pamandana, yang terlihat berseri-seri. “Kita harus pergi meninggalkan tempat ini secepatnya bukan?” Sorandaka terbungkam. Akan tetapi dengan cepat otaknya terbuka dan bekerja. Sorandaka memejamkan mata untuk melihat keadaan di luar, sebagaimana apa pun yang dilihat paksi cataka yang sedang terbang melesat menerobos hujan dalam rangka mandi membersihkan seluruh debu di tubuhnya. Akan tetapi Sorandaka tidak melihat pergerakan yang menuju tempat di mana ia berada. Sorandaka kemudian membuka mata dan menatap Raden Wijaya langsung ke wajahnya. “Hamba tidak melihat pergerakan mereka, Tuanku.” Raden Wijaya mengangguk amat perlahan. “Meskipun demikian,” kata Raden Wijaya, “ada baiknya kita segera meninggalkan tempat ini. Biarlah Banyak Kapuk dan Pawadal tinggal barang sehari dua hari untuk melaksanakan tugas sebagai suami. Mereka boleh menyusul, boleh juga tetap tinggal di padukuhan ini.” Ucapan Raden Wijaya itu menyebabkan Sorandaka termangu. Demikian juga dengan prajurit Bala Sanggrama Pamandana terbungkam mulutnya, lupa bagaimana cara berbicara, atau dengan tiba-tiba mulutnya berubah membeku. Keputusan yang diambil Raden Wijaya untuk segera meninggalkan tempat itu mengagetkan pemilik rumah. Namun para Bala Sanggrama memahami keadaan, bahwa untuk bisa selamat dari ancaman pengejaran para prajurit Kediri, haruslah dengan selalu bergerak, tidak boleh berhenti. Demikian pula dengan para sekar kedaton, meski kelelahan luar biasa dan terkantuk-kantuk akan tetapi keadaan itu jauh lebih baik daripada tertangkap musuh. Untuk perjalanan yang tak menentu arah dan harus ditempuh itu, Kiai Danapati menyediakan kebutuhan untuk makan di perjalanan. Bagai berbelas kasihan pada Raden Wijaya dan segenap rombongannya, hujan mereda. Hujan itu seperti membersihkan udara dari debu-debu. Namun kelak, udara akan kotor kembali karena jumlah abu yang dimuntahkan dari Gunung kampud tak bisa dihitung jumlahnya. “Nikmati malam pertamamu, Banyak Kapuk dan Pawagal, kalau kalian berdua menghendaki kalian boleh tinggal sampai kapan pun.” Ucapan Raden Wijaya itu sangat mengagetkan. Pawagal dan Banyak Kapuk saling pandang. “Tentu tidak Raden,” jawab Pawagal mewakili, “setelah kami melaksanakan kewajiban yang harus kami laksanakan, maka bahkan besok kami akan berangkat menyusul.” Tidak jelas di mana letak lucunya, mendengar itu Raden Wijaya tersenyum. Maka setelah berkemas dengan cepat, rombongan pelarian itu kemudian melanjutkan gerak perjalanannya, meninggalkan Padukuhan Windung. Kisah sedih yang mereka sandang rupanya masih akan berkepanjangan. Di langit, dari kepundan Gunung Kampud, semburan abu gunung masih menyebar ke segala penjuru. 16 Mundur ke ruang waktu sebelumnya menjelang Gunung Kampud meledak. Mata waskita Wirota Wiragati melihat, justru karena itu ia menahan laju kudanya yang bagai tak mengenal lelah. Kuda tunggangan yang kekar itu terlonjak ketika lakilaki kekar itu tiba-tiba menarik tali kendalinya. Kedua kaki depannya terlonjak naik, disusul suara ringkiknya yang cukup keras. Perintah mendadak berupa sentakan keras menyebabkan kuda itu terkejut. “Ada apa ini?” pertanyaan itu muncul dari kedalaman hatinya yang paling dalam. Wirota Wiragati mengedarkan pandangan matanya ke segala penjuru, langit yang terik sangat sempurna karena tidak selembar mendung pun yang menampakkan diri, sungguh keadaan yang amat berbeda dari keadaan Singasari sebelumnya. Wirota Wirogati memperhatikan keadaan ke sebelah kirinya yang berupa lembah ngarai, sementara di sebelah kanan adalah bulak panjang yang luas, amat mirip dengan bulak Ganter yang kini berubah menjadi sarang hantu. Wirota Wiragati memejamkan mata sambil mengelus-elus punggung kudanya, sebuah cara agar kuda itu tenang. Dalam keheningan dan ketajaman mata hatinya, wajah Gunung Kampud yang sesak napas dengan tiba-tiba hadir di pandangan matanya,



menjulang sangat megah dan gagah, mencoba menantang siapa pun yang sanggup merobohkannya. Namun Wirota Wiragati melihat sesuatu yang luar biasa. Ternyata tantangan gunung itu ada yang menawar. Dalam keheningan mata hati Wirota Wirogati tampak seekor ular maha raksasa, karena ukurannya sebesar gunung itu sendiri. Ular itu amat besar dan sedang merayap mengelilinginya seolah menakar seberapa besar kekuatannya. Ular yang juga disebut taksaka (Jawa kuno, ular) yang memiliki dewa bernama Antaboga itu menjulur-julurkan lidahnya sambil tiada henti-hentinya mengeluarkan hembusan napas beracun dan berapi. Berbagai binatang berlarian lintang pukang menghindar dari ular itu untuk menyelamatkan nyawanya. Pepohonan tumbang ketika ia melintas, bebatuan di lereng tebing berguguran. Masih dalam keheningan mata Wirota Wiragati, ular maha raksasa itu tiba-tiba mendongak dengan kepala tegak siap mematuk. Sejenak kemudian ular itu menyemburkan api yang sangat membakar, Pepohonan yang meranggas di dekat puncak hangus menjadi debu. Ular itu kembali menggeliat menyemburkan api, berusaha mengalahkan keangkuhan gunung itu. Akan tetapi arga Kampud atau yang juga disebut Kelud itu bergeming dalam sikapnya. Sia-sia membakar gunung itu. Taksaka maharaksasa seolah penjelmaan Antaboga itu sangat marah. Ia tiba-tiba bergerak membelit gunung itu. Dengan cekikan seperti yang dilakukan para ular pada korbannya, dengan cara itu ia mencoba mengalahkan lawannya dan meruntuhkan keangkuhannya. Dengan sekuat tenaga ular itu menggerus, meremas. Namun ardi atau arga atau gunung itu bergeming. Ia bahkan tersenyum. Terbelalak Wirota Wiragari ketika melalui ketajaman mata hatinya melihat, ular yang maha raksasa itu tiba-tiba menggeliat dan merayap naik, terus naik hingga ke puncaknya. Lalu dengan penuh keyakinan ular itu berusaha mengebor kepundannya. Terjengkang Wirota Wiragati, terhenyak di atas punggung kudanya. ”Gunung itu,” desisnya. Wirota Wiragati bergegas melompat turun dari punggung kudanya. “Tunggu di sini,“ kata Bala Sanggrama itu. Dengan berlari kencang pemuda itu melesat menuju ke puncak bukit di sebelahnya. Dengan keyakinan bahwa tak berapa lama lagi akan terjadi sesuatu yang luar biasa, pemuda itu bergegas mengarahkan pandangan matanya ke sebuah arah, nun jauh di depannya di arah Balitar dan Kediri tampak Gunung yang menjulang tinggi. Itulah gunung dalam keadaan aslinya, bukan gunung yang dibelit oleh ular raksasa seperti yang terlihat di kedalaman mata hatinya. “Gunung itu akan meledak,” ucapnya dalam hati. Dugaan Wirota Wiragati benar. Sebagaimana di langit para burung yang terbang menjauh berusaha menyelamatkan diri benar, Gunung Kampud itu sedang hamil tua, dan akan segera tiba saatnya sebagaimana perempuan hamil tidaklah boleh berkepanjangan. Maka sejenak kemudian sebagaimana Wirota Wiragati menghitung mundur dalam hati, terjadi sentakan luar biasa dari dalam perut arga itu. Maha sentakan. Ledakan gemuruh? Tidak cukup. Ledakan itu maha gemuruh menyebabkan pemuda yang berdiri di puncak bukit itu terbelalak dan terbelalak. Seumur-umur Wirota Wiragati baru kali itu menjadi saksi dan menyaksikan secara langsung peristiwa yang tidak sembarang orang berkesempatan menyaksikan langsung dengan mata dan kepala sendiri. Ledakan gunung itu disertai dengan semburan yang mbahnya dahsyat dari lubang kepundan. Segala macam isi perutnya terlempar keluar melesat tinggi, batu-batu sebesar anak gajah, bagaikan benda ringan tak berbobot, terlempar membubung memanjat langit dan kemudian berjatuhan meninggalkan suara susulan yang menggemuruh. Isi perut yang semula berdesakan itu mendapat kesempatan untuk berjejal-jejal keluar, meleleh membakar apa pun, membakar siapa pun. Terbelalak Wirota Wirogati melihat sesuatu mengepul di kejauhan, seperti jamur megar di musim hujan. Wirota Wiragati melangkah mundur, nyaris ia terpeleset. Kemudian dengan kencang ia berlari seolah takut kehilangan waktu. Dengan tanpa berancang-ancang ia kemudian melenting ke punggung kudanya, sebagaimana pula tanpa menunda waktu ia menarik kendali kudanya. Maka kuda klangenan (Klangenan, Jawa, kesayangan) itu tahu apa yang harus dilakukan, ia membalap sekencang-kencangnya. Sesungguhnyalah ketika waktu bergeser menuju sore dan kemudian melintas malam, akibat dari kemarahan Kanjeng Kiai Arga Kelud yang diusik oleh ular raksasa penjelmaan Batara Antaboga, bagai murka yang tak sudi memaafkan. Tumpahan lahar yang keluar itu bagai tidak berkesudahan. Meluber dan terus meluber mencari tempat yang lebih bawah, padahal yang meluber itu adalah aliran api. Pepohonan hangus seketika, hewan-hewan yang sombong yang tak mau melarikan diri hangus seketika, jangankan mereka para hewan yang tak mau melarikan diri, bahkan yang sudah berusaha minggat sejauh-jauhnya masih tidak bisa membebaskan diri dari jangkauan gelap ngampar itu. Kediri mengalami maha bencana. Juga Balitar, juga wilayah terdekat seperti Kertosono dan Madiun. Lontaran bebatuan sebesar kepalan tangan bahkan berjatuhan di kaki Gunung Lawu di mana di sana, telaga luas bernama Sarangan berada. Hanya terpaut waktu tidak berapa lama, Wirota Wiragati yang berkuda menyusuri jalan



setapak yang menghubungkan wilayah Kertosono ke Kediri mulai berurusan dengan dampak dari letusan Gunung Kampud. Kudanya mulai tersiksa ketika harus berurusan dengan udara panas, dengan debu-debu tebal yang beterbangan di udara. Menghadapi keadaan yang demikian itu Wirota Wiragati segera mengeluarkan dua lembar kacu (Jawa, sapu tangan). Kain kacu itu masing-masing memiliki masa lalu yang tak bisa dilupakan. Kain kacu pertama adalah hadiah dari Gayatri, kekasih yang sangat ia cintai, yang menyebabkan ia harus menjauh dari lingkungan istana dan terpisah dari pasukan Bala Sanggrama. Sementara kain kacu kedua adalah pemberian istrinya, Gendis Untari. Kain kacu itu kemudian ia pergunakan untuk menutupi mulut. 17 Malam yang panjang di Kediri adalah malam yang mengerikan. Istana bawahan Singasari yang telah berhasil membalas dendam lama itu menjadi istana yang mati, debu yang sangat tebal turun taki berkesudahan, menyebabkan segenap rumah di penjuru kota terbebani, menyebabkan atap-atap yang tak mampu menahan beban ambruk. Di segala penjuru para pohon kelapa yang menjulang sangat meranggas, daun-daunnya hangus, ada yang tinggal batang-batang. Kediri pun benarbenar menjadi kota mati. Tidak ada penerangan, tidak ada air, tidak ada bahan makanan dengan udara yang amat kotor menyesakkan dada, sungguh hal itu benar-benar keadaan yang mengerikan. Malam yang senyap bergerak terasa perlahan, seolah pergerakan waktu sedang menuju ke pintu gerbang neraka. Dalam keadaan yang demikian macam-macam apa kata orang. “Kuwalat,” bisik seorang istri pada suaminya yang mencangkung di sudut bilik. Bocah dalam dekapannya terdengar merintih. “Ibu, lapar,” bisik anak perempuannya. Rintih itu menyebabkan hati ibunya terasa sobek. Yang bisa dilakukan perempuan itu hanya mendekap anaknya tanpa bisa berbuat apa-apa. Bahan makanan sesungguhnya ada, akan tetapi apa yang bisa dilakukan jika tidak ada air bersih. “Bertahan sampai besok pagi, sayang,” balas ibunya. Di sudut itu pula, suaminya termangu, lelaki muda itu memandang anak dan istrinya dengan mata tak berkedip. Namun pikiran lelaki itu sedang melayang jauh ke Singasari, pada berita yang telah menyebar ke segala penjuru betapa dendam Kediri yang terpendam lama telah terbayar, tak ada sisa, lunas dengan bunganya. “Apa maksudmu?” tanya suaminya. Istrinya tidak menoleh meski mendengarkan. “Maksud apa?” “Kamu tadi menyebut kuwalat,” kata suaminya. Istrinya terdiam sejenak, lalu menengadah sambil mengelus-elus kepala anaknya. “Kediri kuwalat pada Singasari, dewa di langit menghukum perbuatan Kediri atas Singasari. Apa yang dilakukan Kediri dengan membantai raja, permaisuri dan anak perempuannya yang tengah hamil sungguh keterlaluan, Hyang Widdi tidak bisa menerima perbuatan itu, sekarang kita merasakan akibatnya. Gunung Kampud di depan rumah kita dijeblukkan, apakah itu hanya sebuah kebetulan?” Untuk beberapa jenak ucapan istrinya itu menjadi renungan suaminya. Lelaki itu gelisah dan berpikir keras. Keningnya tampak berkerut. “Anak raja dibunuh saat sedang hamil?” Istrinya menoleh. “Ya.” “Kok tahu?” “Kang Jayeng yang bercerita, ia ikut menyerbu Kediri, senja tadi ia berusaha menyelamatkan anak-anaknya. Benar-benar kuwalat Sang Prabu Jayakatwang, ia menerima akibatnya.” Lelaki yang telah memperistrinya lebih dari tujuh tahun dan telah memberinya seorang anak itu terdiam beberapa jenak, ia melanjutkan mengerutkan kening, ia melanjutkan gelisahnya, ia melanjutkan mengumbar angan-angan. Lalu ia menggeleng. Istrinya melihat kepala yang bergoyang perlahan itu. “Kenapa?” “Singasari layak menerimanya. Dendam lama itu telah terbayar lunas.” Mendengar itu istrinya melengos sambil setengah menaikkan sudut bibirnya. Ia tahu seperti apa dendam suaminya yang bekerja sebagai tukang pande besi itu. Suaminya mewarisi dendam Kediri pada Singasari seolah dendam karatan itu memang miliknya. Perempuan itu jengkel sebab tidak seharusnya dendam itu harus berbalas dendam. Gara-gara ingin membalas sakit hati masa lalu Jayakatwang tega menjerumuskan rakyatnya sendiri. Kediri seperti kekurangan lelaki sejak banyak sekali orang-orang yang sesungguhnya bukan prajurit dikirim ke Melayu. Banyak nyawa yang melayang untuk melampiaskan dendam itu, bahkan di antaranya adalah kerabat keluarga dari ibunya. Perang itu ibarat menang menjadi arang, kalah menjadi abu. Cara pandang yang demikian rupanya tidak hanya terjadi di rumah itu, bagi sebagian banyak orang, bencana meledaknya Gunung Kampud itu jelas bentuk kemarahan para Dewa di langit yang tidak berkenan pada perbuatan Jayakatwang yang didukung patihnya. Suasana sangat senyap. Adalah Jayakatwang juga tak kalah gelisah, tubuh lelaki itu penuh debu. Inginnya mandi akan tetapi tidak ada air untuk mandi. Inginnya makan, namun tidak ada yang bisa dimakan. Di ruang pribadi, Jayakatwang resah, ia ternyata sangat terganggu oleh ucapan istrinya. Beberapa saat yang lalu, “Kakang Prabu kuwalat,” kata Turuk Bali. Perempuan yang berbicara sambil membungkus wajahnya dengan sehelai kain, itu harus ia lakukan untuk melindungi tubuhnya dari tebalnya debu. Debu Gunung Kampud benar-benar tidak mengenal rasa sopan, tidak membedakan mana ningrat dan mana jelata, semua orang sama, diguyur dan



dilumurinya dengan debu. “Perbuatan kakang menghancurkan Singasari benar-benar menyebabkan para dewa di langit marah. Tidakkah kakang prabu merasakan kemarahan itu?” Jayakatwang tidak bisa membantah, karenanya mulutnya terbungkam. Di kedalaman hatinya ia merasa terganggu oleh pertanyaan itu, pertanyaan benarkah apa yang telah ia lakukan dengan menyerang Singasari dan menghancurkannya menyebabkan sesembahan di kahyangan nabastala murka, yang mendorong menjatuhkan hukuman padanya. Mrinding Jayakatwang memikirkan hal itu. Turuk Bali memang layak kecewa. Ia telah berusaha mencegah namun suaminya bergeming pada rencananya untuk membalas perbuatan Singasari atas Kediri, pada apa yang dilakukan oleh Ken Arok terhadap Sri Kertajaya di masa lampau. Akan tetapi Turuk Bali yang masih kerabat Singasari itu sama sekali tidak menyangka, perbuatan yang dilakukan suaminya sungguh sangat kebablasan. Turuk Bali kemudian merasa yakin, tidak tercecer keraguan secuilpun, apa yang menimpa Kediri itu adalah kemarahan alam, hukuman atas perbuatan Kediri. Waktu bergeser. Malam yang datang itu adalah malam sungguh mengerikan, rasa lapar yang selama ini selalu termanjakan, tiba-tiba keadaan tidak seperti biasanya. Rasa lapar yang demikian menyiksa itu dirasakan sebagai ancaman yang bisa membuatnya mati. Jika sampai besok pagi tidak ada yang bisa dimakan, kematian pasti datang menjemputnya. Dengan tertatih, Jayakatwang berjalan berputar-putar di dalam ruang pribadinya yang sedikit lebih bersih dari ruang yang lain karena sejak awal pintu dan jendelanya telah ditutup. Raja tidak berani muncul ke halaman karena debu yang turun masih deras seperti hujan. Kerikil berukuran kecil masih menimbulkan suara berjatuhan di atap, semakin lama semakin banyak. Tidak peduli atap itu adalah atap bagian istana Kediri, jika beban yang menindih berlebihan, maka atap istana Kediri itu pun bisa ambruk. Di kejauhan tiba-tiba terdengar suara berderak. Jayakatwang mencoba menebak, suara apakah di kejauhan itu. “Bagian istana mana yang tak mampu menahan beban itu?” gumamnya, bertanya pada diri sendiri. Akan tetapi Prabu Jayakatwang yang memuja Kertajaya sebagai leluhurnya padahal bukan itu, mencoba menebak, akan tetapi tak berhasil. “Prajurit!” Sri Kertajaya berteriak. Istana bagaikan dikepung ilmu sirep yang sangat kuat, sebagaimana dulu Empu Barada yang terbang menunggang daun keluwih menyebar ilmu sirep untuk menidurkan semua orang ketika membuat sungai sebagai batas negara yang dibelah menjadi dua. Kekuatan sirep yang demikian bagai sedang menyergap Kediri, padahal yang tersebar bukanlah rasa kantuk yang sangat. Kediri dikepung dampak meledaknya Kampud, karena Kediri adalah kota terdekat, bahkan negara yang paling dekat. “Prajurit!” teriak Sri Kertajaya. Raja Kediri Gelang Gelang itu terusik kejengkelannya mendapai kenyataan teriakannya tidak berjawab, padahal biasanya seorang prajurit atau abdi akan tergopoh-gopoh datang sambil kedua tangannya menyembah. Sebenarnya ada beberapa prajurit yang mendengar teriakan itu, namun mereka memilih tidak menjawab. Debu yang terus turun tidak berkesudahan menyebabkan mereka mengambil sikap diam. Bagi sebagian prajurit, ada yang merasa senang Singasari di hancurkan akan tetapi ada pula yang tidak senang, sebagian acuh tak acuh dan merasa sebal terhadap keadaan. Rasa lapar dan kedaaan yang tidak menentu mendorong para prajurit itu pilih diam tidak berbuat apa pun. “Jayakatwang memanggilmu,” bisik seorang prajurit pada temannya. “Bukan saya, kamu yang dipanggil,” jawab temannya. Kedua prajurit itu berusaha menahan jangan sampai tawanya lepas. Jayakatwang termangu. “Kemana saja mereka?” pertanyaan itu muncul dari kedalaman hati Jayakatwang. Dalam keadaan yang demikian, Jayakatwang merasa tidak ada gunanya menjadi raja. Keadaan di luar istana benarbenar menyiksa karena sempurna gelap gulita. Hujan abu yang tidak berkesudahan itu menghitamkan apa pun, jarak pandang menjadi sangat terbatas, sementara rasa lapar yang menyapa seperti membutuhkan jawaban. “Prajurit!” kembali Jayakatwang berteriak keras. Tidak mendapatkan jawaban, Jayakatwang hanya bisa mengumpat. Dengan tertatih karena rasa lelah yang mendera yang menyebabkan betisnya tegang. Lampu penerangan satu-satunya yang melekat di dinding bagai berjuang sekuat tenaga dalam melaksanakan tugasnya, namun karena udara demikian kotor menyebabkan cahayanya berpendar aneh. Jayakatwang merasa itulah pertama kalinya ia melihat keadaan yang seperti itu. “Keparat,” Jayakatwang mengumpat. Keadaan benar-benar menyiksa hatinya, rasa lapar dan pergerakan waktu yang terasa lambat menyebabkan mulai munculnya bibit sakit jiwa. Menunggu hari esok seperti tidak ada gunanya, karena yang bernama hari besok itu bisa serasa setahun lamanya. Jayakatwang batuk. Dan berniat batuk lagi. Namun sebuah jeritan yang menyentak, mengagetkannya. ”Apa itu? Siapa itu?” letup Jayakatwang. Jayakatwang mencuatkan alis. Meski sangat penasaran namun tak ada yang bisa ia lakukan, sementara di luar sana entah siapa yang menjerit kesakitan dan apa penyebabnya sama sekali tidak ia kenali orangnya. Akan tetapi Jayakatwang yakin, orang yang



kalap bagai sekarat itu adalah prajurit. “Ada apa itu?” teriak Jayakatwang tanpa berani membuka pintu. Kegaduhan terjadi. Orang yang menjerit kesakitan itu bertambah, tidak hanya ia seorang diri akan tetapi masih ada lagi yang lain, tiba-tiba dari arah lain, jerit kesakitan itu terdengar lagi, kali ini dari mulut berbeda. Jayakatwang merasa seperti akan gila. Ia berteriak sejadi-jadinya. “Ada apa itu? Siapa itu?” Jayakatwang merasa berada di puncak rasa bingungnya. Rasa takut itu tidak tercegah mulai menggerataki hatinya, mengkili-kili dan menggoda. Gelap yang berwarna hitam, apalagi ketika damar (Jawa, lampu teplok) yang berusaha menerangi ruang itu akhirnya padam, Raja Kediri itu semakin jauh menapaki rasa gelisahnya. Berbagai bayangan menyeruak, berupa tangan-tangan tidak jelas, anak panah tidak jelas, pedang-pedang yang tidak jelas, bahkan mata yang melotot entah milik siapa. Seolah tangan berkuku tajam itu siap menusuk matanya, atau menerobos isi dada dan membetot jantungnya. Apalagi ketika dari kejauhan kembali terdengar jerit menyayat orang sekarat. “Apa itu?” desisnya gelisah, “siapa itu?” Sebenarnyalah tangan amarah sedang bergerak lincah dan esoknya akan menyita perhatian. Gelap malam atau lebih karena gelap oleh tebalnya debu yang turun menyebabkan Jayakatwang buta. Tak bisa berbuat apa apa selain menunggu pertolongan atau menunggu datangnya pagi. Andai saja ia tahu apa yang sedang berlangsung, maka Jayakatwang pasti akan menjerit-jerit ketakutan. Binatang melata yang sedang merayap di mana-mana itu sungguh dari golongannya yang paling berbisa. Di salah satu bilik, Gayatri merasa harus berbuat sesuatu. Ia sangat sadar di luar sana ada banyak orang yang membutuhkan pertolongan. Namun apalah yang bisa ia lakukan. Ia bukan lagi seorang ningrat yang setiap ucapannya akan dilaksanakan oleh para abdi, ia hanya seorang bebandan (Jawa, tahanan) yang tidak punya kebebasan. Maka yang bisa ia lakukan adalah memejamkan mata. Bukan tidur yang ia kehendaki, akan tetapi lebih dari tidur. Anak ke empat mendiang Raja Singasari itu segera menutup semua lubang di tubuhnya, hanutupi babahan hawa sanga (Jawa, mematikan semua indera yang terwakili lubang sembilan,) pemusatan pikirannya tertuju pada Dzat sang pencipta jagad. Pintu berderit membuka. Namun Gayatri tidak peduli, ia tidak mempermasalahkan meski dari pintu yang membuka itu masuk seekor taksaka dengan ukuran yang lumayan besar. Taksaka sebesar itu sanggup menelan seekor anak kambing dengan mudah. Namun kehadirannya tidak untuk memangsa Gayatri, ular itu justru bergelung menempatkan diri melindunginya. Di luar pintu, seorang lelaki muda menerawang memperhatikan suasana. Tak ada yang bisa ia lihat melalui mata wadagnya, namun ia memiliki mata batin yang tajam setelah mewarisi ilmu aneh itu dari kedua mertuanya yang dua-duanya kini telah tiada. Dalam hening mata hatinya, ia mengenang sudut-sudut Telaga Sarangan, di mana di sana istrinya tinggal dan menunggu, Gendis Untari. 18 Waktu berjalan terasa sangat lambat. Waktu menyajikan siksaan bagi siapa pun. Para binatang banyak yang mati karena tidak mampu menghadapi keadaan. Para binatang yang terbiasa tinggal di daerah puncak dan tidak sempat melarikan diri adalah mereka yang tertumpas habis. Beberapa harimau sombong, atau mereka yang tidak sombong namun sudah tua dan tidak punya sisa tenaga untuk meloloskan diri adalah mereka yang merasakan seperti apa getaran terjadi ketika udara mampat di dalam gunung itu meronta menerobos keluar. Pun demikian juga para kera yang menganggap remeh dan tidak perlu merasa takut merasakan betul kekuatan dahsyat yang meledak itu melemparkan tubuh mereka menjelang tarikan napas berakhir. Para binatang tak tahu diri itu mati. Berbeda dengan para binatang yang tidak sombong dan mampu menggunakan pikirannya dengan benar. Para burung misalnya, mereka yang sudah tahu bakal ada bencana dengan sigap berusaha menyelamatkan nyawanya melalui terbang sejauh-jauhnya. Sebagian dari para kera bergegas turun gunung, demikian pula dengan sebagian dari para ular, semut, ulat juga belatung yang telah siap berubah bentuk menjadi kupu-kupu atau lalat, mereka merasakan bumi berubah menjadi panas dan bergegas pergi sejauh-jauhnya, namun semut tidak bisa terbang, dan ruang jelajah yang dimilikinya sangat terbatas. Yang tak bisa berpikir adalah para tikus, yang ada di benaknya hanyalah makan dan makan. Mulai dari puncak hingga kaki gunung yang paling datar, semua hangus. Pepohonan terbakar habis menyisakan gundulnya. Kediri teruruk debu, pun demikian pula dengan Balitar. Bila debu itu mampu terbang ke segala penjuru, ke barat hingga melintasi gunung Galunggung di tatar Sunda, maka apalah arti Kediri dan Balitar menghadapi keadaan macam itu. Debu-debu yang mengepul di pepohonan menyebabkan pepohonan terbebani dan hangus, kelapa meranggas, atap atap rumah ambruk. Di jalanan debu yang menumpuk setinggi lutut. Ketika pagi akan datang, adalah pagi yang benar-benar aneh karena matahari yang biasa hadir tak tampak, terasa lebih menyesakkan lagi karena udara pagi itu sangat gerah. Terasa jauh lebih panas dari biasanya, yang demikian karena berada tidak jauh dari gunung yang meskipun telah meledak namun masih berkelanjutan mengepulkan asap dan udara



panas. Keadaan yang demikian masih ditambah dengan angin pagi itu benar-benar nakal. Biasanya angin jarang-jarang muncul pagi hari, namun pagi itu, seperti ada setan gundul yang mengompori, ia bergerak dan bergerak mengaduk, mengaduk ngabul-abul (Jawa, mengobrakabrik) debu seenaknya di mana-mana. Bibit angin berputar di sudut Kota Kediri. Mula-mula ia hanya angin kecil saja, angin itu bergerak dari barat ke timur. Namun dari timur juga bergerak ke barat dengan sedikit menyerong. Kedua arah angin yang berbeda tujuan itu saling mendekat dan serempetan. Seperti lagak anak-anak muda yang gampang tersinggung oleh alasan yang sama sekali tidak jelas, amarah mereka tersulut. Demikianlah ketika dua jenis angin yang berbeda, satu membawa panas dan yang lainnya dengin itu kemudian bertemu, maka saling membelitlah mereka, bergerak berputar dan masing masing tak mau mengalah kalah untuk membebaskan diri. Maka itulah awal dari pusaran yang ketika membesar meraksasa memiliki namanya sendiri, bukan angin lesus lagi tetapi beliung. Sungguh besar kekuatan angin berputar itu ketika telah berubah bentuk meraksasa. Apabila tidak ada angin, beliung akan terlihat meliuk-liuk tinggi yang ujungnya ada di mendung tebal di atas dan ujung yang lain mengobrak-abrik bumi, namun karena debu ikut berperan, kehadirannya hanya terdengar dari suaranya yang gemerasak. Demikianlah angin itu berputar dan terus berputar, debu yang menghalangi pandangan itu juga ikut berputar dan terus berputar. Sebuah rumah yang sudah terengah-engah menyangga tumpukan debu, berantakan dan semburat ketika angin berputar itu melintas. Bubar mawut rumah itu. Dari ketinggian sangat tinggi, seekor burung elang menyaksikan pusaran angin itu dengan lebih jelas. Dari ketinggian sangat tinggi ia melihat di arah timur matahari sedikit naik dari balik cakrawala. Meski baru sedikit naik akan tetapi sejatinya sudah cukup untuk menerangi jagad raya. Angin berputar yang semula berasal dari sudut kota Kediri itu bergerak ke tengah, menuju pusat kota. Ia terus berputar menyebabkan siapa pun ketakutan. Mereka yang sudah menderita bertambah menderita, bahkan angin yang meraksasa itu juga menjelma menjadi pencabut nyawa. Di sebuah rumah yang berada di lintasan gerakan angin lesus itu, seorang kakek dan nenek sedang sekarat. Mereka yang sudah sangat tua itu menderita sakit paru-paru yang tertandai dari batuk berdarah. Awalnya istrinya yang sakit, lalu keadaan yang demikian itu menularI suaminya yang renta dan ikut-ikutan sakit. Maka hujan abu yang mengotori rumahnya menyebabkan mereka benar-benar menderita. Lalu, kini tiba-tiba angin berputar melintasi rumahnya. Angin kecil saja menyebabkan bencana, apalagi ini angin raksasa. Hanya dalam hitungan kejab, kematian menjemput mereka. Kematian suami istri yang sudah tua itu berlangsung cepat dan bersusulan. Kematian tidak hanya terjadi di tempat itu namun juga di tempat-tempat yang lain. Seorang ibu muda yang sedang hamil tua mengalami kesulitan luar biasa, sementara suaminya tidak ada karena ia seorang prajurit yang ikut berangkat berperang. Tidak ada gunanya ia memanggil-manggil namanya, karena sesungguhnya suaminya termasuk di antara prajurit yang terbunuh di medan peperangan. Perempuan muda itu kemudian menghembuskan tarikan napas yang terakhir. Banyak kematian karena debu itu. Sesungguhnya kematian telah terjadi bersusulan karena kehadiran debu yang menimbulkan masalah, yaitu kesulitan bernapas, baik yang berupa batuk, sesak maupun mulut tersumbat. Kelihatannya, Batara Bayu sedang murka. Atau Bayu adalah salah satu dewa yang diutus para Dewa di langit yang telah bersidang dan kemudian memutuskan mengirim Dewa Bayu untuk turun ke bumi. Disengsarakan melalui ledakan Gunung Kampud itu rupanya masih belum cukup dan dihadirkanlah banjir bandang angin lesus yang berputar kencang menggilas debu-debu, rumahrumah, pepohonan dan apa pun. Menjelang fajar itu jadilah sebuah pagi yang kacau balau. Pikiran Jayakatwang benar-benar terganggu. Ia berkeyakinan, bahwa meledaknya Gunung Kampud di belakang istananya adalah gejala alam biasa. Ia juga berpikir badai angin lesus di pagi yang gemuruh itu juga gejala alam biasa. Tidak ubahnya petir di musim hujan, tak ubahnya keadaan kering di musim kemarau, hanya gejala alam biasa. Atau hanya sebuah kebetulan hal itu terjadi hanya sesaat setelah apa yang ia lakukan, menghancurkan Istana Singasari dan membantai penghuninya. Namun keyakinan Jayakatwang itu kemudian terganggu. Pikirannya mulai goyah, ia curiga, jangan jangan benar para Dewa marah melihat ulahnya. Setelah mengaduk-aduk debu di penjuru kota, akhirnya keadaan mereda. Pusaran anginnya menghilang namun jejaknya yang butuh lama untuk menghilang. Dengan perasaan lapar dan lelah luar biasa, Jayakatwang bergerak ke dinding dan meraba pengilon yang di permukaannya penuh debu yang melekat tebal. Ketika Jayakatwang berhasil, ia kaget melihat penampilannya sendiri. Termangu beberapa saat Jayakatwang yang terkejut karena tidak mampu mengenali dirinya sendiri. “Jagad Dewa Batara,” desisnya. Matahari siap menyembul, namun gelap susana seperti puncak malam. Meskipun demikian Jayakatwang merasa yakin waktu sudah pagi. Dengan tertatih karena lelah



ia berjalan ke pintu dan membuka. Ia terkejut mendapati jarak pandang sangat terbatas, yang tampak hanyalah debu berwarna kuning kecoklatan di segala penjuru. Namun meskipun demikian, kini ia bisa melihat telapak tangannya dengan agak lebih jelas. Ketika tangannya dijulurkan menjauh, ia kesulitan melihat. “Prajurit,” ia berteriak keras. Tidak terdengar suara, tidak ada jawaban. Sekali lagi ia berteriak lebih keras, “Prajurit!” Ia merasa aneh. Keadaan yang demikian itu sungguh sangat mencemaskannya. Ia takut bila tiba-tiba dari kegelapan sebilah pedang mengayun menebas kepalanya, atau entah dari mana selembar anak panah melesat menghunjam ke jantungnya. Terdengarnya suara jeritan semalam masih membuatnya penasaran, apa yang sesungguhnya yang terjadi. Jayakatwang melangkah ragu, ia melangkah dan kakinya menyentuh sesuatu. “Hah, apa ini?” letupnya untuk diri sendiri. Jayakatwang menunduk dan meraba dengan tangannya. Berdesir jantungnya saat menyadari apa yang ia sentuh itu adalah sosok mayat. Jayakatwang tidak bisa menandai mayat siapakah itu karena tebalnya debu. Ia bergegas membersihkannya untuk melihat keadaannya secara utuh, Ia menggerayangi kepalanya, menggerayangi punggungnya, menggerayangi semuanya namun tidak menemukan darah, selebihnya ia tetap mengalami kesulitan mengenalinya. Yang mengagetkan Jayakatwang tidak menemukan belas luka apa pun. “Karena apa orang ini mati?” tanya Jayakatwang atas nama penasarannya. Sambil mendaki puncak gugupnya, Jayakatwang berjalan dan memeriksa gundukan yang ternyata benar, mayat-mayat bergelimpangan di sana sini. “Matikah semua orang?” Jayakatwang menemukan kenyataan, para prajurit itu mati tanpa bekas luka, tidak ada jejak sabetan pedang, tidak ada anyir bau darah. “Ada apa sesungguhnya, kenapa?” Jayakatwang merasa seperti akan gila. Rasa lapar di perutnya membutuhkan jawaban dengan segera akan tetapi apalah yang bisa ia lakukan. Tidak ada siapa pun yang bisa diperintah untuk menyiapkan makan. Jayakatwang amat sadar keadaan yang demikian bukanlah keadaan dirinya semata, namun hampir semua orang mengalami hal yang sama. Bila selama ini segala kebutuhan selalu tersaji, kini ia merasa, keadaan macam itu benar-benar menyiksanya. Sejalan dengan waktu yang bergerak perlahan Jayakatwang belum kunjung menemukan apa yang ia butuhkan, jawaban pasti atas apa yang sedang ia hadapi. Dalam keadaan lapar biasanya istrinya telah membereskan melalui perintah yang disampaikan kepada para abdi dalem untuk menyiapkan. Lalu terdengar batuk di belakangnya. Jayakatwang kaget, ia berbalik dan terebelalak memperhatikan bayangan manusia yang tegak berdiri. Dari suara batuknya terdengar jelas ia laki-laki. Jayakatwang sontak menggerayangi punggung bermaksud mencabut kerisnya. Akan tetapi ia lupa tidak menyelipkan senjata piandelnya di pinggang, Ia bahkan lupa keris yang ia beri nama Brajamusti itu berada di mana. “Siapa,” tanya Jayakatwang gugup, “siapa kau?” Orang itu tidak menjawab, ia tetap diam di tempatnya, perbuatannya membekukan diri tidak ubahnya patung batu. “Siapa?” ulang Jayakatwang sekali lagi. Namun orang itu bergeming. Jayakatwang tidak bisa mengendalikan jantungnya yang berpacu kian kencang. Ketika ia melangkah mundur, kembali kakinya menyentuh mayat. Dengan gugup dan sekuat tenaga ia menggerayangi mayat itu dan berhasil mengambil pedangnya. “Jangan berbuat macam-macam kau.” Orang itu menjawabnya dengan suara batuk. Sekali lagi dan sekali lagi, seolah debu Gunung Kampud itu menyebabkan tenggorokannya gatal. Lalu terdengarlah suaranya. “Pejamkan matamu.” Jayakatwang gugup. “Apa maksdmu?” “Pejamkan matamu.” “Tidak.” Orang itu tiba-tiba tertawa. Jayakatwang merasa mengenali suara itu, akan tetapi tidak bisa mengingat suara milik siapa. “Saya bukan lelaki pengecut yang akan mengambil kesempatan di saat kau memejamkan mata. Kalau saya berniat membunuhmu, maka sangat mudah bagi saya untuk melakukan.” Jayakatwang mencerna ucapan dan membenarkan apa kata orang itu, meski dengan sedikit ragu ia memejamkan mata. Ketika dalam keadaan lumrah, ia tidak bisa melihat apa pun karena demikian tebalnya debu, namun justru ketika memejam ia melihat dengan jelas keadaan di kiri dan kanannya, seolah para debu itu tidak ada. Jayakatwang membuka mata, dengan gugup ia lakukan itu, namun justru ketika membuka mata segala sesuatu tidak tampak. Kembali ia memejamkan matanya dan dengan kasat mata ia melihat keadaan di sekelilingnya dengan sangat jelas. Jayakatwang merasa jantungnya kesulitan mengayun. Matanya melotot. Namun pemandangan itu tidak berlangsung lama karena sejenak kemudian apa yang ia lihat melalui mata hati itu menghilang, lenyap seolah bagaikan debu bergulung dan kemudian bubar dilibas angin. Keadaan kembali ke semula, namun meninggalkan jejak yang mengharu biru, geger genjik di kedalaman hatinya. Jayakatwang merasa dilolosi tulang belulangnya, dan kedua tangannya pun mendadak bergetar-getar. Ia sadar bahaya sangat-sangat besar sedang mengepungnya. Besar kecil dengan berbagai jenis ukuran, yang kecil dengan racunnya sangat mematikan, itulah jenis dumung kebo yang ketika murka membentuk pipih seperti entong atau sendok khusus terbuat dari batok kelapa untuk mengambil



nasi. Juga ada jenis bandotan, yang mampu melenting dengan bentuk menipu seperti kayu. Sementara yang besar, bila melilit tubuhnya akan menyebabkan tubuhnya remuk, tulang belulangnya akan berpatahan berantakan. Pontang-panting Jayakatwang berusaha menenteramkan hati, untuk menerima kenyataaan di sekelilingnya banyak sekali ular. Jayakatwang terduduk dengan perasaan kalah, tak ada yang bisa ia lakukan dalam keadaan seperti itu. Ia tidak bisa melihat, sementara ular-ular itu mungkin tidak membutuhkan tatapan mata untuk mendatangi dan menggigit kakinya. Cukup dengan satu gigitan kecil untuk membuka pintu gerbang kematiannya. “Perbuatanmu keterlaluan,” terdengar orang tak dikenal itu berkata. Sejenak kemudian terdengar langkah kakinya menjauh, Jayakatwang mendengar ranting yang patah di halaman, lalu disusul suara batuk yang sumber suaranya bergeser dari tempat yang lain lagi, terakhir suara tertawa dipamerkan dari kejauhan, pertanda orang tak dikenal itu telah pergi jauh. Akan tetapi bagaimana dengan ular-ular itu? Jayakatwang hanya bisa pasrah menunggu, apakah yang akan dilakukan oleh ular-ular yang demikian banyak itu. Apakah ular yang paling besar yang sedang bergelung mendatanginya dan membelit tubuhnya hingga remuk, lalu ular itu akan membuka mulutnya lebar lebar dan menelan tubuhnya dari kepala lebih dulu, atau dari kaki lebih dulu? Sekejab berlalu, dua kejab berlalu. Jantung penguasa Kediri yang baru saja melakukan makar itu berdegup kencang dan semakin kencang. Menunggu adalah hal yang menjemukan namun menunggu yang dialami Jayakatwang seperti berhadapan dengan algojo yang mengulur ulur waktu mempermainkan ketakutannya. Namun di waktu yang bergerak perlahan itu ayunan pedang tidak kunjung menebas kepalanya, atau ular amat beracun itu tak kunjung mematuk tubuhnya, atau ular raksasa yang sempat dilihatnya itu tak kunjung membelit tubuhnya. Petir meledak serasa amat dekat. Gugup Jayakatwang yang berusaha menguasai detak jantungnya, keadaan yang demikian itu menimbulkan rasa nyeri yang luar biasa. Namun lagi lagi waktu yang ditunggunya tidak kunjung tiba, ular terkecil sekalipun belum ada yang mendekat untuk mengkili-kili kakinya, yang terjadi kemudian justru ledakan petir kembali bersusulan. Sejenak kemudian langit robek sangat lebar. Hujan bagai ditumpahkan dari langit yang robek itu, amat deras dan seketika. Berdebar-debar Jayakatwang berusaha mengendalikan dan memperhatikan keadaan. Hujan turun itu ternyata sangat membantu penglihatannya untuk mengenali keadaan di sekitarnya. Raja Kediri itu berusaha berdiri namun tidak punya cukup tenaga untuk melakukan. Ia terhuyung-huyung hanya untuk jatuh lagi. Dengan berdebar-debar Jayakatwang memerhatikan dengan tatap mata wadagnya. Ia melihat memang banyak mayatmayat bergelimpangan, namun ular yang membuat hatinya gelisah itu tidak tampak. Jelalatan Jayakatwang menoleh ke segala penjuru, ke belakang dan kesamping, matanya menyipit mencari cari, namun ular yang dicari itu tidak terlihat batang hidungnya. Hujan yang sudah deras itu bagaikan mengamuk, ia berhembus kian deras mengharu-biru melarutkan apa pun. Debu-debu di langit tersapu dengan cepat cepat, menambah penderitaan pepohonan. Debu panas menyebabkan pohon-pohon kelapa meranggas. Penderitaan para pohon itu rupanya masih harus berkelanjutan. Hujan angin itu sangat menyiksa mereka. Namun hujan itu setidaknya juga menolong memperlebar jarak pandang. Jayakatwang yang telah berhasil berdiri menyusuri tepi pendapa untuk melihat keadaan dengan lebih seksama. Ia mendapati mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana. Seolah para kematian itu merupakan peringatan khusus yang disampaikan hanya untuknya. Mestinya Jayakatwang berada di antara kematian itu, namun nyatanya ia satu-satunya yang masih hidup. “Jagad Dewa Batara,” ia berdesis. Suara batuk menyebabkan Jayakatwang menoleh ke sebuah arah. Bergegas Jayakatwang mendekati sumber suara itu. Namun ketika berhadapan, tidak juga kunjung keluar sepatah kata pun dari mulutnya. Demikian juga dari mulut perempuan yang tengah memandanginya. Tubuh perempuan itu penuh debu dan nyaris sulit dikenali. Gayatri yang keluar dari ruang pamujan memperhatikan keadaan. Menurut perhitungannya, saat itu matahari sudah menyembul dari garis langit. Hujan bagaikan menggila, dari kejauhan terdengar suara berderak, menyebabkan lelaki yang tega membantai besannya sendiri itu harus menakar dari mana suara bangunan yang roboh itu berasal. Hujan itu sangat lebat dan sangat kuat, suara berderak itu menjadi penanda betapa pendapa di mana mereka sedang berada juga bisa ambruk. Perempuan itu mengakhiri diamnya, sesungguhnya ia memendam rasa kecewa yang luar biasa. “Para dewa di langit marah, Paman,” ucapnya agak keras agar terdengar, “tidak hanya Sang Hyang Antaboga yang mengguncang bumi melalui ledakan arga dan gempa bumi, kini lihatlah Dewa Bayu yang murka bukan kepalang menyaksikan perbuatan Paman Jayakatwang yang licik dengan menusuk Singasari dari belakang. Boleh diyakini Samudra nun jauh di selatan maupun utara sekarang sedang beregolak dengan mengirim hujan deras melalui prahara yang sedang berlangsung.” Jayakatwang hanya



menyimak ucapan Gayatri itu dan tidak menyela. Perhatiannya tersita habis oleh suara angin yang menggemuruh dan pengalaman mengerikan yang belum lama ia rasakan. Hati Jayakatwang terganggu, keyakinannya goyah, ia merasa apa yang disampaikan Gayatri itu benar, bahwa para Dewa atau bahkan Hyang Widdi benar-benar tidak berkenan atas perbuatannya. “Paman harus melakukan sesuatu,” kata Gayatri. Jayakatwang menoleh. “Melakukan apa?” ia bertanya. “Rakyatmu saat ini sedang menderita. Mereka membutuhkan pertolongan. Sebagai seorang raja paman harus berbuat.” Jayakatwang bingung. Ia merasa, dirinyalah yang saat itu justru sedang membutuhkan pertolongan. Istana Kediri sangat tidak aman baginya, karena telah tercemar, di antaranya ditandai oleh munculnya ular-ular yang bisa membahayakan keselamatan jiwanya, juga ditandai oleh Gunung Kampud yang murka tak hanya melemparkan ke langit puncak kepundannya akan tetapi juga memporak porandakan istananya. Gelang Gelang benar-benar remuk. Perhatian Gayatri tertuju pada sesuatu yang teronggok. Jayakatwang mengekor di belakang perempuan cantik itu. “Kenapa orang ini?” tanya Gayatri. Bungsu dari Kertanegara itu mengedarkan pandangan matanya. Ia mendatangi onggokan tubuh yang meringkuk dan telah tidak bernyawa. Gayatri akhirnya menemukan jawabnya ketika mendekati salah satu mayat yang keadaannya bersih terguyur hujan. Di betis kaki kiri terlihat jelas bekas gigitan ular. Lincah Gayatri bergerak mendekati mayat berikutnya, kembali Gayatri menemukan jejak perbuatan ular di kaki. “Ular?” tanya Jayakatwang. Gayatri tidak menjawab, menggeleng tidak, mengangguk pun tidak. Perhatian Gayatri lebih tertuju pada seekor ular, tidak terlalu besar ukurannya, akan tetapi jelas jenis ular yang mematikan. Jayakatwang melangkah mundur ketika juga melihat ular itu, yang bergerak melata mendekati Gayatri. Dengan tidak merasa takut, Gayatri justru berjongkok menyambut kedatangan ular itu dan mengulurkan tangannya. Seperti mempersilahkan apa pun yang akan dilakukan ular itu. Taksaka itu melata melalui membelit lengannya dan kemudian membelit lehernya. Mesra sekali Gayatri dalam menyambut kedatangan taksaka itu, sungguh tanpa merasa takut sama sekali. Ular sangat beracun itu sangat bersahabat, lidahnya yang bercabang menjulur-julur menelusuri leher jenjang sekar kedaton Singasari yang sedang berada dalam keadaan terlunta-lunta, Dengan amat lembut Gayatri mengusap-usap kulitnya. Mrinding Jayakatwang menatap pemandangan yang seumur-umur sulit dipahaminya itu. Ketika hujan berhenti dan mendung menyibak, menyisakan pemandangan yang mengerikan. Dari nabastala belahan timur surya semburat memberikan jarak pandang yang semula hilang. Selanjutnya terlihatlah lumpur di mana-mana, mengalir menumpang ke mana gerak air. Cukup jelas di mata Jayakatwang kerusakan yang terjadi sungguh hebat dan dahsyat. Bangunan yang dibelah selasar menuju bagian belakang istana berantakan. Di mana-mana mayat bergelimpangan. Amarah entah siapa rupanya disalurkan dengan cara membantai para prajurit Kediri melalui cara yang aneh, mati digigit ular. Jayakatwang kemudian membayangkan entah siapa, ia seseorang yang punya kemampuan langka, orang itu yang meski sendirian namun tak ubahnya berkekuatan segelar sepapan. Apalah arti ribuan prajurit apabila di sela-sela kaki mereka hadir ular-ular berbisa yang mengancam kaki mereka. Satu sengatan kecil jika itu berasal dari dumung kebo atau ular weling, menjadi jaminan terbukanya pintu gerbang kematian. “Bagaimana bisa?” terlontar pertanyaan dari mulut Jayakatwang. Gayatri berbalik. “Apa yang bagaimana bisa Paman?” Tidak berkedip Jayakatwang memandang ular yang sedang menelusuri leher gadis cantik itu. Dalam keadaan wajar, Jayakatwang membayangkan dirinyalah yang menjadi ular itu, yang tidak hanya menggerataki lehernya, namun juga lainnya. “Bagaimana bisa kau memperlakukan ular macam itu?” tanya Jayakatwang, terlontar sedikit ragu, mengapa ular itu tidak mematukmu?” Gayatri tidak menjawab karena memang tidak tahu jawabnya. Gayatri hanya bisa merasakan sikap yang bersahabat, tulus dan tidak menempatkan ular itu sebagai sesuatu yang menakutkan yang menyebabkan ular itu bersikap senada. Dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba suasana hening itu pecah oleh suara jeritan. Bergegas Gayatri melangkah, sontak Jayakatwang khawatir atas nasib istrinya. Apa yang dicemaskan Raja Kediri itu benar. Di ruang pamujan, dengan tubuh penuh debu Ratu Kediri Turuk Bali meringkuk sekarat. Terbungkam mulut Jayakatwang. Namun Gayatri cekatan melakukan tindakan penyelamatan. 19 Matahari memanjat naik, dari ketinggian langit terlihat jelas pergerakan debu tumpahan Gunung Kampud yang berarak ke barat sesuai pergerakan sang bayu yang di atas Pulau Jawa bergerak ke arah barat. Tidak ada tempat yang bersih di arah barat, debu tebal menyelimuti wilayah yang paling dekat dengan Gunung Kampud di mana arga sangar itu berada. Wilayah Balitar sama menderitanya seperti Kediri, namun dari Singasari ke timur tidak terlalu menderita karena berada di arah timur dari gunung itu. Ke arah barat, Madiun, Telaga Sarangan di kaki Gunung Lawu, semakin ke barat bahkan menggapai wilayah Tatar Sunda, debu berarak tidak



berkesudahan. Pun demikian pula dengan tanah Trik, atau ada yang menyebutnya dengan nama Tanah Tarik yang berada di tepian Sungai Brantas. Tanah Trik, orang meyakini sebagai alas gung lewang lewung, yang sangat ganas. Ada banyak binatang buas bertempat tinggal di tempat itu. Jika ada pertanyaan, seperti apa bentuk kedalaman Tanah Trik, tidak seorang pun yang bisa bercerita karena tak seorang pun yang berani memasukinya. Tanah Trik bersih dari jangkauan debu-debu karena berada di arah timur laut dari Kampud. Dari ketinggian Gunung Penanggungan memang terlihat jelas, wilayah itu merupakan hutan yang sangat lebat. Meski tempatnya datar namun pepohonannya berjejal-jejal, mengingat tempat itu dilintasi sungai yang cukup besar yang ketika musim hujan tiba, tempat itu menjadi wilayah langganan banjir, meninggalkan jejak kesuburan yang luar biasa, itulah sebabnya tempat itu lebat luar biasa. Pagi yang memanjat naik juga menerangi tempat itu. Nun di ketinggian langit, seekor burung elang memperhatikan tempat itu dengan penuh perhatian. Elang atau cataka itu menandai tempat itu sebagai tempat yang aneh. Burung itu bermata awas dan banyak menyimpam catatan, antara lain yang kini sedang berlangsung, debu Gunung Kampud tidak bisa menjamah dan mengotori tempat itu. Catatan lain yang juga tersimpan di benak burung itu adalah, suatu ia pernah tak bisa terbang di atasnya. Tempat itu mempunyai wibawa sangat besar yang tidak bisa sembarangan diremehkan, cataka itu ingat ia berusaha meliuk dengan kecepatan tinggi menerobos, namun serasa ada dinding kenyal yang memaksanya putar kembali balik arah. Untuk yang ketiga kalinya cataka itu mencoba dan akhirnya merasa yakin, bahwa terdapat semacam pembatas yang melindungi. Dengan sekuat tenaga ia mengayuh udara melesat tinggi seolah berusaha menggapai langit, lalu dengan kecepatan tak terhingga ia balik air dan melipat kedua sayapnya, berusaha menerobos memasuki wilayah tepat di atas tempat itu. Namun yang terjadi, sekuat ia melesat, ia mendapatkan tekanan balik sekuat itu pula, burung itu bagaikan menabrak dinding dengan sangat keras dan kasar. Menyimpan kenangan itu, paksi cataka kini tinggal satu-satunya itu tidak berani lagi mengulanginya. Ia membentangkan sayap melawan arah angin dan terus memperhatikan dengan seksama. Ketika ada kesempatan angin balik arah berarak dari Gunung Kampud ke arah timur laut, mestinya debu berjatuhan di tempat itu. Akan tetapi burung itu melihat dan berdebar-debar betapa aliran debu yang ikut angin itu menyibak ke kiri dan ke kanan. Setelah semula debu tersebar ke segala penjuru, kini secara umum arah angin menuju ke barat, melintas sangat jauh nyaris seluar Pulau Jawa itu sendiri. Hanya butuh waktu semalam saja, debu telah berjatuhan di Garut, Tasikmalaya, juga di Kandang Kamulyan. Dalam jumlah yang tipis debu berjatuhan. Jika debu sampai menempuh jarak demikian jauh, lalu bagaimana dengan pusatnya. Paksi Cataka itu melihat dari arah Gunung Kampud asap masih mengepul membubung tinggi menggapai langit. Di bagian atas asap itu mekar membentuk diri mirip cendawan, terus menerus tak berkesudahan dan entah kapan akan berhenti. Asap itu tidak hanya dari kepundan asalnya, akan tetapi juga dari lereng-lerengnya, berasal kayu-kayu yang mengarang, mengepul menjadi arang. Dari ketinggian di mana ia membentangkan sayapnya, burung itu terus mengikuti gerak perjalanan Raden Wijaya menuju Bumi idaman, tanah Tarik atau Tanah Trik, di mana di sana kelak ia akan membangun kembali pilar-pilar penyangga istana atau negara yang telah rusak diacak-acak Jayakatwang. Berkuda paling depan Sorandaka yang berboncengan dengan Tribuaneswari, disusul Raden Wijaya yang dipeluk Narendraduhita yang tak mampu menahan kantuk sehingga suaminya harus memegangi tangannya, disusul Pamandana yang satu kuda dengan Pradnya Paramita, disusul para balasanggrama yang berada dalam kesiagaan tertinggi. Tak ada pembicaraan apa pun di antara mereka. Sedikit meninggalkan Padukuhan Taretes, tiba-tiba Raden Wijaya mengangkat tangannya, isyarat agar semua berhenti. Nambi membawa kudanya mendekat. “Ada apa Raden?” tanya Nambi. Raden Wijaya memegang kening dan mengusap rambutnya yang ikal, Dengan tiba-tiba di pergelangan tangannya telah tergenggam keris Empu Gandring. “Kakang Sora,” Raden Wijaya memanggil. Sorandaka mendekat. Ia masih duduk di atas punggung kudanya sebagaimana yang lain. “Pripun, Raden.” (Pripun, Jawa, bagaimana.) “Coba kakang Sorandaka ceritakan, apa yang kakang alami ketika memegang keris ini.” Sorandaka mengangguk. Dengan jelas dan gamblang ia menceritakan pengalamannya yang luar biasa, betapa keris buatan Empu Gandring ityu mempunyai pengaruh yang luar biasa, yang menyebabkan telah ia berubah menjadi sosok lain bukan dirinya lagi. Semua mulut terbungkam ketika Sorandaka bercerita mengenai kemunculan asap kekuningan yang mengerikan. Asap yang hidup dan berkemampuan membantai. Sorandaka juga menceritakan dengan jelas sosok mengerikan yang mengaku bernama Rangga Bentar dan orang yang berusaha menyelubungi diri di balik selembar kain yang menutupi wajahnya yang menggunakan nama Rudra Narantaka yang memiliki nama lain Guru Grahita. Raden Wijaya



kembali menjadi pusat perhatian. Tiba-tiba ia mengulurkan tangannya kepada Nambi. Nambi bingung. “Belajarlah dari Kakang Sorandaka tentang bagaimana perilaku keris ini. Ambillah jalan memisah, Kakang Nambi dan Kakang Ranggalawe pergilah mendahului ke Lulumbang temui Ki Buyut Lulumbang untuk meminta petunjuk, sementara saya akan mengambil arah ke Tanah Trik. Saya akan mencari jawab atas sebuah pertanyaan, ada apa sesungguhnya di sana.” Nambi akhirnya menerima keris itu dan mengangkatnya di atas kepala. Ranggalawe tidak berkedip memperhatikan bentuk keris itu, bentuk warangkanya yang halus dan sempurna, sangat berbeda dengan gagangnya yang sederhana hanya berupa gagang cankring gara-gara pembuat keris itu, Empu Gandring, belum sempat menggantinya dengan kayu cendana. Ranggalawe agak cemburu, mengapa bukan dirinya yang dipercaya membawa keris itu. “Raden sendiri bagaimana?” tanya Ranggalawe. Bergantian Raden Wijaya memandangi ketiga istrinya. Sempat pula terpikir istri ke empatnya yang mencemaskan hatinya. Bagaimana keadaan Gayatri yang sedang menjadi bebandan dan dibawa Jayakatwang ke Kediri, tentulah sangat mencemaskan. Ia berharap nasib Gayatri tidaklah seburuk yang ia cemaskan. “Saya akan melanjutkan perjalanan ke Tanah Tarik, kelak ketika urusan saya telah selesai, saya akan menyusul ke Lulumbang.” Nambi mengangguk. Ia memerhatikan wajah ke empat temannya yang lain. “Medang Dangdi, Pamandana, Gajah Pagon dan Kau Sorandaka,” ucap Nambi, “Jaga Raden Wijaya dan para Ratu dengan taruhan nyawamu.” Serentak empat orang yang disebut namanya menjawab, “Tandya!” (Tandya, Jawa kuno, Siap.) Maka perpisahan pun kemudian terjadi. Setelah menyembah memberikan penghormatan, Nambi dan Ranggalawe mengambil arah lurus sementara Raden Wijaya dan rombongannya siap berbelok. Dari tempatnya berada bentuk Gunung Penanggungan terlihat sangat jelas. Tanah Trik yang sedang mereka tuju berada di belakangnya. “Kakang Sorandaka,” kata Raden Wijaya. “Hamba Raden,” jawab yang disebut namanya. “Silahkan, Kakang mendahului di depan.” “Hamba Raden.” Rombongan kecil itu bergerak melanjutkan perjalanan. Pamandana, Medang Dangdi dan Gajah Pagon menempatkan diri di belakang. Namun langkah Sorandaka yang baru sejengkal terhenti, ia melihat paksi Cataka terbang amat rendah menerobos pepohonan. Meminjam ketajaman mata burung elang yang kini tinggal satu-satunya itu, Sorandaka memperhatikan keadaan di sekitarnya. 20 Mundur ke waktu sebelumnya, ketika menjelang matahari menyembul. Adalah di saat itu, ketika gelap gulita wilayah bawah sadar yang disandang Rangga Bentar akibat dahsyatnya ledakan Gunung Kampud mulai menyibak, usaha Rangga Bentar menjelajah wilayah bawah sadar belum membuahkan hasil. Usahanya menemukan kembali jejak yang hilang belum kunjung menemukan jawaban, Setidaknya sejak Gunung Kampud meletus, semalaman ia berusaha melacak jejak perjalanan keris Empu Gandring namun tidak membuahkan hasil. Kini jejak itu muncul lagi. Rangga Bentar melihat dengan seksama bayangan keris itu menuju ke sebuah arah. “Bagaimana?” tanya Rudra Narantaka. Rangga Bentar mengangguk. Anggukan itu bagi Rudra Narantaka belum jelas artinya. “Bayangan itu muncul kembali?” “Ya.” “Ke mana arahnya?” “Luar biasa pergerakan keris itu. Saya yakin, keris itu kini kembali ke tangan Raden Wijaya, ia telah jauh berada di timur Taretes.” Jawaban itu menyebabkan Rudra Narantaka. “Apakah Raden Wijaya akan menuju ke Ujung Galuh?” Rangga Bentar menyeringai. “Bisa ke mana saja.” Agak perlahan Rudra Narantaka Guru Grahita itu mengangguk. Ia menambah, “Bisa ke mana saja.” Rangga Bentar yang tengah duduk bersila di dalam tenda itu bangkit oleh rasa tak sabarnya. Ia berkata, “kita cegat perjalanan mereka. Kita harus secepatnya menuju Pertigaan ke Taretes dan Pasuruhan. Kita bantai para anak turun Ken Arok itu di sana dan keris itu harus kembali ke tangan saya saya.” Guru Grahita menyempatkan termangu, tepatnya ada sesuatu yang menjadi pertimbangan. “Kita kehilangan banyak orang,” ucapnya, “jangan-jangan kalau kita bertemu, kita justru berada di tempat yang tertekan. Bagaimana pun harus kau timbang, keris itu berada di tangan musuh. Hanya seorang Sorandaka dengan sebilah keris saja telah membuat kita kalang kabut.” Rangga Bentar terbungkam. Rangga Bentar tidak bisa menolak kenyataan itu, bahwa selama perburuan yang dilakukan telah meminta banyak korban dengan menyisakan sejumlah orang yang kehilangan daya juang dan keberanian. Rangga Bentar tidak bisa menolak bahwa ia membutuhkan banyak tenaga. Dalam keadaan seperti itu, dari kejauhan terdengar suara gaduh, suara umpatan dan suara ringkik kuda. Rudra Narantaka berbinar, dari umpatan itu ia bisa menerka mulut siapa yang sedang penuh comberan itu. “Siapa?” tanya Rangga Bentar. “Kebo Mundarang.” Kebo Mundarang yang merasa perjalanannya kedarang-darang (Kedarang-darang, Jawa, terlunta-lunta) akhirnya bergabung dengan Rudra Narantaka. Kedua pihak itu sama-sama lelah dan tak memiliki sisa tenaga. Kebo Mundarang merasa sangat kecewa, apa yang inginkan tidak menjelma menjadi kenyataan



Majapahit, banjir bandang dari utara, 7 LANGIT KRESNA HARIADI·FRIDAY, NOVEMBER 18, 2016



Nambi sungguh cemas, dan merasa bingung menyikapi keadaan. Di sekitarnya debu-debu berwarna putih yang adakalanya mubal digoyang angin. Tak kalah cemas, Ranggalawe berderap bagai kesetanan, ia mendahului Nambi. Kaget yang kedua itu dialami Oleh Rangga Bentar yang amat bernafsu mengejar keris Empu Gandring, keris buatan leluhurnya yang ia merasa sebagai satu-satunya pewarisnya yang berhak memiliki keris itu. Umpatan sangat kasar keluar dari mulut laki-laki pemilik mata aneh itu yang tiba-tiba merasa terkecoh. “Diancuk,” jeritnya amat serak. Tak kalah bingung adalah Guru Grahita yang juga memiliki nama lain Rudra Narantaka yang belum memahami apa yang sedang terjadi. Guru Grahita kaget melihat Rangga Bentar berhenti dan langsung mengumpat kasar seolah tanpa ujung dan pangkal. “Setan alas.” “Kenapa? Ada apa?” tanya Rudra Narantaka. Dengan lunglai Rangga Bentar turun dari kudanya, ia berputar sambil menjambaki rambut sebagai pelampiasan rasa kecewanya yang bukan kepalang setelah merasa terkecoh dan tidak bisa menerima kenyataan. Rangga Bentar yang memejamkan mata dalam rangka menjelajah batas ruang dan waktu melihat betapa keris Empu Gandring itu telah berpindah jauh ke arah barat, mendekati sebuah tempat yang akhir-akhir ini membuatnya merasa penasaran. “Keparat,” sekali lagi Rangga Bentar mengumpat. Rudra Narantaka mendekatinya. “Sesungguhnya ada apa?” Rangga Bentar berbalik. “Saya menduga, keris itu kembali ke tangan Raden Wijaya.” Berkerut kening Rudra Narantaka Guru Grahita. “Artinya?” Rangga Bentar menggeleng-geleng kepala. “Saya sungguh tidak mengira akan sesulit ini merebut kembali keris Empu Gandring.” Rangga Bentar tidak membuang waktu, ia melompat ke atas punggung kudanya kembali dan memacunya berbalik arah arah. Rudra Narantaka yang diikuti beberapa anak buahnya, ikut balik arah dan memperbarui arah sasaran. 25 Raden Wijaya merasakan bagaikan mendapatkan kekuatan atau sipat kandel (Sipat kandel, Jawa, kekuatan yang bisa diandalkan), ketika sedang berhadapan dengan keadaan yang sangat sulit. Di depan, para istrinya terus berderap tidak berani menoleh ke belakang, mereka akhirnya sampai di batas akhir bulak panjang dan menyelinap di antara pepohonan. Di tempat itu mereka berhenti untuk melihat apa yang terjadi di arah belakang. Berhenti adalah tindakan yang harus dilakukan karena tak ada lagi jalan setapak. Kehadirannya menjadi perhatian para kera dan ular yang bergelung, bahkan bau keringat para sekar kedaton telah menyentuh hidung harimau yang berada tak jauh dari tempat itu. Air liur harimau itu menetes, ia merasa akan mendapatkan santapan yang lain dari pada yang lain. Raden Wijaya melintangkan kerisnya di depan dada, Kebo Mundarang memandangnya amat takjub. “Wah, wah,” Kebo Mundarang meletupkan isi hatinya dengan sangat takjub. Raden Wijaya tidak menjawab, namun matanya berkilat-kilat memandang penuh kebencian. Ia tak mungkin melupakan wajah lelaki itu sebagai penyebab kehancuran Singasari. Mertuanya laki dan perempuan, dibunuh dengan keji dan istana diratakan dengan tanah. Ada banyak sekali orang yang terbunuh di Singasari akibat keserakahan Kebo Mundarang dan Jayakatwang, Raden Wijaya sulit menerima apabila dendam lama tahun 1222 dijadikan alasan untuk menghancurkan Singasari, karena selama ini Singasari telah berbuat banyak untuk mengubur dendam lama itu. Kebo Mundarang tiba-tiba tertawa. Tawa yang diikuti oleh segenap anak buahnya yang melakukan kepungan dengan rapat. Raden Wijaya tidak melihat Medang Dangdi, Sorandaka, Kebo Kapetengan, Pamandana dan Gajah Pagon. Dengan dada amat sesak, Raden Wijaya membayangkan sahabat-sahabatnya itu pasti telah gugur, mereka



rela mati itu dalam upayanya melindunginya dan melindungi para istrinya. Sesak Raden Wijaya membayangkan keadaan itu. Raden Wijaya menggetarkan keris Empu Gandring di tangannya, sebuah getaran kecil saja, akan tetapi akibatnya sungguh dahsyat. Berdebar-debar Kebo Mundarang memperhatikan wujud keris itu yang mengepulkan asap sedikit kekuningan. Kebo Mundarang sudah pernah mendengar kedahsyatan keris Empu Gandring, keris yang dalam perjalanan kisahnya telah menjadi bagian dari berbagai peristiwa besar. Keris yang konon terbuat dari batu bintang yang jatuh di bumi Sembulungan yang menjadi wilayah Blambangan itu telah meminum darah pembuatnya, Empu Gandring sendiri, menyusul terbunuhnya Kebo Ijo yang dengan dengaja dikorbankan nyawanya oleh Ken Arok, raja pertama dari negeri yang diberi nama Kutaraja yang di kemudian hari bernama Singasari. Kematian lalu terjadi beruntun membunuh Tunggul Ametung, Ken Arok, Pengalasan dari Batil, Anusapati dan Tohjaya. Hingga sekarang, keris itu masih berbagi kisah suram. Mrinding Kebo Mundarang membayangkan perjalanan keris itu yang mengerikan. Kini keris itu berada di tangan Raden Wijaya. “Majulah,” kata Raden Wijaya datar dan tidak perlu berteriak. Kebo Mundarang tidak menjawab, sebagaimana wataknya, lelaki berkumis tebal itu justru membawa kudanya untuk mundur. Ia memberi isyarat kepada anak buahnya untuk merapatkan kepungan, sebagian dari anak buahnya masih sangat banyak untuk mengatasi hanya seorang Raden Wijaya meski ia memegang keris. Sebagian pasukannya tertinggal di belakang melayani Bala Sanggrama yang berusaha menjadi perintang. Bagaimanakah nasib Pamandana dan yang lain sungguh menjadi sebuah pertanyaan yang mengganggu hati Raden Sesuruh, nama lain dari Raden Wijaya itu. “Serang,” teriak Kebo Mundarang. Serentak masing-masing dari atas kudanya para prajurit Kediri itu menyerang. Akan tetapi, Raden Wijaya telah lebih dulu mengibaskan senjatanya yang berakibat luar biasa. Asap kekuningan tiba-tiba mengepul kental dan mewakilinya untuk balas menyerang. Asap itu membawa amarah keris Empu Gandring, ia yang kehausan, ia yang ingin melahap tubuh yang diencerkan. Betapa terperanjat Kebo Mundarang, matanya nyaris lepas dalam terbelalak. “Majulah kamu Kebo Mundarang, saya tantang kamu dalam sebuah perang tanding,” kata Raden Wijaya dengan suara sangat berwibawa. Alih-alih maju, Kebo Mundarang justru membawa kudanya menjauh dan memperhatikan apa yang baru terjadi. Terbungkam mulut Kebo Mundarang melihat lima orang anak buahnya binasa seketika, dilibas asap kekuningan yang demikian beringas dan ganas. Melepuh hangus kulit para prajurit itu yang langsung terjerembab. Merasakan kesakitan yang luar biasa, para kuda mereka melonjak dan bertabrakan antara satu dengan lainnya. Seekor kuda bernasib sial sesial-sialnya, karena asap kental kekuningan itu mencengkeramnya amat dalam. Warnanya semakin pekat dan tidak lagi tembus pandang. Tubuh kuda yang sekarat itu mulai tampak tulangnya. Sungguh berbeda dengan Sorandaka yang tidak mampu menguasai diri ketika memegang wangkingan (Wangkingan, Jawa, keris) itu, sebaliknya Raden Wijaya menguasai sepenuhnya. Ia tidak mebiarkan asap kuning yang lahap dalam memangsa itu berbuat liar seenaknya. Melalui kendali pikirannya, asap itu masuk kembali ke dalam keris. Asap kekuningan itu seperti kecewa ketika seperti terpaksa kembali, lalu mengepul di atas keris Empu Gandring yang diangkat tinggi di atas kepala. Berbeda dengan Sorandaka yang isi benaknya sangat dipengaruhi oleh keris itu sampai lupa kendali, hal yang demikian tidak terjadi pada Raden Wijaya. Kemarahan Raden Wijaya adalah kemarahannya miliknya sendiri terutama karena teringat pada hal-hal yang kelewatan dilakukan oleh Kebo Mundarang dan Raja Kediri. Akan tetapi di sisi lain keris Empu Gandring itu memberi pengaruh sisi lain



yang luar biasa kepada pemegangnya. Raden Wijaya tiba-tiba berubah seolah bukan dirinya lagi, seperti yang dialami Sorandaka ketika berhadapan dengan Rangga Bentar, ilmu kanuragannya meningkat berlipatlipat. Ia tiba-tiba merasa bisa melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak bisa ia lakukan. “Ayo Kebo Mundarang,” kata Raden Wijaya seperti berbisik, “mendekatlah kemari, akan saya berikan kematian yang tidak perlu melewati rasa sakit.” Kebo Mundarang tiba-tiba merasa lehernya seperti tercekik sulit untuk menelan ludah. Laki-laki itu mendadak ciut nyalinya. Matanya tidak berkedip memandang keris Empu Gandring yang kini secara langsung ia lihat sendiri bagaimana kedahsyatannya. Sudah jauh dan berada di jarak aman, Kebo Mundarang masih merasa perlu mundur lagi. “Anak panah,” teriak Kebo Mundarang. Perintah itu telah diberikan. Sigap para prajurit yang masih memiliki sisa warastra memasang di langkap yang kemudian diarahkan ke Raden Wijaya. Ada yang membidik tengah dadanya, ada yang mengarah ke kepala, ke leher dan ada pula yang ke perut. Seorang prajurit entah oleh alasan apa mengarahkan warastra itu ke alat kelaminnya. Ia membayangkan pasti berantakan kelamin Raden Wijaya itu ketika anak panahnya menghajarnya. Atau, jika ia berhasil menghandurkan alat kelaminnya, kelak Raden Wijaya akan menderita karena tidak mampu melaksanakan tugas sebagai seorang suami. Sangat cermat prajurit itu dalam membidik, lurus dan tidak melenceng sama sekali. Raden Wijaya melirik. Namun Raden Wijaya tak mau didahului dan bernasib sesuai dengan yang dibayangkan oleh para musuhnya itu. Raden Wijaya segera mengibaskan keris Empu Gandring bersamaan dengan tubuhnya yang melenting. Oleh pengaruh keris itu, Raden Wijaya tiba-tiba mampu berjumpalitan demikian ringan dan luput dari semua anak panah yang bergerak. Namun para musuhnya itu yang justru kelabakan ketika asap kekuningan keluar dari bilah wangkingan dan bergerak memburu mereka. Terbelalak Kebo Mundarang menyaksikan seorang anak buahnya menjadi kurban keganasan keris bermuatan kutukan itu. Perbuatan asap berwarna kuning yang keluar dari bilah keris itu sesungguhnya masih belum seberapa dibanding ketika keris itu masih dalam keadaan mentah dan baru jatuh dari langit. Ketika bongkahan batu itu jatuh dari angkasa, menyebabkan kerusakan yang luar biasa. Musim sedang kering kerontang terbakar memanjang dari batas tepi semenanjung Sembulungan di tempat bernama Hamuncar ke arah timur sampai hampir ke laut. Bencana dialami mula-mula oleh para binatang penghuni hutan belantara. Malam hari batu itu meringkuk dijaga dengan ketat oleh pepohonan yang berubah perilaku, yang dengan sulur dan akar-akarnya berubah menjadi pohon liar menjadi bernyawa dan membunuh siapa pun. Taksaka amat besar yang merayap, ular itu diminum, bukan dimakan. Siang hari, saat cahaya matahari menjilatnya, mengepullah asap kekuningan yang meminum siapa pun. Harimau yang sangat kuat tidak dimakan namun dilelehkan dan diminumnya dengan amat rakus. Hanya dua orang maha sakti yang mampu mengatasi keadaan, mereka adalah Beliung dari Timur yang bernama asli Parameswara yang memiliki kesaktian tiada tara karena ia satu-satunya orang yang beruntung berhasil menenggak tirtamartamantana. Orang kedua adalah Ken Arok sang pembawa pertanda kasih para dewa, yang meski hanya seorang perempok di Karautan, akan tetapi Dewa di langit tak pilih kasih. Ken Arok itulah yang di kemudian hari menjadi cikal bakal para raja besar di Tanah Jawa, kedua orang itulah yang mampu meredam ulah bongkahan batu yang jatuh dari langit itu. Kemudian, batu bintang yang jatuh dari langit itu atas tangan dingin seorang Empu pembuat wangkingan yang tinggal di Lulumbang bernama Gandring diolah dijadikan bahan baku sebuah keris. Keris atau dhuwung, atau wangkingan buatan Gandring itu sungguh amat dahsyat, dengan mata terbelalak serasa akan copot dari



kelopaknya Kebo Mundarang memperhatikan asap aneh yang setiap jilatannya menyebabkan kulit dan daging yang dilindunginya meleleh. Raden Wijaya menyempatkan memejamkan mata. Itu ia lakukan ketika tiba-tiba merasa keris di tangan kanannya itu berusaha keras mempengaruhinya, mengkili-kili murkanya untuk berbuat gila, untuk mengamuk sejadi-jadinya. Akan tetapi meskipun memiliki alasan untuk itu, Raden Wijaya tidak menjadi lupa diri. Ia berdiri tegak dan memilih menunggu apa pun yang dilakukan para musuhnya yang jumlahnya berlipat kali lebih banyak. Kebo Mundarang kembali memberi perintah, “Maju!” Raden Wijaya menggetarkan kerisnya sekali lagi dan asap kekuningan yang keluar dari keris itu bergerak meniru lagak kobaran api. Namun Raden Wijaya tetap berdiri, karena telah terjadi pembangkangan di antara prajurit Kediri. “Maju, serang!” Tak seorang pun yang berani maju dan tak seorang pun yang menyerang. “Seharusnya kamu sendiri yang maju, Mundarang, kujamin tubuhmu akan meleleh.” Kebo Mundarang mati langkah, ia marah karena anak buahnya telah membangkang, tidak seorang pun yang melaksanakan perintahnya. Ketika Raden Wijaya melangkah maju, prajurit Kediri itu malah melangkah mundur. “Lepas anak panah,” teriak Mundarang lagi. Dari jarak yang dikiranya aman, para prajurit itu menyiagakan diri, khususnya yang masih memegang anak panah. Warastra telah ditarik dari endong di punggung, dan dilepas bersamaan menjadi hujan. Namun Raden Wijaya lebih dulu melompat menjauh dari arah bidik dengan melenting tinggi lalu turun perlahan dengan tubuh tegak dan tangan kanan yang memegang keris di atas. Mengepul keris Empu Gandring di tangannya, mengombak dan meninggi menyentuh daun-daun. Melihat itu, para prajurit Kediri berhamburan menjauh lepas kendali dari perintah Kebo Mundarang. “Jangan lari,” teriak Kebo Mundarang. Namun tak seorang pun yang peduli pada perintahnya. Akhirnya, ketika merasa berada dalam bahaya, Kebo Mundarang ikut menyelamatkan diri. Ia berlari lintang pukang melihat kabut berwarna kuning itu mulai bergerak yang ia rasakan seperti akan mengejarnya. Kebo Mundarang merasa kecewa amat berat, karena ternyata mangsa yang sudah berada di depan mata itu tidak bisa dijangkaunya. Kebo Mundarang merasa dadanya amat sesak, rasa kecewa itu seakan meledakkan kepalanya. Selanjutnya tinggallah Raden Wijaya yang diam terpaku sendiri di atas kudanya. Asap tebal kekuningan itu telah lenyap kembali di simpan di dalam kerisnya. Dengan mata beku Raden Wijaya memandang bangkai-bangkai di sekitarnya, juga bangkai kuda yang keadaannya sangat menyedihkan. Raden Wijaya kemudian memutar balik kudanya, menyusul para istrinya yang telah memasuki batas tapi Hutan Tarik yang telah menelan mereka. Batas hutan Tarik sisi timur itu, ditandai dengan jelas antara padang ilalang bulak panjang dan tebalnya pepohonan dari berbagai jenis pepohonan. Hutan Tarik bukanlah hutan yang akrab dan bersahabat dengan manusia, namun itulah wana (Wana, Jawa, hutan belantara) yang dihuni oleh berbagai jenis binatang. Di beberapa bagian amat lebat sampai tidak tertembus dan dihuni berbagai binatang mengerikan. Ular, dari berbagai ukuran, para binatang yang tinggal di pepohonan paling riuh dalam jejeritan, suara mereka saling bersahutan yang adakalanya menyeramkan. Dari pohon ke pepohonan yang lain tidak kalah riuh oleh suara burung yang saling sapa dengan sesamanya. Semua binatang itu harus bersikap waspada, karena jenis binatang tertentu adalah sarapan pagi bagi jenis binatang lainnya. Kera harus peka, karena bisa jadi dan dengan tiba-tiba seekor taksaka yang diam membeku berlagak seperti kayu tiba-tiba menyambar dan membelit tubuhnya. Pun demikian dengan kijang yang butuh air, di sana ada harimau yang mengintai. Namun Tanah Tarik tiba-tiba berubah setidaknya di mata orang-orang yang waskitha, (Waskitha, Jawa, bermata hati tajam).



Para waskita yang berhati peka melihat ada sesuatu yang aneh di wilayah itu. Di malam-malam tertentu tempat itu bercahaya yang tampak jelas dilihat di ketinggian lereng gunung. Para waskitha sibuk menduga, ada apa di tempat itu, atau menduga akan ada apa kelak. Mendiang Mahapatih Raganata yang pertama kali menunjukkan pada Raden Wijaya. Hanya Raden Wijayalah yang membaca maknanya dan menyimpan jauh di kedalaman hati tentang apa yang kelak ia lakukan. Raden Wijaya telah menjatuhkan pilihan, di temat itulah kelak ia akan banyak berbuat sesuatu. Kembali Raden Wijaya menoleh ke belakang, namun bayangan para prajurit Kediri sudah tak tampak lagi, mereka kocar-kacir entah ke mana. Raden Wijaya tidak pernah menduga pengaruh Keris Empu Gandring yang ia simpan di dalam benaknya itu demikian dahsyatnya. Sekarang ia percaya pada apa yang dikatakan Sorandaka setelah mengalami sendiri. Raden Wijaya tergesa menyusul melalui jalan setapak, kecemasannya tiba-tiba membuncah membayangkan sesuatu yang buruk menimpa para istrinya. Maka dengan bergegas ia menarik tali kendali kudanya. Sebenarnyalah dua ekor harimau sedang mengendap-endap mengintai. Akan tetapi kedua ekor kucing besar itu sedang kekenyangan setelah menyantap seekor babi besar. Namun naluri membunuhnya tidak berkurang begitu saja. Dari balik rimbunnya semak dan perdu kedua binatang itu mengintai. Namun begitu melihat siapa yang akan menjadi mangsanya, hilang naluri membunuh hewan itu. Tiba-tiba jauh di kedalaman benaknya muncul naluri menjaga, naluri melindunginya dari bahaya. Hampir semua binatang di hutan itu memiliki isi hati yang sama. Tanah Tarik rupanya tidak rela para sekar kedaton yang berurusan takdir dengan tempat itu bakal menemui celaka. Maka pepohonan, akar-akarnya, semua merasa berkewajiban memberikan perlindungan pada mereka, sikap itu diterjemahkan dengan bersuara yang riuh hambata rubuh. (Hambata rubuh, Jawa, riuh bagaikan tumpukan bata roboh) Gemetar ketakutan para sekar kedaton, masing-masing melotot tanpa bisa berbuat apa-apa, bahkan untuk menangis pun mereka tidak berani. Siksaan dalam menunggu kejelasan nasib itu begitu kuat membelit jantungnya, namun penantian itu seperti tanpa ujung, sementara suara-suara jejeritan di pepohonan, suara mengaum dan suara-suara aneh di kejauhan itu serasa akan merontokkan jantung. Jelalatan mereka melihat kanan kirinya, ke pepohonan dan ke apa saja. Namun aneh, kuda tunggangan mereka berdiri tenang. “Kangmbok,” bisik Narendraduhita ketakutan. Untunglah, akhirnya Raden Wijaya menyusul masuk ke dalam lebatnya semak dan perdu itu. Agak longgar sesak di rongga dada ketiganya. Bagai terhenti denyut jantung lelaki yang juga disebut Raden Sesuruh itu, menyaksikan para istrinya yang ketakutan. Dengan bergegas Raden Wijaya melompat turun dari punggung kudanya dan mengulurkan tangan menolong para anak perempuan Kertanegara untuk turun dari masing-masing kudanya. Tanpa bicara apa pun, Raden Wijaya memperhatikan lingkungannya. Lebatnya pepohonan dan semua binatang, yang di tanah maupun yang berada di atas dahan-dahan terasa sekali amat gegap gempita dalam menyambut kedatangannya. Mendadak tempat itu menjadi sangat riuh. Suara semua binatang berteriak-teriak memamerkan ciri khas suaranya amat sangat gaduh yang bagi para Sekar Kedaton sungguh menakutkan. Tribuaneswari dan kedua adiknya berpegangan kuat ke lengan suaminya. Raden Wijaya menandai bau udara. Hanya Raden Wijaya yang merasakan betapa udara amat senang menyambut kedatangannya dengan para istrinya. Udara yang beriak bergelombang, hanya ia yang tahu maknanya. Pun juga pepohonan, mereka amat senang dan begitu ramah dalam mangayubagya, (Mangayubagya, Jawa, menyambut) kedatangannya. Pun teriakan para binatang yang bising itu sungguh riuh, gaduh dan bising, termasuk suara mengaum dahsyat yang menggetarkan udara merontokkan



dedaunan amat terasa sebagai ucapan selamat datang atas kehadirannya di Tanah Tarik. “Kakang Raden, saya takut, haruskah kita berada di tempat ini?” tanya Narendradhuhita. Begitu takutnya Pradnya Paramita terlihat dari tangannya yang gemetaran seperti lagak orang yang kedinginan. Di pendengarannya suara riuh itu sangat menakutkan seolah sebuah persiapan pesta menyantap manusia. Dirinya yang akan disantap. Apalagi saat dengan mendadak Pradnya Paramita melihat seekor ular sedang merayap membelit pohon. Lidah ular itu menjulur bergerak-gerak, apalagi ketika kepalanya terarah memandang kepadanya. “Kakang Raden, lihat itu, ular,” kata perempuan itu. Raden Wijaya melirik dan merasa takjub melihat ukuran ular yang besar sekali. Ular sebesar itu bisa menelan sapi, apalagi yang hanya manusia. Namun Raden Wijaya amat merasakan lewat ketajaman mata hatinya, ular itu bersikap sama seperti binatang yang lain. Suara gaduh itu terlalu ribut dan tak kunjung berhenti. Ketika suara suara itu semakin menggila, dan ketika ular itu memperhatikan kehadirannya, Raden Wijaya meraba kepalanya dan mengkucal-kucal rambutnya. Terbungkam suara gaduh itu ketika dengan tiba-tiba Raden Wijaya telah memegang sebilah keris, yang batang tubuhnya, dari ujung lancip hingga pangkal gagangnya menyemburatkan wibawa yang luar biasa. Kemunculan keris yang diangkat tinggi-tinggi di atas kepala itu sontak membekap semua kegaduhan. Di mata para binatang, wujud keris itu sungguh berwibawa dan bahkan menakutkan. Para binatang itu tahu, keris itu menyimpan kekuatan mengerikan. Dengan tiba-tiba suasana sepi, amat senyap. Ular besar yang semula terlihat merayap itu terkejut dan mendadak merasa tidak nyaman. Ia melorot turun dan bergegas menjauh. Para burung yang semula berkicau, para kera dan hewan sejenisnya langsung menutup mulut dengan terbelalak. Ketajaman mata batin mereka melihat sesuatu yang luar biasa pada keris dalam genggaman lelaki pendatang itu, seolah melalui keris itu mereka mendapat pesan, jangan gaduh, atau jangan macam-macam. Selanjutnya tak terdengar lagi suara menakutkan apa pun. Raden Wijaya mengakhiri perbuatannya. “Apa yang kita lakukan di tempat ini?” Tribuaneswari bertanya. Raden Wijaya membawa kudanya maju. “Setidaknya, untuk sementara tempat ini cukup aman,” Raden Wijaya menjawab, “kelak kita akan menjadikan tempat ini sebagai pengganti Singasari yang telah hancur.” Ketiga istrinya saling pandang. Ketiganya bingung oleh jawaban itu sekaligus merasa ngeri menimbang lebatnya hutan yang bagaikan tan bisa biniyak (Tan bisa biniyak, Jawa, tidak bisa disibakkan). Ucapan suaminya amat yakin dan tegas, bahwa kelak di tempat itulah akan mendirikan sebuah negara baru sebagai pengganti Singasari yang telah lampus (Lampus, Jawa, mati). Sungguh sebuah pekerjaan yang sangat berat dan mustahil dilakukan. Para sekar kedaton Singasari itu sangat ragu, apakah apa yang disampaikan suaminya itu sesungguhnya, ataukah sekadar pelampiasan beban hatinya belaka. “Kakang Raden, akan mendirikan sebuah negara baru di tempat ini?” tanya Narendraduhita. “Ya.” “Kakang meraya sakin?” “Ya,” jawab Sesuruh tegas. “Hutan ini sangat lebat,” celetuk Tribuaneswari. Raden Wijaya tidak menjawab, namun matanya meneliti lebatnya hutan. Dalam keadaan demikian, tiba-tiba terdengar suara lengking. Serentak ke empat orang amat penting itu mencari-cari dari mana arah suara itu. Berbinar mata para sekar kedaton melihat di sebuah dahan seekor burung elang sedang membentangkan sayapnya. Burung kepanjangan mata Sorandaka itu telah hadir dan bakal mengambil perannya. Melihat itu, Raden Wijaya melepas kain gringsing yang dikenakannya lalu diikatkannya kain itu ke lengannya, melihat Raden Wijaya merentangkan tangan, burung itu terbang dan menjadikan lengan itu untuk hinggap. “Ke mana kita harus pergi?” tanya Raden Wijaya. Burung itu menjawab dengan perbuatan. Tiba-tiba ia melesat dan hinggap di



sebuah dahan, melihat itu Raden Wijaya segera mempersilahkan para istrinya kembali naik ke atas kuda dan memacunya sangat perlahan mengikuti ke mana arah yang diberikan paksi yang luar biasa itu. Ada saatnya medan yang ditempuh demikian sulit namun burung itu benar-benar membantu memilihkan jalan, semakin dalam menusuk ke lebatnya hutan Tarik. Dengan takjub Raden Wijaya melihat segenap binatang berloncatan mengikuti ke mana arah yang ditempuh. Para kera mulai riuh, namun kali ini tidak menyebabkan para sekar kedaton takut dan ngeri. Dengan rasa gumun (Gumun, Jawa, takjub, heran) yang kental Tribuaneswari melihat seekor kera mengikuti perjalanan itu yang kemudian diikuti oleh para kera yang lain. Tribuaneswari menoleh ke arah suaminya. Raden Wijaya mengangguk. Melalui saling pandang itu Raden Wijaya seperti menjelaskan bahwa para binatang itu tidak perlu ditakuti lagi. Mereka sedang mangayubagya atas kehadirannya di Tanah Tarik, tanah yang memberikan harapan cerah, tanah masa depan setelah tempat asal dijarah. Raden Wijaya yang melihat dengan mata hati merasakan benar betapa hutan itu dan segenap isinya merasa senang oleh kehadirannya, seolah hari itu adalah hari yang telah dijanjikan setelah menunggu sekian lama, sekian tahun, atau sekian ratus tahun. Raden Wijaya merasakan benar bahwa kelak tempat yang sedang didatanginya itu akan menjelma menjadi sesuatu yang besar, sesuatu yang berbicara, dan di zaman setelahnya nun jauh ke depan akan dibicarakan banyak orang, akan dikenang banyak orang dan menjadi bagian dari sejarah. Hati para sekar kedaton berubah, bila semula mereka ketakutan karena dikejar-kejar, namun kini mereka merasa berada di tempat yang aman. Pikirnya, para prajurit Kediri tentu tidak bisa mengejar sampai tempat itu. Mereka mulai merasa nyaman melihat keakraban segenap binatang yang menyambut kedatangannya. Waktu yang terus bergerak menemani perjalanan mereka. Hingga kemudian siang itu bergulir menjadi semakin sore, hingga kemudian matahari mulai menyentuh garis cakrawala. Hingga kemudian, cahaya yang gelap semakin menggelap. Pada saat semacam itulah masuklah mereka ke sebuah tempat yang lebih lapang. “Kakang Raden, lihat itu,” celetuk Pradnya Paramita. Raden Wijaya dan yang lain menoleh ke sebuah arah. Semua kaget. “Rumah,” Tribuaneswari kaget, “ada sebuah rumah.” Raden Wijaya termangu melihat paksi hinggap di puncaknya dengan sikap membentangkan sayapnya lebar-lebar. Tak kurang Narendraduhita ikut terbelalak, dan semakin berkurang rasa ngeri membayangkan tengah berada di hutan yang amat lebat. “Benarkah itu rumah?” tanya perempuan itu. Tribuaneswari tidak merasa perlu menjawab, pun suaminya dan juga Pradnya Paramita. Dengan perasaan ingin tahu yang membuncah, rombongan yang telah turun dari pelana kuda itu memperhatikan rumah yang seolah keberadaannya memang disediakan untuk mereka. Takjub Raden Wijaya menyaksikan rumah yang dibangun dengan kayu pilihan, dengan tiang yang amat kukuh dan serba tebal. Lantai dibuat dari kayu halus yang bahkan baru kali itu Raden Wijaya tahu. Bahkan istana Singasari pun tidak memiliki lantai macam itu. Rasa ingin tahu yang sama besarnya juga dimiliki oleh ketiga istrinya. Segenap sekar kedaton memeriksa tiga buah kamar berukuran besar dengan tilamsari yang bersih dan sama sekali tidak berdebu seolah ada yang belum lama menyiapkan, memeriksa dapur dan kamar mandi yang amat bersih dengan air yang jernih. Terkejut Tribuaneswari ketika memeriksa almari, di dalamnya ia temukan beberapa perangkat pakaian, yang semuanya adalah miliknya yang tertinggal di istana. “Jagad Dewa Batara,” desisnya, “sedang bermimpikah saya saat ini?” Dengan rasa takjub pula, kedua adiknya dihadapkan pada persoalan yang sama, tidak kurang terbelalaknya Narendraduhita yang memeriksa salah satu kamar menemukan pakaian miliknya. Pakaian itu mestinya hangus bersama seluruh



isi istana, namun benda-benda itu kini benar-benar hadir di depannya. Narendraduhita memeriksa bagian bawah mendapati sebuah cepuk (Cepuk, Jawa, tempat menyimpan perhiasan) yang menyebabkan bulu kuduknya mrinding luar biasa. Awal malam yang aneh dimulai di tempat itu. Namun Para istri Raden Wijaya itu dengan senang hati menjalaninya. Mereka mandi bersih, mereka memasak nasi dan memasak sayuran dengan bahan yang semua tersedia di dapur. Raden Wijaya juga menemukan jenis batu titikan yang mudah menyala untuk disulutkan ke beberapa obor di sudut-sudut pekarangan, juga di setiap bilik. Namun duka tetap berada di hati mereka, membayangkan wajah ayah dan ibunya yang untuk selanjutnya tidak akan pernah ditemukan lagi. Ada sejumlah nama yang untuk selanjutnya tidak akan pernah ditemukan lagi, di antaranya mantan Patih Raganata dan menantunya, Kebo Ngrema serta beberapa orang yang sesungguhnya tidak tahu apa-apa. Sedih menggumpal amat pekat di hati Tribuaneswari membayangkan nasib amat buruk pada adik bungsunya, yang dalam keadaan hamil tua dinistakan suaminya sendiri dan ikut terbunuh dalam serangan tiba-tiba yang dilakukan oleh Gelang-Gelang. Tribuaneswari rebah menerawang memandang belandar dan usuk (Usuk, Jawa, kasau) akan tetapi yang ada di genangan air matanya adalah wajah Bajradewi ibunya. Rasa ngilu itu adalah gambaran kangen yang luar biasa pada ibunya yang kini tiada, juga pada adiknya. Narendraduhita juga tidak kuasa menahan air matanya yang meleleh. Ia berbaring tengkurap di bilik yang ia merasa yakin bilik itu disediakan untuknya yang ditandai dari pakaian dan para perhiasannya berada di tempat itu. Narendraduhita tidak hanya sedih, akan tetapi dendam yang menjilma menjadi karatan memenuhi rongga dadanya. Berkali-kali Narendraduhita berusaha menguasai diri, namun tanpa sadar tangannya mengepal dan meremas, seolah dengan leluasa ia melampiaskan amarah itu dengan mencengkeram kepala Jayakatwang dan Kebo Mundarang. Di biliknya yang juga ia yakini disediakan untuknya yang ditandai dengan keberadaan cepuk perhiasan dan pakaian miliknya, Pradnya Paramita tidur dengan amat gelisah. Sangat gelisah sebab tidurnya dihiasi jerit dan menggeram. Di luar, tepat di tengah halaman, Raden diam mencangkung memandang langit, ia mencari-cari dan menandai segenap bintang yang sedang gemerlapan berusaha dan bersaing mana yang paling gemilang. Namun pikiran Raden Wijaya tidak ke para bintang iu. Ia pernah dan beberapa kali diajak mendiang Patih Raganata menyaksikan sesuatu yang aneh di tengah belantara Tanah Tarik dari arah kaki Gunung Penanggungan. Cahaya tampak berpendar dari tempat tepat berada di tengah hutan itu. Padahal, saat ini ia tengah berada di tempat itu. Raden Wijaya tidak melihat cahaya terang itu. Malam di tempat itu sama seperti malam yang mencengkeram di Singasari, juga malam di tempat lainnya. Namun apa yang dirasakan Raden Wijaya tidaklah sama dengan apa yang dilihat orang lain. Dari kaki penanggungan, juga dari tempat-tempat lain yang lebih tinggi dari Tanah Tarik, para waskitha menyaksikan betapa semakin benderang tempat itu. Tanah Tarik bagaikan berkobar. Bila kemarin temaram, kini para waskitha melihat cahaya yang terang benderang Raden Wijaya semula masih termangu, akan tetapi terdengar di telinganya, Tribuaneswari menangis sesenggukan. Bergerak kaki Raden Wijaya menuju bilik istri pertamanya. “Sun wiwiti, ayasa pusaka aji,” (Sun wiwiti, ayasa pusaka aji, Jawa halus, akan kumulai membuat pusaka sakti) gumamnya untuk diri sendiri. Ibarat bertani, Raden Wijaya akan menabur benih pohon sakti, sementara Tribuaneswari dan para istrinya yang lain adalah ladangnya. 26 Mundur ke tengah hari sebelumnya. Pertempuran itu selain riuh juga telah bergeser. Sambil bertempur Pamandana dan Medang Dangdi berusaha keras menyusul Raden Wijaya, atau setidaknya harus tahu



bagaimana nasib para junjungannya itu. Ketika pertarungan yang riuh itu semakin mendekati hutan Tarik, namun masih di tengah bulak, Medang Dangdi dan Pamandana tidak berkutik karena terkepung amat rapat. Pamandana dan Medang Dangdi sungguh prajurit yang pilih tanding, meski jumlah lawan mereka jauh lebih banyak, namun kemampuan olah kelahi yang mereka miliki jauh melebihi lawan-lawannya yang sebagian besar bahkan bukan prajurit sesungguhnya. Kedua prajurit itu mengamuk laksana banteng ketaton. Namun demikian, tubuh keduanya penuh darah oleh luka yang mulai menghiasi tubuh. Pamandana dan Medang Dangdi masih mampu bertahan karena para musuh tidak lagi menggunakan anak panah. Senjata jarak jauh mereka sudah habis dan tidak terlalu repot ketika berhadapan dengan pedang maupun tombak. Di lingkaran lain dan berada agak cukup jauh, Sorandaka atau yang juga memiliki nama Andakasora atau disebut Sora, ia dan kedua Bala Sanggrama yang lain mengamuk membabi buta. Menggunakan pedang panjangnya Gajah Pagon sangat lincah dalam menarikan bedaya kematian, sementara Kebo Kapetengan bertempur dengan amat riuh karena tak hanya pedangnya yang menari akan tetapi juga mulutnya amat trocoh. (Trocoh, Jawa, kata trocoh biasanya untuk atap yang bocor). Namun sejalan dengan waktu yang terus bergerak, keadaan Pamandana menjadi kian buruk dan berbahaya, musuh yang dihadapinya bahkan kian banyak, apalagi ketika Kebo Mundarang yang mundur ikut bergabung. Setidaknya Mundarang dan anak buahnya agak terhibur karena memperoleh pelampiasan mendapati Medang Dangdi yang sudah lama ia kenal dan Pamandana yang ia tahu orang itu berasal dari Kediri. Semula Kebo Mundarang membeku memperhatikan pertempumpuran, namun tiba-tiba ia mengaum, menirukan suara harimau. Para prajurit yang sedang melakukan kepungan berloncatan mengambil jarak namun masih dengan pedang yang teracung. “Jangan dibunuh,” teriak Kebo Mundarang, “saya ingin menyiksanya lebih dulu.” Semua serangan dihentikan ketika Kebo Mundarang tiba-tiba mengangkat tangannya, sebuah isyarat ia ingin bicara. Para prajurit Kediri yang jumlahnya bertambah, mengepung amat rapat. “Pamandana, bukankah kau orang Kediri?” Kebo Mundarang bertanya. Pertanyaan itu ditujukan kepada Pamandana. Tersengal suami mendiang Dewayani itu juga harus menahan nyeri karena luka-lukanya. Di sebelahnya, Medang Dangdi yang juga berhias lupa menempatkan diri melindunginya. Namun baik Medang Dangdi maupun Pamandana sama-sama melihat, kemungkinan buruk yang bakal terjadi. “He, jawab pertanyaan saya,” bentak Kebo Mundarang. Pamandana berusaha berdiri kukuh, pedangnya lurus teracung ke depan, ia arahkan pedang itu ke ujung hidung Kebo Mundarang. “Ya!” jawab Pamandana. “Dasar pengkhianat!” kata Kebo Mundarang dengan nada tinggi. Pamandana tersenyum. “Kau orang Kediri, tetapi kau menjadi gedibal (Gedibal, Jawa, kaki tangan, antek) orang Singasari. Apa yang kau cari dengan menjadi kaki tangan Singasari? Kau lupa sejarahmu?” Pamandana menghadapinya dengan berusaha tenang. “Sejak awal saya adalah orang Singasari,” jawabnya. “Bukankah kamu tinggal di Kediri?” “Itu karena saya sedang menjalankan tugas saya. Saya bukan orang Kediri.” Sejenak Kebo Mundarang mengunyah jawaban itu. “Jadi selama ini kamu telik sandi?” (Telik sandi, Jawa, mata-mata) Pamandana yang mestinya meraung kesakitan itu berusaha mengubahnya menjadi tawa. Ia berhasil, terkekehnya bergelak-gelak. Ketika ia meludah karena mulutnya terasa penuh, ludahnya berwarna merah. Kebo Mundarang tercekat, ia ingat, betapa selama ini apa pun yang terjadi di Kediri, Singasari selalu tahu. Begitu juga ketika Kediri berusaha menghimpun kekuatan di dalam hutan, menyembunyikan rencana besar serangan ke Singasari, Singasari tahu. Telik sandi itu bahkan ibarat bisa menembus tilamsari Raja. Jengkel



teringat itu semua, Kebo Mundarang memutar kudanya, mengitari dua calon mangsa yang bakal disiksanya habis-habisan. Baik Pamandana dan Medang Dangdi yang telah siap mati bersikap waspada, terpikir di benak keduanya, menyiapkan sebuah serangan yang mendadak dan mematikan dengan sasaran utama Patih Kediri itu, setidaknya bila mereka harus mati akan tetapi dibayar dengan harga yang sepadan. Tetapi di langit, ada paksi cataka yang terbang berputar. Ia terbang rendah. Paksi cataka luar biasa itu secara aneh dan ajaib telah menjadi kepanjangan mata Sorandaka. Melalui pandangan burung itulah, beberapa saat sebelumnya Sorandaka merasa lega karena bisa melihat Raden Wijaya dan segenap istrinya aman. Dalam lingkaran terpisah, Sorandaka bersama Gajah Pagon dan Kebo Kapetengan yang mati-matian menghadapi kepungan prajurit Kediri bisa melihat apa yang terjadi pada Pamandana dan Medang Dangdi. Sambil melenting menghindari sebuah serangan Sorandaka mendekat beradu punggung dengan Kebo Kapetengan. “Saya melihat, Pamandana dan Medang Dangdi dalam bahaya.” Kebo Kapetengan menyilangkan senjata pedangnya dan mengayun membabat wajah musuh yang paling dekat dengannya, namun musuh yang meskipun sudah tua itu berhasil menghindar dengan melompat menjauh. “Apa yang harus kita lakukan?” balas Kebo Kapetengan. “Kita dekati lingkaran pertempuran mereka. Raden Wijaya dan para istri aman.” Serangan atas mereka silih berganti. “Baik!” jawab Kebo Kapetengan, “kita serang bertubi-tubi sebelah kanan untuk membelah mencari jalan.” Di sebelah kanan adalah di mana kuda-kuda berada. Keadaan Sorandaka, Kebo Kapetengan, dan Gajah Pagon masih jauh lebih baik dibanding di lingkaran pertempuran Pamandana dan Medang Dangdi. Dari tiga orang itu yang terluka hanya Kebo Kapetengan yang itu pun hanya goresan kecil di lengan dan tak berbahaya. Semula Gajah Pagon tidak segera tanggap pada apa yang dimaui kedua sahabatnya, namun dengan cepat Gajah Pagon ikut menyerang dan memberi tekanan pada kepungan di sebelah kanan. Kepungan itu bedah. Dengan saling melindungi dan melalui serangan serta gerakan yang terukur, Sorandaka dan dua temannya berhasil menjebol kepungan dan berlari secepatcepatnya ke arah kuda-kuda mereka. Gerakan melenting yang sangat cepat itu masih berlanjut ke gerakan melejit ke atas kuda masing-masing. Dengan sekali sentak pada tali kendali kudanya, mereka bertiga berderap menuju lingkaran pertempuran yang sedang membahayakan nyawa Pamandana dan Medang Dangdi. Para prajurit Kediri berlarian ke kuda masing-masing dan berteriak-teriak memburu. Peristiwa itu berlangsung cepat, dengan tanpa ragu sama sekali, Sorandaka menerobos ke lingkaran kepungan yang dipimpin Kebo Mundarang. Berloncatan para prajurit Kediri bergegas menyibak dan menyerang. Yang semula hanya berdua kali ini Bala Sanggrama menjadi berlima. Namun kepungan atas mereka menjadi semakin rapat dan jumlahnya kian banyak. Para prajurit Kediri yang semula bertempur di lingkaran lain telah bergabung, dengan senjata teracung, para tumbak laksana jati ngarang (Jati Ngarang, Jawa, laksana pohon jati di musim kemarau tanpa daun.) Melihat itu, Kebo Mundarang tertawa terkekeh senang. “Bagus, bagus sekali,” ucapnya. Amat khawatir Sorandaka melihat keadaan kedua orang sahabatnya, terutama ke arah tubuh Pamandana yang berhias banyak luka ibarat arang kranjang, (Arang kranjang, Jawa, banyak sekali, arti aslinya, lubang-lubang keranjang saja masih kalah banyak). Sorandaka juga melihat keadaan Medang Dangdi yang juga bersimbah luka meski tidak sebanyak Pamandana. Dengan mata tajam Sorandaka memperhatikan para pengepungnya, ia bersyukur melihat tidak seorang pun yang membawa anak panah. Warastra para prajurit Kediri telah habis digunakan sejak dalam pertempuran berlangsung di Singasari. Sorandaka kemudian menatap tajam ke arah Kebo Mundarang, kilatan matanya jauh lebih tajam



dari pisau panyukur. (Panyukur, Jawa, pisau cukur). “Sorandaka!” kata Kebo Mundarang. Sorandaka tidak mengubah raut wajahnya. “Ya, kenapa?” “Bagaimana kabarmu?” tanya Kebo Mundarang. “Kabar saya baik!” jawab Sorandaka singkat. Tak jelas di mana lucunya, Kebo Mundarang tertawa bergelak. “Saya baru pertama bertemu denganmu Ki Sanak, siapakah kau?” ia bertanya. Kebo Kapetengan mengumpulkan ludah di mulutnya dan ia gunakan ludah kental itu untuk berkumur, lalu dengan kasar menyemburkannya ke tanah. Kebo Kapetengan menjawab, “Kita pernah berjumpa di pendapa Kediri yang sekarang porak poranda. Kamu sudah pikun tidak mengenali saya, Mundarang. Kalau Kebo Ladrang ada di sini, ia pasti tidak akan lupa pada siapa kami.” Terbungkam Kebo Mundarang. Nama adiknya disebut menyebabkan wajah Mundarang seketika berubah. Kebo Ladrang adik kandung yang sangat disayanginya. Kematian Kebo Ladrang menyebabkan ia menyimpan sakit hati dendam kesumat yang luar biasa. Tanpa harus melalui tahapan apa pun kemarahannya sudah sampai ke puncak dan sangat butuh penyaluran. “Saya ucapkan selamat,” lanjut Kebo Kapetengan, “kau dan pasukan licikmu telah berhasil menghancurkan Istana Singasari, akan tetapi Hyang Widdi membalas dengan mengguncang arga (Arga, Jawa, gunung) Kampud menyebabkan wilayah terdekat dengan Gunung itu pasti hancur berantakan tertimpa oleh batubatu sebesar gajah. Kau tentu tidak lupa, Kediri sangat dengan Kampud dan bahkan ibarat berada di bawahnya. Tidak hanya Kediri, Balitar tentu juga hancur ketika gunung yang sangat perkasa itu mengamuk.” Apa yang disampaikan Kebo Kapetengan itu setidaknya menjadi beban pikirannya. Seperti apa keadaan Kediri setelah suara meledak menggelegar itu terdengar sampai jauh ke Singasari. Kebo Mundarang tidak bisa menghindar dari kegelisahan memikirkan para kerabat keluarganya, memikirkan istana Gelang-Gelang. “Masih belum ingat siapa saya, Mundarang?” Kebo Mundarang diam. “Saya Kebo Kapetengan.” Kebo Mundarang manggut-manggut dan menyimpan nama itu di benaknya. Mundarang kemudian menggeser pandangan matanya ke arah Bala Sanggrama yang seorang lagi. Gajah Pagon mendahului menyebut namanya, “Gajah Pagon saya.” Mundarang mengangguk sambil memutar pedangnya. Alisnya berkerut ketika melihat ada burung terbang rendah. Paksi Cataka itu mendadak terbang tinggi, lalu berputar dan menukik amat cepat ke arahnya. Gugup Mundarang melihat itu, akan tetapi burung itu ternyata hanya mengancam karena tiba-tiba ia meliuk dan terbang tinggi. Sorandaka mengukur kepungan yang mengelilinginya dan harus melihat kenyataan, memang terlalu berat untuk membedahnya. “Baiklah,” kata hati Sorandaka, “bila memang harus berakhir di sini hidup saya, kenapa tidak? Yang penting Raden Wijaya dan para sekar kedaton telah selamat!” Bala Sanggrama Sorandaka mendekat ke arah Pamandana yang nyaris kehilangan kekuatan untuk berdiri. Akan tetapi Pamandana hanya goyah sesaat. Pedangnya ia pegang dengan sangat kuat. Medang Dangdi bersikap sama. “Saya punya tawaran untuk kalian,” kata Mundarang sambil melangkah mundur. Ia melangkah mundur karena curiga Sorandaka akan melakukan serangan sangat mendadak ke arahnya. “Tawaran apa?” “Kematian dengan cara amat singkat, jauh lebih cepat dari kilat dan tidak terasa sakit.” Sorandaka tertawa mendengar itu, “Kematian dengan cara singkat bagaimana?” Mundarang yang sangat marah terkenang nasib adiknya ternyata masih bisa tertawa, seolah tawaran yang ia sampaikan sangat lucu. “Membungkuklah dan terimalah kematianmu dengan ikhlas. Pedang saya sangat tajam dan dengan sekali tebas bisa menjadi jaminan untuk membuatmu mati dengan seketika.” Mendengar itu Sorandaka terkekeh. Sorandaka menjawab, “Sebaliknya saya punya tawaran untukmu.” “Apa?” Sorandaka melanjutkan tertawa, ia berkata,



“Di rumah saya punya kuda yang sedang birahi.” Mencuat alis Kebo Mundarang. “Apa hubungannya kuda birahi dengan saya?” Sorandaka masih tertawa, menulari Kebo Kapetengan dan Gajah Pagon ikut tertawa, bahkan Pamandana dan Medang Dangdi menyumbang tawa terkekeh, padahal tertawa yang demikian menyebabkan luka Pamandana terasa nyeri. Kebo Mundarang yang terbungkam semakin merasa penasaran, sebelah alisnya mencuat. “Tawaran apa maksudmu?” “Kamu layani birahinya. Kelamin kuda jantan itu akan melintas duburmu hingga berantakan jantung dan hatimu.” Ucapan Sorandaka itu menyebabkan ke empat temannya tertawa terkekeh, sungguh sama sekali tidak ada jejak rasa cemas meski mereka telah terkepung tepung gelang. (Tepung gelang, Jawa, melingkar) Mendidih Kebo Mundarang mendengar itu, dengan teriakan keras ia menjatuhkan perintah, “Bunuh mereka.” Perintah telah dijatuhkan, maka serentak segenap prajurit Kediri yang mengepung di lapisan depan melontarkan serangan. Dengan amat lincah Sorandaka yang berdampingan dengan Gajah Pagon memberikan perlawanan tak ubahnya banteng marah. Di sisi lain Kebo Kapetengan yang menempatkan diri di dekat Pamandana dengan kesadaran penuh berusaha melindunginya. Akan tetapi persoalan yang mereka hadapi sungguh sangat berat, jumlah musuh sangat banyak yang di antaranya bersenjata tombak bergagang pendek dan trisula. Sorandaka bisa mengukur, bahwa mereka berlima tidak akan selamat berhadapan dengan musuh sebanyak itu. Sorandaka berharap punya kesempatan membunuh Kebo Mundarang dalam sekali serang. Kesempatan itu sungguh dicarinya. Dengan berancang-ancang dan bertumpu menggunakan ilmu kanuragan (kanuragan, Jawa, keterampilan silat) yang ia punya, Kebo Mundarang ikut bergabung melakukan serangan. Bala Sanggrama Sorandaka ikut menempatkan diri di sebelah Kebo Kapetengan karena sadar, Kebo Mundarang sedang mengincar Pamandana. Namun dengan cermat Sorandaka berusaha mencari kesempatan. Maka pertempuran berlangsung riuh dan sangat merepotkan. Namun sesuatu terjadi, sesuatu yang berpihak, itulah sesuatu yang tidak masuk akal. Tanah Tariklah yang berpihak. Dalam beberapa waktu terakhir, di mata orang orang yang memiliki ketajaman mata hati, Tarik menjadi pusat perhatian. Dari ketinggian lereng Penanggungan terlihat bagaimana tempat itu bercahaya. Meski remang namun jelas, ada sesuatu yang berpendar di sana. Orang hanya bisa menduga tanpa bisa menebak, ada apakah di tempat itu. Sebagian lain meramal bahkan kelak di tempat itu bakal terjadi hal yang luar biasa, meski belum jelas apa. Tanah Tarik yang banyak dihuni pohon wilwa (Wilwa, Sanskerta dan Jawa kuno, buah maja) itu serasa hidup dan memiliki nyawa. Tanah Tarik berkepentingn untuk mengayomi orang sangat penting yang kelak di suatu hari akan berbuat sesuatu di tempat itu. Itulah sebabnya Tanah Tarik tidak bisa tinggal diam melihat pembantaian tanpa berbuat apa-apa. Tidak bisa tinggal diam itu ditandai dengan di langit burung elang menjerit. Cataka pemandu perjalanan Raden Wijaya dan kepanjangan mata Sorandaka itu melengking memperdengarkan suaranya yang bernada sangat tinggi. Lengkingan cataka itu bukannya tanpa maksud dan tujuan, karena tak berapa lama kemudian, panggilan yang ia lontarkan itu berjawab. Dari arah hutan Tarik terjadi kegaduhan luar biasa, sangat gaduh. Kera menjerit, harimau ikut mengaum gemuruh. Elang-elang bersahutan. Dari kedalaman hutan Tarik yang masih berjarak ratusan depa itu, bermunculan berbagai binatang yang dengan sayap-sayapnya mengayuh udara dengan sangat kuat. Maka Mbrudhul (Mbrudhul, Jawa, muncul dengan mendadak) para cataka dalam jumlah yang tidak bisa dihitung. Pun kalong-kalong yang sesungguhnya tidak suka terbang siang ikut melibatkan diri. Demikian cara para penghuni Hutan Tarik dalam membela para tamunya, Paksi cataka kepanjangan mata Sorandaka



telah memanggil para temannya, para kera tak kalah gaduh mereka berlarian keluar. Dari dalam hutan itu pula muncul beberapa ekor harimau dan berlari sangat kencang menuju medan palagan yang sangat tidak seimbang itu. Kebo Mundaranglah yang kemudian terkejut bukan kepalang mendapati serangan yang benar benar tidak diduga, serangan yang baginya sangat aneh dan sulit dimengerti. Dinalar dengan cara bagaimana pun sulit dipahami mengapa bermunculan demikian banyak burung elang yang tidak jelas punya alasan apa harus melibatkan diri dan memihak. Tidak hanya burung, para kalong (Kalong, Jawa, kelelawar besar) yang memiliki kuku-kuku tajam ikut-ikutan mengamuk. Kebo Mundarang kaget dan jatuh berguling saat dari atas seekor elang mencengkeram kepalanya. Kebo Mundarang menjatuhkan diri dan berguling menghindar. Namun Kebo Mundarang tidak mengalami hal aneh macam itu sendirian. Para prajurit anak buahnya blingsatan ketika dari langit muncul k along menyerang mereka. “Mereka memihak kita,” teriak Sorandaka sangat takjub. Mendapatkan bantuan yang tidak terduga itu, Sorandaka mengamuk sejadi-jadinya. Ia tidak merasa aneh meskipun bahu membahu dengan beberapa ekor burung elang di sekelilingnya. Sebaliknya Kebo Kapetengan dan yang lain tidak segera memahami apa sesungguhnya yang terjadi, Pamandana terbelalak menyaksikan apa yang terjadi di sekelilingnya. Tampak jelas para binatang itu memihak, karena tidak seekorpun yang menyerang mereka. Burung elang adalah pemburu yang tangkas. Mereka punya cara luar biasa ketika melakukan sebuah serangan tanpa sasarannya mengetahui apa yang terjadi. “Keparat!” umpat Kebo Mundarang sambil mengayunkan pedangnya ke arah serangan yang akan mendatanginya. Namun suara mengaum dahsyat menyebabkan pasukan dari Kediri itu bubar mawut (Bubar mawut, Jawa, bubar kacau balau) berlarian berusaha menyelamatkan diri. Meski hanya tiga ekor harimau yang terlibat dalam perang yang amat aneh itu, namun sudah cukup untuk merontokkan jantung. Kocar-kacir! 27 Malam menyentuh batas cakrawala. Dan gelap yang kemudian datang menemani kesedihan hati yang amat pekat, setidaknya itu yang dirasakan salah seorang penghuni Padukuhan Anding, perempuan muda yang sedang hamil namun untuk selanjutnya ia tahu tidak akan didampingi oleh suaminya, yang telah gugur dalam perang yang terjadi di Singasari. Senopati Bramantyo yang ia rindukan tak mungkin pulang. Di kehidupan lain kelak, barulah ia bisa menemuinya lagi. Air mata Niken Larasati telah habis, ia tidak lagi bisa menangis. Meskipun udara sedang dingin menusuk, akan tetapi cucu mendiang Mahapatih Raganata, perempuan yang merasa menjadi orang paling malang di dunia itu tetap bertahan duduk di bawah pohon manggis yang berbuah lebat di halaman rumahnya. Di lebatnya daundaunya, sepasang mata lebar memperhatikannya dengan penuh minat. Sepasang mata lebar itu milik burung hantu, burung malam yang justru di malam ia begadang, siang hari ia malah tidur. Dalam hati burung hantu itu bertanya-tanya, ada apa dengan perempuan yang duduk di bangku bambu itu. Namun hanya sejenak, perhatian burung itu teralihkan oleh benda bergerak yang meskipun berada agak jauh namun terekam jelas perbuatan mereka. Dua ekor tikus sedang melampiaskan birahi, yang sama sekali tidak sadar tak jauh darinya ada seekor ular sebesar jempol kaki sedang mengintai. Ular itu merayap mendekat. Namun ular itu kaget karena ada yang mendahului sebagaimana dua ekor tikus yang sedang menyatu itu terkejut bukan kepalang, oleh cengkeraman yang tidak bisa mereka hindari. Burung hantu itu membawanya terbang ke dahan pohon manggis yang tak jauh darinya tumbuh pohon belimbing wuluh yang sedang lebat buahnya. Sambil memangsa makanan kesukaannya, hantu itu memperhatikan Niken Larasati yang mencangkung beku. Hantu itu menoleh ketika pintu rumah terbuka, Nyai Sumekar yang



gelisah memperhatikan langit. Langit (kresna hariadi?) tampak bersih. Itu karena angin masih berhembus ke arah barat dan semakin memperbanyak debu yang berjatuhan di arah barat. Pulau Jawa sungguh sangat luas, maka bisa dibayangkan berapa banyak debu yang diabul-abul (Diabul-abul, Jawa, disebar) oleh gunung ketika di Maospati tebalnya menenggelamkan kaki. Di arah lebih barat, hutan belantara di kaki Gunung Lawu bagai tidak berdaun, warnanya putih memplak, (Memplak, Jawa, putih sekali), melengkapi keadaan yang demikian terlihat telaga sarangan menjadi kotor. “Niken Larasati, kamu di mana?” teriak Nyai Sumekar memanggil anaknya. Namun Niken Larasati bagai tuli dan tidak mendengar panggilan itu. Cemas karena tidak melihat anaknya, Nyai Sumekar melangkahkan kaki ke rumah tetangganya. “Mbakyu,” Nyai Sumekar menyapa dengan hati gelisah, “anak saya kemari?” Nyai Rerangin mencuatkan alis. Ia menggeleng. Namun Kenyawarih anak Nyai Rerangin punya jawabnya. “Mencangkung di halaman, tadi saya lihat di sana.” Nyai Sumekar bergegas pulang dan memang benar menemukan anak perempuannya sedang duduk diam membeku, mencangkung laksana batu. Nyai Sumekar bisa membayangkan duka di hati anaknya, sebagaimana kesedihannya mendengar kabar kematian Mahapatih Raganata. Nyai Sumekar bergegas meraih lengan anaknya dan bahkan memeluk anaknya. “Kakang Bramantyo,” rintih Niken Larasati menyebut nama suaminya, “bagaimana hidup saya nanti, Kakang Bramantyo.” Nyai Sumekar mencium kening anaknya, mendekapnya dengan erat. Yang didekap sedang mengelus-elus perutnya. “Ikhlaskan Nduk, ikhlaskan.” Namun Niken Larasati salah, sebagaimana Nyai Sumekar juga salah. Tak ada siapa pun tetangganya yang punya kereta kuda, namun di jalan yang sangat sepi itu ada kereta kuda yang datang. Meski dari kejauhan terdengar suara batuk yang sangat ia kenal, batu yang demikian adalah suara batuk suaminya. Niken Larasati terkejut bukan kepalang, dan dengan kurang cermat langsung berdiri, akan tetapi Nyai Sumekar yang tidak kalah bingung dengan tangkas menolong anak perempuannya. Betapa meledak hati Niken Larasati melihat sosok yang dirindukannya ternyata masih hidup dan turun dari kereta kudanya. “Kakang!” letup Niken Larasati. Senopati Bramantyo tidak berkata apa pun, ia punya alasan untuk bingung, ia punya alasan untuk merasa canggung. Niken Larasati meledak, namun masih punya kesadaran untuk menahan diri. Dengan dada berbeban berat ia mendekati suaminya dan memeluknya sangat erat. Menahan tangis sungguh jauh lebih berat dari bila tangis itu tersalur. Akan tetapi Niken Larasati mampu melakukan itu. Dengan gugup ia meraih tangan suaminya dan menuntun tangan itu untuk meraba perutnya. Ia terhuyung, namun dengan tangkas suaminya memegang tubuhnya. Nyai Sumekar menyesuaikan diri. Ia senang dan rasa itu butuh penyaluran. Namun ia mencontoh apa yang dilakukan anaknya yang mampu menahan diri. Nyai Sumekar tak cukup berusaha, namun dengan kedua tangannya ia membekap mulutnya sendiri. Matanya terbelalak. “Ayo masuk,” ucap Nyai Sumekar dengan suara bergetar. Tanpa bicara tanpa kata, namun riuhnya melebihi gegap gempita. Nyai Sumekar yang tidak ingin tetangganya berdatangan bergegas menutup pintu, sementara kereta kudanya dibiarkan di halaman. Di dalam rumah, Nyai Sumekar mengkucal-kucal matanya, menyempatkan memperhatikan keadaan menantunya. Ia bernapas lega melihat kedua kaki Bramantyo menyentuh tanah dan sama sekali tak berjarak. Sebaliknya cucu mendiang Mahapatih Raganata tak perlu melakukan apa yang dilakukan ibunya. Dengan memeluk erat itu ia merasakan benar-benar memeluk benda mata, bukan khayalan, bukan jiwa yang tanpa raga. Di belakang, Nyai Sumekar menyalakan api dengan batu titikan untuk memasak air. Perempuan itu bergegas kembali ke depan dan dengan hati yang berdenyut kembali melihat anaknya masih



memeluk suaminya. Masih sangat takjub Nyai Sumekar dalam memperhatikan kepulangan menantunya. Kedua perempuan itu, ibu dan anaknya sama sekali tidak tahu, lelaki di depannya sudah tidak punya hak untuk hidup di dunia. Bahwa sebutan untuk Senopati Bramantyo hanyalah seorang mendiang. “Ternyata kakang tidak gugur diu palagan?” akhirnya Niken Larasati membuka percakapan. Senopati Bramantyo tidak menggeleng dan juga tidak mengangguk. Cahaya lampu ublik yang mendrip-mendrip (Mendripmendrip, Jawa, cahaya yang amat lemah) menempel di dinding di matanya tampak lebih terang. Di malam gelap yang demikian, Senopati Bramantyo melihat apa pun dengan lebih jelas, tak ubahnya mata burung hantu. Seperti burung hantu pula, cahaya matahari sangat silau dan menyakiti. Demikianlah mata makhluk malam, sejak kematian yang dialaminya Senopati Bramantyo berubah seperti itu. “Ibu dan Niken Larasati,” Senopati Bramantyo berkata, “malam ini pula saya akan mengajak Ibu dan Niken Larasati untuk pergi ke sebuah tempat. Dengan menggunakan kereta kuda, pagi sekali kita akan sampai ke tempat yang kita tuju. Selebihnya kita tidak akan kembali lagi ke tempat ini.” Nyai Sumekar merasa penasaran. “Ke mana?” Namun anak perempuannya yang justru punya jawaban, “Jangan bertanya ibu, kita lakukan saja.” Tidak banyak yang harus dibawa kecuali beberapa lembar pakaian dan secepuk perhiasan milik anaknya pemberian dari kakeknya. Pun demikian pula dengan Niken Larasati yang bagai merasa hidup kembali dari kematian dan dipulihkan kebahagiaannya dengan sangat ikhlas pergi meninggalkan rumah tempat tinggalnya yang dihuni sejak bayi. Ada banyak pertanyaan yang menggumpal di hati ibu dan anaknya itu, namun mereka tahu, Senopati Bramantyo pasti sedang memindahkan mereka ke tempat yang aman. Boleh jadi karena mereka adalah kerabat mendiang Mahapatih Raganata maka penjarah dari Gelang-Gelang akan menumpas habis sampai ke akar-akarnya. Nyaris tanpa suara, Nyai Sumekar dan anak perempuannya naik ke atas kereta kuda, juga tanpa suara serta luput dari perhatian para tetangganya Senopati Bramantyo meninggalkan desa yang menyimpan banyak kenangan itu. Perlahan kereta kuda itu berderap ke arah timur yang bila jari tangan menunjuk ke depan, di sana Gunung Semeru yang menjulang tinggi berada. “Sebenarnya apa yang terjadi pada kakang?” tanya istrinya. “Untuk sementara jangan bertanya apa pun dulu Niken Larasati, di saat seperti ini, angin pun bisa menjadi telik sandi. Nantilah menjelang pagi ketika kita sampai di tempat tujuan, saya akan ceritakan semuanya. Sebaiknya, tidurlah.” Tidur di pelukan suaminya adalah tidur yang melelapkan, tidur yang sangat tenang dan damai setelah beberapa hari mengalami kegelisahan yang sungguh luar biasa. Kali ini amat mudah bagi Niken Larasati untuk tidur karena mimpi buruknya telah terhapus oleh kenyataan suaminya masih hidup. Kereta kuda itu bergerak perlahan ditemani bulan yang tengah malam nanti akan tenggelam. Bila Niken Larasati bisa lepas bebannya, sebaliknya tidak demikian dengan Nyai Sumekar. Ia bingung setelah menghubung-hubungkan beberapa keterangan yang ia peroleh hari-hari sebelum peristiwa besar mengguncang Singasari. Ranggalawe telah menuturkan dengan seksama apa yang terjadi di Singasari, dengan cara bagaimana Raganata gugur dan seperti apa perjuangan menantunya dalam melindungi kakek mertuanya. Ranggalawe bercerita, kematian Senopati Bramantyo itu penuh dengan anak panah. Kalau cerita itu benar, Senopati Bramantyo yang pulang benar-benar utuh tanpa bekas luka sama sekali. “Apa sesungguhnya yang terjadi?” Tengah malam telah dilintasi, namun perjalanan masih bagai tanpa ujung. Nyai Sumekar sama sekali tidak mengantuk dan tak bisa tidur. Pikirannya bahkan bercabang-cabang ke mana- mana. Ia merasa ada yang berubah pada sikap menantunya. Namun rupanya, perjalanan itu lebih cepat dari perkiraan. Masih gelap



dan menjelang pagi, Senopati Bramantyo menghentikan kereta kudanya dan menyentuh kening istrinya. “Kita di mana?” tanya Niken Larasati. “Padukuhan ini bernama Narawangsan.” Nama tempat itu disebut menyebabkan Niken Larasati terkejut. “Narawangsan, kampung halaman kakang?” Senopati Bramantyo mengangguk. Niken Larasati memperhatikan sebuah rumah yang terpencil tanpa rumah lain di tempat yang dipenuhi semak dan perdu. “Itu rumah Kakang?” Senopati Bramantyo mengangguk. “Ooo,” letup Niken Larasati. Selama menjadi istri Senopati Bramantyo belum pernah suaminya itu mengajak pulang ke kampung halamannya. Dengan penuh minat Niken Larasati memperhatikan sebuah rumah yang terlihat amat sepi, sementara dari sela-sela dindingnya terlihat lampu ublik yang berusaha sekuat tenaga menerangi gelap yang membekapnya. Rumah itu benar-benar terpencil dan jauh dari para tetangganya. Namun apa pun itu, Niken Larasati merasa senang diajak ke tempat itu. Niken Larasati akan turun dari kereta, akan tetapi suaminya mencegah. Ibu mertuanya yang juga akan turun kembali duduk. “Kenapa kakang?” Senopati Bramantyo tidak segera menjawab karena ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya. Senopati muda itu terlihat amat jelas menyangga sebuah beban. Namun apa pun yang akan terjadi, Bramantyo harus mengatakan keadaan yang sesungguhnya. “Di dalam rumah itu, ada orang yang sedang sakit.” Niken Larasati menyimak. “Siapa?” Ibu mertuanya yang bertanya. “Saudara kandung saya,” jawabnya. Niken Larasati takjub. “Saudara kandung? Kakak atau adik?” “Kakak kandung, namanya Bramanti. Saya dengannya hanya berbeda sepenginang.” (Sepengening, Jawa, sebentar, arti harfiahnya seperti jumlah waktu yang dibutuhkan untuk makan sirih) jawab suaminya. “Hanya sepenginang? Apakah itu berarti Kakang Bramantyo dan Kakang Bramanti saudara kembar?” Pertanyaan itu oleh suaminya dijawab dengan anggukan. “Sedang sakit?” ibu mertuanya ikut bertanya. “Benar Ibu!” “Sakit apa?” tanya Sumekar lagi. “Tidak ingat siapa pun!” Jawaban Senopati Bramantyo yang demikian sungguh sangat membingungkan baik istri dan ibu mertuanya. Tidak ingat apa pun, juga sebuah keadaan yang baru pertama kali itu ia dengar. Selama ini yang dipahami oleh ibu dan anak itu, sakit itu antara lain sakit kepala, sakit perut, sakit mata atau semacam itu. Sakit tidak ingat pada siapa pun sungguh sakit yang aneh sekali. “Sejak kapan?” tanya Niken Larasati. Senopati Bramantyo meraih tangan istrinya, digenggamnya dengan amat erat. “Kematian kedua orang tua kami, terutama kepergian ibu menyebabkan Kakang Bramanti terpukul. Ia tidak siap atau tidak bisa menerima kematian itu, jiwanya terpukul luar biasa. Kakak saya mengalami sulit tidur, itu terjadi selama berpekan pekan, lalu berubah menjadi kehilangan ingatan. Ia tidak mengenal saya, tidak ingat pada semua tetangga.” Muncul rasa iba di hati Niken Larasati. Bahwa Bramanti memang mengalami kesulitan tidur, terlihat dari pintu rumah yang tiba-tiba terbuka. Gelap malam menelan wajah lelaki yang berdiri di tengah pintu yang terbuka. Namun sejenak kemudian sebuah obor menyala, menerangi wajahnya dengan agak jelas. Suami Niken Larasati kemudian membimbing istrinya untuk turun dari kereta kuda, disusul Nyai Sumekar yang masih diganggu rasa penasaran. “Siapa kalian?” tanya Bramanti. Senopati Bramantya mendekatinya, menunjukkan wajahnya dengan lebih jelas. “Kau masih belum ingat siapa aku, Kakang Bramanti?” Bramanti mengerutkan dahi, ia memandang tajam dan berusaha mengingat siapa namanya. Meski demikian Bramanti merasa tak asing pada wajah itu. Adalah Niken Larasati yang merasa takjub bukan kepalang, melihat kemiripan wajah yang luar biasa. Wajah suaminya dan wajah kakak kandungnya laksana pinang dibelah menjadi dua. Naluri yang baik, ditunjukkan oleh Bramanti dengan mempersilahkan masuk. Ia mendahului dengan membuka pintu lebih



lebar. “Mereka,” kata Bramantyo, “adalah istri dan mertua saya. Untuk berapa lama mereka akan tinggal di sini. Saya titipkan kepadamu karena keadaan negara sedang dalam bahaya.” Bramanti memandang dua perempuan di depannya, kepada perempuan yang tua yang disebut mertua, dan kepada yang muda yang disebut istri dan sedang dalam keadaan hamil tua, Bramanti mengangguk. Saudara kembar Bramantyo yang selalu seperti sedang bingung kemudian menatap saudara kembarnya namun sama sekali ingat siapa. “Bagaimana keadaanmu?” tanya Bramanti. “Baik, kakang,” jawab Senopati Bramantyo. Bramanti mengangguk, memejam lalu melek lagi. “Lalu ke mana saja kau selama ini?” Senopati Bramantyo terbungkam. “Kakang sudah ingat semua?” Bramanti bingung, ia berusaha mengenang namun tidak berhasil. Sejenak ia memboroskan waktu dengan melangkah mondar-mandir, namun tetap saja tidak ingat. “Terhapus semua, otak saya kosong!” Namun meski semua kenangan seperti terhapus, keadaan itu tidak mengubah perilakunya. Dengan gugup Bramanti menyiapkan kain, membersihkan ambennya dan memasang kurung bantal. Dengan takjub Niken Larasati memperhatikan. Saudara kembar suaminya itu bahkan agak lama menyibukkan diri di dapur untuk menjerang air. Bramantyo merogoh saku dan menyerahkan sekampil (Kampil, Jawa, kantung kain wadah uang atau perhiasan) uang dan perhiasan. “Kakang akan pergi?” tanya istrinya. “Ya, itu untuk bekal selama kau tinggal di sini.” Meski sedih harus berpisah lagi dengan suaminya, namun sebagai istri seorang prajurit Niken Larasati merasa harus siap dengan perpisahan macam itu, setidaknya ia kini merasa lega karena mendapati suaminya ternyata masih hidup. “Ibu, saya ingin berbicara dengan ibu,” bisik Bramantyo ketika mendapat kesempatan hanya berdua dengan ibu mertuanya. Ketika Niken Larasati sedang berada di pakiwan (Pakiwan, Jawa, kamar mandi, atau juga sering disebut kolah) Senopati Bramantyo membawa ibunya ke halaman. Semakin mencuat alis Nyai Sumekar ketika menantunya itu meraih telapak tangannya dan menciumnya dengan penuh hormat. “Ibu, sesungguhnya saya sudah mati.” Terbelalak mata Nyai Sumekar. “Maksudmu?” Senopati Bramantyo menghela napas amat dalam. Bingung bagaimana harus menjelaskan, namun ia merasa benar-benar harus menjelaskan. Mertuanya memandang dengan tatapan mata aneh dan merasa amat butuh penjelasan. “Mohon maaf ibu,” kata Bramantyo, “sesungguhnya saya sudah mati. Dalam pertempuran yang berkecamuk di istana, saya menyesal karena tidak mampu melindungi Eyang Mahapatih Raganata. Eyang Mahapatih Raganata gugur dalam ranangggana (Rananggana, Jawa, perang) sementara saya diranjab (Diranjab, Jawa, dihujani) anak panah dan berbagai senjata yang lain. Saya mati dengan tubuh penuh luka arang kranjang.” Nyai Sumekar memandang menantunya dengan segenap rasa bingung. Ia memperhatikan tubuh Senopati Bramantyo dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sama sekali tidak ada jejak luka berbagai senjata yang disebut. “Namun seseorang yang saya tidak mengenalnya, menghidupkan saya kembali.” Nyai Sumekar terbelalak. “Ada orang yang menghidupkanmu kembali?” Bramantyo mengangguk. “Ya!” jawabnya. “Ada orang yang memiliki kemampuan macam itu?” Senopati Bramantyo tidak segera menjawab serasa ada sesuatu yang mengganjal tenggorokan yang menyebabkan lehernya kaku. Senopati Bramantyo mendahului dengan tarikan napas panjang, “Karena menurutnya saya harus menyelesaikan sebuah persoalan. Kelak ketika saya sudah selesai dengan melaksanakan tugas itu, saya akan menitis kembali.



Majapahit 3, Banjir Bandang dari Utara, 9 LANGIT KRESNA HARIADI·THURSDAY, FEBRUARY 16, 2017



Akan halnya Gayatri, tiba-tiba ia merasa amat tidak suka. Ia tidak suka pada cara pandang kakak kandungnya yang menganggap tumpes tapis (Tumpes tapis, Jawa, penumpasan sampai tanpa sisa) yang terjadi di Istana Singasari seolah telah menjadi garis takdir, pepesten (pepesten, Jawa, takdir) yang harus diterima tanpa boleh mempersoalkan. Gayatri tidak bisa mengerti dan menerima jika apa yang dilakukan Kediri atas Singasari itu tanpa perlu mempersoalkan. Di sisi yang lain, Gayatri tambah merasa sebal. Di depannya, Wirota Wirogati mencangkung beku laksana patung yang membuat mulutnya terasa penuh ludah, terasa neg. Lelaki di depannya, lelaki yang kepadanya ia telah menjatuhkan pilihan itu ternyata bukan jenis laki-laki setia. Ketika dengan bulat ia berniat menyerahkan diri, menyerahkan kehormatannya, Wirota Wiragati mengaku telah beristri. Sungguh sangat mudah bagi Wirota Wiragati meninggalkannya. Bergolak isi dada Wirota Wiragati ketika Gayatri tiba-tiba berbalik dan tanpa banyak bicara melangkah meninggalkannya. Membeku lelaki itu kebingungan karena sangat sadar maknanya, bahwa perempuan itu memendam rasa kecewa yang luar biasa. Semakin lama, langkah Gayatri semakin jauh dan kabut yang turun pun bagai menelannya, dan menyembunyikannya di istana kerajaan demit. Wirota Wirogati menghela tarikan napas yang amat dalam dan berat, seketika itu pula lelaki itu merasa perutnya penuh dengan udara, ada rasa ingin kentut namun ia lupa bagaimana cara melakukan. Beberapa saat ia memboroskan waktu dengan tidak melakukan apa pun. Angin yang tiba-tiba semilir menyemburkan debu-debu ke tubuhnya, turun hujan sebelumnya dengan cepat menghapus debu-debu, namun tidak berapa lama kemudian debu yang melayang di tempat lain kembali datang menggantikannya. Langkah kaki Gayatri yang hampir memasuki biliknya mendadak terhenti ketika tiba-tiba ia mendengar suara yang menggetarkan gendang telinganya. Suara seruling yang mengalun penuh duka itu, ia tahu berasal dari mana dan siapa yang meniupnya. Dulu, saat masih berada di istana Singasari, ia amat menyukai dan menghayati pesan cinta yang tersalur melalui alunan seruling itu, yang meski Wirota Wiragati meniupnya dari luar arah kandang kuda, namun ia curiga pesan cinta itu memang benar tertuju untuknya. Ketika itu, malam tengah bergulir dari puncaknya, dan sang waktu mendekati pagi hari. Di langit bintangbintang terlihat bertaburan berjejal-jejal seolah antara satu dengan lainnya sedang bermasyarakat, bertetangga, bertegur sapa dan berkeluarga.



Ketika itu, Gayatri yang begitu penasaran memberanikan keluar dari dalam bilik dengan cara melompati jendela. Ia tak mungkin keluar dari pintu biliknya karena pasti harus harus berurusan dengan para emban yang bertugas jaga dan melayaninya. Para emban itu ada dua yang tua dan lima yang masih muda yang tidur bergelimpangan dengan menggelar tikar di depan pintu. Gayatri mengendap-endap dan berlari gesit menuju ke kandang kuda yang dirawat oleh tiga orang pekatik (Pekatik, Jawa, perawat kandang) dan dua orang gamel (Gamel, Jawa, orang yang bertugas mengurusi kuda). Tidak seorang pun gamel dan pekatik yang sedang berada di kandang kuda karena mereka lebih tertarik pada tontonan tayub yang digelar oleh penduduk yang sedang mengawinkan anaknya. Diam membeku Gayatri bersandar dinding dan dengan jauh lebih jelas, ia menyimak nada yang dialunkan Wirota Wiragati. Sungguh dari jarak lebih dekat itu ia merasakan hunjaman yang lebih dalam lagi, alunan itu begitu indah serasa membetot sukma. Lalu dengan mengendap-endap ia melangkah untuk mendapatkan arah pandang yang lebih jelas. Sasadara (Sasadara, Jawa kuno, bulan) di langit tidak membantu karena berada di pelukan mendung yang tebal. Demikian tebal mendung di langit, pada saat tertentu bulan hanya terlihat semburat dan sesekali kilat muncrat mewartakan kehadirannya. Di ketinggian langit yang sangat sulit di tebak di sebelah sana, sepasang paksi tidur terbang dengan membentangkan sayap tanpa mengayuh, gerakan angin cukup kencang yang menerjang sayapnya, menyebabkan burung itu tak perlu berpikir mengukur arah. Namun kehadiran Gayatri yang diam-diam itu terpantau oleh sepasang burung hantu pemilik mata lebar, itulah mata burung yang sangat awas tak kalah dari mata milik cataka, meski pun hari sedang gelap gulita ia mampu menandai kehadiran tikus yang berseliweran mencari makanan. Burung hantu adalah jenis burung yang tidak serakah. Ia tidak lagi berburu ketika perutnya sudah kenyang. Sebagai sesama pemangsa tikus, burung hantu tidak suka pada ular. Meskipun sudah kenyang burung hantu tetap akan melesat menghajar jika ular yang muncul. Dengan amat terukur burung hantu akan dengan memilih mencengkeram kepalanya. Ketika itu, terkejut Wirota Wiragati mendengar suara batang kayu yang patah terinjak kaki. Alunan serulingnya seketika berhenti. Ia pun berbalik sambil dengan cekatan mencabut senjata andalannya serta bersikap siaga. Di siraman cahaya obor, Wirota Wiragati kemudian melihat siapa yang datang dan bergegas mengubah sikap menghadapi siapa orang yang muncul. Pedang panjang melengkung miliknya disarungkan ke dalam warangkanya, disusul dengan ia menekuk kaki dalam sikap menyembah, kedua telapak tangannya dilekatkan di depan dada kemudian ia gerakkan kedua tangan itu menuju ujung hidung. Wirota Wiragati berdiri tegak. Ketika itu, dalam suasana hati yang agak gugup, “Tuan Putri belum tidur?” tanya Wirota Wiragati. Gayatri tak merasa perlu menjawab pertanyaan itu, ia melangkah lebih dekat sambil memutar arah pandangnya ke segala penjuru, memperhatikan kandang dengan para kudanya yang tenang, lalu memutar



lagi ke atas mencermati cahaya purnama yang buram karena terhalang, dan terakhir kembali ia mengarahkan perhatiannya ke wajah lelaki di depannya. “Suara seruling yang baru kau lantunkan itu, kakang, apakah punya nama? Jika itu tembang, lalu siapakah yang menciptakan karena begitu indahnya?” Wirota Wiragati tidak segera menjawab. Dengan ujung lengan baju lurik yang dikenakannya ia mengusapusap alat musiknya dan dengan penuh penghayatan kembali ia meniupnya. Namun Gayatri yang menyimak mendengar alunan nada yang berbeda, bukan nada seperti sebelumnya. Yang ia tandai, alunan seruling yang ia dengar kali ini menyiratkan hati yang bahagia, nadanya sedikit lebih cepat dan penuh semangat. Gayatri merasa punggungnya bagai dirayapi ribuan ekor semut. Ketika itu, malam itu, dalam kenangan Gayatri. ”Lalu tembang milik siapakah itu kakang? Siapakah yang menciptanya?” Wirota Wiragati berhenti. Ia menjawab, “Rangkaian nada itu keluar begitu saja dari mulut hamba Tuan Putri. Jika yang dimaksud adalah siapa pembuatnya, saya pembuatnya.” Gayatri mengernyit. Selangkah lagi ia melangkah lebih dekat. Wirota Wiragati melanjutkan, “Jika hamba diminta mengulangi sama persis, hamba tidak mampu. Lagu yang hamba alunkan itu seperti napas, tak pernah sama.” Gayatri manggut-manggut. “Jadi alunan nada itu mengalir begitu saja?” “Hamba Tuan Putri, ya.” “Sayang sekali, seharusnya kakang mencatat atau menghapalnya supaya bisa didengar lagi di lain waktu.” Mendengar itu Gayatri tertawa. “Celakanya, hamba tak memiliki kemampuan itu, Tuan Putri. Hamba hanya bisa menyuling namun hamba tidak memiliki kemampuan memindahkan ke dalam tulisan titi nada.” Gayatri termangu sesaat. Ia kembali melangkah lebih mendekat. “Kakang tiup lagi, sekali lagi, keluarkan isi hati Kakang, saya akan mendengarnya.” Wirota Wiragati memejam.



Sungguh tidak terlampau sulit bagi Wirota Wiragati untuk memenuhi permintaan itu. Bahwa jika ia sedang sedih, maka kesedihan yang dirasakan itu dengan amat mudah ia bisa salurkan ke dalam alunan titi nada. Bahwa ia sedang marah, maka dengan mudah warna pula kemarahan itu ia hadirkan dalam alunan nada yang mengombak, tidak ubahnya alunan prahara dari laut yang menggempur pantai. Apalagi ketika ia merindukan seseorang, apalagi jika ia jatuh cinta, apalagi kali ini orang yang ia cintai itu hadir di depannya, amat nyata, tidak perlu berkhayal. Maka sangat lincah jari tangan Wirota Wiragati menari di lubang-lubang kecil serulingnya. Ia menghayati sekali, ia terjemahkan gelegak jatuh cinta itu yang seolah bisa digambarkan oleh para penari bedaya yang menterjemahkan tari ubaling asmara dahana, (ubaling asmara dahana, Jawa, gelegak api asmara). Bergetar jiwa Gayatri menyimak alunan nada itu, bergetar jiwanya, dan jiwa yang bergetar itu terbetot luar biasa. Alunan nada yang meliuk-liuk itu akhirnya berhenti. Wirota Wiragati telah mengakhirinya. “Luar biasa, Kakang,” kata Gayatri. Wirota Wiragati mengangguk amat dalam, tubuhnya tertekuk. “Apa yang kakang rasakan?” “Maksud Tuan Putri?” “Ketika mengalunkannya, apa yang kakang rasakan?” Wirota Wiragati menghirup udara amat dalam, serasa masih kurang pasokan udara yang ia butuhkan. “Hamba merasa seperti pungguk.” Gayatri mengernyit. “Pungguk kenapa?” “Seperti pungguk merindukan bulan, amat mustahil untuk bisa hamba jangkau.” Gayatri tambah mengernyit, akan tetapi ada sebuah alasan untuk tidak mengejar jawaban itu dengan pertanyaan lanjutan. Sebaliknya, Wirota Wiragati mendadak merasa percakapan itu telah terlampau jauh. Ketika ia merasa gugup dan Gayatri pun gugup, untuk mengisi waktu yang tidak pernah berhenti mengalir, dialihkan dengan terus meniup serulingnya. Pertanyaan atas siapa si pungguk dan siapa bulannya, Gayatri tiba-tiba berharap dirinyalah yang dikiaskan sebagai sasadaranya. Menjelang pagi, Gayatri dan Wirota Wiragati mengakhirinya pertemuannya.



Adalah ketika itu, atau sejak pertemuan itu, Gayatri mendadak menjadi amat gelisah. Apa pun yang sedang ia lakukan, apalagi ketika sendiri, maka pikirannya tiba-tiba beralih ke sosok yang mencuri hatinya. Bahkan ketika ia tidur, lelaki itu dengan kurang ajar menyelinap angkrem (angkrem, Jawa, meringkuk, seperti yang dilakukan ayam ketika mengerami telurnya) di sudut hatinya. Sangat mengkili-kili, menyebabkan sikap tidur Gayatri tiba-tiba berubah, tiba-tiba ia lebih suka memeluk bantal dan membusai guling. Ketika itu, malam selanjutnya, Gayatri sulit tidur, hujan turun dengan deras dan kemudian mereda. Ia berharap suara seruling itu muncul lagi, namun yang ia rindukan tak kunjung datang mewartakan diri. Ketika hujan mereda dengan mengalirkan udara dingin dari Gunung Semeru di timur, juga dari Gunung Arjuno dan beberapa gunung di sekitarnya, akhirnya suara seruling yang ia tunggu kehadirannya mulai terdengar. Gayatri bergegas bangun dan mengulang apa yang ia lakukan malam sebelumnya. Dengan berlari-lari kecil Gayatri melintas dan melintas dinding tembok dan akhirnya sampailah ia di kandang kuda. Sedikit agak basah tubuh Gayatri oleh sisa gerimis, namun ia tidak peduli. “Sugeng dalu (sugeng dalu, Jawa, selamat malam) Tuan Putri,” sapa Wirota Wiragati. “Selamat malam, Kakang Wirota Wiragati.” Gayatri bersandar dinding sambil menyilangkan kedua tangan. “Lanjutkan, kakang, saya ingin mendengar suara hatimu.” Wirota Wiragati mengangkat seruling bambunya dan melekatkan bibir ke ujung lubang alat tiupnya. Wirota Wiragati merasa perlu memejamkan mata lebih dulu sebelum ia mulai. Dalam ruang angannya, tiba-tiba terbayang gerak sepasang burung prenjak yang sedang kasmaran yang terbang beriringain dari daun ke daun, dari kembang ke kembang. Matahari sedang benderang di pagi itu, menyempurnakan kebahagiaan mereka yang berencana membangun rumah tangganya. Wirota Wiragati menyempatkan memejamkan mata di awal suara indahnya itu mengalir. Ketika itu, di malam hening yang amat damai di sisa gerimis, Wirota Wiragati menyalurkan isi hatinya dengan penuh penghayatan, menghasilkan alunan titi nada yang menyebabkan Gayatri terbelalak. Bermula dari seluruh panca inderanya. Wirota Wiragati melihat kemudian merekam berbagai dari pandang matanya. Di sepanjang waktu yang bergerak ia melihat banyak hal melalui pandang matanya, melihat daun-daun, melihat pepohonan, melihat ombak di pantai, pun mendengar suara alam menggunakan daun telinganya, mendengar angin meributkan batang bambu yang meliuk-liuk bergesekan antara satu dengan lainnya, mendengar suara gemuruh angin ribut. Lewat indera perabanya ia memindai permukaan benda apa pun, permukaan kayu yang kasar, permukaan bilah pedangnya yang tajam, lalu dengan indera pengecapnya ia menandai rasa, rasa manis gula aren, rasa pahit bratawali, rasa kecut buah asam dan



terakhir melalui hidungnya ia menandai segala macam bau, dari yang menyegarkan sampai yang memancing rasa mual. Semua pengalaman yang bersinggungan dengan lima indera itulah, yang kemudian diolah di kepala terpisah atau mungkin juga tercampur di antara keduanya, olar rasa dan olah pikir. Olah rasa memungkinkan munculnya perasaan dan semua turunannya, olah pikir menurunkan pikiran dan turunannya. Ada yang mengatakan, perempuan lebih menggunakan olah rasa sementara para lelaki lebih banyak menggunakan olah pikirnya, konon itu sebabnya perempuan lebih perasa, lebih mudah menitikkan air mata, sementara pengedepanan olah pikir menyebabkan lelaki lebih mudah menerima kenyataan, mewarnai ketangguhan tubuhnya yang memang dicipta untuk bisa bertarung demi diri sendiri atau melindungi keluarganya. Dari dua ruang baik yang terpisah maupun menyatu itu, dari naluri berpikir dan berperasaan, muncul ruang baru tempat berangan-angan, bermimpi dan berandai-andai, dari ruang itulah hal-hal yang berkait dengan keindahan dilahirkan. Gabungan dari olah rasa dan olah pikir itulah yang diolah, diobrak-abrik, atau dijungkirbalikkan oleh Wirota Wiragati dalam bentuk alunan nada yang kini sedang dialirkan melalui titi nada, naik turun, meliuk-liuk dan bahkan seperti sedang menari. Menyimak itu, Gayatri sangat kesengsem. Suara seruling itu menyita perhatian, ia menyelinap di antara jatuhnya gerimis dan mengkili-kili gendang telinga siapa pun seperti ketika menggunakan bulu ayam yang lembut untuk diusap-usap di lorong kuping itu. Namun tak seorang pun yang mendengar yang keberatan. Tidak! Wirota Wiragati kemudian berhenti, dalam keadaan yang demikian, ia bingung memulai dari mana juga untuk membicarakan apa. Namun Gayatri yang mencairkan. “Kakang,” ia meminta perhatian. Wirota Wiragati menyelipkan batang seruling bambunya ke pinggang. “Hamba Tuan Putri,” jawab Wirota Wiragati. Gayatri mendekat. “Soal pungguk yang merindukan bulan, siapakah yang kakang maksud?” Untuk pertanyaan sederhana itu ternyata Wirota Wiragati mengalami kesulitan menjawab. Ia bungkam beberapa saat. Wirota Wiragati melangkah mondar-mandir.



“Baiklah,” kata Gayatri, “kakang boleh jawab mengangguk atau dengan menoleh. Orang lainkah yang kakang kiaskan sebagai sasadara?” Wirota Wiragati menatap tajam. Pilihan antara mengangguk dan menoleh itu memudahkan ia dalam menjawab, ia menoleh. Melihat itu Gayatri tersenyum, tarikan napasnya yang panjang dan tuntas menandakan ia merasa lega. “Kakang menggeleng atau mengangguk, sayakah bulan yang beruntung itu?” Wirota Wiragati menyisihkan rasa ragunya untuk mengangguk. Merekah senyum Gayatri dan dengan tanpa keraguan ia lebih mendekat dan menempatkan diri berada di pelukan lelaki itu. Gemuruh dada Wirota Wiragati oleh guncangan terjal tatkala ia melingkarkan kedua tangannya. Sekadar melingkarkan sebuah pelukan namun perbuatan yang sangat sederhana itu menyebabkan Wirota Wiragati nyaris kehilangan jantung. Itu dulu. Semua itu adalah peristiwa yang terjadi dulu. Kini keadaan telah berubah, kini isi dadanya nyeri karena tersakiti, Lelaki yang dicintainya itu, yang padanya ia berkeputusan akan menyerahkan kehormatannya, ternyata termasuk dalam golongannya lelaki yang tak layak didambakan. Ia tidak punya kesetiaan karena dengan begitu mudahnya telah beristeri, padahal perpisahan itu baru terjadi beberapa saat lampau, sebelum Singasari dilibas banjir bandang dari barat. 33 Fajar mempersiapkan diri dan berbenah. Di segala penjuru suasana masih gulita, namun sejatinya matahari sudah mempersiapkan diri untuk mewartakan kehadirannya di balik langit timur, tak berapa lama lagi ia akan menyemburatkan sinarnya yang benderang ke segala penjuru. Di atas pulau Jawa, terutama dari arah Singasari ke barat, langit masih kotor. Hujan memang turun di beberapa tempat, akan tetapi tidaklah dengan serta merta membersihkan langit dari debu yang terus menyemburat tak berkesudahan dari Kampud. Di kedalaman kepundannya, lahar tak henti-hentinya bergejolak, seperti di sanalah letak neraka yang diperbincangkan orang saat Para Pandawa dianggap bersalah diceburkan tanpa rasa kasihan. Atau, di neraka macam itulah anak Bima bernama Gatotkaca diceburkan ke kawah yang punya nama candra dimuka, itulah kawah pendadaran yang menyebabkan Gatotkaca itu menjadi sakti mandraguna. Kawah mendidih, semburatan isinya masih meleleh dan atau terbang membubung tinggi ke langit. Di kedalamannya masih terdengar suara api neraka.



Demikian jauh perjalanan debu gunung yang sangar yang orang juga menyebutnya Kelud itu sampai berjatuhan di Ciamis, menyapu wilayah Tasik Malaya, bahkan melintas jauh ke barat dan berjatuhan di Ujung Kulon. Beberapa orang penduduk di Selat Sunda terheran-heran melihat para daun pisang begitu kotornya, di Pamoyanan dan di Pamipiran yang berada tidak jauh dari Karang Kamulyan, sumur begitu keruh, airnya tidak bisa dipakai. Semua karena angin mengalir ke barat. Di waktu awal ledakan arga itu, debu yang membubung memang sempat mengarah ke timur sampai menjarah wilayah blambangan, namun para debu itu segera terusir ketika angin bergerak ke barat sehingga bila dihitung dari Singasari ke arah timur, wilayah itu nisbi bersih tidak terlalu menderita, penduduknya nisbi tidak terganggu. Malam yang bersisa sejengkal itu terus bergerak hingga cahaya surya beranjak muncul, yang itu menggusur cahaya berpendar yang melingkupi tepat di tengah-tengah Tanah Tarik. Meskipun semua berjalan sebagaimana hari-hari sebelumnya, akan tetapi sesungguhnya telah terjadi sebuah peristiwa luar biasa di Tanah Tarik, peristiwa yang tidak sewajarnya. Raden Wijaya tidur lelap bersama Tribuaneswari, sementara dua adiknya Pradnya Paramita dan Narendraduhita tidur di bilik masing-masing. Raden Wijaya sedang bermimpi menghadap Dyah Lembu Tal di pelataran sebuah candi, bersikap seolah sedang meminta restu. Dyah Lembu Tal sedang memandangnya dengan amat takjub, seolah pertemuan di pelataran candi itu setelah perpisahan yang amat lama, ada kerinduan seorang ibu pada anaknya, dan ada kerinduan seorang anak pada ibunya. Dyah Lembu Tal mengulurkan tangannya dan menyentuh kepala anaknya. Sentuhan tangan lembut itulah yang membuat Raden Wijaya terbangun. Seketika matanya membelalak. Terperanjat yang ia alami adalah melebihi kaget oleh meledaknya petir. Terbelalak Raden Wijaya memperhatikan keadaan di sekitarnya. Dalam keadaannya yang demikian, ia justru bisa melihat apa yang terjadi dengan sangat jelas seolah ia menyaksikan dalam gerakan yang lambat. Sadar bahwa sesuatu sedang berlangsung, Raden Wijaya bergegas membangunkan istrinya. “Kangmbok, bangun!” Tribuaneswari yang digoyang tangannya bergegas melek. Ia belum masih paham apa yang dimaksud suaminya. Bergegas ia turun dari pembaringan dan menempatkan berdiri di sebelah suaminya. Raden Wijaya memegang jari tangannya dan mengajaknya keluar ke halaman. Dari halaman itulah mereka berdua memperhatikan apa yang sedang terjadi. “Rumah ini akan murca,” bisiknya.



Terbelalak membelalak yang dialami atau dilakukan Tribuaneswari tertandai dengan mata yang terbuka selebar-lebarnya. Bergegas ia menuju bilik kedua adiknya dan mengetuk pintunya dengan keras dan kasar. Narendraduhita dan Pradnya Paramita keluar bersamaan. Bahkan ucapannya pun bersamaan, “Ada apa?” Tribuaneswari menyeret kedua tangan adiknya dan membawanya ke halaman mendekati suaminya. “Ada apa?” ulang Pradnya Paramita. “Rumah itu akan menghilang,” jawab Jaka Sesuruh, nama lain Raden Wijaya. “Hah?” Narendraduhita kaget. Bersama-sama mereka berusaha mencari-cari, namun tak kunjung menemukan jawaban yang dibutuhkan. Sebaliknya Raden Wijaya memperhatkan dengan seksama, sangat cermat dan jelas. “Lihat rumah itu, lihat garis tepinya, lihat batas garis atapnya,” Raden Wijaya memberikan petunjuk. Meski telah dijelaskan, ketiga istrinya masih belum paham. Akan tetapi tidak berapa lama kemudian Pradnya Paramita berhasil menemukan keganjilan. “Seperti bergerak?” “Ya,” tambah Tribuaneswari, “garis atap itu bergoyang.” Rangkaian peristiwa itu akhirnya bisa diamati dengan cermat. Sejalan dengan munculnya kabut, bangunan aneh yang menjadi tempat bermalam itu bergoyang dari ada menuju tiada. Di bagian atap terlihat paling jelas pergerakan yang terjadi, seolah terjadi pertikaian perebutan, antara badan wadag (Jawa, fidik) yang berusaha mempertahankan diri, melawan sesuatu tidak terlihat yang berusaha melenyapkannya. Kabut tumbuh dari nafas dedaunan, dari geliat ranting yang bergerak oleh angin yang entah mengapa mulai bergolak. Kabut paling banyak berasal dari bulat buah maja, seolah di kedalaman buah itu terdapat sumbernya. Kemunculan kabut itu semakin lama semakin banyak dan bergairah seolah ada semangat di dalamnya. Kehadiran kabut itu terasa sangat mangkus, sementara pohon maja di hutan itu sungguh banyak dengan buah-buahnya yang sebesar kepala manusia. Namun baik Raden Wijaya dan ketiga istrinya menandai, bahwa kehadiran kabut itu hanya untuk membungkus rumah aneh yang telah memberikan mimpi indah kepada empat ningrat yang sedang terlunta-lunta, kabut itu tidak bergerak ke tempat lain. Perlahan tetapi pasti, kabut itu kian menebal, berusaha menyembunyikan rumah hantu itu dari pandang mata siapa pun. “Rumah aneh,” bisik Narendraduhita. “Ya,” jawab Tribuaneswari, “namun setidaknya kita tahu, rumah hantu ini telah menolong kita, memberi tempat untuk berlindung semalaman.”



Selebihnya, baik Tribuaneswari, Narendraduhita dan Pradnya Paramita mencatat, di tempat itulah untuk pertama kali mereka melayani suaminya, mencatat hubungan suami isteri yang tidak mungkin terlupakan entah sampai kapan. Di timur, amat lambat namun pasti, matahari sudah gemas ingin berbagi cahaya mewartakan kehadirannya setelah semalaman berada di balik bumi. Cahaya yang mulai temaram itu rupanya menjadi penyebab pergolakan luar biasa di bagian atap. Terbelalak tak lagi bisa berbicara ketika Raden Wijaya dan tiga istrinya mengamati perubahan yang terjadi. Perlahan akan tetapi pasti, bagian atap bagaikan tergerus. Kabut di bagian itu bergerak uleng-ulengan, serasa ikut campur pada pertikaian yang terjadi, antara ujut rumah yang bersifat wadag berusaha mempertahankan diri dan pihak lain, sesuatu tak dikenal yang memaksa berupaya melenyapkannya. Anak Dyah Lembu Tak melangkah mendekat, untuk bisa melihat dengan lebih jelas. Ke tiga istrinya yang merasa cemas menjaga jarak. Perlahan tetapi pasti peristiwa itu berlangsung yang secara kasat mata terlihat, menuju murca yang dialami rumah aneh di belantara Tarik itu ada hubungannya dengan matahari. Kian terang cahaya matahari menjamah Tarik, menyebabkan rumah itu harus kalah atau mengalah, karena bukankah masih ada malam lain di mana ia bisa muncul kembali. Seekor burung gagak berniat terbang melintas, namun gagak itu terkejut dan terpaksa terbang memutar balik. Ia berusaha terbang tinggi, namun setinggi-tinggi burung gagak nggegana (Jawa, terbang, dari kata gegana, angkasa) tidaklah seperti terbang Paksi Cataka yang bisa menyentuh atap langit. Meski demikian burung gagak itu mampu melihat dengan amat jelas pergolakan dan perubahan yang sedang berlangsung. Burung berbulu hitam itu memperhatikan dengan penuh minat. Sejalan dengan matahari yang beranjak naik, burung berwarna hitam dengan suara yang amat jelek itu melihat betapa uleng-ulengan tempat di tengah hutan Tarik itu. Burung itu melihat dan memperhatikan betapa matahari yang sangat perlahan bergerak naik menjadi sebab betapa kabut yang membungkus rumah itu bagaikan diaduk dengan kasar. Setelah hilang atapnya, maka bagian yang lebih bawah semakin digerogoti dengan rakus, tubuh rumah itu bergoyang bergerak dari ada menuju tiada, demikian seterusnya ketika matahari mengintip lebih tinggi lenyap bagian atas rumah itu menyisakan bagian bawah, ketika matahari bergerak lebih tinggi, maka bentuk rumah itu tersisa semakin sedikit. Di langit burung gagak itu menandai, sementara tepat di depan matanya, Raden Wijaya dan ketiga kakak sepupunya mencermati dengan seksama saat-saat terakhir rumah itu menghilang. Demikianlah ketika cahaya matahari itu akhirnya menjatuhkan cahayanya ke seluruh tubuhnya, maka wisma itu pun murca. Lenyap tidak bersisa.



Setelah bergulung-gulung, kabut aneh itu kemudian lenyap, tak berjehak. Pergolakan terakhir adalah ketika ia menghilang. Berhenti bergerak detak jantung Raden Wijaya mendapati tempat itu yang semula demikian hidup ternyata hanyalah tanah kosong tidak ada apa-apanya. Ia sulit memahami mengapa semalam ia benar-benar merasa tidur di atas pembaringan. “Duh Hyang Widdi, Jagad Dewa Batara,” desis Raden Wijaya untuk diri sendiri. Ketiga anak perempuan Kertanegara saling berpegangan tangan. Ketiga anak Kertanegara itu tak lagi punya mulut. Adalah sementara itu, matahari yang semburat menyebabkan sesuatu yang lain bergejolak. Adalah di puncak pohon randu yang menjulang tinggi tidak jauh dari tempat di mana Raden Wijaya sedang berdiri, dua butir telur rajawali berusaha membebaskan diri. Dari tidak punya tenaga, kini ia punya cukup tenaga, setidaknya untuk keluar dari kulit yang membungkusnya. Kulit telur itu kemudian pecah tertusuk oleh cakar dari dalam. Kulit telur itu robek memanjang dan dalam waktu bersamaan muncullah kepala mungil paksi cataka yang langsung menjerit. Jerit itu meski kecil akan tetapi amat jelas, menyebabkan Raden Wijaya menoleh dan mencuatkan alis. Demikianlah sang waktu terus bergerak, matahari memanjat baik, menemani Nambi, Andaka Sora, Pawagal, Pamandana, Medang Dangdi, Ranggalawe, Kebo Kapetengan, Gajah Pagon dan Banyak Kapuk yang masing-masing menuntun kudanya memasuki lebatnya hutan. Bukanlah pekerjaan gampang untuk melakukan itu karena harus melakukan dengan membawa kuda. Tanpa banyak berbicara atau tiba-tiba semua berubah menjadi pendiam, para Bala Sanggrama teman setia Raden itu memasuki lebatnya belantara. “Ada yang aneh?” bisik Medang Dangdi. “Ya, sepi!” Pamandana menjawab. “Bukankah hutan mestinya ramai?” “Ya, terutama suara monyet,” jawab Pamandana lagi. Namun senyap itu ternyata tidak berlangsung lama. Matahari yang memanjat semakin tinggi menghidupkan kembali kehidupan hutan itu. Dimulai oleh jerit lutung yang bergelombang, tiba-tiba dibalas teriakan itu oleh suara binatang yang lain. Di kejauhan harimau mengaum dengan amat dahsyat, suaranya tak hanya menggetarkan udara namun merontokkan daun-daun yang menguning. Suara semakin gaduh ketika ayam alas saling sapa bersahutan, burung-burung saling sapa bersahutan, disusul dengan berbagai binatang berukuran kecil seperti cenggeret sahut menyahut, seolah itulah cara



yang bisa mereka lakukan sebagai penghormatan atas hari pertama Raden Wijaya berada di tengah-tengah lebatnya hutan Tarik. Nambi menikmati sekali suara-suara itu. Nambi berkata, “Kau dengar itu? Ya, yang itu,” ucapnya sambil menyimak salah satu suara. “Ya,” jawab Pawagal. “Seperti apa wujud binatang itu?” tanya Nambi. “Sepertimu,” jawab Pawagal sekenanya. Mulut Nambi terbungkam, namun ia tidak marah. Di belakang Nambi, Pamandana melirik dengan perasaan tidak senang. Dan ketika matahari memanjat semakin tinggi, para Bala Sanggrama itu akhirnya berhasil menyusul Raden Wijaya. Para sekar kedaton yang kini telah bersuami gembira melihat prajurit-prajurit itu masih utuh tak berkurang seorang pun. Pamandana yang semula terluka parah dan kehabisan banyak darah pulih kesehatannya dengan amat cepat melalui cara yang bagai tidak masuk di akal. Rupanya daun-daun yang dijatuhkan oleh paksi cataka, benar-benar berkhasiat dan secara ajaib mengembalikan kesehatannya. Jejak luka di sekujur tubuhnya telah lenyap tak berbekas sama sekali. “Bagaimana keadanan kalian?” Tribuaneswari bertanya. “Baik Tuan Putri, kami masih utuh.” Tribuaneswari mengamati sahabat-sahabat suaminya dengan takjub. Namun yang paling menarik perhatiannya adalah Pawagal dan Banyak Kapuk, yang seharusnya masih tertinggal di rumah mertua dan isterinya. Tribuaneswari akan menggoda, akan tetapi suara melengking tidak jelas entah berasal dari mana telak mencuri perhatian. “Sorandaka,” kata Raden Wijaya meminta perhatian. “Hamba Raden,” jawab Sorandaka yang juga dipanggil Andaka Sora atau Sora begitu saja. “Bagaimana kabar burung elang itu?” Sorandaka menghela napas panjang. “Hamba sudah tidak terhubung lagi dengan burung-burung itu Raden, mereka sudah gugur satu persatu. Burung terakhir yang tersisa, semalam telah hangus terkejar anak panah bermantra yang sangat kuat.” Di ketinggian pohon randu alas, suara melengking itu muncul lagi. “Kau dengar itu?”



Sorandaka terbelalak, minatnya bangkit. Ia tiba-tiba berdiri dan memandang ke atas, akhirnya setelah mencermati, ia menemukan ada sebuah sarang. Sekali suara menyayat itu datang dari tempat itu. “Jangan-jangan itu anaknya?” tanya Sorandaka, bagaikan kepada diri sendiri, “bisa mati dia kalau tidak ada yang memberinya makan.” Sorandaka memperhatikan letak sarang burung itu dan mengukur diri seberapa mampu ia naik ke atas. Ia segera menyingsingkan kain dan siap untuk memanjat, namun sejenak kemudian ia kebingungan. Sorandaka ragu. “Tidak berani naik?” tanya Raden Wijaya. Sorandaka tidak menjawab, sikapnya sudah merupakan jawaban. Tanpa banyak bicara, Pamandana yang justru menyingsingkan lengan dan mulai memanjat. Nambi ingat, dalam kunjungannya ke Kediri dan menemui Pamandana, lelaki itu sedang berada di puncak pohon kelapa sedang memetik buahnya. Untuk berani memanjat sedemikian tinggi jelas butuh nyali. Sorandaka pilih tanding dalam perang, ia tidak punya rasa takut. Akan tetapi jatuh dari ketinggian letak sarang burung itu, ia tidak berani. Raden Wijaya mendongakkan kepala didampingi para istrinya. Para Bala Sanggrama melihat betapa langka kemampuan seperti yang dimiliki Pamandana itu, yang berlagak seperti kera, amat gesit dan ringan ketika harus melompat dari dahan ke dahan. Tak butuh waktu lama, Pamandana telah sampai di tempat yang dituju. “Apa yang kau lihat?” tanya Sorandaka. “Dua ekor burung yang kelaparan, baru menetas,” jawab Pamandana dalam teriakan. “Bagus, turunkan dengan hati-hati, jangan sampai jatuh.” Burung-burung itu benar-benar kelaparan. Anehnya, dua ekor burung itu justru menganggap dirinya adalah induknya yang akan memberikan makanan. Pamandana tidak perlu menimbang ketika ia memutuskan melukai jari tangannya dengan pisau yang terselip di pinggangnya. Darah kemudian menetes-netes yang diarahkan tepat ke mulut burung itu. Dua anak rajawali itu minum dengan lahapnya. “Apa yang kau lakukan itu?” tanya Sorandaka. “Memberinya makan,” jawab Pamandana. Pamandana tidak menyadari, atau siapa pun tidak ada yang menyadari, Raden Wijaya tidak, Sorandaka pun juga tidak, bahwa makanan yang diberikan kepada anak-anak Paksi Cataka itu adalah awal dari dimulainya hubungan batin.



34 Gayatri ingin bersikap seperti kakaknya, untuk menerima kejadian itu sebagai suratan takdir yang telah digariskan oleh Hyang Widdi, dengan begitu hatinya tidak akan terasa nyeri, namun bersikap seperti itu ternyata sulitnya luar biasa. Terbayang di relung mata hatinya, ayah dan ibu kandungnya, dua orang tua yang menjadi perantara kelahirannya ke dunia diperlakukan dengan dengan amat kejam, lebih-lebih perlakuan orang-orang Kediri terhadap adik bungsunya. Berbeda dengan Wiswarupa Kumara yang seorang bante, yang bisa menerima kejadian itu sebagai apa yang telah berada dalam suratan takdir. Wajah Ardaraja mengombak di kelopak matanya. Gayatri membayangkannya dengan hati yang panas, mendidih, eneg, dan jijik. “Si Keparat,” Gayatri menyumpahi lelaki itu. Adik iparnya itu ternyata lelaki yang sangat menyedihkan dan ditakdirkan untuk membuat adik bungsunya menderita. Suami seyogyanya memiliki kesetiaan, akan tetapi yang dilakukan Ardaraja jauh dari keadaan macam itu. Ardaraja berselingkuh dengan perempuan lain berderajad emban yang bahkan dengan kejam membantai adiknya yang sedang nggarbini (Nggarbini, Jawa, hamil). Gayatri memejamkan mata, mengingat bagaimana Emban bernama Runteng itu telah menjambak rambutnya dengan kasar menyebabkan rikma (Rikma, Jawa, rambut) yang panjang itu terurai. Masih dalam memejamkan mata, Gayatri teringat saat-saat seekor ular keluar dari lengan bajunya dan mematuk leher perempuan itu, yang hanya memberi sedikit kesempatan untuk menggeliat kesakitan. Hanya butuh dua atau tiga tarikan napas untuk mati bila gigitan itu berada di leher. Meski Gayatri telah membalas membunuh perempuan itu, namun sakit hati itu masih belum lunas. Kematian Raganata warangka (Warangka, Jawa, arti harfiahnya wadah keris, arti dalam hal ini adalah patih,) Singasari, yang diranjab anak panah dan dibantai tidak ubahnya binatang, ditambah kematian Patih Aragani, Patih Kebo Ngremo dan seluruh korban penjarahan biadab yang dilakukan prajurit Kediri terhadap para emban yang mengalami nasib seburuk-buruknya nasib. Emban tua pun diperkosa, menyebabkan Gayatri sesak napas.



Majapahit 3, Banjir Bandang dari Utara, 10 LANGIT KRESNA HARIADI·THURSDAY, FEBRUARY 16, 2017



Sejak di fajar menyingsing sebelumnya, Gayatri telah berada di halaman, menghirup udara pagi yang tidak bersih. Gayatri sendiri berada dalam keadaan berdebu, kotor dan menyedihkan namun ia tidak peduli, sebagaimana ia tidak peduli meski telah dua hari tidak mandi karena tak ada air yang bisa digunakan mandi. Hari ini Gayatri berencana melakukan gerakan kemanusiaan lagi dengan menggalang pertolongan, baik melalui dapur umum maupun jenis-jenis pertolongan yang lain. “Semua sumur dalam keadaan sangat kotor,” Gayatri berpikir, “harus dibuat sumur secepat-cepatnya.” Gayatri adalah seorang bebandan, namun ia bebas bergerak ke mana pun, dan bahkan apabila pergi meninggalkan Kediri, siapa yang berani menghalangi. Kematian Emban Runteng dipatuk ular, dan apa yang terjadi semalam, banyak prajurit mati dipatuk ular menyebabkan semua sadar, bahkan Jayakatwang juga tersadar, untuk jangan memperlakukan Gayatri macam-macam. Para prajurit itu bahkan mengira, Gayatri berada di belakang para kematian itu. Tak seorang pun yang menyangka, ular-ular itu didalangi oleh salah seorang bala sanggrama. Pagi itu, prajurit Kediri disibukkan oleh mengurusi mayat-mayat yang bergelimpangan lewat jejak kematian yang mengerikan. Tubuh mereka membiru karena darah di dalam tubuhnya telah membeku. Racun ular rupanya telah menyebabkan darah para prajurit itu pecah. Tak seorang pun yang berani menyapa ketika Gayatri melintasi mereka. Gayatri harus geleng-geleng kepala melihat jejak perbuatan kekasihnya yang kini kepadanya ia menyimpan sakit hati. Di matanya Wirota Wiragati telah berubah, setidaknya sesungguhnya Wirota Wiragati yang hanya sendiri, ia berkemampuan membuat kacau balau pasukan segelar sepapan menggunakan pasukan ular-ularnya. Ketika kesibukan memindahkan para mayat itu berlangsung, Gayatri berjalan melintas sekat antara bangunan induk dengan gedung tempat penyimpanan bahan makanan. Ia lakukan itu agar bisa mengenali lingkungan Istana Kediri dengan lebih cermat. Namun langkah kakinya segera terhenti, dari tempatnya berada Gayatri mencoba menerka dari mana suara teriakan itu berasal. Gayatri kemudian bergegas berbelok menuju tempat yang biasanya digunakan sebagai sanggar pamujan. Dari balik dinding, ia akhirnya bisa mendengar sumber suara yang menyentuh gendang telinganya dengan amat jelas.



Suara itu, sujara lelaki. Semula tertawa terbahak-bahak, namun tak berapa lama kemudian suara tawa itu berubah menjadi tangis terisak. “Ardaraja,” desis Gayatri. Gayatri bergeser dan menempatkan diri di balik dinding yang terlindung, dengan demikian ia tidak terlihat oleh siapa pun. Gayatri kembali menandai, suara tangis terisak itu tiba-tiba berhenti dan berubah menjadi amarah. Suara berderak yang terdengar berasal dari pintu yang ditendang, disusul oleh kursi yang dibanting dengan amat keras. Lalu berubah lagi menjadi suara tangis. “Runteng!” Ardaraja menyebut sebuah nama dengan bibir bergetar. Gayatri memejamkan mata. “Mengapa kau lakukan itu Runteng?” kembali terdengar suara Ardaraja memelas. Di dalam ruang itu, tak ada siapa pun. Ardaraja yang sendiri berpenampilan aneh. Tubuhnya berdebu, bajunya amat kotor dan wajahnya sulit dikenali. Di sudut ruang ada sebuah kendhil (Kendhil, Jawa, panci terbuat dari tanah liat) berisi makanan yang disajikan untuknya, makanan itu disajikan sehari sebelumnya akan tetapi Ardaraja sama sekali tidak menyentuhnya. Makanan itu kini berubah rasa, bukan saja menjadi basi namun karena oleh alasan yang hanya Ardaraja yang memahami, makanan itu telah dikencinginya. Pintu terbuka, Turuk Bali masuk. Perempuan itu hanya bisa memandang anaknya tanpa bisa berbuat apa-apa. Sejenak setelah itu disusul oleh Jayakatwang. “Lihat itu, keadaan anakmu.” Jayakatwang mendekat dan harus melihat keadaan yang sangat menyedihkan, tarikan napas Raja Kediri itu amat berat ketika tiba-tiba Ardaraja tertawa, sungguh itulah jenis tawa yang aneh dan hanya orang tidak waras pemiliknya. “Ardaraja,” Turuk Bali mengeluh, “mengapa keadaanmu jadi begini?” Ardaraja benar-benar gila. Dengan pikiran yang tak lagi bisa dikendalikan, tiba-tiba meliuk dan menggerakkan pantat seolah sedang melakukan senggama. Ardaraja melakukan perbuatan itu sambil berteriak-teriak liar. Jayakatwang dan Turuk Bali saling melirik. “Runteng,” teriak Ardaraja, “Ayo Runteng, Ayo Runteng, Ayooo.”



Sikap Ardaraja semakin tidak terhenti, menyebabkan Jayakatwang tidak bisa menahan diri. Ia mendekati anaknya dan menampar mulutnya dengan sangat keras. “Ardaraja!” teriak Jayakatwang. Ardaraja terjengkang. Meski gila, Ardaraja masih bisa mengenali ayahnya. Jari telunjuknya teracung lurus sambil ia tertawa terkekeh. “Bapak!” ucapnya di sela rasa gelinya, “Bapak pakai bedak tebal sekali. Ibu juga sudah tua, rambutnya putih.” Mulut Jayakatwang terbungkam, sebagaimana istrinya. Suami istri ningrat penguasa Kediri itu terbungkam tidak bisa berkata apa-apa. Bersamaan mereka mengelus dada, menghela tarikan napas panjang dan dalam. “Akibatnya seperti ini,” Turuk Bali mengeluh. Jayakatwang tidak bisa menjawab ucapan itu. Semula ia berpikir Gunung Kampud meledak yang meluluhlantakkan Kediri adalah sebuah kebetulan, kebetulan meledaknya hari itu, sehari setelah Singasari berhasil dihancurkan. Tanpa Singasari dihancurkan, gunung itu memang waktunya meledak. Hati lelaki itu menolak keras, anggapan meledaknya gunung itu adalah hukuman dari para Dewa atas perbuatannya terhadap Singasari. Bahwa, anak lelakinya kini berubah menjadi gila, ia ingin beranggapan keadaan itu juga bukanlah hukuman perbuatan yang ia lakukan. Namun ia tidak bisa menampik, bahwa telah berlaku hukum sebab dan akibat. Keadaan yang kini menimpa Ardaraja, adalah akibat adanya sebab, adalah hukum air mengalir. Oleh sebab ia menyerang Singasari, menimbulkan banyak rentetan akibat yang menjalar ke mana-mana. Di luar dinding Gayatri menyimak. “Runteng!” Ardaraja kembali berteriak memanggil. Turuk Bali mengernyit ketika nama itu kembali dipanggil anaknya. “Kenapa dengan Runteng,” tanya perempuan itu. Jayakatwang menghirup udara dengan tarikan napas sangat berat. “Runteng mati. Runteng membunuh menantumu. Runteng dibunuh menggunakan ular.” Turuk Bali belum mendengar hal semacam itu. Bahwa menantunya yang sedang nggarbini telah menjadi kurban, ia sudah mendengar, namun dengan cara bagaimana ia mati, hal itu belum ia dengar sebelumnya. “Sesungguhnya apa yang terjadi pada Runteng? Apa yang terjadi pada anak menantu kita?”



Pertanyaan itu dijawab oleh suara batuk. Jayakatwang menoleh, istrinya menoleh. Sungguh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Ardaraja yang langsung pucat pasi. Ardaraja berlari, namun ia tidak bisa ke mana-mana kecuali meringkuk bersandar dinding. “Saya punya ceritanya, Bibi.” Turuk Bali menatap keponakannya, anaknya sangat ketakutan seperti kepergok setan. “Apa yang terjadi, Gayatri?” Gayatri melangkah mendekat, Ardaraja merasa seperti didekati hantu. Yang bisa ia lakukan hanyalah menutupi wajahnya dengan lengan. Jayakatwang merasa nyeri, ia tidak menyangka akibat dari perbuatannya akan berbuah keadaan macam itu. Tak pernah ia membayangkan anak lelakinya akan gila. Guncangan yang menimpanya terlalu berat menyebabkan Ardaraja menjadi lelaki berotak miring, tidak waras. “Ardaraja anak bibi yang tampan itu berpenyakit kelamin yang ia peroleh dari perilakunya yang gemar melakukan hubungan badan dengan banyak orang. Akibatnya menjijikkan, seorang abdi emban di Kediri maupun abdi emban yang melayaninya selama di Singasari menyampaikan pada saya bahwa ia berpenyakit sandan. Lelaki macam itulah yang menjadi suami adik saya.” Turuk Bali memotong, “Tunggu.” “Ya,” jawab Gayatri, “silahkan Bibi.” “Bagaimana kau tahu?” Gayatri mendengus. “Keadaan anak Bibi macam itu semua emban di Kediri tahu. Pun Emban di Singasari yang bertugas mencuci bajunya sampai muntah-muntah karena merasa jijik, maka selanjutnya saya melarang untuk mencuci pakaiannya.” Jayakatwang menghela napas, Turuk Bali menghela napas. “Boleh saya melanjutkan Bibi?” Turuk Bali tidak menjawab. “Emban selingkuhan Ardaraja bernama Runteng, ia membunuh adik saya dengan menusuk perutnya. Bayangkan Bibi, perempuan hamil ditusuk perutnya. Adik saya mati dengan membawa anaknya ikut mati. Runteng telah menancapkan sebulah cundrik ke perut Dyah Dewi Pungkas tanpa belas kasihan, meski perut itu sedang membesar.”



Gayatri menyibakkan lengan baju yang dipakainya, menyebabkan Turuk Bali dan suaminya kaget saat melihat dari balik lengan baju itu muncul ular yang meliuk. Ular itu berasal dari jenis yang amat mematikan. “Ular ini yang membunuh Runtang, karena ia berani berbuat kurang ajar pada kedua anak Prabu Kertanegara.” Jayakatwang terbelalak dan sontak dihinggapi rasa cemas. Demikikian juga dengan Turuk Bali yang memandangnya dengan perasaan ngeri. Gayatri melangkah sambil memperhatikan isi ruangan itu dengan penuh perhatian. Betapa takut Ardaraja ketika anak Kertanegara itu tiba-tiba mendekatinya. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangan disilangkan. “Lelaki tak berguna,” kata Gayatri sambil menjulurkan tangannya. Ular yang keluar dari dalam lengan baju itu bersikap siap mematuk. Dengan dikendalikan dari dalam otaknya, ular itu akan bersikap sebagaimana kehendak majikannya. “Jangan,” Jayakatwang mencegah. Langkah Gayatri tertahan, Namun sejenak kemudian ia kembali melangkah. “Jangan,” Turuk Bali ikut mencegah. Jayakatwang merasa lehernya akan tercekik, namun Ardaraja benar-benar tercekik. Ardaraja menunggu saat patukan ular itu akan menyengat lehernya, namun sekejab dua kejab peristiwa yang ia takuti itu belum kunjung tiba. Gayatri yang mendadak terpancing kemarahannya itu tiba-tiba ingin membunuh adik iparnya. “Kenapa Paman? Kenapa Bibi?” tanya Gayatri tanpa menoleh. Jayakatwang melangkah memutar. “Jangan bunuh Ardaraja!” Turuk Bali memberikan tekanan, “Jangan kau lakukan itu Gayatri!” Gayatri berbalik, senyumnya terlihat bengis dan kejam. “Kenapa?” tanya Gayatri sambil melangkah berputar. Turuk Bali melangkah mundur ketika Gayatri mendekatinya. “Kenapa saya tidak boleh melakukan, padahal Paman melakukan. Paman besan yang keji dan tak tahu diri. Derajad yang paman duduki sekarang adalah pemberian ayah saya. Jika ayah tidak menunjuk Paman sebagai penguasa Kediri maka Paman hanyalah kere, (kere, Jawa, melarat) dan tidak lebih berharga dari seorang tandha (Tandha, Jawa kuno, abdi istana semacam pegawai negeri) berpangkat rendahan. Bisa jadi



Paman hanya berderajad pekatik (Pekatik, Jawa, abdi istana pengurus kandang kuda). Kalau Paman membantai ayah dan ibu saya, membunuh adik saya yang sedang hamil. Lalu mengapa saya tidak boleh melakukan hal yang sama?” Jayakatwang terbungkam, mulutnya lengket sulit dibuka, apalagi untuk menggerakkan lidah berbicara. Di sebelahnya, Permaisuri Turuk Bali mengalami keadaan yang sama. Tak ada yang bisa ia lakukan kecuali membeku. “Maafkan kami, Gayatri!” kata Turuk Bali dengan suara bergetar. Jawaban itu menyebabkan Gayatri tiba-tiba meledak. “Apa?” teriaknya. Turuk Bali mengarahkan pandang matanya ke arah ular yang sedang marah, rupanya apabila pemiliknya marah, maka ular itu akan menerjemahkannya. “Apa Bibi pikir permintaan maaf itu akan mengembalikan keadaan ke semula. Apabila Bibi dan Paman minta maaf, maka ayahanda prabu dan ibunda permaisuri serta semua yang terbunuh itu akan hidup kembali? Begitu?” Gayatri melangkah mondar-mandir. Akan tetapi tiba-tiba ia berbalik mendekati Ardaraja. Lalu dengan amat kasar dipeganginya kepala itu, dijambak rambutnya dan ditarik hingga mendongak. Ardaraja melotot, sedemikian melotot matanya sampai nyaris keluar dari kelopaknya. “Paman dan Bibi akan merasakan seperti apa rasa kehilangan, sebagaimana yang saya alami, saya merasakan mahasakit kehilangan keluarga karena kebiadaban Paman dan Bibi.” Gayatri mengibaskan tangannya, ular yang muncul dari lengan baju itu menggeliat siap akan mematuk. Akan tetapi sesuatu terjadi. Sesuatu terjadi! Sesuatu itu menyengat kedalaman isi kepala Gayatri menyebabkan ia terhuyung. Ular yang keluar bergegas menyelinap kembali ke asalnya. Gayatri meliuk dan jatuh terduduk dengan mata terbelalak memandang penampakan kakaknya yang berdiri di ambang pintu, yang hanya sebentar lalu menghilang. Kehadiran Wiswarupa Kumara yang mencegahnya melakukan pembunuhan itu hanya sebentar, bahkan Jayakatwang dan istrinya tidak menyadari kedatangan dan kepergiannya. Gayatri memejamkan mata. Ia lakukan itu dalam rangka berdamai dengan diri sendiri.



Ketika rangkaian peristiwa itu terjadi, Ardaraja memanfaatkan waktu yang ada, ia tiba-tiba berlari menerobos pintu yang ia lakukan itu sambil berteriak-teriak. Ardaraja yang berlari sipat kuping (sipat kuping, Jawa, berlari tanpa arah) itu hampir menabrak dua orang prajurit. Dua orang prajurit itu saling pandang. Salah seorang menggumam, “Perang telah mengubah Raden Ardaraja.” Yang seorang berbisik, “Berubah menjadi gila.” 35 Ada banyak hal yang dilakukan oleh para Bala Sanggrama di tengah lebatnya hutan Tarik. Oleh kebutuhan yang mendesak, Nambi menebang beberapa batang bambu dan menghamparkan di rerumputan. Dengan pisau khusus yang tajam, ia membuat anak panah yang meskipun diraut kasar namun yang penting manfaatnya. Sebagai pemanah yang andal, Bala Sanggrama Nambi mampu meraut anak panah yang tidak melenceng, seimbang dan mampu bergerak lurus. Melihat Nambi dengan kegiatannya, Bala Sanggrama Medang Dangdi dan Kebo Kapetengan ikut-ikutan. Mereka menebang pohon bambu terpisah dan mulai meraut. Kebo Kapetengan yang adalah juga pemanah yang andal memiliki ukuran tersendiri untuk batang anak panahnya, yang lebih berat di depan dan ramping di belakang. Kebo Kapetengan tidak merasa tergesa-gesa, itu sebabnya anak panah yang dibuatnya memiliki sirip penyeimbang di bagian belakang. Pamandana memiliki kesibukannya sendiri. Ia harus berburu banyak serangga untuk pakan kedua burung yang kini lebih dekat padanya. Dada Sorandaka berdesir dan merasa kecewa ketika melihat burung itu lebih dekat ke Pamandana daripada ke dirinya. Bila Sorandaka yang datang mendekat memberi kedua anak burung itu tidak gaduh, namun begitu Pamandana yang datang mendekat, kedua burung sangat gaduh seolah Pamandana adalah induknya. Sorandaka mengelus-elus kepala burung itu, akan tetapi ia tidak menemukan hubungan batin dalam bentuk apa pun. “Sial,” letup Sorandaka dalam hati, “mestinya saya yang memanjat naik ke puncak pohon itu. Rupanya orang pertama yang berhubungan dengan keduanya adalah orang yang terpilih menjadi kepanjangan matanya.” Namun Sorandaka berusaha menghapus kesan apa pun dari wajahnya, dan meski ia merasa kecewa namun dengan kesadaran penuh ia berusaha mengikhlaskannya. Adalah Bala Sanggrama Pawagal dan Medang Dangdi yang sejak pagi menghilang telah pulang dengan masing-masing membawa empat ekor ayam hutan. Sama sekali tanpa merasa canggung Tribuaneswari turun tangan. Semua ayam dibersihkan bulunya, diawasi oleh Raden Wijaya yang kemudian bergerak mengumpulkan ranting-ranting kayu kering untuk perapian. Melihat itu, Pamandana berbagi waktu, ia meneliti tanaman apa saja yang ada di hutan itu yang bisa dijadikan bumbu agar ayam hutan itu lebih enak dan lezat saat dimakan. “Kakang Nambi, saya ingin bicara berdua,” kata Raden Wijaya.



Nambi menghentikan pekerjaannya dan bergegas berdiri, ia ikuti langkah Raden Wijaya yang memisahkan diri menjauh. Di bawah pohon maja yang berbuah lebat mereka berdiri. Sorandaka dan Ranggalawe saling melirik. Di kedalaman hatinya Ranggalawe merasa tidak nyaman melihat kedekatan Raden Wijaya dan Nambi macam itu. Dalam hal tertentu, Raden Wijaya lebih percaya pada Nambi dari pada dirinya. “Ada apa Raden?” Raden Wijaya tak segera menjawab, ia memerlukan menyempatkan diri mengedarkan tatap mata ke segala penjuru, menggerataki pepohonan, dengan daun-daunnya. Untuk beberapa saat ia lebih memusatkan perhatian pada buah-buah maja yang bergelantungan berwarna hijau cerah yang masih muda dan hijau agak gelap yang sudah tua. Melihat buah maja itu bukanlah untuk pedrtama kalinya bagi Raden Wijaya, dan ia tahu, buah itu tidak bisa dimakan kecuali dari jenis tertentu. Rasanya bahkan sangat pahit. “Raden!” Nambi meminta perhatian. Raden Wijaya masih melanjutkan termangunya, tarikan napasnya sungguh terasa amat berat. “Singasari tidak lagi bisa diharap,” ucapnya. Nambi menyimak. “Ya,” jawabnya pendek. “Bila ada kesempatan di kemudian hari untuk berdirinya tatanan baru, maka Singasari tidak bisa digunakan lagi. Tanahnya sudah panas, ada banyak arwah yang mati penasaran di sana. Tak hanya Singasari, Bumi Ganter juga salah satu contoh tak bisa digunakannya lagi tempat itu. Jika kelak kita punya kesempatan dan kemungkinan membangun negara baru, maka di sinilah letak Istananya. Di tanah Tarik ini tempatnya.” Berdesir amat tajam bulu kuduk Nambi. Desir yang menggerayangi lengan, punggung, dada, seluruh tubuh dan menyebabkan lelaki itu menggigil berlangsung agak lama. “Tempat ini,” kata Raden Wijaya, “telah disiapkan oleh para Dewa sejak lama. Tempat ini, kita ketahui oleh alasan yang tidak jelas terlihat bercahaya pada malam hari. Mendiang Bapa Raganata mengatakan bahwa di kemudian hari tempat ini akan berbicara lantang, lebih besar dan jauh lebih berwibawa dari Singasari atau Kediri sekalipun. Di keheningan mata hati saya, tempat ini akan membawahi wilayah yang panjang membentang dan lebar mewadahi. Mungkin bukan pada zaman saya, mungkin di zaman keturunan saya.” Angin berdesir lembut. Raden Wijaya merasakan benar betapa angin di tempat itu berbicara, dengan tempat itu sendiri terasa bernyawa. Sebaliknya Nambi tak kuasa menahan diri betapa ia merasakan benar apa yang diucapkan Raden Wijaya. Nambi ingat malam sebelumnya, betapa ada tabir tak terlihat mata yang menghalangi ketika ia dan teman-temannya berusaha masuk ke dalam lebatnya hutan itu.



Nambi membenarkan, bahwa benar apa yang dikatakan Raden Wijaya, bahwa memang ada sesuatu yang luar biasa di tempat itu, namun ia tidak bisa memastikan apa sesungguhnya sesuatu yang tak terlihat itu. “Jadi, Raden akan mendirikan sebuah negara baru di tempat ini?” Raden Wijaya mengangguk. “Bagaimana dengan Kediri?” Pertanyaan itu menyebabkan munculnya senyum di sudut bibir Raden Wijaya, senyum yang amat sinis. “Kelak akan kita balas perbuatannya, dan saya sendiri yang akan membenamkan keris Empu Gandring ke mulutnya.” Terbungkam mulut Nambi. Namun apa yang disampaikan Raden Wijaya itu menyebabkan isi dada Nambi membuncah dan menggelegak. Keluar masuk hutan adalah bukan hal baru bagi Nambi. Di masa remaja ia sudah terbiasa berburu. Harimau bukanlah binatang yang ia takuti berbekal anak panah dan alat berburu lain yang ia punya. Sebagai pemburu Nambi sangat mengenali segala isi hutan, suara apa saja yang sering terdengar, dan binatang apa saja yang tinggal di dalamnya. Namun di hutan Tarik, Nambi merasakan keadaan yang sangat berbeda. Ketika hutan sangat riuh sangat gaduh, ia rasakan hal itu sebagai sebuah keadaan berbeda, pun demikian juga hutan itu terlalu senyap. “Kau punya gagasan, negara baru kita nanti, akan kita beri nama apa?” Nambi yang menunduk mendongak, keningnya sedikit berkerut. Nambi menggeleng. “Hamba tidak punya, Raden,” jawabnya. Raden Wijaya sudah memikirkannya, akan tetapi gagasan nama baru itu belum ia dapatkan. Suasana kemudian menjadi sangat hening, karena Nambi ikut berpikir, berusaha menggagas nama apakah yang bisa digunakan untuk negara yang digagas Raden Wijaya itu. Dari tempat di mana ia memperhatikan, Ranggalawe merasa kurang senang melihat kedekatan Raden Wijaya dengan Nambi. Ranggalawe mengukur diri, Ranggalawe merasa lebih banyak membuat jasa kepada Raden Wijaya dibanding Nambi. Raden Wijaya dan Nambi menoleh. Perhatian mereka tercuri oleh suara orang muntah-muntah. “Siapa muntah itu?” tanya Raden Wijaya.



Pawagal muntah-muntah seperti orang keracunan dalam keadaan yang amat parah. Muntah yang dialami prajurit itu jauh lebih parah dari perempuan yang sedang hamil. “Kenapa dia?” Pawagal menjadi tontonan, segenap bala sanggrama mengepungnya, demikian juga dengan para sekar kedaton ingin tahu apa yang dialami lelaki itu. Perhatian rupanya tidak hanya tertuju pada Pawagal akan tetapi juga pada buah maja yang terbelah menjadi dua. “Kau makan buah maja itu?” tanya Tribuaneswari. “Hamba Tuan Putri,” jawab Pawagal, “buah maja ternyata berasa pahit.” Semua perhatian tertuju pada buah maja yang tergeletak di rerumputan. Pedang sangat tajam milik Pawagal telah membelahnya menjadi dua. Tidak seorang pun yang ingin membuktikan apakah rasa buah itu benar seperti yang dikatakan Pawagal dengan mencobanya. Jika melihat keadaan Pawagal yang sampai membeliak-beliak sudah merupakan bukti, buah maja itu benar-benar pahit. “Majapahit,” kata Raden Wijaya. Semua orang menoleh kepadanya. Namun tak seorang pun yang paham ke mana arah ucapan Raden Wijaya itu. “Tempat ini kita namai Majapahit.” Satu-satunya yang paham ke mana arah ucapan Raden Wijaya hanyalah Nambi. Itu sebabnya seketika ia merasa dadanya menjadi bergemuruh luar biasa. Ucapan Raden Wijaya itu bahkan merangsang napasnya berdegup lebih kencang dan kuat. Bala Sanggrama Pamandana yang melihat Nambi melotot terheranheran. “Tempat ini kita sebut Majapahit?” tanya Narendraduhita. Raden Wijaya mengangguk. “Di tempat ini, kita akan mendirikan negara baru, kita akan menggelar pemerintahan baru. Kita namai negara baru itu,...” “Majapahit!” serentak semua menjawab. Lalu mereka saling pandang antara yang satu dengan yang lain. Tatapan mata Sorandaka dan Ranggalawe berbinar penuh semangat. Medang Dangdi, Kebo Kapetengan, Pamandana melihat, ke depan sebuah kerja keras akan dikerjakan untuk membangun sebuah pusat pemerintahan baru. Jelas bukan pekerjaan yang sederhana dan ringan. “Adakah yang bisa menghitung penanggalan, ini tahun apa bulan apa dan surya apa?”



Pertanyaan itu ternyata sangat sulit untuk menjawabnya. Ketika semua orang berpikir dan tidak menemukan sengkala (sengkala, Jawa, penyebutan bulan atau tahun menggunakan lambang-lambang) yang sesuai, Pamandana batuk, meminta perhatian. “Punya gagasan?” tanya Raden Wijaya. Pamandana mengangguk. “Apa?” “Ri purneng karttikamasa pancadasi!” (Jawa, penyebutan 12 November 1293 menggunakan sengkala) Raden Wijaya mencerna ucapan itu, dan merenungkannya dengan seksama. Ia bisa menerima sengkala itu. “Tolong semuanya berdiri membentuk lingkaran,” kata Raden Wijaya. Perintah itu tidak perlu diulang. Semua orang berdiri, kecuali Pawagal yang dalam keadaan lemah. Ia meringkuk menahan sesak di napasnya. Namun ia berusaha menyesuaikan diri dengan sebisa-bisanya. Ia berdiri berpegangan lengan Nambi. Melihat keadaan Pawagal yang demikian, Sorandaka memegang tangannya yang lain. Hanya Pamandana yang memandang Pawagal dengan rasa tidak suka. Pamandana tidak sadar, bahwa tiba-tiba wajah anak Kiai Danapati selalu menyelinap di benaknya. Bala Sanggrama Pamandana bahkan tidak sadar menggumamkan nama anak gadis pedagang batik itu. “Mari kita niatkan di hati kita,” kata Raden Wijaya meminta perhatian, “bahwa berpusat di tempat ini kita mendirikan sebuah negara baru, bernama Wilwatikta, atau Majapahit.” 36 Waktu bergerak, seharian itu Raden Wijaya, para istri dan teman-temannya memilih untuk tinggal sementara. Untuk keperluan makan tidak ada kendala karena bekal persediaan makan yang diberikan Kiai Danapati sudah cukup, apalagi para bala sanggrama melengkapinya dengan hasil buruan berupa ayam hutan yang bahkan cukup untuk kebutuhan makan beberapa hari ke depan. Ketika Pamandana disibukkan mengurusi dua ekor burung elang yang amat lengket padanya, para bala sanggrama yang lain bergegas memenuhi kebutuhan atas anak panah yang boleh jadi kelak akan dibutuhkan. Kuda-kuda mereka yang diselinapkan masuk diberi makan amat berlimpah karena rumput tersedia banyak tanpa harus disabit. Sepanjang siang, ditemani Nambi, Raden Wijaya mengelilingi tampat yang memunculkan cahaya aneh pada malam hari. Raden Wijaya mulai membayangkan, di tempat sebelah mana ia akan membangun istana dan para bangunan yang lain. Sejalan dengan waktu yang bergerak itu, di hati Ranggalawe mulai muncul rasa tidak suka atau cemburu melihat Raden Wijaya tampak lebih dekat dengan Nambi. Ranggalawe merasa jengkel karena ia beranggapan lebih banyak berbuat jasa terhadap Singasari, juga terhadap Raden Wijaya. Namun Ranggalawe hanya bisa memendam, tanpa bisa mengungkapkannya.



Sejalan dengan waktu yang bergerak itu pula, semakin mekar rasa tidak suka Pamandana kepada Pawagal yang terbukti hanya mempermainkan Semangkin. Bagi Pamandana, laki-laki macam Pawagal itu harusnya dijejali mulutnya dengan tanah. Matahari yang semula di timur, bergerak naik dan melintas atap langit untuk kemudian mulai merendah ke arah barat. Diam tanpa berbagi, Raden Wijaya ingin melihat dan membuktikan apakah rumah aneh yang semalam muncul dan menghilang paginya itu akan hadir lagi. Sejalan dengan waktu yang bergerak itu pula, Di Kediri Gayatri bekerja tanpa lelah. Gayatri memiliki wibawa yang sangat besar untuk menggalang pertolongan. Ada banyak orang yang kini berada dalam perintahnya, yang bekerja sangat mangkus dan sangkil dalam mengurusi banyak hal, mulai memasak, menyelamatkan, menguburkan dan pekerjaan yang sangat berat, membuat sumur. Sumur harus dibuat karena kebutuhan air bersih sangat mendesak. Di hari itu pula, seekor kuda berderap kencang dari Kediri menuju Singasari. Penunggang kuda itu merasa harus mengambil perannya setelah sebelumnya ia memutuskan menjauh. Wirota Wiragati berkuda sambil berteriak-teriak yang ada kalanya mengagetkan petani di sawah. Kuda milik Wirota Wiragati adalah kuda tang tangguh, yang hanya memerlukan waktu tak terlampau banyak untuk beristirahat merumput. Sejak tengah malam berkuda dan kemudian menjamah sore, Wirota Wiragati berdebar-debar ketika semakin dekat dengan Mameling (Mameling, penulis menduga Mameling adalah nama tempat yang mengalami perubahan dan sekarang menjadi Kota Malang). Lelaki berwajah tampan itu menyempatkan berhenti manakala melihat rumah yang porak poranda, bagian belakang dari rumah itu masih berdiri namun bagian depan hangus bersisa arang. Wirota Wiragati menebarkan pandang matanya namun hanya menemukan sisa sisa reruntuhan yang menyedihkan. Perbuatan orang-orang Kediri menyisakan kerusakan yang luar biasa. Mameling rupanya telah berubah menjadi desa yang kosong, para penduduknya termasuk bayi sekalipun telah pergi meninggalkan kampung halaman. “Menyelamatkan nyawa jauh lebih penting,” kata Wirota Wiragati. Lalu mampirlah bau yang menyengat, bau itu menguar di udara. Wirota Wiragati langsung bisa menebak bau apakah itu. Lelaki itu tidak perlu turun dari kudanya untuk menemukan dari mana asal bau busuk itu. Akhirnya di halaman belakang sebuah rumah ia menemukan dua sosok mayat yang dirubung oleh ribuan ekor lalat yang berpesta pora menikmati busuk manusia. Wirota Wiragati akhirnya memutar kudanya. “Maaf, saya tidak punya waktu,” kata suami Gendis Untari itu sambil mengayunkan cambuk menimbulkan ledakan. Lecutan cambuk itu tidak diarahkan ke kudanya, namun hanya ayunan sendal pancing yang sontak mendorong kuda tunggangannya berpacu amat kencang. Di arah kanan, matahari masih tinggi tanpa terhalangi oleh mega maupun mendung. Wirota Wiragati melihat, keadaan di daerah itu tidaklah separah



wilayah barat yang ditinggalkannya. Dampak letusan Gunung Kampud tak seperti di Kediri yang tebal debunya melenyapkan rerumputan dari pandangan. Laki-laki yang baru saja mengecewakan hati Gayatri itu akhirnya tidak merasa sabar, ia membalap bagaikan terbang. Senja membayang ketika Mameling tertinggal jauh di belakang dan mulai memasuki ibukota Singasari yang juga disebut Kutaraja. Berdebar-debar Wirota Wiragati mendapati keadaan di tapal batas kotaraja. Penyerbuan yang dilakukan Kediri benar-benar menyisakan keadaan yang sangat mengerikan. Rumahrumah menjadi bangkai, hangus seutuhnya atau hangus sebagian. Tidak hanya rumah yang membangkai, manusia juga membangkai. Di sepanjang jalan yang dilewati bau busuk itu menguar, tentu berasal dari mayat-mayat. “Biadab!” letupnya. Tarikan napas yang amat berat dan dalam itu berasal dari penyesalannya yang luar biasa. Ia menyesal telah memutuskan meninggalkan Singasari dan ternyata tidak terlibat dan berbuat apa pun ketika prahara itu datang. Wirota Wiragati melepas ikat kepalanya dan membiarkan rambut panjangnya terurai.