Banjir Bandang [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH KEPERAWATAN BENCANA MANAJEMEN DAN PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR BANDANG



DISUSUN OLEH KELOMPOK 2/ 7B : 1. Novita Sari 2. Evi Fatimah Rusdiyah 3. Juliatik Ragil Yhusnain 4. Sirriyatul Maula 5. Nevy Putri A 6. Nadia Ameliawati 7. Dina Pratya N 8. Fyan Ramdan G 9. Serli Mei A 10. Imroatul Mahmudah 11. Ganda Putra K 12. Candra Arya D 13. Vandarina Dwi M 14. Inas Nada A 15. Setia Cholifa N 16. Yunita Nurmajidah 17. Farrah Fatati 18. Windha Setyo O 19. Firda Fitri A



(1130017041) (1130017042) (1130017043) (1130017044) (1130017045) (1130017049) (1130017051) (1130017053) (1130017054) (1130017059) (1130017060) (1130017061) (1130017062) (1130017067) (1130017068) (1130017069) (1130017076) (1130017077) (1130017078)



FASILITATOR : Priyo mukti PW, S.Kep., M.Kep. NPP. 1301837 PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN & KEBIDANAN UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA 2020



KATA PENGANTAR Puji Syukur atas kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmat – Nya sehingga penulis dapat meyelesaikan makalah yang berjudul “Manajemen dan Penanggulangan Bencana Banjir Bandang” Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini. Akhir kata kami berharap semoga makalah ini bermanfaat untuk masyarakat dan dapat memberikan inspirasi terhadap pembaca.



Surabaya, 18 November 2020



Penyusun



i



DAFTAR ISI Kata Pengantar



i



Daftar Isi



ii



BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang



1



1.2 Rumusan Masalah



2



1.3 Tujuan Penulisan



3



1.4 Manfaat Penulisan



4



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1



Definisi Banjir Bandang



5



2.2



Konsep Banjir Bandang



5



2.3



Penyebab Banjir Bandang



7



2.4



Klasifikasi Banjir Bandang



8



2.5



Pencegahan Banjir Bandang



10



2.6



Peralatan Pencegahan Banjir Bandang



11



2.7



Mitigasi Banjir Bandang



12



2.8



Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana Banjir



17



2.9



Manajemen Air Bersih dan Sanitasi Air



21



2.10 Manajemen Pengendalian Penyakit Menular



28



2.11 Manajemen Kesehatan Jiwa



37



2.12 Manajemen Kesehatan Reproduksi



44



2.13 Manajemen Gizi



81



2.14 Manajemen Obat dan Perbekalan



90



2.15 Manajemen Rumah Sakit Lapangan



93



2.16 Manajemen Informasi Penanggulangan Krisis Akibat Bencana



96



BAB 3 PENUTUP 3.1 Simpulan



102



3.2 Saran



102



DAFTAR PUSTAKA



ii



BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia ( 2001) bencana adalah peristiwa/ kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan ekologi, kerugian kehidupan manusia serta memburuknya kesehatan dan pelayanan kesehatan yang bermakna sehingaa memerlukan bantuan luar biasa dari pihak luar. Jenis jenis banjir menurut penyebabnya di indonesia, banjir adalah sebuah bencana alam yang mudah terjadi, hal ini karena letak indonesia pada daerah tropis yang memungkinkan curah hujan yang tinggi setiap tahunnya, banjir di indonesia terbagi menjadi beberapa jenis yaitu : banjir bandang, banjir Hujan Ekstrim, Banjir Luapan Sungai, banjir kiriman, Banjir ROB, banjir Hulu Banjir menjadi bencana alam paling mematikan dari awal Januari 2020 hingga Agustus 2020. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat lebih dari 100 jiwa meninggal akibat banjir dan 17 lainnya hilang. Tak hanya mematikan, banjir merupakan bencana alam yang dominan terjadi hingga Agustus 2020. BNPB mencatat 726 kejadian



banjir yang



mengakibatkan lebih dari 2,8 juta mengungsi sampai dengan 30 Agustus 2020. Banjir masih melanda wilayah di Tanah Air meskipun sudah memasuki bulan kedelapan, seperti banjir di Kabupaten Agam, Sumatera Barat pada Minggu (30/8).



Banjir



menjadi



salah



satu



bencana



hidrometeorologi



yang



mendominasi kejadian bencana hingga Agustus. Banjir mengakibatkan kerugian pada sektor perumahan rumah hingga ratusan ribu unit, dengan rincian rusak berat 4.581 unit, rusak sedang 2.784, rusak ringan 9.833 dan terendam 540.739. Sedangkan infrastuktur fasilitas umum, kerusakan fasilitas pendidikan 496 unit, peribadatan 581, kesehatan 112, perkantoran 109 dan jembatan 299. Dalam kurun Januari hingga Agustus 2020, BNPB mengidentifikasi 1.927 kejadian bencana alam. Dari jumlah tersebut, 99 persen merupakan bencana hidrometerologi, seperti banjir, tanah longsor, banjir bandang, angin puting beliung dan kekeringan. Jumlah kejadian bencana tersebut mengakibatkan 290 orang meninggal dunia dan hilang, 421 mengalami luka-luka dan 3,8 juta mengungsi ( BNPB.2020). 1



Banjir yang terjadi di wilayah sempit, kecepatan air tinggi, dan berlangsung cepat dan jumlah air sedikit. Banjir ini biasanya terjadi di pemukiman dekat hulu sungai. Terjadinya banjir ini biasanya karena tingginya debit air yang mengalir, sehingga alirannya sangat deras dan bisa berdampak destruktif. Banjir adalah peristiwa terbenamnya daratan yang biasanya kering karena peningkatan volume air yang diakibatkan dari tingginya curah hujan, meluapnya air sungai atau laut, dan pecahnya bendungan. Banjir bandang adalah banjir yang terjadi secara tiba-tiba karena terisinya air pada daerah yang tanahnya kering /sukar meresap air ketika hujan turun, air sukar meresap ke dalam tanah dan akhirnya terjadi banjir bandang. Kejadian bencana biasanya diikuti dengan timbulnya korban manusia maupun



kerugian



harta



benda.



Terdapatnya



korban



manusia



akan



menyebabkan kerawanan status kesehatan pada masyarakat yang terkena bencana dan masyarakat yang berada disekitar daerah bencana. Salah satu kendala yang sering dijumpai dalam upaya penanggulangan bencana adalah kurangnya sumber daya manusia kesehatan yang dapat difungsikan dalam penanggulangan krisis akibat bencana. sehingga upaya penanggulangan menjadi terhambat, 1.2 Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang dapat dirumuskan yaitu : 1. Apa Definisi banjir bandang ? 2. Bagaimana Konsep Banjir bandang ? 3. Apa Penyebab Banjir Bandang ? 4. Apa Saja Klasifikasi Banjir Bandang ? 5. Bagaimana Pencegahan Banjir Bandang ? 6. Apa Saja Peralatan untuk Mencegah Banjir Bandang ? 7. Bagaimana Mitigasi Bencana Banjir Bandang ? 8. Bagaimana Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana Banjir ? 9. Bagiamana Manajemen Air Bersih dan Sanitasi saat Bencana ? 10. Bagiamana Manajemen Pengendalian Penyakit Mnenular saat Bencana ? 11. Bagiamana Manajemen Kesehatan Jiwa saat Bencana ? 12. Bagiamana Manajemen Kesehatan Reproduksi saat Bencana ?



2



13. Bagiamana Manajemen Gizi saat Bencana ? 14. Bagiamana Manajemen Obat dan Perbekalan saat Bencana ? 15. Bagiamana Manajemen Rumah Sakit Lapangan saat Bencana ? 16. Bagiamana Manajemen Informasi Penanggulangan Krisis akibat Bencana? 1.3 Tujuan Penulisan 1. Tujuan Umum Mengetahui dan memahami tentang manajeman dan penanggulangan bencana banjir bandang 2. Tujuan Khusus a. Mngetahui Definisi Banjir Bandang b. Memahami Konsep Banjir Bandang c. Mengetahui Penyebab Banjir Bandang d. Mengetahui Klasifikasi Banjir Bandang e. Memahami Pencegahan Banjir Bandang f. Mengetahui Peralatan untuk Mencegah Banjir Bandang g. Memahami Mitigasi Bencana Banjir Bandang h. Memahami Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana Banjir i. Memahami Manajemen Air Bersih dan Sanitasi saat Bencana j. Memahami Manajemen Pengendalian Penyakit Mnenular saat Bencana k. Memahami Manajemen Kesehatan Jiwa saat Bencana l. Memahami Manajemen Kesehatan Reproduksi saat Bencana m. Memahami Manajemen Gizi saat Bencana n. Memahami Manajemen Obat dan Perbekalan saat Bencana o. Memahami Manajemen Rumah Sakit Lapangan saat Bencana p. Memahami Manajemen Informasi Penanggulangan Krisis akibat Bencana



3



1.4 Manfaat 1. Bagi Penulis Memperoleh pengetahuan tentang Manajeman dan Penanggulangan Bencana Banjir Bandang serta meningkatkan keterampilan dan wawasan. 2. Bagi Pembaca Memperoleh dan menambah wawasan mengenai Manajeman dan Penanggulangan Bencana Banjir Bandang 3. Bagi FKK Bahan masukan bagi calon perawat dalam meningkatan pengetahuan tetang Keperawatan bencana Manajeman dan peanggulanganya.



4



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Banjir Bandang BNPB, UU nomor 24 tahun 2007, menyebutkan banjir bandang adalah banjir yang datang secara tiba-tiba dengan debit air dan kecepatan yang besar serta disebabkan terbendungnya aliran sungai pada alur sungai. National Weather Service Retrieved, mendefinisikan banjir bandang merupakan banjir dengan kecepatan yang tepat pada suatu wilayah dataran rendah, yang sifatnya mencuci sungai, danau atau lembah. Kementrian PU Dan JICA 2012 menuliskan bahwa banjir bandang adalah banjir yang tiba-tiba yang umumnya terjadi di dataran rendah dan diakibatkan oleh hujan deras terus - menerus.  Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, banjir bandang adalah banjir di daerah permukaan rendah yang terjadi akibat hujan yang turun terusmenerus dan muncul secara tiba-tiba. Banjir bandang terjadi saat penjenuhan air terhadap tanah di wilayah tersebut berlangsung dengan sangat cepat hingga tidak dapat diserap lagi. Air yang tergenang lalu berkumpul di daerah-daerah dengan permukaan rendah dan mengalir dengan cepat ke daerah yang lebih rendah. (BNPB, 2012) 2.2 Konsep Banjir Bandang Banjir Bandang Banjir bandang (flash flood) adalah penggenangan akibat limpasan keluar alur sungai karena debit sungai yang membesar tiba-tiba melampaui kapasitas aliran, terjadi dengan cepat melanda daerahdaerah rendah permukaan bumi, di lembah sungai-sungai dan cekungan-cekungan dan biasanya membawa debris dalam alirannya. Banjir bandang dibedakan dari banjir oleh waktu berlangsungnya yang cepat dan biasanya kurang dari enam jam. dan menyapu lahan yang dilandanya dengan kecepatan aliran yang sangat besar hampir tanpa peringatan yang cukup Tinggi permukaan gelombang banjir bandang dapat berkisar 3 – 6 meter dengan membawa debris dan sangat berbahaya yang akan melanda hampir semua yang dilewatinya Hujan yang menimbulkan banjir bandang dapat memicu terjadinya longsoran lereng dan tebing yang menimbulkan bencana aliran debris yang akan terangkut oleh banjir bandang tersebut.



5



Akhir-akhir ini di Indonesia menunjukkan gejala semakin meningkatnya gejala bencana hidrometeorologi yaitu bencana yang diakibatkan oleh kondisi meteorologi dan kondisi hidrologi seperti angin puting beliung, badai, banjir, hujan ekstrim atau hujan dengan intensitas tinggi dalam waktu yang pendek. Secara umum banjir adalah suatu kejadian dimana air didalam saluran meningkat dan melampaui kapasitas daya tampungnya. Terdapat bermacam banjir yaitu banjir hujan ekstrim, banjir kiriman, banjir hulu, banjir rob, dan banjir bandang. Setiap jenis banjir tersebut memiliki karakteristik yang khas. Banjir bandang adalah kejadian banjir yang singkat dalam waktu sekitar 6 jam yang disebabkan oleh hujan lebat, bendungan jebol, tanggul jebol. Banjir bandang ini dikarakterisasikan dengan cepatnya kenaikan muka air sungai/saluran. Dalam proses kejadian banjir bandang, longsor adalah yang pertama terjadi yang dipicu oleh terjadinya hujan, selanjutnya banjir bandang merupakan kejadian berikutnya sebagai kelanjutan dari kejadian longsor (Larsen et.al., 2001). Dampak ekonomi dari bencana banjir bandang adalah menimbulkan kerusakan dan kehilangan harta benda sangat tinggi secara masif dan cepat, terutama terhadap bangunan rumah tinggal (hilang karena hanyut dan rusak), infrastruktur seperti jembatan dan jalan yang memerlukan biaya besar untuk rehabilitasinya. Selain itu kerusakan bangunan infrastruktur dapat mengisolasi suatu kawasan pemukiman, akibatnya biaya untuk evakuasi dan pengiriman bantuan menjadi sulit dan mahal. Kehilangan mata pencaharian dalam jangka yang cukup lama menyebabkan kelumpuhan ekonomi masyarakat yang terkena banjir bandang tersebut. Banjir bandang merupakan banjir yang sifatnya cepat dan pada umumnya membawa material tanah (berupa lumpur), batu, dan kayu. Akibat dari kecepatan aliran banjir yang disertai dengan material tersebut, maka biasanya banjir bandang ini sifatnya sangat merusak dan menimbulkan korban jiwa pada daerah yang dilalui disebabkan tidak sempatnya dilakukan evakuasi pada saat kejadian, dan kerusakan pada bangunan terjadi karena gempuran banjir yang membawa material. Kejadian banjir bandang di Indonesia menunjukkan tren yang meningkat. Seringnya wilayah Indonesia terjadi gempabumi telah menyebabkan struktur



6



kohesi batuan dan lapisan tanah mudah longsor. Guncangan gempa menyebabkan lapisan batuan vulkanik muda mengalami retakan sehingga mudah longsor. Hal ini terlihat di Wasior, dimana hampir separo bukit runtuh sehingga membendung sungai di hulu (Syamhudi, 2012). Bahkan saat musim kemarau pun, beberapa wilayah terjadi banjir bandang akibat pengaruh cuaca ekstrem dari siklon tropis di utara Indonesia. 2.3 Penyebab banjir bandang Pada umumnya banjir bandang disebabkan oleh salah satu dari kejadiankejadian di bawah ini : 1. Hujan lebat Hujan lebat yang bergerak lamban dan jatuh pada suatu daerah aliran sungai yang tidak terlalu luas, dan runoffnya terkonsentrasi dengan cepat ke dalam alur sungai pematusnya. Hujan tropik yang lebat, berlangsung cepat pada daerah yang sudah jenuh oleh jatuhnya hujan sebelumnya, atau mempunyai kapasitas resap yang kecil dan runoffnya cepat terkonsentrasi ke dalam alur sungai pematusnya. Karena besarnya debit dan kecepatan alirannya banjir bandang dapat mengangkut bebatuan, lumpur yang dierosinya dari tebing maupun deposit sedimen pada dasar alur dan debris lain seperti batang pepohonan yang tercerabut, dan akan menyapu daerah yang dilandanya, merusak lahan pertanian, menghancurkan jembatan dan rumah-rumah bahkan sering menimbulkan korban jiwa. 2. Rusaknya DAM Banjir bandang dapat juga terjadi akibat runtuhnya timbunan dam alami yang membendung alur sungai, disusul dengan tumpahnya ke hilir volume air yang tadinya terbendung olehnya. Dam alami terbentuk oleh tersumbatnya aliran alur sungai oleh material longsoran tebing sungai yang jatuh ke dalamnya bersamaan dengan batang pepohonan. Dam alami khususnya terjadi pada penyempitan alur walaupun tidak selalu terjadi di lokasi tersebut Pada kejadian ini banjir bandang dapat berlangsung cepat dalam beberapa menit tanpa tanda-tanda yang jelas sebelumnya.



Banjir



bandang ini terbentuk pada alur produksi dan alur transportasi yang tidak



7



begitu luas kira-kira dengan maksimum luas 2000 hektar pada sebuah sistem sungai.



Dampak kerusakan akan diderita oleh penduduk yang



hidup dan tinggal di daerah rawan bencana banjir bandang yaitu di sepanjang pangkal alur sedimentasi di bawah titik apex, dan juga mungkin lebih ke hulu pada alur transportasi. 3. Rusak / pecahnya tanggul Banjir bandang juga dapat terjadi pada daerah bantaran ruas sungai aluvial oleh pecahnya tanggul pelindung pada saat terjadi aliran dengan elevasi di atas bantaran sungai, karena suatu penyebab. atau gagalnya sebuah bendung buatan. Banjir bandang tipe ini dapat mengakibatkan bencana dahsyat. (Mulyanto dkk, 2012) 2.4 Klasifikasi Banjir 1. Banjir Air



Banjir air merupakan banjir yang sering terjadi. Penyebab banjir air antra lain meluapnya air di danau, selokan, sungai, atau aliran air lainnya sehingga mengakibatkan air tersebut naik serta menggenangi daratan. Pada umumnya banjir air disebabkan oleh hujan secara terus-menerus sehingga aliran air tidak dapat menampung air yang berlebih. 2. Banjir Lumpur



Banjir lumpur merupakan banjir yang mirip dengan banjir bandang namun lumpur tersebut keluar dari dalam bumi sehingga menggenangi daratan. Lumpur tersebut biasanya mengandung bahan dan gas kimia berbahaya.



8



3. Banjir Bandang



Banjir bandang merupakan banjir yang mengangkut air dan lumpur. Banjir bandang merupakan sala satu banjir yang sangat berbahaya dibandingkan dengan banjir air biasa, hal ini karena sulit untuk menyelamatkan diri. Banjir bandang memiliki daya rusak yang tinggi dan dapat menghayutkan benda-benda. Banjir bandang biasanya terjadi di daerah pegunungan yang tanah pegunungan tersebut seolah longsor disebabkan air hujan yang ikut terbawa ke daratan yang lebih rendah. Banjir bandang dapat menghanyutkan pepohonan yang berukuran besar yang dapat merusak pemukiman warga. 4. Banjir Lahar



Banjir lahar merupakan banjir yang disebabkan oleh lahar gunung berapi yang masih aktif saat meletus atau erupsi. Dari proses erupsi tersebut, gunung mengeluarkan lahar dingin yang menyebar ke lingkungan sekitarnya. Air dalam sungai atau danau dapat mengalami pendangkalan sehingga menyebabkan banjir. 5. Banjir Cileunang



Banjir cileunang merupakan banjir yang mirip dengan banjir air namun perbedaannya adalah banjir tersebut disebabkan hujan yang sangat



9



deras yang mempunyai debit air yang banyak. Terjadinya banjir cileunang sangatlah cepat, karena hujan yang terjadi sangat deras sehingga banjir dapat terjadi dalam waktu singkat. 6. Banjir Rob (Laut Pasang)



Banjir rob merupakan banjir yang diakibatkan oleh pasang air laut. Banjir rob melanda kota muara baru di Jakarta. Pasang air laut akan menahan air sungai yang menumpuk, hingga menjebol tanggul dan akhirnya menggenangi daratan. 2.5 Pencegahan Banjir Bandang Berikut ini ada beberapa cara untuk penanggulangan bencana banjir : 1. Membuat fungsi sungai dan selokan dapat bekerja dengan baik. Sungai dan selokan adalah tempat aliran air sehingga jangan sampai tercemari dengan sampah atau menjadi tempat pembuangan sampah yang akhirnya menyebabkan sungai dan selokan menjadi tersumbat. 2. Melakukan reboisasi tanaman khususnya jenis tanaman dan pepohonan yang dapat menyerap air dengan cepat. 3. Memperbanyak dan menyediakan lahan terbuka untuk membuar lahan hijau untuk penyerapan air. 4. Berhenti



membangun



perumahan



di



tepi



sungai,



karena



akan



mempersempit sungai dan sampah rumah juga akan masuk sungai. 5. Berhenti membangun gedung-gedung tinggi dan besar, karena akan menyebabkan bumi ini akan semakin sulit menahan bebanya dan membuat permukaan tanah turun. 6. Hindari penebangan pohon-pohon di hutan secara liar dan juga di bantaran sungai, karena pohon berperan penting untuk pencegahan banjir. Sebenarnya menebang pohon tidak dilarang bila kita akan menanam kembali pohon tersebut dan tidak membiarkan hutan menjadi gundul.



10



Dengan melakukan cara penanggulangan banjir tersebut kita dapat mencegah bencana banjir. Karena selama ini pemerintah pun telah bekerja keras untuk mencegah terjadinya banjir, tetapi semua masyarakat pun harus mendukung agar semua bisa teratasi dengan baik. 2.6 Peralatan Pencegahan Banjir Bandang Berikut peralatan yang digunakan untuk pencegahan banjir bandang menurut Kemenkes RI (2017) : 1. Pembatas perimeter sementara Teknologi tersebut ditemukan pertama kali pada 1988. Penerapan teknologi ini menggunakan air untuk mengendalikan banjir. Caranya ialah dengan memasang tembok yang terdiri dari dua tabung karet yang terhubung oleh satu lubang yang lebih besar. 2. Bendungan Bendungan merupakan tempat untuk menampung air yang berfungsi juga untuk mengurangi debit air yang melintas lewat sungai. Bendungan dibuat dengan ukuran yang sangat besar sehingga kapasitas menampung air hujan lebih besar sehingga bisa menghambat banjir. 3. Self-closing flood barrier Teknologi ini dirancang untuk melindungi orang dan bangunan dari banjir yang berasal dari hujan deras, angin topan atau salju yang meleleh dengan cepat. Penerapan teknologi ini adalah dengan mendirikan sebuah tembok yang mengelilingi sebuah bangunan dan bisa naik-turun sesuai dengan tingkat air yang ada. 4. Pengelola Sungai Dibeberapa negara, sungai yang rawan banjir sudah dipasang tanggul, pematang, waduk, dan bendungan yang bisa digunakan untuk mencegah luapan air sungai 5. Pengelolaan Pantai Banjir juga bisa terjadi karena air pasang laut. Sehingga sistem pertahanan banjir juga dibuat mulai dar garis pantai.



11



2.7 Mitigasi Bencana Banjir Mitigasi bencana merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana sesuai dengan Undang-undang



No.



24



Tahun



2007



tentang



penanggulangan



bencana.Pengelolaan bencana alam seperti banjir rob dapat dilakukan dengan tindakan mitigasi. Tindakan mitigasi memiliki 2 sifat, yaitu mitigasi pasif serta mitigasi aktif. Mitigasi pasif lebih cenderung bersifat non fisik, contohnya kerangka hukum/perundangan,



insentif-disinsentif,



pendidikan



dan



pelatihan,



peningkatan kesadaran masyarakat, Rencana Tata Ruang, pengembangan kelembagaan, dan lain-lain.Sedangkan mitigasi aktif, merupakan suatu upaya yang sifatnya fisik, seperti pembuatan bangunan waduk, tanggul, perkuatan struktur bangunan, dan lain-lain. 2.7.1 Macam – macam mitigasi Mitigasi bencana banjir dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu mitigasi sebelum, saat dan sesudah banjir. 1. Mitigasi sebelum terjadi banjir Ada beberapa hal yang harus kita lakukan sebelum terjadinya bencana banjir sebagai tahap kesiap-siagaan, diantaranya : a. Melatih diri dan anggota keluarga hal-hal yang harus dilakukan apabila terjadi bencana banjir. b. Mendiskusikan dengan semua anggota keluarga tempat di mana anggota keluarga akan berkumpul usai bencana terjadi. c. Mempersiapkan tas siaga bencana yang berisi keperluan yang dibutuhkan seperti: Makanan kering seperti biskuit, air minum, kotak kecil berisi obat-obatan penting, lampu senter dan baterai cadangan, Lilin dan korek api, kain sarung, satu pasang pakaian dan jas hujan, surat berharga, fotokopi tanda pengenal yang dimasukkan kantong plastik, serta nomor-nomor telepon penting.Kegiatan yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko banjir:



12



1) Buat sumur resapan bila memungkinkan. 2) Tanam lebih banyak pohon besar Membentuk kelompok masyarakat pengendali banjir. 3) Membangun atau menetapkan lokasi dan jalur evakuasi bila terjadi banjir. 4) Membangun



sistem



peringatan



dini



banjir.-Menjaga



kebersihan saluran air dan limbah. 5) Memindahkan tempat hunian ke daerah bebas banjir atau tinggikan bangunan rumah hingga batas ketinggian banjir jika memungkinkan. 6) Mendukung upaya pembuatan kanal atau saluran dan bangunan 7) Pengendali banjir dan lokasi evakuasi. 8) Bekerjasama dengan masyarakat di luar daerah banjir untuk menjaga daerah resapan air. 2. Mitigasi saat terjadi banjir Untuk mengatasi bencana banjir bandang beberapa tindakan mitigasi dapat dilakukan yaitu dengan pemetaan daerah bahaya, sistem peringatan dini, kesiapsiagaan masyarakat, dan peramalan hidrometeorologi. Berikut masing-masing penjelasannya (Adi, 2013).



a. Sistem Peringatan Dini Sebagaimana diketahui bahwa kejadian banjir bandang pada umumnya adalah dipicu oleh intensitas hujan yang tinggi. Oleh karena itu upaya memprediksi untuk mengetahui intensitas hujan tinggi menjadi sangat krusial. Untuk itu selain dibutuhkan stasiun cuaca dibeberapa tempat yang mewakili, juga diperlukan sarana data satelit cuaca dan radar cuaca sehingga dapat diketahui intensitas hujan secara spasial dan temporal, dan dapat membantu meningkatkan akuarasi prediksi hujan. Selain prediksi hujan juga harus diketahui respons hujan terhadap terjadinya limpasan air permukaan yang akan berpotensi



13



menjadi banjir. Diketahuinya tipologi kesehatan Daerah Aliran Sungai (DAS) akan sangat membantu mengetahui limpasan air permukaan hingga menjadi banjir didalam sungai. Untuk itu dapat dilakukan dengan menggunakan formula sederhana seperti persamaan rasional, persamaan Manning atau dengan model hidrologi yang lebih kompleks namun juga memerlukan data yang lebih rinci seperti HEC1, HECRAS, SOBEK, MIKE11. Setelah itu diidentifikasi apakah daerah tebing sungai di bagian hulu merupakan zona rawan longsor. Dalam penerapan sistem peringatan dini yang lebih maju BPPT mengembangkan sistem peralatan peringatan dini, tidak hanya dengan menempatkan peralatan sensor hujan saja, namun peralatan pemantauan dilengkapi dengan sensor tambahan yaitu akselerometer, geophone, pengukur kelembaban tanah, dan bentang



kawat/kabel.



Sensor



kelembaban



tanah



untuk



mengetahui kemungkinan potensi longsor pada tanah yang jenuh air, sensor akselerometer untuk mengetahui perubahan kemiringan lereng sebagai indikasi awal terjadinya longsor, sensor geophone untuk mendeteksi adanya getaran atau suara gemuruh yang pada umumnya terjadi dalam banjir bandang, sedangkan bentangan kawat/kabel yang ditempatkan diatas sungai adalah untuk mengetahui kejadian banjir bandang yang biasanya membawa material kayu dan batu akan melewati bentangan kawat sehingga kawat/kabel akan terputus dan mengirim sinyal ke pusat informasi. b. Identifikasi Zona Bahaya Untuk mengidentifikasi zona bahaya banjir bandang, maka diperlukan pemetaan daerah bahaya dengan pendekatan karakteristik geomorfologi dan hidrologi. Dalam penggunaan peta dasar skala 1:25.000 walaupun dapat mengidentifikasi beberapa kenampakan geomorfologi, namun penggunaan foto udara dengan skala yang lebih besar akan mampu menganalisis



14



keterkaitan dengan informasi ketinggian banjir yang pernah terjadi (yang pada umumnya ketinggian banjir dalam cm sampai dengan



beberapa



meter).



Kombinasi



karakterisasi



data



geomorfologi (sebaran kipas aluvial, migrasi saluran, erosi dan deposisi sedimen) serta data aliran sungai (tinggi air dan kecepatan air), maka dengan menggunakan kriteria energi air (kemampuan air membawa material sungai seperti batu besar, batu sedang, hingga kerikil), kecepatan air, dan ketinggian air, maka dapat dideliniasi zona bahaya banjir bandang. c. Kesiapsagaan Masyarakat Hubungan antara hidrometeorologi dan ilmu sosial adalah sangat krusial dalam menghadapi banjir bandang, dengan demikian selain pemahaman tentang hidrometeorologi maka masalah sosial masyarakat tidak kalah pentingnya dalam menghadapi banjir bandang. Hal ini terutama berkaitan dengan response terhadap peringatan banjir bandang. Pada dasarnya dalam menghadapi bahaya banjir maupun banjir bandang, terdapat 3 cara pendekatan yaitu: 1) Memperkuat diri, yaitu dengan membuat tanggul penahan, memperkuat bangunan pengendali banjir dll. 2) Menghindari daerah bahaya, yaitu dengan mencari daerah yang relatif aman misalnya tidak tinggal didaerah dataran rendah atau di daerah dataran banjir. 3) Hidup



harmoni



dengan



bahaya,



yaitu



dengan



cara



mengetahui perilaku bencana sehingga dapat beradaptasi. Dalam setiap kejadian bencana, maka yang pertama diperlukan adalah kemampuan masyarakat itu sendiri untuk menghadapinya, karena masyarakat ditempat kejadian yang pertama



merasakan



meningkatkan



dampaknya,



pemberdayaan



sehingga



masyarakat



upaya-upaya



menjadi



sangat



penting agar tangguh menghadapi bencana. Dalam menghadapi banjir masyarakat memerlukan empat kemampuan yaitu:



15



1) Kemampuan untuk mengantisipasi ancaman bahaya banjir. 2) Kemampuan menghindar atau melawan bahaya banjir. 3) Kemampuan untuk mengadaptasi bencana dan dampak yang ditimbulkan. 4) Kemampuan untuk pulih kembali secara cepat paska kejadian bencana. Dapat disimpulkan bahwa ciri masyarakat yang tangguh dalam menghadapi bencana adalah masyarakat yang mampu menghindar, beradaptasi dan melenting kembali, dimana untuk itu diperlukan empat strategi yaitu 1) Menjauhkan masyarakat dari bencana. 2) Menjauhkan bencana dari masyarakat. 3) Hidup harmoni dengan risiko bencana. 4) Menumbuh kembangkan dan mendorong kearifan lokal masyarakat dalam menghadapi bencana. Untuk mewujudkan hal itu diperlukan



waktu dan



pembinaan yang panjang dan yang penting adalah kesadaran yang terinternalisasi dalam sebuah komunitas sedemikian rupa sehingga menghasilkan kesiapsiagaan dan kapasitas yang tinggi dalam menghadapi bencana banjir. 3. Mitigasi setelah bencana banjir Beberapa tindakan yang dapat dilakukan sesudah terjadi bencana banjir bandang : a. Hindari air banjir, karena kemungkinan terkontaminasi zat-zat berbahaya dan ancaman kesetrum b.



Waspada dengan instalasi listrik



c. Hindari air yang bergerak d. Hindari area yang airnya baru saja surut karena jalan bisa saja keropos dan ambles e. Hindari lokasi yang masih terkena bencana, kecuali jika pihak yang berwenang membutuhkan sukarelawan



16



f. Kembali kerumah sesuai dengan perintah dari pihak yang berwenang g. Tetap diluar gedung/rumah yang masih dikelilingi air h. Hati-hati saat memasuki bangunan karena ancaman kerusakan yang tidak terlihat seperti pondasi i. Perhatikan kesehatan dan keselamatan keluarga dengan mencuci tangan menggunakan sabun dan air bersih jika anda terkena banjir j. Buang makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi air banjir k. Dengarkan berita atau informasi mengenai kondisi air, serta dimana mendapatkan bantuan perumahan/shelter, pakaian dan makanan. l. Dapatkan perawatan kesehatan di fasilitas kesehatan terdekat m. Bersihkan tempat tingal dan lingkungan rumah dari sisa-sisa kotoran setelah banjir n. Lakukan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) o. Terlibat dalam kaporitisasi gali p. Terlibat dalam perbaikan jamban dan saluran pembuangan air limbah (SPAL). 2.8 Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana Banjir Kesiapsiagaan terhadap bencana banjir dapat dikelompokkan kedalam dua tahap yaitu sebagai berikut: Langkah-langkah yang dilakukan sebelum kejadian banjir, antara lain: 1. Membuat peta wilayah Dengan adanya peta kita dapat dengan mudah memperkirakan wilayah yang akan tertimpa bencana banjir, sekaligus sebagai dasar pegangan kita untuk merencanakan kegiatan kesiapsiagaan dalam penanggulangan bencana banjir, misalnya, menentukan lokasi pos kesehatan pada daerah rawan banjir.



17



2. Koordinasi lintas program dan lintas sektor Kegiatan awal dalam kesiapsiagaan dengan menyelenggarakan pertemuan dari tingkat atas sampai tingkat bawah. Pertemuan lintas program diselenggarakan di instansi masingmasing dengan melibatkan seluruh program terkait, sedangkan pertemuan lintas sektor diselenggarakan di bawah koordinasi Bakornas PBP di tingkat pusat, Satkorlak PBP di tingkat provinsi, Satlak PBP di tingkat Kabupaten/Kota dan Satgas di tingkat Kecamatan. 3. Pelatihan terpadu Pelatihan dilakukan dengan melibatkan petugas dari berbagai sector antara lain dari Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Dinas Kimpraswil, TNI, Polri, PMI, Dinas Kebersihan, Hansip, SAR dan instansi terkait lainnya yang terlibat



dalam



penanggulangan



bencana



banjir.



Dalam



pelatihan



penanggulangan masalah kesehatan akibat banjir disertai dangan kegiatan gladi posko dan gladi lapangan. Pada latihan gladi lapangan di tingkat puskesmas diperagakan upaya triase, P3K dan cara merujuk korban. Gladi lapangan melibatkan lintas sektor dan masyarakat untuk meningkatkan kerjasama teknis operasional di lapangan. 4. Peningkatan penyuluhan kesehatan masyarakat Himbauan kepada masyarakat untuk mempersiapkan pengungsian apabila terjadi banjir antara lain menyiapkan peralatan dan kebutuhan pribadi, makanan dan minuman, dokumen penting, dan peralatan rumah tangga lainnya. 5. Pembentukan Tim kesehatan dan mobilisasi tenaga kesehatan Dalam penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana banjir perlu dipersiapkan tenaga kesehatan secara khusus (bisa berenang, mendayung, mengoperasionalkan perahu karet dan keterampilan lainnya) dan memobilisasi tenaga tersebut ke lokasi bencana. 6. Menyiapkan bahan sanitasi (kaporit, aquatab, PAC, kantong sampah, desinfektan, dll) Jumlah bahan sanitasi disesuaikan dengan jumlah sarana air bersih yang tercemar. Data dapat diperoleh dari pengalaman kejadian sebelumnya.



18



7. Peran masyarakat dalam penanggulangan bencana banjir Mengikutsertakan anggota masyarakat dalam proses penanggulangan bencana banjir dan dampaknya. Sementara itu, peran yang dapat dilakukan masyarakat antara lain: a. Sebelum banjir: 1) Kerja bakti membersihkan saluran air 2) Menutup dan menimbun benda-benda yang dapat menjadi sarang nyamuk. 3) Membuang sampah pada tempatnya, dll. b. Saat banjir: 1) Terlibat dalam pendistribusian bantuan. 2) Membantu proses evakuasi korban. 3) Ikut mendirikan tenda pengungsian, pembuatan dapur umum, dll. c. Sesudah banjir: 1) Membersihkan tempat tinggal dan lingkungan rumah. 2) Terlibat dalam kaporisasi sumur gali. 3) Terlibat dalam perbaikan jamban dan saluran pembuangan air limbah (SPAL), dll. Dalam kegiatan tersebut peran petugas kesehatan adalah sebagai fasilitator. Upaya tersebut merupakan penjabaran dari konsep safe community yang didefinisikan sebagai berikut:”safe community adalah keadaan aman dan sehat di masyarakat dalam seluruh siklus kehidupan sejak dalam kandungan sampai dengan lanjut usia yang diwujudkan oleh masyarakat,



dari



masyarakat



untuk



masyarakat



dengan



fasilitasi



pemerintah”. 8. Menyiapkan sarana transportasi pelayanan kesehatan (perahu karet, ambulans, dll) Sarana transportasi harus disesuaikan dengan keadaan wilayah yang terkena banjir. Terkait dengan sarana diperlukan juga tenaga yang terlatih untuk menggunakan sarana tersebut.



19



9. Menyiapkan sarana komunikasi Untuk mempercepat penyampaian informasi diperlukan sarana yang memadai dan dapat dioperasionalkan dalam situasi banjir. 10. Menyiapkan perlengkapan lapangan Untuk mendukung pelayanan kesehatan diperlukan peralatan yang setiap saat dapat dipindahkan dan digunakan. Peralatan tersebut meliputi tenda, velbet, genset, tandu, petromak,tali, dll. 11. Menyiapkan obat, alat kesehatan dan bahan habis pakai Tiap puskesmas harus menyediakan obat, alat kesehatan dan bahan habis pakai yang terkait dengan masalah kesehatan akibat banjir. Pendistribusian obat dilakukan sebelum musim hujan dan menempatkan obat di lokasi yang tidak banjir. 12. Menyiapkan identitas untuk pos kesehatan dan petugas Identitas diperlukan untuk memudahkan masyarakat mengetahui tempat pelayanan kesehatan dan mengenali petugas kesehatan. Identitas pos kesehatan dapat berupa spanduk, poster dll. Sementara itu identitas petugas kesehatan dapat berupa baju seragam, rompi, topi. Langkah-langkah yang dilakukan saat kejadian banjir, antara lain: 1. Penyelenggaraan piket banjir di setiap posko. 2. Pengoperasian sistem peringatan banjir (flood warning system) 3. Pemantauan tinggi muka air dan debit air pada setiap titik pantau. 4. Melaporkanhasil pemantauan pada saat mencapai tingkat siaga kepada dinas/instasi terkait, untuk kemudian diinformasikan kepada masyarakat sesuai dengan Standar Prosedur Operasional Banjir. 5. Peramalan banjir dapat dilakukan dengan cara: a. Analisa hubungan hujan dengan banjir (rainfall –runoff relationship), b. Metode perambatan banjir (flood routing), c. Metode lainnya 6. KomunikasiSistim komunikasi digunakan untuk kelancaran penyampaian informasi dan pelaporan, dapat menggunakan radio komunikasi, telepon, faximili, dan sarana lainnya.



20



7. Gawar/Pemberitaan



Banjir



(Pemberitaan)Gawar/pemberitaan



banjir



dilakukan dengan sirine, kentongan, dan/atau sarana sejenis lainnya dari masing-masing pos pengamatan berdasarkan informasi dari posko banjir. 2.9 Manajemen Air Bersih dan Sanitasi 2.9.1 Kualitas Air Bersih Ketika Bencana Kebutuhan air bersih menjadi sangat penting pada wilayah bencana, khususnya pada daerah pengungsian. Dari aspek kesehatan, kecukupan air bersih sangat penting, misalnya terkait dengan upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit diare. Penyakit diare merupakan penyakit menular yang sangat potensial terjadi di daerah pengungsian maupun wilayah bencana. Selain karena keterbatasan akses air bersih, penyebaran penyakit ini juga sangat erat terkait dengan masalah perilaku dan masalah sanitasi lain. Mengingat pentingnya air bersih pada wilayah bencana, maka harus dapat dipastikan akses air bersih yang memadai untuk mampu berperan memelihara kesehatan pengungsi. Masalah lain juga harus selalu diperhatikan jika akses ini sudah memadai, yaitu berbagai upaya pengawasan dan perbaikan kualitas air bersih dan sarana sanitasi di wilayah bencana. Tujuan utama perbaikan dan pengawasan kualitas air adalah untuk mencegah timbulnya risiko kesehatan akibat penggunaan air yang tidak memenuhi persyaratan. Pada tahap awal kejadian bencana atau pengungsian ketersediaan air bersih bagi pengungsi perlu mendapat perhatian, karena tanpa adanya air bersih sangat berpengaruh terhadap kebersihan dan mening-katkan risiko terjadinya penularan penyakit seperti diare, typhus, scabies dan penyakit lainnya. 1. Standar Minimum Kebutuhan Air Bersih a. Prioritas pada hari pertama atau awal terjadinya bencana / pengungsian, kebutuhan air bersih yang harus disediakan bagi pengungsi adalah 5 liter/orang/hari. Jumlah ini dimaksudkan hanya untuk memenuhi kebutuhan minimal, seperti masak, makan dan minum.



21



b. Pada hari kedua dan seterusnya harus segera diupayakan untuk meningkatkan volume air sampai sekurang kurangnya 15–20 liter/orang/hari. Volume sebesar ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan minum, masak, mandi dan mencuci. Bilamana hal ini tidak terpenuhi, sangat besar potensi risiko terjadinya penularan penyakit, terutama penyakit berbasis lingkungan. c. Hari berikutnya: 20 liter/org/hari. d. Bagi fasilitas pelayanan kesehatan dalam rangka melayani korban bencana dan pengungsian, volume air bersih yang perlu disediakan di Puskesmas atau rumah sakit: 50 liter/org/hari. 2. Sumber Air Bersih dan Pengolahannya a. Bila sumber air bersih yang digunakan untuk pengungsi berasal dari sumber air permukaan (sungai, danau, laut, dan lain-lain), sumur gali, sumur bor, mata air dan sebagainya, perlu segera dilakukan pengamanan terhadap sumber-sumber air tersebut dari kemungkinan terjadinya pencemaran, misalnya dengan melakukan



pemagaran



ataupun



pemasangan



papan



pengumuman dan dilakukan perbaikan kualitasnya. b. Bila sumber air diperoleh dari PDAM atau sumber lain yang cukup jauh dengan tempat pengungsian, harus dilakukan pengangkutan dengan mobil tangki air. c. Untuk pengolahan dapat menggunakan alat penyuling air (water purifier/water treatment plant). 3. Pendistribuasian Air Bersih Berdasarkan Sumbernya a. Air Permukaan (sungai dan danau) 1) Diperlukan pompa untuk memompa air ke tempat pengolahan air dan kemudian ke tangki penampungan air di tempat penampungan pengungsi. 2) Area disekitar sumber harus dibebaskan dari kegiatan manusia dan hewan.



22



b. Sumur gali 1) Lantai sumur harus dibuat kedap air dan dilengkapi dengan SPAL (saluran pembuangan air limbah). 2) Bilamana mungkin dipasang pompa untuk menyalurkan air ke tangki-tangki penampungan air. c. Sumur Pompa Tangan (SPT) 1) Lantai sumur harus dibuat kedap air dan dilengkapi dengan SPAL (saluran pembuangan air limbah). 2) Bila lokasinya agak jauh dari tempat penampungan pengungsi harus disediakan alat pengangkut seperti gerobak air dan sebagainya. d. Mata Air. 1) Perlu dibuat bak penampungan air untuk kemudian disalurkan dengan pompa ke tangki air. 2) Bebaskan area sekitar mata air dari kemungkinan pencemaran. 4. Tangki Penampungan Air Bersih di Tempat Pengungsian Tempat penampungan air di lokasi pengungsi dapat berupa tangki air yang dilengkapi dengan kran air. Untuk mencegah terjadinya antrian yang panjang dari pengungsi yang akan mengambil air, perlu diperhatikan jarak tangki air dari tenda pengungsi minimum 30 meter dan maksimum 500 meter. Untuk keperluan penampungan air bagi kepentingan sehari-hari keluarga



pengungsi,



sebaiknya



setiap



keluarga



pengungsi



disediakan tempat penampungan air keluarga dalam bentuk ember atau jerigen volume 20 liter. 5. Perbaikan Kualitas Air Bersih Pada situasi bencana dan pengungsian umumnya sulit memperoleh air bersih yang sudah memenuhi persyaratan, oleh karena itu apabila air yang tersedia tidak memenuhi syarat, baik dari segi fisik maupun bakteriologis, perlu dilakukan dengan membuang bahan pencemar, serta melakukan beberapa hal berikut:



23



a. Melakukan penjernihan air secara cepat apabila tingkat kekeruhan air yang ada cukup tinggi. b. Melakukan



desinfeksi



terhadap



air



yang



ada



dengan



menggunakan bahan-bahan desinfektan untuk air. c. Melakukan pemeriksaan kadar sisa klor jika air dikirim dari PDAM. d. Melakukan pemeriksaan kualitas air secara berkala pada titiktitik distribusi Penjernihan Air Cepat dengan menggunakan Alumunium Sulfat (Tawas) a. Sediakan air baku yang akan dijernihkan dalam ember 20 liter. b. Tuangkan campuran tawas yang sudah digerus sebanyak ½ sendok teh dan langsung diaduk perlahan-lahan selama 5 menit sampai larutan merata. c. Diamkan selama 10–20 menit sampai terbentuk gumpalan/flok dari kotoran/ lumpur dan biarkan mengendap. Pisahkan bagian air yang jernih yang berada di atas endapan, atau gunakan selang plastik untuk mendapatkan air bersih yang siap digunakan. d. Bila akan digunakan untuk air minum agar terlebih dahulu direbus



sampai



mendidih



atau



didesinfeksikan



dengan



aquatabs. Penjernihan Air Cepat dengan menggunakan Poly Aluminium Chloride (PAC) Lazim disebut penjernihan air cepat dengan polimer dari garam alumunium chlorida yang digunakan sebagai koagulan dalam proses penjernihan air sebagai pengganti alumunium sulfat. a. Kemasan PAC terdiri dari: 1) Cairan



yaitu



koagulan



yang



berfungsi



untuk



menggumpalkan kotoran/lumpur yang ada di dalam air 2) Bubuk putih yaitu kapur yang berfungsi untuk menetralisir pH



24



b. Cara Penggunaan: 1) Sediakan air baku yang akan dijernihkan dalam ember sebanyak 100 liter. 2) Bila air baku tersebut pH nya rendah (asam), tuangkan kapur (kantung bubuk putih) terlebih dahulu agar pH air tersebut menjadi netral (pH = 7). Bila pH air baku udah netral tidak perlu digunakan lagi kapur. 3) Tuangkan larutan PAC ke dalam ember yang berisi air lalu aduk perlahan-lahan selama 5 menit sampai larutan tersebut merata. 4) Setelah diaduk merata biarkan selama 5-10 menit sampai terbentuk



gumpalan/flok



dari



kotoran/lumpur



dan



mengendap. Pisahkan air yang jernih dari endapan atau gunakan selang plastik untuk mendapatkan air bersih yang siap digunakan. 5) Bila akan digunakan sebagai air minum agar terlebih dahulu direbus sampai mendidih atau didesinfeksi dengan aquatabs. Desinfeksi Air Proses desinfeksi air dapat menggunakan kaporit (Ca(OCl)2) atau aquatabs (Aqua tablet) Desinfeksi dengan kaporit (Ca(OCl)2) a. Air yang telah dijernihkan dengan tawas atau PAC perlu dilakukan desinfeksi agar tidak mengandung kuman patogen. Bahan desinfektan untuk air yang umum digunakan adalah kaporit 70% klor aktif. b. Kaporit adalah bahan kimia yang banyak digunakan untuk desinfeksi air karena murah, mudah di dapat dan mudah dalam penggunaannya. c. Banyaknya kaporit yang dibutuhkan untuk desinfeksi 100 liter air untuk 1 KK (5 orang) dengan sisa klor 0,2 mg/liter adalah sebesar 71,43 mg/hari (72 mg/hari).



25



Desinfeksi dengan Aquatabs a. Sesuai namanya aquatabs berbentuk tablet, setiap tablet aquatabs (8,5 mg) digunakan untuk mendesinfeksi 20 liter air bersih, dengan sisa klor yang dihasilkan 0,1-0,15 mg/liter. b. Setiap 1 KK (5 jiwa) dibutuhkan 5 tablet aquatabs per hari untuk mendesinfeksi 100 liter air bersih. 6. Pengawasan Kualitas Air Bersih Pengawasan kualitas air dapat dibagi menjadi beberapa tahapan, antara lain: a. Pada Awal Distribusi Air 1) Air yang tidak dilakukan pengolahan awal, perlu dilakukan pengawasan mikrobiologi, tetapi untuk melihat secara visual tempatnya, cukup menilai ada tidaknya bahan pencemar di sekitar sumber air yang digunakan 2) Perlu dilakukan tes kekeruhan air untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan pengolahan awal c 3) Perlu dilakukan test pH air, karena untuk desinfeksi air memerlukan proses lebih lanjut dimana pH air sangat tinggi (pH > 5) 4) Kadar klor harus tetap dipertahankan agar tetap 2 kali pada kadar klor di kran terakhir (rantai akhir), yaitu 0,6-1 mg/liter air. b. Pada Distribusi Air Tahap penyaluran air, seperti di mobil tangki air perlu dilakukan pemeriksaan kadar sisa klor. c. Pada Akhir Distribusi Pada tangki penampungan air, bila air tidak mengandung sisa klor lagi perlu dilakukan pemeriksaan bakteri coliform. Sementara itu pemeriksaan kualitas air secara berkala yang perlu dilakukan antara lain meliputi: a. Pemeriksaan sisa klor Pemeriksaan dilakukan beberapa kali sehari pada setiap tahapan distribusi untuk air yang melewati pengolahan.



26



b. Pemeriksaan kekeruhan dan pH Pemeriksaan



dilakukan



mingguan



atau



bilamana



terjadi



perubahan cuaca, misalkan hujan. c. Pemeriksaan bakteri e-coli tinja Pemeriksaan dilakukan mingguan disaat KLB diare dan periode emergency dan pemeriksaan dilakukan bulanan pada situasi yang sudah stabil dan pada periode pasca bencana. 2.9.2 Sarana Sanitasi Ketika Bencana 1. Pembuangan Kotoran Langkah langkah yang diperlukan: a. Pada awal terjadinya pengungsian perlu dibuat jamban umum yang dapat menampung kebutuhan sejumlah pengungsi. Contoh jamban yang sederhana dan dapat disediakan dengan cepat adalah jamban kolektif (jamban jamak). Pada awal pengungsian: 1 (satu) jamban dipakai oleh 50 – 100 org. Pemeliharaan terhadap jamban harus dilakukan dan diawasi secara ketat dan lakukan desinfeksi di area sekitar jamban dengan menggunakan kapur, lisol dan lain-lain. b. Pada hari hari berikutnya setelah masa emergency berakhir, pembangunan jamban darurat harus segera dilakukan dan 1 (satu) jamban disarankan dipakai tidak lebih dari 20 orang. 1 (satu) jamban dipakai oleh 20 orang. 1) Jamban yang dibangun di lokasi pengungsi disarankan: 2) Ada pemisahan peruntukannya khusus laki laki dan wanita. 3) Lokasi maksimal 50 meter dari tenda pengungsi dan minimal 30 meter dari sumber air. 4) Konstruksi jamban harus kuat dan dilengkapi dengan tutup pada lubang jamban agar tidak menjadi tempat berkembang biak lalat.



27



2. Sanitasi Pengelolaan Sampah Kegiatan yang dilakukan dalam upaya sanitasi pengelolaan sampah, antara lain: a. Pengumpulan Sampah 1) Sampah yang dihasilkan harus ditampung pada tempat sampah keluarga atau sekelompok keluarga. 2) Disarankan menggunakan tempat sampah yang dapat ditutup dan mudah dipindahkan/diangkat untuk menghindari lalat serta bau, untuk itu dapat digunakan potongan drum atau kantung plastik sampah ukuran 1 m x 0,6 m untuk 1 – 3 keluarga. 3) Penempatan tempat sampah maksimum 15 meter dari tempat hunian. 4) Sampah di tempat sampah tersebut maksimum 3 (tiga) hari harus sudah diangkut ke tempat pembuangan akhir atau tempat pengumpulan sementara. b. Pengangkutan Sampah Pengangkutan sampah dapat dilakukan dengan gerobak sampah atau dengan truk pengangkut sampah untuk diangkut ke tempat pembuangan akhir. c. Pembuangan Akhir Sampah Pembuangan akhir sampah dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti pembakaran, penimbunan dalam lubang galian atau parit dengan ukuran dalam 2 meter lebar 1,5 meter dan panjang 1 meter untuk keperluan 200 orang. Perlu diperhatikan bahwa lokasi pembuangan akhir harus jauh dari tempat hunian dan jarak minimal dari sumber air 10 meter. 2.10 Manajemen Pengendalian Penyakit Menular Setiap bencana terutama pada bencana banjir bandang yang terjadi akan menimbulkan



banyak



permasalahan



seperti,



kelumpuhan



ekonomi,



kerusakan lingkungan dan juga menimbulkan permasalahan berbagai penyakit. Masalah kesehatan berawal dari kurangnya air bersih yang berakibat pada buruknya kebersihan diri dan sanitasi lingkungan yang



28



menyebabkan perkembangan beberapa penyakit menular (Depkes RI, 2011). Penyakit menular merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian besar, mengingat potensi munculnya KLB penyakit menular pada periode paska bencana yang besar sebagai akibat banyaknya faktor risiko yang memungkinkan terjadinya penularan bahkan KLB penyakit. Permasalahan penyakit menular ini disebabkan diantaranya oleh : 1. Kerusakan lingkungan dan pencemaran. 2. Jumlah pengungsi yang banyak, menempati suatu ruangan yang sempit, sehingga harus berdesakan. 3. Pada umumnya tempat penampungan pengungsi tidak memenuhi syarat kesehatan. 4. Ketersediaan air bersih yang seringkali tidak mencukupi jumlah maupun kualitasnya. 5. Diantara para pengungsi banyak ditemui orang-orang yang memiliki risiko tinggi, seperti balita, ibu hamil, berusia lanjut, disable. 6. Lokasi pengungsian berada pada daerah endemis penyakit menular, dekat sumber pencemaran, dan lain-lain (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015). Beberapa jenis penyakit yang sering timbul di pengungsian dan memerlukan tindakan pencegahan karena berpotensi menjadi KLB antara lain: campak, diare, cacar, malaria, varicella, ISPA, tetanus, penyakit menular spesifik lokal dan sebagian lainnya. Penyakit menular spesifik lokal di Indonesia cukup bervariasi berdasarkan daerah Kabupaten/Kota, seperti penyakit hepatitis, leptospirosis, dan penyakit lainnya. Penyakit ini dideteksi keberadaannya apabila tersedia data awal kesakitan dan kematian di suatu daerah (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015). Upaya pencegahan dan pengendalian penyakit menular antara lain seperti mengidentifikasi penyakit menular potensial KLB berdasarkan jenis bencana,



mengidentifikasi



faktor



resiko,



upaya



pencegahan



dan



pengendalian atau menimalisir faktor resiko dan kalkulasi kebutuhan logistik untuk penatalaksanaan kasus kalkulasi kebutuhan tenaga medis atau perawat untuk penatalaksanaan kasus (Yuantari & Eko H., 2020).



29



Tabel. Manajemen Penyakit Menular Spesifik No .



Penyakit



Gejala



Pengobatan



1.



ISPA



a. Semua gejala pilek, batuk berat dan demam. b. Pneumonia: disertai nyeri dada dan diantara tulang belikat



a. Pengobatan segera penyakit flu/batuk (parasetamol dan obat flu) b. Pengobatan komplikasi pneumonia (contoh: trimochazole, penicillin, dan amphicillin)



2.



Campak



a. Demam, bercak di mulut makopapuler, bercak kemerahan di kulit, mata sensitif terhadap cahaya



a. Pengobatan dengan antibiotic (ampicillin, amoxicillin, dan cotrimoxazole) b. Perawatan dan pencegahan buta senja dan otitis media c. Penanganan diare dengan rehidrasi



Pencegahan



a. Surveilans dan penyuluhan b. Penyediaan fasilitas sanitasi (air untuk mencuci tangan dan sabun) c. Pencegahan malnutrisi untuk mempertahankan kekebalan alami tubuh d. Jauhkan asap hasil pemasakan dapur umum terhadap pengungsian a. Penyediaan air yang saniter untuk keperluan sanitasi (mandi, cuci) b. Penyediaan fasilitas sanitasi (air untuk mencuci tangan dan sabun) c. Pencegahan malnutrisi untuk mempertahankan kekebalan alami tubuh



Pengendalian



a. Perbaikan ventilasi b. Kontrol kepadatan pengungsian c. Kontrol asap hasil pemasakan



a. Pemberian vaksinasi. Ring vaksinasi pada sasaran di luar daerah KLB campak b.Pemberian vitamin A (kapsul vitamin A) dan supplementasi pada orang dewasa



30



3.



Malaria



a. Demam tinggi menggigil, nyeri otot&tulang, sakit kepala, kadang muntah dan diare



4.



Diare



a. Feses cair (dengan/ tanpa darah dan lendir), BAB >3x/hari, dapat disertai demam dan nausea



5.



Hepatitis



a. Anoreksia berat, mual, muntah,



a. Pengobatan kemoprofilaksis a. Pemberantasan vektor a. Meminimalisir tempat b. Pemberian obat kloroquin penularan penyakit perindukan nyamuk fosfat b. Penggunaan pelindung (pengelolaan (aralen) diri (kelambu, tirai, lingkungan) kassa untuk b. Indoor residual c. Supplementasi Fe, asam jendela/ventilasi) spraying folat c. Pengamatan vektor c. Pemberian abate pada secara berkala kolam yang menggenang a. Pencegahan dan penanganan a. Penyediaan air yang a. Klorinasi sumber air dehidrasi saniter untuk keperluan minum/air bersih b. Pemberian makanan secara sanitasi (mandi, cuci) b. Penggunaan b. Penyediaan air minum berkelanjutan (termasuk pengolahan air yang yang memenuhi standar ASI) selama episode diare terstandarisasi kesehatan c. Monitoring kondisi pasien (misal: sistem filtrasi c. Penyediaan jamban yang d. Pemberian obat diare bertahap) memenuhi standar (contoh: norit, kaplet obat minimal kesehatan untuk c. Pengemasan dan diare) distribusi makanan pencegahan penularan segera penyakit d. Jauhkan jarak dapur umum dari toilet umum a. Tidak ada perawatan a. Perhatikan kebersihan a. Vaksinasi untuk spesifik penjamah makanan hepatitis A



31



6.



Demam Tifoid



dehidrasi, dan penurunan berat badan selama beberapa minggu



b. Pastikan penderita banyak beristirahat c. Perhatikan status gizi penderita untuk membantu pemulihan imunitas penderita



a. Demam tinggi, kadang delirium/gangguan kesadaran, nausea/rasa penuh di lambung, konstipasi/diare



a. Penderita dapat ditangani dengan pemberian antibiotika kloramfenikol atau tiamfenikol b. Penderita harus beristirahat total untuk mencegah keparahan dan komplikasi penyakit c. Perawatan segera untuk penderita yang sudah



b. Penyediaan fasilitas sanitasi (air untuk mencuci tangan dan sabun) c. Pemasakan makanan dengan memperhatikan implementasi cara penanganan makanan dengan benar d. Pencegahan malnutrisi untuk mempertahankan kekebalan alami tubuh e. Pemisahan makanan mentah dan masak a. Perhatikan kebersihan penjamah makanan b. Penyediaan fasilitas sanitasi (air untuk mencuci tangan dan sabun) c. Pemasakan makanan dengan memperhatikan implementasi cara penanganan makanan



b. Klorinasi sumber air minum/air bersih c. Jauhkan jarak dapur umum dari toilet umum



a. Kontrol kepadatan pengungsian b. Klorinasi sumber air minum/air bersih c. Pengemasan dan distribusi makanan segera d. Jauhkan jarak dapur umum dari toilet umum



32



mengalami komplikasi (contoh: perforasiusus)



7.



Tuberkulosis



8.



Infeksi Cacing



a. Lemah, batukbatuk dalam jangka waktu yang lama b. Pemeriksaan dahak menunjukkan BTA (+)



a. Diagnosis dan pengobatan sesegera mungkin pada penderita b. Vaksinasi BCG (biasanya pada bayi baru lahir, namun revaksinasi tidak dianjurkan) c. Pemeriksaan kesehatan untuk screening orang yang memiliki kontak dengan penderita (terutama pada anak dengan usia dibawah 6 tahun) a. Perut kembung, mual, a. Pemberian dosis muntah, sakit perut, tunggal dari nafsu makan menurun, antihelminthic b. Diare (albendazole,



dengan benar d. Pencegahan malnutrisi untuk mempertahankan kekebalan alami tubuh e. Pemisahan makanan mentah dan masak a. Penyediaan fasilitas sanitasi (air untuk mencuci tangan dan sabun) b. Pencegahan malnutrisi untuk mempertahankan kekebalan alami tubuh



a. Perbaikan ventilasi b. Kontrol kepadatan pengungsian



a. Perhatikan kebersihan a. Filtrasi sumber air penjamah makanan bersih yang digunakan b. Penyediaan fasilitas b. Penggunaan APD alas sanitasi (air untuk



33



9.



Leptospirosis



10.



Tetanus



c. Gatal di dubur pada malam hari d. Infeksi ringan a. Demam tinggi, sakit kepala, menggigil, nyeri otot, mual, jaundice/ kulit kuning, mata merah, diare



levamisole, mebendazole, atau pyrantel) a. Pengobatan dengan antibiotika baik oral/intravena seperti doxycycline/ penicillin pada awal infeksi



a. demam, disfungsi sistem syaraf, berkeringat b. leher kaku c. kesulitan menelan d. mengeluarkan air liur



a. Perawatan luka dengan benar b. Spesifik profilaksis setelah/ sebelum mendapat luka



mencuci tangan dan kaki sabun) c. Pemasakan makanan a. Penggunaan APD a. Pengendalian (sepatu dan sarung hewan pengerat tangan) terutama saat (terutama tikus) bencana banjir dengan memasang b. Perbaikan lingkungan perangkap (limbah dan sampah) c. Penyuluhan a. Penyuluhan a. Luka terbuka b. Imunisasi tetanus dalam tertusuk paku/ diberikan 2 kali interval benda tajam segera minimal 1 bulan diberi c. PHBS Anti Tetnus Serum



(Sumber : Depkes, RI., 2007)



34



Upaya pemberantasan penyakit menular pada umumnya diselenggarakan untuk mencegah KLB penyakit menular pada periode pasca bencana. Selain itu, upaya tersebut juga bertujuan untuk mengidentifikasi penyakit menular yang



perlu



diwaspadai



pada



kejadian



bencana



dan



pengungsian,



melaksanakan langkah-langkah upaya pemberantasan penyakit menular, dan melaksanakan upaya pencegahan kejadian luar biasa (KLB) penyakit menular. Pelaksanaan ruang lingkup pencegahan penyakit menular saat bencana vektor yang perlu mendapatkan perhatian di lokasi pengungsi diantaranya : 1. Pengendalian Vektor Pengendalian



vektor



penyakit



menjadi



prioritas



dalam



upaya



pengendalian penyakit karena potensi untuk menularkan penyakit sangat besar. Kebanyakan vektor yang mengganggu para pengungsi adalah lalat, nyamuk dan tikus.Pelaksanaan pengendalian vektor yang perlu mendapatkan perhatian di lokasi pengungsi adalah pengelolaan lingkungan,



pengendalian



dengan



insektisida,



serta



pengawasan



makanan dan minuman. Kegiatan pengendalian vektor dapat berupa penyemprotan, biological control, pemberantasan sarang nyamuk, dan perbaikan lingkungan. Pengendalian vektor dilakukan dari cara yang paling sederhana seperti perlindungan personal dan perbaikan rumah sampai pada langkah‐langkah yang lebih kompleks yang membutuhkan partisipasi dari para ahli pengendalian vektor. Ada beberapa upaya yang bisa dilakukan dalam pengawasan dan pengendalian vektor yaitu : a. Pembuangan sampah atau sisa makanan dengan baik b. Jika diperlukan maka bisa menggunakan insektisida c. Tetap menjaga kebersihan individu selama berada di lokasi pengungsian d. Penyediaan



Sarana



Pembuangan



Air



Limbah



(SPAL)



dan



pembuangan sampah yang baik e. Kebiasaan penanganan makanan secara higienis



35



2. Pengelolaan Lingkungan Pengendalian penyakit dilaksanakan dengan pengamatan penyakit (surveilans), promotif, preventif dan pelayanan kesehatan secara kuratif (penanganan kasus) yang dilakukan di lokasi bencana termasuk di pengungsian. Baik yang dilaksanakan di sarana pelayanan kesehatan yang masih ada maupun di pos kesehatan yang didirikan dalam rangka penanggulangan bencana. Tujuan pengendalian penyakit pada saat bencana adalah mencegah kejadian luar biasa (KLB) penyakit menular potensi wabah, seperti penyakit diare, ISPA, malaria, DBD, penyakit penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (P3DI), keracunan dan mencegah penyakit penyakit yang spesifik lokal (Yuantari & Eko H., 2020). 3. Vaksinisasi Vaksin yang paling banyak digunakan dalam kondisi darurat adalah vaksin campak, meningitis, polio, dan demam kuning. Imunisasi campak sebaiknya diberikan sesegera mungkin pada kondisi bencana tanpa menunggu adanya kasus jika cakupan imunisasi kurang dari 90%. Polio bukan penyakit mematikan dalam kondisi darurat bencana tetapi penyakit ini berhubungan dengan rendahnya sanitasi dan air bersih. Sebagai prioritas pada situasi pengungsian, bagi semua anak usia 6 bulan – 15 tahun menerima vaksin campak dan vitamin A dengan dosis yang tepat. 4. Masalah umum kesehatan di Pengungsian Beberapa jenis penyakit yang sering timbul di pengungsian memerlukan tindakan pencegahan. Contoh penyakit tersebut antara lain, diare, cacar, penyakit pernafasan, malaria, meningitis, tuberkulosa, tifoid, cacingan, scabies, xeropthal-mia, anemia, tetanus, hepatitis, IMS/HIV-AIDS. (Depkes RI, 2007) 5. Manajemen Kasus Semua anak yang terkena penyakit menular selayaknya dirawat agar terhindar dari risiko penularan termasuk kematian. (Depkes RI, 2007)



36



6. Surveilans Kegiatan surveilans saat bencana merupakan kegiatan pengamatan secara terus menerus terhadap penyakit yang berpotensi KLB/wabah yang diarahkan untuk mewaspadai dan mengantisipasi keadaan yang mempengaruhi



kejadian



kesehatan/



kematian



atau



pencemaran



makanan/lingkungan maupun pencemaran akibat radiasi bahan radio aktif dan kimia di lokasi bencana dan pengungsian serta pengumpulan, pengolahan



dan



analisis



data



kuantitatif



dan



kualitatif



serta



interpretasi/deseminasi terhadap informasi yang dihasilkan saat bencana (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015). Secara khusus, upaya tersebut ditujukkan untuk menyediakan informasi kematian dan kesakitan penyakit potensial wabah yang terjadi di daerah bencana; mengidentifikasikan sedini mungkin kemungkinan terjadinya peningkatan jumlah penyakit yang berpotensi menimbulkan KLB; mengidentifikasikan kelompok risiko tinggi terhadap suatu penyakit tertentu; mengidentifikasikan daerah risiko tinggi terhadap penyakit tertentu; dan mengidentifikasikan status gizi buruk dan sanitasi lingkungan. Pada pelaksanaan kegiatan surveilans bila menemukan kasus penyakit menular, semua pihak termasuk LSM kemanusiaan di pengungsian harus melaporkan kepada Puskesmas/Pos Yankes di bawah koordinasi Dinas Kesehatan Kabupaten sebagai penanggung jawab pemantauan dan pengendalian. Pelayanan kesehatan dapat disediakan dengan menugaskan relawan dan pekerja kesehatan pemerintah yang berada di pengungsian atau meluaskan kapasitas dari fasilitas pelayanan kesehatan terdekat. Fokus dari pelayanan kesehatan harus tertuju kepada pencegahan penyakit menular yang spesifik dan pengadaan sistem informasi kesehatan. (Depkes RI, 2011) 2.11 Manajemen Kesehatan Jiwa Bencana yang terjadi silih berganti di berbagai wilayah di Indonesia, tidak juga menyadarkan kita pentingnya melakukan persiapan menghadapi bencana. Di seluruh Indonesia jumlah profesional kesehatan mental tidak tersebar merata, sebagai gambaran, jumlah psikiater di Indonesia ada kurang



37



lebih 500 orang, 75% dari jumlah tersebut bekerja dan tinggal di Pulau Jawa, dan sebagian besar (80%) berdiam di ibukota Jakarta. Perbandingan ini untuk penduduk Indonesia adalah 1 psikiater untuk kurang lebih 400 ribu orang, dengan penyebaran yang tidak merata. Untuk tenaga yang lain seperti perawat psikiatri, psikolog dan pekerja sosial perbandingannya juga tidak jauh berbeda. Bencana alam begitu beruntun menimpa Indonesia. Tanah longsor, banjir, gempa bumi hingga tsunami menimpa berbagai daerah dari Indonesia bagian timur sampai barat. Begitu beruntunnya bencana- bencana tersebut sehingga pemulihan suatu daerah yang terkena bencana alam belum selesai atau bahkan belum tertangani dengan baik sudah disusul adanya bencana di daerah



lainnya.



Begitu



banyak



korban



manusia



berjatuhan



yang



menyebabkan seorang kehilangan keluarga atau sanak sudara, selain itu tak terhitung kerugian material yang terjadi yang menyebabkan suramnya masa depan mereka. Mereka yang masih hidup pastilah mengalami trauma psikis yang tak mudah mereka lupakan atau bahkan menghantui mereka sepanjang hidupnya. Untuk mengatasi keadaan tersebut mereka memerlukan adaptasi secara luar biasa. Dalam upaya adaptasi inilah mereka mengalami distres mental yang dapat terjadi secara singkat sampai berkepanjangan yang bermanifestasi sebagai gangguan mental dari berbagai jenis diagnosis yang harus ditangani dengan segera. 2.11.1 Fase-fase di dalam penanganan kedaruratan akut, antara lain: 1. Fase kedaruratan akut a. Intervensi masalah psikososial dini dilakukan bersama dengan tim lain yang terkait dimulai setelah 48 jam kejadian bencana. b. Intervensi kesehatan jiwa : 1) Menangani keluhan psikiatrik yang mendesak (misalnya keadaan yang membahayakan diri sendiri atau orang lain, psikosis, depresi berat, mania, epilepsi) di pos kesehatan. 2) Melaksanakan prinsip 'pertolongan pertama pada kelainan psikologik akut'



yaitu,



mendengarkan, menyatakan



38



keprihatinan,



menilai



kebutuhan,



tidak



memaksa



berbicara, menyediakan atau mengerahkan pendamping dari keluarga atau orang yang dekat, melindungi dari cedera lebih lanjut. 3) Tidak dianjurkan untuk memaksa orang untuk berbagi pengalaman pribadi melebihi yang akan dilakukan secara alami. 2. Fase rekonsolidasi a. Melanjutkan intervensi sosial yang relevan. b. Mengorganisasi kegiatan psikoedukasi yang menjangkau ke masyarakat untuk memberi pendidikan tentang ketersediaan pilihan pelayanan kesehatan jiwa. Dilakukan tidak lebih awal dari empat minggu setelah fase akut, beri penjelasan dengan hati-hati



tentang



perbedaan



psikopatologidan



distres



psikologik normal, dengan menghindari sugesti adanya psikopatologi yang luas dan menghindari istilah atau idiom yang membawa stigma. c. Mendorong dilakukannya cara coping mechanism yang positif yang sudah ada sebelumnya. Informasi itu harus menekankan harapan terjadinya pemulihan alamiah. d. Melatih petugas kemanusiaan lain dan pemuka masyarakat (misalnya kepala desa, guru dll.) dalam ketrampilan inti perawatan



psikologik



(seperti



'pertolongan



pertama



psikologik', dukungan emosional, menyediakan informasi, penenteraman yang simpatik, pengenalan masalah kesehatan mental



utama)



dukungan



untuk



masyarakat



meningkatkan dan



untuk



pemahaman



merujuk



orang



dan ke



puskesmas jika diperlukan. e. Melatih dan mensupervisi petugas pelayanan kesehatan dasar dalam pengetahuan dan ketrampilan dasar kesehatan jiwa (misalnya pemberian medikasi psikotropik yang tepat, “pertolongan pertama psikologi”, konseling suportif, bekerja



39



bersama keluarga, mencegah bunuh diri, penatalaksanaan keluhan somatik yang tak dapat dijelaskan, masalah penggunaan zat dan rujukan). f. Menjamin kesinambungan medikasi pasien psikiatrik yang mungkin tidak mempunyai akses terhadap medikasi selama fase kedaruratan akut. g. Melatih dan mensupervisi petugas masyarakat (misalnya petugas



bantuan,



konselor)



untuk



membantu



petugas



Pelayanan kesehatan dasar yang beban kerjanya berat. Petugas



masyarakat



paraprofesional,



atau



dapat



terdiri



profesional,



dari



relawan,



tergantung



keadaan.



Petugas masyarakat perlu dilatih dan disupervisi dengan baik dalam



berbagai



ketrampilan



inti:



penilaian



persepsi



individual, keluarga dan kelompok tentang masalah yang dihadapi, pertolongan pertama psikologik, menyediakan dukungan



emosional,



counseling),



konseling



manajemen



stres,



perkabungan 'konseling



(grief



pemecahan



masalah', memobilisasi sumber daya keluarga dan masyarakat serta rujukan. h. Bekerja sama dengan penyembuh tradisional (traditional healers)



jika



mungkin.



Dalam



beberapa



keadaan,



dimungkinkan kerja sama antara praktisi tradisional dan kedokteran. 2.11.2 Intervensi Psikososial Orang yang Terkena Bencana Berikut langkah-langkah intervensi psikososial terhadap mereka yang terkena bencana: 1. Selama fase emergensi (3 minggu pertama) 2. Menyediakan informasi yang sederhana dan mudah diakses pada daerah yang banyak jenazah 3. Tidak mengecilkan arti dari upacara pengurusan jenazah 4. Menyediakan pencarian keluarga untuk yang tinggal sendiri, orang lanjut usia dan kelompok rentan lainnya



40



5. Menganjurkan mereka membentuk kelompok-kelompok seperti, keagamaan, ritual dan sosio keagamaan lainnya 6. Menganjurkan



anggota



tim



lapangan



untuk



secara



akif



berpartisipasi selama masa duka cita 7. Menganjurkan kegiatan bermain untuk anak 8. Memberikan informasi tentang reaksi psikologi normal yang terjadi setelah bencana. Yakinkan mereka bahwa ini adalah normal, sementara, dan dapat hilang dengan sendirinya, dan semua akan merasakan hal yang sama 9. Tokoh agama, guru dan tokoh sosial lainnya harus terlibat secara aktif 10. Menganjurkan mereka untuk bekerja bersama-sama menjaga apa yang mereka butuhkan 11. Libatkan korban yang sehat dalam pekerjaan bantuan 12. Motivasi tokoh masyarakat and tokoh kunci lainnya untuk mengajak mereka dalam diskusi kelompok dan berbagi tentang perasaan mereka 13. Jamin distribusi bantuan secara tepat 14. Sediakan layanan “cara penyembuhan” yang dengan orang dan memperlihatkan sikap peduli terhadap setiap orang (misalnya, kelemahan atau minoritas) dari masyarakat. 2.11.3 Reaksi Psikologis Masyarakat yang Terkena Bencana Reaksi psikologis yang timbul pada masyarakat yang tertimpa bencana, antara lain: 1. Reaksi segera ( dalam 24 jam) a. Tegang, cemas dan panik b. Kaget, linglung, syok, tidak percaya c. Gelisah, bingung d. Agitasi, menangis, menarik diri e. Rasa bersalah pada korban yang selamat Reaksi ini tampak hampir pada setiap orang di daerah bencana dan ini dipertimbangkan sebagai Reaksi Alamiah



41



pada Situasi Abnormal, tidak membutuhkan intervensi psikologis khusus. 2. Reaksi terjadi dalam hari sampai minggu setelah bencana a. Ketakutan, waspada, siaga berlebihan b. Mudah tersinggung, marah, tidak bisa tidur c. Khawatir, sangat sedih d. Flashbacks berulang (ingatan terhadap peristiwa yang selalu datang berulang dalam pikiran) e. Menangis, rasa bersalah f. Kesedihan g. Reaksi positif termasuk pikiran terhadap masa depan h. Menerima bencana sebagai suatu Takdir i. Semua itu adalah reaksi alamiah Dan HANYA membutuhkan intervensi psikososial. 3. Terjadi kira-kira 3 minggu setelah bencana Reaksi yang sebelumnya ada dapat menetap dengan gejala seperti: a. Gelisah b. Perasaan panik c. Kesedihan yang mendalam dan berlanjut, pikiran pesimistik yang tidak realistik d. Tidak melakukan aktivitas keluar, isolasi, perilaku menarik diri e. Ansietas atau kecemasan dengan manifestasi gejala fiisk seperti palpitasi, pusing, mual, lelah, sakit kepala 2.11.4 Masalah Kesehatan Mental Akibat Bencana Alam Bencana alam yang bersifat mendadak dan menelan korban jiwa dan harta benda yang besar jumlahnya selalu diikuti masalah kesehatan mental pada sisa penduduk yang menjadi korban. Adapun masalah kesehatan mental setelah adanya bencana adalah: 1. Gangguan Jiwa Gangguan jiwa yang sering tampak setelah bencana, antara lain: a. Reaksi stres akut



42



b. Kehilangan dan Berduka c. Gangguan jiwa yang dapat diagnosis d. Penyalahgunaan zat dan alkohol e. Gangguan stres pasca trauma (Post-traumatic stress disorder (PTSD)) f. Kambuh/relaps gangguan jiwa yang sudah ada g. Penyakit psikosomatik 2. Gangguan Depres Gangguan depresi yang dialami oleh masyarakat yang tertimpa bencana, antara lain: a. Suasana hati (mood) yang depresif: perasaan sedih, menderita, mudah tersinggung atau gelisah b. Kehilangan minat dan rasa senang c. Berkurangnya tenaga, mudah lelah, menurunnya aktivitas d. Menurunnya konsentrasi dan perhatian terhadap tugas e. Berkurangnya rasa percaya diri dan rendahnya harga diri f. Rasa bersalah dan rasa tidak berguna g. Pandangan suram dan pesismistik terhadap masa depan h. Merusak diri atau usaha bunuh diri i. Gangguan tidur j. Berkurangnya libido dan nafsu makan 3. Gangguan Cemas Gangguan cemas yang muncul, antara lain: a. Ansietas biasanya tampak dengan gejala somatik, kognitif dan emosional b. Gangguan ansietas termasuk Gangguan Cemas Menyeluruh Gangguan Panik, Fobia sosial dan spesifik, Gangguan stres pasca trauma (post traumatic stress disorder (PTSD) c. Gejala dapat terjadi secara episodik atau berlanjut, mereka dapat muncul secara tiba-tiba tanpa sebab atau sebagai respon atas situasi tertentu.



43



4. Gangguan Stres Pascatraum Untuk gejala gangguan stres pascatrauma yang sering dialami korban bencana, antara lain: a. Pengalaman berulang terhadap peristiwa (misal dalam bentuk mimpi yang menakutkan) b. Menghindar dari hal yang dapat mengingatkan peristiwa c. Secara umum kurang responsif d. Berkurangnya minat e. Meningkatnya gangguan tidur dan buruknya konsentrasi 5. Gangguan Penyesuaian Gangguan penyesuaian adalah perasaan nyeri atau reaksi maladaptif untuk suatu stres yang spesifik dan terjadi dalam waktu 3 bulan dari waktu kejadian stres. Suatu kejadian stres berakhir, gejala biasanya hilang dalam waktu 6 bulan. 2.12 Manajemen Kesehatan Reproduksi 2.12.1 Konsep dasar kesehatan reproduksi Menurut UU No 36 tahun 2009 tentang kesehatan pasal 71 ayat 1, kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan fisik, mental dan sosial yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya baik pada laki-laki maupun perempuan.Dengan pengertian tersebut maka kesehatan reproduksi mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, yang mencakup keseluruhan siklus hidup manusia mulai sejak konsepsi hingga lanjut usia. Laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama terhadap akses dan pelayanan kesehatan reproduksi. Oleh karena itu, untuk dapat memenuhi hak reproduksi setiap individu, maka pelayanan kesehatan reproduksi harus



dilaksanakan



secara



berkesinambungan



dan



terpadu,



disesuaikan dengan usia individu dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.



44



2.12.2 Kesehatan reproduksi pada krisis kesehatan Kesehatan reproduksi merupakan hak asasi manusia, seperti hak asasi manusia lainnya. Untuk mewujudkan hak tersebut, penduduk yang terkena dampak bencana harus memiliki akses terhadap informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi yang memungkinkan setiap individu dapat bebas dari masalah kesehatan reproduksi. Pelayanan kesehatan reproduksi pada saat bencana seringkali tidak tersedia karena tidak dianggap sebagai prioritas, padahal selalu ada ibu hamil, ibu bersalin dan bayi baru lahir yang membutuhkan pertolongan. Pada saat bencana, bila pemberian pelayanan kesehatan reproduksi dilaksanakan sesegera mungkin, dapat mencegah meningkatnya kesakitan dan kematian ibu dan bayi baru lahir, mencegah terjadinya kekerasan seksual serta mencegah penularan infeksi HIV. Pelayanan kesehatan reproduksi akan selalu dibutuhkan dalam



setiap



situasi



dan



harus



selalu



tersedia.



Dengan



mengintegrasikan pelayanan kesehatan reproduksi ke dalam setiap respon penanggulangan bencana di bidang kesehatan, diharapkan kebutuhan pelayanan tersebut dapat terpenuhi. Pelayanan kesehatan reproduksi pada penanggulangan krisis kesehatan dilaksanakan melalui Paket Awal Pelayanan Minimum (PPAM) Kesehatan Reproduksi yang diselenggarakan sesegera mungkin pada awal bencana yaitu pada tanggap darurat krisis kesehatan untuk mencegah dampak lanjut krisis kesehatan. Sedangkan pada tahap prakrisis kesehatan dan pascakrisis kesehatan, pelayanan kesehatan reproduksi dilaksanakan melalui pelayanan kesehatan reproduksi komprehensif pada situasi normal Penerapan pelayanan kesehatan repro-duksi berdasarkan tahapan krisis kesehatan dapat digambarkan seperti pada tabel di bawah ini: Tahap Bencana Prakrisis kesehatan



Kegiatan Pembentukan tim kesehatan reproduksi, Pelatihan PPAM, Advokasi, Sosialisasi, Penyusunan Kebijakan, Penyusunan Pedoman, dll



45



Tanggap darurat krisis Penerapan Paket Pelayanan Awal kesehatan Minimum Kesehatan Reproduksi Pascakrisis kesehatan Perencanaan Kesehatan Reproduksi Komprehensif, Perbaikan fasilitas PONED dan PONEK, dll Untuk mewujudkan ketersediaan pelayan-an kesehatan reproduksi yang berkuali-tas terutama pada tanggap darurat krisis kesehatan, koordinasi lintas program dan sektor terkait serta keterlibatan masya-rakat di setiap tahap pelayanan tersebut sangat diperlukan, yaitu mulai dari penilaian, perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Meskipun sampai saat ini belum ada data dan laporan berapa jumlah ibu hamil di wilayah bencana di Indonesia, namun peng-alaman respon bencana sebelumnya menunjukkan bahwa dalam situasi bencana, selalu ada ibu yang melahirkan atau meng-alami komplikasi kehamilan seperti kasus seorang ibu melahirkan di posko pengungsian banjir bandang Lebak tahun 2020 yang dibantu dengan tenaga medis yang ada di posko.



Sumber: www.kbknews.id. Pelayanan kesehatan reproduksi pada tanggap darurat krisis kesehatan difokuskan pada beberapa hal di bawah ini: 1. Koordinasi Kesehatan Reproduksi Penerapan Paket Pelayanan Awal Minimum Kesehatan Reproduksi pada tanggap darurat krisis kesehatan perlu dikoordinir oleh seorang koordinator kesehatan reproduksi. Koordinator ini berperan penting untuk memastikan ketersediaan pelayanan dan menghindari kegiatan yang tidak efektif, efisien dan tumpang tindih. Akibat dari ketiadaan



46



koordinator



kesehatan



reproduksi



di



lapangan



dapat



menyebabkan penghamburan sumber daya manusia dan material yang tidak diperlukan. Contoh kasus: tidak adanya koordinator kesehatan reproduksi sesaat setelah gempa di salah satu daerah. Seorang dokter spesialis kebidanan dan kandungan yang seharusnya menolong ke-gawatdaruratan kebidanan berganti tugas mengarahkan mobil parkir masuk karena banyaknya pasien yang masuk ke rumah sakit tersebut.Keberadaan koordinator kesehatan re-produksi diperlukan sejak awal tanggap darurat krisis kesehatan. Adakalanya pe-nunjukan koordinator PPAM kesehatan reproduksi yang telah disiapkan pada tahap prakrisis menjadi korban dari bencana itu sendiri yang menyebabkan tidak mung-kin untuk melaksanakan tugasnya sesegera mungkin. Untuk itu dapat ditunjuk koordinator kesehatan reproduksi lain yang berasal dari satu wilayah atau dari wilayah terdekat atau apabila diperlukan dapat berasal dari pemerintah pusat. 2. Kekerasan Berbasis Gender (Gender Based Violence/GBV) Kekerasan berbasis gender (Gender Based Violence/GBV) rawan terjadi pada kondisi yang tidak stabil seperti pada situasi bencana, termasuk konflik, perang dan bencana alam. GBV berhubungan dengan status perempuan yang dianggap lebih rendah dalam suatu masyarakat sehingga rentan mengalami tindak kekerasan. Namun de-mikian, kekerasan tidak hanya terjadi pada perempuan, laki-laki dan anak laki-laki dapat juga menjadi kekerasan



penyintas sek-sual



kekerasan terutama



berbasis ketika



gender, mereka



termasuk mengalami



penyiksaan dan/atau penahanan. Ada berbagai bentuk kekerasan berbasis gender, seperti kekerasan fisik, kekeras-an psikis, kekerasan seksual, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kekerasan ekonomi. Pada situasi bencana, intervensi GBV difokuskan pada pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (Sexual Gender Based Violence/SGBV). Namun pada umumnya



47



kasus kekerasan berbasis gender yang terjadi pada situasi bencana jarang dilaporkan. Pada situasi bencana terjadi peningkatan risiko kekerasan berbasis gender karena: a. Sistem perlindungan sosial terganggu: keluarga yang terpisah, sistem keaman-an di lingkungan tempat tinggal yang tidak berjalan. b. Lemahnya aturan keamanan dan keselamatan pada saat terjadi konflik. c. Pengaturan tempat pengungsian dapat juga meningkatkan risiko terjadinya kekerasan seksual, misalnya pengaturan tenda, penempatan toilet dan fasilitas di tempat pengungsi yang tidak aman, mekanisme distribusi bantuan yang tidak memperhatikan kebutuhan kelompok rentan dll. d. Hilangnya pendapatan sehingga mem-pengaruhi stabilitas ekonomi rumah tangga. e. Tidak terpenuhinya kebutuhan seksual selama tinggal di pengungsian dalam jangka waktu yang lama. 3. Infeksi Menular Seksual (IMS) dan Human Immunodeficiency Virus (HIV) Pada situasi bencana, risiko terhadap penularan IMS dan HIV bisa meningkat disebabkan karena kekerasan seksual, pekerja dengan mobilitas tinggi, transaksi seks, ketiadaan informasi dan akses kondom, berkurangnya kepatuhan terhadap kewaspadaan standar, dll. Bencana dapat memicu situasi yang kompleks seperti terjadinya konflik, ketidak stabilan sosial, kemiskinan dan kerusakan lingkungan yang dapat meningkatkan kerentanan dan risiko terhadap penularan HIV, melalui: a. Rusaknya infrastruktur dan minimnya peralatan kesehatan menyebabkan sulitnya penerapan kewaspadaan standar. Beberapa kasus di situasi bencana, tenaga kesehatan



48



menggunakan alat-alat medis yang tidak steril pada saat melakukan pertolongan kepada korban b. Terganggunya



sistem



dukungan



sosial



yang



dapat



meningkatkan kekerasan seksual (perkosaan) dan pelecehan seksual di pengungsian c. Perpindahan penduduk ke daerah dengan prevalensi HIV yang lebih tinggi yang memungkinkan terjadinya risiko penularan HIV antara pengungsi dengan penduduk setempat Faktor yang mempengaruhi penyebaran HIV pada situasi bencana sangatlah kompleks dan saling berkaitan, termasuk prevalansi HIV di wilayah asalnya dan tempat pengungsian, tingkat interaksi antara pengungsi dan masyarakat sekitarnya, lamanya pengungsian dan lokasi pengungsian. Pengungsi yang tinggal dan berbaur dengan masyarakat perkotaan memiliki risiko berbeda dengan pengungsi yang tinggal di tempat pengungsian. Mengintegrasikan upaya pencegahan HIV pada situasi bencana ke dalam strategi penyuluhan yang berhubungan dengan populasi dan kondisi bencana merupakan hal yang sangat penting. Upaya komunikasi pada respon awal difokuskan pada pemberian informasi kepada penduduk tentang tempat pelayanan dasar yang dapat diakses. Perlu dipertimbangkan karakteristik populasi sesegera mungkin, agar informasi tentang HIV sesuai dengan kebutuhan masyarakat, misalnya: a. Tingkat pengetahuan dan pemahaman yang keliru tentang HIV di masyarakat b. Perilaku berisiko dalam penularan HIV c. Faktor-faktor yang dapat meningkat-kan risiko penularan HIV pada situasi bencana d. Sikap masyarakat terhadap ODHAPemberian KIE tentang HIV dan AIDS yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dapat meningkatkan pengetahuan masya-rakat tentang HIV



49



dan AIDS, mengurangi stigma serta diskriminasi pada ODHA. Ketika merencanakan program pencegahan dan penularan HIV



pada



situasi



bencana,



pengelola



program



harus



mempertimbangkan: a. Kearifan lokal yang mendukung program pencegahan HIV dan AIDS, misalnya: budaya berkumpul sebagai media untuk penyebaran informasi b. Ketersediaan dan akses pelayan-an Perawatan Dukungan dan Pengobatan (PDP) bagi ODHA, termasuk putus obat, kapan memulai kembali atau melanjut-kan pengobatan ARV c. Stigma dan diskriminasi terhadap ODHA dan anggota keluarganya.



4. Kesehatan Maternal dan Neonatal Angka Kematian Ibu di Indonesia masih tinggi. Kondisi ini akan lebih buruk bila terjadi pada kondisi bencana, karena terganggunya sistem pelayanan kesehatan. Sampai saat ini data kasus kematian ibu pada daerah bencana belum terdokumentasi, sehingga data yang digunakan sebagai rujukan adalah Angka Kematian Ibu pada situasi normal. Di seluruh dunia, 15% sampai dengan 20% ibu hamil akan mengalami komplikasi se-lama kehamilan atau persalinan.



50



Sekitar lebih dari 500.000 kematian ibu terjadi setiap tahun dengan 99% nya terjadi di negara-negara berkembang. Di Indonesia, berdasarkan hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI 2012), Angka Kematian Ibu sebesar 359 per 100,000 kelahiran hidup. Kematian bayi sangat di-pengaruhi oleh proses persalinan. Sekitar 130 juta bayi di dunia lahir setiap tahun dan 4 juta diantaranya meninggal dunia dalam empat minggu pertama kehidupannya (periode neonatal). Angka Kematian Bayi 32 per 1000 kelahiran hidup (SDKI 2012). Sebagian besar kematian ibu terjadi pada saat persalinan dan kematian bayi baru lahir terjadi pada saat proses persalinan dan nifas. Dari analisa penyebab kematian Ibu (SP, 2010) diperoleh bahwa 90% kematian ibu terjadi pada saat persalinan dan segera setelah persalinan. Penyebab utama kematian ibu adalah a. Hipertensi dalam Kehamilan (32%), b. Komplikasi puerper-um (31%), c. Perdarahan (20%), d. Abortus (4%), e. Perdarahan Antepartum (3%), f. Partus macet/lama (1%), g. Kelainan amni-on (2%), h. lain lain (7%) Sedangkan kematian bayi sebagian besar disebabkan oleh masalah neonatal (BBLR, asfiksia dan infeksi) yang sebenarnya da-pat dihindari penyebabnya. Mengingat ke-matian bayi mempunyai hubungan erat de-ngan mutu penanganan ibu, maka proses bersalin dan perawatan bayi harus dilakukan dalam sistem terpadu. Sebagian besar kematian ibu dan bayi sebenarnya dapat dicegah apabila ditangani oleh petugas terampil dengan sumber daya yang memadai ditingkat fasilitas pelayanan kesehatan.



51



Pelayanan kesehatan maternal dan neona-tal pada tanggap darurat krisis kesehatan utamanya ditujukan untuk mengenali tanda bahaya serta penanganan kegawatdaruratan melalui tindakan penyelamatan nyawa yang dilakukan oleh tenaga kesehatan terampil untuk menangani komplikasi maternal pada periode kehamilan, persalinan dan nifas dan pada neonatal. 5. Pelayanan Kesehatan Reproduksi Komprehensif dan Terintegrasi kedalam Pelayanan Kesehatan Dasar Pada situasi bencana, mungkin beberapa tempat yang menyediakan kesehatan reproduksi komprehensif tidak berfungsi seperti sedia kala karena bangunan dan peralatan rusak. Koordinator



kesehatan



reproduksi



harus



merencanakan



bagaimana pelayanan kesehatan reproduksi akan diberikan pada masyarakat selama tanggap darurat dan pasca krisis kesehatan. Penanganan



kesehatan



reproduksi



pada



situasi



bencana



disediakan melalui pelayanan kesehatan bergerak (mobile clinic). Apabila sumber daya manusia di tempat tersebut juga menjadi korban, rencanakan rotasi atau bantuan dukungan dari wilayah terdekat untuk membantu pelayanan kesehatan reproduksi komprehensif. Pelayanan kesehatan reproduksi komprehensif dan terintegrasi dalam pelayanan kesehatan dasar harus direncanakan sejak



awal



tanggap



darurat



krisis



kesehatan



termasuk



merencanakan tempat, sumber daya manusia, peralatan, obatobatan, estimasi kebutuhan dana dan kegiatan lain-nya sehingga layanan dapat terus tersedia seperti pada situasi normal.



52



2.12.3 Paket pelayanan awal minimum (ppam) kesehatan reproduksi PPAM merupakan serangkaian kegiatan prioritas kesehatan reproduksi yang harus dilaksanakan segera pada tanggap darurat krisis kesehatan untuk menyelamatkan jiwa khususnya pada kelompok perempu-an dan remaja perempuan. Jika kesehat-an reproduksi diabaikan, akan memiliki konsekuensi sebagai berikut: 1. Kematian maternal dan neonatal, 2. Kekerasan sek-sual dan komplikasi lanjutan, 3. Infeksi menular seksual (IMS), 4. Kehamilan yang tidak diinginkan dan aborsi yang tidak aman, 5. Penyebaran HIV. Keluarga beren-cana bukan merupakan bagian dari PPAM kesehatan reproduksi, namun pelayanan kontrasepsi dibutuhkan



untuk



memasti-kan



kesinambungan



dalam



penggunaan alat dan obat kontrasepsi (alokon) pada pasangan usia subur dalam mencegah terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan.Pelayanan kesehatan reproduksi harus tersedia dalam kondisi apapun baik pada kondisi normal maupun pada situasi ben-cana. Pada bencana berskala besar, bia-sanya terjadi keterbatasan jumlah tenaga maupun sarana dan prasarana (alat dan bahan) kesehatan. Oleh karena itu intervensi pelayanan kesehatan reproduksi difokuskan pada tindakan penyelamatan jiwa melalui penerapan PPAM yang merupakan pelayanan minimal yang harus tersedia. Sedangkan pada bencana berskala kecil, biasanya tenaga dan sarana kesehatan masih tersedia cukup sehingga diharapkan semua pelayanan kesehatan reproduksi tetap dapat dilaksanakan.Pada bencana akan selalu ada kebutuhan pelayanan



kesehatan



reproduksi.



Untuk



itu



diperlukan



ketersediaan informasi yang mendukung, agar pelayanan kesehatan re-produksi dapat dilaksanakan di pengung-sian. Beberapa informasi dasar yang harus dikumpulkan meliputi data demografi dan kesehatan penduduk yang terkena dampak. Informasi tersebut bisa diperoleh dari Pusat Penanggulangan



53



Krisis Kesehatan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan organisasi atau lembaga yang bekerja di wilayah bencana tersebut. Selain itu di-butuhkan juga informasi tentang kondisi fasilitas pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan, ketersediaan alat kesehatan dan obat serta penyusunan rencana program. Jika pada awal tanggap darurat krisis kese-hatan, sulit mendapatkan data sasaran ke-sehatan reproduksi seperti jumlah Wanita Usia Subur (WUS), ibu hamil, pria yang aktif secara seksual dan lain sebagainya, maka data tersebut dapat diestimasi secara statistik dari jumlah pengungsi. a. Tujuan paket pelayanan awal minimum kesehatan reproduksi meliputi 1) Mengidentifikasi koordinator PPAM kesehatan reproduksi: a) Menetapkan seorang koordinator pelayanan kesehatan reproduksi untuk mengkoordinir lintas program, lintas sektor, lembaga lokal dan internasional dalam pelaksanaan PPAM kesehatan reproduksi b) Melaksanakan pertemuan koordinasi untuk mendukung dan mene-tapkan penanggung jawab pelaksana di setiap komponen PPAM (SGBV, HIV, Maternal dan Neonatal serta Logistik) c) Melaporkan isu-isu dan data terkait kesehatan reproduksi, keterse-diaan sumberdayaserta logistik pada pertemuan koordinasi 2) Mencegah dan menangani kekerasan seksual: a) Melakukan perlindungan bagi penduduk yang terkena dampak, terutama pada perempuan dan anak-anak b) Menyediakan pelayanan medis dan dukungan psikososial bagi penyintas perkosaan c) Memastikan masyarakat mengetahui informasi tersedianya pela-yanan medis, psikososial, rujukan perlindungan dan bantuan hukum.



54



d) Memastikan adanya jejaring untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual 3) Mengurangi penularan HIV a) Memastikan tersedianya transfusi darah yang aman b) Memfasilitasi dan menekankan penerapan kewaspadaan standar c) Memastikan ketersediaan kondom. 4) Mencegah meningkatnya kesakitan dan kematian maternal dan neonatal: a) Memastikan adanya tempat khusus untuk bersalin di beberapa



tempat



seperti



pos



kesehatan,



di



lokasi



pengungsian atau di tem-pat lain yang sesuai b) Memastikan tersedianya pelayanan persalinan normal dan kega-watdaruratan maternal dan neonatal (PONED dan PONEK) di fasi-litas pelayanan kesehatan dasar dan rujukan c) Membangun



sistem



rujukan



untuk



memfasilitasi



transportasi dan komunikasi dari masyarakat ke puskesmas dan puskesmas ke ru-mah sakit d) Tersedianya perlengkapan persalinan yang diberikan pada ibu ha-mil yang akan melahirkan dalam waktu dekate. Memastikan masyarakat



mengetahui adanya layanan



pertolongan persalinan dan kegawatdaruratan maternal dan neonatal 5) Merencanakan pelayanan kesehatan reproduksi komprehensif dan terintegrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar ketika situasi stabil. Mendukung lembaga/organisasi untuk: a) Mengidentifikasi kebutuhan logistik kesehatan reproduksi berda-sarkan estimasi sasaran b) Mengumpulkan data riil sasaran dan data cakupan pelayanan



55



c) Mengidentifikasi fasilitas pelayanan kesehatan untuk menyeleng-garakan pelayanan kesehatan reproduksi yang komprehensif d) Menilai kemampuan tenaga kesehatan untuk memberikan pelayanan kesehatan reproduksi yang komprehensif dan merencana-kan pelatihan



2.12.4 Mengidentifikasi koordinator PPAM kesehatan reproduksi Pada tanggap darurat krisis kesehatan, harus ditetapkan seorang koordinator pelayanan kesehatan reproduksi untuk mengkoordinir lintas program, lintas sektor, lembaga lokal dan internasional dalam pelaksanaan PPAM kesehatan reproduksi. Tujuannya adalah untuk memastikan



bahwa



kesehatan



reproduksi



menjadi



prioritas



pelayanan. Koordinator kesehatan reproduksi adalah seseorang yang mempunyai



tanggung



jawab



dalam



penanganan



kesehatan



reproduksi. Koordinator kesehatan reproduksi di tingkat provinsi dan kabu-paten/kota berasal dari Dinas Kesehatan setempat dari program Kesehatan Reproduksi atau Kesehatan Ibu dan Anak serta mengetahui melaksanakan



tentang



PPAM



tugasnya



kesehatan



koordinator



harus



reproduksi. melakukan



Dalam rapat



koordina-si untuk mendukung dan menetapkan penanggung jawab di setiap komponen PPAM kesehatan reproduksi (SGBV, HIV, maternal dan neonatal, serta logistik) serta melaporkan isu-isu dan



56



data terkait kesehatan reproduksi, ketersediaan sumber daya serta logistik pada pertemuan koordinasi Pengorganisasian. Koordinator kesehatan reproduksi adalah ketua dari tim siaga kesehatan reproduksi yang berada di bawah tim penanggulangan bencana



bidang



kesehatan



dan



bertanggung



jawab



kepada



koordinator tim penanggulangan krisis kesehatan di setiap jenjang administrasi. Tim siaga kesehatan reproduksi dibentuk di setiap propinsi dan kabupaten pada situasi pra bencana untuk menyusun dan melaksanakan rencana kesiapsiagaan serta melaksanakan komponen PPAM kesehatan reproduksi pada saat bencana. Tim siaga ini terdiri dari penanggung jawab komponen kekerasan berbasis gender, pencegahan penularan HIV, kesehatan maternal dan neonatal serta logistik. Berikut adalah struktur organisasi tim siaga kesehatan reproduksi



1. Prinsip Dasar a. Penanggulangan



krisis



kesehatan



dilaksanakan



secara



berjenjang dengan mempertimbangkan ketersediaan sumber daya dan kemampuan pemerintah daerah b. Dalam hal terjadi krisis kesehatan, maka tanggung jawab pertama penanganan kesehatan reproduksi ada pada tim kesehatan reproduksi di ting-kat Kabupaten/Kota



57



c. Apabila masalah kesehatan reproduk-si yang timbul tidak dapat tertangani, tim siaga kesehatan reproduksi tingkat Kabupaten/Kota



melaporkan



ke



tim



siaga



kesehatan



reproduksi di tingkat Provinsi dan jika tidak tertangani, tim siaga kesehatan reproduksi di tingkat Provinsi akan melaporkan ke tim siaga kesehatan reproduksi tingkat Pusat d. Pelaksanaan kegiatan tim siaga kesehatan reproduksi terintegrasi dengan tim penanggulangan bencana bidang kesehatan e. Tim siaga kesehatan reproduksi tingkat Pusat melakukan monitoring dan evaluasi terhadap upaya-upaya yang telah dilakukan oleh Provinsi serta dapat melakukan intervensi sesuai dengan kebutuhan. f. Tim siaga kesehatan reproduksi tingkat Provinsi melakukan monitoring dan evaluasi terhadap upaya-upaya yang telah dilakukan oleh Kabupaten/Kota serta dapat melakukan intervensi sesu-ai dengan kebutuhan g. Apabila



tim



siaga



kesehatan



reproduksi



tingkat



Kabupaten/Kota/Provinsi be-lum terbentuk, maka tanggung jawab



berada



pada



Dinas



Kesehatan



Kabu-



paten/Kota/Provinsi yaitu unit yang bertanggung jawab untuk Kesehatan Reproduksi/Kesehatan Ibu dan Anak. Di tingkat Pusat, tim siaga kesehatan reproduksi berada di bawah Direktorat Bina Kesehatan Ibu 2.12.4 Mencegah dan menangani kekerasan seksual Kondisi



bencana



dan



pengungsian



dapat



menyebabkan



meningkatnya risiko kekerasan seksual pada perempuan dan anak. Kasus kekerasan seksual terjadi karena kondisi di lokasi bencana yang tidak memadai, seperti: tenda dan toilet yang tidak terpisah antara laki-laki dan perempuan, lokasi sumber air bersih yang jauh dari pengungsian, penerangan yang kurang memadai, tidak adanya sistim ronda maupun keamanan di pengungsian dan lain-



58



lain.Koordinator kesehatan reproduksi harus membahas masalah kekerasan sek-sual didalam rapat koordinasi kesehatan bersama dengan penanggung jawab kom-ponen GBV dan tim kesehatan reproduksi lainnya. Pada situasi bencana, langkah – langkah pelayanan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual adalah sebagai berikut: 1. Melakukan koordinasi dengan BNPB/BPBD dan Dinas Sosial untuk menempat-kan kelompok rentan di pengungsian dan memastikan satu keluarga berada da-lam tenda yang sama. Perempuan yang menjadi kepala keluarga dan anak yang terpisah dari keluarga dikumpulkan di dalam satu tenda 2. Memastikan terdapat pelayanan kesehatan reproduksi pada tenda pengungsian 3. Menempatkan MCK laki-laki dan perempuan secara terpisah di tempat yang aman dengan penerangan yang cukup. Pastikan bahwa pintu MCK dapat di kunci dari dalam 4. Melakukan koordinasi dengan penanggung jawab keamanan untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual 5. Melibatkan lembaga-lembaga/organisasi yang bergerak di bidang pemberda-yaan perempuan dan perempuan di pengungsian dalam pencegahan dan pena-nganan kekerasan seksual 6. Menginformasikan adanya pelayanan bagi penyintas perkosaan dengan nomor telepon yang bisa dihubungi 24 jam. Informasi dapat diberikan melalui leaflet, selebaran, radio, dll 7. Memastikan adanya petugas kompeten untuk penanganan kasus kekerasan seksual 8. Memastikan tersedianya pelayanan medis dan psikososial ada di organisasi/lembaga yang terlibat dalam respon bencana serta memastikan adanya mekanisme rujukan, perlindungan dan hukum yang terkoordinasi untuk penyintasi. Menyediakan fasilitas untuk pemenuhan kebutuhan seksual bagi pasangan



59



suami istri yang sah, sesuai dengan budaya setempat atau kearifan lokal a. Hal-hal yang Perlu



Diperhatikan



Koordinator



Kesehatan



Reproduksi Dalam Pelayanan Klinis Untuk Penyintas Perkosaan Saat menyiapkan tempat pelayanan klinis, koordinator kesehatan



reproduksi



pelaksana/petugas



harus



pelayanan



berkoordinasi



kesehatan



dengan



reproduksi



untuk



memastikan: 1) Tersedianya tempat konsultasi yang menjamin privasi dan kerahasiaan penyintas perkosaan 2) Tersedianya protokol yang jelas serta peralatan dan logistik yang memadai 3) Bahwa pelayanan dan mekanisme rujukan ke rumah sakit tersedia 24 jam sehari/7 hari seminggu 4) Pemberian



informasi



tentang



ketersediaan



pelayanan.



Informasi berisi ten-tang pelayanan yang tersedia, kapan harus mengakses pelayanan dan lokasi. Gunakan jalur komunikasi yang sesuai dengan situasi dan kondisi setempat (misalnya melalui bidan, kader kesehatan, tokoh masyarakat, pesan di radio atau selebaran berisi informasi di toilet perempuan) 5) Petugas



pemberi



pelayanan



yang



kom-peten



dalam



menangani penyintas perkosaan Pelayanan yang diberikan oleh petugas kesehatan reproduksi meliputi: 1)



Memberikan konseling dan dukungan kepada penyintas



2)



Melakukan anamnesa dan pemeriksa-an fisik



3)



Mencatat dan mengumpulkan bukti-bukti forensik



4)



Menjaga kerahasiaan 5) Memastikan tersedianya obat-obatan yang diberikan pada penyintas, seperti:



60



a)



Kontrasepsi darurat



b)



Pencegahan IMS



c)



Profilaksis pasca pajanan untuk mencegah penularan HIV



d)



Obat perawatan luka dan pencegah-an tetanus e) Pencegahan Hepatitis Bf. Merujuk untuk pelayanan lebih lanjut, misalnya kesehatan, psikologis dan sosial



b. Pil Kontrasepsi Darurat Pil kontrasepsi darurat adalah pil yang da-pat mencegah kehamilan yang tidak dii-nginkan jika digunakan dalam waktu 72 jam (sampai 3 hari) dari saat terjadinya perko-saan. Pil kontrasepsi darurat dapat diberi-kan bila status kehamilan belum jelas dan tes kehamilan tidak tersedia, karena tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa pil kontrasepsi darurat dapat merugikan pe-rempuan atau membahayakan kehamilan jika sudah ada sebelumnya.Aturan penggunaan pil kontrasepsi darurat adalah sebagai berikut: 1) Kontrasepsi darurat harus diberikan segera, sebelum 72 jam setelah per-kosaan karena keefektifannya akan menurun seiring dengan waktu. Jika pil kontrasepsi darurat kemasan tidak tersedia, maka kontrasepsi darurat da-pat diberikan dengan menggunakan pil kontrasepsi oral biasa 2) Beri petunjuk kepada penyintas perko-saan tentang cara penggunaan pil, efek samping yang mungkin timbul dan efek yang mungkin terjadi terhadap menstruasi berikutnya 3) Apabila penyintas perkosaan ingin me-lakukan hubungan seks dalam waktu dekat sebaiknya menggunakan kondom 4) Jelaskan kepada penyintas perkosaan bahwa ada risiko penggunaan pil tidak berhasil. Jadwal menstruasi harusnya terjadi sesuai siklus normal tetapi da-pat seminggu lebih awal atau beberapa hari terlambat. 5) Jika tidak menstruasi dalam waktu satu minggu setelah perkiraan, penyintas harus kembali untuk melakukan tes



61



kehamilan dan konseling. Jelaskan kepada penyintas bahwa bercak-bercak atau pendarahan sedikit adalah hal biasa bila menggunakan levonorgestrel. Sehingga jangan salah mengira bahwa itu menstruasi normale. 6) Efek



samping



penggunaan:



Sekitar



50%



pengguna



kontrasepsi darurat melaporkan rasa mual. Untuk mengurangi rasa mual, pil dapat dikonsumsi bersama makanan. Jika muntah terjadi dalam waktu dua jam setelah minum obat, ulangi dosisnya. 7) Bila masih terjadi muntah setelah pemberian obat anti muntah, maka pil kontrasepsi darurat dapat diberikan lewat vagina dengan dosis yang samaf. 8) Pil kontrasepsi darurat tidak akan efektif dalam kasus kehamilan yang sudah terjadi. 9) Tidak ada kontraindikasi medis lain untuk penggunaan pil kontrasepsi darurat c. Perawatan untuk Dugaan Infeksi Menular Seksual (IMS) Pemberian antibiotik kepada penyintas perkosaan sebagai pengobatan terhadap dugaan Gonorea, infeksi Klamidia, Sifilis dan Trikomoniasis atau Chancroid. Berikan paket pengobatan yang paling singkat yang tersedia sesuai protokol. Sebagai contoh, jika penyintas perkosaan datang dalam waktu 30 hari setelah kejadian, maka 400 mg Cefixime ditambah 1g Azithromisin secara oral merupakan pengobatan yang cukup untuk dugaan Gonorea, infeksi Klamidia dan Sifilis inkubasi. Perempuan yang sedang hamil atau yang memiliki alergi tidak boleh minum antibio-tik tertentu, dan lakukan modifikasi pengobatan yang sesuai.Pemeriksaan untuk dugaan IMS dapat dimulai pada hari yang sama dengan pemberian kontrasepsi darurat dan profilaksis paska pajanan (PPP) untuk mencegah penularan HIV. Informasikan mengenai efek samping dan cara menanggulanginya. Berikan vaksin Hepatitis B dalam waktu 14



62



hari setelah penyerangan kepada penyintas, kecuali bila penyintas perkosaan telah divaksinasi lengkap. Berikan sebanyak tiga dosis dengan dosis kedua diberikan empat minggu setelah dosis pertama dan dosis ketiga delapan minggu setelah dosis kedua. Diagnosis pasien IMS dapat ditegakkan berdasarkan pendekatan sindrom pada sarana pelayanan kesehatan yang tidak memiliki fasilitas laboratorium, atau secara etiologis berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium sederhana. d. Profilaksis Paska Pajanan (PPP) untuk Mencegah Penularan HIV Profilaksis paska pajanan diberikan kepada penyintas perkosaan untuk mengurangi risiko penularan HIV. Profilaksis paling optimal diberikan sebelum 4 jam dan maksimal dalam 4872 jam setelah kejadian perkosaan. Beberapa hal tentang PPP : 1) Rejimen yang dianjurkan adalah AZT + 3TC + EFV atau AZT



+



3TC



+



Lopinavir/Ritonavir.



AZT



=



ZDV



(Zidovudine) EFV = Efavirenz 3TC = Lamividine. 2) ARV untuk PPP diberikan selama 1 bulan 3) Monitoring efek samping dan tes HIV secara berkala, pada bulan ke 3 dan 6 setelah pemberian PPP 4) Jika korban menderita Hepatitis B maka PPP yang digunakan sebaiknya mengandung TDF/3TC untuk mencegah terjadinya hepatic flare Pelayanan bagi penyintas kekerasan seksual: 1) Lakukan penilaian risiko terpapar HIV sebelum memberikan PPP. Periksalah riwayat kejadian (termasuk apakah ada lebih dari satu penyerang), penetrasi vagina atau anal dan jenis luka yang ada 2) Lakukan test HIV segera kepada penyintas perkosaan. Apabila hasilnya negatif, PPP dapat mulai diberikan. Apabila hasilnya positif, kemungkinan infeksi telah terjadi sebelum peristiwa perkosaan



63



3) Lakukan penatalaksanaan ARV bagi penyintas dengan hasil tes positif sesuai dengan Pedoman Nasional Tatalaksana ARV 4) Ulangi tes HIV pada 3, 6 dan 12 bulan kemudian, bila hasilnya negatif Penting untuk diketahui: 1) Kehamilan bukan merupakan kontraindikasi untuk PPP 2) Saat konseling, informasikan tentang efek samping obat yang umum seperti rasa lelah, mual dan gejala seperti flu. Efek samping ini bersifat sementara dan dapat dikurangi dengan pemberian obat simtomatik 3) Obat PPP dapat diberikan untuk 28 hari penuh bagi penyintas yang tidak dapat kembali ke tempat pelayanan dengan alasan apapun atau yang diperkirakan dalam waktu lama tetap tinggal di pengungsian e. Perawatan luka dan pencegahan tetanus Pada kasus perkosaan, selain mengalami trauma psikis penyintas juga mengalami trauma fisik. Perawatan yang diberikan mengikuti prosedur standar operasional yang berlaku. Sangat penting untuk memberikan injeksi Tetanus Toxoid pada kasus dengan luka terbuka mengingat kebersihan lingkungan yang tidak mendukung pada situasi bencana. Pada perawatan luka maka bersihkan setiap luka robek, luka dan lecet dan jahitlah luka yang bersih dalam waktu 24 jam. Jangan menjahit luka yang kotor. Pertimbangkan pemberian antibiotik yang sesuai dan penghilang rasa sakit jika ada luka kotor yang besar. Berikan profilaksis tetanus jika ada luka robek pada kulit atau mukosa dan penyintas belum divaksinasi terhadap tetanus atau status vaksinasi tidak jelas. Sarankan penyintas untuk menyelesaikan jadwal vaksinasi (dosis kedua pada empat minggu, dosis ketiga pada enam bulan sampai satu tahun).



64



f. Rujukan untuk penanganan lebih lanjut bagi penyintas GBV Dengan persetujuan penyintas atau atas permintaannya, tawarkan rujukan ke: 1) Rumah sakit bila ada komplikasi yang mengancam jiwa atau komplikasi yang tidak dapat ditangani di puskesmas 2) Jasa perlindungan atau pelayanan sosial jika penyintas tidak memiliki



tempat



yang



aman



untuk



pergi



setelah



meninggalkan puskesmas 3) Pelayanan psikososial, apabila tersedia, dapat juga dengan menghubungi pe-nanggung jawab komponen GBV atau menggunakan layanan yang berasal dari inisiatif masyarakat Korban kekerasan seksual selain terjadi pada perempuan banyak juga terjadi pada anak-anak. Korban kekerasan terhadap anak lebih sering tidak dilaporkan kepada pihak berwajib dibandingkan dengan korban kekerasan terhadap perempuan, terutama apabila pelaku kekerasan adalah orang tua atau walinya sendiri. Karena itu peran pemberi pelayanan dalam menge-nali korban kekerasan terhadap anak sangat penting. Gejala-gejala fisik dari penganiayaan emosional seringkali tidak sejelas gejala penganiyaan lainnya. Penampilan anak pada umumnya tidak memperlihatkan



derajat



penderitaan



yang



dialaminya.



Pemeriksaan fisik pada penyintas anak sama seperti pada pemeriksaan orang dewasa, namun harus ada pendamping yang dipercaya anak berada di ruang pemeriksaan. 2.12.5 Mengurangi penularan hiv Pada tanggap darurat krisis kesehatan ke-butuhan darah akan meningkat dengan banyaknya korban luka berat dan ringan yang membutuhkan darah. Transfusi darah yang rasional dan aman sangat penting untuk mencegah penularan HIV dan infeksi lain yang dapat menular melalui transfusi (TTI/Transfusion-Transmissible Infection) seper-ti Hepatitis B, Hepatitis C dan Sifilis. Jika darah tercemar HIV ditransfusikan, maka penularan HIV kepada penerima hampir 100%.



65



Selain itu kerentanan terhadap pe-nularan HIV juga sering disebabkan



oleh



ketidakpatuhan



petugas



terhadap



standar



kewaspadaan.Koordinator kesehatan reproduksi harus bekerjasama dengan organisasi/lemba-ga yang menangani kesehatan khususnya yang bergerak di bidang HIV dan AIDS untuk mengurangi penularan HIV sejak permulaan respon bencana. 1. Kewaspadaan Standar Kewaspadaan standar adalah langkah pengendalian infeksi yang mengurangi risiko penularan patogen yang terbawa dalam darah melalui paparan terhadap darah atau cairan tubuh diantara para pasien dan tenaga kesehatan. Menurut prinsip “pencegahan standar”, darah dan cairan tubuh dari semua orang harus dianggap sebagai terinfeksi HIV, terlepas dari pengetahuan atau dugaan



kita



mengenai



status



orang



tersebut.



Tindakan



pencegahan standar dapat mencegah penyebaran infeksi seperti HIV, Hepatitis B, Hepatitis C dan pa-togen-patogen lain di dalam lingkungan perawatan kesehatan. Tindakan kewaspadaan standar adalah: a. Sering mencuci tangan: b. mengenakan sarung tangan c. Memakai pakaian pelindung, d. Penanganan aman terhadap benda-benda tajam e. Pembuangan limbah f. Pemrosesan Instrumen 2. Menjamin Ketersediaan Kondom Kondom merupakan salah satu metode perlindungan untuk mencegah penularan HIV dan Infeksi Menular Seksual (IMS) lainnya.



Dalam



rangka



menjamin



ketersediaan



kondom



diperlukan adanya koordinasi antara Dinas Kesehatan, KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) atau lembaga lainnya yang menyediakan layanan ini. Pastikan bahwa kondom tersedia sejak hari hari awal bencana. Kondom hanya diberikan kepada



66



masyarakat apabila tidak ada halangan budaya dan masyarakat menggunakan sebelumnya. Pendistribusian kondom harus diikuti dengan informasi tentang cara penggunaannya. Khusus untuk kondom perempuan, sebaik-nya tidak disediakan apabila masyakarat belum terpapar cara penggunaannya. 2.12.6 Mencegah meningkatnya kesakitan dan kematian maternal dan neonatal Pada tanggap darurat krisis kesehatan, koordinator kesehatan reproduksi harus memasti-kan bahwa setiap ibu yang akan bersalin mempunyai akses terhadap pelayanan kesehatan dan apabila sewaktu waktu akan bersalin, terdapat petugas kesehatan yang siap menolong persalinan. Di samping itu, perlu dipastikan tersedianya pelayanan PONED dan PONEK 24 jam per hari, 7 hari per minggu sebagai fasilitas rujukan apabila sewaktu waktu terjadi kom-plikasi obstetri dan/neonatal. Untuk itu koordinator kesehatan reproduksi perlu mengiden-tifikasi fasilitas pelayanan rujukan terdekat yang mudah dijangkau dan mampu dalam pena-nganan kegawatdaruratan.



1. Penanganan Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Dasar dan Rujukan Koordinator kesehatan reproduksi harus memastikan petugas kesehatan mampu mengatasi kasus kegawatdaruratan maternal dan neonatal dengan menyediakan alat, bahan-bahan dan obatobatan untuk pertolongan persalinan. Pelayanan kegawatdaruratan neonatal meliputi:



67



a.



Resusitasi



b.



perlindungan suhu tubuh c. pencegahan infeksi (kebersihan, memotong dan merawat tali pusar secara higienis, perawatan mata) d. pengobatan penyakit pada neonatal dan perawatan bayi prematur/berat badan lahir rendah Pelayanan kegawatdaruratan obstetri meliputi:



a.



Penanganan perdarahan



b.



Preklamspi/eklampsi



c.



Infeksi



d.



Persalinan lama



e.



Abortus Ketersediaan pelayanan kegawatdaruratan untuk ibu hamil beserta janinnya sangat menentukan kelangsungan hidup ibu dan Tenda Kesehatan Reproduksi: menjaga privasi dan kenyamanan ibu bayi baru lahir. Misalnya, perdarahan sebagai sebab kematian langsung terbesar dari ibu bersalin perlu mendapat tindakan dalam waktu kurang dari 2 jam, dengan demikian keberadaan puskesmas mampu PONED dan Rumah Sakit PONEK menjadi sangat penting. Pelayanan PONED meliputi:



a.



Pemberian antibiotik melalui infus



b.



Obat uterotonika melalu infus (oksitosin)



c.



Obat anti konvulsi melalui infus (magnesium sulfat) d. Pengeluaran sisa hasil konsepsi dengan menggunakan Aspirasi Vakum Manual e. Melakukan manual placenta f. Kelahiran melalui vagina yang dibantu (dengan vakum) g. Resusitasi neonatal Penting



untuk



menekankan



bahwa



jika



puskesmas



mempunyai penolong persalinan kompeten dan peralatan serta perleng-kapan yang cukup, maka semua ibu hamil harus



68



diberitahu dimana lokasi puskesmas tersebut dan harus didorong untuk melahirkan di sana. Informasi ini dapat diberikan pada saat mendistribusikan kit individu kepada masyarakat. Jika pelayanan rujukan 24/7 tidak mungkin tersedia maka perlu dipastikan ada pe-tugas kesehatan di puskesmas yang tetap dapat melakukan pelayanan emergensi obstetri dasar dan perawatan neonatal melalui bimbingan dan konsultasi ahli. Dalam situasi ini, akan sangat membantu bila ada sistem komunikasi, seperti penggunaan radio atau telepon seluler, untuk berkomunikasi dan berkonsultasi dengan tenaga yang lebih ahli. 2. Memastikan



Tersedianya



Penanganan



Kegawatdaruratan



Maternal dan Neonatal di Fasilitas Kesehatan Rujukan Koordinator kesehatan reproduksi memfa-silitasi bantuan bagi rumah sakit setempat dalam penyediaan tenaga kompeten, sara-na dan prasarana, termasuk obat-obatan dan peralatan operasi sesar, yang diperlu-kan untuk menyelenggarakan PONEK. Pelayanan PONEK meliputi: a. Pemberian antibiotik melalui infus b. Obat uterotonika melalu iinfus (oksitosin) c. Obat anti konvulsi melalui infus (mag-nesium sulfat) d. Pengeluaran sisa hasil konsepsi dengan menggunakan Aspirasi Vakum Manual e. Melakukan manual plasenta f. Kelahiran melalui vagina yang dibantu (dengan vakum) g. Resusitasi neonatal h. Melakukan pembedahan dengan anes-tesiumum (operasi sesar, laparatomi) i. Memberikan transfusi darah yang aman dan rasional



69



2.12.7 Merencanakan pelayanan kesehatan reproduksi komprehensif dan terintegrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar pada situasi stabil pasca krisis kesehatan Pada tanggap darurat krisis kesehatan, pelayanan kesehatan reproduksi diberikan di tempat pelayanan kesehatan darurat. Namun demikian pada saat ini koordinator kesehatan reproduksi harus mulai menyusun rencana pengintegrasian kebutuhan pelayanan kesehatan reproduksi ke dalam pelayanan kesehatan dasar yang rutin.Jika situasi sudah stabil, pelayanan kesehatan reproduksi komprehensif harus segera dilak-sanakan dengan mempertimbangkan: 1. Kemudahan komunikasi dan transportasi untuk rujukan 2. Jarak ke tempat pelayanan kesehatan lainnya Tengintegrasian komponen PPAM ke dalam pelayanan kesehatan reproduksi komprehensif di tingkat pelayanan dasar adalah sbb: 1. Pelayanan KIA yaitu pemeriksaan kehamilan (antenatal care), pertolongan persalinan dan perawatan paska persalinan (nifas) termasuk bayi baru lahir 2. Pencegahan dan penanganan kekerasan pada perempuan, yaitu pencegahan dan penanganan kekerasan seksual serta kekerasan berbasis gender lainnya termasuk kekerasan dalam rumah tangga dan perdagangan perempuan dan lain-lain yang penanganannya memerlukan pendekatan multisektor 3. Pencegahan dan penanganan HIV, yaitu PITC, VCT, PPIA, pengobatan ARV dan lain sebagainya 2.12.8 Logistik kesehatan reproduksi pada tanggap darurat krisis kesehatan Pada tanggap darurat krisis kesehatan selain memastikan terlaksananya lima komponen Paket Pelayanan Awal Minimum Kesehatan Reproduksi, koordinator kesehatan reproduksi harus memiliki kemampuan mengkoordinasikan pengelolaan logistik kesehatan



reproduksi,



mulai



dari



perencanaan



kebutuhan,



pendistribusian dan monitoring serta evaluasi penggunaan logistik



70



kesehatan reproduksi.Logistik untuk kesehatan reproduksi pada tanggap darurat krisis kesehatan terdiri dari: 1. Kit Individu Kit individu merupakan paket berisi pakaian, perlengkapan kebersihan diri, perlengkapan bayi, dll, yang diberikan kepada perempuan usia reproduksi, ibu hamil, ibu bersalin dan bayi baru lahir. Kit ini dapat langsung diberikan dalam waktu 1-2 hari saat bencana kepada pengungsi setelah melakukan estimasi jumlah sasaran



Jenis barang yang terdapat di dalam kit individu bisa disesuaikan dengan kebutuh-an kesehatan reproduksi pengungsi serta anggaran yang tersedia. Kit di diadakan dan disimpan di gudang sesuai dengan per-aturan yang berlaku. Pada tanggap darurat krisis kesehatan, akan sulit mendapatkan data sasaran dari PPAM seperti jumlah wanita usia su-bur, jumlah ibu hamil, ibu hamil yang akan mengalami komplikasi, jumlah laki-laki yang aktif secara seksual dll. Data yang tersedia biasanya hanya jumlah pengungsi saja.



71



72



Pada tanggap darurat krisis kesehatan, ketersediaan semua jenis kit sangat diperlu-kan. Namun, apabila terdapat kendala dalam pendanaan dapat dipilih jenis barang yang benar benar dibutuhkan oleh sasaran, sebagai contoh: wanita usia subur membutuhkan pakaian dalam dan pembalut. Kit disediakan oleh pemerintah dan disimpan di gudang se-suai dengan peraturan yang berlaku, atau pengadaan dan penyediaan kit individu da-pat dikoordinasikan dengan sektor atau lem-baga lain, misalnya bantuan pihak swasta.



2. Kit bidan Pada tanggap darurat krisis kesehatan, alat-alat kesehatan kemungkinan ba-nyak yang rusak termasuk alat kesehatan yang digunakan untuk menolong persalinan. Kit Bidan dapat diberikan kepada bidan untuk mengganti peralatan yang hilang saat bencana sehingga masih bisa melakukan pelayanan seperti se-



73



diakala. Kit untuk bidan dapat diadakan sebelum bencana sebagai persediaan dan di simpan/diadakan di gudang sesuai dengan peraturan yang berlaku. Kit ini dapat didistribusikan sesegera mungkin pada saat bencana apabila dibutuhkan.Pada pertolongan persalinan mungkin diperlukan juga beberapa alat tambahan seperti: baskom dan tempat air mengalir untuk mencuci tangan yang perlu dipi-kirkan penyediaannya.



3. Kit kesehatan reproduksi (rh kit) Untuk melaksanakan PPAM kesehatan reproduksi yaitu dalam memberikan pela-yanan klinis bagi penyintas perkosaan, me-ngurangi penularan HIV serta mencegah meningkatnya kesakitan dan kematian ibu dan neonatal, telah dirancang paketpaket yang berisi obat dan alat kesehatan yang dibutuhkan yang disebut Kit Kesehatan Reproduksi (Kit RH). Kit kesehatan reproduksi dikemas dan di-beri nomor sesuai dengan jenis tindakan yang akan dilakukan. Alat, obat dan bahan habis pakai tersedia lengkap di tiap ke-masan. Sebagai contoh: Kit nomor 2 untuk pertolongan persalinan bersih, termasuk apabila persalinan terjadi pada situasi ti-dak dapat ditolong oleh tenaga kesehatan. Kit nomor 12 untuk transfusi darah. Kit nomor 4 untuk kontrasepsi oral dan in-jeksi dan lain sebagainya. Penomoran ini bertujuan untuk memudahkan pengelola-an dan penggunaannya pada situasi krisis kesehatan.Kit kesehatan reproduksi dirancang un-tuk digunakan dalam jangka waktu tiga bulan untuk jumlah penduduk tertentu. Kebutuhan kit tergantung pada jumlah pengungsi, dan jenis pelayanan yang akan diberikan dan perkiraan lamanya waktu



74



mengungsi. Pendistribusian kit kesehatan reproduksi harus diikuti dengan penjelasan kepada penerima tentang isi kit, cara menyimpan dan penggunaannya. Harus diingat bahwa kit kesehatan reproduksi terdiri dari alat dan obat yang sama de-ngan yang tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan. Perbedaannya adalah alat dan obat tersebut sudah dikemas sehingga memudahkan petugas kesehatan dalam mem-berikan pelayanan pada situasi bencana.Apabila terjadi bencana berskala besar dimana dibutuhkan peralatan dan obat un-tuk pelayanan kesehatan reproduksi yang mendesak dan kit belum tersedia, Dinas Kesehatan setempat dapat mengajukan permohonan bantuan penyediaan kit ke-sehatan reproduksi kepada Kementerian Kesehatan



yang



akan



didatangkan



dari



Copenhagen,



Denmark yang merupakan gudang logistik untuk bantuan kemanusia-an internasional. Pada saat memesan, ren-canakan pendistribusiannya, yang meliputi kemana akan dikirimkan, kondisi medan, alat transportasi yang akan digunakan dan gudang penyimpanan sementara.Kit kesehatan reproduksi hanya dapat di-pesan pada bencana yang berskala besar, dimana sebagian besar fasilitas pelayan-an kesehatan tidak dapat berfungsi. Perlu dipertimbangkan bahwa pengajuan kebu-tuhan kit kesehatan reproduksi dilakukan apabila memang benar-benar dibutuhkan. Bila masih ada fasilitas pelayanan kesehat-an yang masih berfungsi, disarankan untuk dimanfaatkan secara optimal. Pemerintah/Dinas Kesehatan setempat dapat menye-diakan kit kesehatan reproduksi dan bahan habis pakai secara lokal sesuai pedoman.Koordinator kesehatan reproduksi harus memastikan bahwa obat dan alat kesehat-an tersedia dan terintegrasi ke dalam sis-tem pelayanan yang sudah ada. Selain itu, Koordinator kesehatan reproduksi harus melakukan pengenalan singkat tentang isi dan cara penggunaan kit kesehatan re-produksi serta memastikan kit tersebut digunakan.



75



76



Alat dan sarana penunjang lainnya: a. Tenda kesehatan reproduksi yang dirancang khusus dengan sekat



untuk



pemeriksaan



kehamilan,



pelayanan



KB,



pertolongan persalinan dan pelayanan lain yang memerlukan privasi bagi pasiennya b. Buku KIA c. Generator



77



2.12.9 Siklus Proyek Kesehatan Reproduksi Siklus proyek menggambarkan bagaimana monitoring dan evaluasi terhubung disepanjang penyelenggaraan layanan yang berkelanjutan dan pengelolaan program. Siklus proyek membantu petugas dan manajer program kesehatan reproduksi memahami bagaimana masing-masing dapat digunakan untuk menginformasikan perihal pembuatan keputusan sepanjang siklus rancangan program, perencanaan dan pelaksanaannya. 1. Monitoring/Pemantauan Monitoring adalah fungsi kontinyu dengan menggunakan pengumpulan data secara sistematik terhadap indikator tertentu untuk menginformasikan kepada manajemen maupun stakeholder utama tentang suatu kegiatan yang sedang berlangsung dalam hal perkembangan dan pencapaian hasil dalam penggunaan dana maupun bantuan. Pada pemantauan penyelenggaraan penanggulangan bencana diperlukan sebagai upaya untuk memantau secara terus-menerus terhadap proses pelaksanaan penyelenggaraan penanggulangan bencana. Pemantauan penyelenggaraan penanggulangan bencana dilakukan oleh unsur pengarah beserta unsur pelaksana BNPB dan/atau BPBD dan dapat melibatkan lembaga perencanaan pembangunan nasional dan daerah, sebagai bahan evaluasi menyeluruh dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. 2. Evaluasi Evaluasi adalah penilaian secara sistematik dan objektif terhadap kegiatan, program atau kebijakan yang sedang berjalan atau yang sudah selesai dilaksanakan. Tujuannya adalah untuk menentukan relevansi dan pemenuhan tujuan, misalnya efisiensi, efektifitas, dampak, dan sustainabilitasnya.



78



Evaluasi pada penyelenggaraan penanggulangan bencana dilakukan dalam rangka pencapaian standar minimum dan peningkatan



kinerja



penanggulangan



bencana.



Evaluasi



dilakukan oleh unsur pengarah BNPB untuk penanganan bencana tingkat nasional dan unsur pengarah BPBD untuk penanganan bencana tingkat daerah. 2.12.10 Penyusunan Program 1. Program Safe Motherhood di pengungsian Motherhood saat bencana adalah standar upaya atau tindakan yang dilakukan agar Kehamilan Perempuan / Wanita berjalan lancar atau dengan kata lain untuk menyelamatkan agar kehamilan dan persalinannya sehat di pengungsian. Program Safe Motherhood sering disebut juga dengan Four Pillarsof Safe Motherhood



(konsep



yang



dikembangkan



oleh



WHO,



1994).Empat Pilar Safe Motherhood tersebut terdiri dari keluarga berencana, persalinan bersih dan aman, asuhan antenatal, dan pelayanan obstetri esensial. empat pilar tersebut sangat penting untuk dilakukan jika terdapat suatu bencana, karena pada saat bencana atau berada pada pengungsian sangat rentan akan terjadinya suatu penyakit. a. Tujuan program Safe Motherhood di pengungsian Gerakan yang digunakan untuk menyelamatkan wanita agar kehamilan dan persalinanya berjalan dengan sehat, aman dan mendapatkan bayi yang sehat serta untuk mencegah atau menurunkan kematian ibu dengan slogan Making Pregnancy Safer (MPS) di pengungsian atau saat terjadinya bencana. b. Sasaran program safemotherhooddi pengungsian Sasaran dari program safemotherhood adalah wanita hamil c. Pelaksanaan Program Safe Motherhood saat bencana



79



Pelaksanaan Safe Motherthood terdapat 3 pesan kunci dalam MPS yaitu setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih, setiap komplikasi obstetrik dan neonatal mendapat penanganan adekuat, dan setiap perempuan usia subur mempunyai akses terhadap pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi keguguran. Empat strategi utama dalam MPS yaitu meningkatkan akses dan cakupan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir yang berkualitas, membangun kemitraan yang efektif melalui kerja sama lintas program, lintas sektor dan mitra lainnya, mendorong pemberdayaan perempuan dan juga keluarga melalui peningkatan pengetahuan, mendorong keterlibatan masyarakat dalam menjamin penyediaan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir d. Empat Pilar Safe Motherhood tersebut terdiri dari: 1) Keluarga berencana. Konseling dan pelayanan keluarga berencana harus tersedia untuk semua pasangan dan individu.



Dengan



demikian,



pelayanan



keluarga



berencana harus menyediakan informasi dan konseling yang lengkap dan juga pilihan metode kontrasepsi yang memadai, termasuk kontrasepsi darurat. Pelayanan ini harus merupakan bagian dari program komprehensif pelayanan kesehatan reproduksi. Program keluarga berencana memiliki peranan dalam menurunkan risiko kematian ibu melalui pencegahan kehamilan, penundaan usia kehamilan, dan menjarangkan kehamilan. 2) Asuhan antenatal. Dalam masa kehamilan. Petugas kesehatan harus memberi pendidikan pada ibu hamil tentang cara menjaga diri agar tetap sehat dalam masa tersebut. Membantu wanita hamil serta keluarganya untuk mempersiapkan kelahiran bayi. Meningkatkan kesadaran mereka tentang kemungkinan adanya risiko



80



tinggi atau terjadinya komplikasi dalam kehamilan/ persalinan dan cara mengenali komplikasi tersebut secara dini.



Petugas



kesehatan



diharapkan



mampu



mengindentifikasi dan melakukan penanganan risiko tinggi/komplikasi secara dini serta meningkatkan status kesehatan wanita hamil. 3) Persalinan bersih dan aman. Dalam persalinan Wanita harus ditolong oleh tenaga kesehatan profesional yang memahami cara menolong persalinan secara bersih dan aman. Tenaga kesehatan juga harus mampu mengenali secara dini gejala dan tanda komplikasi persalinan serta mampu melakukan penatalaksanaan dasar terhadap gejala dan tanda tersebut. Tenaga kesehatan harus



siap



persalinan



untuk yang



melakukan tidak



dapat



rujukan diatasi



komplikasi ke



tingkat



pelayananyang lebih mampu. 4) Pelayanan obstetri esensial.  Pelayanan obstetri esensial bagi ibu yang mengalami kehamilan risiko tinggi atau komplikasi diupayakan agar berada dalam jangkauan setiap ibu hamil. Pelayanan obstetri esensial meliputi kemampuan fasilitas pelayanan kesehatan untuk melakukan tindakan dalam mengatasi risiko tinggi dan komplikasi kehamilan/persalinan e. Indikator Outcome Program Safe Motherhood 1) Cakupan penanganan kasus obstetric, 2) Case fatality rate kasus obstetri yang ditangani, 3) Jumlah kematian absolute 4) Penyebaran fasilitas pelayanan obstetric yang mampu PONEK dan PONED 5) Presentase bedah sesar terhadap seluruh persalinan di suatu wilayah



81



f. Pemantauan dan Evaluasi Pengukuran AKI sebagai indikator dampak secara berkala dalam waktu kurang dari 5-10 tahun tidak realistis, oleh karenanya para pakar dunia menganjurkan pemakaian indikator praktis yaitu indicator outcome. 2.13



Manajemen Gizi 2.13.1 Penanganan Gizi Darurat pada Bayi dan Anak Menururt Depkes, 2017 Penanganan gizi darurat pada bayi dan anak pada umumnya ditujukan untuk meningkatkan status gizi, kesehatan, dan kelangsungan hidup bayi dan anak dalam keadaan darurat melalui pemberian makanan yang optimal. Sementara, secara khusus, penanganan tersebut ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan petugas dalam pemberian makanan bayi dan anak baduta; meningkatkan ketrampilan petugas dalam mengenali dan memecahkan masalah pada pemberian makanan bayi dan baduta dalam keadaan darurat; dan meningkatkan kemampuan petugas dalam mendukung terhadap pemberian makanan yang baik dalam keadaan darurat. 2.13.2 Pemberian Air Susu Ibu (ASI) pada Bayi Pemberian ASI merupakan cara pemberian makanan alami dan terbaik bagi bayi dan anak baduta, baik dalam situasi normal terlebih dalam situasi darurat. Pemberian ASI pada bayi 0-6 bulan: 1. Berikan hanya ASI saja (ASI Eksklusif) 2. Berikan kolostrum 3. Berikan ASI dari kedua payudara. Berikan ASI dari satu payudara sampai kosong, kemudian pindah ke payudara lainnya. Pemberian ASI dilakukan 8-10 kali setiap hari. Pemberian Makanan pada Anak 6-12 Bulan Setelah umur 6 bulan, setiap bayi membutuhkan makanan lunak yang bergizi yang sering disebut.



Anjuran Cara Pemberian



Makanan Bayi:



82



1. Berikan ASI segera setelah lahir (dalam waktu 30 menit pertama) 2. Berikan hanya ASI saja sejak lahir sampai umur 6 bulan (ASI Eksklusif) 3. Tetap memberikan ASI sampai anak berumur 2 tahun. 4. Berikan makanan pendamping ASI setelah bayi berusia 6 bulan. 2.13.3 Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) MP-ASI merupakan makanan peralihan dari ASI ke makanan keluarga. Pengenalan dan pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun jumlahnya, sesuai dengan kemampuan pencernaan bayi/anak. Pada keadaan biasa, MP-ASI dibuat dari makanan pokok yang disiapkan secara khusus untuk bayi, dan diberikan 2–3 kali sehari sebelum anak berusia 12 bulan. Kemudian pemberian ditingkatkan 3–5 kali sehari sebelum anak berusia 24 bulan. MP-ASI harus bergizi tinggi dan mempunyai bentuk yang sesuai dengan umur bayi dan anak baduta. Sementara itu ASI harus tetap diberikan secara teratur dan sering. Dalam keadaan darurat, bayi dan balita seharusnya mendapat MP-ASI untuk mencegah kekurangan gizi. Untuk memperoleh MPASI yang baik yang dibuat secara lokal, perlu diberi tambahan vitamin dan mineral pada makanan waktu akan dihidangkan. Jenisjenis MP-ASI dapat dilihat dari buku standar. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian makanan bayi dan anak baduta yang dihadapi di lapangan, sebagai berikut: 1. Memahami perasaan ibu terhadap kondisi yang sedang dialami 2. Memberikan prioritas kepada ibu menyusui untuk mendapatkan distribusi makanan tepat waktu 3. Anjurkan ibu agar tenang dan bangkitkan motivasi ibu untuk menyusui bayinya 4. Anjurkan ibu agar mengonsumsi makanan bergizi seimbang yang cukup jumlahnya



83



5. Memastikan ibu mendapat tambahan makanan dan cairan yang mencukupi 6. Beri pelayanan dan perawatan kesehatan yang memadai 7. Memberikan perhatian khusus dan dukungan terus-menerus pada ibu untuk mengatasi mitos atau kepercayaan yang salah tentang menyusui 8. Memberikan penyuluhan pada tokoh masyarakat, tokoh agama dan keluarga yang dapat mendukung ibu untuk menyusui 9. Menyediakan tempat-tempat untuk menyusui yang memadai atau kamar laktasi 10. Mengawasi sumbangan susu formula serta menolak sumbangan yang tidak memiliki label, kemasan yang rusak, bahasa yang tidak dipahami pengguna, batas kedaluarsa (minimal 6 bulan sebelum tanggal kadaluarsa) 11. Jika ibu bayi tidak ada (meninggal), ibu sakit berat, atau ibu tidak dapat menyusui lagi, maka kepada bayi diberikan alternatif lain yaitu: 12. Mencari kemungkinan donasi ASI dari ibu yang sedang menyusui 13. Khusus untuk bayi 0-6 bulan dapat diberikan susu formula, dengan menggunakan cangkir dan tidak boleh menggunakan botol atau dot. Susu formula diberikan sesuai dengan petunjuk penggunaan 14. Susu formula harus dipersiapkan dengan menggunakan air masak. 15. Tidak dianjurkan diberikan makanan lain 16. Susu kental manis tidak boleh diberikan pada bayi (24 Bulan Upaya penanganan gizi darurat pada bayi usia >24 bulan pada umumnya dilakukan untuk mencegah memburuk-nya status gizi dan untuk meningkatkan status gizi masyarakat di pengungsian. Upaya ini juga ditujukan untuk memantau perkembangan status gizi pengungsi melalui kegiatan surveilans, menyelenggarakan pelayan-an gizi sesuai dengan tingkat masalah gizi (tingkat kedaruratan), dan untuk mewujudkan koordinasi lintas program dan lintas sektor. Upaya ini ditujukan bagi masyarakat pengungsi



85



terutama kelompok rawan yaitu balita, ibu hamil, ibu meneteki dan usia lanjut. 2.13.6 Tahap Penanganan Gizi Darurat Tahapan di dalam penanganan gizi darurat, antara lain: 1. Fase pertama (fase I) adalah saat: a. Pengungsi baru terkena bencana. b. Petugas belum sempat mengidentifikasi pengungsi secara lengkap. c. Belum ada perencanaan pemberian makanan terinci sehingga semua golongan umur menerima bahan makanan yang sama. d. Khusus untuk bayi dan baduta harus tetap diberikan ASI dan MP-ASI. Fase ini maksimum sampai dengan hari ke-5,



Fase ini



bertujuan memberikan makanan kepada masyarakat agar tidak lapar. Sasarannya adalah seluruh pengungsi, dengan kegiatan: Pemberian makanan jadi dalam waktu sesingkat mungkin, Pendataan awal: jumlah pengungsi, jenis kelamin, golongan umur, Penyelenggaraan dapur umum (merujuk ke Depsos), dengan standar minimal. 2. Fase kedua (fase II) adalah: a. Pengungsi sudah lebih dari 5 hari bermukim di tempat pengungsian. b. Sudah ada gambaran keadaan umum pengungsi (jumlah, golongan umur, jenis kelamin, keadaan lingkungan dan sebagainya), sehingga perencanaan pemberian bahan makanan sudah lebih terinci. c. Penyediaan



bahan



makanan



disesuaikan



kebutuhan



kelompok rawan. Sasaran pada fase ini adalah seluruh pengungsi dengan kegiatan: Pengumpulan dan pengolahan data dasar status gizi, Menentukan strategi intervensi berdasarkan analisis status gizi,



86



Menentukan strategi intervensi berdasarkan analisis status gizi, Merencanakan kebutuhan pangan untuk suplementasi gizi, Menyediakan Paket Bantuan Pangan (ransum) yang cukup melalui koordinasi dengan sektor terkait, yang mudah di konsumsi oleh semua golongan umur dengan syarat minimal. Setiap orang diperhitungkan menerima ransum senilai 2.100 Kkal, 40 gram lemak dan 50 gram protein per hari. Diusahakan memberikan pangan sesuai dengan kebiasaan dan ketersediaan setempat, mudah diangkut, disimpan dan didistribusikan. Harus



memenuhi



Mendistribusikan



kebutuhan ransum



vitamin



sampai



dan



mineral.



ditetapkan-nya



jenis



intervensi gizi berdasarkan hasil data dasar (maksimum 2 minggu). Memberikan penyuluhan kepada pengungsi tentang kebutuhan gizi dan cara pengolahan bahan makanan masingmasing anggota keluarga. 3. Fase ketiga (fase III) adalah: Tahap ini dimulai selambat-lambatnya pada hari ke-20 di tempat pengungsian. Kegiatan tahap ini bertujuan untuk menanggulangi masalah gizi melalui intervensi sesuai tingkat kedaruratan gizi. Kegiatan: 1) Melakukan penapisan (screening) bila prevalensi gizi kurang balita 10 -14,9% atau 5-9,9% yang disertai dengan faktor pemburuk. 2) Menyelenggarakan pemberian makanan tambah-an sesuai dengan jenis intervensi yang telah ditetapkan pada tahap 1 fase II. 3) Melakukan penyuluhan baik perorangan atau kelompok dengan materi penyuluhan sesuai dengan butir b. 4) Memantau perkembangan status gizi melalui surveilans. 5) Melakukan modifikasi/perbaikan intervensi sesuai dengan perubahan tingkat kedaruratan: Jika prevalensi gizi kurang >15% atau 10-14,9% dengan faktor pemburuk, diberikan



87



paket pangan dengan standar minimal per orang per hari (ransum), dan diberikan PMT darurat untuk balita, ibu hamil, ibu meneteki dan lansia;



serta PMT terapi bagi



penderita gizi buruk. Jika prevalensi gizi kurang 10-14,9% atau 5-9,9% dengan faktor pemburuk diberikan PMT darurat terbatas pada balita, ibu hamil, ibu meneteki dan lansia yang kurang gizi serta PMT terapi kepada penderita gizi buruk. Jika prevalensi gizi kurang