Buku Konseling Lintas Budaya 2022 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1



BIMBINGAN KONSELING LINTAS BUDAYA



Oleh:



Dr. Hadiwinarto, M. Psi. Muhammad Nikman Naser, M.Pd.



Penerbit FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS BENGKULU FKIP – UNIB PRESS



2



Prakata Puji syukur saya peruntukan kehadirat Allah SWT, karena berkat ridho-Nya jualah Buku ini selesai disusun dan diterbitkan pertama kalinya. Penulisan buku ini didorong oleh pengalaman sebagai pengajar, di mana mahasiswa membutuhkan referensi khusus yang menurutnya mudah dipahami. Diketahui bahwa budaya Indonesia sangat beragam dan ketersediaan buku berbahasa Indonesia dengan spesifikasi bimbingan konseling lintas budaya juga sangat terbatas. Referensi buku-buku budaya Indonesia memang sangat beragam, tetapi masih dibutuhkan wawasan mendalam dalam konteks bimbingan konseling lintas budaya. Saya yakin semua calon konselor sekolah memerlukan pengetahuan dan pemahaman mengenai referensi untuk memberikan layanan bimbingan konseling lintas budaya. Bahwa bimbingan konseling lintas budaya adalah penyediaan informasi mengenai karakteristik layanan dan program bimbingan konseling kepada siswa, orang tua murid, sekolah, pemerintah dan masyarakat. Sesuai dengan judulnya: “Bimbingan Konseling Lintas Budaya”, buku ini berisi uraian mengenai kajian berbagai persoalan mengenai berbagai budaya yang sangat bermanfaat bagi guru Bimbingan Konseling yang menghadapi klien dari berbagai budaya di Indonesia. Dalam banyak hal, karena keterbatasannya, buku ini memuat pokok-pokok pikiran penulis. Untuk memperdalamnya, dipersilahkan membaca buku-buku yang khusus membahas materi yang dimaksud yang memerlukan ketajaman analisis. Buku ini kiranya cocok dan bermanfaat bagi para akademisi, praktisi bimbingan dan konseling, tenaga kependidikan lainnya dan mahasiswa yang berkeinginan mendalami persoalan bimbingan dan konseling. Dengan mempelajari buku ini, para pembaca akan memperoleh pemahaman, pengetahuan dan dasar-dasar keterampilan merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi layanan dan program bimbingan konseling. Dengan mempelajari berbagai budaya akan meningkatkan pemahaman mengenai makna transparansi layanan. Dengan mempelajari berbagai budaya akan menambah alternatif yang akan dipilih dalam merencanakan dan melaksanakan layanan. Persoalan instrumentasi juga merupakan masalah utama dalam evaluasi, maka para pembaca akan memperoleh pemahaman dasar bagaimana menentukan instrumen evaluasi layanan program bimbingan konseling. Instrument evaluasi yang dimaksud terfokus pada evaluasi input, evaluasi proses, evaluasi hasil dan evaluasi dampak atau outcome. Perbedaan budaya antara klien ataupun sekelompok klien dengan budaya konselor merupakan salah satu hambatan proses konseling yang kemudian dapat berdampak pada



3



output konseling. Dengan pemahaman mengenai berbagai budaya diharapkan konselor dan klien dapat menciptakan situasi konseling yang kondusif sehingga output dan outcome konseling menjadi optimal. Akhirnya semoga buku ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua, khususnya bagi kalangan akademisi dan praktisi pendidikan, terkhusus bagi praktisi bimbingan konseling. Bengkulu, September 2022 Dr. Hadiwinarto, M.Psi. Muhammad Nikman Naser, M.Pd.



4



UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA PASAL 2



Undang-Undang ini berlaku terhadap: a. semua Ciptaan dan produk Hak Terkait warga negara, penduduk, dan badan hukum Indonesia; b. semua Ciptaan dan produk Hak Terkait bukan warga negara Indonesia, bukan penduduk Indonesia, dan bukan badan hukum Indonesia yang untuk pertama kali dilakukan Pengumuman di Indonesia; c. semua Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dan pengguna Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait bukan warga negara Indonesia, bukan penduduk Indonesia, dan bukan badan hukum Indonesia dengan ketentuan: 1. negaranya mempunyai perjanjian bilateral dengan negara Republik Indonesia mengenai pelindungan Hak Cipta dan Hak Terkait; atau 2. negaranya dan negara Republik Indonesia merupakan pihak atau peserta dalam perjanjian multilateral yang sama mengenai pelindungan Hak Cipta dan Hak Terkait.



BAB XVII KETENTUAN PIDANA Pasal 112 Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dan/atau pasal 52 untuk Penggunaan Secara Komersial, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan / atau pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).



Pasal 113 (1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah). (2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (l) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah)



5



BIMBINGAN KONSELING LINTAS BUDAYA



Dr. Hadiwinarto, M. Psi.



FKIP – UNIB PRESS



6



DAFTAR ISI PRAKATA DAFTAR ISI TUJUAN INSTRUKSIONAL BAB I KONSEP DASAR KONSELING LINTAS BUDAYA A. Pendahuluan B. Tinjauan tentang Budaya dan Kebudayaan 1. Definisi Budaya 2. Definisi Kebudayaan 3. Wujud Kebudayaan C. Cakupan Budaya D. Pengertian Konseling E. Tujuan Konseling Lintas Budaya BAB II BUDAYA DAN PROSES PERKEMBANGAN A. Pengertian budaya B. Konsep Kebudayaan Indonesia C. Karakteristik Budaya D. Akulturasi Budaya di Indonesia E. Sifat budaya 1. Sosialisasi budaya 2. Sistem Nilai



BAB III KONSELING LINTAS BUDAYA A. Pengertian konseling multikultural B. Problem masyarakat multikultural C. Perlunya Konseling Multikrtural D. Eksistensi Konseling di Indonesia 1. Ketrampilan khusus konselor 2. Karakteristik konselor lintas budaya E. Proses Konseling Multikultural F. Aplikasi konseling multikultural BAB IV KOMPETENSI KONSELOR LINTAS BUDAYA A. Profesi Konselor dalam Perspektif Konseling Lintas Budaya



7



B. Kompetensi Konselor Lintas Budaya C. Karakteristik konselor lintas budaya D. Aplikasi di Sekolah BAB V KERANGKA KERJA KONSELING LINTAS BUDAYA A. Pendekatan Konseling Kemaslahatan B. Pendekatan Konseling Kedamaian C. Pendekatan Konseling Model KIPAS D. Model Konseling Berbasis Budaya GUSJIGANG



Daftar Pustaka



8



BAB I KONSEP DASAR KONSELING LINTAS BUDAYA A. Pendahuluan Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa membutuhkan keberadaan individu lain dalam rangka pemenuhan kebutuhannya, seperti kebutuhan social, kebutuhan ekonomi, kebutuhan aktualisasi diri dan sebagainya. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan tersebut, manusia berinteraksi satu dengan yang lainnya baik yang berasal dari budaya yang sama bahkan dengan budaya yang berbeda. Hal ini bisa dipahami karena dinamika manusia sebagai makhluk individu dan social selalu berkembang secara dinamis. Manusia senantiasa bertemu dan berinteraksi dengan orang lain, baik dalam lingkup social maupun dalam lingkup pendidikan seperti konseling. Oleh karena manusia itu memiliki latar belakang budaya yang berbeda, maka diperlukan adanya pemahaman akan pentingnya konseling lintas budaya, terutama dalam penerapannya pada pelayanan bimbingan dan konseling.            Dipandang dari perspektif budaya, situasi konseling adalah sebuah “perjumpaan cultural” antara konselor dengan konseli. Dalam konseling terjadi proses belajar, transferensi dan kaunter-transferensi, serta saling menilai. Oleh karena itu, konselor perlu memiliki kepekaan budaya agar dapat memahami dan membantu konseli sesuai dengan konteks budayanya. Konselor yang demikian adalah konselor yang menyadari benar bahwa secara kultural, individu memiliki karakteristik yang unik dan ke dalam proses konseling ia membawa serta karakteristik tersebut. Untuk memiliki kepekaan budaya, konselor dituntut untuk mempunyai pemahaman yang kaya tentang berbagai budaya di luar budayanya sendiri, khususnya berkenaan dengan latar belakang budaya konseli di Indonesia. Penerapan konseling lintas budaya mengharuskan konselor peka dan tanggap terhadap adanya keragaman budaya dan adanya perbedaan budaya antar kelompok konseli yang satu dengan kelompok konseli lainnya, dan antara konselor sendiri dengan konseli. Konselor harus sadar akan implikasi diversitas budaya terhadap proses konseling. Isu-isu tentang antar atau lintas budaya yang disebut juga multibudaya meningkat dalam dekade 1960-an, hal ini mengingat bahwa individu memiliki keragaman budaya sehingga penting untuk dikaji secara ilmiah.



9



Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa konseling lintas budaya melibatkan konselor dan konseli yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan karena itu proses konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif. Agar berjalan efektif, maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat mengapresiasi diversitas budaya, dan memiliki keterampilan-keterampilan yang responsif secarakultural. Dengan demikian, maka konseling dipandang sebagai “perjumpaan budaya” (cultural encounter) antara konselor dan klien (Dedi Supriadi, 2001). Dikatakan Konseling lintas budaya jika konselor dan konseli memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Perbedaan budaya itu bisa mengenai nilai-nilai, keyakinan, perilaku dan lain sebagainya.



B. Tinjauan tentang Budaya dan Kebudayaan 1. Definisi Budaya Istilah kebudayaan tidak bisa terlepas dari budaya karena kedua istilah ini memiliki keterkaitan makna. Kata budaya berasal dari kata latin yakni Colere yang artinya mengolah atau mengerjakan. Budaya dalam Bahasa Inggris disebut Culture, dalam Bahasa Indonesia disebut Kultur yang memiliki arti sama dengan kebudayaan. Istilah budaya berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Jadi dapat dikatan bahwa budaya berkaitan dengan dengan budi dan akal manusia. Seorang antropolog asal Inggris bernama E.B. Taylor, mendefinisikan budaya sebagai sesuatu kompleks yang mencakup pengetahuan kepercyaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lainnya yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Sedangkan Louise Damen, dalam bukunya Culture Learning: The Fifth Dimension in the Language Classroom, menyatakan bahwa budaya mempelajari berbagi pola atau model manusia untuk hidup seperti pola hidup sehari-hari. Pola dan model ini meliputi semua aspek interaksi sosial manusia. Budaya adalah mekanisme adaptasi utama umat manusia. Dari pendapat Taylor dan Damen, dapat disimpulkan bahwa budaya merupakan hal hal yang berkaitan dengan akan dan cxara hidup suatu masyarakat yang senantiasa berkembang dari waktu ke waktu.



10



2. Definisi Kebudayaan Seperti yang dijelaskan di awal, bahwa budaya dan kebudayaan memiliki keterkaitan makna, dimana kata kebudayaan itu sendiri bersumber dari kata dasar budaya. Kebudayaan merupakan hasil dari budaya. Kebudayaan menunjuk kepada berbagai aspek kehidupan meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap, dan juga hasil dari kegiatan manusia khas untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu. Seperti yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat, kebudayaan berarti keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia. Sementara itu, Kebudayaan menurut Kluckhohn dan Kelly, adalah segala konsep hidup yang tercipta secara historis, baik yang implisit, irasional, dan rasional yang ada di suatu waktu, sebagai acuan yang potensial untuk tingkah laku manusia. Selanjutnya, pengertian kebudayaan juga dikemukakan oleh E.B.Taylor, yaitu suatu keseluruhan yang kompleks meliputi kepercayaan, kesusilaan, seni, adat istiadat, hukum, kesangupan dan kebiasaan lainnya yang sering dipelajari oleh manusia sebagai bagian. Menururt Fizee, kebudayaan memiliki tingkatan yakni: 1.



Tingkat kecerdasan akal setinggi-tingginya yang dihasilkan dalam suatu tempo sejarah bangsa di puncak perkembangannya.



2.



Hasil yang dicapai suatu bangsa dalam lapangan kesusastraan, falsafah, ilmu pengetahuan dan kesenian.



3.



Sebagai way of life bangsa, terutama hubungannya dengan adat istiadat, upacara keagamaan, penggunaan bahasa dan kebiasaan hidup masyarakat.



Pengertian kebudayaan juga dikemukakan oleh Francis Merill, bahwa budaya adalah semua perilaku dan semua produk yang dihasilkan oleh seseorang sebagai anggota suatu masyarakat yang ditemukan melalui interaksi simbolis. Kebudayaan berarti pola-pola perilaku yang dihasilkan oleh interaksi sosial. Menurut Larson dan Smalley (1972), kebudayaan adalah “blue print” yang memandu perilaku orang dalam suatu komunitas dan diinkubasi dalam kehidupan keluarga. Mengatur perilaku kita dalam kelompok, membuat kita peka terhadap masalah status, dan membantu kita mengetahui apa tanggung jawab kita adalah untuk grup. Kebudayaan menurut Robert H Lowie, adalah segala sesuatu yang di peroleh individu dari masyarakat, mencakup kepercayaan, adat istiadat, norma-norma artistik, kebiasaan makan,



11



keahlian yang di peroleh bukan dari kreatifitasnya sendiri melainkan merupakan warisan masa lampau yang di dapat melalui pendidikan formal atau informal. Sebenarnya masih sangat banyak pengertian kebudayaan yang dikemukakan oleh para ahli, namun dalam tulisan ini diambil beberapa pendapat ahli yang erat kaitannya dengan fokus dalam tulisan ini. Dari pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan hasil karya dari manusia yang diperoleh dari hasil berpikir dan dijadikan sebagai acuan dalam bertingkah laku.



3. Wujud Kebudayaan Setelah diuraikan pengertian budaya dan kebudayaan, maka berikut ini akan dijelaskan wujud budaya. Honingmann membagi kebudayaan kedalam 3 wujud, yakni kebudayaan dalam wujud ide, pola tindakan dan artefak atau benda-benda. Berikut ini penjelasan dari ke-3 wujud budaya tersebut: a. Wujud budaya dalam bentuk Gagasan atau ide Wujud kebudayaan ini adalah gagasan atau wujud ideal yang bersifat abstrak. Sifatnya tidak dapat diraba, direkam, atau dilihat melainkan ada dalam pikiran individu penganut kebudayaan tersebut. Contohnya adalah norma, adat istiadat, agama, atau hukum-hukum yang berlaku di suatu daerah. b. Wujud budaya dalam bentuk Aktivitas (pola tindakan) Wujud kebudayaan ini bersifat konkret, dapat dilihat maupun direkam. Maksudnya adalah aktivitas atau kegiatan sosial berpola individu dalam suatu masyarakat, yang saling berinteraksi dan berhubungan secara berkelanjutan dengan sesamanya. Contohnya adalah acara perkawinan, upacara adat, ritual keagamaan, proses pemilihan pemimpin, dan sebagainya. c. Wujud budaya dalam bentuk Artefak (karya) Wujud kebudayaan ini menurut J.J. Hoenigman adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan di dokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan. Contohnya adalah wayang golek, kain songket, senjata tradisional, pakaian adat, dan sebagainya.



12



Pendapat yang sama terkait wujud budaya ini dikemukakan oleh Koentjaraningrat (2000), sebagai berikut: 1. Gagasan Gagasan merupakan wujud ideal kebudayaan yang berbentuk dari kumpulan ide-ide, nilainilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut. 2. Aktivitas/tindakan. Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan seharihari, dan dapat diamati dan didokumentasikan. 3. Artefak/ karya Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan. Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia. Menurut Cohen (dalam Glading, 2012), budaya membentuk perilaku, pemikiran, persepsi, nilai, moral dan proses kognitif manusia. Hal itu terjadi secara disadari maupun tidak disadari. Disadari atau tidak, budaya menjadi salah satu penentu peradaban kehidupan manusia sehingga terjadi perkembangan ke arah yang lebih baik. Perilaku terbentuk sebagai aktualisasi persepsi, perasaan, dan emosi pemikiran sebagai proses kognitif yang dilandasi oleh moral. Sebagai bentuk implementasi hasil pemikiran, perilaku dapat menjadi berperilaku moral terwujud dalam bentuk etis berdasarkan norma-norma sosial



13



dan agama, dan dapat juga menjadi perilaku yang tidak sesuai norma agama, norma sosial dan norma kenegaraan.



C. Cakupan Budaya Selanjutnya akan diuraikan cakupan budaya. Menurut Pederson (1980), cakupan budaya terdiri atas : 1. Etnografi Secara harfiah, Etnografi dapat berarti tulisan atau laporan tentang suatu suku bangsa yang ditulis oleh seorang antropolog atas hasil penelitian lapangan (field work) selama sekian bulan atau sekian tahun. Agus Salim (2001) menjelaskan bahwa secara sederhana, etnografi dapat dipahami sebagai gambaran sebuah kebudayaan yaitu gambaran kebudayaan sebuah masyarakat yang merupakan hasil konstruksi peneliti dari berbagai informasi yang diperolehnya selama melakukan penelitian di lapangan dan dengan fokus permasalahan tertentu. Ciri khas dari metode penelitian lapangan etnografi ini adalah sifatnya yang menyeluruh dan terpadu (holistic-integratif), deskripsi yang kaya (thick description) dan analisa kualitatif dalam rangka mendapatkan cara pandang pemilik kebudayaan. Sebagai sebuah metode penelitian, (Spradley, 1979) etnografi merupakan teknik pengumpulan data dimana observasi partisipasi dan juga wawancara terbuka dan mendalam sebagai teknik dalam mengumpulkan data yang dilakukan dalam jangka waktu relatif panjang, bukan kunjungan singkat dengan daftar pertanyaan terstruktur seperti pada penelitian survey. Etnografi juga merupakan jenis metode penelitian yang diterapkan untuk mengungkap makna sosio-kultural dengan cara mempelajari keseharian pola hidup dan interaksi sosio-kultural (culture-sharing group) tertentu dalam ruang atau konteks yang spesifik. Etnografi ini mencakup etnis/suku, agama dan bahasa. Etnis/etnis bertalian dengan kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Menurut Koentjaraningrat, suku bangsa adalah sekelompok manusia yang mempunyai kesatuan budaya dan terikat oleh kesadaran budaya tersebut sehingga menjadi identitas. Agama adalah sistem yang mengatur kepercayaan dan peribadatan Kepada Tuhan Yang



14



Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan budaya, dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan kehidupan. 2. Demografis Lingkup budaya secara demografis mencakup umur, gender, dan tempat tinggal. Secara etimologi, demografi berasal dari bahasa latin yaitu kata ”demograhie” yang terdiri dari dua kata ”demos” dan ”graphien”. Demos berarti penduduk dan graphien berarti catatan atau bahasan tentang sesuatu. Maka secara etimologi makna demografi adalah catatan atau bahasan mengenai penduduk suatu daerah dalam kurun waktu tertentu. Pengertian demografi secara umum adalah suatu cabang ilmu yang mempelajari jumlah, persebaran wilayah, dan komposisi penduduk. 3. Status Lingkup budaya berdasarkan status mencakup: status sosial, status pendidikan, kondisi ekonomi, dan keanggotaan suatu organisasi. Status sosial merupakan suatu kedudukan sosial seseorang di masyarakat yang mampu didapat dengan sendirinya (secara otomatis) melalui usaha ataupun karena pemberian. Interaksi osiap akan mendorong individu untuk bisa mencapai status sosial yang lebih tinggi. Status sosial yang lebih tinggi akan berpengaruh pada sikap dan rasa penghargaan yang tinggi dari masyarakat, 4. Etnis/Suku dan Sistem Nilai Etnis berkaitan dengan kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Dalam setiap etnis berkembang adat istiadat, tradisi, selain itu juga terkait system kekerabatan. Berikut ini diuraikan system kekerabatan yang dimiliki sebagai berikut: a. Matrilineal Merupakan sistem kekerabatan yang mengikuti garis keturunan ibu. Dalam sistem kekerabatan ini, anak menghubungkan dirinya



dengan kerabat ibu berdasarkan garis



keturunan perempuan secara unilateral. Dalam sistem kekerabatan ini keturunan menurut garis ibu dipandang sangat penting sehingga menimbulkan hubungan pergaulan kekeluargaan yang jauh lebih rapat dan meresap diantara para warga persekutuannya. Sistem kekerabatan matrilineal menerapkan bentuk perkawinan semanda, dilakukan tanpa pembayaran jujur dari pihak pria kepada pihak wanita. Setelah dilakukannya perkawinan



15



pria harus menetap dipihak kekerabatan istri. Sistem kekerabatan ini biasa dianut oleh masyarakat adat Minangkabau. b. Patrilineal Merupakan sistem kekerabatan yang mengikuti garis keturunan bapak. Dalam sistem ini anak menghubungkan dirinya dengan kerabat bapaknya berdasarkan garis keturunan pria secara unilateral. Keturunan dari pihak bapak (laki-laki) dinilai mempunyai kedudukan lebih tinggi serta hak-haknya juga kan mendapatkan lebih banyak. Sistem kekerabatan ini menggunakan bentuk perkawinan jujur, yang dilakukan dengan memberikan uang jujur dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Hal ini dimaksudkan sebagai lambang diputuskannya kekeluargaan istri dengan orang tua dan kerabatnya. Setelah diterimanya uang jujur, maka istri akan mengalihkan kedudukannya menjadi keanggotaan kerabat suami. Sistem kekerabatan ini biasanya berlaku pada masyarakat adat batak, nias dan bali. c. Campuran (parental) Merupakan sistem kekerabatan dimana anak menhubungkan diri dengan kedua orang tuanya, anak juga menghubungkan dirinya dengan kerabat bapak dan ibunya secara bilateral. Dalam sistem kekerabatan ini kedua orang tua maupun kerabat dari bapak dan ibunya memberlakukan peraturan yang sama baiknya tentang perkawinan, hak dan kewajiban serta pewarisan. Masyarakat adat parental menggunakan bentuk perkawinan mentas, yang tidak mengutamakan kekerabatan salah satu pihak baik ibu maupun bapak. Sistem kekerabatan ini diterapkan oleh masyarakat adat jawa. 5. Lingkup Budaya Budaya terdiri atas berbagai ruang lingkup. Berikut ini disebutkan dan diuraikan bagian dari lingkup budaya te rsebut: a. Etnis Etnis atau suku bangsa merupakan suatu kesatuan sosial yang dapat dibedakan dari kesatuan yang berlainan berdasarkan identitas unsur kebudayaan yang mengakar kuat, terutama dengan bahasa yang merupakan salah satu aspek penting dalam budaya. Etnis adalah serangkaian persamaan asal usul yang merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong ketertautan dalam satu ikatan. (Koentjaraningrat, 2007) menyatakan bahwa etnis merupakan sekumpulan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas kolektif yang dipertegas dengan pemahaman akan kesatuan bangsa. Dalam hal ini keberadaan



16



etnis ditentukan oleh pentingnya kesadaran kelompok, pemahaman yang luas akan kesatuan kebudayaan dan juga persamaan asal usul yang melekat erat. Jenis-jenis etnis yang tersebar di berbagai penjuru dunia antara lain sebagai berikut: Suku Bangsa Maya, Suku Bangsa Persia, Suku Bangsa Amazon, Suku Bangsa Aborigin, Suku Bangsa Han, Suku Gypsy, Suku Bangsa Yunani. b. Gender Definisinya adalah keadaan dimana individu yang lahir secara biologis, laki-laki dan perempuan yang kemudian memperoleh pencirian sosial sebagai laki-laki dan perempuan melalui atribut-atribut maskulinitas dan feminitas yang sering didukung oleh nilai-nilai atau sistem dan simbol di masyarakat yang bersangkutan. Secara singkat, gender dapat diartikan sebagai suatu konstruksi sosial atas seks, menjadi peran dan perilaku sosial. Dapat pula dikatakan bahwa konsep gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Misalnya, laki-laki itu kuat, rasiomal perkasa. Sedangkan perempuan itu lembut, lebih berperasaan, dan keibuan. Gender terefleksikan ke dalam peran-peran, status sosial, kekuasaan politik dan ekonomi antara laki-laki dan perempuan. (Bruynde, jackson, Wijermans, Knought & Berkven, 1997). c. Seks Merupakan sifat atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. d. Religi Religi berasal dari kata religi (latin) atau leregre, yang berarti membaca dan mengumpulkan. Gazalba menyebutkan bahwa religi atau agama pada umumnya memiliki-memiliki aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh pemeluknya. Semua hal itu mengikat sekelompok orang dalam hubungannya antar makhluk dengan khalik (Tuhan) yang berwujud dalam ibadah yang dilakukan dalam sikap keseharian (Ghufron Dan Risnawita, 2010). Religiusitas juga dapat diartikan sebagai keyakinan atas adanya yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia dan alam semesta yang didalamnya terdapat perasaan, tindakan dan pengalaman yang bersifat individual. Di dalam religi dapat berbentuk simbol, keyakinan, sistem nilai dan sistem perilaku yang



17



terlembagakan, yang semuanya berpusat pada persoalan yang dianggap sebagai sesuatu paling bermakna. e. Tradisi Tradisi berarti segala sesuatu yang dilakukan seseorang, seperti adat, kebiasaan, ajaran, dan sebagainya yang turun temurun dari nenek moyang. tradisi berasal dari kata traditium, yaitu segala sesuatu yang di transmisikan, diwariskan oleh masa lalu ke masa sekarang. Pada dasarnya, tradisi adalah warisan masa lalu yang dilestarikan, dijalankan dan percaya hingga saat ini. Tradisi atau adat tersebut dapat berupa nilai, norma sosial, pola kelakuan dan adat kebiasaan lain yang merupakan wujud dari sebagai aspek kehidupan. Menurut Hasan Hanifi, Tradisi adalah segala warisan masa lampau (baca tradisi) yang masuk pada kita dan masuk kedalam kebudayaan yang sekarang berlaku. Dengan demikian, bagi Hanafi turats tidak hanya merupakan persoalan peninggalan sejarah, tetapi sekaligus merupakan persoalan kontribusi zaman kini dalam berbagai tingkatnya. f. Usia Istilah usia diartikan dengan lamanya keberadaan seseorang diukur dalam satuan waktu di pandang dari segi kronologik, individu normal yang memperlihatkan derajat perkembangan anatomis dan fisiologik sama (Nuswantari, 1998). 6. Pengaruh Budaya Budaya yang begitu beragam dapat memberi pengaruh pada manusia di antaranya terhadap: persepsi diri, emosi, dan komunikasi. Selanjutnya dijelaskan sebagai berikut. a. Persepsi diri Menurut Rahmat (2000), persepsi adalah suatu pengalaman tentang objek peristiwa atau hubungan yang diperoleh dengan mengumpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Sedangkan menurut Sarwono, persepsi adalah kemampuan untuk membedabedakan, mengelompokkan, memfokuskan, dan sebagainya. Dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah suatu proses penyampaian informasi yang relevan yang tertangkap oleh panca indra dari lingkungan yang kemudian mengorganisasikannya dalam pikirannya, menafsirkan, mengalami, dan mengolah segala sesuatu yang terjadi di lingkungan tersebut. Bagaimanapun, segala sesuatu tersebut mempengaruhi persepsi, karena



18



persepsi dapat dikatakan sebagai kejadian pertama dalam rangkaian proses menuju perubahan stimulus menjadi tindakan atau sebagai sensasi yang berarti atau bermakna. b. Emosi Tiap budaya di suatu daerah memiliki pandangan yang berbeda mengenai emosi, emosi di berbagai budaya dan negara memiliki sebutan dan ukuran yang berbeda, hal itu dipandang dari kebiasaan ketika seseorang kecil dan belajar dari orang dewasa di sekitarnya, bagaimana tampilan orang orang ketika sedang marah atau ketika sedang emosi dan bagaimana pengungkapannya. Misalnya bisa kita lihat kebiasaan masyarakat dari suatu budaya yang sangat menekankan penekanan ucapan pada saat berbicara. c. Komunikasi Budaya dan komunikasi diibaratkan seperti dua sisi mata uang logam. Budaya mempengaruhi komunikasi dan sebaliknya komunikasi mempengaruhi budaya. Martin dan Nakayama (2003) menjelaskan bahwa melalui budaya dapat mempengaruhi proses dimana seseorang mempersepsi suatu realitas. Semua komunitas dalam semua tempat selalu memanifestasikan atau mewujudnyatakan apa yang menjadi pandangan mereka terhadap realitas melalui budaya. Sebaliknya pula, komunikasi membantu kita dalam mengkreasikan realitas budaya dari suatu komunitas seperti dalam pengaruh bahasa tubuh dalam komunikasi. Porter dan Samovar (1993) menyatakan bahwa hubungan reciprocal (timbal balik) antara budaya dan komunikasi penting untuk dipahami bila ingin mempelajari komunikasi antarbudaya secara mendalam. Hal ini terjadi karena melalui budayalah orang-orang dapat belajar berkomunikasi dalam komunikasi non verval. Keberhasilan proses konseling tidak hanya ditentukan oleh kepakaran konselor dalam penguasaan materi konseling, tetapi juga dipengaruhi oleh pemahaman konselor terhadap latar belakang budaya klien. Seperti diketahui bahwa Isu-isu tentang antar atau lintas budaya semakin berkembang dewasa ini. Pertemuan individu antar budaya semakin tidak terhindarkan sehingga atas dasar ini muncul kesadaran akan pentingnya pendekatan baru dalam menjawab tantangan kehidupan pada abad-21. Perbedaan budaya sudah selayaknya menjadi perhatian sehingga bisa menghindari terjadinya kegagalan komunikasi. Demikian halnya dalam kegiatan konseling, bahwa terdapat pertemuan individu yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda, sehingga seorang konselor penting memahami masalah budaya klien sehingga tujuan konseling tercapai. Dalam prakteknya, konseling antar budaya merupakan pertemuan dua orang



19



(konselor dan konseli), dimana sangat memungkinkan masing masing memiliki latar budaya yang berbeda. Oleh karena itu, penting melakukan observasi atas konseli agar diperoleh informasi yang bisa membantu penyelesaian masalah yang dihadapi konseli. Seperti yang dikemukakan oleh Dedi Supriadi (2001) bahwa konseling lintas budaya melibatkan konselor dan klien yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan karena itu proses konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif. Agar berjalan efektif, maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat mengapresiasi diversitas budaya, dan memiliki keterampilan-keterampilan yang responsif secara kultural. Dengan demikian, maka konseling dipandang sebagai “perjumpaan budaya” (cultural encounter) antara konselor dan klien. Dalam proses konseling terjadi proses belajar, tranferensi dan counter-transferensi, dan saling menilai. Pada keduanya, juga terjadi saling menarik inferensi. Suasana konseling diwarnai oleh pertemuan dua budaya yang mungkin sangat berbeda, bila konselor tidak memahami budaya klien maka akan terjadi benturan budaya. Benturan budaya ini bisa disebabkan beberapa hal seperti stereotype, prasangka, etnosentrisme, serta kesalahan atribusi. Stereotype merupakan bentuk kompleks dari pengelompokan secara mental yang mengatur pengalaman seseorang dan mengarahkan sikapnya ketika berinteraksi dengan individu dari suatu budaya. Abatte, Boca, dan Bocchiaro mendefinisikan stereotype sebagai berikut: “susunan kognitif yang mengandung pengetahuan, kepercayaan, dan harapan sipenerima mengenai kelompok social manusia. Stereotype cenderung menggeneralisasikan ciri dari suatu kelompok budaya. Stereotype dapat mempersempit persepsi individu akan orang lain dari suatu budaya, sehingga dapat menghambat proses konseling lintas budaya karena stereotype cenderung menyamaratakan sikap dan kebiasaan individu dari suatu budaya. Matsumoto (dalam Lubis, 2012), memaparkan 3 point mengenai stereotype, yaitu: a. Stereotype didasarkan pada penafsiran yang kita hasilkan atas dasar cara pandang dan latar belakang budaya kita. Stereotype juga dihasilkan dari komunikasi kita dengan pihak pihak lain, bukan dari sumbernya langsung. Karenanya intrepretasi kita mungkin keliru atau tanpa dasar fakta.



20



b. Stereotype sering kali diasosiasikan dengan karakteristik yang bisa diidentifikasi dan diseleksi tanpa alasan apapun. Artinya, kita bisa saja mengakui suatu ciri tertentu dan mengabaikan ciri lainnya. c. Stereotype merupakan generalisasi dari kelompok kepada orang orang di dalam kelompok tersebut. Dari ke-3 hal di atas dapat disimpulkan bahwa stereotype adalah sebuah pendapat/pandangan yang dibuat dengan menggeneralisasi suatu kelompok. Stereotif akan berdampak pada munculnya prasangka. Prasangka sering dijadikan sebagai tolok ukur dalam menilai seseorang dari suatu budaya tertentu. Menurut Richard W. Brislin (dalam Lubis, 2012), mendefinisikan prasangka sebagai sikap tidak adil, menyinggung atau tidak toleran terhadap sekelompok orang. Wujud prasangka yang nyata dan ekstrim adalah diskriminasi, yakni pembatasan atas peluang atau akses sekelompok orang terhadap sumber daya semata mata karena keanggotaan mereka dalam suatu kelompok. Prasangka sangat berbahaya dan akan sangat menghambat dalam konseling antarbudaya, karena pesan pesan baik yang disampaikan oleh konselor akan diabaikan oleh konseli akibat dari prasangka yang dimiliki. Selanjutnya, etnosentrisme juga berpengaruh dalam pertemuan antar budaya antara konselor dengan konseli dimana masing masing saling mengangungkan budaya daerahnya dan menganggap budaya lain sebagai inferior. Bila hal tersebut bisa diminimalisisr oleh konselor, maka klien akan merasa nyaman dan akan lebih terbuka bila konselor mengerti dan menghormati nilai-nilai atau keyakinan yang ada pada diri klien. Nilai-nilai dan keyakinan tersebut tumbuh dan berkembang dari akar budaya yang ada dilingkungan kehidupannya (klien). Oleh karena itu konselor seharusnya memahami secara utuh tentang kliennya. Masalah akan timbul bilamana ada inkongruensi antara persepsi dan nilai-nilai yang menjadi referensi kedua belah pihak. Sumber terjadinya distorsi adalah ketidakpekaan konselor terhadap latar belakang budaya klien. Konselor hendaknya mampu mengembangkan pendekatan/ budaya baru yang efektif untuk membantu klien. Dalam hal ini diperlukan kompetensi seorang konselor. Menurut Finch dan Crunkilton (dalam Mulyasa, 2004) bahwa yang dimaksud dengan kompetensi adalah penguasaan terhadap suatu tugas, ketrampilan, sikap, dan apresiasi yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan. Hal itu menunjukkan bahwa kompetensi



21



mencakup tugas, ketrampilan, sikap dan apresiasi yang harus dimiliki konselor untuk dapat melaksanakan tugas-tugas konseling. Kompetensi seorang konselor telah dikembangkan dan dirumuskan atas dasar kerangka pikir yang menegaskan konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor. Standard Kompetensi Konselor Indonesia yang disebut sebagai Standar Kompetensi Konselor (SKK), dalam naskah akademik yang disusun oleh Tim ABKIN (Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia) disajikan dalam Konvensi Nasional XV ABKIN di Palembang 1-3 Juli 2007 (Standar Kompetensi Konselor ini selanjutnya disebut secara bergantian dengan SKK dan SKKI). Dalam naskah tersebut dijelaskan bahwa sebagai pendidik profesional, seorang konselor dituntut memiliki kompetensi akademik dan profesional (dua sisi yang berbeda namun tidak bisa dipisahkan), serta kualitas dan disposisi kepribadian yang mendukung hubungan layanan bantuan (helping relationship). Lebih lanjut dikemukakan, kompetensi konselor mengandung lima rumpun kompetensi yaitu: 1.



Sikap, nilai, dan disposisi kepribadian yang mendukung yang mencakup 13 indikator,



2.



Mengenal secara mendalam konseli yang hendak dilayani yang mencakup 12 indikator,



3.



Menguasai kerangka teoretik bimbingan konseling yang mencakup 7 indikator,



4.



Menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling yang memandirikan yang mencakup 7 indikator),



5.



Mengembangkan profesionalitas sebagai konselor secara berkelanjutan yang mencakup 6 indikator.



Selanjutnya, menurut Welfel (2002) inti dari kompetensi budaya mencakup: a. Menunjukkan adanya kesadaran budaya Kesadaran budaya merupakan hal mendasar yang harus dimiliki oleh individu sebelum mereka memiliki pengetahuan dan keterampilan budaya. Menurut Sue & Sue (2006), kesadaran merupakan salah satu kompetensi utama yang harus dimiliki dari ketiga kompetensi antar budaya. Kesadaran budaya adalah kemampuan seseorang untuk melihat ke luar dirinya sendiri dan menyadari akan nilai-nilai budaya, kebiasaan budaya yang masuk. Selanjutnya, seseorang dapat menilai apakah hal tersebut normal dan dapat diterima pada budayanya atau mungkin tidak lazim atau tidak dapat diterima di budaya lain. Oleh karena



22



itu, perlu untuk memahami budaya yang berbeda dari dirinya dan menyadari kepercayaannya dan adat istiadatnya dan mampu untuk menghormatinya (Vacc, dkk., 2003). Selanjutnya Wunderle (2006) menyebutkan bahwa kesadaran budaya (cultural awareness) sebagai suatu kemampuan mengakui dan memahami pengaruh budaya terhadap nilai-nilai dan perilaku manusia. Implikasi dari kesadaran budaya terhadap pemahaman kebutuhan untuk mempertimbangkan budaya, faktor-faktor penting dalam menghadapi situasi tertentu. Pada tingkat yang dasar, kesadaran budaya merupakan informasi, memberikan makna tentang kemanusiaan untuk mengetahui tentang budaya. Prinsip dari tugas untuk mendapatkan pemahaman tentang kesadaran budaya adalah mengumpulkan



informasi



tentang



budaya



dan



mentransformasikannya



melalui



penambahan dalam memberikan makna secara progresif sebagai suatu pemahaman terhadap budaya b. Memahami budaya klien Hal ini penting bagi seorang konselor karena tujuan dari konseling itu sendiri adalah berusaha memberikan solusi atas masalah yang dialami klien. Agar tujuan tersebut bisa tercapai, maka konselor dan konseli harus ada keterbukaan dan konselor perlu mengenali lebih jauh tentang masalah konseli. c. Berkolaborasi dan konsultasi dengan pihak lain yang terkait Hal ini juga perlu dilakukan untuk memperoleh informasi yang lebih banyak tentang suatu masalah yang dihadapi konseli, misalnya berkolaborasi dengan orang tua konseli, sahabat, atau bisa juga tetangga konseli. d. Menggunakan kesensitifan budaya Sensitifitas budaya adalah pemahaman dan toleransi terhadap semua gaya hidup dan kebudayaan. Sensitifitas antarbudaya dibentuk oleh berbagai variabel yang kompleks dan saling berhubungan. Selain keterikatan pada nilai budaya, variabel yang juga akan berhubungan pada sensitivitas antarbudaya adalah intensitas kontak dengan budaya lain, serta beberapa kualitas pribadi seperti keterbukaan pada ambiguitas (Pedersen, 1994). Kesensitifan budaya dapat digunakan untuk melakukan intervensi. e. Menunjukkan adanya toleransi Dalam konteks konseling lintas budaya, maka sudah dipastikan adanya pertemuan individu dari latar belakang budaya yang berbeda, bisa berbeda suku, agama, jenis



23



kelamin, warna kulit, dan lain sebagainya. Dalam proses konselingnya, konselor harus memiliki toleransi yakni perilaku terbuka dan menghargai segala perbedaan yang ada dengan sesama. Toleransi juga berarti menghormati dan belajar dari orang lain, menghargai perbedaan, menjembatani kesenjangan budaya, menolak stereotip yang tidak adi. Toleransi yang dimiliki oleh konselor berguna untuk membantu menyelesaikan masalah konseli. Untuk membangun kesesuaian (congruence) dengan konseli yang sangat mungkin memiliki perbedaan budaya, konselor perlu memahami berbagai bahasa non verbal yang merupakan salah satu ekspresi budaya dan nilai-nilai yang dianut klien. Pemahaman akan bahasa non verbal dipandang penting karena antara verbal dan n onverbal bisa saling melengkapi dan menguatkan. Kesalahan interpretasi terhadap ekspresi nonverbal sering terjadi dalam komunikasi antar budaya. Hal ini disebabkan antara lain karena banyak ekspresi nonverbal bervariasi antara budaya yang satu dengan budaya yang lain. Dengan demikian, individu yang terlibat dalam konseling lintas budaya perlu dengan cermat memahami isyarat isyarat nonverbal antar budaya. Dalam rangka mengurangi kesalahan dalam menafsirkan pesan nonverbal, maka seorang konselor perlu melakukan penyesuaian psikologis, yakni konselor yang efektif harus mampu menguasai dan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru yang mungkin dapat menimbulkan “culture shock”; Spencer, Rodgers, dan McGovern mengemukakan bahwa komunikasi dengan budaya yang berbeda sering diasosiasikan dengan respons emosi yang kurang baik yang mengarah pada perasaan kikuk dan gugup”. Masalah yang sering muncul ketika memasuki budaya baru adalah ketidaknyamanan psikologis dan fisik (kejutan budaya/culture shock). Istilah “culture shock” pertama kali diperkenalkan oleh ahli Antropologi Kalvero Oberg pada tahun 1960. Menurut Kalvero Oberg (1960), kejutan budaya ditimbulkan oleh rasa gelisah sebagai akibat dari hilangnya semua tanda dan simbol (kata-kata, gerakan tubuh, ekspresi wajah, kebiasaan atau norma) yang biasa kita hadapi dalam hubungan sosial. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, Culture shock adalah ketidaknyamanan psikologis yang dialami oleh seseorang ketika masuk ke sebuah budaya baru yang sangat berbeda dengan budayanya sendiri. Culture shock merupakan hal yang wajar namun penting untuk diatasi agar seseorang yang masuk ke budaya baru mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya.



24



Pertemuan antar budaya dari individu dalam proses konseling lintas budaya, pun berpotensi menimbulkan culture shock, oleh sebab itu diantara upaya yang bisa dilakukan dalam mengurangi dan mengatasainya dengan memahami pesan verbal dan nonverbal. Dalam konseling antar budaya juga berlangsung komunikasi antar budaya, yakni proses penyampaian pesan yang terjadi antara komunikator dengan komunikan yang berbeda budaya. Komunikasi antar budaya adalah sebuah situasi yang terjadi bila pengirim pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota dari suatu budaya yang lain. Keadaan demikian membuat komunikan atau komunikator dihadapkan kepada maasalah-masalah yang ada dalam suatu siatuasi dimana suatu pesan disandi dalam suatu budaya dan harus disandi balik dalam budaya lain. (Sikumbang dkk., 2018). Menurut Liliweri (2011), gaya komunikasi ada di dalam setiap jenis atau bentuk komunikasi. Gaya komunikasi (communication style) didefinisikan sebagai seperangkat perilaku antar pribadi yang terspesialisasi digunakan dalam suatusituasi tertentu. Gaya yang dimaksud sendiri dapat verbal yang berupa kata-kata atau nonverbal berupa vokalik, bahasa tubuh, penggunaan waktu, dan penggunaan ruang dan jarak. Komunikasi nonverbal konseling lintas budaya Disamping komunikasi verbal, ada juga komunikasi non-verbal yang sering digunakan dalam konseling. Pentingnya komunikasi non-verbal dalam konseling lintas budaya dapat dijelaskan sebagai berikut. a. Mengartikan keadaan internal. Komunikasi non verbal mengespresikan emosi, demikian juga informasi yang spesifik. Misalnya, wajah cemberut, tangan dikepal, tubuh yang gemetar. Morreale, Spitzberg dan Barge mengemukakan bahwa manusia menggunakan pesan non verbal untuk menjelaskan keadaan sosial dan emosi dari hubungan dan interaksi. b. Menciptakan kesan. Komunikasi non verbal penting karena menciptakan kesan. Misalnya dengan memperhatikan penampilan ketika hendak melakukan sesuatu, seperti mau wawancara atau kencan penting. Pengalaman pribadi akan menunjukkan seberapa sering kita menilai orang dari warna kulit, usia, gender, ekspresi wajah, cara berpakaian dan aksen dan bahkan cara berjabat tangan.



25



c. Mengatur Interaksi. Tindakan non verbal disengaja atau tidak memberikan petunjuk mengenai percakapan kita, tentang bagaimana memulai percakapan, dan mengakhiri pembicaraan, giliran siapa yang berbicara dan bagaimana mendapat kesempatan berbicara. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa komunikasi verbal dan nonverbal tidak bisa dipisahkan dalam proses komunikasi. Dalam kaitannya dengan pesan nonverbal, Mark L.Knapp (dalam Rahmat, 2000) menjelaskan beberapa fungsi komunikasi nonverbal, sebagai berikut: 1. Repetisi: mengulang kembali gagasan yang sudah disajikan secara verbal. 2. Substitusi: isyarat nonverbal yang berfungsi menggantikan pesan verbal. 3. Kontradiksi: menolak pesan verbal atau memberikan makna lain terhadap pesan verbal. 4. Komplemen: melengkapi dan memperkaya makna pesan nonverbal. 5. Aksentuasi: menegaskan pesan verbal atau menggarisbawahinya. Komunikasi nonverbal tidak berlaku secara universal, masing masing budaya memiliki bentuk pesan nonverbal dengan makna berdasarkan perspektif budaya masing masing. Para ahli komunikasi pun belum memiliki kesepakatan terkait jenis pesan nonverbal tersebut. Dale G. Leathers (dalam Rakhmat, 2000) membagi klasifikasi dari pesan nonverbal sebagai berikut: 1. Pesan nonverbal visual, yang mencakup kinesik, proksemik, dan artifaktual. 2. Pesan nonverbal auditif, hanya terdiri dari satu macam saja yakni pesan paralinguistic. 3. pesan nonverbal nonvisual nonauditif, yakni pesan yang tidak berupa kata kata, tidak terlihat, dan tidak terdengar, meliputi sentuhan dan penciuman. Selanjjutnya dijelaskan oleh Dale G.Leathers (dalam Rakhmad, 2000) bahwa klasifikasi komunikasi non-verbal sebagai berikut: 1. Kinesik Pesan Kinesik merupakan pesan non verbal yang ditunjukan seseorang dengan isyarat tubuh atau gerakan badan. Kinesik adalah gerakan-gerakan tubuh atau badan berupa gerakan dari sebagian atau seluruh tubuh maupun benda-benda yang digerakkan pelaku komunikasi (Putri, 2018). Pesan kinesik mencakup pesan fasial, gestural, dan postural.



26



a. Pesan fasial adalah menggunakan air muka untuk menyampaikan makna tertentu. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa wajah dapat menyampaikan paling sedikit 10 kelompok makna, yakni: kebahagiaan, rasa terkejut, ketakutan, marah, sedih, muak, pengecaman, minat, takjub, dan tekad. b. pesan gestural, menunjukkan gerakan sebagain anggota badan seperti mata dan tangan untuk mengkomunikasikan berbagai makna. Menurut Galloway (Rakhmat, 2000), pesan



gestural



digunakan



untuk



mengungkapkan:



mendorong/



membatasi,



menyesuaikan/mempertentangkan, responsive/tak responsive, perasaan positif/negative, memperhatikan/tidak memperhatikan, melancarkan/ tidak reseptif, menyetujui/ menolak. c. Pesan postural, yakni pesan yang berkenaan dengan seluruh anggota badan. Mehrabian (Rakhmat, 20000), menyebutkan 3 makna yang dapat disampaikan oleh postur, yakni immediacy, power, responsiveness. Immediacy, yakni ungkapan kesukaan atau ketidaksukaan terhadap individu yang lain. Power merupakan ungkapan status yang tinggi pada diri komunikator. Responsiveness adalah reaksi secara emosional, baik positif atau negative. 2. Proksemik, adalah pesan yang bisa disampaikan melalui pengaturan jarak dan ruang. Jarak yang dibangun ketika berkomunikasi dengan seseorang dapat menginformasikan tingkat keakraban/kedekatan. Pesan proksemik juga dapat menginfomasikan status socialekonomi. 3. Atifaktual Atifaktual yakni pesan yang diungkapkan melalui penampilan mencakup pakaian, misalnya kosmetik, serta atribut lain yang digunakan oleh seseorang. Bisa juga dalam bentuk hiasan atau dekorasi rumah, lukisan abstrak yang digantung diruang tamu, dan sebagainya. 4. Kronemics Kronemics adalah bagian dari komunikasi nonverbal mengenai budaya suatu bangsa dalam penggunaan waktu. Ada negara yang sangat disiplin dalam penggunaan waktu, contohnya Amerika Serikat, mereka punya semboyan “Time is money“ jadi kedisiplinan adalah hal yang harus diterapkan bagi masyarakat Amerika. Sementara disisi lain, ada negara yang cukup santai dengan penggunaan waktu/kedisiplinan rendah dalam



27



menggunakan waktu. misalnya saja di Indonesia, keterlambatan seseorang menghadiri acara yang telah beberapa menit lalu dimulai bukan masalah, itu dianggap hal yang biasabiasa saja (Rozalia, 2020). Antropolog Edward T. Hall (dalam Samovar, Porter, McDaniel, 2010), membagi klasifikasi waktu menjadi waktu Monochronik (M-Time) dan waktu Polychronik (P-Time). M-time, menjelaskan waktu sebagai hal yang linear dan terbagi, dan mempercayai bahwa waktu merupakan sumber yang langka yang harus dibagi dan diatur melalui penggunaan jadwal dan janti temu, dan melalui tujuan hanya mengerjakan satu hal dalam satu waktu. P-time, memiliki pandangan terhadap waktu, bahwa mempertahankan hubungan yang harmonis merupakan agenda yang penting, sehingga waktu digunakan lebih fleksibel supaya hubungan antar individu lebih baik. Penganut Ptime biasanya menganut budaya kolektif dan berhubungan dengan kehidupan dalam perilaku holistic. 5. Paralanguage Paralanguage yaitu elemen-elemen nonverbal dari suara yang meliputi pencirian vocal (tertawa terbahak-bahak, sedih sedu sedan), tekanan dan intonasi, dan pemerian (pemisahan) vocal. Paralanguage dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai paralinguistik, yaitu yang berkaitan dengan karakteristik komunikasi suara dan dengan bagaimana orang menggunakan suara mereka. Bisa juga berupa suara ketika manusia mengeluarkan suatu bunyi dari mulutnya yang mempunyai arti dan dianggap sebagai sarana komunikasi antar manusia. Paralinguistik berada diantara komunikasi verbal dan nonverbal karena dianggap melibatkan suara saja tanpa kata-kata. Terdapat 3 klasifikasi dalam parabahasa, yakni kualitas vocal (volume, nada suara, tempo, gema); karakteristik vocal (tertawa, menangis, merintih, merengek, menguap); pembeda vocal (yakni suara suara yang dapat didengar, namun tidak dalam bentuk kata kata). Budaya memberi pengaruh yang sangat besar pada bahasa karena budaya tidak hanya mengajarkan simbol dan aturan untuk menggunakannya, tetapi yang lebih penting adalah makna yang terkait dengan simbol tersebut. Kata-kata bersifat ambigu, karena kata-kata merepresentasikan persepsi dan interpretasi orang-orang yang berbeda yang menganut latarbelakang sosial-budaya yang berbeda pula. Oleh karena itu, terdapat berbagai kemungkinan untuk memaknai kata-kata tersebut. Kata-kata adalah abstraksi realitas yang tidak mampu menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas objek atau konsep yang diwakilkan dari kata-kata itu. Bila budaya



28



disertakan sebagai variabel dalam proses abstraksi tersebut, masalahnya menjadi semakin rumit. Ketika berkomunikasi dengan seseorang dari budaya yang sama, proses abstraksi untuk merepresentasikan pengalaman jauh lebih mudah, karena dalam suatu budaya orang-orang berbagi sejumlah pengalaman serupa. Namun, bila komunikasi melibatkan orang-orang berbeda budaya, banyak pengalaman berbeda dan konsekuensinya proses abstraksi juga menyulitkan (Samovar, Porter dan Mc.Daniel, 2010). Masing-masing budaya memiliki ekspresi yang berbeda-beda. Hal ini terkait dengan aspek pantas, tidak pantas, sopan tidak sopan menurut budaya masing-masing. 6. Haptics Haptics, yaitu penggunaan usapan, elusan atau sentuhan dalam berkomunikasi. Penggunaan sentuhan dalam berkomunikasi berbeda-beda antar budaya. Ilmu yang mempelajari tentang sentuhan dalam komunikasi non verbal sering disebut Haptic. Sebagai contoh: bersalaman, pukulan, mengelus-elus, sentuhan di punggung dan lain sebagainya merupakan salah satu bentuk komunikasi yang menyampaikan suatu maksud/tujuan tertentu dari orang yang menyentuhnya. Tito Edy Priandono dalam Ferraro menyimpulkan bahwa komunikasi sentuhan sangat bergantung dengan konteks budaya. Setiap kultur mendefinisikan siapa yang dapat menyentuh siapa, bagian mana yang bisa disentuh dan dalam kondisi apa boleh menyentuhnya (Asiyah, 2018). Di beberapa negara, sentuhan, cara menyentuh dan makna sentuhan berbeda. Sebagai contoh, di Negara Maroko, jabat tangan hanya dilakukan sesama jenis. Maka bersalaman dengan berjabat tangan di Indonesia dapat dijadikan identitas budaya Indonesia yang memiliki arti untuk menyapa dan menyambut dengan tujuan menghormati ketika bertemu dengan seseorang maupun sedang berkunjung. Lalu dalam visual memperlihatkan anak laki-laki sedang mencium tangan orang yang lebih tua. Mencium tangan di Jawa disebutnya adalah salim. Salim dilakukan ketika kita bertemu orang yang lebih tua, menjabat tangannya lalu meletakan punggung tangannya ke kening kita. Maknanya yaitu untuk menghormati orang yang lebih tua. Salim merupakan adab sopan santun yang ada di Indonesia. Sementara di Thailand untuk menyapa yang lebih tua ucapan hormat dan sopan yang dilakukan adalah menempatkatkan kedua tangan bersama-sama dan memberikan gerakan membungkuk kecil. Berbeda halnya lagi mencium tangan di Arab dimana tangan akan



29



ditarik oleh orang yang akan disalimi sebelum tercium. Mencium tangan juga dimiliki oleh Filipina, jika di Indoneseia disebut dengan salim, di Filipina disebutnya ‘Mano Po’. Namun di Filipina mencium tangan tidak dengan bibir, melainkan meletakkan punggung tangan orang yang dijabat tangannya di kening. Di Negeri barat juga terdapat cium tangan tapi memiliki tujuan berbeda. Cium tangan yang di lakukan di negeri barat dilakukan oleh seorang laki-laki kepada seorang perempuan sebagai bentuk penghormatan kepada kaum hawa ( Haryono dkk., 2017). Menurut Samocvar; Porter; McDaniel (2010) dalam budaya dominan di Amerika Serikat, ada lima kategori dasar perilaku menyentuh, yakni: 1. Sentuhan professional, dilakukan oleh orang orang seperti dokter, perawat dan penata rambut. 2. Sentuhan kesopanan social, biasanya diasosiasikan dengan cara menyapa dan menyatakan apresiasi. 3. Sentuhan persahabatan, menunjukkan perhatian diantara anggota keluarga dan teman dekat. 4. Sentuhan keintiman-kasih saying, ditujukan kepada tipe sentuhan (belaian, pelukan, rangkulan, ciuman, dan sebagainya) yang biasanya terjadi dalam hubungan romantic. 5. Seksual seksual, merupakan sentuhan yang paling intim. Dari uraian di atas, maka dapat dijelaskan bahwa makna sentuhan tidak sebatas pada budaya seseorang tetapi juga pada konteks, latar belakang, maupun tujuan dari sentuhan. Sehingga sentuhan dapat ditafsirkan dengan berbagai makna serta mengandung penilaian etis dan tidak etis. Memahami komunikasi nonverbal haptics dapat mengurangi kesalahpahaman diantara individu yang berinteraksi dan berkomunikasi, termasuk dalam konteks konseling. Beberapa tingkah laku yang tidak etis yang paling sering terjadi dalam konseling (Herlihy & Corey, 2006) yakni: pelanggaran kepercayaan; melampaui tingkat kompetensi profesional seseorang; kelalaian dalam praktik; mengklaim keahlian yang tidak dimiliki; memaksakan nilai-nilai konselor kepada klien; membuat klien bergantung; melakukan aktivitas seksual dengan klien; persetujuan finansial yang kurang jelas, misal. ada biaya tambahan. Terjadinya konflik kepentingan seperti hubungan ganda yaitu peran konselor bercampur dengan hubungan lainnya baik hubungan pribadi maupun hubungan profesional (Moleski &



30



Kiselica., 2005). Konflik mengakibatkan perubahan peran pria dan wanita; inovasi mendia dan teknologi; kemiskinan, tuna wisma; trauma; kesepian; dan penuaan (Wbber, Bass & Yep, 2005) Kekerasan Akhir akhir ini, fenomena kekerasan banyak sekali terjadi, bukan hanya dilingkungan social namun juga dilingkungan sekolah bahkan rumah tangga. Fenomena kekerasan ini menjadi satu mata rantai yang tidak terputus. Setiap generasi akan memperlakukan hal yang sama untuk merespon kondisi situasional yang menekannya, hingga pola perilaku yang diwariskan ini menjadi budaya kekerasan. Sebagai contoh, seorang anak yang sering mendapatkan perlakukan yang tidak baik akan menumbuhkan rasa tertekan pada dirinya sehingga ada kemungkinan anak akan mengadopsi perilaku yang diterimanya dan dia lakukan pada orang lain. Dalam mengatasi hal ini, dibutuhkan penanganan yang segera melalui kegiatan konseling. Trauma Trauma merupakan suatu kondisi emosional yang dialami oleh seseorang yang diakibatkan suatu peristiwa seperti pemerkosaan, peperangan, bencana alam, serta peristiwa peristiwa tertentu yang menimbulkan efek traumatis bagi individu. Konseling dalam hal ini bertujuan untuk menurunkan gejala kecemasan pasca trauma. Selain itu, menghilangkan bayangan peritiwa traumatis yang dialami seseorang, meningkatkan kemampuan berpikir secara lebih rasional, membangkitkan minat terhadap realita kehidupan, memulihkan rasa percaya diri, memulihkan kelekatan dan keterkaitan dengan orang lain yang dapat memberi dukungan. Krisis dan atau konflik sosial Manusia sebagai makhluk individu dan social adakalanya mengalami suatu hal yang tidak menyenangkan bagi dirinya, atau dengan kata lain mengalami suatu krisis/konflik social. Krisis/ konflik social ini bisa disebabkan oleh beberapa factor seperti bencana alam, kecelakaan, penyakit, emosi, tidak berfungsinya hubungan social, dan sebagainya. Dalam hal ini, konseling yang dilakukan oleh konselor bertujuan memberikan bantuan bantuan kepada konseli yang sedang mengalami krisis. 1. Keadilan sosial Konseling disini bertujuan untuk memberdayakan semua individu, terlepas dari latar belakangnya sehingga individu dapat mengembangkan pengetahuan dan keterampilan untuk mencapai potensi dirinya. Konselor dalam hal ini



menyadari bahwa masalah



31



konseli dapat dikaitkan dengan struktur yang menindas. Dengan demikian, baik konselor maupun konseli secara aktif terlibat dalam proses mengeksplorasi dan mendapatkan pengetahuan tentang bagaimana struktur sosial mempengaruhi perkembangan konseli. 2. Kekerasan Kekerasan baik yang terjadi di lingkungan sekolah maupun dilingkungan keluarga sejatinya tidak terjadi. Faktanya, kekerasan ini termasuk yang sering terjadi. Terjadinya kasus kekerasan terutama dalam keluarga dipicu berbagai factor, salah satunya factor ekonomi. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan kasus yang sering terjadi di dalam rumah tangga. Kasus KDRT bisa saja dilakukan oleh suami, oleh isteri, bahkan anak. Untuk itu, peran konselor sangat penting dalam memberikan bantuan kepada konseli yang mengalami kasus KDRT tersebut.



D. Pengertian Konseling Istilah konseling merupakan terjemahaman dari istilah penyuluhan. Akan tetapi ternyata kegiatan penyuluhan sangat berbeda dengan kegiatan konseling. Ada beberapa literatur yang menggunakan istilah bimbingan penyuluhan, ada juga yang menggunakan sebutan bimbingan dan penyuluhan. Terkait dengan penerapannya dan agar tidak membuat rancu, maka dalam pendidikan menggunakan istilah konseling. Sebab, istilah penyuluhan banyak diperuntukan bidang non pendidikan, seperti: penyuluhan pertanian, penyuluhan keluarga berencana, penyuluhan perikanan. Petugasnya disebut punyuluh, seperti: penyuluh pertanian, penyuluh keluarga perencana, penyuluh sosial yang belakangan ini disebut pekerja sosial. Oleh sebab itu, buku ini memilih menggunakan istilah konseling. Lewis (1970) mengartikan konseling sebagai proses di mana seseorang yang mengalami kesulitan (klien) dibantu untuk  merasakan dan selanjutnya bertindak dengan cara yang lebih memuaskan diri, melalui interaksi dengan orang yang tidak terlibat dalam konseling. Sedangkan Jones (1970) menekankan konseling sebagai perencanaan yang lebih rasional, pemecahan masalah, pembuatan keputusan internasional, pencegahan terhadap munculnya masalahnya penyesuaian diri, dan memberi dukungan dalam menghadapi tekanan-tekanan situasional dalam kehidupan sehari-hari bagi orang-orang normal. Sebagai gambaran betapa kompleknya dan variasi klien yang dilayani, berikut ini disajikan beberapa definisi konseling dari berbagai organisasi.



32



American School Conselor Association (ASCA) mendefinisikan bahwa konseling adalah hubungan tatap muka yang bersifat rahasia, penuh dengan sikap penerimaan dan pemberian kesempatan dari konselor kepada klien. Konselor mempergunakan pengetahuan dan keterampilannya untuk membantu klien mengatasi masalah-masalahnya. American Personel Guidance Association (APGA) mendefinisikan bahwa konseling adalah hubungan antara seorang individu yang memerlukan bantuan untuk mengatasi kecemasannya yang masih bersifat normal atau konflik atau masalah pengambilan keputusan. American Counseling Association (ACA) mendefinisikan bahwa konseling yaitu aplikasi kesehatan mental, prinsip psikologis, perkembangan; melalui intervensi kognitif, afektif, perilaku, atau sistemik; strategi untuk menangani kese jahteraan, pertumbuhan pribadi, perkembangan karier, dan kelainan. A.M. Schmuller & D.G. Mortenson mendefinisikan bahwa konseling adalah suatu proses hubungan seorang dengan seorang, di mana yang seorang dibantu oleh orang lainnya untuk meningkatkan pengertian dan kemampuannya dalam menghadapi masalahnya. British Association of Counselling (BAC) mendefinisikan bahwa konseling merupakan suatu proses bekerja dengan orang banyak, dalam suatu hubungan yang bersifat pengembangan diri, dukungan terhadap krisis, psikoterapis, bimbingan atau pemecahan masalah. Berdnard & Fullmer mendefinisikan bahwa konseling merupakan pemahaman dan hubungan individu untuk mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan, motivasi, dan potensipotensi yang unik dari individu dan membantu individu yang bersangkutan untuk mengapresiasikan ketiga hal tersebut. Blocher mendefinisikan bahwa konseling adalah membantu individu agar dapat menyadari dirinya sendiri dan memberikan reaksi terhadap pengaruh-pengrauh lingkungan yang diterimanya, selanjutnya, membantu yang bersangkutan menentukan beberapa makna pribadi bagi tingkah laku tersebut dan mengembangkan serta memperjelas tujuan-tujuan dan nilainilai untuk perilaku dimasa yang akan datang. Burk & Stefflre mendefinisikan bahwa konseling mengindikasikan hubungan profesional antara konselor terlatih dengan klien, hubungan yang terbentuk biasanya bersifat individu ke individu, kadang juga melibatkan lebih dari satu orang suatu misal keluarga klien. Konseling didesain untuk menolong klien dalam memahami dan menjelaskan pandangan mereka



33



terhadap suatu masalah yang sedang mereka hadapi melalui pemecahan masalah dan pemahaman karakter dan perilaku klien. Division of Conseling Psychology mendefinisikan bahwa konseling merupakan suatu proses untuk membantu individu mengatasi hambatan-hambatan perkembangan dirinya dan untuk mencapai perkembangan yang optimal kemampuan pribadi yang dimilikinya, proses tersebut dapat terjadi setiap waktu. Fatchiah E. Kertamuda mendefinisikan bahwa konseling adalah hubungan yang direncanakan antara seorang konselor dengan seorang agar konseli dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya serta dapat mengembangkan potensi-potensi yang ada dalam dirinya. Gibson mendefinisikan bahwa konseling adalah hubungan bantuan antara konselor dan klien yang difokuskan pada pertumbuhan pribadi dan penyesuaian diri serta pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Gladding mendefinisikan bahwa konseling adalah hubungan pribadi antara konselor dengan klien atau konseli. Dalam hubungan pribadi tersebut, konselor membantu konseli untuk memahami diri sendiri di setiap keadaan, baik sekarang maupun di masa yang akan datang. Konseli dapat menggunakan potensi-potensi yang dimilikinya untuk kesejahteraan pribadi maupun masyarakat. Hansen mendefinisikan bahwa konseling adalah proses bantuan kepada individu dalam belajar tentang dirinya, lingkungannya, dan metode dalam menangani peran dan hubungan. Hellen mendefinisikan bahwa konseling individual yaitu layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan peserta didik atau konseli mendapatkan layanan langsung tatap muka (secara perorangan) dengan guru pembimbing dalam rangka pembahasan pengentasan masalah pribadi yang diderita konseli. H.M. Burks mendefinisikan bahwa konseling adalah suatu proses yang berorientasikan belajar, dilaksanakan dalam suatu lingkungan sosial, antara seorang dengan seorang yang lain, di mana seorang konselor harus memiliki kemampuan profesional dalam bidang keterampilan dan pengetahuan psikologi. Konselor berusaha membantu klien dengan metode yang sesuai atau cocok dengan kebutuhan klien tersebut dalam hubungannya dengan keseluruhan program, agar individu mempelajari secara lebih baik mengenai dirinya sendiri dan belajar bagaimana memanfaatkan pemahaman mengenai dirinya untuk memperoleh



34



tujuan-tujuan hidup yang lebih realistis, sehingga klien dapat menjadi anggota dari masyarakat yang berbahagia dan lebih produktif. James F. Adam mendefinisikan bahwa konseling adalah Suatu pertalian timbal balik antara 2 orang individu dimana yang seorang (counselor) membantu yang lain (conselee) supaya ia dapat memahami dirinya dalam hubungan denfgan masalah-masalah hidup yang dihadapinya waktu itu dan waktu yang akan datang. Jones mendefinisikan bahwa konseling adalah kegiatan dimana semua fakta dikumpulkan dan semua pengalaman siswa difokuskan pada masalah tertentu untuk diatasi sendiri oleh yang bersangkutan. Dimana ia diberi panduan pribadi dan langsung dalam pemecahan untuk klien. Konseling harus ditujukan pada perkembangan yang progresif dari individu untuk memecahkan masalah-masalahnya sendiri tanpa bantuan. Latipun Secara etimologi Istilah konseling berasal dari bahasa latin, yakni “consilium” yang berarti “dengan” atau “bersama” yang dirangkai dengan “menerima” atau “memahami”. Sedangkan dalam bahasa Anglo-Saxon, istilah konseling berasan dari kata “sellan” yang berarti“menyerahkan” atau “menyampaikan”. Lewis mendefinisikan bahwa konseling adalah proses mengenai seseorang individu yang sedang mengalami masalah (klien) dibantu untuk merasa dan bertingkah laku dalam suasana yang lebih menyenangkan melalui interaksi dengan seseorang yang bermasalah yang menyediakan informasi dan reaksi-reaksi yang merangsang klien untuk mengembangkan tingkah laku yang memungkinkan kliennya berperan secara lebih efektif bagi dirinya sendiri dan lingkungannya. Mohammad Surya mendefinisikan bahwa konseling adalah suatu proses berorientasi belajar, dilakukan dalam suatu lingkungan sosial, antara seseorang dengan seseorang, dimana seorang konselor yang memiliki kemampuan profesional dalam bidang keterampilan dan pengetahuan psikologis, berusaha membantu klien dengan metode yang cocok dengan kebutuhan klien tersebut, dalam hubungaannya dengan keseluruhan program ketenagaan, supaya dapat mempelajari lebih baik tentang dirinya sendiri, belajar bagaimana memanfaatkan pemahamkan tentang dirinya untuk realistik, sehingga klien dapat menjadi anggotamasyarakat yang berbahagia dan lebih produktif. Palmer & McMahon mendefinisikan bahwa konseling bukan hanya proses pembelajaran individu akan tetapi juga merupakan aktifitas sosial yang memiliki makna sosial. Orang



35



sering kali menggunakan jasa konseling ketika berada di titik transisi, seperti dari anak menjadi orang dewasa, menikah ke perceraian, keinginan untuk berobat dan lain-lain. Konseling juga merupakan persetujuan kultural dalam artian cara untuk menumbuhkan kemampuan beradaptasi dengan institusi sosial. Pepinsky & Pepinsky mendefinisikan bahwa konseling merupakan interaksi yang (a) terjadi antara dua orang individu ,masing-masing disebut konselor dan klien ; (b) terjadi dalam suasana yang profesional (c) dilakukan dan dijaga sebagai alat untuk memudah kan perubahan-perubahan dalam tingkah laku klien. Pietrofesa, Leonard & Hoose mendefinisikan bahwa konseling merupakan suatu proses dengan adanya seseorang yang dipersiapkan secara profesional untuk membantu orang lain dalam pemahaman diri pembuatan keputusan dan pemecahan masalah dari hati kehati antar manusia dan hasilnya tergantung pada kualitas hubungan. Pietrofesa mendefinisikan bahwa konseling merupakan tatap muka yang bersifat rahasia, penuh dengan sikap penerimaan dan pemberian kesempatan dari konselor kepada konseli. Prayitno mendefinisikan bahwa konseling adalah pelayanan bantuan oleh tenaga professional kepada seorang atau sekelompok individu untuk pengembangan kehidupan efektif sehari-hari dan penanganan kehidupan efektif sehari-hari yang terganggu dengan focus pribadi mandiri yang mampu mengendalikan diri melalui penyelenggaraan berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung dalam proses pembelajaran. Robinson mendefinisikan bahwa konseling ialah hubungan antara dua orang di mana yang seorang klien merupakan klien, dibantu untuk lebih mampu menyesuaikan diri secara efektif terhadap dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Suasana hubungan di dalam konseling ini meliputi penggunaan wawancara untuk mendapatkan dan memberikan berbagai informasi, mengajar dan juga melatih. Rogers mendefinisikan bahwa konseling merupakan rangkaian-rangkaian kontak atau hubungan secara langsung dengan individu yang tujuannya memberikan bantuan dalam merubah sikap dan tingkah lakunya. Samsul Munir Amin mendefinisikan bahwa konseling adalah bantuan yang diberikan kepada individu dalam memecahkan masalah kehidupan dengan wawancara, atau dengan cara-cara yang sesuai dengan keadaan individu yang dihadapi untuk mencapai kesejahteraan hidup.



36



Schertzer & Stone mendefinisikan bahwa konseling adalah upaya membantu individu melalui proses interaksi yang bersifat pribadi antara konselor dan konseli agar konseli mampu memahami diri dan lingkungannya, mampu membuat keputusan dan menentukan tujuan berdasarkan nilai yang diyakininya sehingga konseli merasa bahagia dan efektif perilakunya. Smith mendefinisikan bahwa konseling merupakan proses dalam mana konselor membantu konseli (klien) membuat interprestasi tentang fakta-fakta yang berhubungan dengan pilihan, rencana, atau penyesuaian-penyesuaian yang perlu dibuatnya. Soli Abimanyu & M. Tayeb Manrihu mendefinisikan bahwa konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara dan teknik-teknik perubahan tingkahlaku lainya oleh seorang ahli (disebut Konselor) kepada individu atau individuindividu yang sedang mengalami masalah (disebut konseli) yang bermuara kepada teratasinya masalah yang dihadapi oleh konseli. Stefflre dan Grant Counseling denotes a professional relationship between an trained counselor with a client. Counseling is a process, that is a derlying better choices making are such matter is learning, personality depelovment, and self knowledge which can be translated into better role perception and more effective role behavior. Syamsu Yusuf mendefinisikan bahwa konseling merupakan pelayanan terpenting dalam program bimbingan. Layanan ini memfasilitasi untuk memperoleh bantuan pribadi secara langsung untuk mengatasi masalah yang timbul pada siswa. Talbert mendefinisikan bahwa konseling adalah hubungan pribadi yang dilakukan secara tatap muka antara dua orang dalam mana konselor melalui hubungan itu dengan kemampuankemampuan khusus yang dimilikinya, menyediakan situasi belajar. Dalam hal ini konseli dibantu untuk memahami diri sendiri, keadaannya sekarang, dan kemungkinan keadaannya masa depan yang dapat ia ciptakan dengan menggunakan potensi yang dimilikinya, demi untuk kesejahteraan pribadi maupun masyarakat. Lebih lanjut konseli dapat belajar bagaimana memecahkan masalah-masalah dan menemukan kebutuhan-kebutuhan yang akan datang. Tohari Musnawar mendefinisikan bahwa konseling dalam Islami adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar menyadari kembali akan eksistensinya sebagai makhluk Allah yang seharusnya hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga mencapai



37



kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Kesemuanya berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, sebab keduanya merupakan sumber pedoman kehidupan umat Islam. Walgito mendefinisikan bahwa konseling menuntut adanya keaktifan dari dua arah, baik dari konselor maupun dari konseli, bahkan dalam konseling keaktifan harus lebih banyak dari konseli, di mana konselor hanya membantu konseli agar dapat menyelesaikan masalahnya secara mandiri dengan pilihan-pilihan yang ada. Willis mendefinisikan bahwa konseling adalah suatu proses yang terjadi dalam hubungan seseorang dengan seseorang yaitu individu yang mengalami masalah yang tak dapat diatasinya, dengan seorang petugas profesional yang telah memperoleh latihan dan pengalaman untuk membantu agar klien memecahkan kesulitanya. Williamson mendefinisikan bahwa konseling adalah untuk membantu perkembangan kesempurnaan berbagai aspek kehidupan manusia. Membantu individu dalam memperoleh kemajuan memahami dan mengelola diri dengan cara membantunya menilai kekuatan dan kelemahan diri. Dalam hubungan konseling, individu diharapkan mampu menghadapi, menjelaskan, dan menyelesaikan masalah-masalahnya. Dari pengalaman ini individu belajar untuk menghadapi situasi konflik di masa mendatang. Winkell mendefinisikan bahwa konseling merupakan serangkaian kegiatan paling pokok dari bimbingan dalam usaha membantu konseli / klien secara tatap muka langsung dengan tujuan agar klien dapat mengambil tanggung jawab sendiri terhadap bebagai persoalan atau masalah khusus maka masalah yang dihadapi oleh klien dapat teratasi semuanya. Wolberg mendefinisikan bahwa konseling adalah bentuk wawancara di mana klien ditolong untuk mengerti lebih jelas dirinya sendiri, untuk memperbaiki kesulitan yang berkaitan dengan lingkungan atau untuk dapat memperbaiki kesukaran penyesuaian. Wren mendefinisikan bahwa konseling adalah suatu relasi antara pribadi yang dinamis, antara



dua



orang



yang



berusaha



untuk



memecahkan



sebuah



masalah



dengan



mempertimbangkannya secara bersama-sama, sehingga pada akhirnya orang yang lebih muda atau orang yang mempunyai kesulitan yang lebih banyak diantara keduanya dibantu oleh yang lain untuk memecahkan masalahnya berdasarkan penentu diri sendiri. Rumusan definisi konseling di atas tampaknya lebih didasarkan pada penerapan konseling itu sesuai peruntukannya, bentuknya, sifatnya, fungsinya, dan permasalahanhya. Sebagai gambaran, definisi yang dikemukakan oleh Wren, jelas-jelas menolak keberadaan



38



konseling sebaya. Demikian juga definisi yang dikemukakan oleh Tohari Musnawar hanya dalam konseling islami. Keragaman populasi mengakibatkan munculnya keragaman adat istiadat, agama, keragaman masalah, keragaman etnis, keragaman gender dan keragaman-keragaman lainnya. Interaksi antar berbagai keragaman tersebut tentu dapat menimbulkan masalah yang tidak sederhana dan memerlukan pengentasan. Ada beberapa elmen penting dalam mendefinisikan koseling. Kesemamaan yang di maksud yang di maksud adalah : 1.  Konseling adalah hubungan pribadi, artinya pada dasarnya hubungan antara klien dan konselor bersifat pribadi, meskipun kemudian bersifat kelompok 2.  Konseling adalah suatu proses, artinya pertemuan antara klien dan konselor dapat saja terjadi beberapa kali hingga masalah yang dihadapi klien terselesaikan. 3. Konseling di rancang untuk membantu indifidu membuat keputusan dan memecahkan masalah dan dalam konseling terlibat dua orang atau lebih yang ada di dalamnya, yaitu konselor dan klien. E. Tujuan Konseling Lintas Budaya Secara umum tujuan akhir konseling lintas budaya adalah “membantu klien agar dapat merasakan kebahagiaan hidup”. Konsep kebahagiaan hidup inilah yang dirumuskan secara beragam,tergantung latar belakang orientasi teoritik yang di anut. Corey (1986) menyatakan tujuan konseling juga dapat dilihat dari tingkat generalitas dan sepesitas. Karena itu tujuan tujuan konseling dapat dilihat sebagai suatu kontinum, yang salah satu ujung terdapat tujuan yang bersifat umum jangka panjang, sementara aujung satunya tujuan yang bersifat khusus konkrit jangka pendek, atau kontinum action dan insight. Ivey  dkk (1987) menyebutkan tujuan konseling yang lebih paripurna adalah “culturallyintentional individual”, yaitu individu yang telah mencapai pemenuhan diri dan keseimbangan kultural. George dan Cristianni (1981) menyebut tujuan konseling adalah mMenyediakan fasilitas untuk perubahan perilaku; meningkatkan ketrampilan untuk menghadapi



sesuatu;



meningkatkan



kemampuan



dalam



menentukan



keputusan;



meningkatkan dalam hubungan antara perorangan; dan menyediakan fasilitas untuk mengembangkan kemampuan klien.



39



Secara umum arah tujuan konseling multikultural adalah : a.



Membantu klien agar mampu mengembangkan potensi-potensi yang di miliki meberdayakan diri secara optimal.



b.



Membantu klien multikultural agar mampu memacahkan masalah yang dihadapi, mengadakan penyesuaian diri, serta merasakan kebahagiaan hidup sesuai dengan budayanya.



c.



Membantu klien agar dapa hidup bersama dalam masyarakat multikultural.



d.



Memperkenalkan, mempelajari kepada klien akan nilai-nilai budaya lain untuk di jadkan refisi dalam membuat perancanaan, pilihan, keputusan hidup kedepan yang lebih baik.



40



BAB II BUDAYA DAN PROSES PERKEMBANGAN



F. Pengertian budaya Dalam kehidupan sehari hari, tiap individu akan berusaha untuk menunjukkan siapa sebenarnya dirinya. Hal ini ditunjukkan dengan memberikan pendapat dan perilaku tertentu, bagaimana bersikap dan mungkin menunjukkan beberapa "keanehan" tertentu. Aktualisasi diri ini bisa ja¬di berbeda dengan apa yang selama ini dianut oleh masya¬rakat sekitarnya, tetapi seringkali pula (bahkan harus) seorang individu menampakkan perilaku sesuai dengan apa yang sering dimunculkan oleh masyarakat di mana dia berada. Kesamaan perilaku, sikap, penampilan, pendapat dan lain sebagainya itu tercermin dalam keseharian individu. Hal ini ditunjang pula dengan adanya "restu" dari masyarakat. Sehingga, tampak adanya kesamaan perilaku, sikap, pendapat antara individu, dengan masyarakat disekitarnya. Bahkan seringkali hal hal yang ditampakkan oleh individu bisa dijadikan acuan untuk mengenal dari mana individu itu berasal. Definisi kebudayaan dapat didekati dari beberapa macam pendekatan. Pendekatan pendekatan itu seperti pendekatan antropologi, psikologi bahkan dari pendidikan. Salah satu tokoh antropologi yaitu E. B. Tylor (dalam Ahmadi, 1986; Soekanto, 1997) mendefinisikan budaya sebagai berikut, kebudayaan adalah keseluruhan yang komplek, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat dan kemampuan yang lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Para ahli antropologi lainnya, mendefinisikan kebudayaan sebagai suatu bentuk perilaku, suatu hubungan atau interaksi antara manusia yang di dalamnya terdapat keyakinan, nilai nilai dan peraturan (1989). Kluckhohn (dalam Rosjidan, 1995) mendefinisikan budaya sebagai berikut: Budaya terdiri dari berbagai pola tingkah laku, ekspli¬sit dan implisit, dan pola tingkah laku itu (diperoleh dan dipindahkan melalui simbol, merupakan karya khusus kelompok kelompok manusia, termasuk penjelmaannya dalam bentuk hasil budi manusia; inti utama budaya terdiri dari ide ide tradisional, terutama nilai nilai yang me¬lekatnya; sistem budaya pada satu sisi dapat dipandang sebagai hasil perbuatan, pada sisi lain, sebagai penga¬ruh yang menentukan perbuatan perbuatan selanjutnya.



41



Ki Haiar Dewantara (1977) memberikan definisi bahwa budaya berarti buah budi manusia, adalah hasil perjoangan manusia terhadap dua pengaruh yang kuat, yakni alam dan jaman (kodrat dan masyarakat), dalam mana terbukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai bagal rintangan dan kesukaran didalam hidup penghidupannya, guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan, yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai. Pendapat Ki Hajar Dewantara diperkuat oleh Soekanto (1997) dan Ahmadi (1996) yang mengarahkan budaya dari bahasa sanskerta yaitu buddhayah yang merupakan suatu bentuk jamak kata "buddhi" yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal hal yang bersangkutan dengan budi atau akal". Lebih ringkas, Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, mendefinisikan kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat Dari definisi di atas, tampak bahwa suatu budaya tertentu akan mempengaruhi kehidupan masyarakat tertentu (walau bagaimanapun kecilnya). Dengan demikian, Suatu hasil budaya kelompok masyarakat tertentu akan dianggap lebih tinggi dan bahkan mungkin lebih diinginkan. Hal ini dilakukan agar kelompok masyarakat tertentu itu memiliki derajat atau tingkatan yang lebih baik dari "tetangganya". Nilai selalu berhubungan dengan hal hal yang bersifat baik atau buruk, bagus atau jelek, positif atau negatif, indah atau buruk. Karena nilai berkaitan erat dengan keyakinan yang dimiliki oleh individu, maka hal tersebut akan terkait pula dengan bagaimana individu mengadopsi nilai nilai. Sedangkan apa yang telah diadopsi tersebut akan ditampakkan dalam wujud perilaku, sikap, ide ide serta penalaran. Dengan demikian, antara individu yang satu dengan individu yang lain dapat mempunyai perbedaan walau mereka berasal dari latar budaya yang sama. B. Konsep Kebudayaan Indonesia Herskovits & Malinowski, (1997) mengemukakan bahwa segala sesuatu yang tertera dalam lapisan masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Kebudayaan memiliki kedudukan dan kapasistas yang sentral dan mendasar sebagai landasan utama dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, karena suatu bangsa akan menjadi besar jika nilai-nilai kebudayaan telah mengakar (deep-rooted) dalam sendi kehidupan masyarakat (Karolina dan Randy, 2021). Indonesia sebagai negara kepulauan adalah negara-bangsa yang memiliki substansi dan pluralitas budaya nusantara yang merupakan daya tarik tersendiri di mata dunia. Masyarakat Indonesia sejatinya dapat hidup



42



berdampingan satu sama lain. Kemajemukan yang ada patut disyukuri karena dapat menjadi kekuatan dan kebanggaan bagi Indonesia. Namun, keragaman ini juga dapat menjadi ancaman, tantangan, dan gangguan bagi bangsa Indonesia (Lintang dan Najicha, 2022). Konstruksi sosial budaya berperan penting dalam terciptanya relasi yang berkontribusi antara laki-laki dan perempuan. Indonesia memiliki beragam corak kebudayaan yang perlu dilestarikan dan dijaga keberadaannya. Hal tersebut yang menjadikan masyarakat Indonesia kental akan budaya (Rumpaka & Ayundasari, 2021). Indonesia tidak memiliki identitas budaya yang tunggal bukan berarti tidak memiliki jati diri, namun dengan keanekaragaman budaya yang ada membuktikan bahwa masyarakat kita memiliki kualitas produksi budaya yang luar biasa, jika mengacu pada pengertian bahwa kebudayaan adalah hasil cipta manusia (Habsy, 2019). Nilai-nilai budaya relevan dengan pancasila yang terintegrasi ke dalam adat istiadat dan budaya Indonesia (Sati, et, al, 2021). Nilai kebudayaan yang jadi ciri bangsa Indonesia, semacam gotong royong, silahturahmi, ramah tamah dalam warga jadi keistimewaan dasar yang bisa menjadikan masing- masing orang warga Indonesia untuk mencintai serta melestarikan kebudayaan bangsa sendiri (Dewi, 2021). Sebagai sistem pengetahuan dan gagasan, kebudayaan yang dimiliki suatu masyarakat merupakan kekuatan yang tidak tampak (invisble power), yang mampu mengarahkan manusia pendukung kebudayaan itu untuk berfikir dan bertindak sesuai dengan pengetahuan dan gagasan yang menjadi milik masyarakat tersebut, baik di bidang ekonomi, sosial, politik, kesenian dan sebagainya (Amiruddin, 2021). Sebagai suatu sistem, kebudayaan tidak diperoleh manusia dengan begitu saja secara ascribed, tetapi melalui proses belajar yang berlangsung tanpa henti, sejak dari manusia itu dilahirkan sampai dengan ajal menjemputnya.



C. Karakteristik Budaya Sebagai negara terbesar keempat di dunia, dan dengan karakteristik sosial budaya yang unik, pengalaman kesejahteraan Indonesia menjadi suatu referensi bagi pengembangan masyarakat (Maulana, et.al., 2018). Suatu peneltian menunjukkan karakteristik budaya Indonesia berpengaruh dalam negosiasi kolektif identitas terhadap permasalahan sosial (Mahardika, et.al., 2018). Analisis tersebut mengungkapkan sejumlah tema kunci: pemenuhan kebutuhan dasar; hubungan sosial dengan keluarga dan masyarakat; dan pandangan dunia yang positif tentang penerimaan diri, rasa syukur, dan spiritualitas sebagai aspek kunci dari kesejahteraan. Berbicara karakteristik budaya relevan dengan sesuatu yang



43



melekat dalam identitas kultural. Identitas kultural mencakup: etnik, sosial, gender, suku, profesi, bahasa, ekonomi, pakaian, religiusitas, makanan, dan lain sebagainya (Trixie, 2020). Indonesia dikenal luas sebagai masyarakat majemuk selain populer sebagai negara multikultural. Tidak hanya memiliki kekayaan sumber daya alam, tetapi juga memiliki kekayaan sosial budaya yang paling hidup di dunia. Keanekaragaman budaya ini menjadi kenyataan yang tak terelakkan. Dengan demikian melihat konsep masyarakat multikultural, sama relevannya sebagai landasan epistemik bahwa masyarakat Indonesia dapat hidup bersama, namun pada saat yang sama berpotensi untuk kemungkinan terjadinya konflik (Nurhayati & Agustina, 2020); Widyanti (2020). Realitas masyarakat yang heterogen sebenarnya melingkupi potensi konflik yang besar, tak terkecuali Indonesia yang memiliki keanekaragaman kultural dan agama. Padahal bangsa yang besar adalah bangsa yang selalu lahir dari rahim heterogenita bukan homogenitas. Dengan demikian, maka pemahaman, penerimaan serta tindakan positif terhadap keberagaman terhadap budaya, agama, suku, politik dan sebagainya menjadi kompetensi yang perlu dikuasai. D. Akulturasi Budaya di Indonesia Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan yang secara keyakinan dominan menganut agama hindu-budha. Ketika islam datang ke nusantara agama hindhu-buddha perlahan mulai menghilang dibeberapa wilayah, sehingga islam berkembang pesat. Perkembangan budaya dan agama di Indonesia mengakibatkan penyesuaian budaya nusantara (Iryani, 2018). Akulturasi budaya dapat dilihat terlihat dari peninggalan-peninggalan bangunan, kaligrafi, sastara,tari, dan masih banyak lagi. Akulturasi sendiri merupakan proses sosial yang muncul dari suatu kelompok dengan budaya tertentu yang dihadapkan dengan unsur-unsur dari budaya asing. Alkulturasi budaya harus terkontrol agar suatu bangsa tidak kehilangan budayanya. Kontrol sosial adalah suatu sistem yang mendidik, mengajak, bahkan memaksa warga masyarakat untuk berprilaku sesuai dengan nilai dan norma- norma sosial agar kehidupan masyarakat dapat berjalan dengan tertib dan teratur. Kontrol sosial mendorong sebuah pemahaman bahwa lingkungan sekitar, terutama keluarga, berperan dalam melakukan kontrol sosial terhadap individu (Anarta, et.al., 2021). E. Sifat budaya Sifat budaya ada dua, yaitu budaya yang bersifat universal dan budaya yang khas atau unik. Budaya yang bersifat universal mengandung pengertian bahwa nilai-nilai yang dimiliki oleh



44



semua lapisan masyarakat. Nilai nilai ini dijunjung tinggi oleh segenap manusia, secara umum umat manusia yang ada dunia ini memiliki kesamaan nilai-nilai tersebut. Contoh nilai yang bersifat universal ini antara lain manusia berhak menentukan hidupnya sendiri, manusia mementingkan perdamaian, manusia mempunyai kebabasan. Sedangkan nilai budaya yang khas atau unik adalah suatu nilai yang dimiliki oleh bangsa tertentu atau sekelompok masyarakat tertentu. Nilai-nilai ini hanya dimiliki oleh masyarakat atau suku atau etnis tertentu dimana keunikan ini berbeda dengan kelompok. Keunikan nilai ini dapat meniadi barometer untuk mengenal bangsa atau kelompok tertentu. Misalnya, nilai-nilai khas adat budaya perkawinan Suku Batak, berbeda dengan nilai-nilai khas adat budaya perkawinan dengan Suku Jawa. Nilai budaya yang dianut oleh masyarakat tertentu pada umumnya dianggap mutlak kebenarannya. Hal ini tampak pada perilaku yang ditampakkan oleh anggota masyarakat itu. Mereka mempunyai keyakinan bahwa apa yang dianggap benar itu dapat dijadikan panutan dalam menjalani hidup sehari hari. Nilai budaya yang diyakini kebenarannya tersebut dapat dipergunakan untuk membantu menyelesaikan masalah yang timbul. Dengan kata lain bahwa nilai budaya tertentu yang ada dalam suatu masyarakat mempunyai suatu cara tersendiri untuk memecahkan permasalahan yang timbul dalam anggota masyarakat tersebut (Lee & Sirch, 1994). Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar, yang multi etnis. Dengan demikian sangat banyak nilai-nilai unik yang ada di dalam etnis bangsa Indonesia. Tiap daerah mempunyai nilai nilai khas yang sangat dijunjung tinggi oleh kelompok masyarakatnya. Kalimat tersebut mengundang suatu pertanyaan yaitu, apakah bangsa Indonesia tidak mempunyai budaya nasional. Budaya nasional diterapkan secara umum dan berlaku secara nasional, akan tetapi budaya nasional diterampkan dalam hal-hal tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu, misalnya: upacara bendara di sekolah, di kantor-kantor. Setelah kita merdeka dan menyatakan sebagai bangsa yang bersatu, saat itu pulalah mulai digali nilai nilai yang ada di dalam kelompok etnis bangsa Indonesia. Dalam hal ini, disusun suatu pola yang dapat mewakili budaya Indonesia secara utuh. Nilai nilai yang disatukan itu dijadikan pandangan hidup bangsa Indonesia yaitu kesatuan lima sila dalam Pancasila; Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia (Rosjidan 1995).



45



Kebudayaan universal atau lebih dikenal dengan kebudayaan nasional bangsa Indonesia tidak bersifat dogmatis dan statis. Hal ini memungkinkan terjadi proses penyempurnaan secara terus menerus. Penyempurnaan ini digali dari budaya yang unik tersebut. Artinya budaya atau nilai nilai yang khas yang dimiliki oleh suku suku di Indonesia secara terus menerus memberikan sumbangan untuk sempurnanya budaya nasional ini juga untuk menjawab tuntut¬an jaman yang terus berkembang dan semakin maju. Ki Hajar Dewantara (1977) menjelaskan bahwa sifat kebudayaan yang tidak statis. Kebudayaan mempunyai tujuan untuk memajukan hidup manusia kearah keadaban. Oleh sebab itu ada beberaha hal penting yang perlu diingat, yakni: a. Pemeliharaan kebudayaan harus bermaksud memajukan dan kebudayaan dengan tiap tiap pergantian alam dan jaman; b. Pengasingan atau kebudayaan menyebabkan kemunduran dan kematian, oleh karena itu maka manusia harus selalu ada hubungan antara kebudayaan dan masyarakat; c. Pembaharuan kebudayaan mengharuskan pula adanya hubungan dengan kebudayaan lain, yang dapat memperkembangkan (memajukan, menyempurnakan) atau memperkaya (yakni menambah) kebudayaan sendiri; d. Perlu kewaspadaan masukknya kebudayaan lain, yang tidak sesuai dengan alam dan jamannya, yang dapat menjadikan "pergantian kebudayaan" yang menyalahi tuntutan kodrat dan masyarakat selalu membahayakan; e. Kemajuan kebudayaan harus berupa lanjutan langsung dari kebudayaan sendiri, menuju kearah kesatuan kebudayaan dunia dan tetap terus mempunyai sifat kepribadian di dalam Iingkungan kemanusiaan sedunia.



1. Sosialisasi budaya a. Peran Keluarga Proses kepemilikan (sosialisasi) budaya dari generasi ke generasi tidak bersifat herediter. Proses kepemilikan budaya antar generasi melalui proses belajar (Ihrom, 1988). Hal ini menunjukkan bahwa peran orang yang lebih tua akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan budaya itu sendiri. Pengertian sosialisasi dalam bahasan ini adalah suatu proses yang harus dilalui manusia muda untuk memperoleh nilai nilai dan pengetahuan mengenai



46



kelompoknya dan belajar mengenai peran sosialnya yang cocok dengan kedudukannya di situ (Goode, 1991). Individu akan belajar mengenal keadaan sekitarnya pertama kali melalui orang orang yang paling dekat dengan dirinya. Orang orang yang paling dekat dengan dirinya tidak lain adalah keluarga, terutama adalah orang tuanya. Dengan demikian, orang tua merupakan orang pertama yang mengajarkan budaya kepada anaknya. Nilai nilai ini diajarkan kepada generasi muda (anak) karena akan menunjukkan kepada mereka tentang bagaima cara bertindak secara benar dan bisa diterima oleh masyarakat (Fraenkel, 1977). Orang tua akan mengajarkan kepada anaknya tentang bagaimana bertindak, bersikap, berpikir dan berkeya¬kinan terhadap sesuatu hal. Disengaia atau tidak, proses belaiar ini berlangsung terus menerus tanpa henti. Secara sadar. biasanya orang tua langsung meng¬ajarkan sesuatu kepada anaknya. Secara tidak sadar, orang tua melakukan perilaku tertentu dan oleh anak. Dengan demikian, orang tua secara tidak sengaja mengajarkan sesuatu kepada anak. Sebagai salah satu contoh, dalam budaya Jawa orang jawa akan mengajarkan cara makan kepada anaknya. Seringkali orang jawa mengatakan Nek mangan ojo karo ngomong mengko dikancani setan" (Kalau makan jangan sambil berbicara, nanti ditemani setan). Dalam hal ini, orang tua mengaiarkan perilaku tertentu kepada anaknya, yaitu berperilaku sopan. Hanya saia, penyampaiannya mempergunakan simbol simbol tertentu. Dalam tatanan budaya Jawa, anak telah diajarkan tentang nilai nilai (budaya) sejak anak mereka masih bayi. Hal ini tampak pada saat ibu menggendong bayinya. Bayi akan digendong oleh ibunya pada posisi pinggang kiri. Dengan digendong pada pinggang kiri ini, maka tangan kanan anaknya akan dapat bergerak dengan bebas untuk menerima apa saia yang diberikan oleh ibu atau bapaknya. Secara tidak langsung, orang tua telah mangajarkan budaya atau nilai nilai kesopanan pada anaknya (Gertz, 1993), Dari contoh di atas, tampak bahwa orang tua akan berusaha untuk menanamkan nilai nilai atau norma norma tertentu kepada generasi berikutnya (anak). Sebagai salah satu contoh apa yang telah diuraikan panjang lebar di atas adalah sebagai berikut: Semua orang mempunyai kebutuhan untuk makan. Hal ini merupakan insting setiap manusia. Dimanapun di muka bumi ini pasti orang butuh untuk makan. Tetapi makan ini bukan suatu budaya. Tetapi bagaimana cara makan, itu yang merupakan budaya. Orang tua yang akan



47



menga¬jarkan bagaimana cara makan yang baik menurut ukuran keluarga tersebut. Orang jawa mengajarkan makan dengan cara memakai tangan (muluk) dan harus memakai tangan kanan. Ini adalah hal yang dianggap baik. Orang Eropa akan mengajarkan kepada anaknya makkan dengan mempergunakan garpu dan pisau dan lain sebagainya.



b. Peran Masyarakat. Dari peran lingkup sosial yang paling kecil, selanjutnya akan kita bahas peran lingkup sosial yang berikutnya, yaitu masyarakat. Masyarakat merupakan suatu kesatuan dari beberapa keluarga inti yang mempu¬nyai ciri ciri yang hampir sama. Masyarakat ini pada, umumnya tinggal di suatu daerah yang mempunyai batas dengan dengan daerah daerah lainnya. Pada masyarakat tertentu, batasan batasan ini biasanya dengan mempergunakan tembok tembok besar atau tanaman tanaman bambu (Koentjaraningrat, 1988). Pembatasan daerah yang satu dengan daerah lain ini bertujuan agar ketenangan suatu masyarakat tertentu tidak terusik oleh masyarakat yang lainnya. Pada masa lalu batasan atau pagar desa ini mempunyai tujuan agar mereka tidak diserang oleh desa atau masyara¬kat lainnya (Koentjaraningrat, 1988). Lebih daripada itu, pagar desa ini bertujuan agar mereka dapat meles¬tarikan budaya yang selama ini dianutnya,. Peran masyarakat dalam proses inkulturasi atau sosialisasi budaya adalah sangat penting. Dalam pendekatan behaviorisme, dinyatakan bahwa perilaku dan kepribadian seseorang sangat ditentukan oleh lingkungan dimana dia berada. Lingkungan yang pertama adalah lingkungan keluarga dan yang berikutnya adalah masya¬rakat sekelilingnya. Masyarakat mempunyai beberapa peraturan (hasil budaya) yang secara langsung mengikat seseorang yang menjadi anggota masyarakatnya. Masyarakat menciptakan hukum adat, dimana hukum adat itu dibuat untuk menjaga tata tertib dan dijaga sedemikian rupa sehingga mereka mempunyai suatu ketaatan yang seolah olah otomatis terhadap adat, dan kalau ada pelanggaran, maka secara otomatis pula akan timbul reaksi mesyarakat untuk menghukum pelanggar itu (Radclifle & Brown, dalam Koentjaraningrat:1990). Dengan demikkian, hukum adat itu akan langsung mengikat anggota masyarakatnya, dan mereka tidak akan lepas dari nilai nilai atau peraturan yang telah disepakati bersama.



48



Contoh peraturan yang mengikat anggota masyarakat untuk terus melaksanakan adat atau budaya bisa kita jumpai dari beberapa suku bangsa kita seper¬ti suku Nias. Pada suku Nias, terdapat peraturan yang disebut dengan fondrako (Koentjaraningrat, 1998), peraturan ini dibuat dengan disertai kutukan lekas mati bagi anggota kelompok masyarakat itu yang berani melanggar. Hukum adat ini ditetapkan dalam suatu sidang tertentu. Peraturan yang demikian keras ini akan menjadi semacam hukuman atau punishment bagi mereka yang melanggar. Dalam masyarakat Jawa juga terlihat peraturan ¬peraturan yang mengikat dan masih sering dilaksanakan. Walaupun tidak terlalu keras, tetapi masyarakat Jawa mengikutinya dengan penuh kesadaran. Masyarakat Jawa dikenal dengan perasaan yang sangat halus, dengan demikian, ungkapan ungkapan yang bertujuan untuk mela¬rang suatu tindakan tertentu juga diungkapkan dengan halus pula. Apabila orang jawa mengatakan “saru" (tabu) atau “ora njawa", biasanya mereka yang melakukan tindakan tertentu (salah) akan merasa "isin" (malu) dan tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi. Peraturan yang mengikat dari sekelompok Masyarakat tertentu akan membentuk suatu pola perilaku dari seseorang. Bagaimana dia berperilaku, berpikir, bersikap dan lain sebagainya akan merefleksikan aturan yang dibuat oleh masyarakat dimana dia tinggal (Riesman, dalam Herr, 1989). Sehingga akan terbentuk suatu kepribadian dasar (basic personality) atau kepribadian rata rata (lhrom, 1990). Generasi muda mempunyai kecenderungan untuk mencontoh apa apa yang dilakukan oleh generasi sebelumnya. Hal ini memang salah satu proses pemilikan yang dilakukan oleh kaum muda. Dalam proses peniruan ini terjadi suatu proses belajar yang tidak disadari. Artinya dari pihak generasi tua tidak mengajarkan budaya tertentu kepada generasi mudanya secara langsung. Mungkin, apa yang dilakukan oleh generasi tua itu juga merupakan proses belajar meniru dari generasi sebelumnya. Bateson (dalam Ihrom, 1983) mengilustrasikan suatu peristiwa yang menunjukkan proses belajar melalui perilaku meniru dari suku pengayau latmul (lrian jaya) sebagai berikut: “Seorang yang berkedudukan penting, waktu memasuki gedung upacara, sadar bahwa mata khalayak ramai sedang memperhatikannya dan reaksinya terhadap hal itu adalah menunjukkan sikap yang berlebih lebihan. Dia akan memasuki ruangan dengan berbagai gerak gerik dan men¬coba menarik perhatian orang terhadap kehadirannya dengan sesuatu ucapan. Kadang kadang dia cenderung untuk bersikap berlagak dan merasa bangga secara



49



agak berlebih lebihan. Kadang kadang pula reaksinya ialah membadut ... bertambah tinggi kedudukannya bertambah menyolok tingkah lakunya. Pada kaum muda, yang belum lagi mempunyai kedu¬dukan, ditemukan sikap lebih menguasai diri. Mereka akan memasuki gedung upacara dengan tenang, tanpa menarik perhatian, dan diantara orang orang yang lebih senior dan sedang berlagak itu, mereka duduk diam diam serta bersungguh sungguh. Tetapi untuk pemuda pemuda ini ada pula sebuah gedung upacara yang lebih sederhana. Di gedung ini mereka secara miniatur melakukan upacara seperti yang dilakukan golongan senior, dan dalam upacara di kalangannya itu mereka meniru sikap orang senior dan menunjukkan sikap angkuh bercampur ¬membadut". llustrasi di atas memang tidak bermaksud untuk digeneralisasikan, tetapi adalah kenyataan bahwa belajar yang dilakukan oleh generasi penerus adalah melalui cara cara meniru atau mencontoh. Masyarakat akan memberikan hadiah (reward) terhadap mereka mereka yang berjalan sesuai dengan aturan yang telah disepakati bersama (konsensus). Hadiah atau reward ini dapat berupa pujian pujian yang diberikan pada seseorang. Selain itu, masyarakat juga akan memberikan hukuman (punishment) kepada anggota masyarakat yang tidak dapat menjalankan konsensus atau menyimpang dari konsensus yang telah disepakati. Hukuman ini bermacam macam bentuk seperti dikenakan denda (pada suku dayak), dipasung (pada beberapa suku jawa), melalui hukum Islam (di Aceh) dan lain sebagainya (Koentjaraningrat, 1988). Berdasarkan apa yang dilakukan oleh masyarakat terhadap anggota masyarakatnya itu, maka seseorang akan banyak belajar tentang suatu perilaku, sikap atau cara berpikir (berdasar reward and punishment). Proses pelestarian budaya bisa berjalan dengan ketat dan masyarakat akan menentukan segala apa yang akan dilakukan dan dipikirkan oleh individu.



2. Sistem Nilai Nilai memiliki dua gagasan yang saling bersebrangan, yakni nilai ekonomi yang didasarkan pada nilai produk, kesejahteraan dan harga, dengan penghargaan tinggi bersifat material. Pada sisi lain, nilai digunakan untuk mewakili gagasan atau makna yang abstrak dan tak terukur dengan jelas. Nilai yang abstrak dan sulit untuk diukur itu meliputi keadilan, kejujuran, kebebasan, kedamaian, dan persamaan (Mulyana, 2011). Dalam kehidupan bermasyarakat nilai sebagai suatu sistem yang memiliki kaitan erat dengan sikap, dimana keduanya menentukan pola-pola tingkah laku dari manusia (Suhardi, 2002). Kebudayaan juga bisa diartikan sebagai sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau



50



gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan dari kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang semuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakatnya (Hermanto, 2011). Menurut Parkin sebagaimana dikutip oleh Ibnu Ismail, bahwa tradisi merupakan suatu kebiasaan dari aktifitas yang telah berakar dalam kondisi sosial budaya, sehingga terjadi semacam rutinitas, contohnya meliputi grebegan, nyawalan, dan Hajatan (Isma’il, 2011). Dalam tradisi, terkandung berbagai makna serta nilai-nilai penting diantaranya digunakan sebagai acuan dalam bertingkah laku masyarakat dalam menjalani kehidupan, termasuk menghadapi perbedaan-perbedaan ketika berinteraksi dengan orang lain yang berbeda budaya maupun keyakinan (Haryanto, 2013). Budaya Jawa juga mengenal istilah 3 M yang berkaitan dengan siklus kehidupan manusia, yaitu Metu (Lahir), Manten (Menikah), dan Mati (Mati). Ketiga peristiwa tersebut merupakan manifestasi budaya Jawa yang bersifat religius. Salah satu tradisi Jawa yang dilaksanakan oleh masyarakatnya, yaitu di antaranya upacara perkawinan. Masyarakat Jawa mengenal adanya tanggal, hari, dan bulan dalam kalender Jawa yang diperbolehkan atau di hindari agar dapat melaksanakan sebuah upacara perkawinan. Selain itu, juga banyak tahapan yang harus di lalui dalam sebuah upacara adat jawa (Budianto, 1988). Sumber lain mengatakan bahwa kata budaya atau culture berasal dari colere, yang berarti mengerjakan atau mengolah. Hal ini terutama berkaitan dengan kegiatan mengolah tanah atau bertani. Berdasarkan istilah tersebut, maka culture diartikan sebagai segala daya upaya atau tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam (Koentjaraningrat, 1984). Budaya Lokal Budaya Lokal adalah sebuah nilai-nilai lokal hasil dari budi daya masyarakat daerah tertentu yang terbentuk secara alami dan diperoleh melalui proses belajar dari waktu ke waktu. Ciri-Ciri kebudayaan daerah atau lokal: a. Terdapat peninggalan sejarah b. Adanya unsur kepercayaan c. Terdapat bahasa dan seni khas daerah



51



d. Dianut oleh penduduk dalam daerah tersebut e. Terdiri dari unsur kebudayaan tradisional dan kebudayaan asli f. Memiliki adat istiadat g. Bersifat kedaerahan Berdasarkan daerahnya, wilayah Indonesia menurut Koentjaraningrat (1999) terdiri dari beberapa budaya lokal dan contohnya adalah a. Tipe masyarakat yang berdasarkan pada sistem berkebun yang sangat sederhana. Tipe masyarakat yang dengan keladi dan ubi jalar sebagai tanaman pokoknya dengan kombinasi berburu dan meramu. Sistem dasar kemasyarakatannya berupa desa terpencil tanpa diferensiasi dan stratifikasi yang berarti; gelombang pengaruh kebudayaan menanam padi, kebudayaan perunggu, kebudayaan Hindu dan agama Islam tidak dialami. Isolasi tersebut akhirnya dibuka oleh zending atau missie. Contohnya terdapat pada kebudayaan Mentawai dan penduduk Pantai Utara. Papua. b. Tipe masyarakat pedesaan yang berdasarkan bercocok tanam di ladang atau di sawah dengan padi sebagai tanaman pokok. Sistem dasar kemasyarakatannya berupa komunitas petani dengan diferensiasi dan stratifikasi sosial yang sedang dan merasa bagian dari bawah suatu kebudayaan yang dianggap lebih halus dan beradab di dalam masyarakat kota. Contohnya terdapat pada kebudayaan Nias, Batak, penduduk Kalimantan Tengah, Minahasa, Flores dan Ambon. c. Tipe masyarakat pedesaan yang berdasarkan sistem bercocok tanam di sawah dan tanaman padi adalah sebagai tanaman pokoknya. Sistem dasar kemasyarakatannya berupa komunitas petani dengan diferensiasi dan stratifikasi sosial yang agak sempit. Arah orientasi kepada masyarakat kota untuk mewujudkan suatu bekas kerajaan pertanian bercampur dengan peradaban kepegawaian yang di bawa oleh sistem pemerintahan kolonial. Pada tipe masyarakat ini, semua gelombang pengaruh kebudayaan asing dialami, gelombang pengaruh agama Islam dialami sejak setengah abad terakhir ini. Contohnya terdapat pada kebudayaan Sunda, Jawa, dan Bali. d. Tipe masyarakat perkotaan yang mempunyai ciri-ciri pusat pemerintahan dengan sektor perdagangan dan industri yang lemah. Contohnya budaya lokal dengan tipe masyarakat perkotaan terdapat pada kota-kota kabupaten dan provinsiprovinsi di Indonesia. e. Tipe masyarakat metropolitan. Tipe masyarakat metropolitan yang sudah mulai mengembangkan suatu sektor perdagangan dan industri. Tetapi masih adanya didominasi



52



dari aktivitas kehidupan pemerintahan, dengan suatu sektor kepegawaian yang luas dan dengan kesibukan politik di tingkat daerah maupun nasional. Contohnya terdapat pada kebudayaan di daerah Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, Medan, Palembang, dan lain-lain.



Pandangan hidup Pandangan hidup artinya pendapat atau pertimbangan yang dijadikan pegangan, pedoman, arahan, petunjuk hidup di dunia berdasarkan pengalaman sejarah menurut waktu dan tempat hidupnya. Pandangan hidup dapat diklasifikasikan berdasarkan asalnya yaitu: 1. Pandangan hidup yang berasal dari agama, yaitu pandangan hidup yang mutlak kebenarannya. 2. Pandangan hidup yang berupa Ideologi, yang disesuaikan dengan kebudayaan dan norma yang terdapat pada negara tersebut. 3. Pandangan hidup hasil renungan, yaitu pandangan hidup yang relatif kebenarannya. Pandangan hidup mempunyai 4 unsur-unsur, yaitu: a. Cita-cita apa yang diinginkan yang mungkin dapat dicapai dengan usaha atau perjuangan. b. Kebajikan segala hal yang baik yang membuat manusia makmur, bahagia, damai dan tenteram. c. Usaha atau perjuangan adalah kerja keras yang dilandasi keyakinan. d. Keyakinan atau kepercayaan, merupakan hal terpenting dalam hidup manusia.



Cita-cita Cita-cita adalah keinginan, harapan, tujuan, yang selalu ada dalam pikiran. Cita-cita merupakan pandangan masa depan dan pandangan hidup dimasa yang akan datang. Pada umumnya cita-cita merupakan semacam garis linier yang makin lama makin tinggi tingkatannya. Apabila cita-cita belum tercapai maka cita-cita tersebut disebut angan-angan. faktor yang menentukan seseorang dapat atau tidak mencapai cita-citanya, yaitu:  Manusianya yang memiliki cita-cita



53



 Kondisi yang dihadapi selama mencapai apa yang dicita-citakan  Seberapa tinggi cita-cita yang hendak dicapai Faktor manusia yang ingin mencapai cita-citanya ditentukan oleh kualitas manusianya. Cara keras dalam mencapai cita-cita merupakan suatu perjuangan hidup yang apabila berhasil akan menimbulkan kepuasan. Faktor kondisi yang mempengaruhi tercapainya cita-cita, pada umumnya dapat disebut yang menguntungkan dan yang menghambat. Faktor yang menguntungkan merupakan kondisi yang memperlancar tercapainya suatu cita-cita sedangkan faktor yang menghambat merupakan kondisi yang terintangi. Faktor tingginya cita-cita merupakan faktor ketiga dalam mencapai cita-cita. Memang ada pepatah lama yang mengatakan gantungkan cita-citamu setinggi langit namun harus memperhatikan situasi dan kondisi yang ada. Maka dari itu sebuah cita-cita harus dilakukan dengan penuh pertimbangan perhitungan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki serta kondisi yang dilalui. Suatu cita-cita tidak hanya dimiliki oleh individu tapi juga oleh masyarakat bangsa dan negara. Cita-cita suatu bangsa merupakan keinginan atau tujuan suatu bangsa dan negara. Kebajikan Kebajikan atau kebaikan adalah suatu perbuatan yang mendatangkan kesenangan bagi diri sendiri maupun orang lain. Kebaikan pada hakekatnya sama dengan perbuatan moral yang sesuai dengan norma-norma agama dan etika. Manusia berbuat baik karena pada hakekatnya manusia itu baik. Makhluk bermoral atas dorongan suara hatinya manusia cenderung berbuat baik. Manusia adalah sebuah pribadi yang utuh yang terdiri atas jiwa dan badan. Kedua unsur tersebut terpisah bila manusia meninggal. Manusia mempunyai kepribadian oleh karena itu ia mempunyai pendapat sendirian ia mencintai dirinya, perasaannya dan cita-citanya. Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia membutuhkan orang lain untuk dapat bertahan hidup. Untuk dapat melihat kebajikan kita harus melihat dari tiga segi, yaitu manusia sebagai mahluk pribadi, manusia sebagai anggota masyarakat dan manusia sebagai makhluk Tuhan. Suara hati adalah semacam bisikan didalam hati yang mendesak seseorang untuk menimbang dan menentukan baik buruknya suatu perbuatan. Jadi suara hati dapat merupakan hakim



54



untuk diri sendiri. Sebab itu nilai suara hati amat besar dan penting dalam hidup manusia. Kebajikan adalah perbuatan yang selaras dengan suara hati kita, suara hati masyarakat dan Tuhan. Kebajikan berarti: berkata sopan, santun, berbahasa baik, bertingkah laku baik, ramah tamah terhadap siapapun, berpakaian sopan agar tidak meransang bagi yang melihatnya



Usaha Dan Perjuangan Usaha dan perjuangan adalah kerja keras untuk mewujudkan cita-cita. Sebagian hidup manusia adalah usaha atau berusaha. Apabila manusia bercita-cita menjadi kaya, maka ia harus bekerja keras. Kerja keras itu dapat dilakukan dengan otak atau ilmu maupun dengan tenaga atau jasmani bahkan dengan keduanya. Kerja keras pada dasarnya menghargai dan meningkatkan harkat dan martabat manusia. Sebaliknya pemalas membuat manusia iri, miskin dan melarat bahkan menjatuhkan harkat dan martabatnya sebagai seorang manusia. Untuk bekerja keras manusia dibatasi oleh kemampuan. Karena dibatasi oleh kemampuan itulah timbul perbedaan tingkat kemakmuran antara manusia. Kemapuan itu terbatas pada fisik dan keahlian atau keterampilan. Orang bekerja dengan fisik lemah, akan memperoleh hasil sedikit. Manusia mempunyai rasa kebersamaan dan cinta kasih maka ketidakmampuan atau keterbatasan yang menimbulkan perbedaan tingkat kemakmuran dapat diatasi secara tolong menolong dalam wadah kekeluargaan.



Keyakinan atau kepercayaan Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, ada 3 aliran filsafat, yaitu: a. Aliran Naturalisme, aliran ini berintikan spekulasi mungkin ada Tuhan mungkin juga tidak. Dasar aliran ini adalah kekuatan gaib dari nature dan itulah ciptaan Tuhan. Bagi yang percaya adanyaTuhan, itulah kekuasaan tertinggi. Manusia adalah ciptaan Tuhan karena itu manusia mengabdi kepada Tuhan berdasarkan ajaran ajaran Tuhan yaitu agama. Ajaran agama ada 2 macam, yaitu: (1) Ajaran agama yang dogmatis,yang disampaikan Tuhan melalui ajaran para nabi. (2) Ajaran agama dari pemuka agama, yaitu sebagai hasil pemikiran manusia. b. Aliran Intelektualisme, besar aliran ini adalah logika atau akal. Apabila aliran ini dihubungkan dengan pandangan hidup, maka keyakinan manusia itu bermula dari akal. Jadi pandangan hidup ini dilandasi oleh keyakinan kebenaran yang diterima oleh akal.



55



c. Aliran gabungan, dasar aliran ini adalah perbuatan yang gaib dan akal. Kekuatan gaib artinya kekuatan yang berasal dari Tuhan, sedangkan akal adalah dasar kebudayaan yang menentukan benar tidaknya sesuatu. Apabila aliran ini dihubungkan dengan pandangan hidup, maka akan timbul 2 kemungkinan pandangan hidup yaitu : pandangan hidup sosialisme dan sosialisme religius. Pandangan hidup sosialisme mengutamakan logika berfikir dari hati nurani, sedangkan sosialisme religius mengutamakan kedua-duanya.



Langkah langkah berpandangan hidup yang baik  Mengenal, merupakan suatu kodrat bagi manusia dan tahap hidup pertama dari setiap individu. Sebagai seorang muslim kita mengenal pandangan hidup yaitu alquran dan hadist serta ijmak Ulama yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.  Mengerti, mengerti disini dimaksudkan pada mengerti tentang pandangan hidup.  Menghayati, menghayati nilai-nilai yang terkandung dalam pandangan hidup yaitu dengan memperluas dan memperdalam pengetahuan mengenai pandangan hidup.  Meyakini, merupakan suatu hal yang cenderung memperoleh suatu kepastian sehingga dapat mencapai tujuan hidupnya.  Mengabdi, merupakan suatu hal yang penting dalam menghayati dan meyakini sesuatu yang telah dibenarkan dan diterima baik oleh dirinya sendiri lebih dari orang lain.  Mengamankan, merupakan langkah terberat dan benar-benar membutuhkan iman yang teguh dan kebenaran dalam menanggulangi segala sesuatu demi tegaknya pandangan hidup itu.



Tanggungjawab Dalam budaya Indonesia, setiap manusia dalam masing-masing suku mempunyai tanggung jawab sesuai posisi, kedudukan dan perannya. Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya. Macam-macam tanggungjawab 1. Tanggungjawab terhadap diri sendiri



56



Tanggungjawab terhadap diri sendiri menuntut kesadaran setiap orang untuk memenuhi kewajibannya sendiri dalam mengembangkan kepribadian sebagai manusia pribadi. Dengan demikian bisa memecahkan masalah-masalah kemanusiaan mengenai dirinya sendiri. 2. TanggungJawab Kepada Bangsa Dan Negara Dalam berpikir, berbuat, bertindak, bertingkah laku manusia terikat oleh norma-norma atau ukuran-ukuran yang dibuat oleh negara. Manusia tidak dapat berbuat semaunya sendiri. Bila perbuatan manusia itu salah, maka ia harus bertanggung jawab kepada negara. 3. TanggungJawab Terhadap Tuhan Tuhan menciptakan manusia di bumi ini bukanlah tanpa tanggungjawab, melainkan untuk mengisi kehidupannya manusia mempunyai tanggungjawab langsung terhadap Tuhan. Sehingga tindakan manusia tidak bisa lepas dari hukuman-hukuman Tuhan yang dituangkan dalam berbagai kitab suci melalui berbagai macam agama. 4. TanggungJawab Terhadap Keluarga Tiap anggota keluarga wajib bertanggungjawab kepada keluarganya. Tanggungjawab ini menyangkut nama baik keluarga. Tetapi tanggungjawab ini juga merupakan kesejahteraan, keselamatan, pendidikan, dan kehidupan. 5. TanggungJawab Terhadap Masyarakat Pada hakekatnya manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan manusia lain, sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk sosial. Sehingga dengan demikian manusia disini merupakan anggota masyarakat yang tentunya mempunyai tanggungjawab seperti anggota masyarakat yang lain agar dapat melangsungkan hidupnya dalam masyarakat tersebut.



Pengabdian Pengabdian adalah perbuatan baik yang berupa pikiran, pendapat ataupun tenaga sebagai perwujudan kesetiaan, cinta kasih , kasih sayang, hormat,atau satu ikatan dan semua itu dilakukan dengan ikhlas. Pengabdian itu pada hakekatnya adalah rasa tanggungjawab. Apabila orang bekerja keras sehari penuh untuk mencukupi kebutuhan. Hal itu berarti mengabdi kepada keluarga.



57



Pengorbanan Pengorbanan berasal dari kata korban atau qurban yang berarti persembahan, sehingga pengorbanan berarti pemberian untuk menyatakan kebaktian. Dengan demikian pengorbanan yang bersifat kebaktian itu mengandung unsur keikhlasan yang tidak mengandung pamrih.



Orientasi Nilai Budaya Kebudayaan sebagai karya manusia memiliki sistem nilai, menurut C. Kluckhon dalam karyanya variations in value orientation (1961) sistem nilai budaya dalam semua kebudayaan di dunia, secara universal menyangkut lima masalah pokok kehidupan manusia, yaitu: 1. Hakekat hidup manusia: hakekat hidup untuk setiap kebudayaan berbeda secara ekstern. Ada yang berusaha untuk memadamkan hidup, ada pula dengan pola-pola kelakuan tertentu 2. Hakekat karya manusia: setiap kebudayaan hakekatnya berbeda-beda, untuk hidup, kedudukan/kehormatan, gerak hidup untuk menambah karya. 3. Hakekat waktu manusia: hakekat waktu untuk setiap kebudayaan berbeda, orientasi masa lampau atau untuk masa kini. 4. Hakekat



alam



manusia:



ada



kebudayaan



yang



menganggap



manusia



harus



mengeksploitasi alam, ada juga yang harus harmonis dengan alam atau manusia menyerah kepada alam. 5. Hakekat hubungan manusia: mementingkan hubungan antar manusia baik vertikal maupun horizontal (orientasi pada tokoh-tokoh). Ada pula berpandangan individualistis.



Perubahan Kebudayaan Terjadinya gerak perubahan kebudayaan ini disebabkan oleh :  Sebab-sebab yang berasal dari dalam masyarakat dan kebudayaan sendiri misalnya: perubahan jumlah dan komposisi penduduk  Sebab-sebab perubahan lingkungan alam dan fisik tempat mereka hidup.



58



Ada beberapa faktor yang menyebabkan diterima atau tidak diterimanya suatu unsur kebudayaan baru, diantaranya:  Terbatasnya masyarakat memiliki hubungan atau kontak dengan kebudayaan dan dengan orang-orang yang berasal dari luar masyarakat tersebut  Pandangan hidup dan nilai-nilai yang dominan dalam suatu kebudayaan ditentukan oleh nilai-nilai agama  Corak struktur sosial suatu masyarakat turut menentukan proses penerimaan kebudayaan baru;  Suatu unsur kebudayaan diterima jika sebelumnya sudah ada unsur-unsur kebudayaan yang menjadi landasan bagi diterimanya unsur kebudayaan yang baru tersebut;  Apabila unsur baru itu memiliki skala kegiatan yang terbatas, dan dapat dengan mudah dibuktikan kegunaannya oleh warga masyarakat yang bersangkutan.



Kaitan Manusia Dan Kebudayaan Proses dialektis ini tercipta melalui tiga tahap yaitu :  Eksternalisasi, proses dimana manusia mengekspresikan dirinya dengan membangun dunianya;  Obyektivasi, proses dimana masyarakat menjadi realitas obyektif, yaitu suatu kenyataan yang terpisah dari manusia dan berhadapan dengan manusia,  Internalisasi, proses dimana masyarakat disergap kembali oleh manusia. Maksudnya bahwa manusia mempelajari kembali masyarakatnya sendiri agar dia dapat hidup dengan baik.



Pengertian Cinta Kasih Menurut kamus umum bahasa Indonesia karya W.J.S. Poerwadarminta cinta adalah rasa sangat suka, sayang, ataupun sangat tertarik hatinya. Pengertian cinta menurut Dr. Abdullah Nasih Ulwan, dalam bukunya manajemen cinta, Cinta adalah perasaan jiwa dan gejolak hati yang mendorong seseorang untuk mencintai kekasihnya dengan penuh gairah, lembut, dan kasih sayang.



59



Cinta menurut Dr. Sarlito W. Sarwono memiliki tiga unsur, yaitu : 1. Keterikatan (Cinta Setia) 2. Keintiman (Cinta Saudara; Kemesraan (Cinta Rayuan) 2. Orang tua bersifat pasif, Si Anak bersifat aktif. 3. Orang tua bersifat pasif, Si Anak bersifat pasif. 4. Orang tua bersifat aktif, Si Anak bersifat aktif. Dalam hal ini orang tua dan anak saling memberikan kasih sayang dengan sebanyakbanyaknya



Kemesraan Kemesraan ialah hubungan yang akrab baik antara pria dan wanita yang sedang dimabuk asmara maupun yang sudah berumah tangga. Kemesraan merupakan perwujudan kasih sayang yang mendalam. Cinta yang berlanjut menimbulkan pengertian kemesraan. Kemesraan adalah perwujudan dari cinta. Kemesraan dapat menimbulkan daya kreativitas manusia. Dengan kemesraan orang dapat menciptakan berbagai bentuk seni sesuai dengan kemampuan dan bakatnya.



Cinta Kasih Erotis Cinta kasih sering kali dicampur baurkan dengan pengalaman yang eksplosif berupa jatuh cinta, dalam cinta kasih terdapat eksklusivitas yang tidak terdapat dalam cinta kasih persaudaraan dan cinta kasih keibuan. Dengan demikian maka bahwa cinta kasih erotis merupakan atraksi individual belaka maupun pandangan bahwa cinta kasih erotis itu tidak lain dari pada perbuatan kemauan keduanya, lebih tepat jika dikatakan bahwa tidak terdapat pada yang satu, juga tidak pada yang lain.



Manusia dan Keindahan Kata keindahan berasal dari kata indah yang artinya bagus, cantik, elok, molek, dan sebagainya. Perbedaan keindahan: 1. Keindahan dalam arti yang luas. Pengertian keindahan yang seluas-luasnya meliputi keindahan seni, keindahan alam, keindahan moral, dan keindahan intelektual



60



2. Keindahan dalam arti estetis murni, menyangkut pengalaman estetis dari seseorang dalam hubungannya dengan segala sesuatu yang diserapnya 3. Keindahan dalam arti terbatas, lebih disempitkan sehingga hanya menyangkut benda yang diserapnya dengan penglihatan



Nilai Estetik Nilai estetik adalah nilai suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau suatu golongan.Nilai adalah semata-mata suatu realita psikologis yang harus dibedakan secara tegas dari kegunaan karena terdapat dalam jiwa manusia dan bukan pada benda itu sendiri. Nilai digolongkan menjadi:  Nilai ekstrinsik : sifat baik suatu benda sebagai alat untuk sesuatu hal lainnya  Nilai intrinsik : sifat baik dari benda yang bersangkutan atau sebagai suatu tujuan ataupun demi kepentingan benda itu sendiri c. Kontemplasi dan Ekstansi Keindahan dapat dinikmati menurut selera seni dan selera biasa. Keindahan yang didasarkan pada selera seni didukung oleh faktor kontemplasi dan ekstansi. Kontemplasi adalah: dasar dalam diri manusia untuk menciptakan sesuatu yang indah. Ekstansi adalah: dasar dalam diri manusia untuk menyatakan, merasakan dan menikmati sesuatu yang indah. Apabila kedua dasar tersebut dihubungkan dengan bentuk di luar diri manusia, maka akan terjadi penilaian bahwa sesuatu itu indah. d. Sebab Manusia Menciptakan Keindahan 



Tata nilai yang telah usang







Kemerosotan zaman







Penderitaan manusia







Keagungan Tuhan



e. Keindahan Menurut Pandangan Romantik



61



Dalam buku An Essay on Man (1954), Erns Cassirer mengatakan bahwa arti keindahan tidak bisa pernah selesai diperdebatkan. Meskipun kita menggunakan kata-kata penyair romantik John Keats (1795- 1821) sebagai pegangan. Dalam Endymion dia berkata : A thing of beauty is a joy forever its loveliness increases; it will never pass into nothingness (bahwa sesuatu yang indah adalah keriangan selama-lamanya, kemolekannya bertambah, dan tidak pernah berlalu ketiadaan).



Keadilan Keadilan menurut Beberapa para pemikir yang mendefinisikan keadilan adalah: 1. Aristoteles, adalah kelayakan dalam tindakan manusia.. 2. Plato, adalah orang yang dapat mengendalikan diri, dan perasaannya dikendalikan oleh akal. 3. Socrates, memproyeksikan keadilan pada pemerintahan. 4. Kong Hu Chu, keadilan terjadi apabila anak sebagai anak,ayah sebagai ayah, dan raja sebagai raja, masing-masing telah melaksanakkan kewajibannya. Menurut pendapat yang lebih umum dikatakan bahwa keadilan itu adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban.



Keadilan Sosial Pancasila sila kelima yang berbunyi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” ini mengandung pengertian tidak ada kemiskinan dalam Indonesia merdeka. Bung Hatta dalam uraiannya mengenaai sila kelima Pancasila menulis bahwa keadilan sosial adalah langkah yang menentukan untuk melaksanakan Indonesia yang adil dan makmur. Selanjutnya untuk mewujudkan keadilan sosial itu diperinci perbuatan dan sikap yang perlu dipupuk yaitu: a. perbuatan luhur ynag mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan b. sikap adil terhadap sesama c. sikap suka memberi pertolongan terhadap yang membutuhkan d. sikap suka bekerja keras e. sikap menghargai hasil karya orang lain



62



Asas terciptanya keadilan sosial dituangkan melalui 8 jalur pemerataan yaitu: 1. pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok 2. pemerataan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan 3. pemerataan pembagian pendapatan 4. pemerataan kesempatan kerja 5. pemerataan kesempatan berusaha 6. pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan 7. pemerataan penyebaran pembangunan 8. pemerataan memperoleh keadilan



Berbagai macam keadilan 1. Keadilan legal atau keadilan moral. Plato berpendapat bahwa keadilan dan hukum merupakkan substansi rohani umum dari masyarakat yang membuat dan menjaga kesatuannya. Dalam suatu masyarakat yang adil setiap orang menjalankan pekerjaan yang menurut sifat dasarnya paling cocok baginya (The man behind the gun). 2. Keadilan distributive Aristoteles berpendapat bahwa keadilan akan terlaksana bila hal-hal yang sama diperlakukan secara sama dan yang tidak sama secara tidak sama (Justice is done when equals are treated equally). 3. Keadilan komutatif. Keadilan ini bertujuan memelihara ketertiban masyarakat dan kesejahteraan umum. Bagi Aristoteles pengertian keadilan itu merupakan asas pertalian dan ketertiban dalam masyarakat. Semua tindakan yang menjadikan ujung ekstrim menjadikan ketidakadilan dan akan merusak bahkan menghancurkan pertalian dalam masyarakat.



Kejujuran Kejujuran atau jujur artinya apa yang dikatakan oleh seseorang sesuai dengan hati nuraninya dan apa yang dikatakan sesuai dengan knyataan yang ada. Jujur juga berarti hati seseorang



63



bersih dari perbuatan yang dilarang oleh agama. Adapun kesadaran moral adalah kesadaran tentang diri sendiri berhadapan dengan hal baik dan buruk. Dalam kehidupan sehari-hari jujur atau tidak jujur merupakan bagian hidup yang tidak dapat dipisahkan. Ketidakjujuran sangat luas wawasannya sesuai dengan luasnya kehidupan dan kebutuhan manusia. Untuk mempertahankan kejujuran, berbagai cara berbagai cara dan sikap perlu dipupuk. Namun demi sopan santun dan pendidikan seseorang diperbolehkan berkata tidak jujur sampai pada batas-batas yang dapat dibenarkan.



Kecurangan Kecurangan artinya apa yang diinginkan tidak sesuai dengan hati nurani. Orang yang sudah berbuat curang dengan maksud memperoleh keuntungan atau materi. Bagi orang yang berbuat curang akan mendatangkan kesenangan bagi dirinya meskipun orang lain menderita. Faktor yang mempengaruhi orang yang melakukan kecurangan diantaranya: 1. Faktor Ekonomi 2. Faktor Kebudayaan 3. Faktor Peradaban 4. Faktor Teknik Pemulihan nama baik Nama baik merupakan tujuan utama orang hidup. Nama baik adalah nama yang tidak tercela. Setiap orang menjaga dengan hati-hati agar namanya tidak tercemar. Penjagaan nama baik erat hubungannya dengan tingkah laku atau perbuatan. Tingkah laku atau perbuatan yang baik dengan nama baik itu pada hakekatnya sesuai dengan kodrat manusia, yaitu: 1. Manusia menurut sifat dasarnya adalah makhluk bermoral 2. Ada aturan-aturan yang berdiri sendiri yang harus dipatuhi untuk mewujudkan dirinya sendiri sebagai pelaku moral. Bila nama baik seseorang tercemar maka orang tersebut akan melakukan apa saja untuk memulihkan nama baiknya.Pemulihan nama baik adalah kesadaran manusia akan segala kesalahannya bahwa apa yang diperbuat tidak sesuai dengan ukuran moral atau akhlak. Tingkah laku dan perbuatan manusia harus disesuaikan dengan penciptanya sebagai manusia. Ada 3 macam godaan yaitu derajat/pangkat, harta dan wanita.Bila orang tidak dapat



64



mengendalikan hawa nafsunya maka ia akan terjerumus kejurang kenistaan karena untuk mendapatkan derajat/pangkat, harta dan wanita dipergunakan jalan yang tidak wajar. Untuk memulihkan nama baik, manusia harus tobat atau minta maaf. Tobat dan minta maaf tidak hanya dibibir saja melainkan harus bertingkah laku sopan, ramah dan berbuat darma serta mempunyai sikap rela dan tawakal yang harus selalu dipupuk. Pembalasan Pembalasan ialah suatu reaksi atas perbuatan orang lain.Pembalasan disebabkan oleh adanya pergaulan. Pergaulan yang bersahabat mendapat balasan yang bersahabat. Sebalik pergaulan yang penuh kecurigaan menimbulkan balasan yang tidak bersahabat pula. Pengertian pandangan hidup Pandangan hidup artinya pendapat atau pertimbangan yang dijadikan pegangan, pedoman, arahan, petunjuk hidup di dunia berdasarkan pengalaman sejarah menurut waktu dan tempat hidupnya. Pandangan hidup dapat diklasifikasikan berdasarkan asalnya yaitu: 1. Pandangan hidup yang berasal dari agama, yaitu pandangan hidup yang mutlak kebenarannya. 2. Pandangan hidup yang berupa Ideologi, yang disesuaikan dengan kebudayaan dan norma yang terdapat pada negara tersebut. 3. Pandangan hidup hasil renungan, yaitu pandangan hidup yang relatif kebenarannya. Pandangan hidup mempunyai 4 unsur-unsur, yaitu: a. Cita-cita apa yang diinginkan yang mungkin dapat dicapai dengan usaha atau perjuangan. b. Kebajikan segala hal yang baik yang membuat manusia makmur, bahagia, damai dan tenteram. c. Usaha atau perjuangan adalah kerja keras yang dilandasi keyakinan. d. Keyakinan atau kepercayaan, merupakan hal terpenting dalam hidup manusia.



Keyakinan atau kepercayaan Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, ada 3 aliran filsafat, yaitu: (a) Aliran Naturalisme, aliran ini berintikan spekulasi mungkin ada Tuhan mungkin juga



65



tidak. Dasar aliran ini adalah kekuatan gaib dari nature dan itulah ciptaan Tuhan. Bagi yang percaya adanyaTuhan, itulah kekuasaan tertinggi. Manusia adalah ciptaan Tuhan karena itu manusia mengabdi kepada Tuhan berdasarkan ajaran ajaran Tuhan yaitu agama. Ajaran agama ada 2 macam, yaitu: 1. Ajaran agama yang dogmatis,yang disampaikan Tuhan melalui ajaran para nabi. 2. Ajaran agama dari pemuka agama, yaitu sebagai hasil pemikiran manusia (b) Aliran Intelektualisme, besar aliran ini adalah logika atau akal. Apabila aliran ini dihubungkan dengan pandangan hidup, maka keyakinan manusia itu bermula dari akal. Jadi pandangan hidup ini dilandasi oleh keyakinan kebenaran yang diterima oleh akal. (c) Aliran gabungan, dasar aliran ini adalah perbuatan yang gaib dan akal. Kekuatan gaib artinya kekuatan yang berasal dari Tuhan, sedangkan akal adalah dasar kebudayaan yang menentukan benar tidaknya sesuatu. Apabila aliran ini dihubungkan dengan pandangan hidup, maka akan timbul dua kemungkinan pandangan hidup yaitu: pandangan hidup sosialisme dan sosialisme religius. Pandangan hidup sosialisme mengutamakan logika berfikir dari hati nurani, sedangkan sosialisme religius mengutamakan kedua-duanya. Langkah-langkah berpandangan hidup yang baik yaitu:  Mengenal, merupakan suatu kodrat bagi manusia dan tahap hidup pertama dari setiap individu. Sebagai seorang muslim kita mengenal pandangan hidup yaitu alquran dan hadist serta ijmak Ulama yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.  Mengerti, mengerti disini dimaksudkan pada mengerti tentang pandangan hidup.  Menghayati, menghayati nilai-nilai yang terkandung dalam pandangan hidup yaitu dengan memperluas dan memperdalam pengetahuan mengenai pandangan hidup.  Meyakini, merupakan suatu hal yang cenderung memperoleh suatu kepastian sehingga dapat mencapai tujuan hidupnya.  Mengabdi, merupakan suatu hal yang penting dalam menghayati dan meyakini sesuatu yang telah dibenarkan dan diterima baik oleh dirinya sendiri lebih dari orang lain.  Mengamankan, merupakan langkah terberat dan benar-benar membutuhkan iman yang teguh dan kebenaran dalam menanggulangi segala sesuatu demi tegaknya pandangan hidup itu.



66



BAB III KONSELING LINTAS BUDAYA



A. Pengertian Konseling Lintas Budaya Pada bagian terdahulu sudah diuraikan mengenai wujud kebuadayaan dan cakupan budaya. Lintas budaya dimaknakan sebagai gabungan berbagai budaya, baik secara vertikal maupun secara horizontal serta secara crosscek. Dalam konteks kehidupan kemasyarakatan, misalnya dalam kehidupan berkeluarga, suami dan isteri berasal dari etnis yang berbeda, berasal dari agama yang berbeda, menggunakan bahasa sehari-hari yang berbeda, berasal dari kelas sosial yang berbeda. Ketika mereka mempunyai masalah dan membutuhkan layanan konseling, maka konselor menerapkan konseling lintas budaya. Untuk merumuskan pengertian konseling lintas budaya, maka digunakan minimal dua rujukan makna, yakni: konseling dan lintas budaya. Menggunakan pendapat American School Conselor Association bahwa konseling adalah hubungan tatap muka yang bersifat rahasia, penuh dengan sikap penerimaan dan pemberian kesempatan dari konselor kepada klien. Konselor mempergunakan pengetahuan dan keterampilannya untuk membantu klien mengatasi masalah-masalahnya. Selanjutnya menggunakan rujukan bahwa budaya mencakup: ide, jenis kelamin, suku, agama, bahasa, kemudian dirumuskan pengertian konseling lintas budaya. Istilah konseling lintas budaya



merupakan panduan dari dua istilah yaitu konseling dalam lintas budaya. Secara singkat konseling lintas budaya diartikan konseling yang dilakukan dalam budaya yang berbeda. Asumsi dasar konseling lintas budaya adalah bahwa individu yang terlibat dalam konseling itu hidup dan di bentuk oleh lingkungan budaya, baik keluarga maupun masyarakat. Dalam hal ini Ivey dkk. (1995) mengemukakan “ masalah –masalah individu dan keluarga seringkali bersumber dari faktor lingkungan atau luar, seperti kemiskinan, ras, jenis kelamin, dan sebagainya. Menurut Yagie (dalam Supardi, 2003) konseling lintas budaya adalah konseling konseling yang melibatkan konselor dan klien yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, atau secara curtural mengandung potensi-potensi untuk terjadinya bias dalam hubungan konseling atau dalam konseling itu sendiri terdapat elemen-elemen yang bersumber dari budaya yang berbeda. Ahli lain menyatakan bahwa konseling lintas budaya adalah konseling yang diberikan kepada mereka yang sama budayanya dengan konselor, tetapi mereka memiliki peran yang berbeda, misal kaum homo seksual, penyandang cacat, para orang tua, wanita dan sebagainya.



67



Dengan uraian diatas dapat di kemukakan definisi konseling lintas budaya yaitu suatu proses konseling secara individu maupun secara kelompok yang melibatkan antara konselor dan klien maupun beberapa klien yang berbeda budayanya, dan dilakukan dengan memperhatikan budaya subyek yang terlibat dalam konseling.



B. Problem Masyarakat Lintas Budaya Diantara masalah yang sering muncul adalah masalah hubungan antara anggota pendukung budaya. Berry, dkk (1999) mengemukakan bahwa adanya kontak antara budaya sering muncul adanya setres akulturasi. Selain itu dalam masyarakat multikultural sering dijumpai sikap diskriminasi rasial. Diskriminasi sosial berarti segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan atau pilihan yang berdasarkan ras, warna kulit, keturunan atau asal negara atau bangsa yang memiliki tujuan atau pengaruh menghilangkan atau merusak pengakuan, kesenangan atau pelaksanaan, pada dasar persamaan, hak asasi manusia dan kebebasan yang hakiki di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan bidang lain dari kehidupan masyarakat (Dycki Lopulalan dan Benyamin, 2000). Konflik dalam masyarakat yang multikultural dapat berupa : a. Konflik data,yang terjadi karena orang kekurangan atau salah mendapatkan informasi yang diperlukan untuk mengambil keputusan yang bijak. b. Konflik kepentingan, yaitu terjadi karena perbedaan kepentingan. c. Konflik hubungan antara manusia, yaitu adanya emosi-emosi yang yang kuat, salah peresepsi, streotipe, salah komunikasi dan sebagainya. d. Konflik nilai, adanya sistem kepercayaan yang tidak bersesuaian. e. Konfik setruktural, adanya kepentingan untuk mendapatkan akses dan kontrol terhadap sumber daya. Tahap konflik dalam masyarakat multikultural dapat berlangsung dari bentuk yang paling sederhana sampai yang paling tinggi tahapan tersebut adalah : a. Konflik tersembunyi atau laten yaitu munculnya tekanan-tekanan yang samar dan tidak sepenuhnya berkembang. b. Konflik mencuat (emerging) yaitu pihak-pihak yang terlibat sudah teridentifikasi.



68



c. Konflik terbuka (manifes) yaitu pihak-pihak yang berselisih secara aktif terlibat dalam perselisihan yang terjadi. d. Konflik eskalasif yaitu konflik yang telah mencuat, baik dari segi kualitas ataupun kuantitas. Beberapa perilaku konflik dalam masyarakat multikultural antara lain: a. Peresepsi pengotak-kotakan, baik segi budaya, ekonomi, politik, geografi dan sebagainya. b. Streotip, yaitu memberikan label, cap, penilaian terhadap orang dari kelompok lain yang umunya negatif, dalam rangka merendahkan diri. c. Demonsiasi (penjelek-jelekan) yaitu menjelek-jelekan lawan, sehingga terbangun cerita negatif. d. Ancaman, yaitu baik secara lisan, fisik ekonomi dan kelompok lain. e. Pemaksaan f. Mobilitas sumberdaya manusia, yaitu menggalang massa dengan cepat dan solid. g. Citra cermn, setiap pihak yang berkonflik selalu melihat dirinya sendiri dengan ukuranukuran sendiri, tanpa melihat cara pandang orang lain. h. Pengakuan citra sendiri, yaitu menegaskan bahwa dirinya atau kelompoknya adalah musuh kelompok lain. Menurut Albert Bandura yang di kutip oleh Abu Ahmadi (1991) mengemukakan cara-cara pemecahan konflik, yaitu : a. Eliminasi,yaitu pengunduran diri salah satu pihak yang terlibat dalam konflik. b. Subjugation atau domination yaitu oihak yang memiliki kekuatan besar dapat memaksakan pihak lain untuk mengikuti. c. Majority rule yaitu suara suara terbanyak yang ditentukan dengan voting. d. Minority concent yaitu kelompok mayoritas menang, namun kelompok minoritas tidak merasa dikalahkan dan menerima keputusan secara suka rela. e. compromise  yaitu kelompok yang berkonflik berusaha mencari jalan tengah. f. Intregation artinya pendapatan-pendapatan yang bertantangan diskusikan.



69



C. Perlunya Konseling Multikrtural Adanya keragaman budaya dalam masyarakat merupakan realitas hidup yang tidak dapat di hindari. Globalisasi atau sisi dapat melahirkan budaya universal (global), namun disisi lain mendorong setiap kelompok budaya berjuang untuk meneguhkan identitas budaya (curtural identity) sehingga keragaman budaya semakn berkembang. Oleh Kuntajaraningrat (1991) mengandung tiga komponen penting yaitu: sistem nilai, sistem sosial dan kebudayaan fisik Akan menentukan atau mewarnai perilaku individu atau kelompok pendukung suatubudaya. Berry dkk (1999:356) menyatakan “budaya adalah kepribadian atau suatu masyarakat” dengan demikian seluruh unsur budaya akan membentuk unsur-unsur subyektifpada diri individu atau kelompok yang meliputi berbagai konsep dan asosiasi, sikap keprcayaan, harapan , pendapat, persepasi dan sebagainya. Dalam pelayanan konseling,ada komonen penting yaitu klien dan konselor dengan latar belakang budayanya masing-masingklien dengan konselor tersebut akan mempengaruhi konsep dasar, strategi,tehnik dan sebagainya dalam konseling. Di samping itu lingkungan di mana konseling dilakukan, dan teori yang digunakn sangat diwarnai oleh kebudayaan. Suatu pelayanan konseling tidak akan efektif jika tidak memperhatikan budaya klien. Menurut Sue (1992) konseling telah dipakai sebagai alat menindas, meminggirkan kelompok budaya tertentu, menemukan budaya individualistik, memperhatikan status quo.



D. Eksistensi Konseling di Indonesia Menurut UU No. 24 tahun 2007 bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Berdasarkan definisi tersebut, kebencanaan jangan diartikan dan terfokus pada gempa dan tsunami saja, akan tetapi semua suatu peristiwa yang mengancam kehidupan dan penghidupan semua makhluk hidup. Kebencanaan dalam penelitian ini dimaknakan sebagai suatu peristiwa alam yang berupa gempa bumi yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat. Gangguan kehidupan dimaknakan sebagai gangguan sosial psikologis yang kemudian menimbulkan gangguan penghidupan bidang-bidang lain. Seperti, masyarakat secara individu menjadi stress, ketakutan, trauma, depresi, dan gangguangangguan psikologis lainnya yang kemudian mengganggu usaha-usaha fisik dan non fisik



70



dalam mencapai kehidupan yang aman, nyaman dan sejahtera. Kehilangan salah satu atau beberapa anggota keluarga akibat gempa bumi, dapat menjadikan seseorang stress berkepanjangan. Suatu peristiwa yang mengakibatkan luka parah baik secara fisik maupun emosi merupakan karakteristik peristiwa yang berpotensi menjadi peristiwa traumatik. Peristiwa ini pada umumnya terjadi secara tiba-tiba, tidak diharapkan dan memerlukan waktu untuk menyesuaikan atau mengatasinya (Smith, dkk, 2003). Hasil penelitian Koentjoro (2005) menunjukkan bahwa dampak psikologis yang muncul pasca gempa di Yogyakarta adalah kecemasan, stress dan trauma. Hasil penelitian Smith, dkk (2003) menunjukkan bahwa gangguan depresi sering dijumpai pada penyintas bencana alam. Pelaksanaan meminimalisir resiko kebencanaan di Indonesia merupakan bagian dari upaya di tingkat regional dan internasional. Beberapa forum internasional telah menghasilkan beberapa kesepakatan yang digunakan sebagai landasan mengurangi resiko bencana di tingkat nasional. Pada tingkat internasional usaha pengurangan resiko bencana dipelopori oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui suatu Resolusi yang menyerukan kepada dunia untuk lebih memprioritaskan upaya pengurangan resiko bencana sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam pembangunan berkelanjutan. Sejak terjadinya bencana bertubi-tubi di tanah air, Negara Republik Indonesia menerbitkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Undang-undang ini bertujuan untuk memberi perlindungan kepada kehidupan dan penghidupan yang ada di negara Republik Indonesia dari bencana dengan cara menyelenggarakan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi dan terintegrasi. Penanggulangan bencana bukan hanya menjadi tanggungjawab pemerintah, akan tetapi juga menjadi tanggungjawab masyarakat. Kolaborasi efektif antara pihak-pihak yang merespons bencana alam termasuk masyarakat lokal, otoritas pemerintahan lokal dan organisasi kemanusiaan adalah bagian penting dari manajemen bencana (Mc Entire, 2005). Konferensi Pengurangan Bencana Dunia (World Conference on Disaster Reduction) yang diselenggarakan pada bulan Januari tahun 2005 di Kobe, menghasilkan beberapa substansi dasar dalam mengurangi kerugian akibat bencana, baik kerugian jiwa, sosial, ekonomi dan lingkungan. Substansi dasar tersebut perlu menjadi komitmen pemerintah, masyarakat, swasta, akademisi dan para pemangku kepentingan terkait lainnya. Dalam Undang Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana disebutkan bahwa penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi:



71



1. Penetapan kebijakan pembangunan yang beresiko timbulnya bencana; 2. Kegiatan pencegahan. Sedangkan dalam lampiran Peraturan Menteri Nomor 33 Tahun 2006 Tentang Mitigasi Bencana, menegaskan ada empat hal penting dalam mitigasi bencana, yaitu: 1. Tersedia informasi dan peta kawasan rawan bencana untuk tiap jenis bencana; 2. Sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat dalam menghadapi bencana; 3. Mengetahui apa yang perlu dilakukan dan dihindari, mengetahui cara penyelamatan diri jika bencana timbul, dan 4. Pengaturan dan penataan kawasan rawan bencana untuk mengurangi ancaman bencana. Strategi pengurangan resiko bencana mencakup kegiatan-kegiatan jangka menengah sampai jangka panjang yang dikeluarkan oleh PBB melalui Dewan Ekonomi dan Sosial memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sasaran utama International Strategy for Disaster Reduction adalah untuk: 1. Mewujudkan ketahanan masyarakat terhadap dampak bencana alam, teknologi dan lingkungan; dan 2. Mengubah pola perlindungan terhadap bencana menjadi manajemen resiko bencana dengan melakukan penggabungan strategi pencegahan resiko ke dalam kegiatan pembangunan berkelanjutan. Strategi Internasional Pengurangan Resiko Bencana tersebut diharapkan dapat dijadikan sebagai kerangka acuan upaya pengurangan resiko kebencanaan pada semua tingkatan, dilakukan dengan tujuan: 1. Meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap bencana alam, teknologi, lingkungan dan bencana sosial; 2. Mewujudkan komitmen pemerintah dalam mengurangi resiko bencana terhadap manusia, kehidupan manusia, infrastruktur sosial dan ekonomi serta sumber daya lingkungan; 3. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan pengurangan resiko bencana melalui peningkatan kemitraan dan perluasan jaringan upaya pengurangan resiko bencana; dan



72



4. Mengurangi kerugian ekonomi dan sosial akibat bencana. Pengelolaan kebencanaan pada dasarnya rnerupakan suatu siklus terpadu yang terdiri atas beberapa fase (Perry, 2006), yakni: 1. Fase preparedness atau fase persiapan menghadapi bencana; 2. Fase upaya penyelamatan dan evakuasi korban bencana; 3. Fase pemulihan kondisi fisik dan mental korban bencana. Selanjutnya dikemukakan bahwa kegiatan dalam fase persiapan menghadapi bencana ini mencakup antara lain: 1. Mengumpulkan data-data metereologi dan geologis melalui proses pertukaran data dengan lembaga-lembaga terkait. 2. Perencanaan tata ruang dan pengaturan tata guna lahan di daerah rawan bencana, penyusunan peta kerentanan bencana, penyusunan database. 3. Penelitian dan pengembangan rencana mitigasi. 4. Penyusunan metode peringatan dini dan menyiapkan jaringan komunikasi untuk menghubungkan seluruh proses penanganan bencana yang di mulai dari forecasting, warning, mitigasi, respons, dan rehabilitasi. 5. Sosialisasi,



pendidikan,



dan



latihan



kepada



masyarakat



untuk



meningkatkan



kewaspadaan terhadap bencana, serta program pendidikan dan pelatihan bagi pengelola bencana. Konseling merupakan suatu proses untuk membantu individu dalam mengatasi masalah. Dalam proses konseling mencakup pemahaman individu dan hubungan individu guna menggali kebutuhan-kebutuhan dan kondisi psikologis klien. Menurut Prayitno (1987), proses konseling dilakukan melalui lima tahap, tahap pengantaran (introduction), tahap penjajagan



(insvestigation),



tahap



penafsiran



(interpretation),



tahap



pembinaan



(intervention), dan tahap penilaian (inspection). Pengantaran, yakni mengantarkan klien memasuki kegiatan konseling dengan segenap pengertian, tujuan, dan prinsip dasar yang menyertainya. Proses pengantaran ini ditempuh melalui kegiatan penerimaan yang bersuasana hangat, permisif, tidak menyalahkan, penuh pemahaman, dan penstrukturan yang jelas. Apabila proses awal ini efektif, klien akan termotivasi untuk menjalani proses konseling selanjutnya dengan hasil yang lebih menjanjikan. Penjajagan, yakni sebagai



73



membuka dan memasuki ruang sumpek atau hutan belantara yang berisi hal-hal yang bersangkut paut dengan permasalahan dan perkembangan klien. Sasaran penjajagan adalah hal-hal yang dikemukakan klien dan hal-hal lain perlu dipahami tentang diri klien. Seluruh sasaran penjajagan ini adalah berbagai hal yang selama ini terpendam, tersalahartikan dan/atau terhambat perkembangannya pada diri klien. Penafsiran, yakni memberi arti keterkaitannya dengan masalah klien. Hasil proses penafsiran ini pada umumnya adalah aspek-aspek realita dan harapan klien dengan bebagai variasi dinamika psikhisnya. Dalam rangka penafsiran ini, upaya diagnosis dan prognosis, dapat memberikan manfaat yang berarti. Pembinaan (intervensi), yakni pembinaan secara langsung mengacu kepada pengenta san masalah dan pengembangan diri klien. Dalam tahap ini disepakati strategi dan intervensi yang dapat memudahkan terjadinya perubahan. Sasaran dan strategi terutama ditentukan oleh sifat masalah, gaya dan teori yang dianut konselor, serta keinginan klien. Pada tahap penilaian, ada tiga jenis penilaian yang perlu dilakukan dalam konseling perorangan, yaitu penilaian segera, penilaian jangka pendek, dan penilaian jangka panjang. Penilaian segera dilaksanakan pada setiap akhir sesi layanan, sedang penilaian pasca layanan selama satu minggu sampai satu bulan, dan penilaian jangka panjang dilaksanakan setelah beberapa bulan. Penilaian pasca konseling, baik dalam jangka pendek (beberapa hari) maupun jangka panjang mengacu kepada pemecahan masalah dan perkembangan klien secara menyeluruh. Setiap penilaian, baik penilaian segera, jangka pendek, maupun jangka panjang, perlu diikuti tindaklanjutnya demi keberhasilan klien lebih jauh. Tindak lanjut itu dapat berupa pemeliharaan kondisi, konseling lanjutan, penerapan teknik lain, atau berupa alih tangan kasus. Untuk keperluan hidup bersama, masyarakat menciptakan sesuatu yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup. Sesuatu yang diciptakan itu bisa berupa benda-benda, peraturan dan nilai nilai yang dipakai secara kolektif. Dengan mempergunakan kematangan dirinya, maka masyarakat tersebut menciptakan suatu bentuk budaya tertentu. Spesifikasi budaya yang dimiliki oleh masyarakat tertentu akan berbeda dengan budaya yang dimiliki oleh masyarakat lainnya (Herr, 1999). Dengan demikian, budaya akan dapat dipakai sebagai salah satu cara untuk mengenal masyarakat tertentu (Vontress, 2002). Makna mengenal adalah memahami kondisi masyarakat yang mengalami masalah sebagai akibat, misalnya bencana dalam maupun bencana sosial oleh salah satu budaya sehingga membutuhkan layanan konseling.



74



Persoalan antar budaya akhir-akhir ini meningkat sejalan dengan pergeseran budaya. Kesadaran itu disertai dengan kemunculan kembali sikap-sikap rasialis yang memecah belah secara meningkat pula (Hansen, 1997). Fenomena itu mengisyaratkan diperlukannya pendekatan-pendekatan baru untuk mengatasi bahaya rasialis, baik secara parsial maupun secara holistik komprehensif. Akan tetapi mengingat struktur masyarakat semakin heterogen, maka pendekatan yang holistik lebih tepat. Dengan kata lain, pencegaham dan pengetasan masalah pada masyarakat yang heterogen akan lebih efektif jika menggunakan pendekatan lintas budaya. Konseling lintas budaya harus melingkupi seluruh bidang dari kelompokkelompok yang tertindas, bukan hanya orang kulit berwarna, dikarenakan yang tertindas itu dapat berupa gender, kelas, agama, keterbelakangan, bahasa, orientasi seksual, dan usia (Trickett, Watts, dan Birman, 1994). Berbagai pendekatan dapat digunakan untuk mempelajari persoalan lintas budaya. Fukuyama (1990) berpandangan bahwa pendekatan inklusif yang disebut juga konseling “transcultural” yang menggunakan pendekatan emik, dikarenakan berangkat dari literatur yang menjelaskan karakteristik-karakteristik, nilai-nilai, dan teknik-teknik untuk diterapkan pada populasi yang memiliki perbedaan dominasi budaya tertentu. 1. Ketrampilan khusus konselor Beberapa jenis ketrampilan yang harus dimiliki konselor dalam konseling lintas budaya dan selalu diaktifkan dengan konteks budaya antara lain: a. Ketrampilan menyiapkan tata formasi atau menyiapkan konteks seperti menyiapkan tempat konseling,suasana ruangan,dekorasi dan sebagainya. b. Keterampilan memperhatikan (attending skills) c. Ketrampilan mengeksplorasikan masalah. d. Keterampilan dalam menngembangkan inisiatif (merumuskan tujuan,mengembangkan program). e. Ketrampilan dalam mempengaruhi atau pemilihan strategi, seperti : ketrampilan menginterpretasi, ketrampilan memilih setrategi bantuan yang tepat, ketrampilan memberi pengaruh, ketrampilan memberkan dukungan (reassurance), ketrampilan memberikan advisi atau informasi, ketrampilan memberikan umpan balik, ketrampilan logical consequences, ketrampilan influencing summary dan sebagainya.



75



Berbagai keterampilan tersebut akan dikomunikasikan secara berbeda pada klien yang berbeda budayanya.



2. Karakteristik konselor lintas budaya Dalam pelaksanaan konseling lintas budaya konse¬lor tidak saia dituntut untuk mempunyai kompetensi atau kemampuan seperti yang telah disajikan di atas. Tetapi dalam hal ini perlu pula disajikan karakteristik atau ciri ciri khusus dari konselor yang melaksa¬nakan layanan konseling lintas budaya. Sue (Dalam George & Cristiani: 1990) menyatakan beberapa karakteristik konselor sebagai berikut: a. Konselor lintas budaya sadar terhadap nilai-nilai pribadi yang dimilikinya dan sumsi asumsi terbaru tentang perilaku manusia. Dalam hal ini, konselor yang melakukan praktik konseling lintas budaya, seharusnya sadar bahwa dia memiliki nilai nilai sendiri yang harus dijunjung tinggi. Konselor harus sadar bahwa nilai nilai dan norma norma yang dimilikinya itu akan terus dipertahankan sampai kapanpun juga. Di sisi lain, konselor harus menyadari bahwa klien yang akan dihadapinya adalah mereka yang mempunyai nilai nilai dan norma yang berbeda dengan dirinya. Untuk hal itu, maka konselor harus bisa menerima nilai nilai yang berbeda itu dan sekaligus mempelajarinya. b. Konselor lintas budaya sadar terhadap karakteristik konseling secara umum. Konselor dalam melaksanakan konseling sebaiknya sadar terhadap pengertian dan kaidah dalam melaksanakan konseling. Hal ini sangat perlu karena pengertian terhadap kaidah kanseling yang terbaru akan membantu konselor dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh klien. Terutama mengenai kekuatan baru dalam dunia konseling yaitu konseling !intas budaya. c. Konselor lintas budaya harus mengetahui pengaruh kesukuan, dan mereka harus mempunyai perhatian terhadap lingkungannya. Konselor dalam melaksanakan tugasnya harus tanggap terhadap perbedaan yang berpotensi untuk menghambat proses konseling. Terutama yang berkaitan dengan nilai nilai atau norma norma yang dimili¬ki oleh suku suku tertentu. Terlebih lagi, jika konse!or melakukan praktek konseling di indonesia. Dia harus sadar bahwa Indonesia mempunyai kurang lebih 357 etnis, yang tentu saja membawa nilai nilai dan norma yang berbeda. Untuk mencegah timbulnya hambatan tersebut, maka konselor harus mau belajar dan memperhatikan lingkungan di mana dia melakukan praktik. Dengan mengadakan perhatian atau observasi nilai-nilai lingkungan di



76



sekitarnya, diharapkan konselor dapat mencegah terjadinya kemandegan atau pertentangan selama proses konseling. d. Konselor lintas budaya tidak boleh mendorong seseorang (klien) untuk dapat memahami budayanya (nilai-nilai yang dimiliki konselor). Untuk hal ini, ada aturan main yang harus ditaati oleh setiap konselor. Konselor mempunyai kode etik konseling, yang secara tegas menyatakan ¬bahwa konselor tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada klien. Hal ini mengimplikasikan bahwa sekecil apapun kamauan konselor tidak bolah dipaksakan kepada klien. Klien tidak boleh diintervensi oleh konselor tanpa persetujuan klien. e. Konselor lintas budaya dalam melaksanakan konseling harus mempergunakan pendekaten eklektik. Pendekatan eklektik adalah suatu pendekatan dalam konseling yang mencoba untuk menggabungkan beberapa pendekatan dalam konseling untuk membantu memecahkan masalah klien. Penggabungan ini dilakukan untuk membantu klien yang mempunyai perbedaan gaya hidup. Selain itu, konseling eklektik dapat berupa penggabungan pendekatan konseling yang ada dengan pendekatan yang digali dari masyarakat pribumi (indegenous).



E. Proses Konseling Multikultural Langkah-langkah atau prosedur konseling multikultural sama dengan konseling secara umum, yang membedakan adalah muatan budaya sangat mewarnai pelayanan dalam konseling multikultural. Dalam hal pola hubungan antara klien dan konselor, dalam budaya tertentu menghendaki pola hubungan seperti antara atasan dan bawahan, sementara budaya lain menghendaki pola hubungan yang egaliter atau hubungan yang setara. Secara umum pada tahap penting dalam konseling multikultural, yaitu awal dan tahap inti. Pad tahap awal atau wawancara awal dalam konseling multikultural dianggap suatu tahap yang penting, sehingga tahap konseling selanjutnya akan sangat bergantung pada suasana konseling pemula. Tylor (1969) mengemukakan tiga tujuan dalam konseling dipermulaan yaitu : 1.  Menimbulkan suasana bahwa proses konseling dimulai. 2.  Membuka realita psikoogi pada diri klien. 3.  Menjelaskan mengenai setruktur hubungan konseling.



77



Sasaran pada tahap ini adalah terbangunya hubungan baik (good raport) antara klien dan konselor. Tahap ini ditandai adanya perasaan saling mempercayai, saling menerima, hubungan yang dekat dan hangat tetapi tetap terbatas (non posesive warmth), klien merasa aman dan nyaman berada didekat konselor. Pada tahap inti merupakan upaya untuk membangun kondisi dimana konselor memfasilitasi terjadinya perubahan yang diharapkan.pada tahap ini antara lain : a) mengungkapkan masalah klien, b) merumuskan tujuan  konseling, c) menyusun setrategi untuk mencapai tujuan, d) implementasi strategi, e) penilaian kemajuan konseling. Brammer (1979) mengetengahkan tahap dalam layanan konseling, yaitu tahap penciptaan hubungan dan tahap pengadaan fasilitas untuk memungkinkan dilakukan langkah yang positif. 1.  Tahap 1, penciptaan hubungan ini mencakup a. Entry atau memasuki fase konseling yaitu mempersiapkan klien dan membuka hubungan. b. Clarification yaitu pelajaran mengenai masalah dan yang ada kaitanya dengan masalah itu serta sebab-sebab mencari bantuan. c. Structure yaitu merumuskan kesepakatan mengenai apa yang akana dilakukan. d. Relationship, yaitu membina hubungan yang bersifat bantuan. 2.   Tahap II, pengadaan fasilitas untuk memungkinkan dilakukan langkah yang positif. a. Exploration, yaitu mengungkapkan masalah, melalui pengumpulan fakta sampai sampai merumuskan masalah. b. Consolidation, yaitu menconsolidasi dalam rangka menjajaki alternatif-alternatif. c. laning, yaitu menyusun rencana untuk melakukan langkah-langkah  dengan menggunakan stratsgi untuk membantu klien. d. Termination, yaitu memperhatikan konseling dengan melakukan penilaiaan terhadap hasil-hasil yang telah diperoleh.



BAB IV KOMPETENSI KONSELOR LINTAS BUDAYA



78



A. Profesi Konselor dalam Perspektif Konseling Lintas Budaya Konselor lintas budaya harus memahami dan menyadari nilai-nilai yang berlaku secara umum dan nilai-nilai yang berlaku secara khusus. Pemahaman akan nilai-nilai yang berlaku akan memudahkan konselor melakukan penyesuaian pandangan dengan klien. Penyesuaian pandangan dan persepsi yang sama ini merupakan langkah awal bagi konselor untuk melaksanakan konseling lintas budaya. Konseling lintas budaya adalah berbagai hubungan konseling yang melibatkan para peserta yang berbeda etnik atau kelompok-kelompok minoritas; atau hubungan konseling yang melibatkan konselor dan klien yang secara rasial dan etnik sama, tetapi memiliki perbedaan budaya yang dikarenakan variable-variabel lain seperti seks, orientasi seksual, faktor sosio-ekonomik, dan usia (Arredondo, et.all, 1993). Menurut Pedersen (1980), konseling lintas budaya memiliki tiga elemen yaitu: (1) Konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalam latar belakang budaya tempat klien; (2) Konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalam latar belakang budaya tempat konselor; dan (3) Konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling di tempat yang berbeda pula. Menurut Pedersesn, Lonner dan Draguns (dalam Carter, 1991) aspek-aspek dalam konseling lintas budaya adalah: (1) latar belakang budaya yang dimiliki oleh konselor, (2) latar belakang budaya yang diimiliki oleh klien, (3) asumsi-asumsi terhadap masalah yang akan dihadapi selama konseling, dan (4) nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan konseling, yaitu adanya kesempatan dan hambatan yang berlatar belakang tempat di mana konseling itu dilaksanakan. Konseling lintas budaya melibatkan konselor dan klien yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, karena itu, proses konseling sangat rawan terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor. Bias-bias tersebut dapat mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif. Agar berjalan efektif, maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya, mengerti dan dapat mengapresiasi diversitas budaya, dan memiliki keterampilan-keterampilan yang responsif secara kultural. Dengan demikian, maka konseling lintas budaya dapat dipandang sebagai pertemuan antar budaya dalam suatu proses pengentasan masalah. Berdasarkan aspek-aspek tersebut, maka ada beberapa hal yang perlu dipahami dalam konseling lintas budaya, yaitu: (1) pemahaman atas nilai nilai pribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia; (2) pemahaman bahwa tiap manusia berbeda; (3) penyadaran bahwa tidak ada teori yang netral; (4) pemahaman bahwa kekuatan sosial-politik akan mempengaruhi



79



perbedaan budaya dalam kelompok; (5) terbuka atas pandangan klien; (6) menggunakan konseling eklektik; (7) lebih mengutamakan keterampilan daripada kepentingan gaya hidup. B. Kompetensi Konselor Lintas Budaya Untuk dapat melaksanakan konseling lintas budaya secara baik, konselor perlu mempunyai kompetensi spesifikasi. tertentu. Pedersen (dalam Mcrae & Jhonson: 1991) menyatakan bahwa konselor lintas budaya harus mempunyai kompetensi kesadaran, pengetahuan dan keterampilan. Konselor lintas budaya harus benar-benar dengan penuh kesadaran mengetahui adanya perbedaan yang mendasar antara dia dengan klien yang akan dibantunya. Konselor harus menyadari benar akan timbulnya konflik jika dia memberikan layanan konseling kepada klien yang berbeda latar belakang sosial budayanya. Konselor lintas budaya secara kontinyu mengembangkan pengetahuannya mengenai budaya yang ada di suatu wilayah. Pengetahuan itu mencakup sisi sosial politik, sosial budaya dari kelompok etnis tertentu. Semakin banyak latar belakang etnis yang dipelajari oleh konselor, maka semakin baragam pula masalah klien yang dapat ditangani. Konselor lintas budaya harus selalu mengembangkan keterampilan untuk membangun hubungannya dengan individu yang berasal dari latar belakang etnis yang berbeda. Ketiga kompetensi tersebut di atas wajib dimiliki oleh konselor lintas budaya. Sebab dengan dimilikinya ketiga kamampuan itu, akan dapat mempermudah konselor untuk bisa berhubungan dengan klien yang berbeda latar belakang budaya. Dalam pelaksanaan konseling lintas budaya, konselor tidak saja dituntut untuk mempunyai ketiga kompetensi tersebut di atas, akan tetapi juga harus mempunyai karakteristik sebagai konselor lintas budaya. Dari berbagai sumber dapat disimpulkan bahwa konselor lintas budaya harus memiliki karakteristik: 1. kesadaran terhadap nilai-nilai pribadi yang dimilikinya dan asumsi asumsi terbaru tentang perilaku manusia; 2. kesadaran memiliki nilai nilai sendiri yang harus dijunjung tinggi; 3. menerima nilai-nilai yang berbeda dari klien dan mempelajarinya; 4. kesadaran terhadap karakteristik konseling secara umum; 5. kesadaran terhadap kaidah-kaidah dalam melaksanakan konseling;



80



6. mengetahui pengaruh kesukuan dan perhatian terhadap lingkungannya; 7. tanggap terhadap perbedaan yang berpotensi menghambat proses konseling; 8. tidak boleh mendorong klien untuk dapat memahami budaya dan nilai-nilai yang dimiliki konselor. Konseling lintas budaya sangat memungkinkan untuk menggunakan pendekatan eklektif. Pendekatan eklektik adalah suatu pendekatan dalam konseling yang mencoba untuk menggabungkan beberapa pendekatan dalam konseling untuk membantu memecahkan masalah klien. Penggabungan ini dilakukan untuk membantu klien yang mempunyai perbedaan budaya. Penerapan pendekatan eklektif dalam konseling lintas budaya dapat berupa penggabungan pendekatan konseling yang ada selama ini dengan pendekatan yang digali dari masyarakat setempat. Konselor yang memberikan pelayanan konseling lintas budaya, harus memiliki kopetensi profesional. a. Sikap-sikap dan keyakinan. Sikap-sikap dan keyakinan, berupa respek terhadap agama; respek terhadap praktek bantuan pada penduduk asli, dengan jaringan kerja bantuan pada kelompok minoritas; dan memandang mereka yang berbahasa lainb sabagai aset, bukan hambatan. 1) Peka terhadap budaya yang di bawa dan sadar akan pengaruh terhadap pemikiran, perasaan dan perilakunya. 2) Mengenal berbagai keterbatasan tentang kecakapan,kemampuan yang dimiliki dengan dirinya. 3) Menyukai orang yang berbeda ras, etnis budaya dan keyakinan dengan dirinya. 4) Menyadari akan reaksi emosional dan stereotype yang negatif dalam hubungan dengan kelompok lain. b. Memiliki pengetahuan yang mencakup 1) Menyadari betapa besar pengaruh latar belakang konsep ukuran/kriteria”normalitas” setiap budaya dalam proses konseling. 2) Memahami konsep-konsep tentang rasisme, didskriminasi, stereotype. 3) Memahami bagaimana gaya yang dimiliki setiap klien dari berbagai latar belakang budaya. 4) Memiliki pengetahuan yang khusus tentang pandngan hidup 5) Memahami betapa masalah-masalah budaya terkait dengan gaya personal seseorang



81



6) Familier dengan pengaruh sosial politik 7) Memahami tradisi konseling masyarakat Eropa yang mengkin berbeda dengan nilai budaya  tradisi lain. 8) Menyadari hambatan kelembagaan dan biasa dalam instrumensi/pengukuran dan tehnik  konseling. 9) Memahami tradisi konseling masyarakat Eropa yang mengkin berbeda dengan nilai budaya  tradisi lain. 10) Menyadari hambatan kelembagaan dan biasa dalam instrumensi/pengukuran dan tehnik  konseling. 11) Menyadari pengaruh keluarga dan masyarakat dalamproses konselig. 12) Memahami masalah-masalah rasisme,  penindasan dan sebagainya. c. Setrategi intervensi 1) Mencari pengalaman melalui pendidikan/ latihan untuk pendidikan lanjutan, mencari konsultasi dan refferal ketika di perlukan. 2) Berusaha untuk dapat memahami diri sendiri sebagai ras/budaya dan secara aktif berusaha membangun masyarakat non rasial. 3) Dapat menyampaikan pesan verbal dan non verbal akurat dan tepat. 4) Dapat menentukan apakah problem klien sebagai hasil dari faktor luar, seperti rasisme dan bias-bias lainya. 5) Menggunakan lembaga antuan untuk membantu klien. 6) Dapat bekerja dengan pihak pembantu tradisional (dukun dll) dan para tokoh sepiritual. 7) Merujuk pada sumber/ konselor yang lebih tepat jika konselor tidak bisa memahami bahasa klien dengan baik. 8) Mengadakan pelatihan/pendidikan untuk memberantas penindasan. 9) Mendidik klien untuk mengembangkan pribadi klien dan pendidik norma hukum yang berlaku. d. Tujuan konselor menyadari akan pandangan hidup klien 1) Mengusai akan hasil riset dan temuan teori mutakhir tentang budaya kelompok yang berbeda dengan budaya sendiri. 2) Mencari pengalaman pendidikan yang relevan



82



3) Secara aktif terlibat dalam kgiatan kelompok minoritas, bersahabat, aktif secara sosial politik, berlatih membantu kelopok minoritas. Untuk menunjang pelaksanaan konseling lintas budaya dibutuhkan konselor yang mempunyai spesifikasi. tertentu. Pedersen (dalam Mcrae & Jhonson, 1991) menyatakan bahwa konselor lintas budaya harus mempunyai kompetensi kesadaran, pengetahuan dan keterampilan. Kesadaran, konselor lintas budaya harus benar benar mengetahui adanya perbedaan yang mendasar antara dia dengan klien yang akan dibantunya. Selain itu, konselor harus menyadari benar akan timbulnya konflik jika dia memberikan layanan konseling kepada klien yang berbeda latar belakang sosial budayanya. Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa konselor lintas budaya harus mengerti dan memahami budaya di Indonesia, terutama nilai nilai budaya yang dimilikinya. Sebab bukan tidak mungkin macetnya proses konseling hanya karena konselor tidak mengetahui dengan pasti nilai nilai apa yang dianutnya. Dengan demikian, kesadaran akan nilai nilai yang dimiliki oleh konselor dan nilai nilai yang dimiliki oleh klien, akan dapat dijadikan landasan untuk melaksanakan konseling. Pengetahuan, konselor lintas budaya sebaiknya terus mengembangkan pengetahuannya mengenai budaya yang ada di Indonesia. Pengetahuan yang perlu dimiliki oleh konselor lintas budaya adalah sisi sosio politik dan susio budaya dari kelompok etnis tertentu. Semakin banyak latar belakang etnis yang dipelajari oleh konselor, maka semakin baragam pula masalah klien yang dapat ditangani. Pengetahuan konselor terhadap nilai nilai budaya yang ada di masyarakat tidak saja melalui membaca buku atau hasil penelitian saja, tetapi dapat pula dilakukan dengan cara melakukan penelitian itu sendiri. Hal ini akan semakin mempermudah konselar untuk menambah pengetahuan mengenai suatu budaya tertentu. Keterampilan, konselor lintas budaya harus selalu mengembangkan keterampilan untuk berhubungan dengan individu yang berasal dari latar belakang etnis yang berbeda. Dengan banyaknya berlatih untuk berhubungan dengan masyarakat luas, maka konselor akan mendapatkan keterampilan (perilaku) yang sesuai dengan kebutuhan. Misal, konselor banyak berhubungan dengan orang jawa, maka konselor akan belaiar bagaimana berperilaku sebagaimana orang Jawa. jika konselor sering berhubungan dengan orang Minangkabau, maka konselor akan belajar bagaimana orang Minangkabau berperilaku.



83



Tiga kompetensi di atas wajib dimiliki oleh konselor lintas budaya. Sebab dengan dimilikinya ketiga kamampuan itu, akan semakin mempermudah konselor untuk bisa berhubungan dengan klien yang berbeda latar belakang budaya. Karakteristik konselor lintas budaya Dalam pelaksanaan konseling lintas budaya konse¬lor tidak saia dituntut untuk mempunyai kompetensi atau kemampuan seperti yang telah disajikan di atas. Tetapi dalam hal ini perlu pula disajikan karakteristik atau ciri ciri khusus dari konselor yang melaksa¬nakan layanan konseling lintas budaya. Sue (Dalam George & Cristiani: 1990) menyatakan beberapa karakteristik konselor sebagai berikut: 1. Konselor lintas budaya sadar terhadap nilai-nilai pribadi yang dimilikinya dan sumsi asumsi terbaru tentang perilaku manusia. Dalam hal ini, konselor yang melakukan praktik konseling lintas budaya, seharusnya sadar bahwa dia memiliki nilai nilai sendiri yang harus dijunjung tinggi. Konselor harus sadar bahwa nilai nilai dan norma norma yang dimilikinya itu akan terus dipertahankan sampai kapanpun juga. Di sisi lain, konselor harus menyadari bahwa klien yang akan dihadapinya adalah mereka yang mempunyai nilai nilai dan norma yang berbeda dengan dirinya. Untuk hal itu, maka konselor harus bisa menerima nilai nilai yang berbeda itu dan sekaligus mempelajarinya. 2. Konselor lintas budaya sadar terhadap karakteristik konseling secara umum. Konselor dalam melaksanakan konseling sebaiknya sadar terhadap pengertian dan kaidah dalam melaksanakan konseling. Hal ini sangat perlu karena pengertian terhadap kaidah kanseling yang terbaru akan membantu konselor dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh klien. Terutama mengenai kekuatan baru dalam dunia konseling yaitu konseling !intas budaya. 3. Konselor lintas budaya harus mengetahui pengaruh kesukuan, dan mereka harus mempunyai perhatian terhadap lingkungannya. Konselor dalam melaksanakan tugasnya harus tanggap terhadap perbedaan yang berpotensi untuk menghambat proses konseling. Terutama yang berkaitan dengan nilai nilai atau norma norma yang dimili¬ki oleh suku suku tertentu. Terlebih lagi, jika konse!or melakukan praktek konseling di indonesia. Dia harus sadar bahwa Indonesia mempunyai kurang lebih 357 etnis, yang tentu saja membawa nilai nilai dan norma yang berbeda. Untuk mencegah timbulnya hambatan tersebut, maka konselor harus mau belajar dan memperhatikan lingkungan di mana dia melakukan praktik. Dengan mengadakan perhatian atau observasi nilai-nilai lingkungan di



84



sekitarnya, diharapkan konselor dapat mencegah terjadinya kemandegan atau pertentangan selama proses konseling. 4. Konselor lintas budaya tidak boleh mendorong seseorang (klien) untuk dapat memahami budayanya (nilai-nilai yang dimiliki konselor). Untuk hal ini, ada aturan main yang harus ditaati oleh setiap konselor. Konselor mempunyai kode etik konseling, yang secara tegas menyatakan ¬bahwa konselor tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada klien. Hal ini mengimplikasikan bahwa sekecil apapun kamauan konselor tidak bolah dipaksakan kepada klien. Klien tidak boleh diintervensi oleh konselor tanpa persetujuan klien. 5. Konselor lintas budaya dalam melaksanakan konseling harus mempergunakan pendekaten eklektik. Pendekatan eklektik adalah suatu pendekatan dalam konseling yang mencoba untuk menggabungkan beberapa pendekatan dalam konseling untuk membantu memecahkan masalah klien. Penggabungan ini dilakukan untuk membantu klien yang mempunyai perbedaan gaya hidup. Selain itu, konseling eklektik dapat berupa penggabungan pendekatan konseling yang ada dengan pendekatan yang digali dari masyarakat pri¬bumi (indegenous). Aplikasi di Sekolah Dalam proses konseling selalu ada komponen konselor dan klien. Konselor sebagai agen kedua (second agent) akan membantu klien (first agent) dalam memecahkan masalah yang dihadapi klien. Agar pelaksanaan konseling dapat berjalan dengan baik maka ada ramburambu yang seharusnya disadari oleh konselor. Rambu-rambu ini diwujudkan dalam bentuk pernyataan sebagai konselor lintas budaya yang efektif. Menurut Sue (dalam Arredondo & Gonsalves, 1980) konselor lintas budaya yang efektif adalah konselor yang: 1. Memahami nilai-nilai pribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia dan mengenali bahwa tiap manusia itu berbeda. Dalam melaksanakan konseling dengan klien, konselor harus sadar penuh terhadap nilai nilai yang dimilikinya. Konselor harus sadar bahwa dalam melaksanakan konseling, konselor tidak akan bisa lepas dari nilai-nilai yang dibawa dari lingkungan di mana dia berada, juga nilai nilai yang sesuai dengan tugas perkembangannya. Nilai nilai yang dibawa dari lingkungan di mana dia berasal adalah nilai-nilai yang tidak akan bisa dilepaskannya, walaupun dia akan berhubungan dengan klien yang berbeda latar belakangnya.



85



2. Sadar bahwa “tidak ada teori konseling yang netral secara politik dan moral. Menyadari hal tersebut di atas maka konselor sebaiknya juga menyadari bahwa klien yang dibantunya juga berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dan tentunya akan membawa seperangkat nilai yang berbeda pula. Klien akan membawa seperangkat nilai-nilai yang berasal di mana klien itu berada dan tentunya nilai nilai klien ini tidak dapat dihilangkan begitu saja. Nilai nilai yang dibawa oleh klien akan menentukan segenap perilaku klien pada saat berhadapan dengan konselor. 3. Memehami bahwa kekuatan sosio-politik akan mempengaruhi dan akan menajamkan perbedaan budaya dalam kelompok. Anggota masyarakat suatu kelompok tertentu, pasti mempunyai aturan-aturan tertentu yang berbeda dengan aturan anggota kelompok yang lainnya. Perbedaan ini bisa terimbas dengan adanya keadaan politik suatu negara. Politik memungkinkan terjadinya permusuhan antar etnis untuk kepentingan kekuasaan. Perbedaan sosio-budaya dalam suatu negeri bisa meruncing karena adanya intervensi kekuatan kekuatan politik yang memang memakai isu perbadaan sosio-budaya untuk kepentingannya. Masih teringat dengan jelas di benak kita adanya perbedaan etnis di Jugoslavia. Pada kurun waktu lima belas tahun yang lalu, etnis Islam masih bisa hidup berdampingan dengan etnis asli jugoslavia. Tetapi apa yang terjadi kemudian, demi kepentingan politik tertentu, terjadi usaha pembersihan etnis. Di sini terjadi pergolakan antar etnis yang pada akhirnya memakan beberapa ribu nyawa manusia dan meruntuhkan budaya yang dimilikinya. Konselor sebaiknya melihat fenomena yang terjadi sebagai suatu pangetahuan bahwa pergolakan yang terjadi antar etnis sangat dimungkinkan akan muncul jika ada kepentingan politik di dalamnya. Dengan demikian konselor akan sadar, dengan siapa dia akan berhadapan. Ada beberapa pertanyaan dalam diri konselor lintas budaya ketika menghadapi klien. Pertama, siapakah klien saya?. Kedua, berasal dari etnis manakah klien saya?. Ketiga, bagaimana budaya klien saya?. Keempat, bagaimana cara saya melayaninya supaya obyektif. 4. Dapat berbagi pandangan tentang dunia klien dan tidak tertutup. Konselor yang efektif adalah konselor yang mampu menginterpretasikan dunia klien sebagaimana adanya tanpa adanya interpretasi yang berlebih dari pihak konselor. Konselor sebaiknya mampu memahami pandangan klien dan budaya yang dibawa oleh klien. Dalam hal ini konselor tidak boleh secara mendadak menolak pandangan klien yang mungkin berbeda dengan pandangan konselor. Klien datang ke ruang konseling seringkali dengan membawa masalah yang berkaitan erat dengan masalah budaya atau nilai nilai yang dimilikinya.



86



Masalah ini seringkali memunculkan perbedaan dengan konselor. Konselor yang tidak sadar akan nilai nilai budaya yang berbeda dengan klien seringkali menutup diri dengan perbedaan itu. Konselor lebih sering mempertahankan nilai nilainya atau jika mungkin mengintervensi klien dengan nilai nilai yang dimilikinya. Intervensi nilai nilai konselor akan menghambat proses konseling yang dilaksanakan. Hal ini terjadi karena klien merasa bahwa dia tidak diterima oleh konselor dengan apa adanya. Jika ini terjadi ada kemungkinan klien akan mengalami stagnasi (kemandegan) dan ujung-ujungnya, konseling tidak akan berjalan. Klien merasa bahwa pandangannya tentang nilai¬-nilai yang dimiliki tidak bisa diterima oleh konselor. Jika perbedaan yang muncul antara konselor dan klien ini demikian besarnya, memang tidak ada cara lain bagi konselor untuk menghentikan proses konseling yang telah berjalan. Hanya saja, perlu diingat bahwa pemutusan hubungan itu adalah langkah terbaik bagi keduanya. Dan pemutusan hubungan itu demi kebaikan/kesejahteraan klien sendiri. Sebab, jika dipaksakan, maka kesejahteraan jiwa klien tidak akan tercapai, dan konselor sendiri akan melanggar kode etik profesi konseling. 5. jujur dalam menggunakan konseling eklektik, mempergunakan keterampilannya daripada kepentingan mereka untuk membedakan pengalaman dan gaya hidup mereka. Jujur dalam konseling eklektik, mempergunakan keterampilannya daripada kepentingan mereka untuk membedakan pengalaman dan gaya hidup mereka. Dalam melaksanakan konseling satu syarat yang harus dimiliki oleh konselor adalah adanya kejujuran. Kejujuran ini mengacu pada banyak hal, salah satunya adalah dalam melaksanakan tehnik tehnik yang akan diberikan kepada klien. Kejujuran ini diungkapkan oleh konselor dengan cara memberikan rasional yang jelas kepada klien. Dengan adanya rasionel ini diharapkan klien akan mengetahui apa hak dan kewajibannya selama pelaksanaan konseling. Hal demikian juga mengena jika konselor mempergunakan praktik atau pendekatan konseling yang bersifat eklektik. Untuk hal ini, konselor harus benar benar mengetahui teori mana yang akan dipergunakan untuk membantu klien. Selain itu, jika konselor akan mempergunakan pendekatan budaya di dalam membantu klien maka konselor harus benar benar mengetahui latar belakang budaya klien dengan jelas. Pendekatan yang berlandaskan pada budaya yang dimiliki oleh klien memang sebaiknya dilakukan oleh konselor. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa suatu masyarakat tertentu mempunyai cara tertentu pula untuk. menyelesaikan masalah yang dimilikinya. Berdasarkan asumsi itu, maka konselor bisa memberikan bantuan kepada klien berdasar pada latar



87



belakang budaya yang dimiliki oleh klien. Tetapi harus diingat bahwa konselor harus benar benar menguasai teknik teknik penyelesaian masalah yang berkaitan dengan budaya yang dimaksud. Konselor sebagai pelaksana konseling di lapangan tentu saja harus dibekali dengan seperangkat ilmu yang dapat dipergunakan sebagai “senjata” untuk berhubungan dengan klien. Tanpa adanya seperangkat kompetensi atau kemampuan yang dimiliki oleh konselor, maka sulit bagi konselor untuk bisa membantu klien mengatasi masalahnya.



88



BAB V KERANGKA KERJA KONSELING LINTAS BUDAYA A. Pendekatan Konseling Kemaslahatan



Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata kemaslahatan adalah kegunaan. Arti lainnya dari kemaslahatan adalah kebaikan. Juga dimaknakan kemanfaatan, kegunaan, kepentingan yang baik. Contoh: Seorang dermawan banyak beramal untuk kemaslahatan manusia.Mashlahat berasal dari kata shalaha yang berarti baik, lawan dari buruk atau rusak. Bentuk mashdar dari kata shalahun, yaitu manfaat atau bebas dari kerusakan. Kata mashlahah dalam bahasa Arab memiliki makna perbuatan-perbuatan yang mendorong pada kebaikan manusia, baik dalam arti menarik karena Allah maha kaya, ketika hamba-Nya beribadah kepada Allah maka itu tidak akan memberikan keuntungan bagi Allah. Dan ketika hamba-Nya berbuat maksiat, maka hal itu tidak akan merugikan Allah. Buku “Kemaslahatan Ekonomi Islam di Indonesia” merupakan hasil pemikiran intelektual Muslim muda yang komprehensif dari segi tekstual dan kontekstual yang diukur dengan menggunakan metodologi Wellbeing dengan pendekatan Maqashid Syariah, tidak banyak buku yang membahas mengenai pengukuran kemaslahatan ekonomi Islam, untuk itu buku ini dapat dijadikan rujukan bagi akademisi maupun praktisi dalam mengurai kemaslahatan ekonomi Islam di Indonesia. Kemaslahatan memiliki arti dalam kelas nomina atau kata benda sehingga kemaslahatan dapat menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang dibendakan. Mewujudkan Kemaslahatan Ulama telah berkonsensus bahwa tujuan umum pensyari‟atan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia. Apakah yang dimaksud dengan kemaslahatan yang dikehendaki Islam itu? yang dimaksud dengan kemaslahatan disini ialah untuk memelihara agama, akal, harta, jiwa, dan keturunan/kehormatan. Kelima hal ini merupakan kebutuhan pokok/primer yang menjadi tegaknya kehidupan manusia. Dengan terjamin dan terpeliharanya kelima hal di atas, akan terwujudlah kemaslahatan lahir dan batin, individu dan masyarakat, dunia dan akhirat. Itulah yang dalam bahasa al-Qur‟an disebut hasanah fid-dunya dan hasanah fil-akhirat. Kelima hal tersebut dikenal dengan al-dlaruriyyat al-khams (lima kebutuhan primer kehidupan manusia). Kelima hal ini antara yang satu dengan yang lain saling terkait. Sebagai contoh, shalat lima waktu hukumnya wajib. Tujuan pokoknya adalah untuk memelihara agama (hifdl al-din) tetapi hal ini juga terkait dengan yang lain. Karena seseorang yang meninggalkan shalat bisa terancam jiwanya. Kenapa demikian? Karena seseorang yang meninggalkan shalat lima



89



waktu dengan sengaja dihukumi murtad oleh Islam, darahnya halal dialirkan. Apabila nyawa seseorang lenyap maka lenyap pulalah semua hak yang semestinya dilindungi (akal, harta, keturunan/kehormatan). Dalam rangka memelihara agama, seseorang tidak dibenarkan/haram membuat aturan shalat sendiri; menyalahi aturan yang telah digariskan Islam. Misalnya shalat dengan diterjemahkan, seperti yang dilakukan oleh Yusman Roy dan pengikutnya di Lawang Jatim, atau menambah dan mengurangi bilangan raka‟atnya, misalnya. Mengapa Konseling Sangat Penting? Apakah setiap orang yang mengunjungi praktisi kejiwaan (psikolog, psikiater, atau terapis) memiliki masalah kejiwaan? Jawabannya adalah tidak. Orang yang pergi untuk konseling atau terapi ke praktisi kejiwaan belum tentu memiliki masalah dengan kejiwaannya. Perlu diketahui bahwa beberapa praktisi kejiwaan tidak hanya menangani satu jenis bidang masalah psikologis. Ada beberapa praktisi kejiwaan yang khusus menangani gangguan kesehatan mental yang parah (seperti skizofrenia). Di sisi lain, ada juga yang menangani masalah sehari-hari, menangani dan mengelola stres, atau mengatasi masalah hubungan. Praktisi kejiwaan dapat membantu dengan berbagai kebutuhan, masalah, dan tujuan.  Konseling adalah suatu keahlian khusus dalam profesi psikologi yang fokusnya memfasilitasi penanganan fungsi pribadi dan interpersonal di seluruh rentang kehidupan manusia. Keahlian khususnya berfokus pada penanganan masalah emosional, sosial, minat bakat, pendidikan, kesehatan, perkembangan, dan organisasi. Konseling yang diberikan oleh para profesional yang terlatih dapat memberikan dampak yang besar pada kehidupan individu, keluarga, dan komunitas. Layanan ini bisa membantu menghadapi situasi kehidupan yang sulit, seperti kematian orang yang dicintai, perceraian, bencana alam, stres di sekolah, kehilangan pekerjaan, dan tumbuh kembang pada anak. Konseling menyediakan sarana dan wawasan bagi diri untuk mengelola masalah kesehatan mental, seperti kecemasan dan depresi. Pada akhirnya, konseling akan mendorong seseorang untuk menjalani kehidupan yang sehat serta memuaskan. Alasan Konseling Penting untuk Diintegrasikan ke Dalam Gaya Hidup Mengatakan Pikiran Konseling memungkinkan untuk mengungkapkan kebenaran tanpa filter dan tanpa jeda. Mereka tidak perlu khawatir jika orang lain terlibat dalam percakapan atau merasa seolah-



90



olah memberikan beban besar kepada seseorang. Praktisi kejiwaan bertindak sebagai sistem pendukung yang memungkinkan berbicara dengan cara apa pun dibutuhkan untuk menemukan kesembuhan. Validitas dan Kejelasan Terkadang, memilah-milah emosi sulit dilakukan oleh diri sendiri. Jika merasa bingung tentang perasaan, cara yang terbaik adalah dapat berbicara dengan seorang profesional agar lebih mudah menemukan kejelasan. Mereka akan membantu merasa berhak atas emosi yang rasakan, terlepas dari seberapa irasionalnya perasaan semdiri. Praktisi kejiwaan menjalani pendidikan yang ketat selama bertahun-tahun untuk dapat menganalisis dan menilai kondisi manusia. Terlepas dari situasi diri sendiri, akan dapat menjelaskan apa yang dirasakan dan mengapa dimerasakannya. Praktisi Kejiwaan Peduli Mengambil langkah untuk mengunjungi praktisi kejiwaan adalah tindakan berani. Mungkin sulit untuk berbicara dengan orang asing tentang beban dan perjuangan, namun praktisi kejiwaan siap untuk membantu dengan cara apa pun yang dibutuhkan dan yang lebih penting, mereka sangat peduli untuk membantu meningkatkan diri. Pentingya Konseling pada Setiap Tahap Perkembangan Manusia Anak Konseling dapat membantu anak-anak mengembangkan keterampilan pemecahan masalah dan juga mengajari anak-anak tentang pentingnya mencari bantuan. Praktisi kejiwaan dapat membantu anak-anak serta keluarga dalam mengatasi stres dan berbagai masalah emosional maupun perilaku. Praktisi kejiwaan akan bekerja sama dengan untuk mencari tahu akar penyebab gangguan emosi atau perilaku anak. Praktisi kejiwaan juga dapat membantu mempelajari cara berinteraksi dengan anak untuk mendukung perkembangan sosial serta emosional yang sehat dan berjangka panjang. Mereka dapat membuat strategi untuk memperkuat keterikatan antara mereka dan anak. Pendekatan ini akan menyiapkan tahapan interaksi selanjutnya dan dapat membantu anak-anak meningkatkan kesejahteraan sosial dan emosional yang akan mereka bawa sepanjang hidup mereka.          Remaja Masa remaja adalah masa kritis untuk kesejahteraan dan perkembangan mental, sosial, dan emosional. Selama masa ini, otak akan mengalami perubahan perkembangan yang signifikan,



91



menciptakan jalur saraf dan pola perilaku yang akan bertahan di kemudian hari. Karena otak mereka masih berkembang, para remaja sangat terbuka terhadap pengaruh positif dari strategi perkembangan remaja, pembelajaran sosial dan emosional, serta model perilaku. Tetapi otak remaja yang sedang berkembang, bersama dengan terjadinya perubahan hormonal akan membuat mereka lebih rentan terhadap depresi dan terkadang lebih cenderung terlibat dalam perilaku berisiko dan mencari sensasi dibandingkan dengan anak-anak yang lebih kecil atau orang dewasa. Faktor-faktor ini menggaris bawahi pentingnya memenuhi kebutuhan kesehatan mental, sosial, dan emosional kelompok usia ini. Dewasa Konseling dapat membantu menyembuhkan dan mempelajari cara-cara yang lebih konstruktif untuk menangani masalah dalam hidup. Ini juga bisa menjadi proses yang mendukung saat melewati masa sulit atau saat mengalami tekanan yang meningkat, seperti memulai karier baru atau sedang melalui perceraian. Umumnya, konseling direkomendasikan setiap kali seseorang bergumul dengan kehidupan, hubungan, masalah pekerjaan/kesehatan mental tertentu, serta masalah yang memicu individu menjadi sangat kesakitan atau kesal selama lebih dari beberapa hari. Konseling paling berhasil jika individu menjalani dan memiliki keinginan kuat untuk berubah. Penting untuk disadari bahwa konseling dan perawatan kesehatan mental adalah tindakan yang sehat bagi setiap orang. Konseling dapat membantu setiap orang untuk meningkatkan kehidupan sehari-hari mereka. Oleh karena itu, jangan pernah sungkan/takut untuk melakukan konseling ya! Anda bisa melakukannya via aplikasi d’Fun Station yang dapat di-download di Playstore. Konseling bersifat membantu menyelesaikan msalah klien dengan membuka pikiran klien lebih luas lagi dan memberikan dorongan positif rasa percaya diri pada klien untuk bisa menyelesaikan masalahnya dengan baik. Konseling juga berusaha membantu klien menemukan alternatiif- alternatif solusi dari berbagai sudut pandang dengan keuntungan dan kerugiiannya, sehingga klien bisa lebih selektif dan mampu menimbang mana yang lebih baik untuk dirinya dan masalahnya. Konseling untuk Mencapai Tujuan Hidup. Konseling memberikan masukan atau pendapat pada klien terkait masalahnya atau adanya perilaku maladaptif yang kemudian diberikan pemahaman untuk perubahan perilaku ke adaptif. Dengan begitu, klien memiliki fokus tujuan hidup yang lebih baik dengan aktualisasi diri yang lebih baik.



92



Masalah yang dihadapi tentu menimbulkan berbagai macam emosi. Emosi negatif yang tidak tersalurkan dengan baik lama-kelamaan akan menumpuk, menyebabkan masalah baru, dan bahkan memicu timbulnya masalah psikologis lain. Inilah manfaat terpenting dari layanan konseling. Konseling adalah tempat untuk mengungkapkan emosi dengan cara yang sehat. Klien bisa mengeluarkan semua kesedihan, rasa takut, dan amarah yang dirasakan tanpa perlu waswas merasa terhakimi. Mengungkapkan emosi juga membuat merasa lebih lega, sebab akhirnya dapat melepaskan beban yang selama ini menumpuk di dada. Selain itu, juga bisa memahami dari mana asalnya emosi tersebut dan cara menghadapinya. masalah yang muncul bertubi-tubi terkadang membuat pikiran terasa buntu. Inilah yang membuat banyak orang memilih curhat kepada orang lain. Konseling bisa memberikan sudut pandang lain, bahkan yang belum pernah dipikirkan sebelumnya. Saat konseling, klien mendapat manfaat dari mengobrol dengan terapis. Terapis juga membantu melihat masalah dari kejauhan, bukan sebagai yang sedang mengalaminya. Dengan begitu, dapat melihat celah ataupun hal lain yang bisa membantu menyelesaikan masalah. Kemaslahatan Teori Sebagai



suatu



layanan



bantuan,



seorang



konselor



harus



berusaha



untuk



mengkonseptualisasikan proses konseling yang dilakukannya berdasar atas teori-teori yang telah dikembangkan, sehingga dapat lebih dipahami dan diimplementasikan secara tepat. Bagi konselor yang sudah berpengalaman, teori-teori yang ada dapat digunakan untuk lebih memahami tentang perilaku manusia berdasar atas peristiwa, gejala, fenomena yang terjadi dalam proses konseling. Sedangkan bagi konselor pemula atau yang masih mengikuti program pendidikan, disamping dapat dijadikan media untuk membantu memahami perilaku yang muncul berdasar atas gejala, peristiwa, atau fenomennya, sekaligus dapat dijadikan penuntun atau pembimbing terhadap apa yang harus dilakukan dalam proses konseling. Pepper (Burk dan Stefflre, 1979) menyebutkan bahwa teori adalah kaidah-kaidah atau konvensi manusia untuk menyimpan keteraturan data. Hal ini diperlukan karena ingatan manusia dapat salah, sehinga teori tidak hanya sekedar baik sekali (convenient) tetapi memang diperlukan. Melalui teori seseorang dapat memperoleh penjelasan terhadap sesuatu permasalahan yang terjadi. Karena itu teori disamping harus berisi data yang lengkap juga harus berisi struktur keterkaitannya, sehingga dapat diperoleh informasi yang jelas tentang hubungan antara fakta atau kejadian yang satu dengan yang lain Menurut Burk dan Stefflre



93



(1979) teori secara umum mengandung dua elemen, yaitu realitas dan keyakinan. Realitas adalah data atau perilaku yang kita amati dan mendorong kita untuk menjelaskan. Sedangkan keyakinan adalah cara kita untuk mencoba memaknai data dengan menghubungkan apa yang kita amati tersebut dengan penjelasan yang dapat memperkaya hal tersebut, sehingga dapat diterima secara meyakinkan. Konseling merupakan pekerjaan professional, karena itu dalam dalam melaksanakan profesinya tidak boleh mengandung kesalahan konseptual (serius dan mendalam) sehingga sulit untuk diperbaiki dan dapat berakibat fatal. Teori konseling dapat memberikan jalan bagi terhindarnya pelaksanaan profesi konseling tersebut dari kesalahan konseptual. Dalam merespon pernyataan klien seorang konselor harus melakukannya berdasar atas dugaan tentang makna yang dikemukakan klien, apakah makna pernyataan tersebut dalam kehidupan klien, apakah sesuai dengan tujuan konseling, apa fungsi konselor, apakah teknik-teknik yang dapat berhasil untuk mengerakkan ke arah tujuannya. Menurut Burk dan Stefflre, (1979) Secara umum teori yang baik memiliki 4 atribut formal, yaitu : (1) jelas, dapat dengan mudah dipahami oleh pembacanya, serta tidak bertentangan (2) komprehensif, memiliki skope dan account untuk banyak tingkah laku, dapat menjelaskan apa yang terjadi pada banyak orang dalam banyak situasi, atau mampu menjelaskan fenomena secara menyeluruh, (3) eksplisit, memiliki ketepatan, karena setiap penjelaan didukung dengan data-data yang dapat diuji, (4) parsimonious, sederhana, tidak menjelaskan fenomena secara berlebihan dan jelas, mampu merangsang peneliti untuk mengembangkan teorinya. Keberartian Konseling



Memurut Gibson (1981) Sejarah perkembangan konseling pada manusia terjadi ketika nabi Adam mendapat konsekuensi akibat makan buah terlarang di Taman Firdaus. Menurut Habsy (2016) konseling sudah ada sejak Ki Lurah Semar memberikan Konseling pada arjuna yang sedang mengalami konflik batin. Bentuk konseling primitif pada masa lalu diparktikkan oleh kepala suku, tabib, dukun, peramal yang dianggap mampu untuk menenangkan hati, atau memberikan prediksi pada masa depan. Disiplin Ilmu Konseling adalah ilmu pengetahuan yang menggunakan metode ilmiah dalam melahirkan berbagai teori dan praksis konseling. Subjek kajian utamanya adalah hakekat, aktivitas, dan komuinikasi antar pribadi manusia yang berdimensi nilai filosofis, psikologis, sosiologis, anthropologis, dan budaya yang religious. Konseling merupakan suatu profesi yang komprehensif. Makna Konseling menurut



94



the American Counseling Association (ACA) (dalam Gladding, 2012 dalam Habsy, 2016), konseling adalah penerapan prinsip-prinsip kesehatan mental, perkembangan psikologis atau manusia, melalui intervensi kognitif, afektif, perilaku, atau sistemik, dan strategi yang mencanangkan kesejahteraan, pertumbuhan pribadi, atau perkembangan karir, dan juga patologi. Definisi ini dikemukakan untuk mencoba dan memenuhi kebutuhan berbagai tipe dan gaya konseling yang dipraktekkan oleh anggota ACA. Unsur-unsur definisi tersebut sangat penting untuk dipaham. Menurut Feltham dan Dryden (1993) konseling adalah sebuah profesi untuk penanganan masalah konseli yang berada dalam tekanan atau dalam kebingungan, yang berhasrat berdiskusi dan memecahkan semua itu dalam sebuah hubungan yang lebih terkontrol dan lebih pribadi dibandingkan pertemanan, dan mungkin lebih simpatik/tidak memberikan cap tertentu dibandingkan dengan hubungan pertolongan dalam praktik medis tradisional atau setting psikiatrik. Konseling adalah sebuah profesi yang terfokus pada relasi dan interaksi antara individu dan lingkungan dengan tujuan untuk membina perkembangan diri, dan mengurangi pengaruh hambatan-hambatan lingkungan yang mengganggu keberhasilan hidup dan kehidupan individu. Konseling berkaitan dengan kesejahteraan, pertumbuhan pribadi, karir,dan masalah patologis Falsafah saya tentang konseling secara ekslusif adalah upaya penyelesaian masalah yang mengarah pada upaya pengembangan yang secara psikologis. Dalam Pelaksanaan Konseling, para konseli belajar membuat keputusan dan merumuskan cara baru dalam berbuat, berperasaan, dan berfikir, berkaitan dengan tujuan yang ditentukannya sendiri (dan bukan tujuan yang ditentukan oleh konselor). Konselor mempunyai paradigma para konseli dengan cukup berbeda karena para konseli merupakan pribadi yang unik dan memiliki kompetensi-kompetensi dari pada memandang mereka secara pasif dan melabeli mereka dengan cara patologis. Menurut Burks dan Steffler (dalam George dan Cristiani, 1981) konseling sebagai suatu hubungan profesional antara konseli (orang yang menerima layanan konseling) dengan konselor (professional yang memiliki kewenangan untuk memberikan layanan konseling). Terdapat professional yang memiliki kewenangan untuk memberikan konseling sepanjang ia memiliki latar belakang pendidikan yang dipersyaratkan seperti psikolog dan psikoterapis B. Pendekatan Konseling Kedamaian



Konselor melaksanakan dan menerapkan model konseling kedamaian pada remaja untuk



95



berbagai tujuan, antara lain berikut ini: 1.



Mereduksi remaja berperilaku agresi



2.



Menghindarkan remaja untuk terlibat jauh menyakiti orang lain baik verbal maupun nonverbal secara sengaja.



3.



Mendorong dan melatih remaja untuk memiliki pola pikir damai



4.



Membantu menciptakan suasana lingkunya yang nyaman sehingga muncul persepsi yang konstruktif remaja terhadap suatu lingkungan tertentu.



C. Manfaat Konseling Kedamaian berbasis Kearifan Lokal Berbagai manfaat dapat diperoleh dari pelaksanaan model konseling kedamaian berbasis kearifan lokal yang dilakukan oleh konselor, antara lain sebagai berikut: 1. Bagi siswa, mereka akan terhindar dan bahkan perilaku agresi dapat direduksi dientaskan. 2. Bagi konselor, akan mendapat strategi baru



yang dapat diterapkan konselor



dalam upayanya mengantisipasi dan mereduksi perilaku agresi yang telah dilakukan oleh remaja. 3. Bagi sekolah, akan tercipta sebuah iklim sekolah yang konstruktif yang akan membawa kenyamanan remaja dalam belajar di sekolah, sehingga siswa mampu meraih prestasi maksimal. 4. Bagi bangsa dan negara, ikut terciptanya suasana yang aman dan nyaman bagi warga negara Indonesia. D. Kualifikasi Konselor Kualifikasi konselor dalam melaksanakan model konseling kedamaian berbasis kearifan lokal untuk mereduksi perilaku agresi remaja menggunakan kerangka teori yang dikembangkan oleh Rogers. Kerangka teori Rogers tersebut menjelaskan bahwa konselor perlu setidaknya memiliki tiga atribut konselor yaitu kongruen, pemahaman empatik yang akurat, dan penerimaan positif tak bersyarat (Corey, 2015; Sharf, 2015; SommersFlanagan & Sommers-Flanagan, 2018). Berikut ini akan dijelaskan masing-masing penjelasan tentang ketiga atribut tersebut. 1. Kongruen Konsep yang dimaksud Rogers adalah bagaimana konselor tampil nyata, utuh, otentik dan tidak palsu serta terintegrasi selama pertemuan konseling. Konselor tidak



96



diperkenankan terlibat secara emosional dan berbagi perasaan- perasaan secara impulsif terhadap konseli. Unsur kongruen ini tentunya menjadi unsur mutlak yang perlu dimiliki oleh konselor. 2. Pemahaman empatik yang akurat Sikap ini merupakan sikap yang krusial, dimana konselor benar-benar dituntut untuk menggunakan kemampuan inderanya dalam berempati guna mengenali dan menjelajahi pengalaman subjektif konseli. Tugas konselor adalah membantu kesadaran konseli terhadap perasaan-perasaan yang dialami. Rogers percaya bahwa apabila konselor mampu menjangkau dunia pribadi konseli sebagaimana dunia pribadi itu diamati dan dirasakan oleh konseli, tanpa kehilangan identitas dirinya yang terpisah dari konseli, maka perubahan yang konstruktif akan terjadi. 3. Penerimaan positif tak bersyarat Perhatian tak bersayarat tidak dicampuri oleh evaluasi atau penilaian terhadap pemikiranpemikiran dan tingkah laku konseli sebagai hal yang buruk atau baik. Semakin besar derajat kesukaan, perhatian dan penerimaan hangat terhadap konseli, maka semakin besar pula peluang untuk menunjung perubahan pada konseli.



Daftar pustaka Ahmadi, Abu. 1986. Antropologi Budaya: mengenal kebudayaan dan suku-suku bangsa di Indonesia. Surabaya: Pelangi. Anderson, D.J., Gingras, A.C. 1991. Sensitizing Counselor and Educators to Multicultural Issues: an interactive approach. Journal of Counseling and Development. 70: 91-93. Arredondo, Patricia., Gonsalves, John. 1980. Preparing Culturally Effective Counselors. The Presonnel and Guidance Journal. Arredondo, P., Psalti, A., & Cella, K. 1993. “The Woman Factor in Multicultural Counseling.” Counseling and Human Development , 25, (8).



97



Asiyah, Siti. 2018. Implementasi komunikasi verbal dan nonverbal dalam kegiatn public speaking santri di pondok pesantren darul falah amtsilati bangsri jepara. Tesis. Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang Barnadib. 1995. Meninjau Kebudayaan Nasional dan Sumbangan bagi Bimbingan dan Konseling. Makalah disampaikan dalam Kongres VIII dan Konvensi Nasional X IPBI di Surabaya. Baroroh, Atik 2008, Dampak gempa Bumi Tektonik Bagi Kehidupan Masyarakat Kepuh Wetan Wirokerten Banguntapan Bantul, Skripsi. UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Bilton, Tony., et al. 1981. Introductory Sosiology. London: The Macmillan Press Ltd. Brammer, Lawrence., Shostrom, Everett. 1982. Therapeutic Psychology: fundamentals of counseling and psychotherapy (4th ed). New Jersey: Prentice-Hall Inc. Brislin, Richard. 1981. Cross-Cultural Encounter. New York: Pergamon Press. Carter, RT. 1991. Cultural Values: a review of empirical research and implications for counseling. Journal of Counseling & Development. 70. Yurich, John. 1991. Multicultural Gender Issues. Journal of Counseling & Development. 70 (1): 64-71. Dewantara, KH. 1977. Pendidikan. (cetakan kedua). Yogyakarta: Majalis Luhur Persatuan Taman Siswa. D”Andrea, Michael., Daniels, Judy, 1991. Exploring the Different Levels of Multicultural Counseling Training in Counselor Educations. Journal of Counseling & Development. 70: 78-85. Fetterman, David. 1984. Ethnography in Educational Evaluation (2nd ed). California: Sage Publications. Ford, Robert. 1987. Cultural Awareness and Cross-Cultural Counseling. International Journal for the Advanced Counseling. 10: 71-78. Fraenkel, Jack. 1977. How to Teach About Values: an analityc approach. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Fukuyama, M. A. 1990. “Taking a Universal Approach to Multicultural Counseling.” Counselor Education and Supervision, 30. Gerertz, Hildred. 1983. Keluara Jawa. Jakarta: Grafiti Pres. Goldenweiser, Alexander. 1968. History, Psychology and Culture. Oregon: Gloucester, Mass. Goode, William. 1991. Sosiologi Keluarga (terjemahan oleh Lailahanum Hasyim). Jakarta: Bumi Aksara. Graves, Desmond. 1986. Coorporate Culture – Diagnosis and Change. New York: The Free Press. Hadiono AF. 2016. Kajian tentang komunikasi antar budaya di pondok pesatren blok agung banyuwangi. Jurnal Darussalam. Volume 8 tahun 2016 Hadiwinarto. Konseling Lintas Budaya Berbasis Sumber Daya Lokal dan Kebencanaan. Jurnal Bimbingan dan Konseling Terapan. Volume 02, Nomor 01. Tahun 2018. Haryono SR, dkk. 2017. Identitas budaya Indonesia : dalam iklan aqua versi "Temukan Indonesiamu". Jurnal Acta Diurna, Volume. 13 tahun 2017



98



Hansen, L. S. 1997. Integrative Life Planning; Critical Tasks for Career Development and Changing Life Patterns. San Francisco: Jossey-Bass Publishers. Hermanto, Winarto, 2011. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara. Herr, Edmin (ed). 1999. Counseling in a Dynamic Society: opportunities and chalenges. American Association for Counseling and Development. HIVOS, 2006. Kerangka Acuan Pelatihan Orientasi Pengurangan dan Manajemen Risiko Bencana di Magelang 6-8 Desember 2006. Ihromi, TO. 1990. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia. Ibnu Isma’il. 2011. Islam Tradisi Studi Komparatif Budaya Jawa dengan Tradisi Islam, Kediri: Tetes Publishing. Keesing, Roger., Keesing, Felix. 1971. New Perspective ini Cultural Antrhopology. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc. Koentjaraningrat. 1988. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan. Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. Irmayanti Meliono Budianto, Simbolisme Perkawinan Jawa. Koentjoro. 2005. Refleksi Gempa Yogyakarta 27 Mei. Yogyakarta: LPM Universitas Gadjah Mada. Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana. Lubis, Lusiana Andriani. 2012. Pemahaman Praktis Komunikasi Antarbudaya. Medan: USU Press Loekmono, Lobby. 1991. Tantangan Konseling. Semarang: Penerbit Satya Wacana. Marzali, Amri. 2006. Apakah Etnografi? dalam James P. Spradley, Pengantar Metode Etnografi, Yogjakarta: Tiara Wacana. Matsumoto, David & Juang, Linda. ThomsonWadsworth, Australia.



(2008).



Culture



&



Psychology.



4th



ed.



Mileh IN. 2020. Makna bahasa tubuh : suatu kajian lintas budaya. Jurnal bahasa dan budaya. Volume 4 tahun 2020 Muhajir, Noeng. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Pendekatan Positivistik, Rasionalistik, Phenomenologik dan Realisme Metaphisik. Telaah Studi Teks dan Penelitian Agama. Jakarta: Rake Sarasin Mulyana, Deddy & Rakhmat Jalaluddin. 2003. Komunikasi Antarbudaya. Panduan Berkomunikasi Dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya McRae, Mary., Johnson, Samuel. (1991). Toward Training for Competence in Multicultural Counselor Education. Journal of Counseling & development. 70. McEntire, David A. 2005. “Emergency Management Theory: Issues, Barriers and Recommendations for Improvement.” Journal of Emergency Management 3 (3): 4454.



99



Minciardi, R., Sacile, R., and Trasforini, E.: Assessing the efficiency and the criticality of the elements belonging to a complex territorial system subject to natural hazards, Nat. Hazards Earth Syst. Sci., 6, 21-32, doi:10.5194/nhess-6-21-2006, 2008. Morrissey, S.A., & Raser, J.P., 2003. Evaluating the effectiveness of psychological preparedness advice in community cyclone preparedness materials. Australian Journal of Emergency Management, 18. 44-59. 2009, McRae, Mary., Johnson, Samuel. 1991. Toward Training for Competence in Multicultural Counselor Education. Journal of Counseling & development. 70 (1): 131-135. Menanti, Asih. 2005. Konseling Indigenous. Makalah disampaikan pada Konvensi Nasional ABKIN di Bandung 2005. Mulder, Niels. 1985. Pribadi dan Masyarakat di Jawa. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan. Nwachuku, Uchena., Ivey, Allene. 1991. Culture-Specific Counseling: an alternative training model. Journal of Counseling and Development. 70: 106-111. Persell, Caroline. 1990. Understanding Society (3rd ed). New York: Harper and Row Publishers, Inc. Prayitno. 1987. Profesionalisasi Konseling dan Pendidikan Konselor. Jakarta: Depdikbud. Pedersen, P.B., Juris G. Draguns, Walter J. Lonner and Joseph E. Trimble. 1980. Counseling Across Cultures, An East-West Culture Learning Institute. Published for the EasthWest Center by The University of Hawai. Patterson, H.C. “Do We Need Multiculutral Competencies?”. Journal of Mental Health Counseling. Vo. 26, No 1 Januari 2004, p. 67-73. Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, (Bandung : ALFABETA, 2011),



Rakhmat, Jalaluddin. 2000. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya Ritzer, George (et al). 1979. Sosiology: experiencing a changing society. Boston: Allyn and Bacon, Inc. Rosjidan. 1994. Proses dan Teknik Konseling yang Memperhatikan Budaya Setempat. Pendidik Konselor. 4 Juni, h. 17-22. Rosjidan. 1995. Pengembangan Bimbingan dan Konseling dengan Budaya Nasional: Rintisan. Makalah disampaikan dalam Kongres VIII dan Konvensi nasional X IPBI di Surabaya. Resolusi Nomor 63 tahun 1999 tentang Dekade Pengurangan Risiko Bencana Internasional. Ronald Perry & Quarantelli Eds .2006. “What Is A Disaster? New Answers to Old Questions.” Xlibris. Salim, Agus. 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (dari Denzin Guba dan Penerapannya),Yogjakarta: Tiara Wacana Samovar, Larry A. dkk. 2010. Komunikasi Lintas Budaya. Communication Between Culture. Jakarta: Salemba Humanika Shertzer, Bruce., Stone, Shelley. 1981. Fundamentals of Guidance (4th ed). Boston: Houghton Mifflin Company.



100



Sikumbang, Ahmad Thamrin, dkk. 2018. Komunikasi antar budaya dalam proses pernikahan. AL-BALAGH: Jurnal Komunikasi Islam. Vol.2 No.1 Simatupang, Oktolina, dkk. 2015. Gaya Berkomunikasi Adaptasi Budaya mahasiswa Batak di Indonesia. Jurnal Komunikasi Aspikom. Volume 2. Tahun 2017 Soetarno. 1996. Tesis: Telaah nilai-nilai bimbingan yang terkandung di dalam serat wedhatama dan implikasinya terhadap penyusunan bahan bimbingan pribadi dan sosial kurikulum SMU 1994. Malang: Pasca Sarjana IKIP Malang (tidak dipublikasikan). Smith E,E., Hoeksema S.N, Fredrickson B., Loftus G.R, 2003. Introduction to Psychology. Atkinson & Hilgard’s. Speight, Suzette L; Myers, Linda J; et al. “A Redefinition of Multicultural Counseling”. Journal of Counseling and Development : JCD; Sep 1991; 70, 1; Research Library Core p. 29. Spradley, James., McCurdy, David. 1979. Issues in Cultural Antrhopology. Boston: Little, Brown and Company Soehardi, “Nilai-nilai Tradisi Lisan Budaya Jawa”, Humaniora jurnal online, 3 (2002), diambil dari (https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/763/6088, diakses tanggal 20 Maret 2017), 2. Sue, Derald Wing & Sue, David. (2003). Counseling the Culturally Diverse Theory and Practie. 4th ed. John Wely& Sons, Inc. Canada. Sujamto. 1992. Refleksi Budaya Jawa. Semarang: Dahara Prize. Surya, Muhammad. 1994. Peranan Konselor di Mada Depan. Jurnal Pendidik Konselor. 4 Juni, h. 3-8. Surya, Muhammad. 1995. Identifikasi Kebutuhan, Tantangan dan Masalah Bimbingan dan Konseling dan Implikasinya bagi Pengembangan Profil Konselor Abad XXI. Makalah disampaikan dalam Kongres VIII dan Konvensi Nasional X IPBI di Surabaya. Suseno, Magnis, Franz. 1993. Etika Jawa. Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Trickett, E.J., Watts, R.J., Birman, D. 1994. Human diversity: Perspectives on people in context. San Francisco: Jossey-Bass. Joko Tri Haryanto, “Kontribusi Ungkapan Tradisional dalam Membangun Kerukunan Beragama”, Walisongo jurnal online, 2 (November, 2013), diambil dari (http://journal.walisongo.ac.id/index.php/walisongo/article/view/250/2311, diakses tanggal 20 Maret 2017), 366 Uwe P. Gielen, Juris G. Draguns, Jefferson M. Fish (eds). (2008). Principles of Multicultural Counseling and Therapy An Introduction. Taylor & Francis Group, LLC. Vontress, Clemmont. 2002. Online Readings in Psychology and Culture (Unit 10, Chapter 1), (http://www.wwu.edu/~culture). Diakses tanggal 20 Februari 2013. Watts, M. 2007. School Planning & Management. Februari 2007. 46; 2: 20-25. Wanda M.L. Lee. John A. Blando Nathalie D. Mizelle. Graciela L. Orozco. (2007). Introduction to Multicultural Counseling for Helping Professionals. Taylor & Francis Group, LLC.



101



Westbrook, Franklin., Seadlacek, william. 1991. Forty Years of Using Labels to Communicate About Nontraditional Students: does it help or hurt? Journal of Counseling & development. 70 (1): 18-20. Yusuf, Yusmar. 1991. Psikologi Antar Budaya. Bandung: Remaja Rosda Karya.