Difabel Juga Mukallaf [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

DIFABEL JUGA MUKALLAF: STUDI KOMPREHENSIF EKSISTENSI KAUM DIFABEL DALAM PERSPEKTIF ISLAM



Tulisan ini diajukan sebagai persyaratan mengikuti beasiswa Kajian Keislaman 2019



Dosen Pembimbing Akademik: Prof. Dr. Armai Arief, M.Ag.



Disusun Oleh:



Fatih Husaini 11160110000003



JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2019



“DIFABEL JUGA MUKALLAF: STUDI KOMPREHENSIF EKSISTENSI KAUM DIFABEL DALAM PERSPEKTIF ISLAM” Fatih Husaini Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah Jakarta, Indonesia



Abstrak Setiap muslim berkewajiban untuk taat dan patuh terhadap ajaran agamanya. Kewajiban tersebut dalam Fikih Islam disebut dengan taklif, yang artinya pembebanan. Orangnya disebut dengan Mukallaf. Di samping itu juga, Islam adalah agama universal. Di antara nilai-nilai universalitas Islam adalah al-musawa (kesetaraan/equality), al-‘adalah (keadilan/justice), dan al-hurriyah (kebebasan/freedom).1 Dalam pandangan Islam, setiap orang layak mendapatkan kesempatan untuk membangun hubungan dengan Tuhan. Tidak ada alasan untuk mengesampingkan siapa pun dalam beragama, tak terkecuali kaum difabel. Eksistensi kaum difabel tidak dapat dinafikan dari kehidupan. Akan tetapi, pada kenyataannya, para penyandang difabel ini masih sering kali dipandang sebelah mata bagi masyarakat luas, para penyandang difabel masih sering mendapatkan perlakuan diskriminatif dan stigma negatif dari beberapa pihak. Pandangan masyarakat yang negatif terhadap kelompok difabel juga menyebabkan kelompok tersebut sulit untuk mendapatkan kedudukan, hak, kewajiban dan peran yang sama dengan masyarakat lainnya di segala aspek kehidupan dan penghidupan. Dari uraian-uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penulisan dengan judul “Difabel Juga Mukallaf: Studi Komprehensif Eksistensi Kaum Difabel Dalam Perspektif Islam”. Dengan rumusan masalah, pertama, bagaimana Islam memandang kaum difabel. Kedua, Bagaimana perhatian al-Qur’an terhadap penyandang difabel. Metode dalam penulisan ini bersifat kualitatif berdasarkan kajian kepustakaan. Adapun tujuan tulisan ini hadir ialah berusaha melihat bagaimana al-Qur’an berbicara mengenai kaum difabel serta eksistensinya dalam tatanan kemasyarakatan. Dari tulisan ini dapat diketahui bahwa penyandang cacat menurut al-Qur’an orang yang memiliki kecacatan fisik dan mental. Dari segi keberadaannya, mereka adalah sama dengan individu normal lainnya, baik dalam aspek hukum maupun sosial. Meskipun dalam beberapa hal dan kondisi memiliki kekhususan sebagai bentuk keringanan dalam Islam.



Kata Kunci: Mukallaf, Difabel, Islam, dan Al-Qur’an.



1



Ali Anwar Yusuf, Wawasan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2003, h. 15.



ii



KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Alhamdulillahirabbil’alamiin. Segala puji serta syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Allah SWT yang karena kasih sayang dan pertolongan-Nya penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah yang berjudul “Difabel Juga Mukallaf: Studi Komprehensif Eksistensi Kaum Difabel Dalam Perspektif Islam”. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada baginda besar Nabi Muhammad SAW, juga kepada keluarganya, para sahabatnya dan kepada seluruh pengikutnya hingga akhir zaman. Dalam proses selama penulisan karya tulis ilmiah ini penulis sangat menyadari bahwa dalam penyusunannya tidak akan terselesaikan tanpa adanya doa, dukungan, bantuan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, dengan kerendahan hati dan penuh keikhlasan penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.



Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam, Bapak Dr. Abdul Majid Khon, MA. dan Sekretaris Program Studi Pendidikan Agama Islam, Ibu Dr. Marhamah Saleh, MA.



2.



Bapak Prof. Dr. Armai Arief, M.Ag selaku dosen pembimbing akademik saya yang secara sabar dan ikhlas memberikan pemahaman dan arahan baik dalam proses penyusunan karya tulis ilmiah ini, maupun dalam memberikan pemahaman akademis kepada penulis.



3.



Dosen Mata Kuliah Pembelajaran PAI Inklusif dan Difabel, Ibu Dr. Yayah Nurmaliyah, MA. Atas limpahan ilmu dan motivasinya kepada penulis.



Pada akhirnya penulis menyadari bahwa penulisan karya tulis ini belum mencapai kesempurnaan dalam arti sebenarnya, namun penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri khususnya dan para pembaca pada umumnya .



Ciputat, 4 April 2019 Penulis,



Fatih Husaini



iii



DAFTAR ISI



ABSTRAK ......................................................................................................... ii KATA PENGANTAR ...................................................................................... iii DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................................... 1 1. Pembatasan Masalah ........................................................................ 1 2.



Perumusan Masalah ......................................................................... 1



C. Tujuan Penulisan..................................................................................... 2 D. Manfaat Penulisan................................................................................... 2 E. Tinjauan Kepustakaan ............................................................................ 2 F. Sistematika Penulisan ............................................................................. 3 BAB II KAJIAN TEORI A. MUKALLAF ............................................................................................ 4 1.



Pengertian Mukallaf ........................................................................... 4



2.



Dasar Pembebanan Taklif .................................................................. 4



B. DIFABEL .................................................................................................. 5 1.



Definisi Difabel .................................................................................. 5



2.



Macam-Macam Difabel ..................................................................... 6



C. AL-QUR’AN ............................................................................................ 8 1.



Eksistensi Kaum Difabel dalam Al-Qur’an ....................................... 8



2.



Perhatian Islam Terhadap Kaum Difabel ......................................... 12



iv



BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian........................................................................................ 14 B. Metodologi Pengumpulan Data ............................................................... 14 C. Metodologi Analisis Data ........................................................................ 14



BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Islam-Al-Qur’an Menjelaskan Perkara Kaum Difabel ............................ 15 B. Sikap Bijaksana Terhadap Kaum Difabel ................................................ 16



BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................................. 17 B. Saran ....................................................................................................... 17



DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ v



v



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah “Al-Islam (Al-Qur’an) shalihun likulli zamanin wamakanin”. Di dalam al-Qur’an terdapat banyak sekali pengajaran dan pelajaran bagi umat Islam, salah satunya kandungan ajaran al-Qur'an yang memandang manusia sama derajatnya disisi Allah dan yang membedakannya tiada lain dan tiada bukan kecuali hanya derajat ketaqwaannya.2 Sangatlah indah bila ajaran tersebut mampu diaktualisasikan umat Islam untuk menciptakan keharmonisan hidup bermasyarakat. Begitu juga yang harus dilakukan dalam bermasyarakat dengan orang-orang yang berkebutuhan khusus, tidak memandang mereka sebelah mata, tidak juga mendiskriminasikan mereka.3



“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa atau bentuk, kedudukan, dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal perbuatan kalian”. (Shahih Ibnu Hibban) Di samping itu , Islam memandang kondisi disabilitas bukanlah sebuah hukuman, melainkan ujian dari Allah untuk memperkuat keimanan. Kaum difabel juga termasuk hamba Allah yang artinya, jika ia muslim maka ia pun termasuk ke dalam kategori mukallaf jika di pandang dari sudut pandangn fikih. Sebab syarat mukallaf adalah hanya tidak gila dan sudah baligh. Hal tersebutlah yang melatarbelakangi judul tulisan ini. Akan tetapi pembahasan dari sudut pandang fikih sudah cukup banyak tercakup di dalam bukubuku fikih kontemporer dan pembahasan fikih disabilitas. Maka dari itu fokus dari tulisan ini adalah dari sudut pandang al-Qur’an, yang akan membahas bagaimana sebenarnya Islam memandang kaum difabel dan bagaimana seharusnya sikap masyarakat memandang permasalahan tersebut. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Agar tidak terjadi kesalahpahaman dan pelebaran pembahasan maka penulis mencoba memfokuskan tulisan ini mengenai eksistensi dan perhatian al-Qur’an terhadap kaum difabel. 2. Perumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, penulisan dapat dirumuskan dalam pertanyaan penulisan sebagai berikut: 1. Bagaimana eksistensi kaum difabel dalam al-Qur’an? 2. Bagaimana perhatian Islam terhadap difabel?



2 3



Ali Anwar Yusuf, Wawasan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2003, h. 15. Muhammad Nor Ichwan, Tafsir Ilmi,.Yogyakarta, Menara Kudus dan Rasail, 2004, h. 23



1



C. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui: 1. Secara teoritis, karya ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang penafsiran ayat-ayat tentang difabel dalam kepustakaan ilmu al-Quran. 2. Mengetahui dan memahami keberadaan difabel dalam al-Qur’an. 3. Mengetahui dan memahami perhatian Islam terhadap difabel. D. Manfaat Penulisan Adapun manfaat dari tulisan ini adalah untuk meminimalisir adanya diskriminasi terhadap para difabel. Karena pemahaman yang dihasilkan dari penafsiran ini diharapkan bisa mengubah cara pandang masyarakat dalam memperlakukan difabel, khususnya bagi semua civitas akademika di UIN Syarif Hidayatulah Jakarta. E. Tinjauan Kepustakaan Hingga saat ini penulis belum mendapatkan literatur khusus yang mengulas tafsir al-Qur’an secara khusus mengenai kaum difabel. Meskipun ada, akan tetapi penafsiran yang dipaparkan oleh para mufassir baik klasik maupun kontemporer hanya menjelaskannya secara umum, dan belum sampai pada penjelasan khusus mengenai persamaan pandangan al-Qur’an terhadap difabel. Sebenarnya, penelitian terhadap kasuskasus yang menyangkut kaum difabel ini sendiri telah banyak dilakukan oleh para akademisi. Teridentifikasi bahwasanya, ada beberapa penelitian tentang difabel di antaranya skripsi yang berjudul Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusif Bagi Mahasiswa Difabel di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta oleh Tridiwa Arief Sulistyo, Problematika Pembelajaran dan Upaya Pemberian Layanan Mahasiswa Difabel di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta oleh Yuni Setyawati. Di dalam penelitian tersebut, diungkapkan problematika yang dihadapi oleh mahasiswa difabel dalam menjalankan aktifitas pembelajaran di kampus, baik yang berkaitan dengan dirinya sendiri, dosen, dan fasilitas yang ada4. Sementara Hidayatulatifah dalam jurnalnya Apresiasi al-Qur’an Terhadap Penyandang Tunanetra; Kajian Tematik Terhadap al-Qur’an Surat Abasa menulis tentang apresiasi al-Qur’an terhadap penyandang tunanetra yang terkandung dalam surat ‘Abasa.5 Dari beberapa karya ilmiah di atas memang membahas tentang difabel, tetapi hanya membahas difabel dan pendidikannya. Sedangkan yang ingin dicapai penulis adalah bagaimana eksistensi difabel dalam al-Qur’an dan bagaimana perhatian al-Qur’an terhadap difabel.



4 Yuni Setyawati, Problematika Pembelajaran dan Upaya Pemberian Layanan Mahasiswa Difabel di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Skripsi Fakultas Adab tahun 2008. 5 Hindatulatifah, Apresiasi Al-Qur‟an Terhadap Penyandang Tunanetra; Kajian Tematik Terhadap Al-Qur’an Surat Abasa, Aplikasi; Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, Vol.IX, No.2 Desember 2008 .



2



F. Sistematika Penulisan Dalam penyusunan karya tulis ini penulis menyusunnya secara sistematis, yakni terdiri dari bab dan sub bab, dengan perincian sebagai berikut: Bab pertama merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah diadakannya penelitian, pokok masalah yang menjadi dasar dan dicari jawabannya, tujuan dan manfaat penelitian, telaah pustaka untuk menelaah buku-buku yang berkaitan dengan topik kajian yang telah dilakukan orang lain yang menjadi obyek penelitian, dan sistematika pembahasan yang mengatur urut-urutan pembahasan. Bab ini diuraikan sebagai gambaran mendasar yang menentukan isi pembahasan. Bab kedua merupakan kajian pustaka, berisi penjabaran tentang mukallaf yang meliputi : definisi mukallaf dan dasar pembebanan orang-orang yang terkena taklif. Selanjutnya akan dibahas mengenai difabel yang meliputi : definisi difabel dan jenisjenis difabel. Dan juga akan membahas eksistensi difabel dalam al-Qur’an serta menjelaskan bagaimana perhatian Islam terhadap kaum difabel. Bab ketiga berisi tentang metode penelitian yang menerangkan metode-metode yang digunakan dalam karya tulis ini. Bab keempat, hasil pembahasan dan analisisnya yang menjelaskan tentang eksistensi difabel yang menjelaskan jenis-jenis difabel yang disebutkan dalam al-Qur’an dan perhatian al-Qur’an terhadap difabel yang menjelaskan tentang bagaimana sikap alQur’an-Islam terhadap difabel, serta bagaimana sikap bijaksana yang harus dilakukan terhadap kaum difabel. Bab kelima, penutup yang merupakan akhir rangkaian pembahasan yang telah terangkum kemudian beberapa saran dan harapan yang sebaiknya dilakukan untuk menyempurnakan tulisan ini agar bisa lebih berkembang secara komprehensif.



3



BAB II KAJIAN PUSTAKA A. MUKALLAF 1. Pengertian Mukallaf Mukallaf adalah orang yang diberi beban taklif ketentuan-ketentuan syara’/ hukum agama. Syarat seorang dikatakan mukallaf adalah: baligh; dan berakal sehat, artinya tidak mencakup anak kecil dan orang gila.6 Lantas, Siapakah yang menjadi sasaran perintah dan larangan dalam aturan agama? Pertama, Baligh berarti tidak termasuk anak kecil. Anak kecil tidak dibebani perintah dan larangan, sebagaimana beban yang ditujukan kepada orang yang sudah baligh. Akan tetapi, anak kecil hendaknya diperintah melaksanakan ibadah setelah mencapai usia tamyiz sebagai latihan baginya untuk mengerjakan ketaatan, hendaknya juga dilarang mengerjakan perbuatan maksiat agar mudah baginya/terbiasa meninggalkannya. Kedua, Berakal berarti tidak termasuk orang gila. Orang gila tidak dibebani ‘Amr dan Nahy. Namun hendaknya, ia dicegah dari segala tindakan aniaya terhadap orang lain dan dicegah agar tidak melakukan kerusakan. Kalau dia mengerjakan sesuatu yang diperintahkan, maka perbuatannya itu tidak sah karena tidak adanya niat tatkala melakukannya.7



2. Dasar Pembebanan Taklif Seorang manusia belum dikenakan taklif (pembebanan hukum) sebelum ia cakap untuk bertindak hukum. Untuk itu para ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa dasar timbulnya pembebanan hukum tersebut adalah akal dan pemahaman. Maksudnya seseorang baru bisa dibebani hukum apabila berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya. Dengan demikian orang yang tidak atau belum berakal, seperti orang gila dan anak kecil dianggap tidak bisa memahami taklif dari syara’. Termasuk ke dalam hal ini orang yang dalam keadaan tidur, mabuk, dan lupa. Orang yang yang sedang tidur, mabuk, dan lupa tidak dikenai taklif karena ia dalam keadaan tidak sadar (hilang akal). Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW:8



‫عن النائم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم وعن المجنون حتى يفيق‬: ‫رفع اللم عن ثالث‬ Diangkatkan pembebanan hukum dari tiga (jenis orang): orang tidur sampai dia bangun, anak kecil sampai dia baligh, dan orang gila sampai ia sembuh (H.R. Bukhari, Abu Daud, al-Tirmidzi, al-Nasai, Ibnu Majah dan al-Daruquthni dari Aisyah dan Ali bin Abi Thalib). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak sah taklif apabila, Pertama: Orang gila dan anak-anak karena golongan ini tidak berakal dan tidak mampu 6



Satria Efendi, dkk, Ushul Fiqh. Jakarta : Penerbit Kencana, 2012, h. 74. Ibid., h. 75 8 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta : Penerbit Logos Wacana Ilmu, 2014, h. 144. 7



4



memahami sama sekali dalil taklif dan bagi anak-anak pula mereka tidak cukup umur dan juga tidak mampu memahami dan melaksanakan perintah dengan sempurna. Kedua: Orang tidur ketika tidurnya, orang lupa ketika lupanya, dan orang mabuk ketika mabuknya, karena mereka tidak mampu memahami dalil taklif dalam keadaan tersebut. Berangkat dari hal itu maka mukallaf (orang yang dibebani hukum syar’i haruslah orang yang baligh (laki-laki ataupun wanita) dan berakal dengan matang (sempurna). Dalam hukum tertentu, orang yang tidak mukallaf memang tidak terkena taklif, terutama hukum yang bersifat pribadi. Misalnya salat dan puasa. Dalam hal ini anak kecil ataupun orang yang hilang akalnya tidak wajib melaksanakannya. B. DIFABEL 1.



Pengertian Difabel



Istilah difabel berasal dari kata different ability atau orang-orang berkemampuan unik. Kata ini diciptakan untuk mengganti label disable atau disability, yang berarti penyandang cacat. Kosakata ini dianggap diskriminatif dan dianggap mengandung stigma negatif akan para penyandang cacat oleh aktivis gerakan sosial di tahun 1990-an.9 Karena perkara tersebut, di tahun 1995, salah seorang aktivis gerakan sosial Mansur Fakih mempopulerkan difabele yang kemudian ditransliterasi kedalam bahasa Indonesia menjadi difabel yang berarti differently able (orang yang berkemampuan berbeda). Pembedaan istilah difabel ini menunjukkan bahwasanya istilah tersebut memang sebagai pengganti kosa kata inggris disable, serta dominan dalam pengertian kemampuan fisik yang berbeda. Dalam konteks pemakaian para aktivis tersebut difabel menggantikan para penyandang cacat fisik, seperti tunanetra, tunarungu, tunawicara, serta “ketidaknormalan” fisik lainnya, baik bawaan lahir maupun karena faktor lainnya.10



2.



Macam-Macam Difabel Berikut akan diuraikan beberapa jenis difabel (orang berkebutuhan khusus)



yaitu:11 1.



Tunagrahita (mental retardation) Dari sudut bahasa atau istilah tunagrahita berasal dari kata “Tuna” dan “Grahita”, tuna artinya cacat dan grahita artinya berfikir12. Tunagrahita juga



9



Perpustakaan Nasional RI: Katalog dalam Terbitan (KDT), Kerja dan Ketenagakerjaan (Tafsir Al-Qur’an Ttematik), Jakarta, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2010, h.496. 10 Ibid., h. 497 11 Aqila Smart, Anak Cacat Bukan Kiamat: Metode Pembelajaran & Terapi untuk Anak Berkebutuhan Khusus, Yogyakarta, Ar-Ruzz Media, 2010, h. 5 12 Frieda Mangungsong, dkk,, Psikologi dan Pendidikan Anak Luar Biasa Jakarta: LPSP3 UI., 1998, h. 103-104.



5



mempunyai arti kelainan yang meliputi fungsi intelektual umum dibawah rata-rata yaitu IQ 84 kebawah berdasarkan tes dan muncul sebelum usia 16 tahun. Dalam masyarakat, tunagrahita sering disebut dengan istilah lemah pikiran, berketerbelakangan mental, bodoh, cacat mental, ketergantungan penuh, atau disebut sebagai anak dengan keterbatasan perkembangan mental (child with development impairment) Tunagrahita juga meliputi berbagai tingkat, dari yang ringan sampai yang berat. Karena itu mereka berbeda antara satu dengan yang lain, sehingga berbeda pula perlakuan dan pendidikannya. Bagi pendidik sangatlah penting untuk mengetahui perbedaan antara anak tunagrahita ringan, sedang, berat, dan sangat berat. Khusus anak tunagrahita ringan merupakan salah satu jenis dari anak tunagrahita, yang sering disebut dengan “anak mampu latih”. Anak tunagrahita ringan banyak yang lancar berbicara tetapi kurang perbedaharaan kata-katanya, mereka mengalami kesukaran berfikir, tetapi mereka dapat mengikuti pelajaran akademik dan keagamaan dengan baik disekolah biasa maupun sekolah khusus.13 2.



Tunalaras (emotional or behavioral disorder). Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial. Yakni individu yang mengalami gangguan perilaku, yang ditunjukkan dalam aktivitas sehari-hari, baik di sekolah maupun dalam lingkungan sosialnya. Pada hakekatnya, anak-anak tunalaras memiliki kemampuan intelektual yang normal, atau tidak berada di bawah rata-rata14 Adapun karakteristik anak tunalaras secara umum menunjukkan adanya gangguan perilaku, seperti suka menyerang (agressive), gangguan perhatian dan hiperaktif. Secara akademik anak tunalaras sering ditemui tidak naik kelas, hal ini dikarenakan ganggun perilakunya bukan karena kapasitas intelektualnya. Karaktristik emosi-sosial anak tunalaras suka melanggar norma baik yang berlaku di institusi seperti sekolah maupun masyarakat sehingga anak ini sering disebut dengan anak maladjusted. Dengan pengarahan dan didikan yang benar, mereka sangat bisa untuk di ajarkan, terlebih lagi pendidikan keagamaan, akhlak dan moral15



3.



Tunarungu (deafness disorder) Tunarungu adalah istilah yang menunjuk pada kondisi ketidakfungsian organ pendengaran atau telinga seseorang. Kondisi ini menyebabkan orang tersebut mengalami hambatan atau keterbatasan dalam merespons bunyi-bunyi yang ada di sekitarnya. Tunarungu terdiri atas beberapa tingkatan kemampuan mendengar, yaitu ada yang khusus dan umum. Penderita tunarungu yang menunjukkan ketidakfungsian organ pendengaran terkadang menyebabkannya memiliki



13



Ibid., h. 104-105. Ibid., h. 180-181. 15 Ekodjatmiko Sukarso, dkk., Acuan Penyelenggaraan Pendidikan Luar Biasa (Jakarta: Dirjen PLSB, 2001), h. 18. 14



6



karakteristik yang khas, berbeda dengan mereka yang normal pada umumnya.16 4.



Tunanetra (partially seing and legally blind) Tunanetra adalah seseorang yang memiliki hambatan dalam penglihatan/tidak berfungsinya indera penglihatan. Mereka adalah individu yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki penglihatan. Karena tunanetra memiliki keterbatasan dalam indera penglihatan maka proses pembelajaran menekankan pada alat indera yang lain yaitu indera peraba dan indera pendengaran.17 Prinsip yang harus diperhatikan dalam memberikan pengajaran kepada individu tunanetra adalah media yang digunakan harus bersifat taktual dan bersuara, contohnya adalah penggunaan tulisan braille, gambar timbul, benda model dan benda nyata. sedangkan media yang bersuara adalah perekam suara dan peranti lunak JAWS.18



5.



Tunadaksa (physical disability) Secara definitif pengertian tunadaksa adalah ketidakmampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsinya disebabkan oleh berkurangnya kemampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsi secara normal, sebagai akibat dari luka, penyakit, atau pertumbuhan yang tidak sempurna sehingga untuk kepentingan pembelajarannya perlu layanan secara khusus.19 Tuna daksa sering juga diartikan sebagai suatu kondisi yang menghambat kegiatan individu sebagai akibat kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot, sehingga mengurangi kapasitas normal individu untuk mengikuti pendidikan dan untuk berdiri sendiri.20



6. Autis (autistic). Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang yang didapatkannya sejak lahir atau masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat berhubungan sosial atau komunikasi secara normal. Hal ini dilatarbelakangi karena anak autis pada umumnya hidup dengan dunianya sendiri. Menikmati kesendirian dan tak ada seorangpun yang mau mendekatinya selain orang tuanya.21 Secara neurosis berhubungan dengan system pensarafan, autis dapat diartikan sebagai anak yang mengalami hambatan perkembangan otak, terutama pada area bahasa, sosial dan fantasi. Hambatan inilah yang kemudian membuat anak autis berbeda dengan anak lainnya. Dia seakan memiliki dunianya sendiri tanpa memperhatikan lingkungan sekitarnya. Ironisnya, 16



Op.cit., h. 65-66. Lathifah Hanum, Pembelajaran PAI Bagi Anak Berkebutuhan Khusus (Aceh: Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol. XI, No.1, Juni 2014), h. 222.. 18 Ibid., h. 222. 19 Ibid., h. 223. 20 Frieda Mangungsong, dkk,, Psikologi dan Pendidikan Anak Luar Biasa (Jakarta: LPSP3 UI., 1998), h. 155-156. 21 Ibid., h. 56 17



7



banyak orang yang salah dalam memahami anak autis. Anak-anak autis dianggap gila, tidak waras, dan sangat berbahaya sehingga mereka seperti terisolasi dari kehidupan manusia lain dan tidak mendapatkan perhatian secara penuh.22



C. AL-QUR’AN 1. Eksistensi Difabel dalam Al-Qur’an Manusia dalam al-Qur’an secara umum digambarkan dengan tiga istilah kunci yaitu, basyar, insan, dan al-nass. Meskipun sama-sama menunjukkan arti manusia, tetapi masing-masing memiliki perbedaan penggunaannya. Misalnya saja kata basyar dalam al-Qur’an digunakan untuk menunjuk manusia sebagai makhluk biologis, baik laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda, makhluk yang biasa makan, minum, berhubungan seks, dan lain-lain. Selanjutnya, kata Insan digunakan untuk menunjuk manusia dalam konteks keistimewaannya sebagai khalifah dan pemikul amanah dan proses penciptaan manusia. Sedangkan kata Al-Nass menunjuk manusia sebagai makhluk sosial dan karenanya bersifat horizontal. Secara singkatnya manusia dalam al-Qur’an adalah makhluk biologis, psiko-spiritual, dan sosial. Mengenai persoalan fisik, Allah swt telah menegaskan bahwa manusia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya, bukan hanya fisik, tetapi juga psikososial. Hal ini tentunya berbeda dengan makhluknya yang lain seperti jin, malaikat, hewan, dan tumbuhan. Meskipun, terdapat sebagian orang yang diciptakan dengan fisik yang sempurna dan ada juga yang fisiknya tidak sempurna. Begitu juga sebagai makhluk psiko-sosial, tentunya ada bermacam-macam yang dikategorikan antara yang baik dan yang buruk terkait hubungan secara vertikal maupun horizontal. Difabilitas dalam al-Qur’an sendiri digunakan untuk menunjuk kekurangan manusia secara biologis atau fisik, seperti tunanetra dan tunarurungu. Meskipun begitu, al-Qur’an tidak lantas memberikan perbedaan perlakuan atau tidak mendiskriminasikan antara manusia yang “normal” dan yang “difabel”. Berbeda halnya perbedaan perlakuan yang diberikan al-Qur’an pada manusia yang cacat secara moral dan juga sosial, seperti manusia yang dikalahkan oleh hawa nafsunya sendiri sehingga berbuat dzalim, kafir, bakhil, segan membantu, kufur, senang bermaksiat. Adapun term-term yang digunakan al-Qur’an untuk menyebut difabel diantaranya sebagai berikut;



22



Ibid., h. 56



8



a. ‘Umyun/a’ma (Tunanetra) Kata ini secara literal berarti orang yang buta secara fisik. umyun secara etimologi berarti hilangnya daya penglihatan,23 Dalam al-Qur’an term ini mempunyai dua arti, yaitu difabel secara fisik (orang yang cacat fisiknya) dan difabel mental (orang yang cacat teologinya). Salah satu dalilnya yakni, QS. Abasa: 1-10



‫َ َ َ َ َ َ ى ٰٓ َ َ ٓ َ ُ أ َ أ َ َ َ ُ أ َ َ َ ى ُ َ ى ى ٰٓ َ أ َ ى ى ُ َ َ َ َ ُ ذ‬ ‫ى أَماى‬ ٰٓ ‫ٱل أِك َر‬ ٰ ‫عبس وتوَّل أن جاءه ٱۡلع‬ ‫َم وما يدرِيك لعلهۥ يزَّك أو يذكر فتنفعه‬ َ َ ‫َ أ َ أ َٰ ََ َ َُ َ َ ى ٰ َ َ َ َأ َ ى َى ى ٰ َ ى َ َ ٓ َ َ َ أ َ ٰ َ ُ َ َأ‬ ٰ‫َي ََش‬ ‫م ِن ٱستغَن فأنت َلۥ تصدى وما عليك أَّل يزَّك وأما من جاءك يسَع وهو‬ َ َ َ ‫فَأ‬ ٰ‫نت َع أن ُه تَل ىَّه‬



Artinya: Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya24 Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), Atau Dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, Maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau Dia tidak membersihkan diri (beriman). dan Adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), Sedang ia takut kepada (Allah), Maka kamu mengabaikannya. (Q.S. Abasa: 1-10)25 Ayat di atas merupakan sebuah teguran Allah SWT terhadap Nabi Muhammad dimana pada saat itu Rasulullah kurang responsif dan santun ketika dimintai sebuah petunjuk oleh sahabat Ibnu Ummi Maktum26 yang mengalami kebutaan.



b. Summun (tunarungu) dan Bukmun (tunawicara) Kata summun artinya tersumbatnya telinga dan pendengarannya menjadi berat. Dalam kitab Lisan al-Arab dijelaskan bahwa orang yang dilahirkan dalam 23



Maktabah Syamilah , Al-Mu’jam al-Wasith, juz. 1, hlm. 1086 Orang buta itu bernama Abdullah bin Ummi Maktum. Dia datang kepada Rasulullah s.a.w. meminta ajaran-ajaran tentang Islam; lalu Rasulullah s.a.w. bermuka masam dan berpaling daripadanya, karena beliau sedang menghadapi pembesar Quraisy dengan pengharapan agar pembesarpembesar tersebut mau masuk Islam. Maka turunlah surat ini sebagi teguran kepada Rasulullah s.a.w. 25 Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, Departemen Agama,, h. 1.024 26 Nama lengkap Ummi Maktum adalah Abdullah bin Ummi Maktum. Ia merupakan difabelnetra yang berasal dari bani amr. Ummi Maktum termasuk sahabat yang sudah lama masuk Islam di Makkah yang Kemudian ikut hijrah ke Madinah. Ia juga seorang Muadzin yang menjadi partner sahabat Billal bin Rabbah. Ia diberi nama ini disebabkan karena ibunya ini memiliki anak yang buta maka dia diberi gelar dengan Umm Maktum karena tersembunyinya cahaya penglihatannya. Diketahui bahwa dia mulai buta dua bulan pasca perang Badar. 24



9



keadaan tidak bisa berbicara (bisu), ia juga tidak bisa mendengar. Asy-Sya’rawi mengingatkan bahwa siapa yang bisu sejak lahir, maka itu berarti dia tuli, karena bahasa lahir dari pendengaran. Dengan demikian, yang tidak mendengar pastilah bisu, yakni tidak dapat berbicara. Term summun dan bukmun dalam al-Qur’an terdapat dalam ayat-ayat antara lain: QS. Al-Isra’: 97



ٓ َ َ َ ََ ‫ََ َأ ىُ َُ َ أُأَ ََ ُ أ أ‬ ُ ُ ُ ‫َ َأ‬ ُ ‫ُشه أم يَ أو َم‬ ‫َت َد ل ُه أم أ أو ِِلَا َء مِن دونِهِۖۦ وَن‬ ِ ‫ومن يه ِد ٱَّلل فهو ٱلمهت ِدِۖ ومن يضل ِل فلن‬ ََ َ َ ‫أ‬ ‫أ ُ أٗ َُ أ‬ ‫ك ٗما َو ُص ٗذماۖ ىمأأ َوى ٰ ُه أم َج َه ىن ُم ُُكى َما َخ َب أ‬ ُ ‫لَع ُو‬ ٗ‫ت ز أد َنٰ ُه أم َسعِريا‬ ٰ ‫ب‬ ‫و‬ ‫ا‬ ‫ي‬ ‫م‬ ‫ع‬ ‫م‬ ‫ه‬ ‫ه‬ ‫و‬ ‫ج‬ ِ‫ٱلقِيٰمة‬ ِ ۖ ِ ِ Dan Barangsiapa yang ditunjuki Allah, Dialah yang mendapat petunjuk dan Barangsiapa yang Dia sesatkan Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penolongpenolong bagi mereka selain dari Dia. dan Kami akan mengumpulkan mereka pada hari kiamat (diseret) atas muka mereka dalam Keadaan buta, bisu dan pekak. tempat kediaman mereka adalah neraka Jahannam. tiaptiap kali nyala api Jahannam itu akan padam, Kami tambah lagi bagi mereka nyalanya.27



Ibnu Katsir menjelaskan kata buta, bisu, dan tuli merupakan keadaan orangorang yang akan dibangkitkan nanti sebagai balasan sewaktu hidup mereka yang tidak mau melihat, mengatakan dan mendengarkan kebenaran.28 Al-Maraghi menjelaskan kata buta, bisu dan pekak adalah orang-orang tidak mau melihat dan tidak mau berbicara dengan kebenaran, bahkan bersikap tuli tidak mau mendengarkannya selama hidupnya. Dan akan dibangkitkan dalam keadaan yang sama pula yakni buta bisu dan tuli. Quraish Shihab menjelaskan kata buta, bisu dan pekak adalah keadaan orangorang yang dibangkitkan nanti yang orang tersebut selama hidupnya mereka buta; enggan melihat tanda-tanda keesaan Allah, mereka bisu; enggan mengucapkan dan menanyakan kebenaran, mereka pekak; enggan mendengar tuntunan Ilahi.29 c. A’roj (tunadaksa) Kata a’roj yang terdapat dalam al-Qur’an bermakna orang yang mengalami kesulitan pada alat gerak kaki (pincang). Sikap yang ditunjukkan al-Qur’an pun sama seperti orang normal yang lainnya, tidak ada perbedaan. Mereka juga berhak tinggal dan bergabung bersama keluarga dan yang lainnya QS. Al-Nur : 61. Mereka malah mendapat keringanan dalam berperang QS. Al-Fath:17.



27



Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama, 1997, h. 438 28 Muhammad Nasib ar-Rifa‟i, Taisiru al-Alliyul Qadir Li Ikhtisari Tafsir Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir ) jilid 3, terj. Syihabuddin, Jakarta, Gema Insani Press, 2000, h. 102 29 M QuraishShihab, op.cit., h. 199



10



QS. An-Nur: 61



َ ُ ‫ َ ََ أ‬ٞ َ ُ َ ٰٓ َ َ َ َ ٞ َ َ ‫ َ ََ أَأ‬ٞ َ ٰ َ ‫ىأ َ ََ أَأ‬ ‫لَع أنفسِك أم أن‬ ‫يح حرج وَّل‬ ‫ليس لَع ٱۡلع‬ ِ ‫َم ح َرج َوَّل لَع ٱۡلع َر ِج ح َرج َوَّل لَع ٱل َم ِر‬ َ َ َ َ َ ُ َ ُ ُ َٰ ‫أ‬ ُ َٰ ‫ى‬ ُ َٓ َ ُ ُُ ۢ ِ ْ ُ ُ ‫َأ‬ ‫أ‬ ‫أ‬ ‫أ‬ ‫أ‬ ُ ‫أ‬ ُ ‫أ‬ ُ ‫أ‬ ُ ‫أ‬ ُ ُ ُ ُ ‫وت أخ َوٰت ِك أم‬ ‫ي‬ ‫ب‬ ‫و‬ ‫أ‬ ‫م‬ ‫ِك‬ ‫ن‬ ‫و‬ ‫خ‬ ‫إ‬ ‫وت‬ ‫ي‬ ‫ب‬ ‫و‬ ‫أ‬ ‫م‬ ‫ك‬ ‫ت‬ ‫ه‬ ‫م‬ ‫أ‬ ‫وت‬ ‫ي‬ ‫ب‬ ‫و‬ ‫أ‬ ‫م‬ ‫ك‬ ‫ئ‬ ‫ا‬ ‫اب‬ ‫ء‬ ‫وت‬ ‫ي‬ ‫ب‬ ‫و‬ ‫أ‬ ‫م‬ ‫ِك‬ ‫تأكلوا من بيوت‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َ َ َ َ َ َ ‫َ ٰ َٰ ُ أ أ َ َ َ أ‬ ُ َٰ ‫أ‬ ُ ٰ‫َ ى‬ ُ َٰ ‫َ أ‬ ُ‫كتم‬ ‫أ‬ ‫أ‬ ‫أ‬ ‫أ‬ ُ ‫أ‬ ُ ‫أ‬ ُ ‫أ‬ ُ ُ ُ ُ ُ ‫وت خلتِكم أو ما مل‬ ِ ‫وت أخول ِكم أو بي‬ ِ ‫وت عمتِكم أو بي‬ ِ ‫وت أعم ِمكم أو بي‬ ِ ‫أو بي‬ َ ْ ُ ‫ُ أ َأ َ َ َأ ُ أ ُ َ ٌ َ َأ ُ ُ ْ َ ً َأ َ أ َ ٗ َ َ َ َ أُ ُُ ٗ َ َ ذ‬ َ ِ ‫ىمف‬ ‫اِتَ ُه ٓۥ أ أو َصدِيقِك ۚۡم ليس عليكم جناح أن تأكلوا َجِيعا أو أشتاتا ۚۡ فإِذا دخلتم بيوتا فسل ِموا‬ ُ َ ٰٓ َ َ َ ُ َ ُ ‫ى ُ َ ٰ َ َ ٗ َ ذ َ ٗ َ َٰ َ ُ َ ذ ُ ى ُ َ ُ ُ َٰ َ ى‬ ‫ُ َ ٗ ذ‬ ‫ت ل َعلك أم ت أعقِلون‬ ِ ‫لَع أنفسِك أم ِت ىِية م أِن عِن ِد ٱَّللِ مبركة طيِبة ۚۡ كذل ِك يب ِّي ٱَّلل لكم ٱٓأۡلي‬ Artinya: Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang yang pincang dan atas orang yang sakit (apabila tidak ikut berperang). dan Barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya; niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan barang siapa yang berpaling niscaya akan diazab-Nya dengan azab yang pedih30



QS. Al-Fath: 17



ََ ََ ٞ َ َ َ ‫ ََ ََ أَأ‬ٞ َ َ َ ‫ىأ َ ََ أَأ‬ ٞ ‫لَع ٱل أ َمريح َح َر‬ َ ‫ َو َمن يُطِعِ ى‬ٞۗ‫ج‬ ُ َ ‫ٱَّلل َو َر ُس‬ ٰ ‫ليس لَع ٱۡلع‬ ‫وَلۥ‬ ‫َم حرج وَّل لَع ٱۡلعر ِج حرج وَّل‬ ِ ِ َ َ ‫ى‬ َ َ ‫ذ‬ ‫أ أ‬ ‫َأ‬ ‫ُ أ أ ُ َ ىٰ َأ‬ ‫ت َت ِري مِن ِتت ِ َها ٱۡلن َه ٰ ُر ۖ َو َمن َي َت َول ُي َعذِبأ ُه عذابًا أ ِِل ٗما‬ ِ ‫يد‬ ٖ ‫خله جن‬ Artinya: Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, Makan (bersama-sama mereka) di rumah kamu sendiri atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara- saudaramu yang laki-laki, di rumah saudaramu yang perempuan, di rumah saudara bapakmu yang laki-laki, di rumah saudara bapakmu yang perempuan, di rumah saudara ibumu yang laki-laki, di rumah saudara ibumu yang perempuan, di rumah yang kamu miliki kuncinya atau di rumah kawan-kawanmu. tidak ada halangan bagi kamu Makan bersama-sama mereka atau sendirian. Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumahrumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayatnya(Nya) bagimu, agar kamu memahaminya. (QS. An-Nur: 61)31



2. Perhatian Islam terhadap Difabel Fenomena kaum difabel relatif baru bagi publik Indonesia, apalagi bagi publik Islam. Karena itu wajar kalau persoalan difabel tidak pernah secara spesifik 30 Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama, 1997, h. 840 31 Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama, 1997, h. 555



11



disebut dan mendapat perhatian serta kajian, baik dalam literatur utama umat Islam: al-Qur’an dan Hadis maupun dalam kitab-kitab yang ditulis oleh ulama. Ini bukan berarti, orang dengan difabel tertentu belum ada atau tidak ditemukan di tengah masyarakat. Jauh sebelum Islam, apa yang sekarang ini disebut orang difabel sudah ada. Al-Qur’an surat Ali Imran: 49 dan al-Ma’idah: 110 menjelaskan bahwa salah satu mukjizat Isa as. adalah dapat menyembuhkan orang yang buta sejak lahir (akmaha) dan orang yang menderita penyakit kusta (abroso). Ini artinya, orang difabel “alami” sudah ada sejak lama. Belum lagi orang difabel yang “tidak alami”, yakni karena kecelakaan atau sebagai korban perang. Kecelakaan dan perang bukanlah monopoli kehidupan modern, namun jauh sebelumnya sudah ada. Karena itu sudah pasti orang difabel bukan saja ada, tapi mungkin sangat banyak. Meskipun kurang atau tidak ada perhatian akademis mengenai difabel, namun mitos mengenai dan terhadap penyandang difabel cukup hidup di masyarakat. Ada mitos di masyarakat bahwa (orang yang lahir) difabel adalah produk gagal. Mereka lahir sebelum sempurna untuk dilahirkan. Sebagian masyarakat mempercayai bahwa difabilitas yang dialami seseorang adalah akibat dari perbuatan yang melanggar norma social dan agama. Mitos lain menggambarkan difabel sebagai hukuman/kutukan yang patut diterima oleh seseorang atas kejahatan yang dilakukannya, baik langsung atau pun tidak langsung. Ada dua kemungkinan, mengapa persoalan difabel tenggelam dalam sejarah dan menjadi wilayah yang tak terpikirkan, karena Islam memandang netral mengenai persoalan difabel ini. Tidak sebagaimana mitos-mitos di atas, Islam memandang bahwa kondisi difabel bukan anugerah dan apalagi kutukan Tuhan. Lebih dari itu, Islam lebih menekankan pengembangan karakter dan amal saleh daripada melihat persoalan fisik seseorang. Di samping alasan tersebut, melalui al-Qur’an juga Islam sangat melarang keras taskhir (menghina dan merendahkan) orang lain dengan alasan apa pun, seperti karena bentuknya, warna kulitnya, agamanya dan lain-lain. Hal ini sebagaimana ditegaskan QS.al-Hujurat: 11. Sebaliknya Islam sangat menekankan untuk menghormati atau menghargai orang lebih dari yang ia terima, sebagaimana dikemukakan dalam QS. an-Nisa’: 86. Oleh karena itu, Allah pernah menegur Nabi Muhammad saw. Ketika beliau bersifat acuh tak acuh dengan seorang difabel netra, yaitu Abdullah bin Ummi Maktum, seperti disebutkan dalam QS.Abasa . Bahkan Al-Qur’an memberikan keringanan-keringanan untuk para penyandang difabel, seperti diperbolehkannya tidak ikut berjihad (pada masa Rasulullah), seperti disebutkan dalam QS. Al-Fath: 17 Dari penjelasan di atas menurut hemat penulis bahwa kaum difabel sering kali menjadi sorotan masyarakat sebagai golongan minoritas yang sering kali dikucilkan atau diasingkan dan juga tidak mendapatkan perhatian penuh dari masyarakatnya sendiri. Hal ini tentu tidak sejalan dengan ajaran agama Islam. Al-Qur’an yang menjadi rujukan umat muslim telah memberikan perhatian penuh terhadap kaum difabel, yakni dengan tidak membeda-bedakan antara satu dengan yang lainnya, baik seseorang dalam keadaan cacat atau sempurnanya, yang dinilai Allah ialah ketaqwaan dan keimanannya saja.



12



Waryono Abdul Ghafur menyebutkan sedikitnya ada dua kemungkinan yang menyebabkan persoalan ini tenggelam dalam lintas sejarah, terutama dalam kajian penafsiran. Pertama , Islam memandang netral terhadap difabel, dengan artian sepenuhnya menyamakan difabel sebagaimana manusia lainnya. Islam sendiri lebih menekankan pengembangan karakter dan amal shaleh, daripada melihat persoalan fisik seseorang. Begitu juga hadis Nabi Muhammad saw yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa atau bentuk, kedudukan, dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal perbuatan kalian”. Begitulah Islam lebih menekankan pentingnya amal atau perbuatanperbuatan baik. Hal ini bisa dimaklumi, karena Islam sendiri merupakan kesatuan antara amal dan iman yang tidak bisa dilepaskan. Faktor kedua yang menyebabkan minimnya kajian mengenai persoalan ini adalah minimnya pengkaji atau penafsir yang muncul dari kalangan difabel. Sebagaimana dalam kajian keilmuan klasik lain seperti dalam bidang akidah, tasawuf, filsafat, maupun hadis.32



32



Dikutip dari makalah Waryono Abdul Ghafur, Difabilitas dalam Al-Qur‟an. Disampaikan pada seminar Islam dan Difabel tanggal 20 Desember 2011



13



BAB III METODOLOGI PENELITIAN Dalam usaha memperoleh data ataupun informasi yang dilakukan maka penelitian ini menggunakan metode sebagai berikut: A. Jenis Penelitian



Studi ini merupakan penelitian pustaka (Library Research), yaitu suatu penelitian yang menjadikan bahan pustaka sebagai sumber data utama yang dimaksudkan untuk menggali teori-teori dan konsep-konsep yang telah ditentukan oleh para ahli terdahulu dengan mengikuti perkembangan penelitian di bidang yang akan diteliti, memperoleh orientasi yang luas mengenai topik yang dipilih memanfaatkan data sekunder serta menghindari duplikasi penelitian. B. Metode Pengumpulan Data a. Data primer



Data pokok yang menjadi rujukan pembahasan tulisan ini berupa penafsiran ayat-ayat Difabel dalam al-Qur’an yang terdapat dalam tafsir Ibnu Katsir, tafsir al-Maraghi dan tafsir al-Mishbah. Alasan penulis mengambil tafsir ini adalah adanya perbedaan masa penulisan pada kitab tafsir tersebut, yaitu tafsir Ibnu Katsir pada masa klasik, tafsir al-Maraghi pada masa modern dan tafsir alMishbah pada masa kontemporer. Supaya dapat diketahui apakah ada perbedaan penafsiran ayat-ayat tentang difabel antara penafsiran pada masa klasik, modern sampai sekarang ini. b. Data sekunder



Sumber data sekunder adalah data yang materinya secara ilmiah tidak langsung berhubungan dengan masalah yang diungkapkan.33 Data sekunder merupakan buku penunjang pada dasarnya sama dengan buku utama akan tetapi dalam buku penunjang ini bukan merupakan faktor utama. Sumber data sekunder pada penelitian ini berupa, karya ilmiah, ensiklopedi, artikel-artikel dan bukubuku yang mempunyai keterkaitan dengan penelitian ini. C. Metode Analisis Data



Metode analisis data adalah kegiatan untuk memanfaatkan data sehingga dapat diperoleh suatu kebenaran atau ketidakbenaran.34 Karena obyek studi ini adalah ayat-ayat al-Qur'an, maka pendekatan yang dipilih di dalamnya adalah pendekatan ilmu tafsir. Dalam ilmu tafsir dikenal beberapa corak atau metode penafsiran al-Qur'an seperti tahlili, ijmali, muqarin dan maudhu'i, dari berbagai corak metode tafsir tersebut untuk memahami ayat-ayat al-Qur'an peneliti mempergunakan tafsir tematik (maudhu'i).35 33 Hadari Nawawi dan Mimi Martini, Penelitian Terapan, Yogyakarta, Gajah Mada University Press, 1996, h. 216 34 Joko subagyo, Metode Penelitian dalam teori dan Praktek, Jakarta, Rineka Cipta, 1991, h. 106 35 Abdul Hay Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu'i, diterjemahkan oleh Rasihan Anwar, Bandung, Pustaka Setia, 2002, h. 43-44



14



BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Islam-Al-Qur’an Menjelaskan Perkara Kaum Difabel Berdasarkan uraian singkat dari Bab sebelumnya, nampaklah bahwa Al-Qur’an memang menggunakan istilah umyun, summun, bukmun, dan a’raj, secara konvensional yang diartikan dengan difabilitas. Kata-kata mengenai difabel kemudian dibahas alQur’an dalam dua bagian, yaitu difabel fisik (orang-orang penyandang cacat fisik) dan difabel mental (orang-orang yang cacat teologinya). 1. Difabel Fisik Difabel fisik ditunjukkan pada dua term yaitu umyun (tunanetra) dan a’roj (tudadaksa). Tunadaksa adalah sebutan bagi orang-orang yang memiliki kelainan fisik, khususnya anggota badan, seperti kaki, tangan, atau bentuk tubuh. Kata a’roj yang berarti difabel fisik dalam al-Qur’an terdapat pada 2 ayat, yakni pada surat an-Nur: 61 dan al-Fath:17. Sedangkan tunanetra adalah seseorang yang memiliki hambatan dalam penglihatan atau tidak berfungsinya indra penglihatan. Kata umyun dalam al-Qur’an terdapat 29 kata, tetapi yang mempunyai arti buta secara fisik hanya terdapat pada 3 ayat, yaitu Qs. Abasa:1-10, Qs. An-Nur: 61 dan Qs.Al-Fath: 17. Ayat-ayat tersebut pada prinsipnya menjelaskan bahwasanya al-Qur’an memberikan perlakuan khusus terhadap orang yang meskipun secara fisik terbatas, tetapi mereka memiliki lahan beribadah serta kontribusi aktivitas sosial yang luas serta dapat memberikan kemanfaatan terhadap komunitas. Ayat ini juga menjadi indikator penghargaan Islam terhadap kelompok yang memiliki keterbatasan fisik. Kemampuan seseorang tidak bisa diukur dengan kesempurnaan fisik, melainkan banyak faktor lain yang turut menentukan. Oleh karena itu, tidak ada pijakan teologis maupun normatif dalam Islam untuk mentolerir tindakan diskriminatif terhadap siapapun, termasuk penyandang difabel. 2. Difabel Mental Difabel mental ditunjukkan dengan term umyun, summun dan bukmun. Term umyun yang bermakna difabel mental (orang-orang yang cacat teologinya). Difabel mental biasanya digunakan hanya sebagai permisalan/perumpamaan. Tidak digunakan untuk menyebut orang-orang yang cacat secara fisiknya tapi digunakan untuk perumpamaan untuk menyebut orang yang buta mata hatinya, buta terhadap petunjuk Allah, buta terhadap tanda-tanda kebesaran Allah, tuli terhadap kalam Allah, atau biasanya dipakai untuk perumpamaan dan sifat orangorang kafir, musyrikin dan munafik.



15



Berbeda dengan term difabel fisik diatas yang diberi perhatian penuh oleh al-Qur’an, Difabel dengan term inilah yang sangat dibenci Allah, bahkan Allah mengancam orang-orang dengan golongan ini dengan hukuman Neraka Jahannam. B. Sikap Bijaksana Terhadap Kaum Difabel Perlu diperhatikan dengan baik bahwasanya mereka yang difabel pun merupakan mukallaf, mereka bukanlah orang gila, tapi mengapa sebagian dari masyarakat kita seakan-akan memberi label yang rendah terhadap mereka yang menyandang difabel ini, mereka tidak butuh rasa kasihan, yang mereka butuhkan adalah aksesibilitas, akses untuk mendapatkan pendidikan dan pemahaman agama, mari kita sama-sama perhatikan disekitar kita, berapa banyak pendidik, ustadz, ulama yang memahami perkara difabilitas ini. Perlu ada pembahasan lebih seirus terkait perkara difabilitas ini, khususnya dalam Islam yang merupakan agama yang membawa rahmat bagi seluruh makhluk. Kelompok difabel sering kali dipandang sebelah mata, hal ini disebabkan karena mereka memiliki kecacatan fisik ataupun mental. Oleh karenanya, menurut penulis kelompok tersebut seharusnya mendapatkan perhatian khusus baik dari masyarakat ataupun pemerintah serta untuk menyelaraskan (menyamakan) hak-hak mereka seperti halnya dalam aspek pendidikan khususnya pendidikan agama, kesempatan bekerja atau pengembangan ekonomi, perlindungan hukum, jaminan sosial, peran politik, kesehatan dan pengembangan budaya yang tidak akan pernah mereka dapatkan sebagaimana mestinya. Di samping itu, hendaknya bagi kelompok difabel khususnya, jangan berkecil hati karena kondisi seperti ini merupakan karunia Allah yang patut kita syukuri baik suka maupun duka dan kita percaya bahwa dalam diri manusia tidak hanya mempunyai kekurangan akan tetapi juga mempunyai kelebihan.



16



BAB V PENUTUP



A. Kesimpulan Ada beberapa kesimpulan dari pemaparan dan penjelasan penulis tentang difabilitas dalam al-Qur’an yakni sebagai berikut: 1. Penafsiran merupakan salah satu unsur yang harus diupayakan guna memberikan



pemahaman keagamaan yang sesuai, bagi masyarakat. Karena seperti kita ketahui bahwa pemikiran masyarakat selama ini, salah satunya dipengaruhi oleh pemahaman mereka terhadap teks-teks keagamaan. Penafsiran ayat-ayat yang membahas difabilitas dalam al-Qur’an, terwakili oleh ayat-ayat difabel yang dinyatakan secara haqiqi, dengan istilah ‘umyun dan a’roj. Ayat tersebut menunjukkan adanya kesetaraan perlakuan yang diberikan al-Qur’an kepada mereka, bukan malah mencela dan mendiskriminasi mereka. 2. Berbeda halnya dengan pemaknaan istilah-istilah tersebut secara majazi, dalam



artian kekurangan yang bukan berasal dari fisik, melainkan karena kelalaian mereka sehingga tidak menggunakan kesempurnaan fisiknya untuk melakukan kebaikan, tidak mengerjakan apa yang diserukan Allah. Untuk kondisi yang terakhir ini, al-Qur'an merespon dengan celaan bahkan ancaman siksaan. 3. Al-Qur’an memberi perhatian penuh untuk penyandang difabel, diantaranya



yaitu: a. Al-Qur’an memberikan keringanan-keringanan untuk para penyandang difabel, seperti diperbolehkannya tidak ikut berjihad (pada masa Rasulullah). b. Al-Qur’an tidak memperbolehkan diskriminasi terhadap difabel dan



mendapatkan hak yang sama dengan orang-orang yang sempurna fisiknya. Karena yang dinilai Allah ialah ketaqwaan dan keimanannya saja. B. Saran Sehubungan dengan hasil yang penulis lakukan, maka ada beberapa saran yang penulis sampaikan. Penulisan yang bersifat kajian teks ini adalah merupakan usaha maksimal yang terbaik yang dapat penulis sajikan. Namun demikian saran dan kritik membangun dari seluruh pembaca sangat penulis harapkan. Kajian teks tentang difabel ini mungkin masih bisa disajikan dalam sudut pandang yang lain. Oleh sebab itu kepada para pembaca budiman hendaknya tidak berhenti untuk mengkajinya dari berbagai sudut pandang yang memungkinkan.



17



DAFTAR PUSTAKA



Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI Abdul Ghafur, Waryono, Difabilitas dalam Al-Qur’an. Disampaikan pada Seminar Islam dan Difabel disaksikan via www.youtube.com tanggal 20 Desember 2011 Al-Farmawi, Abdul Hayy, Metode Tafsir Maudhu'i, diterjemahkan oleh Rosihan Anwar, Bandung, Pustaka Setia, 2002 Al-Maraghi, Ahmad Mustafa, Tafsir Al-Maraghi, jilid 1, terj. Bahrun Abu Bakar dkk, Semarang, PT Karya Toha Putra Semarang, 1993 Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib, Taisiru al-Alliyul Qadir Li Ikhtisari Tafsir Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir ) jilid 1, 2, 3, 4, terj. Syihabuddin, Jakarta, Gema Insani Press, 2000 Efendi, Satria, dkk, Ushul Fiqh. Jakarta : Penerbit Kencana, 2012 Hera,



El-Fatira. 2010. http://Upaya Praksis Diskriminasi.catatanku/blogspot.com



Pembebasan



Difabel



dari



Hidayatulatifah, Apresiasi Al-Qur’an Terhadap Penyandang Tunanetra; Kajian Tematik Terhadap Al-Qur’an Surat ‘Abasa, Aplikasia; Vol.IX, No.2 Desember 2008 Maktabah Syamilah, Al-Mu’jam al-Wasith, juz. 1, CD ROM Mangungsong, Frieda dkk,, Psikologi dan Pendidikan Anak Luar Biasa Jakarta: LPSP3 UI., 1998 Moleong, Lexy J, Metode Penulisan Kualitatif, Rosda Karya, Bandung, 2002 Perpustakaan Nasional RI: Katalog dalam Terbitan (KDT), Kerja dan ketenaga kerjaan (Tafsir Al-Qur’an Tematik), Jakarta, Lajnah Pentashihan Mushaf A-Qur’an, 2010 Setyawati, Yuni, Problematika Pembelajaran dan Upaya Pemberian Layanan Mahasiswa Difabel di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, karya tulis ilmiah Fakultas Adab tahun 2008 Shihab, M Quraish, Al-Lubab; Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-surah AlQur’an, Tanggerang, Lentera Hati, 2012 Smart, Aqila, Anak Cacat Bukan Kiamat: Metode Pembelajaran & Terapi untuk Anak Berkebutuhan Khusus, Yogyakarta, Ar-Ruzz Media, 2010 Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jakarta : Penerbit Logos Wacana Ilmu, 2014 Yusuf, Ali Anwar Wawasan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2003 v