1 Kasus Bridgeton [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Akuntansi Manajemen Lanjutan Kasus Bridgeton Industries Automotive Component and Fabrication Plant



disusun oleh : Veronika Narendra Novelita ( 17/414076/EE/07241)



Program Pendidikan Profesi Akuntansi Universitas Gajah Mada Yogyakarta 2017



Bridgeton Industries Automotive Component and Fabrication Plant (ACF)



A. Pendahuluan Tahun 1840 ACF pertama kali berdiri. Tahun 1900 Bridgeton (supplier besar untuk komponen industri automotif domestic) membeli ACF dan membuka kantor pertama kali disana. Semua hasil produksi ACF dijual kepada tiga besar perusahaan besar manufaktur domestik. Pesaing utama ACF adalah supplier lokal dan pabrik Bridgeton lainnya. Ketika pasar berkembang dan pasar dikuasi oleh manufaktur U.S., strategi Bridgeton baik-baik saja. Menjadi kurang efektif ketika harga minyak dunia naik dan perusahaan domestik mulai kehilangan pangsa pasar dan menurunnya kontrak pembelian. Tahun 1980, Bridgeton mengalami penurunan penjualan selama kompetisi yang penuh tekanan. The Engine Plant Shutdown Tahun 1985, karena kegagalan ACF dalam pasar domestik maka Bridgeton membangun dua pabrik mesin diesel hemat energi (salah satunya ada di fasilitas ACF). Akhir tahun 1985,1986 pabrik di fasilitas ACF ditutup karena biayanya yang tidak kompetitif. Strategic Analysis Tahun 1986, Bridgeton menyewa perusahaan konsultasi untuk menguji produk Bridgeton dan mengklasifikasikan mereka kedalam posisi mampu bersaing secara mendunia dan berpotensi, dengan kriteria: 1. Kualitas, dievaluasi dengan menggunakan data tingkat garansi, produk reject, presentase jadwal pemeliharaan dan rinciannya, dan jumlah komplain konsumen. 2. Customer service, dievaluasi dengan cara interview, pengujian jadwal produksi dan pengiriman, waktu untuk menanggapi informasi, waktu untuk respon keluhan pelanggan, batas waktu dari desain sampai produksi, dan penurunan fleksibilitas produksi manufaktur. 3. Kemampuan teknisi, diestimasi dengan interview pelanggan. 4. Biaya yang kompetitif, dievaluasi dengan membagi biaya produk kedalam tiga elemen yakni bahan baku, tenaga kerja, dan overhead. Perbandingan biaya kompetitif diperoleh dengan mengelilingi pabrik dan interview karyawan bagian engineering dan purchasing di pabrik Bridgeton lainnya (internal kompetitor), informasi dari komponen supplier pesaing (eksternal kompetitor), dan diskusi dengan karyawan bagian keuangan.



Biaya produk dianalisis oleh konsultan untuk diklasifikasikan berdasar tingkat biaya yang kompetitif. Produk-produk Bridgeton kemudian diklasifikasikan kedalam kelas-kelas sebagai berikut: - Kelas I



:produk kelas dunia (punya biaya yang setara atau lebih rendah dari biaya kompetitor). Produk kelas I ini akan tetap diproduksi oleh Bridgerton. Produk kelas I ini : Fuel tanks.



- Kelas II : produk yang berpotensi menjadi produk kelas dunia (punya biaya 5%-15% lebih tinggi dari kompetitor). Produk kelas ini akan diawasi terus perkembangan maupun penurunannya. Produk kelas II ini : Manifolds, front and rear doors. - Kelas III : produk yang tidak akan bisa jadi produk kelas dunia (punya biaya lebih dari 15% dari biaya kompetitor). Produk kelas III ini akan dioutsourching, yang termasuk produk ini : Muffler exhaust system dan oil pans. Product Outsource Tahun 1987, ACF melakukan outsource untuk produk kelas III yang berimbas pada penurunan 90 tenaga kerja (60 tenaga kerja langsung, dan 30 tenaga kerja tidak langsung). Para pekerja ini dikirim ke pelatihan dan dibayar oleh serikat kerja. Manajemen pabrik dan buruh pabrik lainnya ditempatkan pada bisnis lainnya. Beberapa program dikenalkan untuk menaikan kualitas produk dan meningkatkan produktifitas. Salah satunya berasal dari Fred Simmonds (pembuat keputusan berpengalaman). Melalui program ini, ACF menurunkan proses produksi dari 12jam ke 90menit (terbaik di Bridgeton, karena ditempat lain hanya 4-5jam). Program lainnya dikenalkan Simmonds dan Peter, menggunakan ‘hourly to time hourly’ . Akibat dari penurunan waktu produksi maka pekerja dibayar per jam. Hasil dari usaha perbaikan waktu produksi ini adalah ACF berhasil meningkatkan uptime dari rata-rata 30% menjadi 65% (terbaik di Bridgeton). Terlepas dari perbaikan proses produksi, produk Manifold (penelitian yang mengklasifikasikan di kelas II) diturunkan menjadi kelas III (kandidat produk yang akan dioutsourcing). Hal ini dilihat dari perkembangan biaya tahun 1986/1987-1989-1990. Keputusan outsource produk Manifolds sulit untuk menaikkan standar emisi yang diminta oleh kendaraan baru dengan bobot lebih ringan, Manifolds jadi lebih efisien. Jika ini terjadi maka permintaan akan Manifolds akan naik dan harga jual nya pun juga akan naik.



B. Identifikasi Masalah Dari ringkasan kasus yang dialami Bridgeton, ada beberapa masalah yang dapat diidentifikasi dari perusahaan tersebut, antara lain: -



Bridgeton tidak mampu bersaing secara global karena kenaikan harga minyak dunia yang menyebabkan salah satu pabrik di fasilitas ACF harus ditutup.



-



Bridgeton tidak mampu bersaing karena memiliki harga jual yang tidak kompetitif. Hal ini dapat dilihat dari produk Manifolds yang turun ke kelas III yang berarti bahwa biaya produk tsb lebih besar dari 15% dari biaya kompetitor.



C. Analisis Masalah Dapat kita simpulkan dari ringkasan kasus diatas, bahwa Bridgeton merupakan perusahaan yang maju namun perhitungan biayanya masih menggunakan traditional costing untuk pembebanan ke produknya. Sistem biaya yang usang menimbulkan gejala-gejala sebagai berikut (Hansen, Mowen, 2000 :113): 1. Hasil dari penawaran yang sulit dijelaskan 2. Harga pesaing nampak lebih rendah sehingga tidak masuk akal 3. Produk-produk yang sulit diproduksi menunjukkan laba yang tinggi 4. Manajer operasional ingin menghentikan produk-produk yang kelihatannya menguntungkan 5. Marjin laba sulit dijelaskan 6. Perusahaan memiliki cerukan yang menghasilkan keuntungan yang tinggi hanya bagi perusahaan sendiri. 7. Pelanggan tidak mengeluh atas naiknya harga 8. Departemen akuntansi menghabiskan banyak waktu untuk memberikan data biaya bagi proyek khusus 9. Beberapa departemen menggunakan sistem akuntansinya sendiri 10. Biaya produk berubah karena perubahan peraturan pelaporan. Dari beberapa gejala yang disebutkan diatas, ada gejala yang dialami oleh Bridgeton yakni manajer operasional ingin menghentikan produk-produk yang kelihatannya menguntungkan. Ini dibuktikan dengan penurunan produk Manifolds yang memiliki penjualan signifikan ke kelas III yang berarti perusahaan harus menghentikan produksi produk tersebut dan melakukan outsource. Bridgeton membuktikan bahwa sistem yang digunakan diperusahaan sudah usang.



Pemanufakturan yang maju sekelas Bridgeton seharusnya sudah tidak menggunakan alokasi biaya berbasis unit atau volum produk yang sering digunakan dalam pemanufakturan tradisional karena dapat mengakibatkan distorsi biaya. Distorsi biaya merupakan pembebanan biaya yang terlalu tinggi (overstated atau overrun) atau terlalu rendah (understated atau underrun) pada suatu objek biaya. Hal ini dapat dilihat dari pembebanan overhead ke direct labor yang terlalu besar, dimana biaya overhead mencapai 435% dari biaya tenaga kerja langsung. Distorsi biaya mengakibatkan kesalahan penentuan biaya, pembuatan keputusan, perencanaan, dan pengendalian (R.A. Supriyono 1999: 259). Tahun 1987-1988, Bridgeton memutuskan untuk melakukan outsource pada produk muffler exhaist system dan oil pans yang mengakibatkan pada berkurangnya tenaga kerja langsung. Tahun



Direct Labor



Overhead



% Overhead



1989/1987



24,682



107,954



437%



1987/1988



25,294



109,890



434%



1988/1989



13,537



78,157



577%



1989-1990



14,102



79,393



562%



Sumber : Perhitungan pribadi berdasar data di buku Dilihat dari perhitungan diatas, direct labor di tahun 1988 mengalami penurunan sebagai dampak dari outsource yang dilakukan perusahaan namun, % overhead di tahun yang sama mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini dapat terjadi karena tidak adanya penurunan indirect cost yang signifikan sehingga perhitungan biaya produksi bisa salah. D. Solusi Sistem biaya yang diterapkan oleh Bridgeton sudah tidak relevan. Bridgeton sebaiknya menerapkan ABC (Activity Based Costing) dalam pembebanan produknya. Sistem ABC mempunyai dua prosedur, yaitu tahap pertama dan kedua. Tahap pertama terdiri dari: 1. Identifikasi aktivitas 2. Pengasosiasian biaya dengan aktivitas 3. Pengelompokkan aktivitas-aktivitas homogen menjadi kelompok biaya 4. Penentuan tarif BOP per kelompok aktivitas



Tahap kedua adalah pembebanan BOP pada produk berdasar tarif BOP per kelompok aktivitas sesuai dengan aktivitas-aktivitas yang dikonsumsi oleh suatu produk (R.A. Supriyono, 1999: 274). Bridgeton sebaiknya mengadopsi ABC untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi perusahaan untuk going concern. Diharapkan dengan pengadopsian sistem ABC perusahaan akan memberikan profit maksimal dengan strategi yang tepat serta dapat mengklasifikasikan aktivitas-aktivitas bernilai tambah maupun tidak bernilai tambah di perusahaan.



REFERENSI Robert S. Kaplan and Robin Cooper (1999). The Design of Cost Management System; Text and Cases, 2nd edition, Prentice-Hall. e-uajy.ac.id