2020 Dasar-Dasar Teknik Percobaan Farmasi Fisik [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

DASAR-DASAR TEKNIK PERCOBAAN



FARMASI FISIK Laboratorium Farmasi Fisik Departemen Farmasetika Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada 2020



1



DAFTAR ISI KELARUTAN INTRINSIK DAN KELARUTAN SEMU OBAT .......................................................................................... 3 KOEFISIEN PARTISI .............................................................................................................................................. 16 PENETAPAN UKURAN DAN DISTRIBUSI PARTIKEL ............................................................................................... 21 VISKOSITAS DAN RHEOLOGI ............................................................................................................................... 30 DISPERSI KOLOIDAL DAN NANOPARTIKEL ........................................................................................................... 38



2



Percobaan 1



Kelarutan Intrinsik dan Kelarutan Semu Obat



A. TUJUAN Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengenal konsep kelarutan obat, serta mempelajari pengaruh pH pelarut terhadap kelarutan bahan obat yang bersifat asam lemah. B. PENDAHULUAN Kelarutan merupakan salah satu sifat fisikokimia yang penting diperhatikan pada tahap preformulasi bahan obat menjadi sediaan farmasi. Berdasarkan Sistem Klasifikasi Biofarmasetik, obat digolongkan manjadi empat golongan, seperti ditampilkan pada gambar 1.1. Utamanya untuk senyawa obat kelas II dan kelas IV, kelarutan menjadi suatu faktor yang harus ditingkatkan untuk meningkatkan ketersediaan hayati obat di dalam tubuh. Beberapa metode dapat digunakan untuk meningkatkan kelarutan obat, antara lain melalui pembentukan garam, perubahan struktur internal kristal (polimorfi), atau dengan penambahan suatu bahan penolong, misalnya pengompleks, surfaktan, atau kosolven.



Permeabilitas Baik Permeabilitas Buruk



Kelarutan Baik



Kelarutan Buruk



KELAS I



KELAS II



Disolusi cepat



Disolusi tergantung kelarutan



KELAS III



KELAS IV



Disolusi tergantung permeabilitas



Disolusi lambat (tergantung kelarutan dan permeabilitas)



Gambar 1.1. Sistem Klasifikasi Biofarmasetik



Kelarutan suatu zat sangat dipengaruhi oleh polaritas pelarut. Pelarut polar akan lebih melarutkan zat-zat polar dan ionik, begitu pula sebaliknya. Fenomena ini sering disebut sebagai like dissolves like. Kelarutan juga bergantung pada struktur zat, seperti perbandingan jumlah gugus polar dan non-polar dari suatu molekul. Makin panjang rantai gugus non-polar (rantai atom karbon) dari suatu zat, makin sukar zat tersebut larut dalam air. Sifat kelarutan umumnya dinyatak dalam kemampuan suatu senyawa untuk terlarut pada dua kondisi pelarut yang bertentangan, yaitu polar (direpresentasikan oleh air), dan non-polar (direpresentasikan oleh lemak/lipid). Sifat hidrofilik atau lipofobik berhubungan dengan kelarutan di dalam air, sedangkan lipofilik atau hidrofobik berhubungan dengan kelarutan di dalam lemak. Kelarutan pada umumnya berhubungan dengan aktivitas biologis dari senyawa seri homolog. Kelarutan juga berhubungan erat dengan absorpsi obat. Hal ini penting karena intensitas aktivitas biologis obat tergantung pada derajat absorpsinya. Prinsip Umum



3



Larutan jenuh adalah larutan dimana zat terlarut berada pada kesetimbangan antara fase molekul dengan fase partikel. Kelarutan secara kuantitatif adalah suatu konsentrasi tertinggi suatu zat terlarut di dalam suatu pelarut pada suhu tertentu, dimana zat masih dapat terlarut sempurna dalam bentuk molekulnya. Lewat dari titik kelarutan ini, maka zat dalam bentuk partikel mulai terbentuk (terjadi pengendapan). Kelarutan kualitatif adalah interaksi spontan dari dua atau lebih zat untuk membentuk dispersi molekuler homogen. Larutan tidak jenuh adalah suatu larutan yang mengandung zat terlarut pada konstrasi di bawah konsentrasi yang dibutuhkan untuk penjenuhan sempurna pada temperatur tertentu. Larutan lewat jenuh adalah suatu larutan yang mengandung zat terlarut pada konsentrasi lebih banyak dari nilai kelarutannya pada temperatur tertentu. Istilah-istilah kelarutan menurut Farmaskope dapat dilihat pada tabel 1.1. Tabel 1.1. Istilah perkiraan kelarutan menurut Farmakope



Istilah



Bagian Pelarut untuk Satu Bagian Zat Terlarut



Sangat mudah larut



10.000



Kelarutan dapat digambarkan secara tepat dengan aturan fase Gibbs: F = C – P + 2 (persamaan 1.1), dengan F adalah jumlah derajat kebebasan, yaitu jumlah variabel bebas (seperti temperatur, tekanan, dan konsentrasi) yang harus ditetapkan untuk menentukan sistem secara sempurna. C adalah jumlah komponen terkecil yang cukup untuk mneggambarkan komposisi kimia dari setiap fase/wujud zat, sedangkan P adalah jumlah fase/wujud zat. Angka 2 ditambahkan di dalam aturan fase Gibbs karena sistem paling pasti adalah ketika derajat kebebasannya nol, diperoleh pada sistem tunggal (C=1) yang terdiri dari tiga fase (padat, cair, gas). Interaksi Pelarut dengan Zat Terlarut Air merupakan pelarut yang baik untuk garam, gula, dan senyawa sejenis, sedangkan minyak mineral dan benzena merupakan pelarut untuk zat yang sukar larut air. Penemuan empiris ini dikenal dengan istilah like dissolves like. Kelarutan obat sebagian besar disebabkan oleh kesesuaian antara polaritas obat denga polaritas pelarutnya, utamanya adalah momen dipolnya. Pelarut polar malarutkan zat terlarut ionik dan zat polar lain. Namun, Hildebrand menyampaikan bahwa informasi tentang momen dipol saja tidak cukup untuk menerangkan kelarutan zat polar di dalam air. Kemampuan zat terlarut membentuk ikatan hidrogen juga merupakan faktor yang berpengaruh. Misalnya, meskipun nitrobenzena memiliki momen dipol 4,2x10-18 esu.cm dan fenol memiliki momen dipol 1,7x10-18 esu.cm, nitrobenzena hanya larut dalam jumlah 0,0155 mol/kg dalam air, sedang fenol sampai sejumlah 0,95 mol/kg pada 200C. Contoh lain adalah air melarutkan fenol, alkohol, aldehida, keton, amina, dan senyawa lain yang mengandung atom oksigen dan nitrogen seperti pada gambar 1.2, dimana penjelasannya adalah karena dapat membentuk ikatan hidrogen dengan air.



4



Gambar 1.2. Struktur senyawa yang membentuk ikatan hidrogen dengan air



Perbedaan sifat kesamaan dan kebasaan dari konstituen dalam hal donor akseptor elektron Lewis juga memberi andil untuk interaksi spesifik dalam larutan. Molekul air dalam es terikat bersama dalam ikatan hidrogen membentuk struktur tetrahedral. Walaupun beberapa ikatan hidrogen akan pecah ketika es mencair, air tetap berstruktur seperti es dalam pengukuran besar pada temperatur biasa. Struktur yang seolah-olah seperti kristal ini pecah apabila air bercampur dengan setiap zat dapat memberikan ikatan hidrogen. Apabila etil alkohol dan air dicampur, ikatan hidrogen di antara molekul air dipindahkan sebagian oleh ikatan hidrogen antara molekul air dan molekul alkohol. Kelarutan zat juga bergantung pada gambaran struktur seperti perbandingan gugus polar terhadap gugus nonpolar dari molekul. Singkatnya, pelarut polar seperti air bertindak sebagai pelarut menurut mekanisme berikut: a.



b.



Disebabkan karena tingginya tetapan dielektrik yaitu sekitar 80 untuk air, pelarut polar mengurangi gaya tarik menarik antara ion dalam kristal yang bermuatan berlawanan sepertu natrium klorida. Kloroform mempunyai tetapan dielektrik 5 dan benzena sekitar 1 atau 2, oleh karena itu senyawa ionik praktis tidak larut dalam pelarut ini. Pelarut polar memecah ikatan kovalen dari elektrolit kuat dengan reaksi asam basa karena pelarut ini amfiprotik. Sebagai contoh, air menyebabkan ionisasi HCl: HCl + H2O à H3O+ + Cl-. Asam organik lemak kelihatannya tidak akan terionisasi oleh air; di sini dikenal istilah kelarutan parsial, sebagai pengganti pembentukan ikatan hidrogen dengan air. Tetapi fenol dan asam karboksilat mudah larut dalam larutan basa kuat.



Gambar 1.3. Perbedaan interaksi asam karboksilat dengan air dan basa kuat (NaOH)



c.



Akhirnya pelarut polar mampu mengsolvasi molekul dan ion dengan adanya gaya interkasi dipol, terutama pembentukan ikatan hidrogen. Zat terlarut harus bersifat polar karena seringkali harus bersaing untuk mendapatkan tempat dalam struktur pelarut apabila ikatan dalam molekul pelarut tersebut telah berasosiasi. Interaksi ion-dipol di antara garam natrium dari asam oleat dengan air digambarkan di gambar 1.4. berikut.



Gambar 1.4. Interaksi natrium oleat dengan air



Aksi pelarut dari cairan nonpolar, berbeda dengan zat polar. Pelarut nonpolar tidak dapat mengurangi gaya tarik menarik antara ion-ion elektrolit kuat dan lemah, karena tetapan dielektrik pelarut yang rendah, tidak dapat



5



memecahkan ikatan kovalen dan elektrolit yang berionisasi lemah. Pelarut nonpolar termasuk dalam golongan pelarut aprotik, dan tidak dapat membentuk jembatan hidrogen dengan nonelektrolit. Namun demikian, senyawa nonpolar dapat melarutkan zat terlarut nonpolar dengan tekanan dalam yang sama melalui interaksi dipol induksi. Molekul zat terlarut tetap berada dalam larutan dengan adanya sejenis gaya van der Waals/London yang lemah. Seperti keton dan alkohol dapat menginduksi suatu derajat polaritas tertentu dalam molekul pelarut nonpolar, sehingga menjadi dapat larut dalam alkohol, contohnya benzena yang mudah dapat dipolarisasikan. Kenyataannya, senyawa semipolar dapat bertindak sebagai pelarut perantara yang dapat menyebabkan bercampurnya cairan polar dan nonpolar. Sesuai dengan itu, aseton menaikkan kelarutan eter dalam air. Loran dan Guth mempelajari aksi pelarut perantara dari alkohol dalam campuran air-minyak jarak. Propilena glikol telah terbukti menaikkan kelarutan timbal-balik dari air dan minyak permen, serta air dan benzil benzoat. Like dissolves like dapat disusun dengan menyatakan bahwa kelarutan suatu zat pada umumnya dapat diperkirakan hanya dalam cara kualitatif, setelah mempertimbangkan polaritas, tetapan dielektrik, asosiasi, solvasi, tekanan dalam, reaksi asam-basa, dan faktor-faktor lainnya. Kelarutan bergantung pada pengaruh kimia, listrik, struktur yang menyebabkan interaksi timbal-balik antara zat terlarut dan pelarut. Beberapa tipe pelarut dan tetapan dielektriknya dapat dilihat dalam tabel 1.2. Perhatikan bahwa istilah “polaritas” tidak hanya diwakili oleh konstanta dielektrik pelarut dan zat terlarut saja tetapi juga oleh faktor-faktor lain. Tabel 1.2. Polaritas beberapa pelarut, dan zat yang mudah terlarut dengannya



Tetapan dielektrik pelarut



Pelarut



Zat terlarut



80



air



garam anorganik, garam organik



50



glikol



gula, tanin



30



metanol dan etanol



minyak jarak, wax resin, minyak menguap



20



aldehida, keton, alkohol tinggi, eter, ester, oksida



elektrolit lemah termasuk barbiturat



5



heksana, benzena, karbon tetraklorida, etil eter, petroleum eter



alkaloid dan fenol



0



minyak mineral dan fixed oil



fixed oil, lemak, petrolatum, parafin, dan hidrokarbon lain



Kelarutan Zat Padat di Dalam Cairan Suatu larutan farmasetik dapat terdiri dari berbagai variasi zat terlarut dan pelarut. Hasil pencampuran berupa larutan tersebut bisa bersifat ideal maupun nonideal. Kita akan mulai dengan larutan ideal, kemudian dilanjutkan dengan larutan biasa nonpolar atau agak polar dan akhirnya dengan larutan yang sangat polar, di mana solvasi dan asosiasi (penggabungan) berakibat pada penyimpangan yang nyata dari sifat ideal. Kelarutan zat padat dalam larutan ideal bergantung pada suhu, titik leleh zat padat, panas peleburan molar (ΔHf) yaitu panas yang diabsorpsi saat suatu zat padat meleleh. Dalam larutan ideal, panas pelarutan sama dengan panas peleburan. Kelarutan ideal tidak dipengaruhi oleh sifat pelarut. Persamaan untuk larutan ideal zat padat dalam cairan adalah:



(persamaan 1.2)



6



di mana Xi2 adalah kelarutan ideal zat terlarut yang dinyatakan dalam fraksi mol, T0 adalah titik leleh zat terlarut padat dalam derajat mutlak, dan T adalah suhu mutlak larutan. Notasi i dalam Xi2 adalah untuk larutan ideal, dan notasi 2 menyatakan fraksi mol dari zat terlarut. Pada temperatur di atas titik leleh, zat terlarut berada dalam keadaan cair, dan dalam larutan ideal, zat terlarut cair bercampur dalam segala perbandingan dengan pelarut. Oleh karena itu persamaan (1.2) tidak lagi dipakai apabila T > T0. Persamaan ini juga tidak memadai pada suhu yang diperkirakan di bawah titik leleh di mana ΔHf tidak dapat digunakan lagi. Contoh Penerapan (1) Soal: Berapakah kelarutan naftalen dalam larutan ideal 200C? Titik leleh naftalen 800C, dan panas peleburan molar 4.500 kal/mol. Penyelesaian:



Kelarutan dalam fraksi mol dapat diubah menjadi molalitas (apabila berat molekul pelarut M1 diketahui) dengan hubungan sebagai berikut,



(persamaan 1.3) Keaktifan zat terlarut dalam larutan dinyatakan sebagai konsentrasi dikalikan dengan koefisien keaktifan. Apabila konsentrasi diberikan dalam fraksi mol, keaktifan dinyatakan sebagai a2 = X2.y2 (persamaan 1.4) dimana y2 apada skala fraksi mol dikenal sebagai koefisien keaktifan rasional. Dengan mengubah logaritma, maka



(persamaan 1.5) Dalam larutan ideal, a2 = n, karena n = 1 dan dengan demikian kelarutan ideal, persamaan 1.2 dapat dinyatakan dalam bentuk keaktifan sebagai



(persamaan 1.6) Tabel 1.3. Panas peleburan molar untuk obat dan molekul lain



Ragam Senyawa



ΔHf (kal/mol)



Asam benzoat



4.302



Kafein



5.044



Klorpromazin HCl



6.730



Metil p-aminobenzoat



5.850



Metil p-hidroksibenzoat



5.400



7



Fenilefrin HCl



6.800



Fenitoin



11.300



Asam p-hidroksibenzoat



7.510



Sulfadiazin



9.740



Sulfametoksazol



7.396



Teobromin



9.818



Teofilin



7.097



Tolbutamide



6.122



Dengan menggabungkan persamaan 1.5 dan 1.6, kelarutan nonideal dinyatakan dalam bentuk log menjadi



(persamaan 1.7) dimana V2 adalah volume molar atau volume per mol zat terlarut cair (lewat dingin/supercooled) dan φi adalah volume fraksi atau [X1V1 / (X1V1 + X2V2)].pelarut, R adalah tetapan gas, 1,987 kal/derajat.mol dan T adalah suhu mutlak larutan. Dari tekanan dalam pelarut dan zat nonideal nonpolar atau agak polar, bentuk (W)½ dikenal dengan parameter kelarutan dan ditunjukkan oleh simbol δ1 dan δ2 untuk pelarut dan zat terlarut. Dalam larutan yang encer, volume fraksi mendekati satu, dan φi dapat diabaikan sebagai pendekatan pertama. Bila perhitungan kasar memperlihatkan makna yang lebih kecil dari 1, harus dibuat perhitungan kembali dengan memperhitungkan harga φi, W = energi potensial/gaya tarik menarik. Kelarutan fraksi mol dari zat terlarut nonpolar atau sedikit polar dianggap sebagai larutan nonideal:



(persamaan 1.8) Jika R diganti dengan 1,987 kal/mol.det dan T dengan 2980K pada 250C, yaitu temperatur yang paling sering digunakan, akan diperoleh:



(persamaan 1.9) Parameter kelarutan yang menyatakan kohesi antara molekul sejenis, dapat dihitung dari panas penguapan, tekanan dalam, tegangan permukaan, dan sifat-sifat lain seperti diuraikan oleh Hildebrand dan Scott. Panas penguapan dalam hubunganya dengan volume molar zat, apabila tersedia pada temperatur yang diinginkan, mungkin menyokong cara terbaik untuk perhitungan parameter kelarutan. Ini adalah akar kuadrat dari tekanan dalam atau



(persamaan 1.10)



dengan ΔHv adalah panas penguapan dan Vt adalah volume molar senyawa cair pada temperatur yang diinginkan. R adalah tetapan gas dan T adalah temperatur mutlak.



8



Contoh Penerapan (2) Soal: (a) Hitung parameter kelarutan iodium dan kemudian, (b) Tentukan fraksi mol dan kelarutan molal dari iodium dalam karbon disulfida pada 250C. (c) Berapa koefisien keaktifan zat terlarut dalam larutan? Panas penguapan cairan iodium diekstrapolasi ke 250C adalah 11,493 kal/mol, panas peleburan rata-rata ΔHf sekitar 3600 kal pada 250C, titik leleh iodium 1130C dan volume molarnya V2 adalah 59 cm3 pada 250C. Parameter kelarutan karbon disulfida adalah 10. Penyelesaian:



(a)



(Perhatian bahwa harga yang diperoleh dari data kelarutan, adalah suatu yang berbeda dari harga yang diperoleh disini). (b) X2 pertama dihitung dengan menganggap φi2 adalah 1.



Sekarang volume fraksi φi sama dengan V1(1—X2)/[V1(1—X2)+V2X2]. Atau untuk iodium (V2 = 59 cm3) dalam karbon disulfida (V1=60 cm3). φ = 0,9322. Hitung kembali X2 dari (b) dengan φi2 sebagai (0,9322)2 termasuk bentuk kedua dalam ruas kanan dari persamaan kelarutan memberikan X2 = 0,0815. Sesudah 6 kali pengulangan dengan menggunakan kalkulator, hasilnya menjadi X2 = 0,0845. Harga percobaan untuk kelarutan dalam karbon disulfida dicatat oleh Hildebrand dan Scott adalah 0,0546 pada 250C. Kelarutan fraksi mol ideal X12 untuk uap iodium adalah 0,250 pada 250C. Kelarutan dalam fraksi mol yang dihitung dari uap iodium dalam karbon disulfida dapat diubah menjadi konsentrasi molal yang menggunakan persamaan



(c) Dengan membandingkan persamaan (1.9) dan (1.10), jelaslah bahwa kelarutan ideal dihubungkan dengan kelarutan nyata pada temperatur tertentu dengan persamaan



oleh karena itu, koefisien keaktifan zat terlarut adalah



Larutan tidak ideal di mana persamaan Scatchard-Hildebrand diterapkan disebut larutan regular (biasa). Larutan reguler dapat lebih dimengerti dengan membandingkannya terhadap beberapa sifat larutan ideal. Pertama, molekul larutan ideal memperlihatkan kebebasan gerakan sempurna dan distribusi acak dalam larutan. Kedua, larutan ideal terbentuk tanpa perubahaan kandungan panas, yaitu panas tidak diabsorpsi atau dilepaskan selama proses pencampuran. Lebih jauh lagi, tidak ada perubahan volume ketika komponen larutan ideal dicampur.



9



Tabel 1.4. Volume molar dan parameter kelarutan untuk beberapa senyawa cair



Tabel 1.5. Volume molar dan parameter kelarutan senyawa kristal (nilai percobaan)



Molekul larutan reguler, seperti molekul dalam larutan ideal, mempunyai energi kinetik yang cukup untuk mencegah pengaturan dan kehilangan entropi; dan larutan reguler, seperti larutan ideal, memperlihatkan ketidakaturan yang sempurna. Perbedaan entropi dalam pembentukan larutan reguler diberikan oleh rumus



(persamaan 1.11) Contoh Penerapan (3) Soal: Hitung harga W untuk larutan kafeina dalam pelarut murni, dioksan (δ=10,01), dalam air murni (δ=23,45), dan dalam campuran 50:50 persen volume dioksan dan air (δ=16,73) pada 250C. ΔHf adalah 5044 kal/mol dan T0 = 5120C. ΔSf 9,85 kal/mol.det. Penyelesaian: Dengan menggunakan persamaan 1.11, logaritma dari kelarutan fraksi mol ideal, —log Xi2 ternyata adalah 1,16460 atau Xi2 = 0,068454. Volume molar (V2) kafeina adalah 144 cm3/mol pada 250C. Fraksi volume φi dari dioksan, air, dan campuran 50:50 dioksan dan air masing-masing adalah 0,985809; 0,982066 dan 0,942190. Dengan menggunakan definisi A, akan memperoleh A untuk kafeina dalam dioksan= 0,102570; dalam air=0,101793; dan dalam campuran 50:50 dioksan:air 0,093694.



10



Kelarutan fraksi mol kafeina dalam ketiga pelarut pada 250C yang didapat dari percobaan adalah 0,008491 dalam dioksan, 0,002285 dalam air dan 0,0211372 dalam campuran 50:50 dioksan dan air. Dengan menggunakan logγ2/A untuk ke tiga larutan:



dan Harga W kemudian diperoleh lagi dalam dioksan:



dalam campuran 50:50



8,83728 = (10,01)2 + (13,8)2 2W W = 140,90144 Dalam air: 14,50425 = (23,45)2 + (13,8)2-2W W = 362,91873 Dalam campuran air:dioksan 50:50: 5,39574 = (16,73)2 + (13,8)2 2W W = 232,46855 Contoh Penerapan (4) Soal: Hitung kelarutan kafeina (δ2=13,8) pada 250 dalam campuran 40:60 persen volume dioksan



dan air. Gunakan persamaan kuadrat untuk mendapatkan harga W(hitung). Penyelesaian: Pertama-tama seseorang memperoleh harga δ1 dari campuran dioksan dan air 40:60. Dengan menggunakan persamaan:



dimana φd dan φw adalah fraksi volume 0,40 dan 0,60 dari pelarut dioksan dan air, dan δd dan δw adalah parameter kelarutannya: δ1 = 0,40(10,01) + 0,60 (23,45) = 18,07 Kemudian W(hitung) diperoleh dengan perhitungan kembali: W(hitung) = 79,41140 + 1,86857 (18,07) + 0,43565 (18,07)2 W(hitung) = 255,427; W(percobaan) = 255,191 Harga W(hitung) disubstitusi dimana —log Xi2 untuk kafeina adalah 1,1646 dan A adalah 0,09520. —log X2 = 1,1646 + 0,09520 [(18,07)2 + (13,8)2 — 2(255,427)] —log X2 = 1,74635 X2(hitung) = 0,0179; X2(percobaan) = 0,0162



11



Tabel 1.6. Beberapa harga kelarutan yang diamati dan yang dihitung dari kafeina dalam sistem dioksan-air pada 250C*



*)δ2=13,8; —log Xi2=1,1646 †)W dihitung dengan satuan kal/cm3 ‡) W(hitung) diperoleh dengan menggunakan persamaan pangkat empat **) X2(hitung) dimana W diganti oleh W(hitung) Tabel 1.7. Volume molar dan parameter kelarutan senyawa kristal (nilai percobaan)



Pengaruh pH terhadap kelarutan Di dunia kefarmasian, kita akan sangat sering menjumpai bahan-bahan obat terutama yang sintetik. Bahanbahan obat tersebut sebagian besar berupa senyawa organik yang bersifat asam lemah atau basa lemah. Dengan demikian, faktor pH juga dapat mempengaruhi kelarutannya. Untuk obat- obat yang bersifat asam lemah, pada pH yang rendah zat tersebut praktis dianggap tidak mengalami ionisasi. Kelarutan obat dalam bentuk ini sering disebut sebagai kelarutan intrinsik. Jika pH dinaikkan, maka kelarutannya pun akan meningkat, karena selain terbentuk larutan jenuh obat dalam bentuk molekul yang tidak terionkan (kelarutan intrinsik) juga terlarut obat yang berbentuk ion, seperti terlihat pada kesetimbangan ionisasi gambar 1.5.



Gambar 1.5. Pengaruh pH pada bentuk molekul asam benzoat



12



Fraksi obat yang terionkan [fi] dan fraksi obat yang tidak terionkan/dalam bentuk molekul [fu] dalam larutan, hubungannya dengan pH larutan mengikuti persamaan Handerson-Hasselbach:



pH = pKa + log [fi]/[fu] (persamaan 1.12) Terma fi dan fu masing-masing dapat dinyatakan sebagai Si dan So. Selanjutnya, bayangkan bahwa dalam larutan sekarang terdapat sejumlah kuantitas dari spesi terion dan spesi yang masih dalam bentuk molekul. Sehingga sekarang kita dapatkan bahwa total keduanya adalah yang kita sebut sebagai kelarutan total dari suatu senyawa. Dengan bahasa matematis, kita nyatakan:



ST=So+Si (persamaan 1.13) dengan ST = kelarutan total senyawa, S0 = kelarutan dalam bentuk molekul (kelarutan intrinsik), dan Si = kelarutan dalam bentuk ion. Dengan menggunakan persamaan (1.12) dan (1.13) didapatkan:



pH = pKa + log [ST - So]/[So] (persamaan 1.14)



Gambar 1.6. Plot persentase bentuk molekul versus pH medium. Perhatikan kelarutan intrinsik antara senyawa pKa=2 dengan pKa=5; pada pH=6, tampak bahwa yang pertama memiliki fraksi molekul jauh lebih kecil daripada yang kedua.



Apabila besarnya pH = pKa, maka kelarutan total obat menjadi dua kali kelarutan intrinsiknya; jika besamya pH satu unit di atas pKa,maka kelarutan obat menjadi 11 kali kelarutan intrinsiknya, dan jika besarnya pH dua unit di atas harga pKa, maka kelarutannya meningkat menjadi 101 kali kelarutan intrinsiknya. Untuk membuktikan pernyataan tersebut, Anda dapat menghitungnya di atas kertas dan dapat membuat suatu estimasi seberapa besar rasio kelarutan bentuk ion dengan kelarutan intrinsiknya pada kondisi pH larutan yang berbeda sebagaimana terdapat dalam gambar 1.6. Konsep dasar ini selanjutnya dapat digunakan untuk menentukan pH yang memberikan kelarutan maksimal dari suatu obat.



13



C. METODE ALAT



BAHAN



Thermostatic Shaking Waterbath



Asam Benzoat



Spektrofotometer UV-Vis (Genesys)



Dapar pH 3,2; 4,2; dan 5,2



Seperangkat Glassware



Aquadest



Flakon Langkah Kerja Lakukan percobaan pendahuluan untuk menentukan waktu yang diperlukan untuk memperoleh larutan jenuh, Larutkan 100 mg asam benzoat dalam flakon yang telah diisi 10 mL larutan dapar pada suhu tertentu (37°C). Jalankan shaker dan tiap selang waktu tertentu (30 menit) sampel diambil, segera disaring lalu diencerkan dan ditetapkan kadarnya. Perhatian: penyaringan dilakukan dua kali, pertama menggunakan kertas saring, lalu kemudian menggunakan membran filter 0,45 µM. Larutan tersebut dianggap sudah jenuh apabila pada dua kali penetapan kadar dengan rentang waktu pengambilan sampel yang berurutan tidak memberikan perbedaan kadar yang bermakna. Untuk memperoleh kejenuhan tersebut misalnya diperlukan waktu t jam. Percobaan yang akan diambil datanya, dilakukan dengan cara yang sama seperti percobaan pendahuluan, tetapi waktu percobaan diperpanjang misalnya 2x t jam. Dalam percobaan ini gunakan waktu 30, 60, dan 90 menit untuk sampling. Penetapan Kadar Sampel diencerkan dengan pelarut/dapar masing-masing pada pH yang sesuai (disesuaikan dengan hasil pembacaan, bisa sampai 1000x pengenceran). Dibaca serapannya pada panjang gelombang 227 nm dan ditetapkan kadarnya menggunakan kurva baku yang tersedia. Cara Evaluasi Dari data tersebut buatlah kurva kelarutan vs masing-masing pH pelarut hasil percobaan kemudian bandingkan dengan kurva hubungan keduanya secara teoretis yang diperoleh dari perhitungan menggunakan persamaan Handerson-Hasselbach seperti contoh di bawah ini (gambar 1.7). Bahaslah jika terjadi perbedaan.



Gambar 1.7. Plot antara pH versus kelarutan total dan pH versus derajat ionisasi senyawa



14



D. DISKUSI 1.



2. 3.



Fenobarbital merupakan obat asam lemah, yang memiliki pKa = 7,41, dengan kelarutan intrinsik = 1 gram dalam 987 mL air pada 250C. Anda diminta untuk membuat larutan fenobarbital 5 mg/mL. a. Hitung pada pH berapa obat dapat terlarut pada konsentrasi yang diminta b. Hitung pH dari larutan natrium fenobarbital 10 mg/mL. Apa yang akan terjadi bila pada penyimpanan, pH larutan meningkat menjadi 9? Apa yang terjadi bila pH turun sampai 7? Antara obat A dengan pKa 4,5 dan obat B dengan pKa 8,5, manakah yang lebih mudah larut dalam medium dengan konsentrasi ion hidronium 8 x 10-3? Mengapa? Jelaskan dengan perhitungan. Pilihlah salah satu obat berikut (gambar 1.8) kemudian rencanakan bagaimana agar kelarutannya maksimal namun tetap stabil.



Gambar 1.8. Sifat keasaman beberapa obat



15



Percobaan 2



Koefisien Partisi



A. TUJUAN Tujuan dari percobaan ini adalah untuk mengetahui pengaruh pH terhadap koefisien partisi obat yang bersifat asam lemah (asam salisilat) dalam campuran pelarut kloroform-air. B. PENDAHULUAN Koefisien partisi merupakan sifat fisikokimia yang menjadi petunjuk sifat lipofilik atau hidrofobik dari molekul obat. Adanya pemahaman tentang koefisien partisi dan pengaruh pH pada koefisien partisi akan bermanfaat dalam memahami transport dan absorpsi obat, mekanisme pemisahan dalam kegiatan analisis seperti pada penggunaan kromatografi, dan juga studi hubungan struktur- aktivitas suatu molekul. Semakin besar nilai koefisien partisinya maka semakin banyak senyawa dalam pelarut organik. Nilai koefisien partisi suatu senyawa tergantung pelarut organik tertentu yang digunakan untuk melakukan pengukuran. Umumnya pengukuran koefisien partisi dilakukan dengan menggunakan air dan n-oktanol. Dalam hal ini, n-oktanol menyerupai membran biologis dalam tubuh makhluk hidup. Pergerakan molekul obat dari suatu fase cairan ke fase cairan lain disebut sebagai partisi (partitioning) dan merupakan fenomena kesetimbangan yang umum dalam suatu proses farmasetik. Agar lebih jelas, bayangkan bahwa dalam tubuh, obat akan mengalami partisi ke air (cairan tubuh) maupun ke fase lipofilik dalam hal ini adalah membran. Suatu bahan obat dan juga zat pengawet dalam sediaan emulsi juga akan mengalami pergerakan ke fase air maupun fase minyaknya. ”Antusiasnya” zat tersebut ”berkunjung” ke fase air atau minyak/lemak ditentukan dari sifat alamiah zat yang melibatkan keberadaan gugus fungsi dan juga polaritasnya (ingat kembali P1). Adanya 2 fase cairan yang tak saling campur (immiscible) dan bertetangga dengan suatu solut menyebabkan migrasi/perpindahan solut ke kedua fase tersebut dengan laju tertentu. Sampai suatu saat, laju perpindahan ke fase 1 dan fase 2 mengalami kesetimbangan sebagaimana diilustrasikan dalam gambar 1. Di bawah kondisi yang demikian, tidak terjadi perubahan signifikan kadar solute di tiap fase. Bila ditinjau secara termodinamik, pada kondisi kesetimbangan potensial kimia dari solute (energi bebas solute dalam pelarut) dalam suatu fase setara dengan potensial kimia di fase lain. Dengan menyatakan



dengan µw adalah potensial kimia dalam air, µo potensial kimia dalam pelarut organic tertentu, dan aw serta ao masing-masing menunjukkan koefisien aktivitas solute (efek kadar solute pada interaksi antar-solute dalam sistem) Dengan menata ulang persamaan tersebut, didapatkan



Terma di sisi kiri konstan pada suhu dan tekanan tertentu sehingga ao/aw = konstan, untuk suatu larutan ideal, a dapat diganti dengan c sehingga co/cw = konstan. Rasio ini yang kemudian kita kenal sebagai koefisien partisi yang sering



16



disimbolkan dengan P. Rasio tersebut adakalanya dinyatakan sebagai log P. Perhatikan, bahwa Pow sering dinyatakan sebagai fungsi dari kadar solute yang ada.



Gambar 2.1. Skema partisi suatu obat berupa asam lemah dalam fase air dan fase minyak. Perhatikan bahwa pada pH tertentu, senyawa dapat terbagi menjadi bentuk molekul dan bentuk terion. Bentuk molekul cenderung akan ”berkunjung” ke fase minyak sedangkan yang terion lebih senang menuju fase air.



Nilai koefisien partisi dapat berkisar dari 10-3 sampai dengan 107. Bila dinyatakan dengan terma log P, kisaran tersebut dari -3 sampai dengan 7. Harap diperhatikan dan diingat bahwa koefisien partisi merupakan hasil perbandingan antara 2 besaran kadar. Dengan demikian, satuan keduanya dapat saling meniadakan dan menjadikan P atau log P dimensionless. Sekali lagi, senyawa dengan nilai P besar bersifat lipofilik/hidrofobik sedangkan yang Pnya kecil ( 1,2 dan monodispers jika antilog SD < 1,2.



4.



Lakukan grouping dengan cara: tentukan ukuran partikel yang terkecil dan terbesar dari serbuk yang diamati, hitung rentang/interval-nya kemudian bagi menjadi beberapa kelas (gasal) paling sedikit 5 kelas.



5.



Tetapkan ukuran partikel dan golongkan ke dalam group yang telah ditentukan dan ukurlah > 500 partikel jika sampel bersifat monodispers, serta ukurlah > 1000 partikel jika polidispers.



6.



Hitung diameter rerata partikel (dav) dan buat kurva distribusi ukuran partikel serta tentukan harga diameter-diameter seperti tersebut di bawah ini: a.



Length-number mean, dengan rumus



𝑑#$ = b.



Σ𝑛𝑑 Σ𝑛



Surface-number mean, dengan rumus



Σ𝑛𝑑* 𝑑($ = ) Σ𝑛 c.



Volume-number mean, dengan rumus - Σ𝑛𝑑 , 𝑑+$ = ) Σ𝑛



27



d.



Surface-length, dengan rumus



𝑑(. = e.



Volume-surface, dengan rumus



𝑑+/ = f.



Σ𝑛𝑑 * Σ𝑛 Σ𝑛𝑑 , Σ𝑛*



Volume-weight mean, dengan rumus



𝑑01



Σ𝑛𝑑 2 = Σ𝑛, Tabel 3.2. Contoh hasil penetapan ukuran partikel secara mikroskopi



Σn = ⋯ Σnd = ⋯ Σn𝑑 * = ⋯ Σn𝑑 , = ⋯ Σn𝑑 2 = ⋯ (2) Pengukuran diameter partikel dengan metode pengayakan 1.



Susun ayakan secara berurutan dari atas ke bawah (pikirkan urutan nomor ayakan apakah dari besar ke kecil ataukah kecil ke besar).



2.



Masukkan 100 gram serbuk ke ayakan paling atas yang ditimbang saksama.



3.



Ayak serbuk yang bersangkutan selama 10 menit pada getaran tertentu.



4.



Timbang serbuk yang terdapat pada masing- masing ayakan.



5.



Buat kurva distribusi persen bobot di atas/di bawah ayakan.



Tabel 3.3. Contoh hasil penetapan ukuran partikel secara pengayakan. Bandingkan dengan tabel 3.2 yang distribusinya dinyatakan sebagai jumlah, distribusi ukuran pada tabel ini dinyatakan sebagai bobot.



28



Keterangan: *) menunjukkan ukuran dalam mm yang ekivalen dengan mesh terkait (versi ASTM). % bobot adalah persentase bobot yang tertinggal di antara dua ayakan yang berurutan (10/20 berarti yang lolos dari 10 dan tertinggal di 20. D. KEAMANAN KERJA Hati-hati saat menggunakan mikroskop, perhatikan posisi lensa sebalum menurunkan agar tidak menghimpit object glass apalagi mikrometer. Lensa objektif dan mikrometer adalah bagian penting selain mahal harganya. E. DISKUSI 1.



Mikromeritik memiliki peranan penting dalam bidang farmasi, khususnya dalam formulasi sediaan obat. Karakteristik serbuk obat maupun eksipien dapat mempengaruhi efisiensi formulasinya. Tidak jarang, kekurangcermatan dalam memilih bentuk padatan API maupun eksipien menyebabkan terjadinya capping maupun kecacatan lain pada tablet. Agar lebih memahami aplikasi mikromeritik, Anda ditugaskan mencari dan membuat ringkasan dari suatu artikel yang memuat karakterisasi suatu API maupun eksipien sebelum diformulasi menjadi tablet atau sediaan lain.



2.



Metode pengayakan yang telah Anda lakukan, menghasilkan data bobot padahal Anda ingin mengetahui ukuran partikel dari granul. Dengan menggunakan penalaran, apa fungsi dari menimbang bobot tersebut? Transformasikan penyajian data hasil pengayakan menjadi penyajian data hasil mikroskopi.



29



Percobaan 4



Viskositas dan Rheologi



A. TUJUAN Tujuan dari praktikum ini adalah untuk (1) mempelajari dan menentukan viskositas cairan Newtonian, dan (2) mempelajari dan menentukan sifat alir cairan non-Newtonian. B. PENDAHULUAN Rheologi (rheo = mengalir, logos = ilmu) adalah ilmu yang mempelajari sifat alir berbagai cairan serta perubahan bentuk berbagai benda padat. Di bidang farmasi, peranan rheologi penting karena menyangkut stabilitas, keseragaman dosis, keajegan hasil produksi serta tinjauan praktis dalam penggunaan sediaan suspensi atau emulsi. Dasar rheologi adalah mempelajari hubungan antara tekanan gesek (shearing stress) dengan kecepatan gesek (shearing rate) pada cairan, atau hubungan antara strain dan stress pada benda padat.



Gambar 4.1. Skema pergerakan suatu fluida (F = gaya yang diberikan kepada fluida, h= jarak antarlapisan dalam fluida, A=luas permukaan lapisan fluida, v=kecepatan alir dari fluida setelah diberikan gaya). Fluida diasumsikan tersusun dari beberapa lapis layer dan alirannya laminar.



Membahas tentang rheologi, tentu akan berbicara pula mengenai viskositas. Viskositas merupakan ukuran gesekan internal dari suatu cairan. Gesekan ini bisa diandaikan bahwa cairan tersusun dari lapisan-lapisan. Gesekan muncul ketika satu lapisan bergerak relatif terhadap lapisan lain. Semakin besar gesekannya, besar gaya yang diperlukan untuk menggerakkan lapisan-lapisan tadi juga semakin besar. Gaya tadi kita sebut sebagai shear dan dapat berupa tindakan seperti menuang, menyebarkan, menyemprotkan atau mengaduk. Isaac Newton menerangkan viskositas dengan membuat model seperti gambar 1 di atas. Dua bidang yang saling sejajar dengan luas yang sama yaitu A dan terpisah sejauh h pada sumbu y bergerak searah sumbu x dengan



30



kecepatan yang berbeda yaitu v1 dan v2. Newton membuat asumsi bahwa gaya yang diperlukan agar gerakan perpindahan tadi tetap terjadi dan juga menjaga perbedaan kecepatan antarlapisan berbanding lurus dengan perbedaan kecepatan atau gradien kecepatan. Newton memiliki asumsi yang lain bahwa untuk mayoritas zat, pada suhu tertentu, viskositasnya akan tidak tergantung pada shear rate. Dengan kata lain, memberikan gaya 2x dari gaya sebelumnya akan mempercepat aliran cairan menjadi 2x semula. Dalam bahasa matematis:



(persamaan 4.1) dengan η adalah suatu konstanta, yaitu viskositas untuk bahan tertentu pada suhu tertentu. Gradien kecepatan dvx/dy atau dapat pula dinyatakan sebagai dvy/dx menerangkan pengenaan gaya pada cairan dan disebut sebagai shear rate (γ) dengan satuan s-1. Term F/A menunjukkan gaya per satuan luas yang diperlukan untuk menghasilkan shearing dan disebut dengan shear stress (τ) dengan satuan dynes/cm2. Oleh karena itu, persamaan 4.1 dapat disederhanakan menjadi



(persamaan 4.2) Satuan dari pengukuran viskositas adalah Poise (baca: poa). Sebuah zat yang memerlukan shear stress 1 dyne.centimeter-2 untuk menghasilkan shear rate 1 s-1 dikatakan memiliki viskositas sebesar 1 Poise atau 100 centiPoise. Pascal-seconds (Pa·s) atau mili-Pascal-seconds (mPa·s) merupakan satuan SI untuk viskositas. Satu Pascalsecond setara dengan 10 Poise. Berdasarkan tipe alir, cairan dapat dibedakan menjadi 1. 2.



Cairan Newtonian Cairan Non-Newtonian a. Tidak tergantung waktu (time independent) - Pseudoplastik - Plastik - Dilatan b. Tergantung waktu (time dependent) - Thiksotropi - Rheopeksi - Anti-thiksotropi atau thiksotropi negatif - Anti-rheopeksi atau rheopeksi negatif



1. Cairan Newtonian Suatu zat disebut Newtonian jika antara shear stress dengan shear rate memiliki hubungan tertentu yang disebut viskositas atau koefisien viskositas (η). Rheogram untuk tipe aliran Newtonian ini dapat dilihat pada gambar 4.2 yang mana hubungan antara τ dan γ bersifat linier.



Gambar 4.2. Grafik yang menunjukkan hubungan antara shear stress vs shear rate (a) dan viskositas vs shear rate cairan tipe alir Newtonian (b). Perhatikan bahwa shear rate akan meningkat secara proporsional dengan shear stress yang diberikan. Ciri khas tipe alir Newtonian adalah konstannya viskositas meskipun shearing rate berubah.



31



Cairan yang memiliki tipe alir Newton meliputi cairan tunggal misalnya: air, etanol, gliserol, minyak pelumas, serta larutan dari senyawa yang memiliki ukuran molekul kecil, misalnya larutan gula dan larutan berbagai macam garam. Penentuan viskositas larutan Newton salah satunya menggunakan viskositas kapiler yang penetapannya secara single point. Contohnya adalah viskositas Ostwald dan Cannon-Fenske. 2. Aliran Non-Newtonian Cairan non-Newtonian memiliki hasil τ/γ yang tidak konstan sebagaimana pada tipe Newtonian. Dengan kata lain, ketika shear rate berubah, shear stress tidak ikut berubah dengan proporsi yang sama. Viskositas selanjutnya akan berubah mengikuti perubahan shear rate. Pemilihan spindle dan kecepatan putar dengan demikian mempengaruhi hasil pengukuran viskositas dari cairan non-Newtonian. Hasil pengukuran yang didapat disebut dengan apparent viscosity dan akan memberikan hasil yang akurat jika parameter-parameter tersebut dikendalikan dengan teliti. Cairan non-Newton dapat dipandang sebagai suatu sistem dengan campuran molekul yang beragam bentuk dan ukurannya. Oleh karenanya, berapa besar gaya yang dibutuhkan untuk geseran akan dipengaruhi oleh ukuran, bentuk, dan kohesivitas molekul-molekul tadi. Penentuan sifat alir larutan non-Newtonian menggunakan viskosimeter yang dalam pengukurannya bersifat multiple point seperti cup and bob dan cone and plate. Sebagai contoh adalah viskosimeter Stormer dan Brookfield. Gambar 4.3 meringkaskan rheogram beragam tipe cairan.



Gambar 4.3. Grafik yang menunjukkan hubungan antara shear stress vs shear rate (a) dan viskositas vs shear rate cairan beragam tipe (b). Perhatikan perbedaan rheogram antar berbagai tipe: (1) Newtonian, (2) Pseudoplastik, (3) Dilatan, dan (4) Plastik.



a. Aliran Pseudoplastik Hubungan antara shear rate (γ) dengan shear stress (τ) dapat dinyatakan dalam satu persamaan (persamaan 4.3) dimana N merupakan bilangan tertentu, dengan nilai >1. Adapun



η’



τN = η’γ



merupakan viskositas



pseudoplastik. Dari persamaan 4.3 ini dapat kita ketahui bahwa viskositas merupakan rasio dari τN terhadap γ. Mirip dengan viskositas pada tipe Newtonian, hanya saja di sini shear stress memeiliki orde N>1 sehingga hubungannya menjadi tidak linier lagi. Grafik hubungan antara dengan untuk aliran pseudoplastik dapat dilihat pada gambar 4.4.



32



Gambar 4.4. Grafik yang menunjukkan hubungan antara shear stress vs shear rate (A) dan viskositas vs shear rate cairan tipe alir pseudoplastik (B). Perhatikan bahwa shear rate akan meningkat sebanding dengan shear stress yang diberikan namun tidak linier.



Dengan mengamati grafik pada gambar 4.4(b), kita dapat mengetahui viskositas cairan turun dengan naiknya kecepatan pengadukan. Penurunan viskositas tersebut terjadi cukup signifikan ditandai dengan kurva yang cukup curam. Dengan kata lain, pemberian sedikit shearing stress di awal akan menghasilkan aliran yang mudah dari cairan karena viskositas turun secara kontinu. Aliran akan berhenti sesaat setelah shear stress dihentikan. Terjadinya penurunan viskositas ini disebabkan oleh ikatan antar partikelnya terlepas oleh adanya pengadukan dan ikatan terbentuk setelah pengadukan dihentikan. Banyak bahan sediaan farmasi yang menunjukkan sifat alir pseudoplastik, misalnya larutan gom, tragakan, CMC, beberapa sediaan suspensi, sirup, dan emulsi. Perhatikan saat Anda menuang sirup manis, cukup dengan memiringkan botol larutan tadi akan mengalir mulus bahkan isi botol bisa habis jika botol terus dimiringkan. b. Aliran Plastik Cairan dengan tipe aliran plastik sering disebut sebagai Bingham bodies dengan rheogram mirip tipe pseudoplastik seperti terlihat pada gambar 4.5. Cairan tipe ini berperilaku sebagaimana zat padat pada kondisi statis. Perbedaan dengan pseudoplastik terletak pada adanya yield value. Istilah yield value merujuk pada gaya minimal yang harus diberikan agar cairan dapat mengalir. Gaya yang lebih kecil daripada yield value tadi berdampak belum terjadinya aliran. Dengan kata lain, aliran baru terjadi setelah shear stress melampaui yield value. Tipe alir ini dijumpai pada sediaan suspensi, krim, dan gel. Ingat kembali saat kita mengoleskan salep atau krim ke kulit. Semata memencet tube dan menaruhnya di atas kulit tidak akan membuat sediaan tadi merata dan mengalir. Baru akan merata jika kita menekan dan mengolesnya. Tindakan memencet dan mengoles tadi merupak usaha memberikan shear stress yang melampaui yield value. Usaha mengeluarkan saos tomat dari botol kiranya cukup menjelaskan tipe alir semacam ini.



Gambar 4.5. Grafik yang menunjukkan hubungan antara shear stress vs shear rate (A) dan viskositas vs shear rate cairan tipe alir plastik (B). Perhatikan bahwa shear rate tidak dimulai dari yield value. Shear stress mulai dari sumbu koordinat (0,0) kemudian ditingkatkan secara perlahan sampai pada suatu saat melampaui yield value dan dapat berubah menjadi tipe Newtonian, dilatan, maupun pseudoplastik.



33



c. Aliran Dilatan Suatu cairan yang menunjukkan bertambahnya tahanan waktu shutting rate dipertinggi atau viskositasnya meningkat dengan naiknya kecepatan pengadukan. Hal ini terjadi karena pengaruh pengadukan menyebabkan terbentuknya struktur dari hasil penggabungan antarpartikel. Rheogram aliran tipe dilatan dapat dilihat pada gambar 4.6. Sistem yang memiliki sifat alir demikian misalnya: Cat murni, tinta cetak dan pasta. Hubungan antara F/A dengan dy/dx dapat digambarkan dalam suatu persamaan analog dengan persamaan (1) tetapi harga N 500 nm. Namun demikian, batasan kisaran tadi bukanlah sesuatu yang saklek/rigid karena terkadang terjadi tumpeng tindih antar-kelas dispersi. Tipe Koloid



38



Koloid biasanya dibagi menjadi dua golongan besar, berdasarkan pada apakah dia disolvatasikan oleh medium dispersinya atau tidak, atau apakah dia tidak berantaraksi secara nyata dengan medium, yaitu: 1.



Koloid liofilik, disolvatasikan oleh solven/pelarut dan sering dinamakan "koloid yang suka solven/pelarut". Bila muncul istilah hidrofilik, maka yang dimaksud sebagai solvent-like adalah air sedinggga istilah tersolvatasi menjadi terhidasi/terhidratasi. Molekul koloid hidrofilik memiliki afinitas dengan molekul air ketika didispersikan ke dalam air dan terhidrasi. Koloid yang terhidrasi akan mengembang (swelling) kemudian menaikkan viskositas dari sistem. Dampaknya adalah stabilitas dari koloid tersebut menjadi meningkat karena terjadi penurunan interaksi antarpartikel yang dapat berakibat pada terjadinya pengendapan (settling). Bisa jadi pula koloid tadi bermuatan yang selanjutnya menghasilkan suatu repulsion antarpartikel bermuatan sehingga kejadian saling menempel dapat dikurangi. Contoh koloid hidrofilik adalah musilago acacia, metilselulosa dan derivatnya, dan protein seperti albumin.



2.



Koloid liofobik, kebalikan dari koloid liofilik, yaitu mempunyai afinitas kecil untuk solven/pelarut dan sering dinamakan "koloid pembenci solven/pelarut". Berbeda dengan koloid hidrofilik, koloid hidrofobik hanya sedikit atau bahkan tidak memiliki afinitas dengan molekul air sehingga tidak mnyebabkan perubahan viskositas system. Partikel koloid bias memiliki muatan listrik melaui mekanisme adsorpsi ion elektrolit dari larutan. Dispersi partikel semacam ini disebabkan tolak-menolak muatan sejenis dan gerak Brown.



Pembuatan Koloid Dispersi koloidal yang dibuat dengan salah satu dari dua metoda umum, yaitu metode kondensasi dan metode dispersi. Metode kondensasi menggabungkan partikel-partikel kecil (ion-ion dan molekul) untuk membentuk partikelpartikel yang lebih besar yang masuk dalam jarak ukuran koloidal. Ini biasanya dilakukan dengan jalan mengganti solven/pelarut atau dengan jalan melakukan reaksi kimia tertentu. Metode dispersi menggunakan teknik-teknik pengecilan ukuran partikel dan partikel-partikel yang berdimensi koloidal. Untuk ini dapat digunakan disintegrator mekanik seperti "coloid mill". Seringkali solven/pelarut atau solven/pelarut yang dicampur dengan lain zat dapat menyebabkan partikel non- koloidal menjadi koloidal. Metoda dispersi tipe ini khusus dinamakan peptisasi. Beberapa logam dapat didispersi sebagai koloid oleh arus listrik di dalam tabung elektrolitik (electrolytic cell). Karakteristik Koloid Semua dispersi koloidal menunjukkan suatu sifat optik yang dikenal sebagai efek Tyndall. Jika seberkah cahaya diarahkan pada suatu dispersi koloidal, maka cahaya tersebut akan dipencarkan (scattered) dan suatu berkas sinar atau kerucut sinar akan terlihat. Karena banyak dispersi koloidal sangat menyerupai larutan sejati, maka sifat tersebut berguna untuk membedakan antara dispersi koloidal dan larutan sejati. Larutan sejati tidak akan memencarkan cahaya, karena partikel- partikel yang terdispersi di dalamnya begitu kecil hingga tidak menimbulkan efek tersebut sebagaiman terlihat pada gambar 5.1. Efek ini ditemukan oleh John Tyndall pada tahun 1869.Tyndall scattering akan memencarkan semua panjang gelombang secara sama dan berbeda dengan Rayleigh scattering yang hanya memncarkan panjang gelombang pendek (langit yang biru dan lembayung saat senja). Tyndall scattering dapat diamati meskipun dispersinya transparan sekalipun. Seiring peningkatan kerapatan partikel (ukuran), scattering akan menjadi semakin jelas ditandai dengan kenampakn berkabut pada larutan. Inilah alasan mengapa susu, kabut, dan awan dapat terlihat putih. Padahal, yakin atau tidak, satuan droplet lemak atau air yang ada di susu dan awan tadi sebenarnya transparan. Di bawah mikroskop, kita dapat mengamati gerakan acak dari partikel koloid. Gerakan ini kita kenal dengan gerak Brown yang biasa terjadi pada partikel dengan ukuran di bawah 5µm. Penyebab terjadinya gerakan tersebut adalah tabrakan oleh molekul medium pendispersi terhadap partikel koloid. Jika partikel koloidnya besar, tentu ia akan mampu menahan senggolan dan tabrakan dari segala arah oleh medium. Semakin kecil ukuran pertiikel, tabrakan dari berbagai sisi akan menyebabkan partikel bergerak acak (tidak beraturan).



39



Gambar 5.1. berkas sinar pada (a) larutan koloidal mengalami efek Tyndall, sedangkan pada (b) larutan gula, berkas sinar diteruskan.



Dalam sistem koloid, akan selalu ada perbedaan potensial listrik atara fase koloid dengan cairan di sekelilingnya. Partikel koloid yang bermu atan dapat menarik kelebihan dari counter- ion yang ada di sekitarnya membentuk suatu “lapisan”. Inilah yang kita kenal sebagai elektrik double layer. Keberadaan muatan listrik di permukaan koloid menjadikan partikel tadi dapat berpindah/bermigrasi ketika dikenai muatan listrik eksternal. Migrasi tersebut menuju pada ekerode yang mauatannya berbeda dengan muatan koloid. Kita mengenal fenomena tersebut sebagai elektroforesis yang memungkinkan kita memisahkan, misalnya, campuran protein. Koloid tidak mampu melewati membrane semipermeable. Sifat ini mnereangkan kepada kita peranan penting albumin dalam menjaga tekanan osmotic darah karena albumin tidak melewati membrane di pembuluh darah. Di ginjal, ion dan molekul kecil akan disaring melalui membrane glomerulus namun makromolekulnya ditahan. Sterilisasi dari beberapa injeksi koloid terkadang dilakukan dengan filtrasi memnggunakan membrane sintetik dengan ukuran rerata porinya 220 nm.



Stabilitas Koloid Keseragaman dispersi pertikel penting untuk efektivitas diagnostik dan terapeutik sehingga usaha pencegahan settling dan ko-presipitasi perlu diperhatikan. Penambahan koloid hidrofilik ke koloid hidrofobik menyebabkan koloid hidrofilik akan teradsorpsi ke permukaan hidrofobik bahkan akan melingkupinya. Koloid hidrofilik akan membentengi koloid hidrofobik dari efek destabilisasi oleh elektrolit. Kerja ini kita sebut sebagai perlindungan koloid. Koloid hidrofobik akan mengalami presipitasi jika solven yang mengelilinginya dan juga muatan listriknya dihilangkan dari sekelilingnya. Contoh koloid pelindung adalah gelatin dan derivat metilselulose. Jika berbicara stabilitas koloid, kita kenang kembali ingatan terkait gaya Tarik (attractive) antarmolekul dalam suatu zat yaitu gaya van der Waals dan gaya disperse. Keduanya “beraksi” hanya pada jarak yang cukup dekat. Gaya lain yang melawannya yaitu gaya tolak (repulsive force) bekerja pada jarak lebih dekat namun lebih kuat. Hal tersebut memberikan informasi mengapa 2 atom tidak dapat menempati ruang yang sama. Ketika partikel koloid disuspensikan dalam cairan dan bertumbukan satu sama lain, energi kinetiknya lebih kecil daripada energi kinetik untuk partikel gas. Pada kondisi ini, gaya tolak sangat kecil sehingga kita dapat memperkirakan gaya van der Waals atau gaya dispersi akan lebih dominan. Hal tersebut mendorong pembentukan agregat yang melebihi ukuran partikel koloid yang selanjutnya akan menjadikan partikel jatuh ke dasar. Proses ini yang disebut dengan koagulasi. Gaya lain yang menyebabkan tolakan antarmolekul adalah gaya elektrostatik (gaya Coulomb) yang bekerja pada jarak yang lebih jauh daripada van der Waals. Namun demikian, gaya tolak elektrostatik dapat kehilangan efektivitasnya jika konsentrasi ion dari medium terlalu besar atau jika medium membeku.



Contoh Ketidak-stabilan Koloid Dengan meninjau emulsi, ada beberpa kejadian yang merupakan ketidakstabilan dari emulsi yang meliputi (gambar 5.2): 1.



Coalescence: Tetes-tetes kecil globul/partikel bergabung menjadi globul/partikel yang lebih besar;



40



2.



Flocculation: Mirip dengan coalescence namun ukurannya lebih kecil;



3.



Creaming: Tetes fase minyak mengapung di permukaan karena kerapatan minyak lebih rendah daripada air dan hilangnya kecenderungan untuk “bergandengan” antara kedua fase.



4.



Breaking: Hasil akhir dari tahap-tahap di atas dan merupakan konsekuensi termodinamik ketidakcampuran kedua fase. Coagulation merupakan "breaking" dari dispersi sehingga partikel koloid saling mengumpul dan mengendap. Istilah flocculation sering digunakan sebagai sinonim untuk coagulation, namun akan lebih tepat jika digunakan utuk metode khusus yang mengakibatkan coagulation. Mayoritas coagulation terjadi akibat perusakan bagian luar dari electric double layer sehingga gaya tolak- menolak elektrostatik meningkat.



“Do Not Freeze” Pernah membekukan susu? Ketika diambil lagi, susu tersebut tidak lagi berpenampilan seperti kondisi saat kita beli. Pada beberapa produk makanan dan produk koloid lain akan dijumpai label "Do not freeze" begitu pula pada produk cat lateks. Freezing dapat merusak electric double layer karena ion-ion bergabung dengan spesi netral, mereka saling mendekat sampai gaya tarik-menarik muncul dan mengambil alih interaksi antarmolekul kemudan terjadilah koagulasi yang tak dapat dikembalikan.



41



C. METODE ALAT



BAHAN



Mortar dan stamper



Pulvis gummi arabici



Buret dan statif



FeCl3



Seperangkat glassware



NaCl



Beaker glass



Natrium alginate



Magnetic stirrer



Gelatin



Batang magnet



Kitosan



pH-meter



Asam asetat glasial 6N NaOH



D. LANGKAH KERJA



1. Pembuatan Larutan Koloidal dan Nanopartikel a.



Buatlah larutan Mucilago Gum Arabici 5% dalam air hingga volume 50 mL. Gunakan mortar dan stamper untuk menghomogenkan.



b.



Larutkan 0,25 gram dan 0,50 gram FeCl3 dalam 100 mL air mendidih.



c.



Buatlah larutan alginat 0,5% dan 1% serta gelatin 5% dan 10%, masing-masing 50 mL.



d.



Basahi kitosan dengan asam asetat glasial, kemudian larutkan dalam 20 mL air di dalam beaker glass 100 mL berpengaduk. Kemudian larutkan kitosan dengan mengasamkan sistem hingga pH 2,0. Basakan sistem secara perlahan dengan menggunakan 6N NaOH hingga pH sekitar 4,5-5,0, hingga mulai terbentuk dispersi nanopartikel kitosan, ditandai dengan terbentuknya kabut tipis berwarna putih. Terakhir, adjust volume hingga 50 mL.



2. Pengaruh Elektrolit terhadap Stabilitas Koloid/Nanopartikel Ambillah 10 mL masing-masing dispersi koloid/nanopartikel yang telah dibuat, dan tambahkan larutan NaCl 30%. Catatlah pada penambahan berapa mL larutan NaCl 30% yang menyebabkan koagulasi pada masing-masing dispersi koloid/nanopartikel.



3. Pengaruh Alkohol terhadap Koloid/Nanopartikel Catatlah berapa mL alkohol 95 % yang dibutuhkan untuk mengendapkan 10 mL gelatin 5% dan 10 mL FeCl3 5%.



4. Proteksi terhadap Koloid/Nanopartikel Tambahkan 3 mL koloid FeCl3 ke dalam tabung reaksi. Tambahkan masing-masing koloid pelindung yaitu gelatin, alginat, kitosan, dan Mucilago Gum Arabici ke dalam tabung reaksi tadi dengan jumlah sesuai tabel 5.1 kemudian campur homogen. Tambahkan NaCl 30% ke dalam campuran dan amati sampai terjadi presipitasi. Sebagai pembanding, siapkan satu tabung berisi hanya koloid pelindung dan FeCl3 5%. Jangan lupa dokumentasikan dalam bentuk foto.



42



Tabel 5.1. Skema percobaan koloid pelindung



Volume Koloid (mL) Mucilago Gum Arabici



Gelatin



Alginat



Kitosan



Volume FeCl3, 5% (mL)



Volume NaCl 30% (mL)



1



3



5



3



3



5



5



3



5



1



3



5



3



3



5



5



3



5



1



3



5



3



3



5



5



3



5



1



3



5



3



3



5



5



3



5



E. DISKUSI Stabilitas koloid dan nanopartikel memiliki hubungan erat dengan suatu istilah yaitu potensial zeta. Anda diharapkan dapat memperluas pengetahuan dengan banyak membaca. Tugas Anda di praktikum ini adalah mencari artikel yang mengulas potensial zeta dalam hubungannya dengan stabilitas koloid. Setelah Anda membacanya, tuliskan kembali penjelasan tersebut dengan bahasa Anda sendiri secara ringkas dan masukkan dalam pembahasan di laporan praktikum.



43



REFERENSI 1. Allen, T., 2003, Powder Sampling and Particle Size Determination, Elsevier, Amsterdam. 2. Aulton, M.E. (Ed.), 2004, Pharmaceutics: The Science of Dosage Form Design, 2nd Ed., ELBS, Hongkong. 3. Cussler, E.L., 2007, Difussion: Mass Transfer in Fluid Systems, 3rd Ed., Cambridge University Press, Cambridge, London. 4. Florence, A.T. & Attwood D., 2006, Physiochemical Principles of Pharmacy, 4th Ed., Pharmaceutical Press, London. 5. Sinko, P.J., 2011, Martin’s Physical Pharmacy and Pharmaceutical Sciences, 6th Ed., Lippincott Williams & Wilkins, A Wolters Kluwer Co., Philadelphia.



44