Askep Gadar Hematoma Subdural [PDF]

  • Author / Uploaded
  • yusti
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN



1.1 LATAR BELAKANG Berdasarkan data dari negara-negara maju, trauma kepala merupakan 26% dari jumlah jenis kecelakaan yang mengakibatkan seseorang tidak bisa bekerja selama lebih dari satu hari hingga jangka yang panjang. Sekitar 33% kecelakaan yang berakhir pada kematian disebabkan oleh trauma kapitis. Di Indonesia, menurut Depkes RI tahun 2007, cedera kepala menempati urutan ke-7 dari 10 penyakit utama penyebab kematian terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit dengan CFR 2,94% dan pada tahun 2008 menempati urutan ke-6 dengan CFR 2,99%. Sedangkan di Amerika, setiap tahun tercatat sekitar 52.000 penduduk meninggal karena trauma kepala (20 orang per 100.000 populasi). Insidensi pasien dengan cedera kepala berat (GCS kurang dari 8) mencapai 100 per 100.000 populasi. Trauma kapitis merupakan keadaan gawat darurat sehingga perlu segera ditangani. Trauma timbul akibat adanya gaya mekanik yang secara langsung menghantam kepala. Akibatnya dapat terjadi fraktur tulang tengkorak, kontusio serebri, laserasi serebri, dan perdarahan intrakranial seperti subdural hematom, epidural hematom, atau intraserebral hematom. Trauma kapitis ini dapat menimbulkan terjadinya kelainan neurologi pada saat awal kejadian, timbulnya kecacatan di kemudian hari atau bahkan pada kasus yang berat dapat menimbulkan kematian.



1



1.2 RUMUSAN MASALAH 1. Jelaskan definisi hematoma subdural ! 2. Sebutkan etiologi dari hematoma subdural? 3. Apa saja klasifikasi pada hematoma subdural? 4. Sebutkan manifestasi klinis dari hematoma subdural? 5. Jelaskan patofisiologi dari hematoma subdural! 6. Apa saja pemeriksaan penunjang untuk penderita hematoma subdural? 7. Bagaimana penatalaksanaan pada penderita hematoma subdural? 8. Apa saja komplikasi yang dapat muncul dari hematoma subdural? 9. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan hematoma subdural?



1.3 TUJUAN



1. Untuk mengetahui definisi hematoma subdural 2. Untuk mengetahui etiologi dari hematoma subdural 3. Untuk mengetahui dari patofisiologi hematoma subdural 4. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari hematoma subdural 5. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari hematoma subdural 6. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari hematoma subdural 7. Untuk mengetahui komplikasi dari hematoma subdural 8. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan hematoma subdural 2



BAB II PEMBAHASAN



A. DEFINISI Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural. Dalam bentuk akut yang hebat, baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki ruang tersebut sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya arakhnoidea sehingga menambah penekanan subdural pada jejas langsung di otak. Dalam bentuk kronik, hanya darah yang efusi ke ruang subdural akibat pecahnya vena-vena penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala tertutup. Efusi itu merupakan proses bertahap yang menyebabkan beberapa minggu setelah cedera, sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan lokasi gumpalan darah. Hematoma subdural adalah pengumpulan darah di antara dura dan dasar otak, suatu ruang ini pada keadaan normal diisi cairan. Paling sering disebabkan oleh trauma,tetapi dapat juga terjadi kecendrungan pendarahan yang serius dan aneurisma. Hemoragi subdural lebih sering terjadi pada vena dan merupakan akibat putusnya pembuluh darah kecil yang menjembanti ruang subdural.



3



Gambar2.1. Hematoma Subdural



B. ETIOLOGI Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural. Hematoma subdural akut dapat terjadi pada: •



Trauma kapitis







Koagulopati atau penggunaan obat antikoagulan (warfarin, heparin, hemophilia, kelainan hepar, trombositopeni)







Perdarahan intracranial nontrauma yang disebabkan oleh aneurismaserebral, malfromasi arterivena, atau tumor (meningioma atau metastase dural)







Pascaoperasi (craniotomy, CSF hunting)







Hipotensi intracranial (setelah lumbar fungsi, anesthesia epidural spinal, lumboperitoneal shunt)







Child abuse atau shaken baby sybdrome







Spontan atau tidak diketahui



Hematoma subdural kronik dapat disebabkan oleh : •



Trauma kepala yang relatif ringan atau pada orang tua dengan serebral atrofi







Hematoma subdural akut dengan atau tanpa intervensi operasi







Spontan atau idiopatik







Faktor resiko terjadinya hematoma subdural kronik yaitu penggunaan alkohol kronis, epilepsi, koagulopati, kista arachnoid, terapi antikoagulan (termasuk



4



aspirin), penyakit kardiovaskular (hipertensi, arteriosklerosis), trombositopenia, dan diabetes mellitus. Pada pasien yang lebih muda, alcoholism, trombositopenia, kelainan pembekuan, dan terapi antikoagulan oral lebih banyak ditemui. Kista arachnoid lebih banyak ditemukan pada pasien hematoma subdural kronik pada pasien usia dibawah 40 tahun. Pada pasien yang lebih tua, penyakit kardiovaskular dan hipertensi arteri lebih banyak ditemukan, 16% pasien dengan hematoma subdural kronik dalam terapi aspirin.



C. KLASIFIKASI Hematoma subdural dapat terjadi akut, subakut, atau kronik. Bergantung pada ukuran pembuluh yang terkena dan jumlah perdarahan yang ada. Hematoma Subdural akut dihubungkan dengan cedera kepala mayor yang meliputi kontusio atau laserasi. Biasanya pasien dalam keadaan koma dan tanda klinis sama dengan hematoma epidural. Tekanan darah meningkat dengan frekuensi nadi lambat dan pernafasan cepat sesuai dengan peningkatan hematoma yang cepat. Hematoma subdural subakut adalah sekuela kontusion sedikit berat dan dicurigai pada pasien yang gagal untuk meningkatkan kesadaran setelah trauma kepala .Tanda dan gejala sama seperti pada hematoma subdural akut. Angka kematian untuk pasien hematoma subdural akut dan subakut tinggi karena sering dihubungkan dengan kerusakan otak. Jika pasien dapat dipindahkan dengan cepat ke rumah sakit, kraniotomi segera dilakukan untuk membuka dura, yang memungkinkan evakuasi bekuan subdural padat. Hasil yang baik bergantung pada control TIK dan pemantauan cermat terhadap fungsi pernapasan . Hematoma subdural kronik tampaknya dapat terjadi karena cedera kepala minor dan terlihat lebih sering pada lansia. Lansia cenderung mengalami cedera kepala tipe ini sekunder akibat atrofi otak, yang diperkirakan akibat proses penuaan. Tampaknya cedera 5



kepala minor dapat mengakibatkan dampak yang cukup untuk mengesit otak secara abnormal dengan skuela negative. Waktu diantara cedera dan awitan gejala mungkin lama (mis.beberapa bulan). Sehingga akibat actual mungkin terlupkan. Gejala dapat tampak beberapa minggu setelah cedera minor. Hematoma subdural kronik menyerupai kondisi lain dan mungkin dianggap stroke. Perdarahan sedikit menyebar dan terdapat kompresi isi intracranial. Darah di dalam otak mengalami perubahan karakter dalam 2-4 hari, menjadi lebih kental dan lebih gelap. Dalam beberapa minggu, bekuan mengalami pemecahan dan memiliki warna dan konsistensi seperti minyak mobil. Ahkirnya, terjadi kalsifikasi atau osifikasi bekuan. Otak beradaptasi pada infasi benda asing ini, dan tanda serta gejala klinis pasien berfluktuasi. Mungkin terdapat sakit kepala hebat, yang cenderung timbul dan hilang ; tanda neourologik fokal yang bergantian, perubahan kepribadian; penyimpangan mental; dan kejang fokal. Sayangnya , pasien mungkin di anggap neourotik atau psikotik bila penyebab gejala tidak ditemukan. Tindakan terhadap hematoma subdural kronikt erdiri dari evakuasi bedah bekuan dengan pengisap atau irigasi terhadap area tersebut. Prosedur ini dapat dilakukan melalui lubang burr ganda, atau kraniotomi dapat dilakukan untuk lesi massa subdural yang cukup besar yang tidak dapat dilakukan melalui lubang burr. D. PATOFISIOLOGI Perdarahan terjadi antara duramater dan araknoid. Perdarahan dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater atau karena robeknya araknoid. Karena otak dikelilingi cairan serebrospinal yang dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat dimana mereka menembus duramater. Perdarahan yang besar akan menimbulkan gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural. Kebanyakan perdarahan subdural terjadi pada konveksitas otak daerah parietal. Sebagian kecil terdapat di fossa posterior dan pada fisura interhemisferik serta tentorium atau diantara lobus temporal dan dasar tengkorak. Perdarahan subdural akut pada fisura interhemisferik pernah dilaporkan, disebabkan oleh ruptur vena-vena yang berjalan diantara hemisfer bagian medial dan falks, juga pernah dilaporkan disebabkan oleh lesi traumatik dari arteri perikalosal karena cedera kepala. Perdarahan subdural interhemisferik akan memberikan gejala klasik 6



monoparesis pada tungkai bawah. Pada anak-anak kecil perdarahan subdural di fisura interhemisferik posterior dan tentorium sering ditemukan karena goncangan yang hebat pada tubuh anak (shaken baby syndrome). Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung memberikan gejala seperti tumor serebri karena tekanan intracranial yang berangsur meningkat. Perdarahan subdural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Vena jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum gejala klinis muncul. Karena perdarahan yang timbul berlangsung perlahan, maka lucid interval juga lebih lama dibandingkan perdarahan epidural, berkisar dari beberapa jam sampai beberapa hari. Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan terjadinya membran vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut. Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang peranan penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan subdural kronik. E. TANDA DAN GEJALA Secara umum, gejala yang nampak pada subdural hematom seperti pada tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran hematom subdural tidak begitu hebat seperti kasus cedera neuronal primer, kecuali bila ada efek massa atau lesi lainnya. Gejala yang timbul tidak khas dan merupakan manisfestasi dari peninggian tekanan intrakranial seperti: sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat kelumpuhan n. III, epilepsi, anisokor pupil, dan defisit neurologis lainnya, kadang kala dengan riwayat trauma yang tidak jelas, sering diduga tumor otak. Perdarahan intracerebral berupa perdarahan dijaringan otak karena pecahnya pembuluh darah dan arteri; kapiler; vena. Tanda dan gejalanya: 



Nyeri kepala 7







Penurunan kesadaran







Komplikasi pernapasan







Hemiplegia kontra lateral



F. PENATALAKSANAAN -



Tindakan terhadap peningkatan TIK. Pada saat otak yang rusak membengkak atau terjadi penumpukan darah yang cepat, terjadi peningkatan TIK dan memerlukan tindakan segera. TIK dipantau dengan ketat dan, bila meningkat, keadaan ini diatasi dengan mempertahankan oksigenisasi adekuat, pemberian mannitol, yang mengurangi edema serebral dengan dehidrasi osmotik; hiperventilasi; penggunaan steroid; peningkatan kepala tempat tidur; dan kemungkinan intervensi bedah neuro. Pembedahaan diperlukan untuk evakuasi bekuan darah, dan jahitan terhadap laserasi kulit kepala berat. Alat untuk memantau TIK dapat dipasang selama pembedahaan atau dengan teknik aseptik ditempat tidur. Pasien dirawat di unit perawatan intensif



-



dimana ada perawatan ahli keperawatan dengan medis. Tindakan Pendukung Lain. Tindakan juga mencakup dukungan ventilasi, pencegahan kejang, dan pemeliharaan cairan, elektrolit, dan keseimbangan nutrisi. Pasien cedera kepala hebat yang koma diintubasi dan diventilasi mekanis untuk mengontrol dan melindungi jalan napas. Hiperventilasi terkontrol juga mencakup hipokapnia, yang mencegah vasodilatasi, menurunkan aliran darah serebral, menurunkan volume darah serebral, dan kemudian menurunkan TIK. Karena kejang umum terjadi setelah cedera kepala dan dapat menyebabkan kerusakan otak sekunder karena hipoksia, terapi antikolvulsan dapat dimulai. Bila pasien sangat teragitasi, klorprozamin dapat diberikan untuk menenangkan pasien tanpa menurunkan tingkat kesadaran. Selang nasogatrik dapat dipasang, bila motilitas lambung menurun dan peristaltik terbalik dikaitkan dengan cedera kepala, dengan membuat regurgitasi umum pada beberapa jam pertama.



G. PEMERIKSAAN PENUNJANG



a. Laboratorium



8



Pemeriksaan laboratorium minimal meliputi, pemeriksaan darah rutin, elektrolit, profil hemostasis/koagulasi. b. Foto tengkorak Pemeriksaan foto tengkorak tidak dapat dipakai untuk memperkirakan adanya SDH. Fraktur tengkorak sering dipakai untuk meramalkan kemungkinan adanya perdarahan intrakranial tetapi tidak ada hubungan yang konsisten antara fraktur tengkorak dan SDH. Bahkan fraktur sering didapatkan kontralateral terhadap SDH. c. CT-Scan Pemeriksaan CT scan adalah modalitas pilihan utama bila dicurigai terdapat suatu lesi pasca-trauma, karena prosesnya cepat, mampu melihat seluruh jaringan otak dan secara akurat membedakan sifat dan keberadaan lesi intra-aksial dan ekstra-aksial.



1) Perdarahan Subdural Akut Perdarahan subdural akut pada CT-scan kepala (non kontras) tampak sebagai suatu massa hiperdens (putih) ekstra-aksial berbentuk bulan sabit sepanjang bagian dalam (inner table) tengkorak dan paling banyak terdapat pada konveksitas otak di daerah parietal. Terdapat dalam jumlah yang lebih sedikit di daerah bagian atas tentorium serebelli. Subdural hematom berbentuk cekung dan terbatasi oleh garis sutura. Jarang sekali, subdural hematom berbentuk lensa seperti epidural hematom dan biasanya unilateral. Perdarahan subdural yang sedikit (small SDH) dapat berbaur dengan gambaran tulang tengkorak dan hanya akan tampak dengan menyesuaikan CT window width. Pergeseran garis tengah (midline shift) akan tampak pada perdarahan subdural yang sedang atau besar volumenya. Bila tidak ada midline shift harus dicurigai adanya massa kontralateral dan bila midline shift hebat harus dicurigai adanya edema serebral yang mendasarinya. Perdarahan subdural jarang berada di fossa posterior karena serebelum relatif tidak bergerak sehingga merupakan proteksi terhadap ’bridging veins’ yang terdapat disana. Perdarahan



9



subdural yang terletak diantara kedua hemisfer menyebabkan gambaran falks serebri menebal dan tidak beraturan dan sering berhubungan dengan child abused. 2) Perdarahan Subdural Subakut Di dalam fase subakut perdarahan subdural menjadi isodens terhadap jaringan otak sehingga lebih sulit dilihat pada gambaran CT. Oleh karena itu pemeriksaan CT dengan kontras atau MRI sering dipergunakan pada kasus perdarahan subdural dalam waktu 48 – 72 jam setelah trauma kapitis. Pada gambaran T1-weighted MRI lesi subakut akan tampak hiperdens. Pada pemeriksaan CT dengan kontras, vena-vena kortikal akan tampak jelas dipermukaan otak dan membatasi subdural hematoma dan jaringan otak. Perdarahan subdural subakut



sering



juga berbentuk lensa



(bikonveks) sehingga



membingungkan dalam membedakannya dengan epidural hematoma. Pada alat CT generasi terakhir tidaklah terlalu sulit melihat lesi subdural subakut tanpa kontras. 3) Perdarahan Subdural Kronik Pada fase kronik lesi subdural menjadi hipodens dan sangat mudah dilihat pada gambaran CT tanpa kontras. Sekitar 20% subdural hematom kronik bersifat bilateral dan dapat mencegah terjadi pergeseran garis tengah. Seringkali, hematoma subdural kronis muncul sebagai lesi heterogen padat yang mengindikasikan terjadinya perdarahan berulang dengan tingkat cairan antara komponen akut (hiperdens) dan kronis (hipodens) d. MRI (Magnetic resonance imaging) Magnetic resonance imaging (MRI) sangat berguna untuk mengidentifikasi perdarahan ekstraserebral. Akan tetapi CT-scan mempunyai proses yang lebih cepat dan akurat untuk mendiagnosa SDH sehingga lebih praktis menggunakan CT-scan dibandingkan MRI pada fase akut penyakit. MRI baru dipakai pada masa setelah trauma terutama untuk menetukan kerusakan parenkim otak yang berhubungan dengan trauma yang tidak dapat dilihat dengan pemeriksaan CT-scan. MRI lebih sensitif untuk mendeteksi lesi otak nonperdarahan, kontusio, dan cedera aksonal difus. MRI dapat membantu mendiagnosis bilateral subdural hematom kronik karena pergeseran garis tengah yang kurang jelas pada CT-scan.



10



H. KOMPLIKASI Kemunduran pada kondisi pasien mungkin karena perluasan hematoma intrakranial, edema serebral progresif, dan herniasi otak. Edema serebral dan Herniasi. Edema serebral adalah penyebab paling umum dari peningkatan tekanan intrakranial pada pasien yang mendapat cedera kepala, puncak pembengkakan yang mengikuti cedera kepala terjadi kira-kira 72 jam setelah cedera. Tekanan intrakranial meningkat karena ketidakmampuan tengkorak utuh utnuk membesar meskipun peningkatan volume oleh pembengkakan otak diakibatkan dari trauma. Sebagai akibat dari edema dan peningkatan TIK, tekanan disebarkan pada jaringan otak dan struktur internal otak yang kaku . bergantuk pada tempat pembengkakan, perubahan posisi ke bawah atau lateral otak (herniasi) melalui atau terhadap struktur kaku yang terjad menimbulkan iskemia, infark, kerusakan otak ireversibel, dan kematian.



ASUHAN KEPERAWATAN GADAR HEMATOMA SUBDURAL



A. PENGKAJIAN



11



PATHWAY HEMATOMA SUBDURAL Trauma (cedera kepala)



Non trauma



Hematoma subdural



Robeknya vena jembatan dan vena halus



Jaringan otak rusak Depresi pusat napas diotak Perubahan pola napas, dispneu



Perubahan sirkulasi CSS Perubahan autoregulasi Edema serebral otak



Peningkatan TIK Perfusi jaringan serebral otak berkurang 12



Ketidakefektifan pola napas



Kejang



Gangguan perfusi jaringan otak



Penumpukan sputum dijalan napas



Ketidakefektifan bersihan jalan napas



B. Diagnosa keperawatan 1. Tidak efektifnya pola nafas sehubungan dengan depresi pada pusat nafas di otak 2. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas sehubungan dengan penumpukan sputum 3. Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan udem otak C. Intervensi keperawatan 1. Tidak efektifnya pola nafas sehubungan dengan depresi pada pusat nafas di otak Tujuan : mempertaankan pola nafas yang efektif melalui ventilator kriteria evalusi: 1. Penggunaan otot bantu nafas tidak ada 2. Sianosis tidak ada 3. Tanda-tanda hipoksia tidak ada 4. Gas darah dalam batas normal intervensi 1. Cek pemasangan tube



Rasional 1. untuk memberikan ventilasi yang adekuat dalam pemberian tidal volume



2. Observasi ratio inspirasi dan ekspirasi 2. pada fase ekspirasi biasanya 2x lebih 13



panjang sebagai konpensasi terperangkapnya udara terhadap gangguan pertukaran gas 3. Perhatikan kelembapan dan suhu pasien 4. Cek selang ventilator setiap 15 menit



5. Siapkan ambu bag tetap berada di dekat pasien



3. keadaan dehidrasi dapat mengeringkan sekresi/cairan paru sehingga menjadi kental dan meningkatkan resiko infeksi 4. adanya obstruksi dapat menimbulkan tidak adekuatnya pengaliran volume dan menimbulkan penyebaran udara yang tidak adekuat 5. membantu memberikan ventilasi yang adekuat bila ada gangguan pada ventilator



2. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas sehubungan dengan penumpukan sputum Tujuan : Mempertahankan jalan nafas dan mencegah aspirasi Kriteria Evalusi: 1. Suara nafas bersih 2. Tidak terdapat secret 3. Sianosis tidak ada intervensi 1. Kaji dengan ketat tiap 15 menit, kelancaran jalan nafas 2. Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi dada tiap 1 jam.



Rasional 1. obstruksi dapat disebabkan pengumpulan sputum, perdarahan, bronchospasme atau masalah terdapat tube 2. Pergerakan yang simetris dan suara nafas yang bersih indikasi pemasangan tube yang tepat dan tidak adanya penumpukan sputum



3. Lakukan pengisapan lender dengan waktu kurang dari 15 detik bila sputum banyak.



3. Pengisapan lendir tidak selalu rutin dan waktu harus dibatasi untuk mencegah hipoksia



4. Lakukan fisioterapi dada setiap 2 jam



4. Meningkatkan ventilasi untuk semua bagian paru dan memberikan kelancaran aliran serta pelepasan sputum



3. Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan udem otak Tujuan ; 14



Mempertahankan dan memperbaiki tingkat kesadaran motorik Kriteria hasil: 1. Tanda-tanda vital stabil 2. Tidak ada peningkatan intracranial Intervensi 1. Monitor dan catat status neurologis dengan menggunakan metode GCS.



Rasional 1. Reflex membuka mata menentukan pemulihan tingkat kesadaran, respon motorik menentukan kemampuan berespon terhadap stimulasi eksternal dan indikasi keadaan kesadaran yang baik, reaksi pupil digerakan oleh saraf kranial oculus motorius dan untuk menentukan reflex batang otak



2. Monitor tanda-tanda vital tiap 30 menit



2. Peningkatan sistolik dan penurunan diastolic serta penurunan tingkat kesadaran dan tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial. Adanya pernafasan yang ireguler indikasi terhadapap peningkatan metabolism sebagai reaksi terhadap infeksi



3. Pertahankan posisi kepala sejajar dan tidak menekan



yang



3. Perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan pada vena jugularis dan menghambat aliran darah otak, dan dapat meningkatkan tekanan intracranial



4. Observasi kejang dan lindungi pasien dari cedera akibat kejang



4. Kejang terjadi akibat iritasi otak, hipoksia, dan kejang dapat meningkatkan tekanan intracranial



5. Berikan oksigen sesuai dengan kondisi pasien



5. Dapat menurunkan hipoksia otak



6. Kolaborasi pemberian obat-obatan yang diindikasi dengan tepat dan benar



6. Memantu menurunkan tekanan intracranial secara biologis/kimia seperti osmotic diuritik untuk menarik air disel-sel otak sehingga dapat menurunkan udem otak, steroid (dexametason) untuk menurunkan inflamasi, menurunkan edema jaringan. Obat anti kejang untuk menurunkan kejang .



15



BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural. Dalam bentuk akut yang hebat, baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki ruang tersebut sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya arakhnoidea sehingga menambah penekanan subdural pada jejas langsung di otak. Dalam bentuk kronik, hanya darah yang efusi ke ruang subdural akibat pecahnya vena-vena penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala tertutup. Hematoma subdural akut dapat terjadi pada: •



Trauma kapitis







Koagulopati atau penggunaan obat antikoagulan (warfarin, heparin, hemophilia, kelainan hepar, trombositopeni)



16







Perdarahan intracranial nontrauma yang disebabkan oleh aneurismaserebral, malfromasi arterivena, atau tumor (meningioma atau metastase dural)







Pascaoperasi (craniotomy, CSF hunting)







Hipotensi intracranial (setelah lumbar fungsi, anesthesia epidural spinal, lumboperitoneal shunt)







Child abuse atau shaken baby sybdrome







Spontan atau tidak diketahui



Diagnosa keperawatan yang sering muncul pada pasien dengan hematoma subdural: 1. Tidak efektifnya pola nafas sehubungan dengan depresi pada pusat nafas di otak 2. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas sehubungan dengan penumpukan sputum 3. Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan udem otak



17