10 0 129 KB
ASUHAN KEFARMASIAN Definisi Pharmaceutical Care dan Pharmaceutical Public Health Pharmaceutical care adalah patient centered practice yang mana merupakan praktisi yang bertangung jawab terhadap kebutuhan terapi obat pasien dan memegang tanggung jawab terhadap komitmen (Cipole dkk, 1998). Menurut American Society of Hospital Pharmacists (1993), asuhan kefarmasian (Pharmaceutical care) merupakan tanggung jawab langsung apoteker pada pelayanan yang berhubungan dengan pengobatan pasien dengan tujuan mencapai hasil yang ditetapkan yang memperbaiki kualitas hidup pasien. Asuhan kefarmasian tidak hanya melibatkan terapi obat tapi juga keputusan tentang penggunaan obat pada pasien. Termasuk keputusan untuk tidak menggunakan terapi obat, pertimbangan pemilihan obat, dosis, rute dan metode pemberian, pemantauan terapi obat dan pemberian informasi dan konseling pada pasien. Asuhan kefarmasian adalah konsep yang melibatkan tanggung jawab farmasis yang menuju keberhasilan outcome tertentu sehingga pasien membaik dan kualitas hidupnya meningkat (Heppler and Strand, 1990). Outcome yang dimaksud adalah (Heppler and strand, 1990) : 1. Merawat Penyakit 2. Menghilangkan atau menurunkan gejala 3. Menghambat atau memperlama proses penyakit 4. Mencegah penyakit atau gejala Pharmautical public health didefinisikan bahwa apoteker dapat menerapkan ketrampilan farmasi, pengetahuan dan sumber daya untuk mendukung datadata
objektif
dengan
tujuan
menetapkan,
menangani
dan memantau
kebutuhan kesehatan yang nyata dari populasi. (Armstrong dkk,2005) Pharmaceutical Public Health juga didefinisikan sebagai penerapan dari pengetahuan, ketrampilan dan sumber daya dari ilmu pengetahuan dan seni
dalam pencegahan penyakit, memperpanjang hidup, mendukung, melindungi dan memperbaiki kesehatan dalam suatu komunitas (WHO, 2006) Tanggung Jawab Apoteker dalam Ruang Lingkup Pharmaceutical Care Fungsi dari asuhan kefarmasian adalah (Heppler and strand, 1990) : 1.
Identifikasi aktual dan potensial masalah yang berhubungan dengan obat.
2.
Menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan obat / Drug Related Problem (DRP).
3.
Mencegah terjadinya masalah yang berhubungan dangan obat.
Apoteker bertanggung jawab dalam menjalankan Pharmaceutical Care, antara lain : 1.
Menetapkan kebutuhan terapi obat pasien sepanjang waktu, yang artinya (a) semua kebutuhan terapi obat pasien digunakan sewajarnya dalam segala kondisi, (b) Terapi obat oleh pasien adalah yang paling efektif, (c) Terapi obat yang diterima oleh pasien adalah yang paling aman, dan (d) pasien sanggup dan mau untuk menjalankan medikasi.
2.
Tanggung jawab apoteker termasuk dalam menjalankan identifikasi, resolusi, dan pencegahan kesalahan terapi obat (drug therapy problems)
3.
Menjamin bahwa tujuan terapi dapat digunakan baik untuk pasien. Praktisi pharmaceutical care bertanggung jawab untuk memantau kondisi pasien untuk memastikan bahwa pengobatan mencapai hasil yang diinginkan
4.
These responsibilities are fulfilled by caring for each patient as an individual in a way that benefits the patient, minimizes harm, and is honest, fair, and ethical.
5.
Praktisi pharmaceutical care memenuhi tanggung jawab Klinis dengan cara menemukan standar professional dan ethical behavior prescribed dalam filsafat dari Praktik Asuhan Kefarmasian.
6.
Standar
dalam
sikap
frofesional
termasuk
menyediakan
asuhan
kefarmasian dalam specified standard of care, membuat keputusan secara etis, menunjukan collegiality, kolaborasi, memelihara kompetensi,
menerapkan research findings where appropriate, and being sensitive to limited resources 7.
It is the pharmaceutical care practitioner's responsibility to hold colleagues
accountable
to
the
same
standards
of
professional
performance. The success of the practice will depend upon it. 8.
Melakukan yang terbaik untuk pasien. Dalam segala kasus, tidak membuat kesalahan. Mengatakan yang sebenarnya pada pasien. Be fair. Setia. Mengakui that the patient is the ultimate decision maker. Selalu menjaga prifasi pasien. Berdasarkan hasil kongres WHO di New Delhi (1988), maka pada tahun
1990,
badan
dunia
di
bidang
kesehatan
tersebut
mengakui/merekomendasi/menetapkan kemampuan untuk diserahi tanggung jawab kepada farmasis yang secara garis besar adalah sebagai berikut (Anonim, 1990) : 1. Memahami prinsip-prinsip jaminan mutu (quality assurance) obat sehingga dapat mempertanggung jawabkan dan fungsi kontrol. 2. Menguasai masalah-masalah jalur distribusi obat (dan pengawasannya), serta paham prinsip-prinsip penyediaannya. 3. Mengenal dengan baik struktur harga obat (sediaan obat). 4. Mengelola informasi obat dan siap melaksanakan pelayanan informasi. 5. Mampu memberi advice yang informatif kepada pasien tentang penyakit ringan (minor illnesses), dan tidak jarang kepada pasien dengan penyakit kronik yang telah ditentukan dengan jelas pengobatannya. 6. Mampu menjaga keharmonisan hubungan antara fungsi pelayanan medik dengan pelayanan farmasi Manajemen risiko adalah bagian yang mendasar dari tanggung jawab apoteker. Dalam upaya pengendalian risiko, praktek konvensional farmasi telah berhasil menurunkan biaya obat tapi belum menyelesaikan masalah sehubungan dengan penggunaan obat. Pesatnya perkembangan teknologi
farmasi yang menghasilkan obat-obat baru juga membutuhkan perhatian akan kemungkinan terjadinya risiko pada pasien. Apoteker berada dalam posisi strategis untuk meminimalkan medication errors, baik dilihat dari keterkaitan dengan tenaga kesehatan lain maupun dalam proses pengobatan. Kontribusi yang dimungkinkan dilakukan antara lain dengan meningkatkan pelaporan, pemberian informasi obat kepada pasien dan
tenaga
kesehatan
lain,
meningkatkan
keberlangsungan
rejimen
pengobatan pasien, peningkatan kualitas dan keselamatan pengobatan pasien di rumah. Data yang dapat dipaparkan antara lain dari menurunnya (46%) tingkat keseriusan penyakit pasien anak, meningkatnya insiden berstatus nyaris cedera (dari 9% menjadi 8-51%) dan meningkatnya tingkat pelaporan insiden dua sampai enam kali lipat. (effect of pharmacist-led pediatrics medication safety team on medication-error reporting (Am J Health-Sist Pharm, 2007, vol64;1422-26)). Apoteker berperan utama dalam meningkatkan keselamatan dan efektifitas penggunaan obat. Dengan demikian dalam penjabaran, misi utama Apoteker dalam hal keselamatan pasien adalah memastikan bahwa semua pasien mendapatkan pengobatan yang optimal. Hal ini telah dikuatkan dengan berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa kontribusi Apoteker dapat menurunkan medication errors. Dalam relasi antara dokter sebagai penulis resep dan apoteker sebagai penyedia obat (pelayanan tradisional farmasi), dokter dipercaya terhadap hasil dari farmakoterapi. Dengan berubahnya situasi secara cepat di sistem kesehatan, praktek asuhan kefarmasian diasumsikan apoteker bertanggung jawab terhadap pasien dan masyarakat tidak hanya menerima asumsi tersebut. Peran apoteker dalam mewujudkan keselamatan pasien meliputi dua aspek yaitu aspek manajemen dan aspek klinik. Aspek manajemen meliputi pemilihan perbekalan farmasi, pengadaan, penerimaan, penyimpanan dan distribusi, alur pelayanan, sistem pengendalian (misalnya memanfaatkan IT).
Sedangkan aspek klinik meliputi skrining permintaan obat (resep atau bebas), penyiapan obat dan obat khusus, penyerahan dan pemberian informasi obat, konseling, monitoring dan evaluasi. Kegiatan farmasi klinik sangat diperlukan terutama pada pasien yang menerima pengobatan dengan risiko tinggi. Keterlibatan apoteker dalam tim pelayanan kesehatan perlu didukung mengingat keberadaannya melalui kegiatan farmasi klinik terbukti memiliki konstribusi besar dalam menurunkan insiden/kesalahan. Dengan demikian apoteker bertanggung jawab langsung pada pasien tentang biaya, kualitas, hasil pelayanan kefarmasian. Implementasi Asuhan Kefarmasian Pelaksanaan dan Tanggung Jawab Pharmacetical care meliputi Assesmen Bertemu dengan pasien Menetapkan hubungan terapi Memperoleh informasi yang Menetapkan siapa pasien anda t relevan dari pasien
dengan cara mempelajari alasan untuk
menemui,
demografi
pasien, pengobatan dan informasi klinis yang lainnya. Membuat keputusan terapi Menetapkan kebutuhan rasional
obat
menggunakan pasien yang dijumpai (indikasi,
Pharmacotherapy Workup
efektifitas,keamanan, kepatuhan),
Care plan Menetapkan tujuan terapi
identifikasi DRP. Negosiasi dan and agree upon endpoints
and
timeframe
pharmacotherapies patient Memilih intervensi yang tepat untuk : resolusi DRP
with
for the
Mempertimbangkan
alternative terapi Memilih Farmakoterapi yang
Menghargai goal terapi Mencegah masalah terapi obat
specifik untuk pasien obat
Memilih
intervensi
tanpa
Edukasi pasien Membuat jadwal follow- Menetapkan jadwal secara up evaluation
tepat dan sesuai secara klinis
untuk pasien Follow-up Menetapkan bukti klinis/ Evaluasi efektifitas farmakoterapi evaluation
lab pasien outcome terbaru dan
membandingkan
terhadap yang
tujuan terapi
ditetapkan
sebagai
efektifitas terapi obat Menetakan bukti klinis/lab Evaluasi adverse
effect
mnetapkan
untuk farmakoterapi
farmakoterapi
Menetapkan
keamanan kepatuhan pasien
terapi obat Status dokumen klinis dan Membuat perubahan
keamanan
keputusan
sebagai
dalam yang diatur dengan terapi obat. yang
diperlukan Menilai pasien untuk DRP Identifikasi DRP yang baru dan terbaru Jadwalkan
penyebabnya evaluasi Sediakan perawatan lanjutan
selanjutnya (Cipole dkk, 1998)
Asuhan Kefarmasian Sebagai Ruh Good Pharmacy Practice (GPP) WHO & FIP telah menerbitkan panduan Good Pharmacy Practice (GPP) dan menghimbau semua negara untuk mengembangkan standar minimal praktik farmasi. Apoteker sebagai bagian dari tenaga kesehatan mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam mewujudkan pelayanan kefarmasian yg berkualitas.
Good Pharmacy Practice (GPP) atau Cara Pelayanan Kefarmasian yang Baik (CPFB) adalah cara untuk melaksanakan pelayanan kefarmasian yang baik secara komprehensif, berupa panduan yang berisi sejumlah standar bagi para Apoteker
dalam
menjalankan
praktik
profesinya
di
sarana
pelayanan
kefarmasian. Good Pharmacy Practice (GPP) merupakan praktek kefarmasian yang tanggap terhadap kebutuhan masyarakat yang menggunakan jasa apoteker untuk memberikan pelayanan yang optimal, asuhan berbasis bukti. Cara Pelayanan Kefarmasian yang Baik [CPFB] (=Good Pharmacy Practice [GPP]) adalah suatu pedoman, sebagai perangkat untuk memastikan Apoteker dalam memberikan setiap pelayanan kepada pasien di Apotek, Puskesmas, Klinik maupun Rumah Sakit agar memenuhi standar mutu dan merupakan cara untuk menerapkan Pharmaceutical Care (Asuhan Kefarmasian). Pelaksanaan konteks Good Pharmacy Practice (GPP) yang berlandaskan konsep asuhan kefarmasian (pharmaceutical care) memerlukan persyaratanpersyaratan sebagai berikut (Sudjaswadi, 2001): 1. GPP mensyaratkan bahwa perhatian pertama dan utama seorang apoteker di semua aspek adalah mengenai kesejahteraan pasien. 2. GPP mensyaratkan bahwa inti dari kegiatan farmasi adalah untuk membantu pasien menggunakan obat-obatan terbaik, meliputi persediaan obat dan produk perawatan kesehatan lainnya dengan kualitas terjamin, menyediakan informasi dan saran yang tepat, pemberian obat, kapan saat membutuhkan obat, dan pemantauan efek penggunaan obat-obatan. 3. GPP mensyaratkan bahwa bagian integral dari kontribusi apoteker adalah mempromosikan peresepan yang rasional dan ekonomis, termasuk proses dispensing. 4. GPP
mensyaratkan
kefarmasian
relevan
bahwa dengan
tujuan pasien,
dari
setiap
didefinisikan
elemen secara
pelayanan jelas
dan
dikomunikasikan secara efektif pada semua yang terlibat. Kolaborasi multidisiplin antara kesehatan-asuhan secara professional adalah faktor kunci untuk keberhasilan meningkatkan keselamatan pasien.
FORMAT
BARU
DOKUMENTASI
ASUHAN
KEFARMASIAN
METODE FARM (FINDING, ASSESMENT, RESOLUTION, AND MONITORING)
Oleh : Ilman Silanas, Apt.,M.Kes (Apoteker RSUP DR. Hasan Sadikin Bandung) FARM merupakan metode pendokumentasian asuhan kefarmasian dari sebuah proses berurutan yang dimulai finding (temuan), assessment (penilaian temuan),
resolution
Pendokumentasian
ini
(penyelesaian)
dan
berfokus
pengelolaan
pada
penggunaan obat terhadap pasien.
monitoring
(pemantauan).
manfaat
dan
risiko
FARM dilakukan bila dokter telah
membuat order kepada Farmasi terkait obat yang akan diberikan. Bila dokter belum memulai order maka tidak ada kewajiban apoteker untuk melakukan asuhan kefarmasian. Bagaimana pendokumentasian FARM ini dibuat ? Pertama, langkah awal dalam melakukan pendokumentasian FARM adalah membuat kelompok masalah terkait obat DRPs. Setiap masalah FARM harus diselesaikan secara terpisah dan membuat prioritas masing-masing. Berikut tipe-tipe masalah terkait obat :
1. Indikasi yang tidak diobati 2. Pemberian obat tanpa indikasi 3. Obat tidak sesuai 4. Dosis kurang 5. Dosis berlebih 6. Reaksi tidak diinginkan 7. Interaksi obat 8. Ketidakpatuhan (menyebabkan gagal minum obat) Kedelapan kelompok permasalahan terkait obat tersebut perlu diidentifikasi apakah terjadi pada pasien yang sedang menjalani terapi dan berada dibawah supervisi Apoteker. Pengelompokan permasalahan terkait obat memiliki beberapa manfaat antara lain :
Menjamin
bahwa
apoteker
telah
mempertimbangkan
semua
kemungkinan masalah terkait obat
Membantu analisis data secara optimal
Memudahkan menemukan data kembali
Kedua, identifikasi masalah harus disertai dengan dokumentasi temuan (finding) yang relevan. Pada tahap ini Apoteker akan menemukan masalah yang sudah terjadi atau yang berpotensi terjadi di kemudian hari. Langkah kedua ini memerlukan data terkait pasien, baik data demografi ataupun data klinis pasien. Kondisi subjektif dan objektif pasien perlu diketahui untuk selanjutnya dapat dibuat ringkasan data penting setelah dilakukan eliminasi data-data yang dianggap tidak diperlukan. Kemampuan menentukan data yang berpengaruh pada kondisi pasien menjadi keahlian yang harus dimiliki. Pada tahap ini belum ada pengelompokan masalah yang
menjurus pada DRPs, tahap ini hanya menentukan data mentah kondisi pasien yang akan diolah pada tahap selanjutnya. Ketiga, Penilaian masalah pada FARM adalah proses evaluasi yang dilakukan apoteker pada situasi yang ada saat itu. Pada bagian ini apoteker dituntut berfikir secara analisis untuk mencapai kesimpulan apakah ada atau tidak ada masalah terkait obat dan apakah intervensi apoteker diperlukan ataukah tidak. Secara sistematis tahap Penilaian (Assessment) adalah melakukan :
Identifikasi keberadaan dan pengelompokan masalah DRPs
Identifikasi potensi masalah yang dapat terjadi
Menilai tingkat kegawatan masalah terkait obat (minor, mayor, kritis)
Pada kedua aktivitas utama tersebut perlu dilakukan kolaborasi antara apoteker, pasien, dokter, dan perawat, karena integrasi antar profesional mutlak diperlukan agar memudahkan penentuan prioritas pengobatan. Ujung dari tahap ini adalah diketahui prioritas terapi apa yang pasien perlukan. Keempat, pada prinsipnya semua DRPs harus diselesaikan tidak boleh ada yang diabaikan, hanya saja prioritas mutlak perlu ditetapkan. Dokumentasi Resolusi
ini
memuat
Apoteker,
berdasarkan
tingkat
masalah,
dalam
memberikan masukan pada dokter, perawat dan ahli gizi atau pula dapat melakukan intervensi langsung pada pasien. Apoteker memberikan saran secara detail disertai alasan. Bila memilihkan terapi atau pengganti terapi maka perlu disampaikan jenis obat, dosis, rute pemberian dan kombinasi obat yang memungkinkan serta kewaspadaan terkait interaksi makanan dan obat. Apoteker dapat melakukan intervensi langsung pada pasien dengan cara memberikan konseling pada pasien dan melakukan pengontrolan pada biaya pengobatan pasien bila ada kebijakan terkait pengontrolan biaya oleh apoteker pada
unit
kerja
tertentu.
Orientasi
pada
tahap
keempat
adalah
menyelesaikan DRPs yang terjadi dan mencegah terjadinya DRP yang berpotensi terjadi serta penentuan end point dari terapi. Kelima, Monitoring (pemantauan) dilakukan sebagai upaya pemenuhan prinsip bahwa pasien tidak boleh diabaikan setelah suatu tindakan dilakukan. Proses pemantauan bisa meliputi wawancara dengan pasien, mengumpulkan data laboratorium, dan melakukan pemeriksaan fisik yang diperlukan untuk mengetahui efek dari resolusi yang dilakukan untuk menjamin bahwa resolusi tersebut memberikan manfaat yang optimal bagi pasien. Parameter yang dapat dipantau pada tahap ini antara lain :
Perbaikan atau hilangnya tanda-tanda gejala dan abnormalitas hasil laboratorium
Keberadaan efek samping dari terapi yang diberikan (apakah muncul dan berhasil diatasi atau dicegah)
Capaian end point (dapat dilihat dari dimensi derajat perbaikan pasien, waktu pencapaian, dan biaya yang dikeluarkan)
Bila pada tahap kelima kembali ditemukan masalah terkait obat karena kondisi pasien yang berubah atau adanya penyulit lain (seperti pasien gagal menerima obat karena persediaan kosong) maka perlu dilakukan siklus FARM kedua hingga kondisi pasien sesuai dengan yang diharapkan. Bagaimana FARM dilaksanakan bila ditinjau dari alur pelayanan pasien ? Pertama, pasien datang ke Rumah Sakit, petugas yang menghadapi adalah dokter atau perawat. Kedua, dokter menentukan diagnosa awal dan terapi farmakologis yang diberikan. Apoteker mulai melakukan upaya menemukan masalah (pre
Finding) hingga menemukan (Finding) DRPs. DRPs tahap kedua ini ada yang terjadi dan berpotensi terjadi. Untuk DRPs yang terjadi adalah :
Obat tanpa indikasi
Indikasi yang tidak diobati
Obat tidak sesuai
Dosis kurang
Dosis lebih
Ketidaktersediaan obat
Interaksi obat
Adapun bila ketujuh DRPs diatas tidak ditemukan maka potensi efek samping dan ketidakpatuhan minum obat perlu menjadi catatan untuk dilakukan penilaian. Ketiga, Apoteker melakukan penilaian temuan DRPs untuk ditetapkan tingkatan dan prioritas Keempat, Apoteker mengajukan resolusi pada dokter, perawat dan pada diri Apoteker sendiri terkait intervensi yang dapat dilakukan. Apakah terapi tetap dilanjutkan atau ada perubahan terapi atau penyesuaian lain. Kelima, Apoteker melakukan pemantauan (monitoring) terkait kondisi pasien dan menarik kesimpulan atas efikasi resolusi. Keenam, bila efikasi rendah dan pasien tidak merasakan manfaat terapi makan dilakukan upaya Finding masalah. Begitu selanjutnya. Bagaimana bentuk formulir pencatatan FARM ? Formulir dapat disusun berdasarkan panduan pertanyaan berikut ini .
Identitas Pasien ? Apa Diagnosa? Apa saja Obat yang diorder (nama, kekuatan, rute, cara pemakaian, jumlah) ? Finding 1. Apakah ada indikasi yang tidak diobati ? 2. Apakah ada obat tanpa indikasi ? 3. Apakah pemilihan obat sudah benar ? 4. Apakah dosis sudah tepat (tidak berlebih atau kurang) ? 5. Apakah ada interaksi obat ? 6. Apakah ada efek samping atau potensi efek samping ? 7. Apakah obat tersedia di Rumah sakit ? 8. Apakah ada penyulit lain yang dapat menyebabkan pasien gagal minum obat ? Assessment 1. Masalah mana yang berkategori minor ? (membuat pasien tidak nyaman tetapi tidak membahayakan pasien) 2. Masalah mana yang berkategori mayor ? (membuat pasien tidak nyaman, membahayakan pasien tetapi tidak sampai menyebabkan kematian pada pasien) 3. Masalah mana yang berkategori kritis ? (menyebabkan kematian pasien) Resolusi 1. Resolusi masalah kritis ? 2. Resolusi masalah mayor ? 3. Resolusi masalah minor ? 4. Apa saja yang menjadi indikator End point terapi ? 5. Perencanaan Monitoring (apa yang dimonitor, kapan, dan apa saja yang diperlukan)? Monitoring 1. Apakah resolusi terlaksanakan ? 2. Apakah end point tercapai ? 3. Bagaimana Penilaian atas manfaat Resolusi ?
SUMBER 1. Amstrong dkk, 2005, The contribution of community pharmacy to improving the public’s health, Report 3: An overview of evidence-base from 1990 – 2002 and recommendations for action. 2. Anonim. 1990. The Role of the Pharmacist in Health Care System 3. Cipolle dkk, 1998, Pharmaceutical Care Practice: The Clinician's Guide, 2nd Edition. 4. Hepler
and
Strand
,
1990,
Opportunities
and
Responsibilities
in
Pharmaceutical Care 5. Sudjaswadi, 2001, Farmasi, Farmasis, dan Farmasi Sosial (Pharmacy, Pharmacist, and Social Pharmacy) 6. World Health Organitation, 2006, Developing pharmacy practice A focus on patient care HANDBOOK – 2006 EDITION. World Health Organitation