10 0 273 KB
MAKALAH KEPERAWATAN ANAK II
KELAINAN KONGENITAL PADA SISTEM DIGESTIVE DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK ATRESIA DUCTUS HEPATICUS
Disusun Oleh: 1. 2. 3. 4. 5.
Ayu Lestari Dessy Magdalena Menci Dwi Reskhi Novithasari Megawati Mei Indah Novayeni
(1711113612) (1711123142) (1711113633) (1711123135) (1711195290)
A 2017 3 (Kelompok 6)
Dosen Pembimbing: Ns. Oswati Hasanah, M.Kep., Sp.Kep.An
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU 2019
KATA PENGANTAR Puji dan syukur senantiasa penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas karunia dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Anak II dalam tugas kelompok. Dan juga penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang turut membantu kelancaran penyusunan makalah ini. Dalam makalah ini disajikan bahasan tentang Kelainan Kongenital Pada Sistem Digestive Dan Asuhan Keperawatan Pada Anak Atresia Ductus Hepaticus. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan kelemahanya, baik dalam isi maupun sistematikanya. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini. Akhir kata penulis mengharapkan semoga makalah ini dapat berguna dan memberikan manfaat, khususnya bagi mahasiswa dan umumnya lagi pembaca.
Pekanbaru, 7 September 2019
Penulis
i
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang
1
B. Rumusan Masalah
2
C. Tujuan
2
LANDASAN TEORI A. Definisi Atresia Bilier
3
B. Etiologi Atresia Bilier
3
C. Manifestasi Atresia Bilier
4
D. Patofisiologi Atresia Bilier
4
E. Klasifikasi Atresia Bilier
7
F. Komplikasi Atresia Bilier
8
G. Pemeriksaan Penunjang
9
H. Penatalaksanaan Atresia Bilier
12
I.
13
Asuhan Keperawatan Atresia Bilier
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan
19
B. Saran
19
DAFTAR PUSTAKA
20
ii
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Atresia bilier merupakan proses inflamasi progresif yang menyebabkan fibrosis saluran empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik sehingga pada akhirnya akan terjadi obstruksi saluran tersebut (Donna L. Wong, 2008). Atresia bilier terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan progresif pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan hambatan aliran empedu. Tindakan operatif atau bedah dapat dilakukan untuk penatalaksanaannya. Pada lebih kurang 80-90% bayi dengan atresia biliaris ekstrahepatik yang menjalani pembedahan ketika usianya kurang dari 10 minggu dapat dicapai drainase getah empedu. Meski demikian, sirosis yang progresif tetap terjadi pada anak dan sampai 80-90% kasus pada akhirnya akan memerlukan transplantasi hati. Dari 904 kasus atresia bilier yang terdaftar di lebih 100 institusi, atresia bilier didapatkan pada ras Kaukasia (62%), berkulit hitam (20%), Hispanik (11%), Asia (4,2%) dan Indian amerika (1,5%). Walau jarang namun jumlah penderita atresia bilier yang ditangani RS Cipto Mangun Kusumo (RSCM) pada tahun 2002-2003 tercatat mencapai 37-38 bayi atau 23% dari 163 bayi berpenyakit kuning akibat kelainan fungsi hati. Sedangkan di RSU Dr. Soetomo Surabaya antara tahun 1999-2004 ditemukan dari 19.270 penderita rawat inap di Instalansi Rawat Inap Anak, tercatat 96 penderita dengan penyakit kuning gangguan fungsi hati didapatkan 9 (9,4%) menderita atresia bilier (Widodo J, 2010). Pada atresia bilier terjadi penyumbatan aliran empedu dari hati ke kandung empedu. Atresia bilier terjadi karena adanya perkembangan abnormal dari saluran empedu di dalam maupun di luar hati. Tetapi penyebab terjadinya gangguan perkembangan saluran empedu ini tidak diketahui. Jika aluran empedu buntu, maka empedu akan menumpuk di hati. Selain itu akan terjadi ikterus atau kuning di kulit dan mata akibat tingginya kadar bilirubin dalam darah. Hal ini bisa menyebabkan kerusakan hati dan
1
sirosis hati yang jika tidak diobati bisa berakibat fatal atau sampai terjadi kematian. Deteksi dini dari kemungkinan adanya atresia bilier sangat penting sebab efikasi pembedahan hepatik-pontoeterostomi (operasi Kasai) akan menurun bila dilakukan setelah umur 2 bulan. Bagi penderita atresia bilier prosedur yang baik adalah mengganti saluran empedu yang mengalirkan empedu ke usus. Selain itu,terdapat beberapa intervensi keperawatan yang penting bagi anak yang menderita atresia bilier. Penyuluhan yang meliputi semua aspek rencana penanganan dan dasar pemikiran bagi tindakan yang akan dilakukan harus disampaikan kepada anggota keluarga pasien. (Donna L. Wong, 2008). B.
C.
Rumusan Masalah 1.
Apa yang dimaksud dengan atresia bilier?
2.
Bagaimana etiologi atresia bilier?
3.
Bagaimana manifestasi atresia bilier?
4.
Bagaimana patofisiologi atresia bilier?
5.
Bagaimana klasifikasi atresia bilier?
6.
Bagaimana komplikasi atresia bilier?
7.
Apa saja pemeriksaan penunjuang yang bisa dilakukan?
8.
Bagaimana penatalaksanaan atresia bilier?
9.
Bagaimana asuhan keperawatan atresia bilier?
Tujuan 1.
Apa yang dimaksud dengan atresia bilier.
2.
Bagaimana etiologi atresia bilier.
3.
Bagaimana manifestasi atresia bilier.
4.
Bagaimana patofisiologi atresia bilier.
5.
Bagaimana klasifikasi atresia bilier.
6.
Bagaimana komplikasi atresia bilier.
7.
Apa saja pemeriksaan penunjuang yang bisa dilakukan.
8.
Bagaimana penatalaksanaan atresia bilier.
9.
Bagaimana asuhan keperawatan atresia bilier.
2
BAB II LANDASAN TEORI A.
Definisi Atresia Bilier
Atresia bilier adalah suatu penghambatan di dalam pipa/saluran-saluran yang membawa cairan empedu (bile) dari liver menuju ke kantung empedu (gallbladder). Ini merupakan kondisi kongenital, yang berarti terjadi saat kelahiran (Lavanilate. 2010). Atresia bilier merupakan proses inflamasi progresif yang menyebabkan fibrosis saluran empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik sehingga pada akhirnya akan terjadi obstruksi saluran tersebut (Donna dan Wong, 2008). B.
Etiologi Atresia Bilier Etiologi atresia bilier masih belum diketahui dengan pasti. Sebagian ahli menyatakan bahwa faktor genetik ikut berperan, yang dikaitkan dengan adanya kelainan kromosom trisomi 17, 18 dan 21; serta terdapatnya anomali organ pada 30% kasus atresia bilier. Namun, sebagian besar penulis berpendapat bahwa atresia bilier adalah akibat proses inflamasi yang merusak duktus bilier, bisa karena infeksi atau iskemi. Beberapa anak, terutama mereka dengan bentuk janin atresia bilier, sering kali memiliki cacat lahir lainnya di jantung, limpa, atau usus. Sebuah fakta penting adalah bahwa atresia bilier
bukan merupakan penyakit
keturunan. Kasus dari atresia bilier pernah terjadi pada bayi kembar identik, dimana hanya 1 anak yang menderita penyakit tersebut. Atresia bilier
3
kemungkinan besar disebabkan oleh sebuah peristiwa yang terjadi selama hidup janin atau sekitar saat kelahiran. Kemungkinan yang "memicu" dapat mencakup satu atau kombinasi dari faktor-faktor predisposisi berikut:
C.
1.
Infeksi virus atau bakteri.
2.
Masalah dengan sistem kekebalan tubuh.
3.
Komponen yang abnormal empedu.
4.
Kesalahan dalam pengembangan saluran hati dan empedu.
5.
Hepatocelluler dysfunction.
Manifestasi Atresia Bilier Bayi dengan atresia bilier biasanya sehat ketika mereka lahir. Gejala penyakit ini biasanya muncul dalam dua minggu pertama setelah hidup. Gejala-gejala termasuk: 1.
Ikterus, kekuningan pada kulit dan mata karena tingkat bilirubin yang sangat tinggi (pigmen empedu) dalam aliran darah. Jaundice disebabkan oleh hati yang belum dewasa adalah umum pada bayi baru lahir. Ini biasanya hilang dalam minggu pertama sampai 10 hari dari kehidupan. Seorang bayi dengan atresia bilier biasanya tampak normal saat lahir, tapi ikterus berkembang pada 2-3 minggu setelah lahir.
2.
Urin gelap yang disebabkan oleh penumpukan bilirubin (produk pemecahan dari hemoglobin) dalam darah. Bilirubin kemudian disaring oleh ginjal dan dibuang dalam urin.
3.
Feses berwarna pucat, karena tidak ada empedu atau pewarnaan bilirubin yang masuk ke dalam usus untuk mewarnai feses.
4.
Hepatomegali.
5.
Gangguan metabolism lemak yang menyebabkan pertambahan berat badan yang buruk dan kegagalan tumbuh kembang secara umum.
D.
Patofisiologi Atresia Bilier Menurut Carpenito dan Linda (2003) atresia duktus hepatikus terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan progresif
pada duktus hepatikus ekstrahepatik sehingga menyebabkan
hambatan aliran empedu dan tidak adanya atau kecilnya lumen pada 4
sebagian atau keseluruhan traktus bilier ekstrahepatik juga menyebabkan obstruksi aliran empedu. Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik akan menimbulkan hiperbilirubinemia terkonjugasi yang disertai bilirubinuria. Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik dapat total maupun parsial. Obstruksi total dapat disertai tinja yang alkoholik. Penyebab tersering obstruksi bilier ekstrahepatik adalah sumbatan batu empedu pada ujung bawah ductus koledokus, karsinoma kaput pancreas, karsinoma ampula vateri, striktura pasca peradangan atau operasi. Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran normal empedu dari hati ke kantong empedu dan usus. Akhirnya terbentuk sumbatan dan menyebabkan cairan empedu balik ke hati ini akan menyebabkan peradangan, edema, degenerasi hati, dan apabila asam empedu tertumpuk dapat merusak hati. Bahkan hati menjadi fibrosis dan cirrhosis. Kemudian terjadi pembesaran hati yang menekan vena portal sehingga mengalami hipertensi portal yang akan mengakibatkan gagal hati. Jika cairan empedu tersebar ke dalam darah dan kulit, akan menyebabkan rasa gatal. Bilirubin yang tertahan dalam hati
juga akan
dikeluarkan ke dalam aliran darah, yang dapat mewarnai kulit dan bagian putih mata sehingga berwarna kuning. Degerasi secara gradual pada hati menyebabkan joundice, ikterik dan hepatomegaly. Karena tidak ada aliran empedu dari hati ke dalam usus, lemak dan vitamin larut lemak tidak dapat diabsorbsi, kekurangan vitamin larut lemak yaitu vitamin A, D, E, K dan gagal tumbuh. Vitamin A, D, E, K larut dalam lemak sehingga memerlukan lemak agar dapat diserap oleh tubuh. Kelebihan vitamin-vitamin tersebut akan disimpan dalam hati dan lemak didalam tubuh, kemudian digunakan saat diperlukan. Tetapi mengkonsumsi berlebihan vitamin yang larut dalam lemak dapat membuat keracunan sehingga menyebabkan efek samping seperti mual, muntah, masalah hati dan jantung.
5
Pathway Atresia Bilier
Kelainan Kongenital Obstruksi saluran empedu intrahepatik Empedu kembali ke hati
Infeksi
Obstruksi saluran empedu ekstrahepatik
Kerusakan progresif pada duktus bilier
Ekskresi bilirubin
Inflamasi progresif
Saluran empedu tidak berbentuk
Hipertermi Gg. Penyerapan lemak dan vitamin larut
Obstruksi aliran dari hati
Lemak dan vitamin larut lemak tidak dapat diabsorbsi
Malnutrisi Gg. Suplai darah pada sel hepar
Proses peradangan pada hati
Kerusakan duktus hepatik
Hepatomegali
Kerusakan sel ekskresi Bilirubin
Mual muntah Kekurangan volume cairan
Distensi abdomen dan kebutuhan oksigen meningkat
Pola nafas tidak efektif
Ikterus
Gg. Pertumbuhan dan perkembangan
Gg. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Keluar ke aliran darah dan kulit Priuritis
Kekurangan vitamin larut lemak (A, D, E, dan K)
Kerusakan integritas kulit
6
E.
Klasifikasi Atresia Bilier 1.
I. Atresia (sebagian atau total) duktus bilier komunis, segmen proksimal paten.
2.
IIa. Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus bilier komunis, duktus sistikus, dan kandung empedu semuanyanormal).
3.
IIb. Obliterasi duktus bilier komunis, duktus hepatikus komunis, duktus sistikus. Kandung empedu normal.
4.
III. Semua sistem duktus bilier ekstrahepatik mengalami obliterasi, sampai ke hilus. Tipe I dan II merupakan jenis atresia bilier yang dapat dioperasi
(correctable), sedangkan tipe III adalah bentuk yang tidak dapat dioperasi (non-correctable). Sayangnya dari semua kasus atresia bilier, hanya 10% yang tergolong tipe I dan II.
7
F.
Komplikasi Atresia Bilier Menurut Widodo Judarwanto (2010) ada beberapa komplikasi, yaitu: 1.
Kolangitis Komunikasi langsung dari saluran empedu intrahepatic ke usus, dengan aliran empedu yang tidak baik, dapat menyebabkan ascending cholangitis.
Hal ini terjadi terutamadalam minggu-minggu pertama
atau bulan setelah prosedur Kasai sebanyak 30-60% kasus.Infeksi ini bisa berat dan kadang-kadang fulminan.
Ada tanda-tanda sepsis
(demam, hipotermia,status hemodinamik terganggu), ikterus yang berulang, feses acholic dan mungkin timbul sakitperut. Diagnosis dapat dipastikan dengan kultur darah dan / atau biopsi hati. 2.
Hipertensi portal Portal hipertensi terjadi setidaknya pada dua pertiga dari anak-anak setelah portoenterostomy. Hal paling umum yang terjadi adalah varises esofagus.
3.
Hepatopulmonary syndrome dan hipertensi pulmonal Seperti pada pasien dengan penyebab lain secara spontan (sirosis atau prehepatic hipertensi portal) atau diperoleh (bedah) portosystemic shunts, shunts pada arterivenosus pulmo mungkin terjadi. Biasanya, hal inimenyebabkan hipoksia, sianosis, dan dyspneu. Diagnosis dapat ditegakan dengan scintigraphyparu. Selain itu, hipertensi pulmonal dapat terjadi pada anak-anak dengan sirosis yang menjadi penyebab kelesuan dan bahkan kematian mendadak. Diagnosis dalam kasus ini dapat ditegakan oleh echocardiography. Transplantasi liver dapat membalikan shunts,dan dapat membalikkan hipertensi pulmonal ke tahap semula.
4.
Keganasan Hepatocarcinomas, hepatoblastomas, dan cholangiocarcinomas dapat timbul padapasien dengan atresia bilier yang telah mengalami sirosis. Skrining untuk keganasan harusdilakukan secara teratur dalam tindak lanjut pasien dengan operasi Kasai yang berhasil. Hasil setelah gagal operasi KasaiSirosis bilier bersifat progresif jika operasi Kasai
8
gagal untuk memulihkan aliran empedu,dan pada keadaan ini harus dilakukan transplantasi hati. Hal ini biasanya dilakukan di tahun kedua kehidupan, namun dapat dilakukan lebih awal (dari 6 bulan hidup) untuk mengurangi kerusakan dari hati. Atresia bilier mewakili lebih dari setengah dari indikasi untuk transplantasi hati di masa kanakkanak. Hal ini juga mungkin diperlukan dalam kasus-kasus dimana pada awalnya sukses setelah operasi Kasai tetapi timbul ikterus yang rekuren (kegagalan sekunder operasi Kasai), atau untuk berbagai komplikasi dari sirosis (hepatopulmonary sindrom). G.
Pemeriksaan Penunjang 1.
Pemeriksaan laboratorium a.
Pemeriksaan rutin. Pada setiap kasus kolestasis harus dilakukan pemeriksaan kadar komponen bilirubin untuk membedakannya dari hiperbilirubinemia fisiologis. Selain itu dilakukan pemeriksaan darah lengkap, uji fungsi hati, dan gamma-GT. Kadar bilirubin direk < 4 mg/dl tidak sesuai dengan obstruksi total. Peningkatan kadar SGOT/SGPT > 10 kali dengan peningkatan gamma-GT < 5 kali, lebih mengarah ke suatu kelainan hepatoseluler. Sebaliknya, peningkatan SGOT < 5kali dengan peningkatan gamma-GT > 5 kali, lebih mengarah ke kolestasis ekstrahepatik. Menurut Fitzgerald, kadar gamma-GT yang rendah tidak menyingkirkan kemungkinan atresia duktus hepatikus. Kombinasi peningkatan gamma-GT, bilirubin serum total atau bilirubin direk, dan alkalifosfatase mempunyai spesifisitas 92,9% dalam menentukan atresia bilier.
b.
Pemeriksaan urine. Pemeriksaan urobilinogen penting artinya pada pasien yang mengalami ikterus. Tetapi urobilin dalam urine negatif. Hal ini menunjukkan adanya bendungan saluran empedu total.
c.
Pemeriksaan feses. Warna tinja pucat karena yang memberi warna pada tinja/stercobilin dalam tinja berkurang karena adanya sumbatan.
9
d.
Fungsi hati. Bilirubin, aminotranferase dan faktor pembekuan: protombin time, partial thromboplastin time.
2.
Pemeriksaan khusus Pemeriksaan
aspirasi
duodenum
(DAT)
merupakan
upaya
diagnostik yang cukup sensitif, tetapi penulis lain menyatakan bahwa pemeriksaan ini tidak lebih baik dari pemeriksaan visualisasi tinja. Pawlawska menyatakan bahwa karena kadar bilirubin dalam empedu hanya 10%, sedangkan kadar asam empedu di dalam empedu adalah 60%, maka tidak adanya asam empedu di dalam cairan duodenum dapat menentukan adanya atresia bilier. a.
Pemeriksaan ultrasonografi Theoni mengemukakan bahwa akurasi diagnostic USG 77% dan dapat ditingkatkan bila pemeriksaan dilakukan dalam 3 fase, yaitu pada keadaan puasa, saat minum dan sesudah minum. Bila pada saat atau sesudah minum kandung empedu berkontraksi, maka atresia bilier kemungkinan besar (90%) dapat disingkirkan. Dilatasi abnormal duktus bilier, tidak ditemukannya kandung empedu, dan meningkatnya ekogenitas hati, sangat mendukung diagnosis atresia bilier.
Namun
demikian,
adanya
kandung
empedu
tidak
menyingkirkan kemungkinan atresia bilier, yaitu atresia bilier tipe I/distal. b.
Sintigrafi hati Pemeriksaan
sintigrafi
sistem
hepatobilier
dengan
isotop
Technetium 99m mempunyai akurasi diagnostik sebesar 98,4%. Sebelum
pemeriksaan
dilakukan,
kepada
pasien
diberikan
fenobarbital 5 mg/kgBB/hari per oral, dibagi dalam 2 dosis selama 5 hari. Pada kolestasis intrahepatik pengambilan isotop oleh hepatosit berlangsung lambat tetapi ekskresinya ke usus normal, sedangkan pada atresia bilier proses pengambilan isotop normal tetapi ekskresinya ke usus lambat atau tidak terjadi sama sekali. Di lain pihak, pada kolestasis intrahepatik yang berat juga tidak akan ditemukan ekskresi isotop ke duodenum. Untuk meningkatkan
10
sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan sintigrafi, dilakukan penghitungan indeks hepatik (penyebaran isotop dihati dan jantung),
pada
menit
ke-10.
Indeks
hepatic
>
5
dapat
menyingkirkan kemungkinan atresia bilier, sedangkan indeks hepatik < 4,3 merupakan petunjuk kuat adanya atresia bilier. Teknik sintigrafi dapat digabung dengan pemeriksaan DAT, dengan akurasi diagnosis sebesar 98,4%. Torrisi mengemukakan bahwa dalam mendeteksi atresia bilier, yang terbaik adalah menggabungkan basil pemeriksaan USG dan sintigrafi. c.
Liver Scan Scan
pada
liver
dengan
menggunakan
metode
HIDA
(Hepatobiliary Iminodeacetic Acid). Hida melakukan pemotretan pada jalur dari empedu dalam tubuh, sehingga dapat menunjukan bilamana ada blokade pada aliran empedu. d.
Pemeriksaan kolangiografi Pemeriksaan
ERCP
(Endoscopic
Retrograde
Cholangio
Pancreaticography). Merupakan upaya diagnostik dini yang berguna untuk membedakan antara atresia bilier dengan kolestasis intrahepatik. Bila diagnosis atresia bilier masih meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan kolangiografi durante operasionam. 3.
Biopsi hati Gambaran histopatologik hati adalah alat diagnostik yang paling dapat diandalkan. Di tangan seorang ahli patologi yang berpengalaman, akurasi diagnostiknya mencapai 95%, sehingga
dapat membantu
pengambilan keputusan untuk melakukan laparatomi eksplorasi dan bahkan berperan untuk penentuan operasi Kasai. Keberhasilan aliran empedu pasca operasi Kasai ditentukan oleh diameter duktus bilier yang paten di daerah hilus hati. Bila diameter duktus 100 200 atau 150
400 u maka aliran empedu dapat terjadi. Desmet dan Ohya
menganjurkan agar
dilakukan frozen section pada saat laparatomi
eksplorasi,
menentukan
untuk
apakah
portoenterostomi
dapat
dikerjakan. Gambaran histopatologik hati yang mengarah ke atresia
11
bilier mengharuskan intervensi bedah secara dini. Yang menjadi pertanyaan adalah waktu yang paling optimal untuk melakukan biopsi hati. Harus disadari, terjadinya proliferasi duktuler (gambaran histopatologik yang menyokong diagnosis atresia bilier tetapi tidak patognomonik) memerlukan waktu. Oleh karena itu tidak dianjurkan untuk melakukan biopsi pada usia < 6 minggu. H.
Penatalaksanaan Atresia Bilier 1.
Pengobatan Dalam hal ini pengobatan tidak memberikan efek yang terlalu besar. Satu-satunya terapi yang memberikan harapan kesembuhan bagi atresia bilier adalah pembedahan. Usaha pengobatan yang umum dilakukan adalah: a.
Fenobarbital 5 mg/kg/BB (2 kali pemberian). Fenobarbital akan: merangsang enzim Glukoronil transferase (untuk mengubah bilirubin indirek menjadi direk), merangsang Enzim sitokrom P450 (untuk oksidasi toksin), dan untuk merangsang enzim Na+, K+, ATP ase ( untuk menginduksi aliran empedu).
b.
Kolesteramin 1 gr/kgBB (dibagi 6 kali pemberian). Menyerap empedu toksik, menghilangkan gatal, meningkatkan aktivitas mikrosom, dan menghambat ambilan empedu.
c. 2.
Vitamin ADEK.
Pada periode post-operasi a.
Metilprednisolon 1,6-2 mg/kgBB/hari (IV). Dapat digunakan sebagai anti-inflamasi dan stimulan non-spesifik terhadap aliran garam empedu.
b.
Asam ursodeoksikolik (UCDA) 15-30 mg/kgBB/hari. (diberikan pada pasien dengan kondisi kolestasis).
c.
Kotrimoxazole 8 mg/kg/hari.
12
Menurut Sodikin (2011), penatalaksanaan yang bisa dilakukan pada pasien atresia bilier adalah: 1.
Pre-operatif Beberapa hari sebelum operasi, penderita di injeksi vitamin K (IM) 1-2 mg/kgBB.
2.
Operatif Hepatic portoenterostomy (prosedur Kasai) merupakan terapi standar pada atresia biliaris.
3.
Perawatan pasca-operatif Nasogastric
Tube
(NGT)
tetap
dipertahankan
hingga
fungsi
gastrointestinal kembali normal, biasanya 48 jam pasca operasi. Antibiotik intravena diberikan hingga penderita dapat menerima makanan secara normal. I.
Asuhan Keperawatan Atresia Bilier 1.
Pengkajian a.
Identitas pasien Nama
b.
:
Agama
:
Tempat tanggal lahir :
Suku
:
Umur
:
Pendidikan
:
Jenis kelamin
:
Pekerjaan
:
No RM
:
Tanggal masuk :
Alamat
:
Diagnosa medis :
Riwayat kesehatan Keluhan utama
:
Riwayat kesehatan sekarang
:
Riwayat kesehatan dahulu
:
Riwayat kesehatan keluarga
:
Riwayat kesehatan lingkungan :
13
c.
d.
Pola fungsi kesehatan Pola istirahat/tidur
:
Pola nutrisi
:
Pola eliminasi
:
Pemeriksaan fisik Tanda-tanda vital Nadi Respirasi Suhu axial
2. No 1.
Kapala
:
Mata
:
Hidung
:
Mulut
:
Telinga
:
Leher
:
Thorak
:
Jantung
:
Abdomen
:
Genitalia
:
Anus
:
Ekstremitas
:
Punggung
:
Diagnosa keperawatan dan rencana keperawatan Diagnosa
Tujuan dan Kriteria
Intervensi
Keperawatan Hasil (NOC) Nutrisi kurang dari Tujuan:
(NIC) 1. Monitor jumlah nutrisi
kebutuhan tubuh b.d Nutrisi anak terpenuhi
2. Kaji pemenuhan nafsu
ketidakmampuan
Kriteria Hasil:
mengabsorpsi nutrien
1. Adanya peningkatan BB
14
makan 3. Ajarkan keluarga membuat catatan
sesuai dengan tujuan
makanan harian 4. Kolaborasi dengan ahli
2. Tidak ada tandatanda malnutrisi
gizi untuk menentukan nutrisi yang dibutuhkan
3. Tidak terjadi penurunan BB 2.
Hipertermi b.d
yang berarti Tujuan:
inflamasi akibat
Suhu tubuh dalam
suhu tubuh dan
kerusakan progresif
batas normal (36,5-37
perubaha yang
pada duktus bilier
o
menyertainya
C)
Kriteria Hasil:
2. Beri kompres hangat
1. Suhu tubuh
pada daerah dahi,
rentang normal (36,5-37oC) 2. Nadi dalam rentang normal
aksila, dan lipatan paha 3. Monitor tanda-tanda vital 4. Anjurkan keluarga
(100-160x/menit)
untuk memberikan
3. Pernafasan dalam
mium yang cukup
rentang normal (20-60x/menit) 4. Tidak ada kulit, tidak tampak Ketidakefektifan pola
lemas Tujuan:
nafas b.d distensi
Pola
abdomen
efektif
nafas
5. Anjurkan untuk menggunakan pakaian tipis dan menyerap
perubahan warna
3.
1. Kaji tingkat kenaikan
kerigat 6. Kolaborasi dalam pemberian antipiretik 1. Kaji keluhan sesak,
kembali
frekuensi
dan
irama
nafas
Kriteria Hasil:
2. Monitor pola nafas
1. Sesak berkurang
3. Bantu mengubah posisi
2. Frekuensi nafas dalam batas normal
15
yang nyaman (fowler/semifowler) 4. Kolaborasi pemberian
3. Irama nafas teratur 4.
oksigen tambahan bila diperlukan 1. Kaji masukan dan
Kekurangan volume
Tujuan:
cairan b.d kehilangan
Tidak menunjukan
keluaran, karakter dan
cairan aktif
tanda-tanda dehidrasi
jumlah feses, hitung
dan mempertahankan
intake dan output
hidrasi adekuat
2. Kaji tanda-tanda vital
Kriteria Hasil:
3. Observasi turgor kulit,
1. Turgor kulit baik
membrane mukosa,
2. Frekuensi irama
pengisian kapiler dan
nadi dalam rentang normal 3. Frekuensi dan irama nafas dalam rentang normal 4. Elektrolit serum
pantau BB setiap hari 4. Berikan dan pantau cairan intravena sesuai ketentuan 5. Kolaborasi dalam pemberian obat
dalam batas normal 5. Membrane mukosa lembab 6. Intake dan output 5.
Kerusakan integritas
cairan seimbang Tujuan:
1. Monitor warna kulit
kulit b.d gangguan
Integritas kulit tidak
2. Ganti popok jika basah
metabolisme
mengalami kerusakan Kriteria Hasil: 1. Ketebalan dan tekstur jaringan normal 2. Tidak ada perubahan warna kulit 3. Tidak ada gatal-
16
atau kotor 3. Memandikan anak dengan sabun dan air hangat 4. Ubah posisi anak setiap 2 jam 5. Oleskan baby oil pada daerah gatal
6.
Gangguan tumbuh
gatal disertai ruam Tujuan:
kembang b.d efek
Pertumbuhan dan
gangguan
ketidakmampuan fisik
perkembangan anak
perkembangan
1. Kaji faktor penyebab
meningkat
2. Kaji asupan nutrisi anak
Kriteria Hasil:
3. Pantau kecenderungan
1. Anak berfungsi optimal sesuai
kenaikan dan penurunan BB
tingkatannya
4. Kolaborasi dengan ahli
2. Status nutrisi
gizi, jumlah kalori dan
seimbang
jenis nutrisi yang
3. Status
dibutuhkan untuk
pertumbuhan
memenuhi persyaratan
sesuai dengan usia
gizi yang sesuai
anak 3.
Evaluasi keperawatan Evaluasi keperawatan adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan perbandingan sistematis dan terencana antara hasil akhir yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Evaluasi dilakukan secara berkesinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya. Evaluasi terbagi atas dua jenis, yaitu: a.
Evaluasi formatif Berfokus pada aktivitas proses keperawatan dan hasil tindakan keperawatan. Evaluasi ini dilakukan segera setelah perawat mengimplementasikan
rencana
keperawatan
guna
menilai
keefektifan tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Perumusan evaluasi ini meliputi empat komponen yang dikenal dengan istilah SOAP. b.
Evaluasi sumatif Evaluasi
yang
dilakukan
setelah
semua
aktivitas
proses
keperawatan selesai dilakukan. Bertujuan menilai dan memonitor
17
kualitas asuhan keperawatan yang telah diberikan. Metode yang dapat digunakan pada evaluasi ini adalah melakukan wawancara terkait layanan keperawatan, mengadakan pertemuan pada akhir pelayanan.
18
BAB III PENUTUP A.
Kesimpulan Atresia bilier adalah suatu penghambatan di dalam pipa/saluran-saluran yang membawa cairan empedu (bile) dari liver menuju ke kantung empedu (gallbladder). Ada beberapa faktor predisposisi yang bisa menyebabkan atresia bilier yaitu infeksi virus atau bakteri, masalah dengan sistem kekebalan tubuh, komponen yang abnormal empedu, kesalahan dalam pengembangan saluran hati dan empedu, serta Hepatocelluler dysfunction. Bayi yang menderita atresia bilier biasanya memiliki manifestasi seperti ikterus, urin gelap, feses berwarna pucat, hepatomegali, dan gangguan metabolism lemak. Atresia bilier terbagi menjadi tiga tipe, tipe I dan II merupakan jenis atresia bilier yang dapat dioperasi (correctable), sedangkan tipe III adalah bentuk yang tidak dapat dioperasi (non-correctable). Atresia bilier bisa menimbulkan beberapa komplikasi diantaranya kolangitis, hipertensi portal, hepatopulmonary syndrome dan hipertensi pulmonal, serta keganasan. Pemeriksaan yang bisa dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium, biopsy hati, dan pemeriksaan khusus atau pencitraan.
B.
Saran Bagi mahasiswa kesehatan sebaiknya memahami dan mengetahui konsep Atresia Bilier dan askepnya, guna mengaplikasikan dalam memberikan pelayanan kepada pasien.
19
DAFTAR PUSTAKA Carpenito, Lynda Juall. 2003. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC. Marethania Maheranny. (2013). Faktor-faktor yang memengaruhi angka keberhasilan Portoenterostomi Kasai. Jakarta: Ilmu Bedah, FK UI. From: url http://lib.ui.ac.id Nurarif, A. H. & kusuma, H. (2015). Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan diagnosa medis & NANDA NIC-NOC Jilid 2. Jakarta: EGC. Widodo Judarwanto. 2010. Atresia Bilier, Waspadai Bila Kuning Bayi Baru Lahir yang berkepanjangan. Jakarta: EGC.
20