Bencana Sosial [PDF]

  • Author / Uploaded
  • dytaa
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TUGAS MATA KULIAH PENATAAN PERTANAHAN BERBASIS KEBENCANAAN “ Bencana Sosial dalam bentuk Konflik Sosial ”



Oleh : KELOMPOK V 1. Enggar Prasetyo Aji



NIM. 15242882



2. Septriyadi Nugraha



NIM. 15242897



3. Mardhiyah Hayati



NIM. 15242916



4. Zulfikar Ahmad



NIM. 15242928



5. Dita Ika Setyabudi



NIM. 14232842



KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/ BADAN PERTANAHAN NASIONAL SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL PROGRAM DIPLOMA IV PERTANAHAN 2018



BAB I PENDAHULUAN



I.



Latar Belakang Bencana adalah sebuah fenomena akibat dari perubahan ekosistem yang terjadi secara tiba-tiba dalam tempo relatif singkat dalam hubungan antara manusia dengan lingkungannya yang terjadi sedemikian rupa, seperti bencana gempa bumi, banjir, gunung berapi sehingga memerlukan tindakan penanggulangan segera. Perubahan ekosistem yang terjadi dan merugikan harta benda maupun kehidupan manusia bisa juga terjadi secara lambat seperti pada bencana kekeringan. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menyatakan bencana sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Keadaan gawat darurat ini bila tidak ditangani secara cepat dan tepat dapat menyebabkan kematian dan kecacatan, oleh sebab itu diperlukan manajemen bencana. Dengan melihat manajemen bencana sebagai sebuah kepentingan masyarakat kita berharap berkurangnya korban nyawa dan kerugian harta benda. Dan yang terpenting dari manajemen bencana ini adalah adanya suatu langkah konkrit dalam mengendalikan bencana sehingga korban yang tidak kita harapan dapat terselamatkan dengan cepat dan tepat dan upaya untuk pemulihan pasca bencana dapat dilakukan dengan secepatnya. Pengendalian itu dimulai dengan membangun kesadaran kritis masyarakat dan pemerintah atas masalah bencana alam, menciptakan proses perbaikan total atas pengelolaan bencana, penegasan untuk lahirnya kebijakan lokal yang bertumpu pada kearifan lokal yang berbentuk



peraturan nagari dan peraturan daerah atas menejemen bencana. Yang tak kalah pentingnya dalam manajemen bencana ini adalah sosialisasi kehatian-hatian terutama pada daerah rawan bencana. Berdasarkan jenis dari bencana dapat dikelompokkan berdasarkan jenisnya menjadi : Geologi (gempabumi, tsunami, longsor, gerakan tanah), Hidro-metrologi (banjir, topan, banjir bandang, kekeringan), Biologi (epidemic, penyakit tanaman, hewan), Teknologi (Kecelakan transportasi, industry), Lingkungan (kebakaran, kebakaran hutan, penggundulan hutan) dan Sosial (konflik, terorisme). Dalam makalah ini yang menjadi fokus pembahasan adalah bencana sosial yang terjadi di Indonesia serta penanggulangannya. Kasus fenomena bencana sosial terakhir adalah konflik sosial. Tak dapat dipungkiri, kemajemukan bangsa yang memiliki ragam etnis dengan bahasa dan budaya yang berbeda-beda pula menjadi pemicu utama ketegangan-ketegangan sosial. Bila tak dapat diredam dan dikelola dengan semangat kebhinekaan, maka bencana sosial berwujud konflik pun tak dapat dielak. Perbedaan kepercayaan, perbedaan tingkat kesejahteraan, bahkan hingga perbedaan warna kulit dan ras yang mencolok pun akan dimanfaatkan oleh pihak-oihak provokator sebagai api ganas konflik dan kerusuhan. Belakangan, perbedaan nilai politik dan warna partai dalam nuansa demokrasi negeri ini pun mampu menjadi penyulut ekstrim kekacauan bangsa. II.



Rumusan Masalah a. Apa itu bencana sosial serta apa faktor penyebabnya? b. Apa itu Konflik sosial serta bagaimana penanganan konflik sosial yang pernah terjadi di Indonesia? c. Bagaimana peran masyarakat dalam upaya mitigasi bencana sosial dalam bentuk Konflik Sosial?



BAB II PEMBAHASAN



I.



Pengertian Bencana Sosial Bencana sosial merupakan bencana yang disebabkan oleh ulah manusia (man made disasters) antara lain karena jurang perbedaan ekonomi, perbedaan paham politik di antara masyarakat , diskriminasi, ketidakadilan, kelalaian, ketidaktahuan, maupun sempitnya wawasan dari sekelompok masyarakat. Guna menghindari kerugian yang lebih besar dan mencegah agar masalah yang sama tidak terjadi lagi, maka penanganan terhadap korban bencana sosial perlu mendapat perhatian khusus dan menyeluruh. Penanganan bencana sosial perlu dilakukan secara profesional sistemik dan berkelanjutan dengan sebanyak mungkin melibatkan partisipasi masyarakat. Proses tersebut mencakup berbagai kegiatan pada tataran hulu berupa pencegahan dan kesiapsiagaan untuk menghindari dan memperkecil kemungkinan terjadinya masalah, serta berbagai kegiatan pada tataran hilir berupa rehabilitasi dan rekonstruksi sosial bagi dampak-dampak yang ditimbulkannya. Berbagai konflik dan kerusuhan sosial beberapa tahun terakhir masih sering terjadi , khususnya konflik sosial horizontal antar penduduk , kokflik antar kelompok Gank. Hal ini merupakan ancaman serius bagi keutuhan daerah , disamping itu yang termasuk dalam ruang lingkup bencana sosial adalah kebakaran rumah, orang terlantar, orang terdampar akibat kecelakaan perahu. Dampak nyata dari persoalan ini adalah terjadinya kerugian yang besar mulai dari harta benda, nyawa manusia, serta kerusakan tatanan dan pranata sosial. Istilah bencana sosial sering dipadankan dengan istilah konflik sosial; yang membedakannya adalah eskalasinya, baik menyangkut peristiwanya maupun dampaknya. Bahkan kalau dirunut ke belakang, bencana sosial termasuk



dalam kajian prasangka (Goodin & Klingamann, 1998). Berikut ini uraian tentang prasangka dan konflik.



II.



Faktor Penyebab Bencana Sosial 1. Prasangka. Pelopor teori prasangka, G. Allport menyebutkan, bahwa prasangka adalah antipati berdasarkan generalisasi yang salah atau generalisasi yang tidak luwes, yang dapat dinyatakan dan dirasakan. Antipati bisa muncul pada seseorang secara individual atau pada kelompok. Dalam kehidupan seharihari kita mungkin mendengar ucapan “ Saya tahu, kalau Bapak X yang orang (Batak, Jawa, Sunda, Banjar, Bugis, Madura, dsb) itu kelakuannya begini begitu”. ini adalah ungkapan individual yang belum tentu kebenarannya. Atau “ Orang Madura kalau berselisih dengan orang Banjar, jadilah......; tapi kalau orang Banjar berselisih dengan orang Jawa biasanya bisa diatur”. Ini adalah ungkapan kelompok (etnis), yang belum tentu juga kebenarannya. Tetapi kata kunci dari prasangka dalam teori G. Allport adalah “antipati”



Sementara Adorno menyatakan bahwa prasangka adalah merupakan salah satu tipe kepribadian. Oleh karena itu, kita tidak dapat menyalahkan suatu tindakan kekerasan yang mengakibatkan timbulnya kerusakan, apalagi kerusakannya hanya sebatas wilayah di mana kekerasan itu terjadi (rasisme misalnya). Menurut Adorno, tidak ada prasangka sosial yang dinilai sama oleh orang yang berbeda. Kesimpulannya, prasangka sangat tergantung dari cara orang memandang prasangka tersebut.



Kedua tokoh prasangka tersebut sama-sama menyetujui, bahwa prasangka mengandung sikap, pikiran keyakinan dan kepercayaan. Dengan demikian, prasangka bukanlah tindakan. Prasangka menjadi tindakan manakala ada diskriminasi yang mengarah ke tindakan sistematis, yaitu tindakan menyingkirkan status dan peran sekelompok orang dari hubungan (relasi),



pergaulan serta komunkasi antar manusia. Misalnya dengan cara mengurangi peran dan fungsi, memisahkan tempat tinggal, mengadakan pemindahan (pengusiran, penelantaran, migrasi, emigrasi, imigrasi, resetlement, dan sebagainya), membuat huru-hara, teror, profokasi, dan sebagainya.



Prasangka muncul disebabkan oleh berbagai faktor. Jhonson (1986) menengarai, bahwa prasangka itu disebabkan karena : (1) adanya perbedaan persepsi antara dua kelompok, (2) nilai budaya kelompok mayoritas menguasai kelompok minoritas, (3) stereotipe antar etnik, dan (4) adanya kelompok etnik yang merasa paling super dan menjadikan kelompok etnis lain menjadi inferior (Misal Jawa: Jogja, Solo, Semarangan, Pantura, Banjar; atau Dayak Hulu, Dayak Hilir, Dayak Iban; atau Banjar Hulu Sungai Utara, Banjar Hulu Sungai Tengah, Banjar Hulu Sungai Selatan, dan seterusnya ). Zastrow (1989) mengemukakan bahwa prasangka bersumber dari: (1) adanya upaya mempertahankan ciri kelompok secara berlebihan, (2) frustasu, agresi, kekecewaan yang mengarah pada sikap menentang, (3) ketidak samaan dan kerendah dirian, (4) kesewenang-wenangan, (5) alasan historis, (6) persaingan yang tidak sehat yang mengarah kepada eksplotasi, (7) cara-cara sosialisasi yang berlebihan, dan (8) cara mamandang kelompok lain dengan sinis.



2. Konflik. Konflik tidak dipahami sebatas adanya pertentangan fisik atau nonfisik yang dapat dilihat secara kasat mata. Secara teoritik, konflik memiliki berbagai pengertian dan makna, yaitu antara lain : a. Konflik bisa dipandang sebagai suatu bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan oleh individu atau kelompok karena mereka yang terlibat memiliki perbedaan nilai, sikap, kepercayaan dan kebutuhan b. Hubungan pertentangan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran tertentu namun diliputi pemikiran, perasaan, atau perbuatan yang tidak sejalan



c. Bentuk pertentangan yang bersifat fungsional untuk mencapai tujuan (individu atau kelompok) dengan cara menghilangkan fungsi (disfungsional) fihak yang satu terhadap fihak lainnya d. Dari segi lintas-budaya (multi-kultural), konflik bisa dipandang sebagai suatu bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan oleh individu atau sekelompok individu yang berbeda (etnik, suku, ras, agama, golongan), karena di antara mereka memilki perbedaan dalam nilai, sikap, kepercayaan dan kebutuhan. Atas dasar berbagai teori konflik, baik secara individual, kelompok ataupun lintas-budaya kiranya dapat ditarik beberapa unsur yang terkandung dalam konflik lintas budaya, yaitu (Stuart & Sundee. 1995): a. Ada dua etnis atau lebih yang terlibat, sehingga ada interaksi dan relasi antar personal dan antar kelompok diantara mereka b. Ada tujuan yang menjadi sasaran konflik. Tujuan inilah yang biasanya menjadi sumber konflik c. Ada perbedaan nilai, kepercayaan, pikiran dan tindakan pada masingmasing kultur dalam mencapai tujuan d. Ada kondisi yang bertentangan pada fihak-fihak yang terlibat konflik



Konflik bernuansa lintas-budaya muncul apabila terdapat kondisi-kondisi sebagai berikut (Dahrendorf. 1997): a. Ada sejumlah individu atau kelompok yang merasa diperlakukan tidak adil dalam suasana kebersamaan b. Pembagian peran, fungsi dan posisi yang kurang proporsional antar anggota kelompok atau antar kelompok c. Kelangkaan sumber daya yang menjadi kebutuhan, sehingga antar kelompok saling menutup diri terhadap kelompok lain d. Perbedaan sejarah terbentuknya budaya (nilai, keyakinan, sikap dan tindakan) dalam pemenuhan hajat hidup



e. Mampatnya batas-batas perbedaan budaya dalam satu wilayah, dalam mana terjadi persaingan yang tidak wajar/sehat untuk mencapai tujuan masing-masing f. Produktifitas yang sangat tidak seimbang dengan kebutuhan masingmasing kelompok (Suku, agama, ras, etnis, dsb) g. Konflik latent yang belum terpecahkan. Kondisi-kondisi tersebut masih dibarengi oleh emosi dan tindakan agresif. Bila kondisi tersebut masih dalam suasan emosional, mungkin masih bisa dikendalikan. Akan tetapi kalau kondisi tersebut sudah dibarengi dengan tindakan emosional apalagi tindakan agresif, maka penanganannya akan sulit sekali. Dalam eskalasi yang besar, konflik akan berubah menjadi bencana; konflik sosial dalam skala besar akan berubah menjadi bencana sosial. Konflik sosial yang bernuansa multi-kultural dalam skala yang besar akan berubah menjadi bencana sosial bernuansa multi-kultural. Misalnya, konflik antar pendukung kesebelasan sepakbola, akan menjadi bencana apabila ruang lingkupnya meluas menembus batas-batas suatu wilayah. Masih ingat kasus “Bonek”



dari



Surabaya



dan



Makasar



yang



mengamuk



gara-gara



kesebelasannya gagal dalam kompetisi. Atau demo buruh suatu BUMN berubah menjadi demo buruh secara nasional. Dari kondisi-kondisi yang memicu timbulnya konflik dan faktor-faktor pendorongnya sebagaimana diuraikan di atas, proses pemunculan konflik bernuansa lintas-budaya umumnya mengikuti tahapan seperti berikut (Allo, L. 2005): Tahap I: Munculnya variabel-variabel antesedent (variabel pendahulu) yaitu variebel yang mendahului konflik, yang meliputi: (1) buruknya komunikasi, (2) tidak efetifnya interaksi struktural baik dalam sistem ataupun di luar sistem kelompok, dan (3) banyaknya ragam individu atau kelompok yang terlibat konflik. Tahap II: Munculnya suasana kognitif dan personal, yaitu setiap individu dalam kelompok mulai memahami dan memilki pengetahuan mengenai konflik yang akan terjadi dengan segala akibatnya, serta personal (orang-



orang) yang akan terlibat konflik. Pada tahap ini, konflik bisa bersifat “berterima” artinya munculnya konflik nyata diterima sebagai akibat logis adanya beda budaya (nilai, keyakinan, sikap dan tindakan), dan bersifat “rasa” yaitu bahwa suasana batin seluruh pihak dan anggotanya merasakan suasana konflik. Tahap III: Proses Pemilahan (Deskripsi). Pada tahap ini fihak-fihak yang terlibat konflik mulai melakukan deskripsi terhadap berbagai fihak yang terlibat konflik. Kelompok mana yang mementingkan diri sendiri, kelompok mana yang berbagi masalah dengan kelompok lain, kelompok mana yang menyendiri, kelompok mana yang berkolaborasi dan saling mengakomodasi, dan sebagainya. Tahap IV. Memasuki konflik. Pada tahap ini fihak-fihak yang telibat konflik mulai melakukan tindakan-tindakan konflik, yang diawali dengan perwujudan-perwujudan emosi, misalnya saling mencemooh, mengejek, mengumpat, mengancam, mengultimatum sampai kepada menyerang, dan menghancurkan. Mungkin mulainya dari tindakan emosional antar individu antar kelompok, bersejajar kekuatan, saling menjegal, terus membesar sampai menjadi konflik sosial, bahkan mungkin sampai menjadi bencana sosial berskala nasional. Tahap V. Periode fungsional dan disfungsional. Pada tahap ini, fihakfihak yang terlibat konflik mulai melakukan resolusi dan menstimuli konflik, yaitu mencari jalan untuk memecahkan konflik. Konflik akan berubah sifatnya dari konflik agresif menjadi konflik fungsional atau atau konflik disfungsional. Konflik fungsional adalah konflik yang menghasilkan: (1) upaya memperbaharui keputusan, (2) inovasi dan kretivitas baru, (3) meningkatkan kesadaran, perhatian, pemahaman, penerimaan, rasa ingin tahu, keinginan untuk evaluasi dir (self assesment). Atau sebaliknya konflik menjadi berkepanjangan karena munculnya: (1) hambatan komunikasi, (2) berkurangnya derajat kohesi, (3) mengganti tujuan dengan permusuhan, (4) berkurangnya fungsi dan peran, dan (5) semakin banyaknya ancaman.



Sebagaimana diuraikan dalam pengertian bahwa bencana sosial adalah persitiwa atau rangkaian persitiwa konflik sosial antar kelompok atau komunitas masyarakat yang mengakibatkan korban, penderitaan atau kerusakan baik jiwa, harta benda, maupun pranata sosial. Karakteristik bencana social ditandai oleh (a) adanya keriguan/kerusakan pola kehidupan normal yang cukup parah, (b) timbulnya penderitaan pada manusia baik kematian, luka-luka, cacat dan kesengsaraan, serta trauma psikologis pada masyarakat, dan (c) timbulnya kerusakan pada tatanan pemerintahan, bangunan dan berbagai sarana pelayanan umum lainnya.



Atas dasar pengertian tersebut dapatlah dipahamai bahwa bahwa bencana sosial (social disaster) adalah konflik sosial dan lebih khusus lagi konflik sosial yang disfungsional dalam eskalasi (cakupan) yang lebih luas. Secara politis, bencana individual bahkan dapat dipakai sebagai simbol bencana sosial, bencana nasional, bahkan bencana global. Kasus Sum Kuning, Kasus Marsinah, Kasus Udin (Wartawan Bernas Jogja), Mahatma Gandhi, Geuverez, dan sebagainya. Dengan demikian, memahami konflik, konflik sosial, konflik sosial bernuansan multi-kultural, adalah sekaligyus sebagai memahami bencana sosial.



III.



Konflik Sosial dan Penanganannya. a. Konflik Sosial Konflik sosial pada dasarnya adalah suatu bentuk interaksi yang ditandai oleh keadaan saling mengancam, menghancurkan, melukai, dan melenyapkan di antara pihak-pihak yang terlibat. Pengertian Konflik Sosial Menurut Wexley &Yukl: Konflik juga merupakan perselisihan atau perjuangan di antara dua pihak (two parties)yang ditandai dengan menunjukkan permusuhan secara terbuka dan atau mengganggu dengan sengaja pencapaian tujuan pihak yang menjadi lawannya.



Pengertian Konflik Sosial Menurut Clinton: Konflik adalah relasirelasi psikologis yang antagonis, berkaitan dengan tujuan-tujuan yang tak bisa dipertemukan, sikap-sikap emosional yang bermusuhan, dan strukturstruktur nilai yang berbeda. Konflik juga merupakan suatu interaksi yang antagonis mencakup tingkah laku lahiriah yang tampak jelas mulai dari bentuk perlawanan halus, terkontrol, tersembunyi, tak langsung, sampai pada bentuk perlawanan terbuka. Konflik dalam kenyataannya seringkali terjadi akibat dari menguatnya ketidakpuasan dan ketidaksetujuan atau kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih secara terus menerus. Adanya kelompok-kelompok di dalam masyarakat selain dapat menciptakan hubungan yang saling melengkapi akan tetapi dapat pula melahirkan konflik.



Data Konflik Sosial Tahun 2009-2012 Litbang Kompas.



Di Indonesia sendiri, telah terjadi ratusan kasus konflik sosial sejak sebelum kemerdekaan hingga saat ini. Namun publik, tidak akan pernah melupakan konflik-konflik sosial yang telah terekspose oleh media kala itu. Berikut uraian secara singkat konflik-konflik sosial dalam 20 tahun ini yang pernah terjadi di Indonesia dan masih lekat di ingatan kita semua karena besarnya pengaruh konflik tersebut dalam kehidupan sosial di Indonesia. 1. Konflik Sosial berupa pelanggaran Hak Asasi Manusia ( HAM) yang berat  Pelanggaran HAM Berat sebelum Reformasi Tragedi 1965; Penembakan Misterius (1982-1985); Peristiwa Talangsari di Lampung (1989)  Peristiwa Sabtu Kelabu 27 Juli 1996 menjadi momentum yang diingat masyarakat. Aksi penyerangan terhadap kantor Partai Demokrasi Indonesia yang dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri saat itu menimbulkan korban jiwa akibat intervensi kekuasaan yang mengakibatkan dualisme partai politik. Hasil penyidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebutkan, kerusuhan tersebut mengakibatkan lima orang tewas, 149 orang luka, dan 23 orang hilang. Kerugian materiil diperkirakan mencapai Rp 100 miliar  Penghilangan paksa 1997-1998. Rezim Orde Baru kemudian menuding Partai Rakyat Demokratik (PRD) sebagai dalang Peristiwa 27 Juli 1996. Setelah itu, terjadilah kasus penghilangan orang secara paksa periode 1997-1998. Berdasarkan laporan penyelidikan Tim Ad Hoc Komnas HAM, setidaknya 23 aktivis pro demokrasi menjadi korban. Hingga sekarang, sembilan orang dikembalikan, satu orang meninggal dunia, dan 13 orang masih hilang.



 Tragedi Mei 1998 Pelanggaran HAM kembali terjadi saat aparat keamanan bersikap represif dalam menangani demonstrasi mahasiswa di depan kampus Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998. Empat mahasiswa Universitas Trisakti meninggal dan ratusan mahasiswa lain terluka akibat tembakan dengan menggunakan peluru tajam. Sehari setelahnya, muncul tragedi lain, yaitu Kerusuhan 13–15 Mei 1998. Dalam peristiwa ini terjadi pembunuhan, penganiayaan, perusakan, pembakaran, penjarahan, penghilangan paksa, perkosaan, serta penyerangan terhadap etnis Tionghoa.  Tragedi Semanggi I dan II Tragedi Semanggi I terjadi pada 13 November 1998. Saat itu mahasiswa berdemonstrasi menolak Sidang Istimewa MPR yang dinilai inkonstitusional, menuntut dihapusnya dwifungsi ABRI, dan meminta Presiden segera mengatasi krisis ekonomi. Mahasiswa yang melakukan demonstrasi di sekitar kampus Universitas Atma Jaya, Semanggi, Jakarta, dihalangi aparat bersenjata lengkap dan kendaraan lapis baja. Ketika mahasiswa mencoba bertahan, tibatiba terjadi penembakan oleh aparat. Setidaknya lima orang mahasiswa menjadi korban. Mereka adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma Jaya BR Norma Irmawan, mahasiswa Universitas Negeri Jakarta Engkus Kusnadi, dan mahasiswa Universitas Terbuka Heru Sudibyo. Kemudian, mahasiswa universitas Yayasan Administrasi Indonesia (YAI) Sigit Prasetyo dan mahasiswa Institut Teknologi Indonesia (ITI) Teddy Wardani Kusuma. Peristiwa ini juga melukai sebanyak 253 orang lainnya. Tragedi Semanggi II terjadi pada 24 September 1999, saat mahasiswa menolak rencana pemberlakuan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya. Aturan yang sedianya akan menggantikan UU Subversi tersebut dianggap terlalu otoriter. Lagi-lagi, aksi penolakan yang dilakukan oleh mahasiswa kembali menelan



korban. Tercatat 11 orang meninggal dunia akibat penembakan yang dilakukan oleh aparat keamanan. Salah satu korbannya adalah Yap Yun Hap, mahasiswa Universitas Indonesia. Yap Yun Hap tertembak tepat di depan kampus Atma Jaya Jakarta. 2. Konflik sosial karena SARA  Konflik Ambon, Maluku Tahun 1999 Konflik Maluku bermula dari peristiwa kerusuhan yang terjadi pada Selasa, 19 Januari 1999. Kerusuhan berawal dari bentrokan antarwarga yang dipicu kesalahpahaman di Batumerah, Ambon. Bentrokan kemudian membesar menjadi kerusuhan antardesa yang penduduk mayoritasnya berbeda agama. Berdasarkan catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) pada 18 Februari 1999, kerusuhan juga terjadi di berbagai tempat di Maluku dalam waktu yang hampir bersamaan, dipicu sejumlah isu yang provokatif. Kontras menyimpulkan peristiwa kerusuhan di Ambon adalah hasil proses akumulasi konflik antarkelompok yang pada mulanya bersifat lokal. Namun, karena keterlibatan peran-peran tertentu dari sejumlah provokator, konflik berubah menjadi kerusuhan dengan skala dan kerusakan yang luas.Pada 6 Februari 2001, Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Mediasi (KPMM) di Maluku mencatat, sejak Januari 1999 hingga Oktober 2000 sedikitnya telah jatuh korban 3.080 orang tewas, 4.024 luka-luka, dan 281.365 orang lainnya mengungsi.  Konflik Poso Pada 2000-2001 Konflik yang terjadi antara kelompok Muslim dengan kelompok Kristen ini terjadi dalam beberapa fase sepanjang akhir 1998 hingga 2001. Secara umum Human Right Watch mencatat, konflik menjadi besar akibat ketidakmampuan otoritas hukum dan keamanan dalam mengatasi konflik-konflik kecil. Selain itu, faktor politik dan kondisi ekonomi ikut memperparah situasi. Sejumlah



rekonsiliasi pun dilakukan untuk meredakan konflik. Upaya itu kemudian menemui hasil dengan ditandatanganinya Deklarasi Malino pada 20 Desember 2001. Selain rekonsiliasi, Deklarasi Malino



juga



menyepakati



rehabilitasi



sosial,



pemulangan



pengungsi, serta sejumlah program yang mendukung normalisasi kehidupan warga Poso. Belum diketahui secara pasti jumlah korban akibat Konflik Poso. Namun, dikutip dari dokumentasi Kompas, pasca-Deklarasi Malino pemerintah menyiapkan anggaran Rp 100 miliar sebagai santunan atas korban tewas yang diprediksi mencapai 1.000 orang.  Konflik Sampit Konflik antar-etnis di Sampit, Kalimantan Tengah, bermula dari bentrokan yang terjadi pada 18 Februari 2001, antara warga suku Dayak dan suku Madura sebagai pendatang. Peristiwa kemudian meluas ke seluruh provinsi ini, termasuk di ibu kotanya, Palangkaraya. Diduga, konflik antar-etnis tersebut dipicu oleh persaingan di bidang ekonomi. Komnas HAM membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Sampit. Namun, KPP HAM itu menyatakan tak ada pelanggaran HAM berat dalam kasus Sampit. Namun, pernyataan tersebut kemudian dibantah Kontras yang saat itu masih dipimpin aktivis HAM Munir. Menurut Kontras, tak sulit mencari bukti adanya pelanggaran HAM dalam konflik ini. Misalnya, pengungsian paksa yang dilakukan pemerintah. Selain itu, pemerintah juga dianggap melakukan pembiaran. Padahal, pemerintah telah mendapat peringatan dari Yayasan Al Miftah bahwa konflik berpotensi menimbulkan banyak korban jiwa. Antropolog Belanda Gerry van Klinken memprediksi korban tewas mencapai 500 orang hingga lebih dari 1.000 orang. Selain itu, konflik juga menyebabkan lebih dari 25.000 orang meninggalkan rumahnya untuk mengungsi.



3. Konflik Sosial dalam bidang Keagamaan  Kekerasan Terhadap Ahamdiyah Pelanggaran atas hak beragama dan berkeyakinan paling parah dialami jemaah Ahmadiyah. Komnas HAM mencatat setidaknya telah terjadi pelanggaran hak asasi jemaah Ahmadiyah di 12 daerah. Sebagian besar pelanggaran tersebut dilegitimasi oleh peraturan daerah, seperti Peraturan Gubernur Nomor 12 Tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Jawa Barat dan Peraturan Wali Kota Banjar Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penanganan JAI di Kota Banjar. Jemaah Ahmadiyah Indonesia menyatakan, dalam kurun 2016-2017 terdapat 11 kasus penutupan masjid Ahmadiyah. Sebagian besar penutupan masjid justru diinisiasi oleh pemda. Selain penutupan rumah ibadah, pelanggaran atas hak sipil juga dialami oleh 116 jemaah Ahmadiyah yang berada di Permukiman Wisma Transito di Kelurahan Majeluk, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Kasus terakhir adalah perusakan terhadap rumah dan properti milik jemaah Ahmadiyah di Lombok Timur pada Mei 2018.  Kasus Mushala Asy-Syafiiyah di Denpasar Pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan beribadah juga dialami oleh umat Muslim di Denpasar, Bali, pada Mei 2008. Sebagian kelompok masyarakat melarang pembangunan mushala Asy-Syafiiyah di Kota Denpasar. Ketua pengurus mushala, Haji Eko mengatakan, respons sulit didapat dari pemerintah daerah terkait pengusiran dan penyegelan mushala Asy-Syafiiyah.  Pengusiran ribuan anggota kelompok GAFATAR Pada awal Januari 2016 ribuan warga anggota kelompok Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) diusir dari Mempawah, Kalimantan Barat. Mereka mengalami kekerasan dan diskriminasi saat pengusiran. Perlakuan diskriminatif juga terjadi saat mereka kembali ke daerah asal. Setelah dikembalikan ke daerah asalnya



masing-masing, para warga eks Gafatar mengalami perlakuan tidak adil dari pemerintah. Beberapa warga mengaku mengalami pengusiran, pencabutan KTP, dan pencantuman data pernah terlibat dalam kegiatan kriminal dalam Surat Keterangan Catatan Kepolisian



(SKCK).



Peristiwa



kekerasan



dan



perlakuan



diskriminatif yang menimpa anggota kelompok Gafatar tak lepas dari



hasil



keputusan



bersama



Kejaksaan



Agung



dengan



Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri. Hasil keputusan bersama tersebut menyatakan bahwa Gafatar merupakan kelompok yang memiliki ajaran agama yang menyimpang dari ajaran pokoknya.  Kasus Pembangunan Gereja di Aceh Singkil Pada 22 April 2016, Forum Cinta Damai Aceh Singkil (Forcidas) menyampaikan pengaduan terkait adanya diskriminasi dalam mendirikan gereja. Ketua Forcidas Boas Tumangger mengatakan bahwa pemerintah kabupaten tidak bisa mengakomodasi hak-hak yang seharusnya diterima oleh kelompok umat Nasrani, terkait pemberian izin pembangunan rumah ibadah. Boas menuturkan, sebelum maupun sesudah peristiwa pembakaran gereja HKI pada 13 Oktober 2015, izin pembangunan gereja dipersulit. Padahal, seluruh persyaratan yang tercantum dalam Peraturan Gubernur Tahun 2007 tentang Izin Pendirian Rumah Ibadah telah dipenuhi. Selain soal perizinan tempat ibadah, Boas juga mengadu mengenai pendidikan di Aceh Singkil yang belum bebas dari praktik diskriminasi. Menurut dia, sudah berpuluh-puluh tahun semua Sekolah Dasar Negeri di Kabupaten Aceh Singkil tidak memiliki guru agama Nasrani. Padahal, pelajaran agama menjadi satu syarat bagi kelulusan siswa.  Kasus Kekerasan Warga Syiah di Sampang,Madura. Peristiwa ini terjadi pada Agustus 2012. Satu orang tewas, empat orang lainnya kritis, dan puluhan rumah terbakar akibat



penyerangan terhadap warga Syiah di Sampang, Madura, Jawa Timur.



Komunitas Syiah yang mengungsi di GOR Kabupaten



Sampang juga mengalami tekanan dalam bentuk lain, yakni berupa tekanan untuk pindah keyakinan dan meninggalkan Syiah. Hasil laporan Kontras Surabaya menyebutkan, sembilan kepala keluarga didesak untuk membuat surat pernyataan keluar dari Syiah. Dalam surat pernyataan itu tertera, diketahui dan disaksikan oleh sejumlah pejabat dan tokoh agama setempat, seperti Polres Sampang, Kemenag Sampang, Bakesbang Pol, Sat Brimob Polda Jatim, dan camat setempat.  Kasus HKBP Filadelfia Bekasi Selama hampir 16 tahun umat Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia Bekasi belum bisa beribadah dengan tenang. Padahal, Izin Mendirikan Bangunan (IMB) gereja sudah mereka kantongi. Perwakilan majelis gereja, Pasauran Siahaan, menilai, pemerintah daerah tidak memiliki niat baik untuk menyelesaikan polemik yang dialami jemaat Filadelfia. Pasalnya, pemda terkesan melakukan pembiaran terhadap sekelompok masyarakat dari luar wilayah Bekasi yang menolak pembangunan gereja.  Kasus Gereja Yasmin di Bogor GKI Yasmin disegel oleh Satpol PP Kota Bogor pada 10 April 2010 sebagai pelaksanaan perintah wali kota. Semenjak saat itu, umat beribadah di halaman gereja dan di jalan. Karena selalu mendapat intimidasi, umat mengalihkan tempat ibadah di rumah jemaat.



Sebenarnya,



PTUN



Bandung



dan



PTUN



Jakarta



memenangkan GKI Yasmin dalam sengketa IMB yang berbuntut penyegelan



tersebut.



MA



melalui



keputusan



Nomor



127



PK/TUN/2009 tertanggal 9 Desember 2010 juga telah menolak permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Pemkot Bogor. Namun, saat itu, Wali Kota Bogor justru menerbitkan Surat



Keputusan Nomor 645.45-137 Tahun 2011 tentang Pencabutan IMB GKI Yasmin, tertanggal 11 Maret 2011. Alasan Wali Kota Bogor tidak mau mematuhi putusan MA tersebut karena adanya pemalsuan tanda tangan oleh Munir Karta yang kala itu menjabat sebagai ketua RT. Ombudsman RI kemudian mengeluarkan rekomendasi dengan nomor 0011/REK/0259.2010/BS-15/VII/2011 pada 8 Juli 2011 mengenai pencabutan keputusan Wali Kota Bogor tentang IMB GKI Yasmin, tetapi tetap tidak ada tindakan dari Pemerintah Kota Bogor.  Kerusuhan Tolikara Kerusuhan di Tolikara, Papua, terjadi pada 17 Juli 2015. Peristiwa tersebut terjadi ketika massa Gereja Injili di Indonesia (GIDI) berusaha membubarkan jemaah Muslim yang tengah menjalankan shalat Idul Fitri. Menurut imam Mushala Baitul Muttaqiem di Karubaga, Ali Mukhtar, konflik disebabkan miskomunikasi. Dia mengaku, pihaknya tak menerima surat edaran dari GIDI yang telah direvisi, yang meminta pelaksanaan shalat agar dilakukan di mushala tanpa menggunakan pengeras suara. Oleh karena itu, ia tetap menggelar shalat Id di halaman masjid. Imbauan itu dikeluarkan pengurus GIDI karena mereka menggelar kegiatan kepemudaan tingkat nasional di lokasi yang berjarak sekitar 200 meter dari lokasi shalat id. 4. Konflik Sosial yang tak pernah usai di Papua.  Pelanggaran HAM Berat di Papua Pada periode 1998 hingga 2016, tercatat lima kasus pelanggaran berat HAM terjadi di Papua. Lima kasus itu adalah kasus Biak Numfor pada Juli 1998, peristiwa Wasior pada 2001, peristiwa Wamena pada 2003, peristiwa Paniai pada 2014, dan kasus Mapenduma pada Desember 2016 dan yang masih baru adalah peristiwa penembakan di distrik Yigi, Nduga, Papua Barat pada Sabtu tanggal 1 desember 2018 lalu. Secara, kasus pelanggaran



HAM itu terkait cara aparat keamanan dalam menangani aksi demonstrasi masyarakat Papua. Isu disintegrasi yang membayangi Papua memperparah keadaan. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum,



dan



Keamanan



Wiranto



mengatakan,



pemerintah



memprioritaskan penyelesaian lima kasus pelanggaran berat HAM tersebut. Pemerintah pun membentuk Tim Penanganan Dugaan Pelanggaran



HAM



di



Papua



dan



Papua



Barat



dengan



diterbitkannya Surat Keputusan Menkopolhukam RI Nomor 40 Tahun 2016. Wiranto menjelaskan, penanganan kasus Wasior dan Wamena saat ini berada dalam koordinasi Komnas HAM bersama Kejaksaan Agung. Jaksa Agung telah mengembalikan berkas penyelidikan kepada Komnas HAM selaku penyelidik agar mereka melengkapi berkas penyelidikan yang belum lengkap terkait pelaku, korban baik dari sipil maupun kelompok separatis bersenjata, visum et repertum korban, dukungan ahli forensik, dan dokumen Surat Perintah Operasi.  Kasus Pembunuhan Theys Pada 10 November 2001, Theys Hiyo Eluay dan sopirnya, Aristoteles Masoka, dikabarkan hilang dan diculik oleh orang tak dikenal. Theys merupakan Ketua Presidium Dewan Papua Sehari kemudian, Theys ditemukan tewas di dalam mobilnya di Skouw, tak jauh dari perbatasan RI-Papua Niugini. Adapun Aristoteles Masoka sampai sekarang belum ditemukan. Kematian Theys merupakan kasus yang diduga sarat dengan motif politik dan kepentingan. Berdasarkan catatan Kontras, ada beberapa hal yang berkaitan erat dengan peristiwa pembunuhan tersebut. Pertama, dokumen Departemen Dalam Negeri (Juni 2000) tentang rencana operasi pengondisian wilayah dan pengembangan jaringan komunikasi dalam menyikapi arah politik Papua untuk merdeka. Kedua, fakta di lapangan menunjukkan ada peningkatan kekerasan sampai kematian Theys, dan kekerasan menurun drastis setelah



pembunuhan tersebut. Terkait kasus ini, tujuh anggota TNI dihadapkan



ke



pengadilan



militer.



Tujuh



terdakwa



yang



disidangkan di Mahkamah Militer Tinggi III Surabaya, Rabu 5 Maret 2003. Ketujuh terdakwa itu adalah Letkol (Inf) Hartomo, Mayor (Inf) Donni Hutabarat, Kapten (Inf) Rionardo, Lettu (Inf) Agus Suprianto, Sertu Asrial, Sertu Laurensius LI, dan Praka Achmad Zulfahmi. Oditur Militer menuntut mereka hukuman 2-3 tahun penjara. Dalam sidang, Oditur Militer menyatakan para terdakwa terbukti bersalah. Namun, elemen masyarakat sipil yang tergabung dalam Solidaritas Nasional untuk Papua (SNUP) menilai proses pengadilan yang berlangsung merupakan upaya memutus rantai komando saja, bertentangan dengan prinsip imparsial, dan hanya digunakan untuk mengukuhkan impunitas aparat militer yang terlibat. Pada 2014, Komnas HAM mulai membuka kembali masalah pembunuhan Theys dan hilangnya Aristoteles Masoka. Komnas HAM mempelajari salinan berkas dari Pengadilan Mahkamah Militer terkait kasus 13 tahun sebelumnya itu. Dari salinan berkas terungkap, para pelaku pembunuh Theys mengakui bahwa mereka sedang melaksanakan tugas negara. Hal lain yang didapatkan dari berkas tersebut, Theys disiksa terlebih dahulu sebelum dieksekusi.



b. Penanganan Konflik Sosial di Indonesia  Dasar Hukum : 1. UU. No. 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial diatur di dalam bab tersendiri yakni Bab VII . Menurut UU Nomor 7 Tahun 2012, penanganan konflik adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalam situasi dan peristiwa baik sebelum, pada saat, maupun sesudah terjadi Konflik yang mencakup pencegahan konflik, penghentian konflik, dan pemulihan pascakonflik.



2. PP. No. 2 Tahun 2015 Tentang Peraturan Pelaksana UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial diatur di dalam bab tersendiri yakni Bab VI. Pasal 63 PP. No. 2 Tahun 2015 menjabarkankan bahwa penanganan konflik meliputi : Pencegahan Konflik, Penghentian Konflik dan Pemulihan Pascakonflik IV.



Peran Masyarakat dalam upaya Mitigasi Bencana atau Penanggulangan Bencana Sosial dalam bentuk Konflik Sosial. a. Peran Masyarakat dalam upaya Mitigasi Bencana Sosial dalam bentuk Konflik Sosial Peran serta masyarakat dalam pencegahan Konflik dilakukan untuk penguatan pemahaman Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika 



Peran serta masyarakat dalam pencegahan Konflik meliputi: Pembiayaan; Bantuan teknis; dan/atau Bantuan tenaga dan pikiran



 Peran serta masyarakat dapat dilaksanakan oleh: a. tokoh agama; b. tokoh adat; c. tokoh masyarakat; d. pranata adat; dan/atau e. pranata sosial.  Peran serta masyarakat dalam bentuk penyediaan kebutuhan dasar dapat berupa: a. pangan; b. sandang; c. pelayanan kesehatan; d. pelayanan pendidikan; dan e. pelayanan psikososial.  Peran serta masyarakat dalam bentuk bantuan tenaga dan pikiran dapat berupa:



a. pemberian bantuan perbaikan sarana dan prasarana; b. penyediaan relawan di pos pengungsian; c. pendirian pos pengungsian; dan d. penyelenggaraan kegiatan lain yang mendukung upaya pemulihan korban pascakonflik.



b. Model- Model Penanganan Bencana Sosial dalam bentuk multikultural. (Model multi-kultural untuk menangani bancana sosial) Sebagaimana diuraikan di atas bahwa bencana sosial adalah bentuk konflik sosial dalam eskalasi yang besar, sehingga kerugian dan akibat yang ditimbulkan juga berskala besar bahkan nasional. Prinsip penanganan bencana, konflik termasuk di dalamnya konflik sosial ataupun bencana sosial adalah “menang tanpa masalah untuk semuanya“ (win – win solution ). Pendekatan multi kultural untuk menangani bencana sosial menyodorkan beberapa model antara lain:



a. Model pluralisme budaya, yaitu pemecahan bencana sosial dengan cara menempatkan semua fihak yang terlibat konflik dalam posisi yang sederjat, agar masing-mqasing fihak dapat saling berasimilasi. Hal ini dapat berfungsi sebagai resolusi konflik. Dapat juga ditempuh dengan cara akomodasi, yaitu mendorong semua fihak yang terlibat konflik untuk bersedia menerima perbedaan. Untuk itu, negosiator perlu memilki kemampuan untuk memberikan stimulus dan respon yang positif terhadap munculnya perbedaan. Negosiator perlu berkolaborasi dengan tokoh kunci fihak-fihak yang berseteru. b. Model akulturasi Collen Ward, yaitu model penanganan bencana sosial melalui pemahaman identitas diri (self identity). Masingmasing fihak didorong untuk memahami identittas diri masingmasing dengan cara meningkatkan pengetahuan setiap warga untuk mengenali identitas diri dan identitas orang lain. Perbedaanperbedaan yang ada dalam peta diri (kelompok) dan peta orang



(kelompok) lain harus diubah. Semakin kecil perbedaan peta kognitifnya akan semakin baik. Negosiator dituntut memilki pengetahuan yang luas tentang cara-cara melakukan pemahaman self identity yang bersih dari bias budaya c. Model Hipotetik Kontak, dikemukakan oleh Gordon Allport. Pendekatan ini mengajarkan, bahwa bencana sosial dapat dihindari kalau masing-masing fihak yang terlibat konflik dapat saling melakukan kontak. Semakin intensif kontak yang dilakukan akan semakin positif untuk penanggulangan bencana sosial. Dalam hal ini negosiator dapat berperan sebagai fasilitator. d. Model analisis berbasis konflik internal dan eksternal Bencana sosial dapat dianalisis berdasarkan kecukupan kebutuhan dan pengaruh luar yang mendorong munculnya bencana. Bencana sosial yang disebabkan karena konflik internal biasanya berakar pada tidak terpenuhinya kebutuhan, baik secara individual ataupun kelompok. Sedangkan bencana sosial yang disebabkan karena konflik eksternal karena ada fihak-fihak (provokator??) di luar kelompok yang ikut mempengaruhi munculnya konflik. Misalnya dalam kasus hasil UAN. Secara nasional, tingkat kelulusan SMU hanya mencapai 69 %. Siswa sebuah SMU di Jakarta melakukan kerusuhan karena merasa hasil UAN tidak dapat memenuhi kebutuhannya, yaitu LULUS; ini termasuk konflik internal. Sementara siswa sebuah SMU di Samarinda mengamuk merusak sekolah dan menyerang Guru. Setelah kerusuhan ditangani petugas, ternyata ada sejumlah preman yang menyusup kesekolah dan menghasut siswa untuk berbuat anarki. Ini termasuk konflik eksternal. e. Model penanganan bencana Sosial berbasis Dinamika kelompok Pendekatan ini didasarkan kepada solidaritas kelompok. Setiap kelompok dengan segala aspek budayanya memiliki derajat



(intensitas) solidaritas sendiri-sendiri. Intensitas solidaritas kelompok ini disebut dengan dinamika kelompok. Derajat dinamika kelompok kelompok terentang dari yang rendah sampai yang tinggi. Dinamika kelompok yang ideal adalah dinamika yang berada pada titik tengah, tidak terlalu rendah dan tidak terlalu tinggi pula. Karena dinamikan yang terletak pada titik ekstri rendah atau tinggi, rawan konflik.



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Bencana sosial merupakan bencana yang disebabkan oleh ulah manusia (man made disasters) antara lain karena jurang perbedaan ekonomi, perbedaan



paham



politik



di



antara



masyarakat



,



diskriminasi,



ketidakadilan, kelalaian, ketidaktahuan, maupun sempitnya wawasan dari sekelompok masyarakat. Istilah bencana sosial sering dipadankan dengan istilah konflik sosial; yang membedakannya adalah eskalasinya, baik menyangkut peristiwanya maupun dampaknya. 2. Konflik sosial pada dasarnya adalah suatu bentuk interaksi yang ditandai oleh keadaan saling mengancam, menghancurkan, melukai, dan melenyapkan di antara pihak-pihak yang terlibat. Konflik Sosial yang pernah terjadi di Indonesia sangat banyak rekam jejak kelamnya, setidaknya dalam 20 tahun pasca reformasi konflik sosial yang terjadi antara lain berupa Pelanggaran HAM Berat ( Tragedi Mei 1998, Penghilangan paksa, Kasus Semanggi I dan II), Konflik berdasarkan SARA( Konflik Ambon, Poso dan Sampit), Konflik karena pemenuhan hak beragama ( Kekerasan terhadap Ahmadiyah, Gafatar, Jamaah Syiah di Sampang, pelarangan pendirian Gereja di Aceh, Bekasi dan Bogor serta peristiwa Tolikara) dan juga polemik kehidupan sosial di Papua yang terasa tidak pernah lepas dari konflik sosial. 3. Penanganan Konflik Sosial di Masyarakat telah diatur dalam UU. No. 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial diatur di dalam bab tersendiri yakni Bab VII dan 2.



PP. No. 2 Tahun 2015 Tentang



Peraturan Pelaksana UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial diatur di dalam bab tersendiri yakni Bab VI. 4. Masyarakat baik itu tokoh agama, tokoh adat, masyarakat umum dapat berperan aktif dalam upaya mitigasi Konflik Sosial dalam bentuk penyediaan kebutuhan dasar dan bantuan tenaga serta pikiran.



B. Saran 1. Mencegah dan mengurangi resiko bencana wajib menjadi bagian dari rutinitas masyarakat sehari-hari. Setidaknya dapat diawali dengan melihat dan mempelajari fakta bencana sosial yang rutin mengancam masyarakat. 2.



Daftar Pustaka https://www.kemenkopmk.go.id/artikel/bencana-dan-kerawanan-sosial (diakses pada tanggal 1 Januari 2019) http://imamtadjri.blogspot.com/2008/05/penanggulangan-bancana-sosialmelalui.html(diakses pada tanggal 1 Januari 2019) https://blog.act.id/4-ancaman-bencana-sosial-di-indonesia/(diakses



pada



tanggal 1 Januari 2019) catatan kelam 20 tahun reformasi. https://nasional.kompas.com/jeo/konflikdan-pelanggaran-ham-catatan-kelam-20-tahun-reformasi