Catin Kelompok Fiks Bismilah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PRAKTIK ASUHAN KEBIDANAN PADA PRAKONSEPSI DI PUSKESMAS MAOSPATI



Devi Indah P. Dwi Ayu R. Eka Lina B. Elmi Kurnia A. Erika Dwi S. Tri Devitasari



KELOMPOK 2 Nama Anggota P27824420095 P27824420097 P27824420098 P27824420100 P27824420101 P27824420125



KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURABAYA PRODI SARJANA TERAPAN KEBIDANAN T.A 2020/2021



LEMBAR PENGESAHAN Laporan Asuhan Kebidanan Prakonsepsi ini dilaksanakan di Puskesmas Maospati Periode Praktik Tanggal : 23 November 2020 s.d 12 Desember 2020 Magetan, 10 Desember 2020 Pembimbing Lahan



Elly Marliana, S.Tr. Keb NIP. 198107222006042017



Pembimbing Pendidikan



Pembimbing Pendidikan



Tinuk Esti H., SST, M.Kes NIP. 19690317 198903 2 004



Astin Nurhanifah, SST, M.Kes NIP. 19800129 200312 2 002



Mengetahui, Ka Prodi Sarjana Terapan Kebidanan



Dwi Purwanti, S.Kp., SST., M.Kes NIP. 196702061990032003



ii



KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan kasih-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Praktik tepat pada waktunya. Laporan ini disusun berdasarkan keadaan sebenarnya di Puskesmas Maospati. Tujuan dari praktek ini adalah diharapkan agar mahasiswa Poltekkes Kemenkes Surabaya Prodi DIV Alih Jenjang Kebidanan Kampus C mampu menerapkan teori yang telah diperoleh pada saat kuliah, sehingga diharapkan mahasiswi terampil dalam bidang pelayanan di bidang Kebidanan. Penulis menyadari bahwa laporan ini dapat disusun dan diselesaikan berkat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dwi Purwanti, S.Kp., SST., M.Kes selaku Ka Prodi Sarjana Terapan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Surabaya 2. dr. Eddy S. Minoto, selaku Kepala Puskesmas Maospati. 3. Tinuk Esti H., SST, M.Kes, selaku Pembimbing Pendidikan di Poltekkes Kemenkes Surabaya. 4. Astin Nurhanifah, SST, M.Kes, selaku Pembimbing Pendidikan di Poltekkes Kemenkes Surabaya. 5. Elly Marliana, S.Tr. Keb, selaku pembimbing lapangan. Semoga atas bantuan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis, mendapat limpahan rahmat Tuhan Yang Maha Esa. Semoga laporan praktik di Puskesmas Maospati ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membacanya dan menambah wawasan dalam bidang Kebidanan. Akhir kata, penulis mohon maaf apabila ada kesalahan selama kegiatan praktik dan penulisan laporan praktik di Puskesmas Maospati. Magetan, 10 Desember 2020                                                                                                                                         Penulis



iii



DAFTAR ISI Halaman Judul................................................................................................i Lembar Pengesahan........................................................................................ii Kata Pengantar...............................................................................................iii Dafrar Isi.........................................................................................................iv Daftar Singkatan.............................................................................................v BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .......................................................................................1 1.2 Tujuan Praktik.........................................................................................2 1.3 Lama Praktik...........................................................................................2 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori.........................................................................................3 2.2 Tinjauan Asuhan Kebidanan Prakonsepsi...............................................32 2.2.1 Pengkajian Data.............................................................................32 2.2.2 Diagnosa Kebidanan......................................................................49 2.2.3 Perencanaan ..................................................................................50 2.2.4 Pelaksanaan....................................................................................52 2.2.5 Evaluasi..........................................................................................53 BAB 3 TINJAUAN KASUS 3.1 Pengkajian Data........................................................................................54 3.1.1 Data Subyektif................................................................................54 3.1.2 Data Obyektif.................................................................................58 3.1.3 Assessment.....................................................................................59 3.1.4 Penatalaksanaan.............................................................................59 BAB 4 PEMBAHASAN................................................................................62 BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN...............................................................64 Daftar Pustaka ...............................................................................................65 Lampiran .......................................................................................................69



iv



DAFTAR SINGKATAN AIDS



: Acquire Immuno Defisienciy Syndrom



AKG



: Angka Kecukupan Gizi



ALT



: Tes Alanine Amino Transferase



APC



: Antigen Presenting Cell



ASI



: Air Susu Ibu



BAB



: Buang Air Besar



BAK



: Buang Air Kecil



BB



: Berat Badan



BBLR



: Berat Badan Lahir Rendah



BKKBN



: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana



Catin



: Calon Pengantin



CDC



: Centers for Disease Control and Prevention



CMV



: Cytomegalovirus



CRT



: Capillery Refill Time



CTL



: Citotoksik T Limfosit



DIC



: Disseminated Intra Vaskular Coagulation



DNA



: Deoxyribonukleat



GERMAS : Gerakan Masyarakat Hidup Sehat Hb



: Hemoglobin



HBIG



: Hepatitis B Imunoglobulin



HbsAg



: Hepatitis B Surface Antigen



HIV



: Human Immunodeficienci Virus



HLA



: Human Leukocyte Antigen



HPK



: Hak Pasien dan Keluarga



HPV



: Human Papiloma Virus



IFN



: Intravenous Nutrition



IMS



: Infeksi Menular Seksual



IMT



: Indeks Massa Tubuh



ISR



: Infeksi Saluran Reproduksi



v



IUFD



: Intra Uterin Fetal Death



IV



: Intra Vena



KB



: Keluarga Berencana



KEK



: Kekurangan Energi Kronis



KHP



: Karsinoma Hepatoselular Primer



Kemenkes : Kementrian Kesehatan KIE



: Komunikasi Informasi Edukasi



KU



: Keadaan Umum



KUA



: Kantor Urusan Agama



LFG



: Laju Filtrasi Glomelorus



LiLA



: Lingkar Lengan Atas



MTCT



: Mother To Child Transmissions



PCOS



: Policystic Ovarian Sindrome



PEP



: Post Exposure Prophylaxis



PKRT



: Pembekalan Kesehatan Rumah Tangga



PMK



: Peraturan Menteri Kesehatan



PUS



: Pasagan Usia Subur



Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat RI



: Republik Indonesia



SIDS



: Sudden Infant Death Syndrom



SRQ



: Self Reporting Questionnaire



TB



: Tinggi Badan



TBC



: Tuberculosis



TNF



: Tissue Necrotic Factor



TORCH



: Toksoplasma, Rubella, Citomegalovirus, dan Herpes Simpleks



TT



: Tetanus Toxoid



USG



: Ultrasonografi



UU



: Undang – Undang



VHB



: Virus Hepatitis B



WHO



: World Health Organization



WUS



: Wanita Usia Subur



vi



BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Calon pengantin merupakan kelompok sasaran dalam upaya peningkatan kesehatan masa sebelum hamil. Menjelang pernikahan, banyak calon pengantin yang tidak mempunyai cukup pengetahuan dan informasi tentang kesehatan reproduksi dalam berkeluarga, sehingga setelah menikah kehamilan sering tidak direncanakan dengan baik serta tidak di dukung oleh status kesehatan yang optimal. Hal ini tentu saja dapat menimbulkan dampak negatif seperti adanya resiko penularan penyakit, komplikasi kehamilan, kecatatan bahkan kematian ibu dan bayi. Pemberian komunikasi informasi dan edukasi tentang kesehatan reproduksi kepada calon pengatin sangat diperlukan untuk memastikan setiap calon pengantin mempunyai pengetahuan yang cukup dalam merencanakan kehamilan dan mempersiapkan keluarga yang sehat (Kemenkes, 2018). Pada tahun 2009 Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN) telah bekerjasama dengan Kantor Urusan Agama (KUA) dan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di setiap Kecamatan, sehingga sudah dapat melaksanakan kursus pranikah bagi calon pengantin selama 1-7 hari sebelum melakukan pernikahan. Materi pemberian kursus pranikah antara lain program kesehatan reproduksi tentang upaya menjaga kesehatan ibu hamil melahirkan, pentingnya program Keluarga Berencana (KB), hukum syariah tentang perkawinan dalam islam, seperti menyucikan hadas besar dan kecil serta manajemen keuangan (BKKBN, 2009). Calon pengantin perlu dibekali pengetahuan yang cukup tentang kesehatan reproduksi dan hak-hak reproduksi sehingga calon pengantin siap menjadi seorang ibu dan seorang ayah (Hidayat, 2016). Dasar hukum kesehatan reproduksi berasal dari pemenuhan hak reproduksi Menurut International Conference for Population and Development (1994), siklus hidup dalam pemenuhan kesehatan reproduksi termasuk



1



2



pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender. Terintegrasinya program komponen kesehatan reproduksi melalui Pembekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT) dan Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) kesehatan Reproduksi (Mulinda, 2017). Menurut data Kemenkes RI (2018) menyatakan keputusan tentang kesehatan reproduksi dan seksual bagi calon pengantin. Perwujudan generasi tersebut dimulai dari menyiapkan calon pengantin (Catin) yang memiliki status tingkat kesehatan yang baik terutama calon pengantin perempuan yang kelak akan hamil dan melahirkan anak-anak bangsa dengan tingkat kecerdasan yang luar biasa (BKKBN, 2018). 1.2 Tujuan Praktik 1. Umum Untuk dapat menambah pengetahuan dan keterampilan mahasiswa dalam memberikan asuhan kebidanan prakonsepsi secara berkesinambungan sejak awal pernikahan hingga rencana kehamilan. 2. Khusus a. Untuk dapat menambah pengetahuan dan keterampilan mahasiswa dalam memberikan asuhan kebidanan prakonsepsi pada Pasangan Usia Subur (PUS). b. Untuk dapat menambah pengetahuan dan keterampilan mahasiswa dalam memberikan asuhan kebidanan prakonsepsi pada Wanita Usia Subur (WUS). c. Untuk dapat menambah pengetahuan dan keterampilan mahasiswa dalam memberikan asuhan kebidanan prakonsepsi pada Keluarga. 1.3 Lama Praktik Praktik dilaksanakan mulai 23 November 2020 hingga 12 Desember 2020 dan pelaksanaan asuhan kebidanan prakonsepsi dilaksanakan pada tanggal 01 Desember 2020 .



2



3



BAB 2 TINJAUAN TEORI 2.1 Konsep Teori 2.1.1 Definisi Pernikahan Kata dasar dari pranikah ialah “nikah” yang merupakan



ikatan



(akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama. Imbuhan kata pra yang memiliki makna sebelum, sehingga arti dari pranikah adalah sebelum menikah atau sebelum adanyanya ikatan perkawinan (lahir batin) antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri (Setiawan, 2017). Menurut Fatchiah (2009), perkawinan dpaat diartikan sebagai sebuah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai seuami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa. Sedangkan menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,  perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan batas usia 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Akan tetapi, berdasarkan UU No. 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, usia kurang dari 18 tahun masih tergolong anak-anak. Oleh karena itu, BKKBN memberikan batasan usia pernikahan 21 tahun bagi perempuan dan 25 tahun untuk pria. Selain itu, umur ideal yang matang secara biologis dan psikologis adalah 20-25 tahun bagi wanita dan umur 25-30 tahun bagi pria (BKKBN, 2017). Sedangkan, calon pengantin adalah pasangan yang akan melangsungkan pernikahan/akad perkawinan (Setiawan, 2017).



4



2.1.2 Tujuan Asuhan Pranikah Menurut Kemenkes (2014), penyelenggaraan pelayanan kesehatan masa sebelum hamil (prakonsepsi) atau pranikah bertujuan untuk: 1. Menjamin kesehatan ibu sehingga mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas. 2. Mengurangi angka kesakitan dan angka kematian ibu dan bayi baru lahir. 3. Menjamin tercapainya kualitas



hidup dan pemenuhan hak-hak



reproduksi 4. Mempertahankan dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahiryang bermutu, aman, dan bermanfaat sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Adapun tujuan bimbingan dan konseling Islam Pranikah yaitu: 1. Membantu pasangan calon pengantin untuk mengerti makna dari pernikahan. Makna dari pernikahan adalah merupakan budaya dan bagian dari siklus hidup manusia karena merupakan landasan bagi terbentuknya suatu keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa (Pradipti, Oktarina, & Mahendra Wijaya, 2015). 2. Membantu pasangan calon pengantin membangun pondasi kuat dan menyelelaraskan tujuan dalam membentuk rumah tangganya. Tujuan membangun pondasi yang kuat dalam rumah tangga harus senantiasa saling menjaga satu sama lain jika pondasi kuat dan aman maka dalam rumah tangga akan tercipta kebahagiaan (Hidayat, 2016). 3. Membantu pasangan calon pengantin mengerti akan fungsi dan peran masing-masing istri pada suami dan suami pada istri. Secara umum seorang suami berperan sebagai kepala rumah tangga mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sandang pangan dan papan suami juga berperan sebagai mitra istri dalam segala hal. Selain peran suami istri juga mempunyai peran yang sangat penting yaitu sebagai pendamping suami saat dan sebagai ibu yang siap menjaga anak-anaknya. Istri juga



5



sebagai mitra kerja suami dalam kehidupan sehari-hari, diskusi mengenai berbagai macam masalah (Pradipti, Oktarina, & Mahendra Wijaya, 2015). 4. Membantu pasangan calon pengantin mempersiapkan dirinya menjelang pernikahan meliputi fisik seperti merencanakan usia pernikahan yang ideal antara perempuan dan laki-laki, psikologis seperti meninjau pendidikan dan kepribadian dan spiritual yaitu sangat dianjurkan bagi calon pengantin agar senantiasa memiliki kebiasaan baik yang konsisten dan juga sebagai bentuk mendekatkan diri kepada allah (Hidayat, 2016). 2.1.3 Persiapan Pernikahan Menurut Kemenkes (2015), persiapan pernikahan meliputi kesiapan fisik, kesiapan mental/psikologis dan kesiapan sosial ekonomi. a. Kesiapan Fisik Secara umum, seorang individu dikatakan siap secara fisik apabila telah selesai fase pertumbuhan tubuh yaitu sekitar usia 20 tahun. Persiapan fisikpranikah meliputi pemeriksaan status kesehatan, status gizi, dan laboratorium (darah rutin dan yang dianjurkan). b. Kesiapan Mental/Psikologis Dalam sebuah pernikahan, individu diharapkan suda merasa siap untuk mempunyai anak dan siap menjadi orang tua termasuk mengasuh dan mendidik anak. c. Kesiapan Sosial Ekonomi Dalam menjalankan sebuah keluarga, anak yang dilahirkan tidak hanya membutuhkan kasih sayang orang tua namun juga sarana yang baik untuk membuatnya tumbuh dan berkembang dengan baik. Status sosial ekonomi juga dapat mempengaruhi status gizi calon ibu, seperti status sosial ekonomi yang kurang dapat meningkatkan risiko terjadi KEK dan anemia.



6



2.1.4 Pelayanan Kesehatan Pranikah Pelayanan kesehatan sebelum hamil di Indonesia telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (PMK No. 97 tahun 2014) dan telah tertulis dalambuku saku kesehatan reproduksi dan seksual bagi calon pengantin maupun



bagi penyuluhnya



Pemerintah



yang



dikeluarkan



oleh



Kemenkes



RI.



baik daerah provinsi maupun kabupaten/kota telah menjamin



ketersediaan



sumber



daya



kesehatan,



sarana,



prasarana,



dan



penyelenggaraan pelayanan kesehatan sebelum hamil sesuai standar yang telah ditentukan. Di Surabaya telah diatur dalam Surat Edaran Walikota Surabaya perihal Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS),beberapa kegiatan program pendampingan 1000 HPK pranikah



adalah



dengan



pemeriksaan



yang berkaitan



kesehatan



dengan



calon pengantin



meliputi pemeriksaan fisik dan laboratorium, serta penyuluhan kesehatan reproduksi calon pengantin. Pelayanan



kesehatan



masa



sebelum



hamil



dilakukan



untuk



mempersiapkan perempuan dalam menjalani kehamilan dan persalinan yang sehat dan selamat serta memperoleh bayi yang sehat. Pelayanan kesehatan masa sebelum hami sebagaimana remaja,



calon



yang



dimaksud



dilakukan



pada



pengantin, dan pasangan usia subur (PMK No. 97 tahun



2014). Menurut Kemernkes (2015) dan PMK No. 97 tahun 2014, kegiatan pelayanan kesehatan masa sebelum hamil atau persiapan pranikah sebagaimana yang dimaksud meliputi: 1. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik yang dilakukan minimal meliputi pemeriksaan tanda vital (tekanan darah, suhu, nadi, dan laju nafas) dan pemeriksaan status gizi (menanggulangi masalah kurang energi kronis (KEK) dan pemeriksaan status anemia). Penilaian status gizi seseorang dapat ditentukan dengan menghitung Indeks Masa Tubuh (IMT) berdasarkan PMK RI Nomor 41 Tahun 2014 sebagai berikut:



tentang Pedoman Gizi Seimbang,



7



BB( kg)❑ ¿¿ Keterangan : IMT =



BB = Berat Badan (kg) TB = Tinggi Badan (m) Dari hasil perhitungan tersebut dapat diklasifikasikan status gizi sebagai berikut : Tabel 2.1 Klasifikasi Status Gizi berdasarkan IMT Kurus



Kategori Kekurangan berat badan tingkat berat Kekurangan berat badan tingkat ringan



Norma l Gemuk



Kelebihan berat badan tingkat ringan Kelebihan berat badan tingkat berat Sumber : Depkes, 2011; Supariasa, dkk, 2014



IMT 27,0



Jika seseorang termasuk kategori: a. IMT 25 Tahun*) Sumber: Kemenkes, 2017



13



*) Yang dimaksud dengan masa perlindungan >25 tahun adalah apabila telah mendapatkan imunisasi TT lengkap mulai TT 1 - TT 5. 4. Suplemen Gizi Peningkatan status gizi calon pengantin terutama perempuan melaluipenanggulangan KEK (Kekurangan Energi Kronis) dan anemia gizi besi, serta defisiensi asam folat. Dilaksanakan dalam bentuk pemberian edukasi gizi seimbang dan tablet tambah darah. 5. Konseling/Komsultasi Kesehatan Pranikah Konseling pranikah dikenal dengan sebutan pendidikan pranikah, konseling edukatif pranikah, terapi pranikah, maupun program persiapan pernikahan. Konseling pranikah merupakan suatu proses konseling yang diberikan kepada calon pasangan untuk mengenal, memahami dan menerimaagar mereka siap secara lahir dan batin sebelum



memutuskan



untuk



menempuh



suatu



perkawinan



(Triningtyas, dkk, 2017). Bimbingan



konseling



diselenggarakan



kepada



pranikah



merupakan



pihak-pihak



yang



kegiatan belum



yang



menikah,



sehubungan dengan rencana pernikahannya. Pihak-pihak tersebut datang ke konselor untuk membuat keputusannya agar lebih mantap dan dapat melakukan penyesuaian dikemudian hari secara baik (L atipun, 2010). Konseling



pernikahan



atau



yang biasa disebut marriage



counseling) merupakan upaya membantu pasangan calon



pengantin.



Konselig pernikahan ini dilakukan oleh konselor yang professional. Tujuannya agar mereka dapat berkembang dan mampu memecahkan masalah yang dihadapinya melalui cara-cara yang saling menghargai, toleransi, dan komunikasi, perkembangan,



agar dapat tercapai motivasi berkeluarga,



kemandirian,



dan



kesejahteraan



seluruh



anggota



keluarganya (Willis, 2009). Konseling pernikahan juga disebut dengan terapi untuk pasangan yang akan menikah. Terapi tersebut digunakan untuk membantu pasangan agar saling memahami, dapat memecahkan masalah dan konflik secara sehat,



14



saling menghargai perbedaan, dan dapat meningkatkan komunikasi yang baik (Kertamuda, 2009). Bimbingan konseling pra nikah mempunyai objek yaitu calon pasangan suami istri dan anggota keluarga calon suami istri. Calon suami istri atau lebih tepatnya pasangan laki-laki dan perempuan yang dalamperkembangan hidupnya baik secara fisik maupun psikis sudah siap dan sepakat untuk menjalin hubungan ke jenjang yang lebih serius (pernikahan). Anggota keluarga calon suami istri yaitu individu-individu yang mempunyai hubungan keluarga dekat, baik dari pihak suami maupun istri (Zulaekha, 2013). Menurut Kemenkes (2015), informasi pranikah yang dibutuhkan sebelum memasuki jenjang pernikahan meliputi: a) Kesehatan reproduksi Kesehatan reproduksi adalah keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi. Catin perlu mengetahui mengetahui informasi kesehatan reproduksi



untuk menjalankan proses fungsi perilaku reproduksi



yang sehat dan aman. Catin perempuan akan menjadi calon ibu yang harus mempersiapkan kehamilannya agar dapat melahirkan anak yang sehat dan berkualitas. Catin laki-laki akan menjadi calon ayah yang harus memiliki kesehatan yang baik dan berpartisipasi dalam perencanaan keluarga, seperti menggunakan alat kontrasepsi serta mendukung kehamilan dan persalinan yang aman. Laki-laki dan perempuan mempunyai risiko masalah kesehatan reproduksi terhadap penularan penyakit. kesehatan



reproduksi



Perempuan yang



lebih rentan terhadap masalah



terjadi



pada



saat



berhubungan



seksual,hamil, melahirkan, nifas, keguguran, dan pemakaian alat kontrasepsi, karena struktur alat reproduksinya lebih rentan secara sosial maupun fisik terhadap penularan infeksi menular seksual. Lakilaki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk menjaga kesehatan reproduksi.



15



b) Hak dan kesehatan reproduksi seksual Hak asasi manusia yang dimiliki oleh setiap laki-laki dan perempuan yang berkaitan



dengan



kehidupan



reproduksinya.



Hak



inii



menjamin setiap pasangan dan individu untuk memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab mengenai jumlah, jarak, dan waktu memiliki anak serta untuk memperoleh informasi kesehatan reproduksi. Informasi yang perlu diketahui natra lain: 1) Kesehatan reproduksi, permasalahan, dan cara mengatasinya. 2) Penyakit menular seksual, agar perempuan dan laki-laki terlindung dari infeksi meular seksual (IMS), HIV  – AIDS, dan infeksi saluran



reproduksi (ISR), serta memahamicara penularannya,



upaya pencegahan, dan pengobatan. 3) Pelayanan Keluarga Berencana (KB) yang aman, efektif, terjangkau, dapat diterima, sesuai dengan pilihan, dan tanpa paksaan serta mengetahui dan memahami efek samping dan komplikasi dari masing-masinng alat dan obat kontrasepsi. 4) Catin laki-laki dan perempuan berhak mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi yang dibutuhkan. Catin perempuan berhak mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi yang dibutuhkan agar sehat dan selamat dalam menjalani kehamilan, persalinan, nifas, serta memperoleh bayi yang sehat. 5) Hubungan suami istri harus didasari rasa cinta dan kasih sayang, saling menghargai dan menghormati pasangannya, serta dilakukan dalam kondisi dan waktu yang diinginkan bersama tanpa unsur pemaksaan, ancaman, dan kekerasan. Perilaku yang harus dihindari dalam aktivitas seksual antara lain: 1) Melakukan hubungan seksual saat menstruasi dan nifas 2) Melakukan hubungan seksual saat dubur dan mulut berisiko dalam penularan penyakit dan merusak organ reproduksi



16



3) Kesetaraan gender dalam kesehatan reproduksi Gender adalah pembagian dalam peran kedudukan dan tugas antara laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat laki-laki dan perempuan yang dianggap pantas sesuai



norma,



adat



istiadat,



kepercayaan



atau



kebiasaan



masyarakat. Kesetaraan gender adalah suatu dan kondisi (kualitas hidup)



adalah



sama,



laki-laki



dan



perempuan



bebas



mengembangkan kemampuan personil mereka dan membuat pilihan-pilihan tanpa dibatasi oleh stereotip, peran gender yang kaku. Penerapan kesetaraan gender dalam pernikahan: a) Pernikahan yang ideal dapat terjadi ketika perempuan dan laki-laki dapat saling menghormati dan menghargai satu sama lain, misalnya: Dalam mengambil keputusan dalam rumah tangga dilakukan secara bersama dan tidak memaksakan ego masingmasing. 1)



Suami-istri saling membantu dalam pekerjaan rumah tangga, pengasuhan, dan pendidikan anak.



2)



Kehamilan merupakan tanggung jawab bersama laki-laki dan perempuan.



3)



Laki-laki mendukung terlaksananya pemberian ASI eksklusif



b) Pernikahan yang bahagia harus terbebas dari hal-hal dibawah ini: 1)



Kekerasan



secara



fisik



(memukul,



menampar,



menjambak rambut, menyudut dengan rokok, melukai, dan lain-lain) 2)



Kekerasan secara psikis (selingkuh, menghina, komentar yang merendahkan, membentak, mengancam, dan lainlain)



3)



Kekerasan seksual



4)



Penelantaran rumah tangga



17



c) Cara merawat organ reproduksi Untuk menjaga kesehatan dan fungsi organ reproduksi perlu dilakukan perawatan baik pada laki-laki dan perempuan, antara lain: 1)



Pakaian dalam diganti minimal 2x sehari



2)



Menggunakan pakaian dalam yang menyerap keringat dan cairan.



3)



Bersihkan organ kelamin sampai bersih dankering.



4)



Menggunakan celana yang tidakketat



5)



Membersihkan organ kelamin setelah BAK dan BAB.



Cara merawat organ reproduksi perempuan antara lain: 1)



Bersihkan organ kelamin dari depan ke belakang dengan menggunakan air bersih dan dikeringkan.



2)



Sebaiknya tidak menggunakan cairan pembilas vagina karena dapat membunuh bakteri baik dalam vagina dan memicu tumbuhnya jamur.



3)



Pilihlah pembalut berkualitas yang lembut dan mempunyai daya serap tinggi. Jangan memakai pembalut dalam waktu lama. Saat menstruasi, ganti pembalut sesering mungkin.



4)



Jika sering keputihan, berbau, berwarna, dan terasa gatal, serta keluhan organ reproduksi lainnya segera memeriksakan diri ke petugas kesehatan.



Cara merawat organ reproduksi laki-laki antara lain : 1)



Menjaga kebersihan organ kelamin



2)



Dianjurkan sunat untuk menjaga kebersihan kulup kulit luar yang menutuppenis.



3)



Jika ada keluhan pada organ kelamin dan daerah sekitar kelamin segera memeriksakan diri ke petugaskesehatan.



18



2.1.5 Konsep Teori HbsAg A. Etiologi Hepatitis adalah peradangan hati yang bisa berkembang menjadi fibrosis (jaringan parut), sirosis atau kanker hati. Hepatitis disebabkan oleh berbagai faktor seperti infeksi virus, zat beracun (misalnya alkohol, obat-obatan tertentu), dan penyakit autoimun. Penyebab paling umum Hepatitis adalah yang disebabkan oleh Virus Hepatitis B dan C (Kemenkes, 2018) Hepatitis B adalah infeksi yang terjadi pada hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis B (VHB). Penyakit ini bisa menjadi akut atau kronis dan dapat pula menyebabkan radang hati, gagal hati, serosis hati, kanker hati, dan kematian. Dari beberapa penyebab Hepatitis yang disebabkan oleh virus, Hepatitis B menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius di Indonesia karena manifestasinya sebagai Hepatitis akut dengan segala komplikasinya serta risiko menjadi kronik (Kemenkes RI, 2014; Feld dan Janssen, 2015). Hepatitis B akut memiliki masa inkubasi 60-90 hari. Penularannya vertikal 95% terjadi masa perinatal (saat persalinan) dan 5% intra uterine. Penularan horisontal melalui transfusi darah, jarum suntik tercemar, pisau cukur, aktifitas seksual (Dunkelberg, dkk., 2014; Kementerian Kesehatan RI, 2014). Hepatitis B kronik berkembang dari Hepatitis B akut. Infeksi hepatitis B kronis didefinisikan sebagai deteksi terus-menerus dari Hepatitis B surface antigen (HBsAg) selama lebih dari 6 bulan setelah paparan awal virus. Usia saat terjadinya infeksi mempengaruhi kronisitas penyakit. Bila penularan terjadi saat bayi maka 95% akan menjadi Hepatitis B kronis, sedangkan bila penularan terjadi pada usia balita, maka 20-30% menjadi penderita Hepatitis B kronis dan bila penularan saat dewasa maka hanya 5% yang menjadi penderita Hepatitis B kronis. Infeksi hepatitis B kronis dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas dari sirosis hati dan 2 karsinoma hepatoseluler hingga 40 persen dari orang-orang yang terkena



19



dampak (Dunkelberg, dkk., 2014; Feld dan Janssen, 2015; Kementerian Kesehatan RI, 2014). B. Epidemiologi Hepatitis virus merupakan sebuah fenomena gunung es, dimana penderita yang tercatat atau yang datang ke layanan kesehatan lebih sedikit dari jumlah penderita yang sesungguhnya. Mengingat ini adalah penyakit kronis yang menahun, dimana pada saat orang tersebut telah terinfeksi, kondisi masih sehat dan belum menunjukkan gejala dan tanda yang khas, tetapi penularan terus berjalan (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Penyakit Hepatitis merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk di Indonesia.Virus Hepatitis B telah menginfeksi sejumlah dua milyar orang di dunia, dan sekitar 250 juta orang diantaranya menjadi pengidap Hepatitis B kronis. Sekitar 15-40% dari pasien yang terinfeksi kronis akan menjadi sirosis, menuju gagal hati dan atau kanker hati. Setiap tahun, ada lebih dari empat juta kasus klinis akut Hepatitis B virus. Dan diperkirakan satu juta orang meninggal setiap tahun karena infeksi kronis Hepatitis B dan komplikasinya: sirosis atau kanker hati primer (Feld dan Janssen, 2015). C. Etiopatogenesis Hepatitis B Dalam Kehamilan Hampir semua jenis virus hepatitis dapat menyerang manusia.Ibu hamil yang terserang virus ini dapat menularkannya pada bayi yang ada dalam kandungan atau waktu menyusui bayi itu. Bentuk penularan seperti inilah yang banyak di jumpai pada penyakit hepatitis B. Pada saat ini jenis hepatitis yang paling banyak di pelajari ialah hepatitis B. Walaupun infeksi virus ini jarang terjadi pada populasi orang dewasa, kelompok tertentu dan orang dengan cara hidup tertentu memiliki risiko tinggi. Kelompok ini mencakup (Ferrari, dkk., 2003): 1. Imigran dari daerah endemis hepatitis B 2. Pengguna obat secara intravena (iv) yang sering bertukar jarum dan alat suntik



20



3. Pelaku hubungan seksual dengan banyak orang atau dengan orang yang terinfeksi 4. Pria homoseksual yang secara seksual aktif 5. Pasien rumah sakit jiwa 6. Narapidana pria 7. Pasien hemodialisis dan penderita hemofilia yang menerima produk tertentu dari plasma 8. Kontak serumah dengan karier hepatitis 9. Pekerja sosial di bidang kesehatan, terutama yang banyak kontak dengan darah. Bila hepatitis virus terjadi pada trimester I atau permulaan trimester II maka gejala-gejalanya akan sama dengan gejala hepatitis virus pada wanita tidak hamil. Meskipun gejala-gejala yang timbul relatif lebih ringan dibanding dengan gejalagejala yang timbul pada trimester III, namun penderita hendaknya tetap dirawat di rumah sakit. Hepatitis virus yang terjadi pada trimester III, akan menimbulkan gejalagejala yang lebih berat dan penderita umumnya menunjukkan gejala-gejala fulminant. Pada fase inilah hepatitis nekrosis akut sering terjadi, dengan menimbulkan mortalitas Ibu yang sangat tinggi, dibandingkan dengan penderita tidak hamil. Pada trimester III, adanya defisiensi faktor lipotropik disertai kebutuhan janin yang meningkat akan nutrisi, menyebabkan penderita mudah jatuh dalam hepatitis nekrosis akut. Tampaknya keadaan gizi ibu hamil sangat menentukan prognosa (Ferrari, dkk., 2003). Peneliti lain juga menyimpulkan, bahwa berat ringan gejala hepatitis virus pada kehamilan sangat tergantung dari keadaan gizi ibu hamil. Gizi buruk khususnya defisiensi protein, ditambah pula meningkatnya kebutuhan protein untuk pertumbuhan janin, menyebabkan infeksi hepatitis virus pada kehamilan memberi gejala-gejala yang jauh lebih berat. Pengaruh kehamilan terhadap berat ringannya hepatitis virus, telah diselidiki oleh Adam, yaitu dengan cara mencari hubungan antara perubahan-perubahan koagulasi pada kehamilan dengan beratnya gejala-



21



gejala hepatitis virus. Diketahui bahwa pada wanita hamil, secara fisiologik terjadi perubahan-perubahan dalam proses pembekuan darah, yaitu dengan kenaikan 5 faktor-faktor pembekuan dan penurunan aktivitas fibrinolitik, sehingga pada kehamilan mudah terjadi DIC (Disseminated Intra Vascular Coagulation). Penularan virus ini pada janin, dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu (Shao, dkk., 2011): 1. Melewati plasenta 2. Kontaminasi dengan darah dan tinja Ibu pada waktu persalinan 3. Kontak langsung bayi baru lahir dengan ibunya 4. Melewati ASI pada masa laktasi. Virus Hepatitis B dapat menembus plasenta, sehingga terjadi hepatitis virus in utero dengan akibat janin lahir mati, atau janin mati pada periode neonatal. Beberapa bukti, bahwa virus hepatitis dapat menembus plasenta, ialah ditemukannya hepatitis antigen dalam tubuh janin in utero atau pada janin baru lahir. Selain itu telah dilakukan pula autopsi pada janin-janin yang mati pada periode neonatal akibat infeksi hepatitis virus. Hasil autopsi menunjukkan adanya perubahan-perubahan pada hepar, mulai dari nekrosis sel-sel hepar sampai suatu bentuk sirosis. Perubahan-perubahan yang lanjut pada hepar ini, hanya mungkin terjadi bila infeksi sudah mulai terjadi sejak janin dalam rahim. Kelainan yang ditemukan pada hepar janin, lebih banyak terpusat pada lobus kiri. Hal ini membuktikan, bahwa penyebaran virus hepatitis dari ibu ke janin dapat terjadi secara hematogen. Angka kejadian penularan virus hepatitis dari ibu ke janin atau bayinya, tergantung dari tenggang waktu antara timbulnya infeksi pada ibu dengan saat persalinan.Angka tertinggi didapatkan, bila infeksi hepatitis virus terjadi pada kehamilan trimester III.Meskipun pada Ibu-Ibu yang mengalami hepatitis virus 6 pada waktu hamil, tidak memberi gejala-gejala ikterus pada bayinya yang baru lahir, namun hal ini tidak berarti bahwa bayi yang baru lahir tidak mengandung virus tersebut. Ibu hamil yang menderita hepatitis virus B dengan gejalagejala klinik yang jelas, akan menimbulkan penularan pada janinnya jauh



22



lebih besar dibandingkan dengan Ibu-Ibu hamil yang hanya merupakan carrier tanpa gejala klinik (Shao, dkk., 2011). Virus Hepatitis B masuk ke dalam tubuh secara parenteral. Dari peredaran darah partikel Dane, yang merupakan lapisan permukaan dari VHB atau dikenal dengan HBsAg, masuk ke dalam hati dan terjadi proses replikasi virus. Selanjutnya sel-sel hati akan memproduksi dan mensekresi partikel Dane utuh dengan bentuk bulat dan tubuler, dan HBeAg yang tidak ikut membentuk partikel virus. VHB merangsang respons imun tubuh, yang pertama kali dirangsang oleh respons imun nonspesifik (innate immune response) karena dapat terangsang dalam waktu pendek, dalam beberapa menit sampai jam. Proses eliminasi nonspesifik ini terjadi tanpa restriksi HLA, yaitu dengan memanfaatkan sel-sel NK dan NK-T (Shao, dkk., 2011). Untuk proses eradikasi VHB lebih lanjut diperlukan respons imun spesifik, yaitu dengan mengaktifkan sel limfosit T dan sel limfosit B. Aktifasi sel T CD8+ terjadi setelah kontak reseptor sel T tersebut dengan kompleks peptide VHB-MHC kelas I yang ada pada permukaan dinding sel hati dan pada permukaan dinding Antigen Presenting Cell (APC) dan dibantu rangsangan sel T CD 4+ yang sebelumnya sudah mengalami kontak dengan kompleks peptide VHBMHC kelas II pada dinding APC. Peptide VHB yang ditampilkan pada permukaan dinding sel 7 hati dan menjadi antigen sasaran respons imun adalah peptide kapsid yaitu HBcAg atau HBeAg. Sel T CD8+ selanjutnya akan mengeliminasi virus yang ada di dalam sel hati yang terinfeksi. Proses eliminasi tersebut bias terjadi dalam bentuk nekrosis sel hati yang akan menyebabkan meningkatnya ALT atau mekanisme sitolitik. Di samping itu dapat juga terjadi eliminasi virus intrasel tanpa kerusakan sel hati yang terinfeksi melalui aktivitas interferon gamma dan Tissue Necrotic Factor (TNF)-α yang dihasilkan oleh sel T CD8+ (mekanisme nonsitolitik) (Shao, dkk., 2011). Aktivasi sel limfosit B dengan bantuan sel CD4+ akan menyebabkan produksi antibodi antara lain anti-HBs, anti-HBc dan anti



23



HBe. Fungsi anti-HBs adalah netralisasi partikel VHB bebas dan mencegah virus kedalam sel. Dengan demikian anti HBs akan mencegah penyebaran virus dari sel ke sel. Infeksi kronik VHB bukan disebabkan gangguan produksi anti HBs. Buktinya pada pasien Hepatitis B kronik ternyata dapat ditemukan adanya anti HBs yang tidak bisa dideteksi dengan metode pemeriksaan biasa karena anti HBs bersembunyi dalam kompleks dengan HBsAg (Shao, dkk., 2011). Bila proses eliminasi virus berlangsung efisien maka infeksi VHB dapat diakhiri, sedangkan bila proses tersebut kurang efisien maka terjadi infeksi VHB yang menetap. Proses eliminasi VHB oleh respons imun yang tidak efisien dapat disebabkan oleh faktor viral ataupun faktor pejamu. Faktor viral antara lain: terjadinya imunotoleransi terhadap produk VHB, hambatan terhadap CTL (Citotoksik T Limfosit) yang berfungsi melakukan lisis sel-sel terinfeksi, terjadinya mutan VHB yang tidak memproduksi HBeAg, integrasi genom VHB dalam genom sel hati. Faktor pejamu antara lain: faktor genetik, kurangnya produksi IFN, adanya 8 antibodi terhadap antigen nukleokapsid, kelainan fungsi limfosit, respons antiidiotipe, faktor kelamin atau hormonal(Shao, dkk., 2011). Salah satu contoh peran imunotoleransi terhadap produk VHB dalam persistensi VHB adalah mekanisme persistensi infeksi VHB pada neonatus yang dilahirkan oleh ibu HBsAg dan HBeAg positif. Diduga persistensi tersebut disebabkan adanya imunotoleransi terhadap HBeAg yang masuk ke dalam tubuh janin mendahului invasi VHB, sedangkan persistensi pada usia dewasa diduga disebabkan oleh kelelahan sel T karena tingginya kadar partikel virus. Persistensi infeksi VHB dapat disebabkan karena mutasi pada daerah precore dari DNA yang menyebabkan tidak dapat diproduksinya HBeAg. Tidak adanya HBeAg pada mutan tersebut akan menghambat eliminasi sel yang terinfeksi VHB (Shao, dkk., 2011).



24



D. Patofisiologi, Manifestasi Klinis dan Komplikasi Hepatitis B Terhadap Kehamilan 1.



Patofisiologi hepatitis B dalam kehamilan Transmisi virus dari ibu ke anak umumnya dikenal dengan istilah transmisi perinatal. Berdasarkan definisinya, periode perinatal dimulai dari usia kehamilan 28 minggu dan berakhir pada hari ke-28 pasca salin. Berdasarkan definisi ini, maka istilah transmisi perinatal tidak mencakup infeksi yang terjadi sebelum/sesudah periode waktu tersebut, dan karenanya digunakanlah istilah Mother to Child Transmission (MTCT) yang mencakup infeksi VHB yang terjadi sebelum 9 persalinan, saat persalinan, dan masa kanak-kanak. Secara teoritis, ada 3 jalur yang memungkinkan terjadinya MTCT, yaitu (Navabakhsh, 2011) : a. Transmisi Prenatal. Meskipun pemberian vaksinasi VHB dan titer HBIG yang tinggi memiliki efektivitas sebagai Post-Exposure Prophylaxis (PEP) pada bayi baru lahir, namun pemberian vaksin ini memiliki tingkat kegagalan sebesar 3% - 9% terutama pada bayi yang lahir dari ibu dengan serum marker VHB positif. Hal ini mungkin terjadi karena adanya transmisi VHB intrauterin (transmisi prenatal). Mekanisme pasti transmisi VHB prenatal sampai saat ini belum diketahui secara pasti, namun ada beberapa hipotesa yang diduga berperan antara lain: 1) Adanya defek pada barier plasenta Kebocoran transplasenta terhadap darah maternal dengan HBeAg positif, yang dapat diinduksi oleh kontraksi uteri selama hamil atau karena gangguan barier plasenta (misalnya ancaman persalinan preterm atau abortus spontan) merupakan jalur tersering yang menyebabkan infeksi VHB intrauterin.Selain itu, prosedur amniosintesis juga meningkatkan risiko transmisi virus karena jarum yang digunakan secara transversal melalui dinding



25



abdomen dan uteri berisiko tercampur dengan darah ibu. 2) Infeksi plasenta dan transmisi VHB transplasenta Plasenta yang terinfeksi VHB memiliki 2 kemungkinan, yaitu dapat menjadi “penyebab” terjadinya transmisi VHB dari ibu ke fetus, atau dapat 10 terjadi karena merupakan “akibat” dari fetus yang terinfeksi VHB melalui rute lain. Untuk membedakannya, para peneliti telah mengukur gradien infeksi plasenta di sisi maternal dan fetal, dan disimpulkan bahwa pada sebagian besar kasus, infeksi transplasental merupakan “penyebab” terjadinya infeksi VHB intrauterin. 3) Beberapa studi menunjukkan bahwa VHB DNA terdapat dalam oosit/sperma. Oleh karena itu, fetus dapat terinfeksi VHB sejak proses konsepsi. 4) Kemungkinan transmisi VHB intrauterin lainnya dapat terjadi melalui infeksi ascending dari sekret vagina dari ibu yang mengandung virus. b. Transmisi Natal Transmisi VHB saat proses persalinan dapat terjadi karena paparan terhadap sekret serviks atau darah maternal yang mengandung virus. Sampai saat ini masih terjadi perdebatan mengenai metode persalinan terbaik untuk mencegah MTCT. Pada guideline obstetrik yang ada, nilai HBsAg positif tidak mempengaruhi pemilihan metode persalinan, sementara beberapa artikel merekomendasikan Cesarean section untuk kasus-kasus dengan nilai VHB DNA maternal yang tinggi. c. Transmisi Postnatal Meskipun VHB DNA ditemui dalam ASI pada ibu yang terinfeksi,namun pemberian ASI tidak terbukti meningkatkan risiko transmisi asalkan bayi 11 dibekali dengan imunoprofilaksis yang tepat saat lahir dan sesuai jadwal.Selain itu, ASI tidak perlu ditunda sampai bayi selesai divaksin.Menyusui tidak terbukti memberikan



26



efek negatif terhadap respon imun bayi terhadap vaksin VHB dan tidak meningkatkan angka kegagalan vaksin. Hal yang perlu diperhatikan dalam mencegah transmisi postnatal adalah cara perawatan puting selama proses menyusui agar tidak terjadi luka atau kulit yang kering dan pecah, mengingat proses penularan dapat terjadi melalui blood to blood routes. 2.



Manifestasi klinis Manifestasi klinis infeksi VHB pada ibu hamil tidak berbeda dengan infeksi VHB pada umumnya, dengan 4 gambaran sebagai berikut (Silverman, 1995) : a. Asimtomatik Gambaran klinis pada penderita asimtomatik tidak memberikan gambaran yang khas.Penderita nampak sehat, namun dalam darahnya ditemukan HBsAg positif.Jika ditemukan HBeAg positif, maka penderita tergolong infeksius, sebab HBeAg menunjukkan adanya proses replikasi yang masih berlangsung. b. Hepatitis B Akut Perjalanan klinis hepatitis B akut dibagi menjadi 4 tahap yaitu: 1) Masa inkubasi Merupakan



periode



diantara



penularan



infeksi



hingga



timbulnya gejala, berkisar antara 28 – 225 hari dengan ratarata 75 hari. 2) Fase pra-ikterik 12 Merupakan periode diantara timbulnya gejala pertama hingga ikterik. Keluhan awal yang biasa dirasakan antara lain lemas, malaise, anoreksia, mual, muntah, panas, dan rasa tidak enak di daerah perut kanan atas. Mual dan muntah pada kehamilan muda dapat dibedakan dari hepatitis, dimana pada kehamilan muda, mual dan muntah terutama dirasakan pada pagi hari dan semakin berkurang dan semakin membaik pada sore hari. Sementara pada hepatitis, semakin sore mual dan muntah yang



27



dirasakan akan semakin berat. 3) Fase ikterik Fase ikterik berlangsung antara beberapa hari hingga 6 bulan, dengan ratarata 1-3 minggu dan menghilang dalam 2-6 minggu. Saat gejala ikterik muncul, maka gejala demam dan malaise akan menghilang. Pada pemeriksaan fisik ditemukan hepar yang teraba membesar dan menetap selama beberapa saat setelah ikterik menghilang. 4) Fase penyembuhan Merupakan periode diantara menghilangnya ikterik hingga pasien



sembuh.Pada



pemeriksaan



laboratorium



tidak



ditemukan HBsAg, HBeAg, dan VHB DNA. Anti-HBc mulai timbul disertai IgM anti-HBc yang meningkat, sedangkan IgG anti-HBc timbul belakangan dan menetap. Pada fase ini, sebelum HBsAg menghilang akan timbul anti-HBe yang menandakan penurunan replikasi virus dan terjadinya resolusi. Dalam waktu 6 bulan akan timbul anti-HBs setelah HBsAg menghilang (Liaw dan Chu, 2009). c. Hepatitis B kronis Gambaran klinis hepatitis B kronis bermacam-macam, mulai dari tanpa gejala hingga gejala yang khas. Gejala tersebut seringkali sulit dibedakan, apakah seseorang menderita hepatitis kronis persisten atau hepatitis kronis aktif. Keluhan yang sering terjadi pada hepatitis kronis aktif adalah lemas, mudah lelah, nafsu makan dan berat badan menurun, dan kadang disertai demam subfebris. d. Karsinoma Hepatoselular Primer (KHP) Gejala klinis KHP akan muncul dan perlu dicurigai apabila seorang penderita sirosis mengalami perburukan kondisi. Keluhan umum berupa malaise, rasa penuh di daerah perut, anoreksia, berat badan menurun dan demam subfebris. Pada pemeriksaan



28



didapatkan perut yang membengkak karena asites dan liver yang membesar. Gambaran yang mencurigakan ke arah 14 kanker hati bila ditemukan hepar membesar disertai benjolan keras tidak teratur pada abdomen kuadran kanan atas. E. Diagnosa Skrining hepatitis B merupakan salah satu bagian dari upaya untuk menurunkan transmisi vertikal dari maternal. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menyarankan untuk melakukan skrining hepatitis B surface antigen (HBsAg) setiap wanita hamil pada setiap kehamilan, bahkan jika sebelumnya terdapat riwayat skrining maupun vaksinasi. Ibu dengan hasil skrining positif diharapkan dapat dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk menegakkan diagnosis hepatitis B (CDC, 2005). Diagnosis hepatitis B memerlukan pemeriksaan laboratorium darah pasien untuk HBsAg, hepatitis B surface antibody (HBsAb), dan hepatitis B core antibody (HBcAb). HBsAg adalah protein dari permukaan virus hepatitis B yang dapat ditemukan dalam kadar yang tinggi pada serum elama infeksi akut maupun kronis. Adanya HBsAg mengindikasikan bahwa pasien tersebut infeksius. HBsAb atau anti-HBs adalah antibodi yang dihasilkan tubuh sebagai respon imunitas normal terhadap infeksi. Anti-HBs dapat ditemukan pada orang yang sembuh dan imun terhadap infeksi virus hepatitis B, baik dari infeksi sebelumnya maupun vaksinasi. HBcAb atau anti-HBc muncul saat onset akut hepatitis dan bertahan seumur hidup. 16 Pemeriksaan IgM anti-HBc dapat dilakukan untuk memberikan informasi akut tidaknya infeksi hepatitis. IgM anti-HBc dapat ditemukan ≤ 6 bulan sejak infeksi akut (CDC, 2005; Wilkins, dkk., 2010). F. Terapi dan Pencegahan Tranmisi Vertikal Hepatitis B Dalam Kehamilan Kasus infeksi hepatitis B akut dan kronik perlu dibedakan dalam penanganannya. Ibu yang mengalami infeksi akut virus hepatitis B selama kehamilan harus di monitor ketat dan diterapi konservatif. Selama tidak terdapat tanda-tanda kegagalan hepar, pemberian antiviral untuk ibu hamil



29



bukanlah sebuah indikasi (Degertekin dan Lok, 2009). Tujuan utama tatalaksana infeksi virus hepatitis B kronis adalah memperbaiki kualitas hidup dan derajat keberlangsungan hidup orang yang terinfeksi dengan mencegah progresi penyakit ke penyakit sirosis, sirosis terdekompensasi, penyakit liver stadium lanjut, hepatoselular karsinoma, dan kematian; serta mencegah transmisi virus hepatitis B ke orang lain.Tujuan ini dapat tercapai jika replikasi virus hepatitis B ditekan secara baik. Terapi yang diberikan harus dapat mensupresi kadar virologis sehingga dapat terjadi remisi biokimia, perbaikan secara histologis dan mencegah komplikasi. Namun, perlu diperhatikan bahwa infeksi virus hepatitis 18 B tidak dapat sepenuhnya dieradikasi karena persistensi dari covalently closed circular DNA (cccDNA) di nukleus hepatosit yang terinfeksi, dan genom virus hepatitis B mengintegrasi genom inang dan dapat memicu onkogenesis dan perkembangan hepatoselular karsinoma (Pollicino, dkk., 2011; European Association for the Study of the Liver, 2012; Sarin, dkk., 2016). Indikasi terapi diberikan didasari oleh kombinasi dari tiga kriteria, yaitu: kadar DNA VHB serum, kadar SGPT/ALT serum dan keparahan penyakit hepar (dinilai secara klinis, biopsi hepar atau metode noinvasif). Dari tiga kriteria itu, pasien dengan infeksi kronis virus hepatitis B dapat dibagi sesuai dengan baganbagan pada gambar (Sarin, dkk., 2016). Pada hepatitis B dalam kehamilan, terdapat dua indikasi dalam memutuskan terapi, yaitu penyakit hepar kronik pada ibu dan pencegahan transmisi vertikal. Dua faktor risiko yang berpengaruh terhadap transmisi vertikal adalah tingginya kadar viral load VHBdan aktivitas replikasi viral yang tinggi. Transmisi vertikal menyumbang lebih dari sepertiga kasus transmisi virus hepatitis B, sehingga mencegah penularan ini dapat menurunkan angka morbiditas akibat hepatitis B (Sarin, dkk., 2016). Imunoprofilaksis virus hepatitis B pada bayi diberikan pada semua bayi yang lahir dengan ibu HBsAg positif. Imunoprofilaksis ini diharapkan dapat memberikan imunitas aktif dan pasif pada bayi. Imunisasi pasif,



30



hepatitis B immunoglobulin (HBIG) diberikan dalam 12 jam setelah lahir pada bayi. Imunisasi aktif, berupa dosis pertama vaksin hepatitis B, diberikan dalam beberapa jam awal kehidupan. Pada ibu yang tidak diketahui status HBsAg maternal, 21 bayi tetap diberikan vaksin sambil menunggu



hasil



dari



pemeriksaan



laboratorium.



Pemberian



imunoprofilaksis ini mampu menurunkan rerata tranmisi vertikal dari 90% menjadi 10% (Lamberth, dkk., 2015). Penggunaan obat anti virus pada kasus hepatitis B dalam kehamilan, dapat dipertimbangkan sesuai dengan kondisi yang ditemukan. Pada kasus hepatitis B kronik, terapi antiviral analog nukleotida dan interferon (IFN) dapat mempengaruhi kondisi janin. IFN merupakan kontraindikasi kehamilan terutama trimester awal karena bersifat antiproliferatif (Sarin, dkk., 2016). Pemberian hanya diberikan pada ibu dengan viral load DNA VHB >107 kopi/mL untuk pencegahan transmisi vertikal atau hepatitis B kronis dengan



fibrosis



atau



gejala



aktif.



Pemberian



antiviral



harus



mempertimbangkan keuntungan dan risiko dari ibu dan janin terkait risiko progresi penyakit maternal, flares SGPT, perkembangan fetus, transmisi vertikal VHB, rencana jangka panjang untuk terapi dan kehamilan berikutnya (Pan dan Lee, 2013; Patton dan Tran, 2014). Terdapat dua jenis obat antiviral yang dikategorikan B untuk tingkat keamanannya menurut FDA, yaitu telbivudine (LdT) dan tenofovir disoproxil fumarate (TDF). Untuk kategori C menurut FDA, terdapat lamivudine (LAM), entecavir, adefovir dan interferon (Lamberth, dkk., 2015; Sarin, dkk., 2016). Pemberian LdT (600 mg per hari) atau TDF (300 mg per hari) pada pencegahan



transmisi



vertikal



dilakukan



pada



trimester



ketiga



mempertimbangkan selesainya organogenesis dari janin (Sarin, dkk., 2016). TDF lebih aman diberikan kepada ibu dengan HIV positif dengan kemungkinan terjadinya resistensi viral lebih rendah dibanding LdT.



31



Pemberhentian analog nukleotida dilakukan setelah persalinan atau 4- 12 minggu setelah persalinan pada wanita tanpa flares SGPT dan tanpa fibrosis/sirosis tahap lanjut. Pemantauan DNA HBC kuantitatif dilakukan 2 bulan setelah pemberian TDF dan SGPT diperiksa per bulan setelah persalinan untuk mendeteksi flares VHB postnatal (NICE, 2013). Pemberian ASI tidak dilarang pada wanita dengan infeksi hepatitis B kronis jika bayi telah mendapatkan imunoprofilaksis yang sesuai. Tetapi, umumnya ibu disarankan tidak menyusui jika menggunakan analog nukleotida karena keamanannya kepada bayi yang belum diketahui (Sarin, dkk., 2016). G. Prognosis Prognosis infeksi VHB tergantung dari berat ringannya penyakit dan komplikasikomplikasi yang terjadi. Infeksi VHB pada penderita tanpa menimbulkan gejala klinis dan juga tidak ada penyakit lain sebagai penyerta maka prognosisnya baik. Tetapi apabila didapatkan penyakitpenyakit lain seperti penyakit jantung, diabetes militus dan anemia maka akan memperburukkeadaan penderita sehingga prognosisnya menjadi lebih jelek. 90% dari infeksi VHB pada dewasa akan sembuh sempurna,baik terjadi pada kehamilan trimester I,II maupun wanita tidak hamil. Pada kehamilan trimester III, infeksi VHB akut memberikan prognosis yang lebih buruk,didapatkan angka kematian yang tinggi bagi ibu dan anak, terutama apabila yerjadi hepatitis fulminan. Gizi ibu hamil juga menentukan,bila terdapat gizi jelek maka mudah terjadi hepatitis fulminant (Departemen Kesehatan RI, 2008).



32



2.2 Tinjauan Teori Asuhan Kebidanan Pada Prakonsepsi 2.2.1 Pengkajian Data Data Subjektif a. Biodata / Identitas 1. Umur a. Perempuan Umur reproduksi sehat dan aman adalah umur 20-35tahun (Prawirohardjo, dkk, 2010). Pada umur 35 tahun, fungsi alat reproduksi dan organ lainnya sudah menurun, apalagi wanita yang hamil pertama pada usia ini, memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami preeklampsia (Indriani, 2012). b. Laki-laki Kesuburan



pria



ini



diawali



saat



memasuki



usia



pubertasditandai dengan perkembangan organ reproduksi pria, rata-rata umur 12 tahun. Perkembangan organ reproduksi pria mencapai keadaan stabil umur 20 tahun. Tingkat kesuburan akan bertambah sesuai dengan pertambahan umur dan akan mencapai puncaknya pada umur 25 tahun. Setelah usia 25 tahun kesuburan



pria



mulai



menurun secara perlahan-lahan, dimana



keadaan ini disebabkan karena perubahan bentuk dan faal organ reproduksi (Khaidir, 2006). Semakin tua usia seseorang maka kesuburan juga menjadi berkurang (RSUA, 2013). Usia laki-laki ≥40 tahun semakin meningkatkan risiko



kelainan baik fisik maupun



psikis pada keturunananya (McGrath, dkk, 2014). Pada suatu penelitian, diperoleh data bila laki-laki memiliki angka yang lebih tinggi dalam menderita infeksi hepatitis B, hal ini kemungkinan besar berkaitan dengan risiko penggunaan narkoba melalui jarum



33



suntik bekas orang yang terinfeksi Hepatitis B ataupun pembuatan tato dengan jarum yang tidak steril. 2. Alamat Kondisi lingkungan tempat tinggal ikut memberikan pengaruh terhadap



kesehatan istri



dan suami



padamasaprakonsepsi.



Beberapa penelitian menyebutkanbahwaperempuan yang bekerja di lingkungan pertanian lebih sering mengalami abortus spontan dan kasus Stillbirth (lahir mati) lebih sering dijumpai diantara perempuan yang bertempat tinggal dekat tempat aplikasi karbamat pada trimester II(Winardi, 2016). 3. Pekerjaan Pekerjaan merupakan jembatan untuk memperoleh uang dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup dan untuk mendapatkan tempat pelayanan kesehatan yang diinginkan. Pendapatan seseorang



berpengaruh



terhadap



kemampuannya



dalam



memenuhi kebutuhan hidup, salah satunya adalah kebutuhan nutrisi. Kondisi nutrisi yang kurang baik dapat menyebabkan terjadinya anemia pada ibu hamil,gangguanpertumbuhan janin dalam



uterus,



BBLR,



dan



prematur



(Reeder,



dkk,2011).



Kelompok pekerjaan yang berisiko tinggi terinfeksi Hepatitis B antara lain petugas kesehatan, pasin yang berkali-kali mendapat transfusi, transplantasi organ, pasien dan staf hemodialiasis, aktivitas seksual dengan berganti-ganti pasangan, dan bayi baru lahir dari ibu penderita hepatitis B/ transmisi vertikal. b. Alasan Kunjungan Alasan kunjungan catin datang ke Pelayanan Kesehatan yaitu untuk mendapatkan surat keterangan kesehatan termasuk status imunisasi TT (Kemenkes, 2018). c. Riwayat Menstruasi Hal utama yang perlu dikaji adalah menarche, siklus menstruasi dangangguan menstruasi. Menarche adalah menstruasi pertama kali



34



yang merupakan tahap kematangan organ-organ seksual perempuan dan tandasiklus masa subur telah mulai (Yusuf, dkk,



2014).



Siklusmenstruasi dan gangguan mentruasi dapat mempengaruhi masa subur (Indriarti, dkk, 2013). 1. Usia menarche: umumnya remaja wanita mengalami menarche usia 1216 tahun. 2. Siklus



menstruasi:



hari pertama



siklus



menstruasi



menstruasi sampai



merupakan



waktu



datangnya



sejak



menstruasi



periode berikutnya. Siklus menstruasi pada wanita normal berkisar antara 21-32 hari dan hanya 10-15% yang memiliki siklus menstruasi 28 hari (Proverawati & Misaroh, 2009). 3. Lama menstruasi: normalnya menstruasi berlangsung 3-7 hari (Ramaiah, 2006), sedangkan menurut Proverawati & Misaroh (2009) lama mestruasi berlangsung selama 3-5 hari dan ada juga yang 7-8 hari. 4. Keluhan saat haid: umumnya mengeluh nyeri haid/ dismenorea (Kusmiran, 2012) 5. Pengeluaran sekret: keputihan normal adalah tidak berbau, berwarna putih, dan tidak gatal apabila berbau, berwarna, dan gatal dicurigai adanya kemungkinan infeksi alat genital (Saifuddin, 2010). d. Riwayat Imunisasi Skrining status imunisasi perlu dilakukan pada calon ibu terutama imuniasai TT. Indonesia merupakan salah satu negara yang belum dapat mengeliminasi tetanus 100% sehingga status imunisasi ibu/calon ibu harus selalu diskrining (Kemenkes RI,2012). Status imunisasi lain yang perlu diskrining yaitu hepatitis B, HPV, TORCH/Rubella, dan imunisasi penyakit lainnya yang memiliki prevalensi tinggi di daerah tempat tinggal calon pengantin wanita dan laki–laki. e. Riwayat Seksual Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan diberbagai wilayah, mayoritas jurnal mengatakan bahwa perilaku seksual, dalam hal ini usia



35



dini saat pertama kali melakukan hubungan seksual, merupakan faktor risiko kanker servik (Musrifah, 2018). Perempuan yang pertama kali melakukan hubungan seksual dibawah usia 20 tahun memiliki risiko 3.3 kali terkena kanker servik dibandingkan dengan perempuan yang melakukan hubungan seksual pada umur 20 tahun keatas (Lubis, dkk., 2017). Perempuan yang memulai hubungan seksual dibawah usia 20 tahun mengalami proses metaplasia sel skuamosa yang sangat tinggi sehingga meningkatkan risiko terjadinya transformasi atipikskuamosa menjadi Neoplasia Intraepitel Serviks (NIS). Perubahan sel servik lebih aktif pada usia 12-17 tahun. Saat sel sedang aktif bermetaflasia, seharusnya tidak ada kontak atau rangsangan apapun dari luar termasuk penetrasi alat kelamin laki-laki. Adanya kontak alat kelamin laki-laki dan sperma pada masa tersebut mengakibatkan sel servik kearah abnormal dan berkembang menjadi kanker servik (Wahyuningsih, 2014). Virus hepatitis B dapat ditemukan pada cairan vagina, air liur, dan air mani. Seks oral ataupun seks anal merupakan salah satu cara penularan virus hepatitis B melalui hubungan seksual. Virus hepatitis B tidak dapat ditularkan melalui berpegangan tangan atau bersentuhan dengan penderita. Penularan melalui ciuman mungkin dapat terjadi karena virus terdapat dalam air liur, terutama bila pasangan penderita memiliki luka pada mulutnya. Risiko terinfeksi hepatitis B semakin meningkat seiring dengan semakin banyaknya pasangan seksual yang dimiliki. f. Riwayat Kontrasepsi Penggunaan kontrasepsi berhubungan dengan masa kembalinya kesuburan pada perempuan. Organ reproduksi memerlukan waktu untuk pemulihan setelah lepas/berhenti dari pemakaian kontrasepsi. Hal ini seperti diungkapkan oleh Handayani, dkk (2010), bahwa lama kembalinya kesuburan dari wanita pasca menggunakan KB suntik 3 bulan adalah 6 bulan dan yang paling lama adalah 13 bulan.



36



g. Riwayat Obstetri yang Lalu Menurut Notoadmojo (2015) yang mengatakan bahwa riwayat kesehatan yang lalu yang mengalami kista, endometiosis, mioma uteri sangat berpengaruh pada infertilitas. h. Riwayat Kesehatan Klien 1. Hipertensi Penyakit hipertensi dikaitkan dengan peningkatan persalinan prematur dan retardasi pertumbuhan intrauterin serta insiden mortalitas perinatal yang lebih tinggi. Penyakit ini juga merupakan salah satu penyebab kematian ibu yang paling sering. Tekanan darah harus distabilkan sebelum konsepsi dan kemudian dipantau ketat selama masa kehamilan. Sebagian besar wanita dengan hipertensi kronis dapat mengharapkan kelahiran seorang bayi yang normal dan sehat. Sasaran utama pada periode prakonsepsi ialah menghindari penggunaan penghambat AC dan antogonis reseptor angiotensin. Wanita harus diberi pendidikan kesehatan tentang risiko preeklampsia dan hambatan pertumbuhan janin (Varney, 2007). Pada laki-laki tekanan darah tinggi dapat menyebabkan masalah gangguan ereksi baik secara langsung maupun karena efek samping obat. 2. Diabetes Melitus Penderita DM pada laki-laki terjadi gangguan kemampuan melakukan hubungan seksual yakni berupa gairah seks yang mulai menurun, gangguan selalu ingin Buang Air Kecil (BAK), kondisi fisik mulai lemah, selalu mau tidur dan lama melakkan hubungan seksual tidak lebih dari 10 menit artinya adanya gangguan ejakulasi pada pria penyandang Diabetes Mellitus. Diabetes pada perempuan menyebabkan kadar esterogen rendah yang juga dapat mempengaruhi pelumasan vagina. Kondisi ini juga menyebabkan efek psikologis termasuk stress hingga depresi. Faktor risiko tinggi pada ibu hamil penderita diabetes



37



melitus menurut Sourth International Workshop Converence on gestasional diabetes antara lain obesitas (BMI) >24 kg/m3, mengakibatkan melahirkan bayi cacat bawaan, melahirkan bayi meninggal yang tidak diketahui penyebabnya, bayi meninggal usia dini (0-7 hari), melahirkan bayi besar (Baby Giant) dan adanya dugaan makrosomia dan polihidramnion (Pei-chao lin, 2016). Oleh karena itu, wanita yang menderita diabetes melitus perlu mendapat konseling dan memantau diabetesnya dengan cermat, baik sebelum masa prakonsepsi maupun sepanjang masa usia subur (Prawirhardjo, 2010). 3. Penyakit Ginjal Pada perempuan sebelum konsepsi, terdapat perubahan adaptif ginjal untuk mempersiapkan kehamilan. Pada fase luteal setiap siklus menstruasi, aliran darah ke ginjal dan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) meningkat hingga 10-20%. Jika kehamilan terjadi,



perubahan



hemodinamik ini terus berlanjut. Pada pertengahan trimester kedua, aliran darah ke ginjal meningkat hingga 70-80% jika dibandingkan wanita tidak hamil, menyebabkan peningkatan LFG hingga 55% (Wicaksono, dkk, 2017). Pada laki-laki gagal ginjal kronis, terjadi kegagalan



dalam



pembuangan



limbah



tubuh. Hal



ini dapat



mempengaruhi kualitas sperma dan kesuburan. 4. Asma Wanita dengan riwayat asma saat hamil dapat berkurang gejalanya atau bertambah keparahannya. bertambah



parahnya



penyakit,



Untuk menghindari



hindarilah



kemungkinan



terjadinya infeksi pernapasan dan upayakan tekanan emosional tetapstabil (Agustina, 2015). Asma juga merupakan salah satu penyakit yang dapat diturunkan secara genetik. 5. Anemia dan Thalasemia Pada



perempuan



dengan



riwayat



penyakit



anemia



atau



thalassemia akan bertambah buruk saat kehamilan. Pada



38



kehamilan kebutuhan oksigen lebih tinggi sehingga memicu peningkatan produksi eritropoetin. Akibatnya, volume plasma bertambah dan sel darah merah (eritrosit) meningkat. Namun, peningkatan volume plasma terjadi dalam proporsi yang lebih besar jika dibandingkan dengan peningkatan eritrosit sehingga terjadi



penurunan



konsentrasi



haemoglobin



(Hb)



akibat



hemodilusi (Prawirohardjo, 2010). Pada laki-laki terapi androgen pada anemia dapat meningkatkan produksi eritropoetin namun dapat menimbulkan gejala prostatisme atau pertumbuhan yang cepat dari CA prostat. 6. Hemofilia Hemofilia A (defisiensi faktor VIII) dan Hemofilia B (defisiensi faktor IX) diwariskan secara X-linked recessive. Perempuan dari keluarga penderita hemofilia umumnya



adalah



pembawa



(carrier) yang asimptomatik. Namun 10-20% perempuan pembawa dapat beresiko terhadap komplikasi perdarahan yang bermakna karena penurunan faktor VIII atau IX di bawah jumlah



minimal



untuk



mempertahankan



keseimbangan



hemostatik. Hemofilia dapat menyebabkan infertilitas, namun sejumlah kecil penderita mungkin mempunyai cukup folikelfolikel untuk hamil (Prawirohardjo, 2010). Pada laki-laki dengan Hemofilia lebih sering terjadi, gejala perdarahan dalam waktu terus menerus dan lebih cepat karena darah tidak dapat menggumpal tanpa pengobatan. Hal tersebut dapat mengganggu saat berhubungan seksual dan dapat menurunkan penyakit hemofilia pada keturunannya (Darmono, 2012). 7. Jantung Penyakit



jantung



pada



kehamilan



akan



mempengaruhi



pertumbuhan dan perkembangan janin dalam kandungan. Kehamilan dapat memperberat penyakit jantung. Kemungkinan



39



timbulnya payah jantung (dekompensasi cordis)



pun



dapat



terjadi. Pada ibu hamil yang rentan terhadap gangguan jantung, stres pada perubahan fisiologis normal dapat mencetuskan dekompensasi jantung. Tanda dan gejala penyakit jantung (palpitasii, frekuensi jantung sangat cepat, sesak napas ketika beraktivitas, dispnea, dan nyeri dada) harus dapat diketahui agar dapat dilakukan penatalaksaan yang tepat (Paramita, dkk, 2016). Pada laki-laki penyakit arteri koroner dapat menyebabkan masalah dengan ereksi. Hal ini bisa disebabkan karena terjadinya pengerasan pembuluh darah penis dan jantung. 8. Hepatitis B Seseorang dengan risiko tinggi hepatitis B adalah mereka yang berhubungan dengan dunia kesehatan, orang yang memiliki pasangan seksual yang terinfeksi HBV, dan pengguna narkoba dengan jarum suntik. Beberapa faktor yang mempengaruhi transmisi HBV antara lain: usia, jenis kelamin, pekerjaan, pengetahuan, riwayat seksual, riwayat penggunaan narkoba. Infeksi ini dapat pula terjadi melalui kontak langsung dengan darah penderita yang mengandung HBV seperti pada transfusi darah, sehingga virus dapat masuk ke aliran darah resipien dan mengakibatkan infeksi. Hepatitis B dapat terjadi pada setiap wanita atau pasangan dan mempunyai pengaruh buruk bagi janin dan ibu saat terjadi kehamilan. Pengaruhnya dalam kehamilan dapat mengakibatkan persalinan prematur, abortus, dan kematian janin dalam kandungan (Sofian, 2015). 9. IMS Infeksi menular seksual adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus, parasit, atau jamur yang penularannya terutama melalui hubungan seksual dari seseorang yang terinfeksi kepada mitra seksualnya. Infeksi menular sekusual merupakan salah satu penyebab Infeksi Saluran Reproduksi (ISR). IMS seperti



40



gonore, klamidiasis, sifilis, trikomoniasis, herpes genitalis, kondiloma akuminata, bacterial vaginosis, dan infeksi HIV. 10. TORCH Toksoplasmosis,



Rubella, Cytomegalo virus,



dan Herpes



Simpleks. Kelima jenis penyakit yang disebutkan di atas merupakan penyakit yang dapat menjangkiti pria maupun wanita dan dapat berpengaruh buruk pada janin yang dikandung. Toksoplasmosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh parasit yang disebut Toxoplasma gondii. Penyakit ini sering diperoleh dari tanah atau kotoran kucing yang terinfeksi toksoplasma, atau memakan daging dari hewan terinfeksi yang belum matang sempurna. Gejala yang sering muncul meliputi: demam, nyeri otot, kelelahan, dan pembengkakan kelenjarlimfe.Wanitayang dalam usia reproduksinya bila terkena toxoplasmosis dapat menimbulkan aborsi dan gangguan fertilitas. Janin bisa terinfeksi melalui saluran plasenta. Infeksi parasit ini bisa menyebabkan keguguran atau cacat bawaan seperti kerusakan pada otak dan fungsi mata (Prawirohardjo, 2010). i. Riwayat Kesehatan Keluarga Riwayat penyakit pada keluarga dapat menurun karena faktor genetik, dan bisa menular kepada klien. Riwayat penyakit keluarga memegang peran penting dalam mengkaji kondisi medis yang diwariskan dan kelainan gen tunggal. Beberapa jenis kanker, penyakit arteri koroner, diabetes melitus tipe 2, depresi, dan trombofilia merupakan penyakit yang memiliki tendensi familial dan dapat berpengaruh pada kesehatan reproduksi wanita dan laki-laki (Varney, 2007). j. Pola Kebiasaan Sehari-hari 1) Nutrisi Wanita hamil memerlukan gizi yang cukup untuk kesehatan ibu dan janinnya. Jika kebutuhan gizi tidak terpenuhi, maka akan



41



terjadi masalah gizi. Masalah gizi yang sering terjadi pada ibu hamil adalah Kekurangan Energi Kronis (KEK), anemia, Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY). Masalah gizi tersebut berdampak pada kualitas generasi yang akan datang, karena memperlambat



pertumbuhan fisik dan perkembangan



mental anak serta penurunan kecerdasan (Ernawati, 2017). Widyakarya



Nasional



menganjurkan angka remaja



dan



Pangan



Gizi



VI



kecukupan gizi (AKG)



(WKNPG energi



VI) untuk



dewasa muda perempuan 2000-2200 kkal,



sedangkan untuk laki-laki antara 2400-2800 kkal setiap hari. Kekurangan nutrisi akan berdampak pada penurunan fungsi reproduksi (Felicia, dkk, 2015). Pada penderita Hepatitis B mengalami penurunan nafsu makan. Minum setidaknya dalam satu hari, manusia membutuhkan 8 gelas atau dua liter dalam sehari. Menurut Diani (2012) konsumsi air putih tidak cukup, dapat menyebabkan Infeksi Saluran



Kemih



(ISK).



ISK



disebabkan



oleh



invasi



mikroorganisme/ascending dari uretra ke dalam kandung kemih. Invasi mikroorganisme dapat mencapai ginjal dipermudah dengan reflugs Vesikoureter sehingga bakteri mencapai kandung kemih melalui uretra dan naik ke ginjal dan menyebabkan kerusakan pada ginjal (Sari, 2016). 2) Personal Hygine Personal hygiene yang buruk dapat menimbulkan infeksi pada organ reproduksi (Kemenkes RI, 2015). Mengganti pakaian dalam 2kali sehari, tidak menggunakan pakaian dalam yang ketat dan berbahan non sintetik. Saat menstruasi normalnya ganti pembalut maksimal 4 jam sekali atau sesering mungkin (Kemenkes RI, 2015). Menggunakan air bersih saat mencuci vagina dari arah depan ke belakang dan tidak perlu sering menggunakan sabun khusus pembersih vagina ataupun obat semprot pewangi vagina (Fitriyah, 2014).



42



3) Istirahat Otak dan sistem tubuh dapat bekerja dalam tingkat



berbeda



dalam melakukan suatu aktivitas. Tubuh memerlukan istirahat yang cukup, artinya tidak kurang dan lebih. Ketidakseimbangan istirahat/tidur, misalnya kurang istirahat, dapat menyebabkan tubuh mudah terserang penyakit. Tidur/istirahat pada malam hari sangat baik dilakukan sekitar 7-8 jam dan istirahat siang sekitar 2 jam (Varney, 2007). Beberapa ahli mengatakan bahwa tidur



dapat



memberikan



restorasi



atau



pemulihan



yaitu



kemampuan untuk mempertahankan kesegaran tubuh sepanjang hidup. Kuantitas tidur yang kurang dalam jangka waktu tertentu mengakibatkan kelelahan, psikomotor menurun, hypersensitif terhadap rangsangan nyeri, gangguan konsentrasi berpikir, gangguan memori dan gangguan emosi yang labil (Potter dan Perry (2011). 4) Eliminasi Menggambarkan pola fungsi sekresi yaitu kebiasaan buang air besar meliputi frekuensi, jumlah konsistensi dan bau serta kebiasaan buang air kecil meliputi frekuensi, warna dan jumlah (Anggraini, 2010). Pada penderita Hepatitis B mengalami perubahan warna pada urinnya yaitu seperti warna teh. 5) Aktivitas Apa saja aktivitas yang dilakukan ibu, kelelahan dapat mempengaruhi sistem hormonal. Aktivitas fisik dapat memicu penurunan sirkulasi hormon seksual (Idrissi, dkk, 2015). Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor PER.13/MEN/X/2011 Tahun 2011 Bab 1, Pasal 1, Ayat 8: Nilai Ambang Batas (NAB) adalah standar faktor bahaya di tempat kerja sebagai kadar/intensitas rata-rata tertimbang waktu (Time Weighted Average) yang dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan, dalam



43



pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu. k. Riwayat Ketergantungan Seorang perokok pasif akan memiliki risiko yang sama dengan perokok aktif. Hampir semua komplikasi pada plasenta dapat ditimbulkan oleh rokok, seperti abortus, solusio plasenta, infusiensi plasenta, plasenta previa dan BBLR. Selain itu dapat menyebabkan dampak buruk bagi janin antara lain SIDS (sindroma kematian bayi mendadak), penyakit paru kronis, asma (Prawirohardjo, 2010). Penggunaan alkohol pada kehamilan dapat menyebabkan fetal Alcohol Syndrome yang dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan janin. Jumlah minum alkohol yang aman pada kehamilan belum diketahui, sehingga konsumsi alkohol tidak dianjurkan dalam keadaan hamil (Tritama, 2015). Konsumsi jamu-jamuan yang belum jelas komposisinya dapat membahayakan janin dan ibu. Satu hal yang menjadi perhatian medis adalah kemungkinan mengendapnya material jamu padaair ketuban. Air ketuban yang tercampur dengan residu jamu membuat air ketuban menjadi keruh dan menyebabkan bayi hipoksia sehingga mengganggu saluran napas janin (Purnawati,dkk,2012). Memiliki binatang peliharaan seperti kucing dan unggas dapat menyebabkan penyakit toxoplasmosis (Wijayanti, dkk, 2014). l. Riwayat Alergi Mengetahui riwayat alergi diperlukan pada catin untuk menentukan apakah tubuh seseorang memiliki reaksi alergi terhadap zat tertentu.Tes ini meliputi tes darah, tes kulit, atau eliminasi jenis makanan. m. Riwayat Pernikahan Mengetahui riwayat pernikahan dulu dan berapa lama usia pernikahan,



alasan



berpisah.



Tujuannya



mengetahui



jumlah



pasangan sebelumnya dan hubungan dengan pasangan sebelumnya yang



dapat



mempengaruhi



hubungannya



dengan



pasangan



44



sekarang. Risiko terinfeksi hepatitis B semakin meningkat seiring dengan semakin banyaknya pasangan seksual yang dimiliki. n. Riwayat Psikososial Budaya dan Spiritual Kondisi



psikologis



individu



yang



perlu



di



kajisaat



premarital psychological screening antara lain: kepercayaan diri kedua pihak sebelum membangun sebuah keluarga, kemandirian masing-masing calon dalam memenuhi kebutuhan hidup sahari-hari misal bekerja atau kendaraan dan tempat tinggal pribadi, tidak lagi selalu bergantung pada orang tua, kemampuan komunikasi antara



kedua belah pihak yang dapat membantu menyelesaikan



persoalan



dalam



rumah



tangga



serta



keputusan dalam keluarga, efek masa



penentuan lalu



pengambil



yang



belum



terselesaikan harus dapat dikomunikasikan secara terbuka antara kedua pihak. Selain itu hubungan antara kedua pihak keluarga, seberapa jauh keluarga besar dapat menerima atas pernikahan tersebut (Kemenkes, 2013). Keadaan budaya dan spiritual kedua pihak, perkawainan antar budaya atau ras akan menimbulkan masalah-masalah dan isu-isu yang spesifik, misalnya tentang perbedaan dalam mengekspresikan cinta dan keintiman, cara berkomunikasi, keyakinan beragama, komitmen dan sikap yang mengarah pada perkawinan itu sendiri, nilai-nilai kultural yang disampaikan oleh orangtua sejak kecil danpolapengasuhan anak (Imanda, 2016). o. Tes Kejiwaan Deteksi dini masalah kesehatan jiwa SRQ-20 Self Reporting Questionnaire (SRQ) 20 Petunjuk 1.



Pertanyaan-pertanyaan berikut berhubungan dengan nyeri tertentu dan masalah yang mungkin mengganggu Anda selama 30 hari.



2.



Jika pertanyaan pertanyaan berikut Anda rasakan selama lebih dari 30 hari, maka Anda menjawab : YA.



45



3.



Jika pertanyaan pertanyaan berikut Tidak Anda rasakan selama lebih dari 30 hari, maka Anda menjawab : TIDAK.



4.



Jangan membahas pertanyaan dengan siapa pun saat menjawab kuesioner.



5.



Jika Anda tidak yakin tentang bagaimana menjawab pertanyaan tolong beri jawaban terbaik yang Anda bisa.



6.



Kami ingin meyakinkan bahwa jawabannya Anda akan berikan di sini bersifat rahasia.



N O 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.



Pertanyaan Apakah selama 30 hari terakhir ini anda sering menderita sakit kepala? Apakah anda selama 30 hari ini tidak nafsu makan? Apakah selama 30 hari terakhir ini anda sulit tidur? Apakah selama 30 hari terakhir ini anda mudah takut? Apakah selama 30 hari terakhir ini anda merasa tegang, cemas atau kuatir? Apakah selama 30 hari terakhir ini tangan anda gemetar? Apakah selama 30 hari terakhir ini pencernaan anda terganggu/buruk? Apakah selama 30 hari terakhir ini anda sulit untuk berpikir jernih? Apakah selama 30 hari terakhir ini anda merasa tidak bahagia? Apakah selama 30 hari terakhir ini anda menangis lebih sering? Apakah selama 30 hari terakhir ini anda merasa sulit untuk menikmati kegiatan sehari-hari? Apakah selama 30 hari terakhir ini anda sulit untuk mengambil keputusan? Apakah selama 30 hari terakhir ini pekerjaan sehari-hari anda terganggu? Apakah anda selama 30 hari terakhir ini tidak mampu melakukan hal-hal yang bermanfaat dalam hidup? Apakah selama 30 hari terakhir ini anda kehilangan minat pada berbagai hal? Apakah selama 30 hari terakhir ini anda merasa tidak berharga? Apakah selama 30 hari terakhir ini anda mempunyai pikiran untuk mengakhiri hidup? Apakah anda Merasa lelah sepanjang waktu? Apakah selama 30 hari terakhir anda mengalami rasa tidak enak di perut?



Ya



Tidak



46



20. Apakah selama 30 hari terakhir anda mudah lelah? Hasil : bila skor anda 6 atau lebih (Balitbang Kemenkes RI), segera menghubungi tenaga kesehatan terdekat untuk berkonsultasi (Kemenkes RI, 2017). Data Objektif 1. Pemeriksaan Umum a.



Tanda-Tanda Vital 1) Tekanan Darah Bertujuan untuk menilai adanya gangguan pada sistem kardiovaskuler. Normal. Batas normal yaitu antara 100/60-130/90 (Romauli, 2011). 2) Nadi Pemeriksaan nadi



disertai



pemeriksaan



jantung



untuk



mengetahui pulsus defisit (denyut jantung yang tidak cukup kuat untuk menimbulkan denyut nadi sehingga denyut jantung lebih tinggi dari denyut nadi). Kondisi takikardi (denyut jantung lebih cepat dari



kecepatan normal), sedangkan bradikardia adalah



kondisi dimana detak jantung berdetak dibawah kecepatan normal. Takikardi dapat dijumpai pada keadaan hipertermia, aktivitas tinggi, kecemasan, gagal jantung, dehidrasi, dll. Normal antara 60-80x/menit (Romauli, 2011). 3) Suhu Digunakan untuk menilai keseimbangan suhu tubuh serta membantu menentukan diagnosis penyakit. Suhu normal antara 36,5°C – 37,5°C, jika suhu melebihi batas tersebut dicurigai adanya infeksi (Romauli, 2011). 4) Respirasi Bertujuan untuk menilai frekuensi pernapasan, irama,kedalaman, dan tipe/pola pernapasan. Pernafasan normal antara 16-24 kali per menit (Romauli, 2011).



47



b.



Antropometri 1) Berat Badan Apabila



klien yang datang untuk mendapat konseling



prakonsepsi mengalami amenore dan berat badannya dibawah normal, maka harus diindikasikan untuk meningkatkan asupan kalori.



Sebaliknya,



apabila



mengalami



obesitas,



harus



dianjurkan untuk mengurangi asupan kalori supaya berat badannya turun sampai rentang normal pada saat konsepsi, karena obesitas dalam masa kehamilan meningkatkan resiko preeklampsia dan gangguan tromboembolisme. Wanita juga harus dianjurkan untuk meningkatkan asupan asam folat sebesar 400 mg per hari (Kemenkes RI, 2015). Mempertahankan status nutrisi yang baik, mencapai berat badan ideal, mengontrol gangguan makan, dan mengembangkan kebiasaan dietnutrisi yang seimbang, dapatmembantu mempertahankan kesehatan sistem reproduksi (Soetjiningsih, 2010). Berat badan ibu sebelum dan selama kehamilan sangat mempengaruhi hasil dari kehamilan tersebut. Wanita yang berat badannya kurang sebelum kehamilan, cenderung akan melahirkan lebih cepat (prematur) dan melahirkan BBLR. Kenaikan berat badan ibu selama kehamilan berhubungan langsung dengan berat badan bayinya, dan risiko melahirkan BBLR meningkat dengan kurangnya kenaikan berat badan selama kehamilan (Puspitasari, dkk., 2011). 2) Tinggi Badan Tinggi Badan yang normal yaitu >145cm. Pada calon ibu yang memilikiTB